BAB 4 PEMBAHASAN. 1. Tahap persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 PEMBAHASAN. 1. Tahap persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR"

Transkripsi

1 BAB 4 PEMBAHASAN 4.1. Ketentuan Analisis FAR di Indonesia Wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk Memberikan Wewenang DJP untuk menentukan remunerasi berdasar fungsi dan data pembanding terdapat pada Penjelasan Pasal 18(3) Undang-Undang no. 17 Tahun 2000 yang mengatur tentang penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Ketika terjadi perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dari nomor 17 Tahun 2000 menjadi nomor 36 Tahun 2008, terjadi perubahan penjelasan pasal 18 ayat 3 dalam cara penentuan remunerasi transaksi afiliasi dari alokasi berdasar fungsi dan data pembanding menjadi metode transfer pricing. Perubahan tersebut mengakibatkan jangkauan pelaksanaan proses analisis FAR untuk menentukan renumerasi yang wajar sesuai ALP pada transaksi afiliasi sampai pada tahap penentuan metode TP yang terbaik. Atas dasar pertimbangan tersebut, dalam melakukan penelitian ketentuan analisis FAR di Indonesia, peneliti membagi penelitian sesuai alur analisis FAR sampai dengan tahap penentuan metode terbaik dengan perincian sebagai berikut : 1. Tahap persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR 2. Tahap proses evaluasi dan klarifikasi data dan pencarian informasi analisis FAR 3. Tahap proses analisis FAR Tahapan yang berkesinambungan tersebut dimulai pada saat pencatatan dan penyediaan informasi awal dilakukan oleh Wajib Pajak sampai dengan tahap proses analisis FAR untuk menentukan renumerasi yang sesuai dengan prinsip ALP melalui pemilihan metode TP terbaik. 74

2 Tahap Persyaratan Pencatatan dan Penyediaan Informasi Awal Analisis FAR Tahap persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang ada. Di Indonesia, persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR oleh Wajib Pajak dibagi menurut situasinya, yaitu pada saat pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan PPh Badan dan pada saat dilakukannya pemeriksaan. Tahap ini berfungsi untuk memahami transaksi afiliasi yang terjadi berdasarkan informasi dari Wajib Pajak. Kewajiban Wajib Pajak untuk memberikan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR pada saat pelaporan diatur pada ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-39/PJ/2009 tanggal 2 Juli 2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan) beserta Petunjuk Pengisiannya khususnya dalam lampiran 3 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan Kewajiban Wajib Pajak untuk memberikan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR pada saat pelaporan diatur pada ketentuan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 yang mengatur tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi. PER-39/PJ/2009 mengatur tata cara pengisian SPT PPh Badan Tahun 2009 bagi Wajib Pajak. Lampiran 3 SPT PPh Badan Tahun 2009 merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak afiliasi. khususnya lampiran 3 mengatur tentang kewajiban Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan untuk membuktikan transaksi afiliasi yang dilakukannya telah sesuai dengan ALP. Jika melihat dari isinya, PER-39/PJ/2009

3 76 telah cukup lengkap mengatur persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR. Dalam lampiran 3A-1 terdapat 4 (empat) jenis pencatatan yang wajib diselenggarakan Wajib Pajak yaitu gambaran perusahaan secara rinci, gambaran transaksi afiliasi, catatan hasil kesebandingan dan catatan penentuan harga wajar. PER-43/PJ/2010 mengatur Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan data pembanding internal dan/atau data pembanding eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci jenis catatan yang wajib didokumentasikan, namun diatur bahwa dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan harus dilakukan analisis atas faktorfaktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain: 1. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan, termasuk jasa 2. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi 3. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian 4. keadaan ekonomi 5. strategi usaha KEP-01/PJ.7/1993 mengharuskan Wajib Pajak untuk mengisi pertanyaanpertanyaan pada daftar kuesioner dan melakukan wawancara yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Kuesioner yang berisi dua puluh empat pertanyaan sehubungan dengan fungsi umum, fungsi administrasi, dan fungsi penjualan dan dua puluh dua pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi pemasaran. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilakukan modifikasi seperlunya tersebut merupakan analisis fungsional untuk menganalisis fungsi dari badan anggota perusahaan multinasional yang memiliki hubungan istimewa. Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai bagian dari pembuktian transaksi afiliasi yang dilakukannya telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. S-153/PJ.04/2010 meminta Wajib Pajak untuk menunjukkan analisis kesebandingan serta analisis FAR yang telah dilakukannya untuk dapat disebut

4 77 telah menerapkan prinsip kewajaran. Keberadaan analisis diatas merupakan petunjuk bahwa Wajib Pajak telah melakukan pembandingan kondisi, sebagai bahan untuk menyimpulkan tingkat kesebandingan kondisi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding. Tidak disebutkan secara rinci pencatatan dan informasi yang harus disajikan oleh Wajib Pajak Tahap Proses Evaluasi dan Klarifikasi Data dan Pencarian Informasi Analisis FAR Pada tahap ini dilakukan aktivitas untuk mencari informasi yang berguna untuk evaluasi data dan informasi yang diberikan Wajib Pajak dalam pendokumentasian TPnya. Tahapan ini meliputi proses pemberian dan pengisian kuesioner, proses pemberian dan pengisian checklist dan proses wawancara. Tahap ini berfungsi untuk memahami transaksi afiliasi yang terjadi berdasarkan evaluasi dan klarifiikasi data dari Wajib Pajak dan pencarian informasi lainnya yang berguna dalam proses analisis FAR. Kewajiban petugas pajak (dalam hal ini pemeriksa pajak) untuk melakukan proses evaluasi dan klarifikasi data dan pencarian informasi analisis FAR diatur pada ketentuan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 yang mengatur tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Nomor S- 153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi. KEP-01/PJ.7/1993 mengharuskan pemeriksa untuk memberikan daftar pertanyaan/kuesioner dan melakukan wawancara dalam melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai transaksi afiliasi. Dalam lampiran I KEP- 01/PJ.7/1993 dijabarkan dua puluh empat pertanyaan sehubungan dengan fungsi umum, fungsi administrasi, dan fungsi penjualan, sedangkan dalam lampiran II KEP-01/PJ.7/1993 terdapat dua puluh dua pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi pemasaran. Pemeriksa pajak mempunyai kewajiban untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai bagian dari proses pembuktian transaksi

5 78 afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Penekanan fungsi yang diatur dalam KEP-01/PJ.7/1993 terletak hanya pada fungsi umum, fungsi administrasi, fungsi penjualan dan fungsi pemasaran. Penekanan belum diberikan kepada aktivitas yang memberikan tambahan nilai signifikan yang biasanya berbeda pada setiap industri seperti yang diterapkan di Amerika dan Jerman. Perbedaan fungsi yang signifikan tersebut mengakibatkan perlunya pemahaman yang mendalam akan suatu industri sebelum mengembangkan analisis fungsi yang sesuai. Contohnya ketika melakukan analisis atas fungsi pada perusahaan pabrikasi, maka fungsi produksi, yang meliputi fungsi pembelian bahan mentah dan bahan setengah jadi, fungsi produksi, fungsi transportasi dan fungsi pergudangan adalah merupakan fungsi yang harus diteliti secara mendalam. Penjelasan mengenai fungsi produksi terdapat pada Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi. Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai fungsi produksi dan fungsi distribusi. Fungsi pabrikasi maupun produksi dibagi menjadi tiga, yaitu fungsi penuh (fully pledged), fungsi terbatas dan fungsi rendah (jasa maklon dan distribusi berdasarkan komisi), dimana masing-masing jenis dipengaruhi oleh fungsi yang yang dilakukan sekaligus membedakan diantara ketiganya. Perbedaan pada fungsi pengambilan keputusan strategis, kemampuan melakukan kegiatan pabrikasi, manajemen persediaan, risiko persediaan, risiko kredit dan risiko pasar akan mempengaruhi bentuk fungsi dari pabrikasi atau distributor yang menjadi substansi usahanya. Dibagian (2) KEP-01/PJ.7/1993 disebutkan bahwa dalam mempelajari sifat keterkaitan dan ketergantungan Wajib Pajak yang didapatkan dari jawaban atas daftar pertanyaan yang telah diisi Wajib Pajak, perlu juga dilakukan penegasan atas jawaban-jawaban tersebut melalui wawancara. Penekanan yang harus dilakukan pada saat melakukan wawancara meliputi : 1. Sifat keterkaitan Wajib Pajak

6 79 2. Pembelian/penyerahan barng dari pihak yang saling terkait 3. Pembelian/penyerahan jasa serta jenis dan macam jasa yang diserahkan/dibeli dari pihak terkait. 4. Sewa, royalti dari pihak terkait. 5. Pinjaman-pinjaman dari pihak terkait. 6. Komisi-komisi dari pihak terkait. 7. Penghasilan dan beban lainnya dari pihak terkait. Menurut S-153/PJ.04/2010, dalam hal Wajib Pajak telah melakukan analisis kesebandingan, maka Wajib Pajak dapat melampirkan analisiskesebandingan yang telah dilakukannya, sebagai jawaban atas permintaan pemeriksa untuk mengisi lampiran I dan II pedoman transfer pricing Meskipun tidak terdapat kewajiban yang jelas bagi Wajib Pajak dalam melakukan analisis FAR serta tidak terdapat aturan yang jelas tentang pengenaan sanksi yang akan diterima oleh Wajib Pajak berdasarkan wewenang pasal 18 ayat 3 Undang- Undang Pajak Penghasilan nomor 36 Tahun Kelemahan dalam kejelasan ini dapat ditutupi dengan keluarnya PER- 43/PJ/2010 yang mengatur transaksi Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. PER-43/PJ/2010 telah mengatur dengan jelas sanksi dan jaminan yang diberikan sehubungan dengan dilakukannya analisis perbandingan. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peraturan ini tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa, hal ini merupakan kepastian hukum atau jaminan kepada Wajib Pajak.

