Karya ilmiah ini didedikasikan kepada: Ayahanda dan Bunda tercinta.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Karya ilmiah ini didedikasikan kepada: Ayahanda dan Bunda tercinta."

Transkripsi

1 Karya ilmiah ini didedikasikan kepada: Ayahanda dan Bunda tercinta.

2 PREFERENSI HABITAT BERBIAK KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR FERI IRAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) di Kampus IPB Darmaga Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks serta dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2008 Feri Irawan NIM. E

4 RINGKASAN FERI IRAWAN. E Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Dibawah Bimbingan MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO. Polypedates leucomystax termasuk famili Rhachoporidae yang dapat berasosiasi dengan kerusakan habitat. Jenis ini dapat ditemukan pada hampir semua tipe habitat, termasuk di kawasan kampus IPB. Kemampuan jenis ini beradaptasi terhadap kerusakan lingkungan dan mendiami berbagai jenis habitat di kampus, menjadi alasan utama jenis ini digunakan sebagai objek kajian penelitian untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap habitat tertentu, terutama dalam pemilihan lokasi berbiak sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik tapak habitat berbiak, mengklasifikasi habitat berbiak yang disukai hingga habitat yang kurang disukai dan menentukan faktor yang diduga mempengaruhi pemilihan habitat berbiak. Penelitian dilakukan di kawasan Kampus IPB pada 12 genangan air buatan berupa kolam/saluran air. Metode VES dengan teknik randomize walk design selama 2 jam dan pencatatan jumlah suara di sekitar lokasi berbiak digunakan untuk pengambilan data katak dewasa. Pengambilan data berudu menggunakan teknik removal sampling dengan perhitungan secara sensus selama 60 menit yang dilakukan pada malam hari. Penelitian berlangsung pada bulan Februari hingga April 2007 dan dilanjutkan pada bulan Januari hingga Maret Data karakteristik habitat berbiak dianalisis menggunakan uji khikuadrat dan koefisien korelasi spearman-rho pada taraf nyata 0,05 sedangkan preferensi habitat menggunakan indeks preferensi habitat (Pi) Duncan (1983). Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan SPSS.13 for Windows. Habitat berbiak P. leucomystax di kawasan Kampus IPB Darmaga memiliki persentase tutupan genangan 0 96 % dengan temperatur udara rata-rata 22 o 30 o C, kelembaban nisbi udara rata-rata 76 92% dan suhu air rata-rata 24 o 29 o C. Habitat berbiak diklasifikasi menjadi tipe genangan air permanen dan temporer. Uji khi-kuadrat terhadap luas permukaan, kedalaman air, tutupan genangan, kualitas air dan iklim mikro (suhu dan kelembaban) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua tipe genangan air (p > 0,05). Selama pengamatan ditemukan 31 buah sarang, 927 ekor berudu dan 247 ekor katak dewasa. Lokasi yang paling disukai sebagai lokasi peletakan sarang adalah saluran air sebelah timur GWW (pi = 0,86), kolam kecil di IPAL Fateta (pi = 0,81) dan kolam utama taman rektorat (pi = 0,80), sedangkan lokasi yang tidak ditemukan sarang, berudu maupun katak dewasa adalah parit di sebelah selatan arboretum Fahutan dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta. Faktor yang diduga mempengaruhi pemilihan lokasi berbiak oleh P. leucomystax adalah keberadaan predator dan parasit, pengelolaan kolam, dan keberadaan jenis anura lainnya pada habitat berbiak yang sama. Keberadaan ikan, parasitisme oleh larva diptera dan pengelolaan kolam oleh manusia merupakan faktor yang paling berperan dalam pemilihan lokasi dan kesuksesan berbiak P. leucomystax, sedangkan pengaruh keberadaan jenis anura lainnya belum diketahui secara jelas. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi pemilihan habitat berbiak oleh P. leucomystax. Kata kunci: habitat berbiak, preferensi, Katak pohon bergaris

5 SUMMARY FERI IRAWAN. E Breeding Site Preference of Striped Tree Frog, Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829, among Artificial Ponds in the Bogor Institute of Agriculture Campus Darmaga Bogor. Under Supervision of MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO. Polypedates leucomystax is one of Rhacophorid species listed as Least Concern (LC) in the IUCN Red List due to its wide distribution, tolerance of a broad range of habitats, and presumed large population. This species adapts well and appears to be dependent on human activities to create suitable habitats, which make it can be found easily in the human habitat (such as agricultural areas, ditches, artificial ponds and lakes, gardens, even in houses) such as Bogor Agricultural University (BAU) Darmaga Campus area. Currently there is no clear data explained how this species to be one of species a large population in this area besides B. melanostictus and reproduction strategy be able to significant factor influence it. The aims of the study were to identify characteristics of P. leucomystax s breeding sites, classify the water bodies preferred, and analyze the factors of the preference. Observations were made in twelve artificial breeding ponds, permanent and temporary ponds, on the Darmaga campus of BAU, about 9 km west of Bogor, West Java, at an elevation of m above sea level. I used VES with randomized-walk design in two-hour periods, recorded calls for adults around breeding ponds, and used removal sampling for 60 minutes for larvae. This study was conducted on two periods; preliminary study was done from February to April 2007, and monitoring was conducted on January to March Characteristics of P. leucomystax s breeding sites were calculated by chi-square statistics, spearman rank and regression analysis. The water bodies preferred were classified by habitat preference index Duncan (1983). Data analysis was conducted using SPSS.13 and Microsoft Excel for Windows For all tests, significance was detected if p < 0,05. P. leucomystax s breeding sites on the Campus Darmaga of BAU were covered by building and vegetation about 0 to 96% with the range temperatures was 22 o to 30 o C, humidity in 76 to 92% and water-temperature between 24 o to 29 o C. There was no clear effect of pond type on breeding site preference of P. leucomystax. Chi-square test of water depth, water-bodies cover, water quality and micro-climate (temperature and humidity) showed to be insignificant for both pond types. From twelve ponds, only two ponds did not have foam nest, tadpoles, or adult frogs. During the frog census survey, 31 foam nests, 972 tadpoles, and 247 adult frogs were observed from the twelve plots with the highest preference index (Pi) for foam nest was recorded in IPAL Fateta s small pool (pi = 0,86), GWW s puddle (pi = 0,81) and primary pool in Rektorat park (pi = 0,80), while the lowest for foam nest, tadpoles, or adult frogs were in ditch of arboretum Fahutan and Fateta. The factor that may reflect influences the preference such as predation risk, ponds management activity, and absence or presence of other frog species in the same habitat. In spite of, predation risk by fish and Dipteral maggots as well as pond management activities have important roles to guarantee successful tadpole metamorphosis. Furthermore, a more comprehensive study is needed to answer how much the factors influence breeding site preference of P.leucomystax. Keywords:breeding site, preference, Polypedates leucomystax,

6 PREFERENSI HABITAT BERBIAK KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR FERI IRAWAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

7 Judul : Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) di Kampus IPB Darmaga Bogor Nama NIM : Feri Irawan : E Ketua, Menyetujui, Komisi Pembimbing Anggota, Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP Tanggal lulus :

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Juli 1985 di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat, dari pasangan M. Fauzan dan Eliyati. Pendidikan formal ditempuh pada SD Negeri 1 Semitau selama 4 tahun dan kemudian dilanjutkan di Madrasyah Ibtidaiyah Darussalam Putussibau hingga lulus pada tahun Pendidikan menengah pertama ditempuh di SLTP Negeri 1 Putussibau dan lulus pada tahun Penulis menamatkan jenjang pendidikan menengah pada tahun 2003 di SMU Negeri 7 Pontianak dan memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan pilihan mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Penulis aktif sebagai pengurus HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi), Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka IPB, Lensa Fotografi, Volunter Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia, dan tergabung ke dalam Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH). Pada tahun 2005, penulis mengikuti kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di TN Betung Kerihun, Kalimantan Barat. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang-Kawah Kamojang sekaligus melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada bulan Juli Agustus Bulan Juni Juli 2007, penulis mengikuti Conservation Leadership Programme Training serta International Annual Meeting of Society for Conservation Biology di Port Elizabeth, Afrika Selatan. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan penelitian konservasi herpetofauna dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan selama 6 bulan. Penulis melakukan penelitian karya ilmiah yang berjudul Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) di Kampus IPB Darmaga Bogor dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.