7 80 S-153/PJ.04/2010 juga menjelaskan bahwa data mengenai FAR dari para pihak yang terlibat dalam transaksi, harus merupakan data yang handal dan dapat ditunjukkan oleh biaya yang ditanggung oleh tiap tiap pihak yang terlibat dalam transaksi. Pemeriksa harus meneliti data pendukung FAR, termasuk melakukan verifikasi mengenai kebenaran data pendukung tersebut, untuk menguji kehandalan informasi mengenai FAR dari para pihak yang terlibat dalam transaksi. Analisis FAR harus dilakukan secara akurat dan menyeluruh karena akan menjadi dasar untuk menentukan bagian imbalan atau hasil transaksi dari para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi Tahap Proses Analisis FAR Tahap proses analisis FAR dimulai ketika perusahaan afiliasi atau transaksi afiliasi yang diaudit akan dikarakteristikkan. Proses pengkarakteristikkan fungsi akan dilanjutkan dengan proses pengkarakteristikkan aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut dan berakhir pada saat karakteristik fungsi, aset dan risiko ditentukan. Proses analisis FAR yang sama akan diulang pada pembanding potensial untuk menentukan apakah pembanding mempunyai tingkat kesebandingan yang dapat diandalkan untuk dijadikan pembanding. Tahap ini berfungsi untuk memilih pembanding, memilih metode TP yang paling sesuai pada kondisi kasus transaksi afiliasi, memilih indikator finansial (pada saat penggunaan metode berdasarkan laba) dan mengidentifikasi faktor pembanding yang harus dipertimbangkan melalui analisis FAR. Meskipun KEP-01/PJ.7/1993 mengharuskan pemeriksa pajak untuk memberikan dan Wajib Pajak untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan pada daftar kuesioner dan melakukan wawancara, namun belum terdapat ketentuan tentang bagaimana analisis FAR dilakukan. KEP-01/PJ.7/1993 hanya menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan analisis fungsional atas kegiatan Wajib Pajak (dengan modifikasi seperlunya pertanyaan tersebut dapat dipakai untuk menganalisis fungsi dari beberapa badan anggota perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia).

8 81 Ketentuan mengenai proses analisis FAR juga belum terdapat pada PER- 39/PJ/2009. Meskipun telah cukup lengkap mengatur persyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR, PER-39/PJ/2009 belum menjelaskan bagaimana pencatatan dan informasi tersebut digunakan untuk mendapatkan renumerasi yang wajar sesuai ALP. Proses analisis FAR akhirnya dijelaskan pada S-153/PJ.04/2010. Peraturan ini menjelaskan bahwa sebelum melakukan pembandingan hasil transaksi dalam penerapan prinsip kewajaran, maka terlebih dahulu harus dilakukan pembandingan kondisi transaksi afiliasi dengan kondisi transaksi independen yang akan dijadikan sebagai pembanding. Analisis FAR dilakukan dengan mengidentifikasi fungsi yang dilakukan para pihak yang terlibat dalam transaksi hubungan istimewa, aset yang digunakan untuk melakukan fungsi dan risiko yang ditanggung, sebagai bahan untuk diperbandingkan dengan fungsi, aset dan risiko para pihak yang terlibat dalam transaksi antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau diperbandingkan dengan FAR dari transaksi pada sektor usahanya. Terdapat penekanan tambahan yang jelas pada kata aset yang digunakan, risiko yang ditanggung serta perbandingan antara pihak indepen dan transaksi sektor usaha, yang berarti bahwa selain analisis fungsi yang dilakukan, analisis FAR juga harus mengidentifikasi risiko yang ditanggung sebagai dampak dalam menjalankan fungsi tersebut serta aset yang dipergunakan untuk menjalankan fungsi tersebut. PER-43/PJ/2010 menjelaskan bahwa analisis FAR dilakukan dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Kegiatan ekonomi dianggap signifikan dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan. PER-43/PJ/2010 juga menjelaskan bahwa dalam melakukan analisis FAR, selain fungsi yang dilakukan (seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi,

9 82 transportasi, keuangan, dan manajemen) harus juga dipertimbangkan penggunaan aset dalam menjalankan suatu fungsi serta risiko yang mungkin timbul dalam menjalankan suatu fungsi. Jenis aset yang digunakan atau akan digunakan meliputi tanah, bangunan, peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aset tersebut seperti umur, harga pasar, lokasi dan risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi meliputi risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan. Peraturan ini memberikan contoh risiko yang ditanggung dan aset yang digunakan dalam menjalankan suatu fungsi. Baik fungsi yang dilakukan, risiko yang ditanggung serta aset yang digunakan merupakan suatu bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Contoh keterkaitan antara aset yang digunakan, risiko yang ditanggung dengan fungsi yang dilakukan dapat digambarkan pada gambar berikut : Gambar 14 Keterkaitan Fungsi, Aset dan Risiko

10 83 Sumber : Alexander Voegele and Chunyu Zhang. (2010). Direktorat jenderal pajak seharusnya membuat panduan yang memetakan secara lebih khusus mengenai kelompok fungsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak serta faktor analisis FAR dari setiap industri. Pembentukan panduan tersebut dapat dimulai dari pengelompokan jumlah industri, pembagian golongan pokok dari setiap industri, penentuan kelompok fungsi yang signifikan dari setiap industri dan penentuan faktor-faktor yang terkait dengan analisis FAR. Pemetaan terhadap faktor analisis FAR akan mengakibatkan terkelompokannya Wajib Pajak berdasarkan fungsi yang dilakukan, risiko yang ditanggung dari fungsi tersebut serta aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut. Kelompok fungsi yang signifikan didapatkan melalui proses analisis FAR yang dilakukan sampai terciptanya karakteristik FAR. Hasil penelitian terhadap analisis FAR yang digunakan dalam industri pada kode klasifikasi lapangan usaha sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP- 34/PJ/2003 adalah sebagai berikut : Tabel 2. Faktor analisis FAR menurut KLU Kategori Kegiatan Ekonomi Judul Kategori Jumlah Golongan Pokok Kelompok Fungsi Signifikan Faktor Analisis FAR Kode A Kategori Pertanian, Perburuan belum 2 belum dan Kehutanan terinci Kode B Kategori Perikanan belum 1 belum terinci Kode C Kategori Pertambangan dan 5 belum belum

11 84 Penggalian terinci Kode D Kategori Industri Pengolahan 23 sudah terinci Kode E Kategori Listrik, Gas dan Air belum 2 belum terinci Kode F Kategori Konstruksi belum 1 belum terinci Kode G Kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil, Sepeda Motor, serta Barangbarang Keperluan Pribadi dan Rumah Tangga Kode H Kategori Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum Kode I Kategori Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Kode J Kategori Perantara Keuangan Kode K Kategori Real Estat, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan Kode L Kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Kode M Kategori Jasa Pendidikan Kode N Kategori Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Kode O Kategori Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Kegiatan Lainnya Kode P Kategori Jasa Perorangan Kode Q Kategori Badan Internasional dan Badan Ekstra Internasional Lainnya Kode X Kategori Kegiatan Yang Belum Jelas Batasannya 5 belum 1 belum 5 belum 3 belum 5 belum 1 belum 1 belum 1 belum 4 belum 1 belum 1 belum 1 belum Sumber : Diolah dari KEP- 34/PJ/2003 dan PER-43/PJ/2010 belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci belum terinci Ketika pengelompokan faktor analisis FAR telah tersedia, maka pengelompokan Wajib Pajak yang menjalankan fungsi yang sama atau serupa, risiko ditanggung dari fungsi tersebut yang sama atau serupa serta aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut yang sama atau serupa akan dapat disajikan (telah terbentuk karakteristik FAR). Perbedaan fungsi yang dilakukan,

12 85 perbedaan risiko yang ditanggung dari suatu fungsi serta perbedaan aset yang digunakan untuk menjalankan suatu fungsi akan dapat terlihat melalui pengulangan proses FAR terhadap perusahaan afiliasi yang diperiksa dan perbedaan yang material, yang memberikan dampak signifikan terhadap harga akan dapat segera dilakukan penyesuaian jika dimungkinkan. Pemetaan tersebut akan menyediakan informasi yang sangat berguna bagi proses penentuan renumerasi sesuai ALP. Informasi perihal fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan serta resiko yang ditanggung akan menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk memilih perusahaan pembanding yang sesuai dengan transaksi afiliasi (tested party), memilih metode yang paling sesuai dengan kondisi transaksi afiliasi, menentukan indikator finansial yang akan di test (pada saat penggunaan metode laba) serta untuk menentukan faktor pembanding yang signifikan. Informasi-informasi tersebut lebih dikenal dengan istilah benchmark. Penentuan karakter usaha Wajib Pajak harus dilakukan berdasarkan hasil analisis FAR dan bukan hanya berdasarkan status legal dari Wajib Pajak, karena terdapat kemungkinan bahwa status legal Wajib Pajak tidak sama dengan substansi usaha Wajib Pajak. Dengan melakukan pemetaan maka akan terlihat kesenjangan antara golongan pokok Wajib Pajak berdasarkan KLU dengan pembedaan fungsi yang dilakukan dari hasil dari analisis FAR, sehingga penyesuaian status legal dapat dilakukan jika diperlukan. PER-43/PJ/2010 mengharuskan Wajib Pajak yang melakukan transaksi afiliasi menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding, yang dilakukan melalui analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan : a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan, termasuk jasa ; b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi ; c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian ; d. keadaan ekonomi; dan e. strategi usaha.