9 KATA PENGANTAR Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga skripsi penelitian berjudul Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenghorst 1829) di Kampus IPB Darmaga Bogor dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Polypedates leucomystax merupakan salah satu jenis katak pohon dari famili Rhacophoridae yang dapat ditemukan dengan mudah di area Kampus IPB Darmaga. Jenis ini dikategorikan sebagai spesies dengan kondisi populasi yang kurang mengkhawatirkan (Least Concern) berdasarkan Red List Book IUCN tahun 2004 karena sebaran populasinya yang luas dan cenderung stabil. Kemampuan jenis ini beradaptasi terhadap kerusakan lingkungan dan mendiami berbagai jenis habitat di kampus, menjadi alasan utama jenis ini digunakan sebagai objek kajian penelitian untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap habitat tertentu, terutama dalam pemilihan lokasi berbiak sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan populasi. Pengumpulan data lapangan meliputi karakteristik fisik dan kualitas genangan air, jumlah individu dewasa, sarang maupun berudu P. leucomystax yang teramati pada beberapa genangan air atau kolam di wilayah Kampus IPB Darmaga. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan dan ketidak-sempurnaan baik dalam hal materi maupun sistematika penyajian. Selanjutnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya dan memotivasi peneliti-peneliti konservasi untuk terus berjuang menyelamatkan kekayaan alam yang tersisa. Bogor, Agustus 2008 Feri Irawan NIM. E

10 UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terhaturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman. Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayah dan Bunda (M. Fauzan dan Eliyati), kedua adik tersayang (Asri dan Fitri) dan Keluarga Besar H. Bulkani tercinta yang selalu mendoakan, mendukung serta memberikan motivasi baik secara moral dan materil selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. 2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kesabaran dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji komprehensif atas koreksi, saran dan nasehat kepada penulis. 4. Tyas Kumala Putri dan Rita Yulisa atas segala dukungan, waktu, semangat dan nasihat yang diberikan kepada penulis. 5. The Herpet Boys (Yazid, Luthfi, Boby, Lubis, Reza) dan 'The Frog Team Crew' (Mba Inggar, A Wempy, Neneng, Dian, Ririn, Rima) atas semangat, dorongan dan persaudaraan dan pengalaman selama di kampus dan di lapangan. 6. Uni Reren, Karlina F Kartika, S.Hut, Tyas D Djuanda, S.Hut, Maryati, S.Hut, Yohana Elsi Wello atas bantuan, semangat, dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi. 7. Teman-teman KSHE angkatan komodo (2003/40) atas pembelajaran, semangat, dan motivasi selama proses belajar. 8. Seluruh penghuni Istana Rakyat Asrama Sylvasari IPB atas persaudaraan dan pembelajaran selama ini.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Morfologi Ekologi Habitat dan Penyebaran... 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Kerja Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data Metode Pengambilan Data Analisis Data IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Lokasi Pengambilan Sampel Kondisi Fisik Kondisi Biotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Habitat Berbiak Polypedates leucomystax Kondisi fisik genangan air Beberapa parameter kualitas air Kondisi suhu dan kelembaban nisbi udara Ancaman populasi yang teramati di lapangan Preferensi Habitat Berbiak Polypedates leucomystax Total individu dewasa yang teramati Total sarang dan individu berudu yang teramati Habitat berbiak yang disukai... 39

12 Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN (lanjutan) 5.3. Faktor yang Mempengaruhi Preferensi Habitat Berbiak Pengaruh faktor abiotik Pengaruh faktor biotik Pembahasan Karakteristik habitat berbiak katak pohon bergaris Preferensi habitat berbiak katak pohon bergaris Upaya konservasi Polypedates leucomystax di Kampus IPB Darmaga VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

13 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Perbandingan ukuran panjang tubuh/svl katak pohon bergaris Posisi, kode, dan kategori genangan air lokasi pengambilan sampel Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Komponen data penelitian Karakteristik habitat berbiak di Kawasan Kampus IPB Beberapa parameter kualitas air pada habitat genangan air permanen dan sementara Kriteria mutu air berdasarkan PP. No.82 Tahun Ancaman populasi katak pohon bergaris yang teramati di lokasi pengamatan Jenis anura lainnya yang teramati di lokasi pengamatan Total individu yang teramati pada setiap lokasi pengambilan sampel Hasil analisis korelasi Spearman s rho Pengaruh kadar DO dalam air terhadap tumbuh-kembang ikan Karakteristik lokasi pengamatan yang disukai sebagai lokasi berbiak oleh P. leucomystax iii

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Perbedaan corak warna pada (a) individu dewasa dan (b) individu muda P. leucomystax Morfologi kaki; (a) bentuk kaki depan katak pohon bergaris, (b) selaput yang tidak penuh pada keempat jari tangan Morfologi tubuh berudu; (a) tampak samping (lateral), (b) tampak atas (dorsal) berudu P. leucomystax Peta penyebaran katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax) Peta lokasi penelitian di areal Kampus IPB Darmaga Lokasi pengambilan sampel di Taman Rektorat IPB; (a) kolam utama, (b) kolam 3 (kanan), (c) kolam 2 (kiri) Lokasi pengambilan sampel di IPAL Fakultas Teknik Pertanian; (a) kondisi IPAL, (b) kolam besar (Pp.6), (c) kolam sedang (Pp.4), (d) kolam kecil (Pp.5) Lokasi pengambilan sampel di Fakultas Kehutanan; (a) Arboretum Fahutan, (b) Lab. Lapang Konservasi Tumbuhan Fahutan Lokasi pengambilan sampel di lokasi genangan sementara lainnya; (a) saluran air di samping Audit Toyyib Faperta, (b) saluran air di kirikanan Gymnasium, (c) saluran air di sebelah timur GWW, (d) saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta Rata-rata jumlah curah hujan di wilayah Darmaga 10 tahun terkhir ( ) dam curah hujan sepanjang tahun Kondisi suhu udara rata-rata wilayah Darmaga pada bulan Januari 2007 Januari Kondisi suhu udara rata-rata pada tiga periode waktu di setiap lokasi pengambilan sampel Kondisi suhu air rata-rata pada tiga periode waktu di setiap lokasi pengambilan sampel Kondisi kelembaban nisbi udara rata-rata pada tiga periode waktu di setiap lokasi pengambilan sampel Perbedaan jumlah individu jantan, betina, dan anakan yang teramati pada tipe genangan permanen dan temporer Perbedaan jumlah sarang yang teramati pada tipe genangan air permanen dan temporer Jumlah sarang yang teramati pada setiap lokasi pengamatan Jumlah berudu yang teramati pada setiap lokasi pengamatan iv

15 No. Halaman 19. Nilai Indeks Preferensi Habitat berbiak berdasarkan proporsi jumlah katak jantan dan betina yang teramati pada setiap lokasi pengamatan Nilai Indeks Preferensi Habitat berbiak berdasarkan proporsi jumlah sarang dan berudu yang teramati pada setiap lokasi pengamatan Keeratan hubungan antara jumlah individu jantan dan kondisi suhu udara rata-rata pada malam hari Keeratan hubungan antara jumlah individu jantan kelembaban udara rata-rata pada pagi hari Keeratan hubungan antara jumlah berudu dan kondisi suhu udara ratarata pada siang hari Keeratan hubungan antara jumlah berudu dan kelembaban udara ratarata pada siang hari Curah hujan rata-rata bulanan dalam 3 tahun terakhir ( ) Keeratan hubungan antara persentase tutupan genangan dan suhu air pada siang hari Perbandingan jumlah sarang dan berudu yang teramati pada genangan air dengan nilai Pi untuk lokasi peletakan sarang tertinggi Preservasi P. leucomystax sebagai upya mempelajari bio-ekologi di laboratoorium v