13 86 b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ; c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa ; dan d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Baik KEP-01/PJ.7/1993, PER-39/PJ/2009, S-153/PJ.04/2010 maupun PER-43/PJ/2010 yang diantaranya mengatur penerapan analisis FAR, belum disajikan analisis Value Chain untuk memberikan identifikasi yang jelas pihak mana yang melakukan masing-masing fungsi, menanggung risiko dan menggunakan masing-masing aset dalam suatu grup. Gambaran dari grup, paparan aktivitas grup dan gambaran pasar meliputi : a. Bagan organisasi yang menunjukkan struktur legal dan operasional dari grup dan perusahaan dalam grup tersebut, b. Daftar dari pabrik milik perusahaan beserta fungsi-fungsinya, c. Pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, dimana terdapat transaksi barang dan jasa antar perusahaan afiliasi, d. Apakah ada pegawai perusahaan yang ditugaskan untuk dibayar oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa e. Aktifitas yang dilakukan perusahaan dalam grup untuk tahun yang bersangkutan f. Porsi dari volume chain perusahaan dalam grup g. Paparan singkat bagaimana perusahaan dan grup dikembangkan dalam beberapa tahun lalu serta rencana dan harapan dimasa depan h. Penyesuaian laba yang dibuat untuk transaksi barang dan jasa dengan perusahaan afiliasi (transaksi afiliasi) i. Posisi pasar dan posisi pasar perusahaan j. Pesaing utama perusahaan di pasar k. Lingkungan pasar, seperti ekspansi dan eliminasi l. Dinamisasi pasar

14 87 m.faktor eksternal yang mempengaruhi pasar (seperti persyaratan legal dan ketergantungan atas komoditas tertentu) Gambaran dari grup, paparan aktifitas grup dan gambaran pasar merupakan informasi umum yang sangat diperlukan dalam analisis fungsi dan risiko. Informasi tersebut berguna sebagai gambaran value chain yang melibatkan lebih dari satu perusahaan dan kontribusi nilai tambah seluruh perusahaan afiliasi terhadapnya. Ketika analisis FAR dilakukan secara terintegrasi dalam suatu grup dalam bentuk value chain, maka nilai tambah setiap perusahaan dalam suatu grup akan dapat terlihat dengan jelas. Hal tersebut sangat berguna bagi pengurangan risiko pembentukan paper company, SPV, maupun bentuk lain yang dibuat Wajib Pajak guna memaksimalkan efisiensi pembayaran pajaknya yang dilakukan secara illegal Praktik penerapan Analisis Fungsi, Aset dan Risiko yang dilakukan oleh WPDN Indonesia Praktek penerapan analisis FAR yang dilakukan oleh WPDN di Indonesia telah tercermin dalam lampiran 3A-1 SPT PPh Badan Tahun Dalam lampiran tersebut terdapat checklist yang berisi pernyataan bahwa Wajib Pajak telah membuat catatan tentang analisis fungsional yang menjadi pertimbangan dilakukannya transaksi antara Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, semua risiko-risiko diasumsikan dan aset-aset digunakan dalam transaksi tersebut. Berikut data pelaporan lampiran 3 SPT PPh Badan Tahun 2009 yang dimasukkan oleh Wajib Pajak pada data SIDJP : Tabel 3 Data Pelaporan Lampiran 3 SPT PPh Badan Tahun 2009 Keterangan Sumber Data 1 Jumlah Wajib Pajak yang melaporkan memiliki Lampiran Khusus 3A yang hubungan istimewa. dilaporkan WP dalam SPT PPh Badan Tahun 2009 Jumlah WP Prosentase

15 Keterangan Sumber Data Jumlah WP Prosentase Metode Penetapan Harga (MPH) Lampiran Khusus 3A yang dibanding jumlah MPH a Comparable Uncontrolled Price dilaporkan WP dalam SPT ,0% b Metode Cost plus PPh Badan Tahun ,7% c Resale Price Method 878 3,7% d Profit Split Method 324 1,4% e Transactional Net Margin Method ,3% f Lainnya 7 0,0% g Tidak Jelas 427 1,8% Jumlah ,0% Jenis Transaksi Afiliasi (TA) Lampiran Khusus 3A yang dibanding jumlah TA a penjualan/pembelian barang berwujud (bahan dilaporkan WP dalam SPT baku, barang jadi dan barang dagangan), PPh Badan Tahun ,6% b penjualan/pembelian barang modal, termasuk aktiva tetap 602 2,5% c penyerahan/pemanfaatan barang tidak berwujud 599 2,5% d peminjaman uang, ,0% e penyerahan jasa, ,9% f penyerahan/perolehan instrumen keuangan 548 2,3% g dan lain-lain ,1% Jumlah ,0% Gambaran Perusahaan Secara Rinci Lampiran Khusus 3A-1 Dibanding Jumlah WP TA a Struktur kepemilikan yang menunjukkan yang dilaporkan WP dalam keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu SPT PPh Badan Tahun ,5% kelompok perusahaan multinasional b Struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak ,0% c Aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unit-unit yang berada ,7% dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak. d Gambaran Lingkungan Usaha Secara Rinci ,4% Pembuatan catatan tentang : Lampiran Khusus 3A-1 Dibanding Jumlah WP TA a Transaksi Wajib Pajak dengan perusahaan yang yang dilaporkan WP dalam ,0% b Transaksi Wajib Pajak dengan perusahaan yang tidak dipengaruhi oleh hubungan Istemewa atau informasi mengenai transaksi pembanding ,5% c Dalam hal Wajib Pajak bertindak sebagai pihak yang menjual, menyerahkan atau meminjamkan dalam transaksi-transaksi sebagaimana disebutkan di atas, telah menyelenggarakan catatan tentang Kebijakan penentuan harga dan daftar harga selama 5 (lima) tahun terakhir dan Rincian biaya pabrikasi atau harga perolehan atau biaya penyiapan jasa ,6% 6 Mengenai Catatan Hasil Analisis Kesebandingan Lampiran Khusus 3A-1 Dibanding Jumlah WP TA a Karakteristik dari produk (barang, jasa, yang dilaporkan WP dalam pinjaman, instrumen keuangan, dan lain-lain) yang ditransaksikan. SPT PPh Badan Tahun ,7% b Analisis fungsional yang menjadi pertimbangan dilakukannya transaksi antara Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, semua risiko-risiko diasumsikan dan ,8% aktiva-aktiva digunakan dalam transaksi tersebut. c Kondisi-kondisi ekonomi pada saat terjadinya ,6% d Syarat-syarat transaksi-transaksi (terms of transactions), termasuk juga perjanjian sesuai kontrak antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang masih mempunyai hubungan Istimewa di luar negeri ,9% e Strategi bisnis Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi afiliasi ,0%

16 89 7 Keterangan Sumber Data Catatan Mengenai Penentuan Harga Wajar Lampiran Khusus 3A-1 a Metodologi penentuan harga yang diterapkan oleh Wajib Pajak, yang menunjukkan bagaimana harga yang wajar diperoleh, dan alasan metode tersebut dipilih dibandingkan dengan metode - metode lainnya. yang dilaporkan WP dalam SPT PPh Badan Tahun 2009 b Data pembanding yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menentukan harga transfer. c Aplikasi metodologi penentuan harga transfer dan penggunaan data pembanding dalam harga transfer. Jumlah WP Prosentase Dibanding Jumlah WP TA ,9% ,4% ,1% Sumber data : Diolah dari data pelaporan Wajib Pajak melalui SIDJP (tidak termasuk data KPP yang masih menggunakan SIP) Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat Wajib Pajak yang melaporkan memiliki hubungan istimewa. Dari jumlah pernyataan atas transaksi, diketahui terdapat 72,4% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai transaksi Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, hal ini berarti bahwa dari jumlah Wajib Pajak yang melaporkan memiliki hubungan istimewa, 72,8% atau sekitar Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak afiliasinya. Dari jumlah pernyataan atas transaksi juga diketahui terdapat 68,5% atau sejumlah Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai transaksi Wajib Pajak dengan perusahaan yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istemewa atau informasi mengenai transaksi independen dan 56,6% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan dalam hal Wajib Pajak bertindak sebagai pihak yang menjual, menyerahkan atau meminjamkan dalam transaksi-transaksi sebagaimana disebutkan di atas, telah menyelenggarakan catatan tentang kebijakan penentuan harga dan daftar harga selama 5 (lima) tahun terakhir dan rincian biaya pabrikasi atau harga perolehan atau biaya penyiapan jasa. Transaksi terbesar berasal dari jenis transaksi penjualan/pembelian afiliasi barang berwujud (bahan baku, barang jadi dan barang dagangan) yang mencapai 47,6% atau sebesar transaksi dari jumlah total transaksi afiliasi sejumlah transaksi yang dinyatakan oleh Wajib Pajak, yang kemudian disusul oleh penyerahan barang dan jasa serta peminjaman uang sebesar 21.9% (5.198 transaksi)

17 90 dan 10% (2.371 transaksi). Transaksi penjulan atau pembelian barang modal termasuk aktiva tetap terjadi dalam jumlah yang relatif sama besar dengan transaksi penyerahan atau pemanfaatan barang tidak berwujud yaitu sejumlah 602 transaksi dan 599 transaksi atau 2,5% dari total transaksi. Transaksi penyerahan atau perolehan instrumen keuangan seperti saham dan obligasi menempati urutan terakhir dalam pengelompokan yang ditentukan oleh SPT PPh Badan yaitu sebesar 548 transaksi atau 2,3% dari total transaksi. Terdapat transaksi atau sekitar 13,1% transaksi yang tidak termasuk 6 (enam) jenis transaksi diatas dan belum dikelompokkan. Dari jumlah pernyataan atas penggunaan metode transfer pricing, diketahui 58% atau sebesar transaksi dari jumlah total transaksi afiliasi menggunakan metode CUP, kemudian CP sejumlah 20,7% (4.915 transaksi), TNMM sejumlah 14,3% (3.398 transaksi), RPM sebesar 3,7% (878 transaksi) dan metode PS sebesar 1,4% (324 transaksi). Banyaknya Wajib Pajak yang menggunakan metode CUP pada menggambarkan bahwa banyak transaksi afiliasi yang memiliki pembanding identik atau kesebandingan hampir sempurna Praktik Persyaratan Pencatatan dan Penyediaan Informasi Awal Analisis FAR Praktik pesyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR di Indonesia digambarkan pada pengisian lampiran 3A1 bagian 1 tentang gambaran perusahaan secara rinci. Dari jumlah pernyataan atas gambaran perusahaan secara rinci, jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang mengakui memiliki hubungan istimewa sejumlah Wajib Pajak, diketahui terdapat 55,4% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional, 68,1% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, 57,7% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unit-unit yang berada dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak dan 56,8%