16 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Ciri morfologi Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829 pada tingkatan berudu dan dewasa Tahapan perkembang-biakan berudu berdasarkan stage Gosner Data curah hujan selam 10 tahun terakhir ( ) dan tahun 2007 di Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Data klimatologi sepanjang tahun 2007 dan Januari 2008 di Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Data kondisi suhu udara, suhu air dan kelembaban nisbi pada tiga periode waktu di lokasi pengambilan sampel selama kegiatan penelitian berlangsung Tabel transformasi Arcsin Indeks preferensi habitat katak pohon bergaris (Duncan 1983) Uji khi-kuadrat luas permukaan, kedalaman air, dan tutupan genangan, suhu dan kelembaban nisbi di kedua tipe genangan Uji khi-kuadrat parameter kualitas air Uji khi-kuadrat jumlah individu dewasa dan berudu P. leucomystax yang teramati pada kedua tipe genangan Foto specimen larva odonata, larva dipteral, dan beberapa jenis anura lainnya yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel vi

17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan dan pembangunan sarana prasarana kegiatan perkuliahan di Kampus IPB Darmaga saat ini, baik secara langsung maupun tidak, akan memberikan dampak bagi lingkungan fisik maupun biologi. Kekhawatiran tersebut lebih ditekankan pada kelangsungan hidup satwaliar yang keberadaannya patut diperhatikan sebagai bagian dari kehidupan kampus (Hernowo dkk 1991). Terkait hal tersebut, untuk memahami peran suatu jenis secara ekologi dan memprediksikan pengaruh perubahan habitat terhadap suatu jenis serta dalam rangka mendukung kegiatan pengelolaan maka diperlukan pengetahuan mengenai tingkat kesukaan habitat dan penyebaran suatu jenis pada luasan area tertentu (Beard et al. 2003; Parris 2002). Salah satu satwaliar yang ada di kawasan Kampus IPB Darmaga adalah amfibi dari ordo anura. Siklus kehidupan amfibi identik dengan lingkungan air atau lahan basah. Amfibi memerlukan kelembaban yang cukup untuk menjaga dan melindungi tubuhnya dari kekeringan. Meskipun demikian, amfibi menghuni habitat yang bervariasi, dari genangan air di tanah, dekat aliran sungai, permukiman hingga ke pepohonan yang tinggi di hutan. Amfibi secara umum dapat dikelompokkan menjadi amfibi yang hidup di habitat yang berkaitan dengan kegiatan manusia dan di atas pepohonan di hutan. Kategori habitat kedua didiami terutama oleh suku katak pohon Rhacophoridae (Iskandar 1998). Kawasan Kampus IPB Darmaga memiliki 13 jenis amfibi ordo anura dari 4 famili, salah satu diantaranya adalah famili Rhacophoridae (katak pohon). Terdapat dua jenis katak dari famili Rhacophoridae ini, yaitu Polypedates leucomystax dan Rhacophorus reinwardtii. Keduanya jenis ini memiliki karakteristik berbeda, baik yang berkaitan dengan pola penyebaran populasi maupun pemilihan lokasi berbiak. P. leucomystax memiliki pola sebaran populasi yang lebih luas dan mudah ditemukan di sekitar bangunan atau gedung daripada R. Reinwardti yang hanya ditemukan di areal Arboretum Fakultas Kehutanan dan Arboretum Konservasi Tumbuhan Obat (Yazid 2006; Yuliana 2000).

18 2 P. leucomystax merupakan jenis yang dapat ditemukan pada hampir semua tipe habitat dan jarang ditemukan pada habitat hutan primer, sedangkan 3 jenis lainnya, yakni Polypedates colleti, P. macrotis, dan P. otilophus, hanya ditemukan di habitat hutan sekunder atau hutan primer di pulau Sumatera dan Kalimantan (Mistar 2003; Inger & Stuebing 1997). Jenis ini dikategorikan sebagai spesies dengan kondisi populasi yang kurang mengkhawatirkan (Least Concern) karena sebaran populasi yang luas dan cenderung stabil (Diesmos et al. 2004). Meskipun demikian, pengetahuan mengenai bio-ekologi, populasi, genetik P. leucomystax masih minim. Adapun beberapa penelitian yang telah dipublikasikan mengenai jenis katak ini berkenaan dengan parasit dan kajian umum mengenai sebaran ekologis serta biologi (Kuzmin et al. 2005; Leong & Chou 1999; Iskandar 1998; Roy 1997; Inger & Stuebing 1997; Berry 1975; Liem 1971; Schijfsma 1932). Hasil penelitian Sholihat (2007) menyebutkan sumber air dan keberadaan vegetasi di Kampus IPB merupakan komponen penting bagi siklus kehidupan P. leucomystax. Katak jantan lebih banyak ditemukan dan beraktivitas di dekat kolam-kolam atau genangan air di area kampus sedangkan katak betina sangat jarang ditemukan di dekat sumber air, kecuali pada saat aktivitas kawin (amplexus) berlangsung. Kemampuan jenis ini beradaptasi terhadap kerusakan lingkungan dan mendiami berbagai jenis habitat serta mudah ditemukan di area kampus, menjadi alasan utama jenis ini digunakan sebagai objek kajian penelitian untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap habitat tertentu, terutama dalam pemilihan lokasi berbiak sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan populasi. Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai karakteristik habitat berbiak yang disukai oleh P. leucomystax sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan dan pengelolaan lingkungan kampus ke depannya.