18 91 Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai gambaran lingkungan usaha secara rinci. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa Wajib Pajak di Indonesia belum semua melakukan pencatatan yang memadai untuk dapat melakukan analisis kesebandingan dan analisis FAR. Masih terdapat 44,6 % Wajib pajak yang belum melakukan pencatatan mengenai struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional, 31,9% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, 42,3% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unit-unit yang berada dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak dan 43,2% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai gambaran lingkungan usaha secara rinci. Dari jumlah pernyataan atas gambaran perusahaan secara rinci, jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang mengakui memiliki transaksi hubungan istimewa sejumlah Wajib Pajak, diketahui terdapat 76,5% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional, 94% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, 79,7% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unit-unit yang berada dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak dan 78,4% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai gambaran lingkungan usaha secara rinci. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa dalam melakukan transaksi afiliasi, Wajib Pajak di Indonesia belum semua melakukan pencatatan yang memadai untuk dapat melakukan analisis kesebandingan dan analisis FAR. Masih terdapat 23,5 % Wajib pajak yang belum melakukan pencatatan mengenai struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional, 6% Wajib Pajak yang belum membuat

19 92 catatan mengenai struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, 20,3% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unit-unit yang berada dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak dan 21,6% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai gambaran lingkungan usaha secara rinci Praktik Proses Evaluasi dan Klarifikasi Data dan Pencarian Informasi Analisis FAR Praktik evaluasi dan klarifikasi data dan pencarian informasi analisis FAR dilakukan oleh pemeriksa pajak dalam meneliti transaksi afiliasi. Dari data praktik pesyaratan pencatatan dan penyediaan informasi awal analisis FAR oleh WPDN di Indonesia diketahui bahwa terdapat atau 76,5% Wajib Pajak yang menyelenggarakan catatan mengenai struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional, atau 94% Wajib Pajak yang menyelenggarakan catatan mengenai struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, atau 79,7% Wajib Pajak yang menyelenggarakan catatan mengenai aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unitunit yang berada dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak dan atau 78,4% Wajib Pajak yang menyelenggarakan catatan mengenai gambaran lingkungan usaha secara rinci yang perlu di evaluasi dan diklarifikasi disamping pencarian data lainnya yang berhubungan dengan data dan informasi yang dibutuhkan analisis FAR. Sedangkan pencarian informasi harus dilakukan terhadap 635 atau 23,5 % Wajib Pajak yang belum melakukan pencatatan mengenai struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional, 163 atau 6% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, 550 atau 20,3% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unitunit yang berada dalam organisasi perusahaan Wajib Pajak dan 584 atau 21,6%

20 93 Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai gambaran lingkungan usaha secara rinci Praktik Proses Analisis FAR Dari jumlah pernyataan atas catatan hasil kesebandingan, jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang mengakui memiliki transaksi hubungan istimewa sejumlah Wajib Pajak, diketahui terdapat atau 72,7% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai karakteristik dari produk (barang, jasa, pinjaman, instrumen keuangan, dan lainlain) yang ditransaksikan, atau 50,8% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai analisis fungsional yang menjadi pertimbangan dilakukannya transaksi antara Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, semua risiko-risiko diasumsikan dan aktiva-aktiva digunakan dalam transaksi tersebut, atau 55,6% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai kondisi-kondisi ekonomi pada saat terjadinya transaksi, atau 52,9% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai syarat-syarat transaksi-transaksi (terms of transactions), termasuk juga perjanjian sesuai kontrak antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang masih mempunyai hubungan Istimewa di luar negeri dan atau 54% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai strategi bisnis Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi afiliasi. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa dalam melakukan transaksi afiliasi, Wajib Pajak di Indonesia belum semua melakukan analisis kesebandingan dan analisis FAR. Masih terdapat 738 atau 27,3% Wajib Pajak belum membuat catatan mengenai karakteristik dari produk (barang, jasa, pinjaman, instrumen keuangan, dan lain-lain) yang ditransaksikan, atau 49,2% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai analisis fungsional yang menjadi pertimbangan dilakukannya transaksi antara Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, semua risiko-risiko diasumsikan dan aktiva-aktiva digunakan dalam transaksi tersebut, atau 44,4% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai kondisi-kondisi ekonomi pada saat terjadinya transaksi, 1.276

21 94 atau 47,1% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai syarat-syarat transaksi-transaksi (terms of transactions), termasuk juga perjanjian sesuai kontrak antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang masih mempunyai hubungan Istimewa di luar negeri dan atau 46% Wajib Pajak yang belum membuat catatan mengenai strategi bisnis Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi afiliasi. Jika dirata-rata (( )/5) maka hanya sejumlah atau 57,2% Wajib Pajak yang melakukan analisis kesebandingan. Dari jumlah pernyataan atas catatan mengenai penentuan harga wajar, jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak yang mengakui memiliki transaksi hubungan istimewa sejumlah Wajib Pajak, diketahui terdapat atau 67,9% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai metodologi penentuan harga yang diterapkan oleh Wajib Pajak, yang menunjukkan bagaimana harga yang wajar diperoleh, dan alasan metode tersebut dipilih dibandingkan dengan metode-metode lainnya, atau 55,4% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan mengenai data pembanding yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menentukan harga transfer dan atau 50,1% Wajib Pajak yang menyatakan telah membuat catatan aplikasi metodologi penentuan harga transfer dan penggunaan data pembanding dalam harga transfer. Perbandingan pencatatan Wajib Pajak yang bertransaksi afiliasi antara transaksi pihak independen dengan transaksi afiliasi sebesar 68% (1.853 transaksi / transaksi) menunjukan bahwa maksimal penggunaan eksternal comparable adalah 68% dari pencatatan yang dilakukan. Hal ini menggambarkan bahwa dalam menentukan renumerasi ALP, minimal terdapat 32% Wajib Pajak menggunakan internal comparable. Meskipun terdapat Wajib Pajak yang memiliki pembanding eksternal, namun hanya sejumlah atau 67,9% Wajib Pajak yang menentukan metodologi dan alasan metode tersebut dipilih dibandingkan dengan metode -metode lainnya, hanya sejumlah atau 55,4% Wajib Pajak yang menyatakan menggunakan data pembanding dalam menentukan harga transfer dan hanya sejumlah atau 50,1% Wajib Pajak yang menunjukan bagaimana aplikasi metodologi penentuan harga transfer dan penggunaan data pembanding dalam harga transfer.

22 95 Secara teori, penggunaan metode TP berasal dari hasil analisis kesebandingan dan analisis FAR, sehingga rendahnya jumlah rata-rata Wajib Pajak yang melakukan analisis kesebandingan (1.548 atau 57,2% Wajib Pajak), jumlah Wajib Pajak yang melakukan analisis FAR (1.375 atau 50,8% Wajib Pajak) menyebabkan rendahnya penggunaan data pembanding (1.501 atau 55,4% Wajib Pajak) dan rendahnya penentuan alasan penggunaan metodologi (1.839 atau 67,9%) Penerapan Analisis Fungsi, Aset dan Risiko guna menentukan imbalan yang sesuai prinsip kewajaran dan kelaziman pada transaksi afiliasi di Indonesia Menurut OECD TP Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations (2010) terdapat sembilan langkah yang harus dilakukan untuk menentukan remunerasi yang tepat sesuai prinsip kewajaran dan kelaziman Usaha, kesembilan langkah tersebut digambarkan sebagai berikut : Gambar 15 Langkah Analisis Perbandingan Sumber : (OECD TP Guidelines (2010))

23 96 Dalam prakteknya, langkah analisis perbandingan bukan merupakan suatu proses yang linier, langkah 5 sampai 7 mungkin harus dilakukan berulang kali sehingga hasilnya dapat memuaskan. Contohnya dalam pemilihan metode TP, dalam suatu kasus dimana tidak dimungkinkan untuk menemukan informasi atas transaksi pembanding (langkah 7) dan/atau membuat penyesuaian yang akurat (langkah 8), sehingga mungkin harus dipilih metode lainnya dengan mengulang proses tersebut dari langkah 4. The Committee on Fiscal Affairs (2009) mengilustrasikan hal ini dengan contoh dari analisis sebuah transaksi afiliasi berupa penjualan produk-produk bermerek oleh pabrikasi fungsi penuh (fully fledged manufacturing) kepada distributor fungsi rendah (commission agent) (langkah 3). Dalam contoh ini diasumsikan bahwa metode CUP awalnya dipilih sebagai metode yang sesuai (langkah 4) tetapi perbandingan yang dapat dipercaya tidak dapat dilakukan melalui metode ini, contohnya karena ketidakmampuan untuk menyesuaikan adanya produk atau nama merek (langkah 6). Maka kemudian dipilih RPM (langkah 4 lagi) yang konsisten dengan hasil analisis FAR dari transaksi afiliasi tersebut yang dilakukan pada langkah 3, selanjutnya dicoba lagi untuk mengidentifikasi pembanding (langkah 4 sampai dengan langkah 6) dimana fokus utama sekarang adalah perbandingan laba kotor yang diperoleh oleh para distributor pembanding dalam situasi yang sama. Jika hasil dari analisis pada langkah 3 adalah bahwa transaksi afiliasi dilakukan oleh pabrikasi fungsi rendah (toll manufacturer/maklon) kepada distributor fungsi penuh (fully fledged distributor) maka metode yang mungkin akan dipilih adalah CPM dan akan dicari pabrik pembanding dibandingkan mencari distributor pembanding. Analisis umum yang dilakukan idealnya meliputi gambaran dari grup, gambaran dari perusahaan, paparan aktifitas, perjanjian afiliasi dan gambaran pasar. Analisis tersebut dibutuhkan untuk membuat value chain dari usaha Wajib Pajak secara keseluruhan dalam suatu grup. Analisis ini diperlukan guna menghitung remunerasi yang wajar atas fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut, serta risiko yang ditanggung atas pelaksanaan fungsi tersebut. Informasi yang diperlukan untuk analisis umum berasal dari Wajib Pajak, baik melalui informasi yang diberikan atas dokumentasi transfer pricing maupun dari hasil kuesioner, checklist maupun wawancara. Di

24 97 Indonesia, contoh kuesioner telah disajikan di lampiran KEP-01/PJ.7/1993 namun hanya untuk fungsi umum, fungsi administrasi, fungsi penjualan dan fungsi pemasaran. Contoh checklist sehubungan dengan analisis ini digambarkan dalam tabel berikut : Tabel 4 Contoh Checklist value of chain

25 98 Sumber : Alexander Voegele dan Chunyu Zhang(2010) Pada prinsipnya, informasi yang berhubungan dengan penentuan pembanding adalah pada waktu yang sama dengan waktu dilakukannya transaksi afiliasi. Hal tersebut merefleksikan tindakan pihak independen pada kondisi ekonomi yang sama, namun dalam prakteknya terdapat masalahan ketersediaan data pembanding dalam waktu tersebut. Pada beberapa kasus, pertimbangan penetapan imbalan juga dilakukan melalui analisis transaksi yang sama atau serupa dengan keadaan yang sama atau serupa dalam kurun waktu sebelumnya dengan penyesuaian atas perubahan kondisi ekonomi dan pasar. Analisis FAR digunakan untuk memahami transaksi afiliasi yang diperiksa sehingga pihak yang akan diuji melalui pembanding yang potensial akan dapat ditentukan. Langkah-langkah dalam menerapkan analisis FAR adalah sebagai berikut : 1. Langkah pertama dalam melakukan analisis FAR adalah menentukan informasi umum Wajib Pajak yang didapatkan dari berbagai sumber.