19 Tujuan Penelitian Penelitian tentang preferensi habitat berbiak P. leucomystax ini bertujuan untuk: 1). Mengidentifikasi karakteristik habitat berbiak P. leucomystax di wilayah Kampus. 2). Mengklasifikasi habitat berbiak, dari habitat yang paling disukai hingga habitat yang tidak disukai. 3). Menentukan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi preferensi habitat berbiak P. leucomystax Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai bio-ekologi P. leucomystax yang telah ada dan bahan pertimbangan untuk kegiatan pengelolaan habitat satwaliar dalam rangka pencapaian kampus konservasi. Selain itu, juga diharapkan dapat membuka wawasan dan memacu semangat untuk dapat mengenal dan mengoptimalkan peran keanekaragaman hayati yang ada di Kampus IPB Darmaga Bogor.

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Marga Polypedates terdiri atas 13 jenis dan hanya ada empat jenis yang terdapat di Indonesia. Salah satu dari keempat jenis itu, yang umum ditemukan di Pulau Jawa adalah katak pohon bergaris Polypedates leucomystax (Iskandar 1998). Berdasarkan sistematika taksonomi, jenis katak ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Kelas Amphibia, Ordo Anura, Famili Rhacophoridae, Genus Polypedates, Spesies Polypedates leucomystax Gravenhorst Katak ini juga dikenal dengan nama umum common tree frog, four-lined tree frog, dan white-lipped tree frog (Inggris). Katak P. leucomystax memiliki nama sinonim Polypedates rugosus Duméril & Bibron 1841 dan Polypedates teraiensis Dubois 1987 (Diesmos et al. 2004). Genus Polypedates termasuk ke dalam Famili Rhachophoridae. Menurut Iskandar (1998), di Indonesia Rhacophoridae terbagi kedalam 5 (lima) genus yakni: Nyctixalus (2 jenis), Philautus (17 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis). Di Pulau Jawa hanya ditemukan 8 jenis, sedangkan di wilayah Kampus IPB Darmaga dapat ditemukan 2 jenis katak pohon yaitu Rhacophorus reinwardtii dan Polypedates leucomystax (Yuliana 2000) Morfologi Polypedates leucomystax dewasa memiliki perberdaan warna tubuh dengan individu muda. Individu dewasa umumnya berwarna coklat kekuningan, dengan satu warna atau bintik hitam. Katak dewasa memiliki enam atau empat garis longitudinal yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh (Iskandar 1998; Berry 1975) sedangkan individu muda memiliki warna tubuh yang pudar. Perbedaan tampilan warna tubuh katak pohon bergaris berumur dewasa dengan muda seperti disajikan pada Gambar 1.

21 5 (a) (b) Gambar 1. Perbedaan warna dan corak kulit pada katak pohon dewasa dengan muda; (a) individu dewasa dan (b) individu muda Umumnya amfibi, khususnya ordo anura, memiliki ukuran tubuh individu jantan lebih kecil dibandingkan individu betinanya. Berdasarkan beberapa pustaka ukuran panjang tubuh (snout vent lenght = SVL) P. leucomystax disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan ukuran panjang tubuh/ SVL katak pohon bergaris. Pencacah Snout Vent Lenght (mm) Jantan Betina Jantan & Betina Liem (1971) 48,2 55,0 65,8 - Berry (1975) Inger & Stuebing (1997