26 99 2. Kemudian dilakukan proses pengidentifikasian atas fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi, serta risiko yang ditanggung karena menjalankan fungsi dan aset. 3. Langkah ketiga adalah pengidentifikasian atas fungsi yang dilakukan yang berasal dari aktifitas yang memberikan dampak signifikan. Fungsi merupakan aktivitas bisnis signifikan yang terdiri dari penggabungan tugas-tugas operasional yang sama yang dilakukan oleh unit atau bagian tertentu dari sebuah perusahaan yang memberikan dampak signifikan terhadap harga dan laba. Seandainya dalam suatu perusahaan terdapat banyak fungsi, maka analisis harus dilakukan dengan memisahkan tiap fungsi yang ada secara individu. Analisis fungsi dapat dilakukan dengan membuat daftar seluruh aktifitas perusahaan yang mempunyai dampak signifikan, mengurutkan aktifitas tersebut, kemudian mengulang prosesnya pada perusahaan independen. pada beberapa situasi, perusahaan akan memiliki fungsi aktifitas produksi dan penjualan secara sekaligus. Pendekatan umum dari analisis fungsi dimulai dari pemahaman akan konsep rancangan dari usaha perusahaan, yang dimulai dari perancangan suatu produk sampai dengan penjualannya ke tangan konsumen akhir. Dari analisis value chain dapat ditentukan proporsi fungsi yang dilakukan perusahaan afiliasi, proporsi ini dapat digunakan untuk membuat penyesuaian lanjutan atas porsi aktivitas yang dilakukan. 4. Langkah keempat adalah mengidentifikasi aset yang digunakan, mengelompokkan kedalam jenis serta nature dari aset tersebut. Contoh nature dari suatu aset adalah masa manfaat, nilai pasar, lokasi, hak property, asuransi. Pemilik dari aset berwujud dapat ditentukan dari kepemilikannya secara legal. Pada aset tidak berwujud yang didaftarkan, pemilik sah selaku pemegang hak untuk menggunakan aset tidak berwujud tersebut dapat dikategorikan sebagai pemiliknya. Pada aset tidak berwujud yang tidak didaftarkan, pemiliknya adalah pengembang dari aset tidak berwujud tersebut. Pada saat pengembangan dilakukan bersama, hanya ada satu Wajib Pajak yang dianggap sebagai

27 100 pengembang dan pemilik dari aset tidak berwujud tersebut dan anggota afiliasi yang berpartisipasi akan dianggap sebagai assister. Pemilik adalah yang mengeluarkan biaya paling besar dalam proses pengembangannya, kecuali jika terdapat perjanjian pengembalian biaya dimana pihak yang membayarkan akan dianggap sebagai pemilik aset tidak berwujud tersebut. Seandainya tidak dapat ditentukan siapa menanggung biaya terbesar maka seluruh fakta dan keadaan akan dipertimbangkan, yang meliputi lokasi dari pengembangan aset tidak berwujud; kemampuan pihak afiliasi untuk membawa proyek secara independen; pengontrolan dari proyek; dan perilaku Wajib Pajak afiliasi. Substansi usaha adalah hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan analisis aset. Ketika aset yang digunakan tidak memiliki substansi usaha, maka penggunaan aset tersebut harus dikeluarkan dalam perhitungan analisis. Dari analisis value chain dapat ditentukan proporsi aset yang digunakan perusahaan afiliasi, proporsi ini dapat digunakan untuk membuat penyesuaian lanjutan atas porsi aktivitas yang dilakukan. Ketika karakteristik aset yang digunakan telah didapatkan, langkah berikutnya adalah menentukan karakteristik fungsi, aset yang digunakan dan risiko yang ditanggung. 5. Penentuan karakteristik fungsi, aset yang digunakan dan risiko yang ditanggung dimulai dari pengidentifikasian atas risiko yang ditanggung dari fungsi yang dijalankan dan aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut. Kemudian dilakukan pemisahan risiko berdasarkan jenisnya. Dari analisis value chain dapat ditentukan alokasi dan kondisi risiko yang ditanggung perusahaan afiliasi, alokasi dan kondisi ini dapat digunakan untuk membuat penyesuaian lanjutan. Dalam menentukan sebuah risiko, perlu dilihat substansi ekonomi dari risiko tersebut,ketika dalam praktek pelaksanaannya terdapat ketidaksesuaian alokasi risiko atau risiko yang ditanggung tidaklah sejajar dengan kontrol atas risiko tersebut, maka risiko yang tidak memiliki substansi ekonomi dapat diabaikan. Ketika menentukan pihak yang menanggung risiko, seperti risiko selisih kurs contohnya, ditentukan melalui Wajib Pajak yang memiliki wewenang untuk mengatur risiko. Keberadaan hedging, forward, put and call option, swaps

28 101 harus dipertimbangkan pula sehingga karakteristik dari fungsi, aset dan risiko perusahaan afiliasi yang diperiksa dapat ditentukan. Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan atas penentuan alokasi risiko diantara pihak afiliasi. Pemeriksaan ini dimulai dengan menelaah kondisi kontrak dimana hal tersebut tertulis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan apakah pihak yang terlibat menyetujui kondisi sebagaimana tertulis pada kontrak. Pihak yang terlibat adalah bukti terbaik dalam menentukan alokasi risiko. Kondisi dari transaksi juga dapat ditemukan melalui surat menyurat atau komunikasi lain antara pihak afiliasi selain dari kontrak tertulis. Ketika tidak disebutkan secara tertulis, hubungan kontrak antara pihak afiliasi harus dihilangkan dari keputusan dan prinsip ekonomis yang diterapkan antara pihak independen. Ketika perjanjian dilakukan antara pihak independen, perbedaan kepentingan antara pihak memastikan bahwa terdapat ketergantungan satu dan lainnya pada kontrak yang ada, dan kondisi kontrak akan dihiraukan atau dirubah ketika terdapat kepentingan dari kedua pihak. Perbedaan kepentingan tersebut mungkin tidak terjadi pada kasus perusahaan afiliasi, dan menjadi penting untuk melakukan pemeriksaan apakah tindakan pihak yang berafiliasi telah sesuai kontrak atau tindakan tersebut mencerminkan kondisi kontrak tidak diikuti atau palsu. Pandangan OECD lebih melihat kepada siapa yang siapa yang berwenang melihat hasil yang dilakukan atas fungsi mengadministrasikan dan memperhatikan risiko hari per hari (yang dapat di kerjakan oleh pihak ketiga). Sehingga yang perlu digaris bawahi adalah, menurut paragraph 1.27 panduan transfer pricing OECD, risiko berada pada kontrol atas risiko tersebut. Gambar berikut menjelaskan proses dari analisis FAR untuk menentukan perusahaan afiliasi yang diperiksa :

29 102 Gambar 16. Proses dari analisis FAR untuk menentukan perusahaan afiliasi yang diperiksa Sumber : Diolah dari OECD TP guidelines dan berbagai teori. Pencarian pembanding internal atau eksternal dilakukan melalui pengulangan langkah tersebut diatas pada transaksi atau perusahaan pembanding. Seandainya ditemukan perbedaan, maka harus segera dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan perbedaan tersebut. Penyesuaian yang dilakukan, termasuk pula didalamnya perhitungan secara matematis atas dampak dari perbedaan fungsi yang dilakukan, perbedaan aset yang digunakan dalam menjalankan fungsi tersebut dan risiko yang ditanggung akibat menjalankan fungsi dan menggunakan aset akibat menjalankan fungsi tersebut terhadap harga, laba kotor atau laba bersih perusahaan yang diperbandingkan. Ketika penyesuaian tidak dapat dilakukan, maka hasil perbandingan yang dilakukan tidak akan dapat diandalkan. Proses tersebut akan terus berulang

30 103 sampai didapatkan hasil yang memuaskan. Pertimbangan yang perlu ditekankan pada saat pengulangan proses analisis FAR yang dilakukan kepada pembanding potensial ini adalah bahwa pemilihan pembanding potensial harus berdasarkan kesamaan/kemiripan faktor karakteristik barang atau jasa serta penyesuaian atas kondisi kontrak yang tidak sesuai dengan substansi usaha. Ketika masih belum juga dapat ditemukan pembanding yang sesuai, maka dapat dipertimbangkan pemakaian metode transfer pricing berdasarkan tingkat kewajaran laba seperti metode profit split atau transactional net margin method. Proses pengulangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 17. Proses Analisis FAR untuk Menentukan Perusahaan Pembanding Sumber : Diolah dari OECD TP guidelines dan berbagai teori.

31 104 Menurut penelitian penulis terhadap teori, peraturan dan praktek transfer pricing, terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan menyangkut penggunaan analisis FAR untuk menentukan remunerasi ALP pada transaksi afiliasi, yaitu penyesuaian yang dapat diandalkan, hirarki perbandingan dan faktor perbandingan lainnya. Ketika pembanding potensial internal atau ekternal telah didapatkan langkah berikutnya adalah mengulang proses analisis FAR pada pembanding potensial. Biasanya selalu terdapat perbedaan kondisi perusahaan atau transaksi pembanding, untuk itu penyesuaian harus segera dilakukan. Penyesuaian perbandingan harus diberikan kepada perbedaan konsistensi akuntansi, pengelompokan data keuangan, penyesuaian atas perbedan modal, fungsi, aset dan risiko. Terdapat lima hal yang menentukan kepastian sebuah pembandingan, yaitu : 1. Alasan atas kepantasan sebuah perbandingan Perbandingan dikatakan pantas apabila tidak terdapat perbedaan situasi antara pihak yang diperbandingkan yang menimbulkan dampak terhadap kondisi metode yang material. Kepastian terhadap tidak adanya perbedaan situasi yang menimbulkan dampak yang material merupakan kunci kepantasan sebuah perbandingan. 2. Penjelasan atas setiap penyesuaian yang dilakukan Ketika terdapat perbedaan kondisi antara pembanding dengan yang diperbandingkan maka penyesuaian harus dilakukan. Penjelasan mengenai sebuah penyesuaian meliputi alasan yang jelas sebuah penyesuaian harus dilakukan serta dampak yang timbul seandainya penyesuaian tidak dilakukan. 3. Bagaimana penghitungannya Proses penghitungan atas penyesuaian yang dilakukan harus dapat diterapkan secara jelas dan rinci. Proses penghitungan harus meliputi tahapan tentang faktor yang dihitung, bagaimana penghitungan tersebut dilakukan sampai dengan hasil dari penghitungan didapatkan.

32 Bagaimana perubahannya terhadap pembanding Ketika proses penghitungan telah selesai dilakukan, maka akan didapatkan sebuah nilai yang merupakan nilai baru hasil penyesuaian. Nilai ini akan merubah kondisi pembanding sehingga pantas untuk diperbandingkan. 5. Bagaimana penyesuaian dapat meningkatkan kesebandingan Ketika perbandingan dilakukan antara kondisi pembanding yang telah disesuaikan dengan yang diperbandingkan, maka seharusnya tingkat kesebandingan akan lebih tinggi. Gambar berikut menjelaskan bagaimana penyesuaian yang diandalkan dapat meningkatkan kesebandingan. Gambar 18 Penyesuaian yang Dapat Diandalkan Sumber : Diolah dari OECD TP guidelines dan berbagai teori. Penyesuaian tersebut harus diimplementasikan kedalam perhitungan atas pengaruhnya terhadap harga atau laba. Ketika perbedaan pembanding disesuaikan, maka harga, laba kotor, atau laba bersih dari pembanding internal atau eksternal yang tersedia ikut disesuaikan sehingga tercipta sutu kesebandingan. Kepastian atas penyesuaian perbandingan bergantung pada penjelasan atas setiap

33 106 penyesuaian yang dilakukan, alasan atas kepantasan sebuah perbandingan, bagaimana penghitungannya, bagaimana perubahannya terhadap pembanding dan yang diperbandingkan, serta bagaimana penyesuaian dapat meningkatkan kesebandingan. Hirarki perbandingan adalah urutan prioritas subjek pembanding yaitu pembanding internal kemudian pembanding internal dan urutan prioritas objek pembanding yaitu harga, laba kotor kemudian laba bersih. Ketika pembanding internal tersedia, maka tingkat kesebandingan akan lebih tepat dengan menggunakan pembanding internal. Namun jika pembanding internal tidak tersedia, penggunaan pembanding eksternal merupakan pilihan terbaik. Ketika pembanding internal atau eksternal telah didapatkan, maka perbandingan dapat ditentukan melalui harga Jika harga tidak tersedia, maka perbandingan dapat menggunakan laba kotor, dan terakhir adalah penggunaan laba bersih ketika kedua objek pembanding tidak tersedia. Faktor pembanding lainnya meliputi karakteristik barang atau jasa, kondisi kontrak, kondisi ekonomi dan strategi bisnis. Karakteristik barang atau jasa adalah hal yang utama dalam penggunaan metode berdasarkan transaksi, pada metode ini perbandingan dilakukan untuk menentukan apakah pembanding internal atau ekternal yang memiliki karakteristik barang atau jasa yang sama atau serupa dapat dijadikan pembanding. Kondisi kontrak biasanya menjadikan dasar suatu fungsi dilakukan, aset digunakan atau risiko ditanggung. Hal yang terpenting adalah apakah dalam prakteknya, penerapan kondisi kontrak sesuai dengan kenyataan dilapangan (substansi usaha). Kondisi ekonomi berhubungan dengan pasar perusahaan, yang informasi utamanya berasal dari gambaran pasar perusahaan. Strategi bisnis bergantung pada kemungkinan pihak independen akan melakukan skema tersebut dan apakah akan tetap bertahan sendainya laba yang ditetapkan tidak material. Kelima faktor tersebut merupakan faktor yang seimbang dalam menentukan kesebandingan. Dalam analisis FAR, ketika metode transaksi digunakan, analisis FAR dilakukan pada barang atau jasa yang memiliki kesamaan karakteristik

34 107 sedangkan pada metode laba, analisis FAR memegang peranan yang sangat penting untuk menentukan laba wajar atas fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut serta risiko yang ditanggung atas fungsi yang dijalankan dan aset yang digunakan. Hubungan penetapan renumerasi melalui penggunaan metode transfer pricing dengan analisis FAR dimana faktor karakteristik barang dan jasa telah sama/serupa serta kondisi kontrak telah sesuai substansi usaha digambarkan sebagai berikut : Gambar 19. Hubungan Penetapan Renumerasi melalui Penggunaan Metode Transfer Pricing dengan Analisis FAR Sumber : Diolah dari OECD TP guidelines dan berbagai teori.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari sudut pandang perencanaan pajak, pajak dari keuntungan sebuah perusahaan multinasional di banyak negara dibagi menjadi dua prinsip yang utama, yaitu the company-by-company

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TANGGAL 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA. Penerapan Analisis Fungsi, Aset dan Risiko untuk Menentukan Remunerasi sesuai Arm s Length Principle di Indonesia TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA. Penerapan Analisis Fungsi, Aset dan Risiko untuk Menentukan Remunerasi sesuai Arm s Length Principle di Indonesia TESIS UNIVERSITAS INDONESIA Penerapan Analisis Fungsi, Aset dan Risiko untuk Menentukan Remunerasi sesuai Arm s Length Principle di Indonesia TESIS EKO YUNIANTO PRABOWO 0706304132 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Transfer pricing digunakan untuk mengukur efektifitas departemen

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Transfer pricing digunakan untuk mengukur efektifitas departemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transfer pricing awalnya merupakan salah satu cara pengusaha dalam menjalankan bisnisnya untuk mengukur kinerja per departemen dalam suatu perusahaan. Transfer

Lebih terperinci

BAB 3 PENERAPAN ANALISIS FUNGSI, ASET DAN RISIKO

BAB 3 PENERAPAN ANALISIS FUNGSI, ASET DAN RISIKO BAB 3 PENERAPAN ANALISIS FUNGSI, ASET DAN RISIKO 3.1 Penerapan Analisis Fungsi, Aset dan Risiko di Jerman (Alexander Voegele dan Chunyu Zhang (2010) ) Seperti penerapan di banyak negara, otoritas perpajakan

Lebih terperinci

PENENTUAN HARGA TRANSFER ATAS TRANSAKSI INTERNASIONAL DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK

PENENTUAN HARGA TRANSFER ATAS TRANSAKSI INTERNASIONAL DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK PENENTUAN HARGA TRANSFER ATAS TRANSAKSI INTERNASIONAL DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK Salah satu terobosan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mengamankan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka regulasi dokumentasi transfer pricing di Indonesia sebaiknya mencakup, memuat dan/atau mengatur hal hal sebagai berikut :

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.56238/PP/M.IIB/16/2014

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.56238/PP/M.IIB/16/2014 Direktori Putusan Mahkamaa Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.56238/PP/M.IIB/16/2014 Jenis Pajak Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Menurut Majelis : Pajak Pertambahan

Lebih terperinci

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak PMK-169/PMK.010/2015 PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (Debt-to-Equity

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Opsi atau option sebagai instrumen keuangan derivatif merupakan suatu instrumen keuangan yang nilainya diturunkan (underlying) dari sesuatu yang lain. 1 Sesuatu yang

Lebih terperinci

dasar hukum Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak

dasar hukum Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak per-25/pj/2017 PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN DAN TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI dasar hukum

Lebih terperinci

DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL TAHUN PAJAK 2 0 NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / TAHUN PEROLEHAN HARGA PEROLEHAN (US$)

DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL TAHUN PAJAK 2 0 NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / TAHUN PEROLEHAN HARGA PEROLEHAN (US$) 2 0 DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL 1B KELOMPOK / JENIS HARTA BULAN / TAHUN PEROLEHAN HARGA PEROLEHAN (US$) NILAI SISA BUKU FISKAL AWAL TAHUN PENYUSUTAN / AMORTISASI KOMERSIAL METODE HARTA BERWUJUD

Lebih terperinci

EVALUASI KEWAJARAN HARGA DAN KESESUAIAN METODE TRANSFER PRICING DENGAN PERDIRJEN PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2011 (STUDI KASUS PADA PT.

EVALUASI KEWAJARAN HARGA DAN KESESUAIAN METODE TRANSFER PRICING DENGAN PERDIRJEN PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2011 (STUDI KASUS PADA PT. EVALUASI KEWAJARAN HARGA DAN KESESUAIAN METODE TRANSFER PRICING DENGAN PERDIRJEN PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2011 (STUDI KASUS PADA PT. MERTEX INDONESIA) Medianti Jipi Saraswati Muhammad Saifi Dwiatmanto PSPerpajakan,

Lebih terperinci

Laporan Penetapan Harga Transfer PT XYZ Indonesia 2016

Laporan Penetapan Harga Transfer PT XYZ Indonesia 2016 format Laporan Penetapan Harga Transfer PT XYZ Indonesia 2016 SELAMAT BELAJAR Penetapan Harga Transfer PT XYZ Indonesia 2016 i www.konsultanprima.com DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-22/PJ/2013 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN

Lebih terperinci

PMK No. 213/PMK.03/2016

PMK No. 213/PMK.03/2016 PMK No. 213/PMK.03/2016 Penerapan dan Implikasinya bagi PGN dan Grup Jakarta, 2 Februari 2017 Dasar hukum PMK No. 213/PMK.03/2016 1 Kewajiban Pembukuan sesuai Pasal 28 ayat (1), UU KUP 2 Transaksi Hubungan

Lebih terperinci

Daftar Pertanyaaan Wawancara dan Jawaban: Pajak dan intensifikasi pajak Orang Pribadi khususnya pada KPP Jakarta Tanah

Daftar Pertanyaaan Wawancara dan Jawaban: Pajak dan intensifikasi pajak Orang Pribadi khususnya pada KPP Jakarta Tanah L 1 Daftar Pertanyaaan Wawancara dan Jawaban: 1. Apakah tujuan yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak Orang Pribadi khususnya pada KPP Jakarta Tanah

Lebih terperinci

A. PENENTUAN WAJIB PAJAK YANG WAJIB MENYELENGGARAKAN DAN MENYIMPAN DOKUMEN PENENTUAN HARGA TRANSFER

A. PENENTUAN WAJIB PAJAK YANG WAJIB MENYELENGGARAKAN DAN MENYIMPAN DOKUMEN PENENTUAN HARGA TRANSFER LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 213/PMK.03/2016 TENTANG : JENIS DOKUMEN DAN/ATAU INFORMASI TAMBAHAN YANG WAJIB DISIMPAN OLEH WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN TRANSAKSI DENGAN PARA

Lebih terperinci

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk IV.1 Laba Rugi Secara Komersial Keuntungan (laba) atau kerugian adalah salah satu tolak ukur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN 0 A DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / HARGA NILAI SISA BUKU FISKAL METODE PENYUSUTAN / AMORTISASI KELOMPOK / JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN AWAL TAHUN PENYUSUTAN /

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 77 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 77 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 77 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

TRANSFER PRICING. Daftar Isi: Redaksi. Edisi Oktober I / eharusan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi

TRANSFER PRICING. Daftar Isi: Redaksi. Edisi Oktober I / eharusan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi www.pajak.asia / www.tcg.co.id Editorial TRANSFER PRICING Salam Jumpa Pembaca, Alhamdulillah, puji syukur senantiasa Redaksi panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hingga saat kita masih bisa berjumpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi dana pembangunan Negara, Pemerintah. masyarakat Indonesia, karena berdasarkan tax ratio Indonesia dengan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi dana pembangunan Negara, Pemerintah. masyarakat Indonesia, karena berdasarkan tax ratio Indonesia dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Untuk memenuhi dana pembangunan Negara, Pemerintah memanfaatkan dua sumber pokok penerimaan pajak, yaitu sumber dana dari dalam negeri misalnya penerimaan

Lebih terperinci

METODE PENETAPAN HARGA WAJAR TERHADAP PRAKTIK TRANSFER PRICING DI KPP PRATAMA BATAM

METODE PENETAPAN HARGA WAJAR TERHADAP PRAKTIK TRANSFER PRICING DI KPP PRATAMA BATAM METODE PENETAPAN HARGA WAJAR TERHADAP PRAKTIK TRANSFER PRICING DI KPP PRATAMA BATAM TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi syarat kelulusan Program Diploma III Oleh : Muhammad Fadli 3110911009 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

2016, No pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia; b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) P

2016, No pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia; b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) P BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2120, 2016 KEMENKEU. Wajib Pajak. Jenis Dokumen. Informasi Tambahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 213/PMK.03/2016 TENTANG JENIS DOKUMEN DAN/ATAU

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Sejarah Singkat KPP Pratama Jakarta Duren Sawit Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ) Pratama Jakarta Duren Sawit yang dibentuk sebagai bagian dari

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-321/PJ/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Tinjauan Umum Tentang Akuntansi Pajak II.1.1 Pengertian Akuntansi Secara umum, akuntansi dapat didefinisikan sebagai suatu system informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak

Lebih terperinci

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-85809/PP/M.IIB/12/2017. Jenis Pajak : PPh Pasal 23. Tahun Pajak : 2012

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-85809/PP/M.IIB/12/2017. Jenis Pajak : PPh Pasal 23. Tahun Pajak : 2012 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-85809/PP/M.IIB/12/2017 Jenis Pajak : PPh Pasal 23 Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa Menurut Terbanding : bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah koreksi

Lebih terperinci

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK Dalam Undang-undang Pajak Domestik di Negara Jerman pada tahun 1922 memberikan pandangan yang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-61/PJ/2015 TENTANG OPTIMALISASI PENILAIAN (APPRAISAL) UNTUK PENGGALIAN POTENSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 Undang-Undang No.16 tahun 2009 dalam Mardiasmo (2011: 23) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa, pajak adalah kontribusi

Lebih terperinci

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL 1A BULAN / HARGA NILAI SISA BUKU FISKAL METODE PENYUSUTAN / AMORTISASI KELOMPOK / JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN AWAL TAHUN PENYUSUTAN / AMORTISASI FISKAL TAHUN INI

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 40/PJ/2017 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 40/PJ/2017 TENTANG 29 November 2017 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 40/PJ/2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-18/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENELITIAN BUKTI PEMENUHAN

Lebih terperinci

Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-50/PJ/2013 Tanggal : 24 Oktober 2013 BAB I PENDAHULUAN

Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-50/PJ/2013 Tanggal : 24 Oktober 2013 BAB I PENDAHULUAN DAFTAR ISI Lampiran I... 4 BAB I PENDAHULUAN... 4 BAB II TAHAPAN PEMERIKSAAN TRANSFER PRICING... 6 A. Tahapan Persiapan... 6 B. Tahapan Pelaksanaan... 7 1. Menentukan Karakteristik Usaha Wajib Pajak...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi yang berkembang dengan cepat membuat kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, transportasi, sistem informasi hingga perekonomian sehingga kegiatan

Lebih terperinci

NOMOR :. TANGGAL : MULAI TAHUN PAJAK :

NOMOR :. TANGGAL : MULAI TAHUN PAJAK : D. PPh KURANG/LEBIH BAYAR C. KREDIT PAJAK B. PPh TERUTANG A. PENGHASILAN KENA PAJAK IDENTITAS 1771/$ SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. antara PT. OKM dengan OM BV adalah menyangkut pada kepemilikan modal, dimana

BAB IV PEMBAHASAN. antara PT. OKM dengan OM BV adalah menyangkut pada kepemilikan modal, dimana BAB IV PEMBAHASAN IV. 1 Analisa Hubungan Istimewa IV. 1. 1 Hubungan Istimewa Seperti yang telah dijelaskan pada bab III, hubungan istimewa yang terjalin antara PT. OKM dengan OM BV adalah menyangkut pada

Lebih terperinci

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM 1 of 11 7/26/17, 12:19 AM KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2016 TENTANG TATA CARA PENILAIAN UNTUK PENENTUAN NILAI JUAL

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.304, 2017 PERPAJAKAN. Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan Usaha. Kontrak Bagi Hasil Gross Split. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

III/$ 2 0 A A KREDIT PAJAK DALAM NEGERI N P W P : NAMA WAJIB PAJAK : PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

III/$ 2 0 A A KREDIT PAJAK DALAM NEGERI N P W P : NAMA WAJIB PAJAK : PERIODE PEMBUKUAN : s.d. 1771 - III/$ LAMPIRAN - III KREDIT PAJAK DALAM NEGERI NO. NAMA DAN NPWP OBJEK PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN PEMOTONG / PEMUNGUT PAJAK JENIS PENGHASILAN / TRANSAKSI PAJAK PENGHASILAN BUKTI PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

KementerianKeuangan RepublikIndonesia Direktorat Jenderal Pajak

KementerianKeuangan RepublikIndonesia Direktorat Jenderal Pajak KementerianKeuangan RepublikIndonesia Direktorat Jenderal Pajak Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada tahun 1983 telah terjadi momentum penting dalam sistem perpajakan yang dirombak dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Kedua

Lebih terperinci

ANALISIS PENENTUAN METODE TRANSFER PRICING PADA PENGUJIAN KEWAJARAN OPERATING PROFIT, STUDI KASUS PADA PEMERIKSAAN PAJAK PT X

ANALISIS PENENTUAN METODE TRANSFER PRICING PADA PENGUJIAN KEWAJARAN OPERATING PROFIT, STUDI KASUS PADA PEMERIKSAAN PAJAK PT X ANALISIS PENENTUAN METODE TRANSFER PRICING PADA PENGUJIAN KEWAJARAN OPERATING PROFIT, STUDI KASUS PADA PEMERIKSAAN PAJAK PT X Nama Mahasiswa Fakultas Program Studi Nama Pembimbing : Aditya Perdana : Ekonomi

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan te

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan te No.298, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Perusahaan Publik. Pernyataan Pendaftaran. Bentuk dan Isi. Pedoman (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6166)

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK. Selama kurang lebih 1 (satu) bulan terhitung sejak 26 Juli

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK. Selama kurang lebih 1 (satu) bulan terhitung sejak 26 Juli BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK 3.1. Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek Selama kurang lebih 1 (satu) bulan terhitung sejak 26 Juli 2010 26 Agustus 2010 penulis melaksanakan kerja praktek di KPP Pratama

Lebih terperinci

SOAL. No Nama Afiliasi Bidang Usaha Kepemilikan Lokasi 1 PT. Berlian Pemegang hak 27% Balikpapan

SOAL. No Nama Afiliasi Bidang Usaha Kepemilikan Lokasi 1 PT. Berlian Pemegang hak 27% Balikpapan SOAL PT. Mahameru merupakan perusahaan manufaktur yang memproduksi furniture secara massal dan juga memenuhi permintaan dengan desain khusus. Perusahaan pada tahun 2X07 berencana menjual sahamnya di pasar

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN FORMULIR 1771 KEMENTERIAN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA "X" PADA

SPT TAHUNAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA X PADA 1771/$ PERHATIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA "X" PADA (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 54/PJ/2016

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 54/PJ/2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 54/PJ/2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN PROPERTI, PENILAIAN BISNIS, DAN PENILAIAN

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Beban dan Pendapatan Perusahaan Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan koreksi fiskal atas laporan laba rugi perusahaan sesuai dengan undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang berkembangnya perusahaan multinasional. Dalam perusahaan multinasional terjadi berbagai

Lebih terperinci

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT) 10a. 10b.

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT) 10a. 10b. 77 DEPARTEMEN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERHATIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN h SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN h ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN

Lebih terperinci

Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan (KTSP) / Source rules

Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan (KTSP) / Source rules Perpajakan Internasional Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan (KTSP) / Source rules 6 September 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 dalam Ketentuan Perpajakan Untuk memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak istilah benchmarking

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak istilah benchmarking BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Akhir-akhir ini di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak istilah benchmarking menjadi popular dalam istilah perpajakan. Dalam Business Literacy Glossary

Lebih terperinci

Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara. Oleh: Hadi Setiawan 1

Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara. Oleh: Hadi Setiawan 1 Pendahuluan Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara Oleh: Hadi Setiawan 1 Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan kasus yang menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, Amazon

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KODE SURAT UNIT ORGANISASI DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NO. NAMA UNIT ORGANISASI KODE SURAT

KODE SURAT UNIT ORGANISASI DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NO. NAMA UNIT ORGANISASI KODE SURAT LAMPIRAN I - 1 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP- 180 /PJ/2006 TENTANG PENGGUNAAN NOMOR KODE SURAT DAN CAP DINAS SEMENTARA UNTUK UNIT-UNIT DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan

Lebih terperinci

PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT) PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT) Contributed by Administrator Friday, 31 December 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER -

Lebih terperinci

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN BERHASRAT untuk

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN D. PPh KURANG/ LEBIH BAYAR C. KREDIT PAJAK B. PPh TERUTANG A. PENGHASILAN KENA PAJAK IDENTITAS 1771 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK

Lebih terperinci

SURVEI STATISTIK KEUANGAN BADAN USAHA MILIK DAERAH

SURVEI STATISTIK KEUANGAN BADAN USAHA MILIK DAERAH V-BUMD15 REPUBLIK INDONESIA SURVEI STATISTIK KEUANGAN BADAN USAHA MILIK DAERAH 2013-2014 1. Daftar isian ini digunakan untuk mendapatkan informasi dan data mengenai profil dari Perusahaan BUMD Tahun 2013-2014.

Lebih terperinci

RENCANA PEMBERIAN KREDIT KEPADA DEBITUR INTI 1)

RENCANA PEMBERIAN KREDIT KEPADA DEBITUR INTI 1) - 1 - LAMPIRAN X.A. Format Rencana Pemberian Kredit kepada Debitur Inti RENCANA PEMBERIAN KREDIT KEPADA DEBITUR INTI 1) Nama Peminjam/Kelompok Peminjam Juni t Keterangan: 1) Cakupan debitur Inti meliputi

Lebih terperinci

Comprehensive Tax Planning 2014

Comprehensive Tax Planning 2014 Updating Manajemen Pemeriksaan Pajak dan Penyelesaian Sengketa Pajak 5 Juli 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 Updating Teknik Praktis Faktur Pajak (efaktur Pajak) Sesuai PER-16/PJ/2014 dan PER- 17/PJ/2014

Lebih terperinci

SE - 40/PJ/2012 EMBUATAN BENCHMARK BEHAVIORAL MODEL DAN TINDAK LANJUTNYA

SE - 40/PJ/2012 EMBUATAN BENCHMARK BEHAVIORAL MODEL DAN TINDAK LANJUTNYA SE - 40/PJ/2012 EMBUATAN BENCHMARK BEHAVIORAL MODEL DAN TINDAK LANJUTNYA Contributed by Administrator Thursday, 16 August 2012 Pusat Peraturan Pajak Online 16 Agustus 2012 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

Aspek Perpajakan atas Aktiva Tetap

Aspek Perpajakan atas Aktiva Tetap Aspek Perpajakan atas Aktiva Tetap Aktiva Tetap Aktiva Tetap: SAK (2009) : aktiva berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan ke pihak lain,

Lebih terperinci

BENTUK LAPORAN PENERIMAAN PAJAK (LPP) KODE FORMULIR

BENTUK LAPORAN PENERIMAAN PAJAK (LPP) KODE FORMULIR Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-54/PJ/1998 Tanggal : 25 Maret 1998 BENTUK LAPORAN PENERIMAAN PAJAK (LPP) No JENIS FORMULIR KODE FORMULIR UKURAN DIKIRIM KE MASA LAPORAN 1 2 3 4 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring pertumbuhan ekonomi dewasa ini, saat ini Pajak menjadi tulang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring pertumbuhan ekonomi dewasa ini, saat ini Pajak menjadi tulang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring pertumbuhan ekonomi dewasa ini, saat ini Pajak menjadi tulang punggung bagi penerimaan Negara. Lebih dari 80% penerimaan Negara bersumber dari penerimaan Pajak.

Lebih terperinci

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN 1771

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN 1771 SPT TAHUNAN 1771 DEPARTEMEN KEUANGAN RI ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK BERI TANDA "X" DALAM (KOTAK) YANG SESUAI ISI DENGAN BENAR, LENGKAP DAN JELAS 2 0 0 6 SESUAI DENGAN PETUNJUK PENGISIAN BL TH BL TH

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5626 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 64 /POJK.04/2017 TENTANG DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 64 /POJK.04/2017 TENTANG DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 64 /POJK.04/2017 TENTANG DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA OLEH: Yulazri M.Ak. CPA Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum : No. Tahun Undang-Undang 7 1983 Perubahan 7 1991 10 1994 17 2000 36 2008 SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN 1. a. Orang Pribadi b. Warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam perdagangan lintas negara, terutama dipengaruhi oleh kehadiran perusahaan multinasional (Multinational

Lebih terperinci

PERATURAN NOMOR IX.B.1 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK

PERATURAN NOMOR IX.B.1 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK PERATURAN NOMOR IX.B.1 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN PERUSAHAAN PUBLIK Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-49/PM/1996, Tanggal 17 Januari 1996 Suatu Pernyataan Pendaftaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral 13 BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Transfer Pricing 2.1.1 Pengertian Transfer Pricing Pengertian transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian yang bersifat netral dan

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-25/PJ/2017 TENTANG PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN 2.1. Pengertian Perusahaan Manufaktur Perusahaan manufaktur adalah perusahaan yang dalam kegiatan usahanya membeli bahan baku kemudian mengolah bahan baku dengan mengeluarkan

Lebih terperinci

Materi E-Learning Perpajakan

Materi E-Learning Perpajakan Kompilasi Materi Teori Perpajakan : 1. Bentuk Usaha Tetap 2. Norma Perhitungan Penghasilan Netto 3. Pajak Penghasilan Final 4. Utang Pajak dan Penagihan Pajak Sumber : Seri Perpajakan www.pajak.go.id BENTUK

Lebih terperinci

Prinsip Kewajaran Dan Dokumentasi Sebagai Penangkal Kecurangan Transfer Pricing di Indonesia

Prinsip Kewajaran Dan Dokumentasi Sebagai Penangkal Kecurangan Transfer Pricing di Indonesia Prinsip Kewajaran Dan Dokumentasi Sebagai Penangkal Kecurangan Transfer Pricing di Indonesia Wika Arsanti Putri Universitas Airlangga e-mail: wikaarsanti@gmail.com Abstract - This study is a normative

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1adalah kontribusi wajib kepada negara

Lebih terperinci

TAX PLANNING DALAM MENERIMA PEMERIKSAAN PAJAK PASCA TAX AMNESTY

TAX PLANNING DALAM MENERIMA PEMERIKSAAN PAJAK PASCA TAX AMNESTY TAX PLANNING DALAM MENERIMA PEMERIKSAAN PAJAK PASCA TAX AMNESTY Oleh : Zulaikha IAI JATENG/Fakultas Ekonomika dan Bisnis UNDIP Disampaikan pada Seminar Nasional Akuntansi : Pemeriksaan Pajak Pasca Tax

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 24/PJ/2017 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 24/PJ/2017 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 22 September 2017 A. Umum SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 24/PJ/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN HARTA SELAIN KAS

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 49/PJ/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 49/PJ/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 49/PJ/2011 TENTANG TEMPAT PENDAFTARAN DAN PELAPORAN USAHA BAGI WAJIB PAJAK PADA

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More...

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More... Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) 19 Juni 2014 Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai Basic Transfer Pricing 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 26 28 Juni 2014 Training Room Ortax

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa untuk dapat memajukan kesejahteraan masyarakat,

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia PUTUSAN Nomor 425/B/PK/PJK/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More...

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More... Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) 19 Juni 2014 Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai Basic Transfer Pricing 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 26 28 Juni 2014 Training Room Ortax

Lebih terperinci

LEMBAR ISIAN HASIL PEMERIKSAAN PROGRAM PENGKAJIAN PENGISIAN SPT WAJIB PAJAK BADAN. 6. Status Badan : (a) Pusat (b) Pusat (c) BUT

LEMBAR ISIAN HASIL PEMERIKSAAN PROGRAM PENGKAJIAN PENGISIAN SPT WAJIB PAJAK BADAN. 6. Status Badan : (a) Pusat (b) Pusat (c) BUT DEPARTEMEN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Lampiran 1 SE Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-12/PJ.7/1995 Tanggal : 26 Juni 1995 LEMBAR ISIAN HASIL PEMERIKSAAN PROGRAM PENGKAJIAN PENGISIAN SPT WAJIB

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak 2.1.1 Menurut Para Ahli a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT /PP/M.VIB/12/2014. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23. Tahun Pajak : 2010

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT /PP/M.VIB/12/2014. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23. Tahun Pajak : 2010 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT- 58582/PP/M.VIB/12/2014 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 23 Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci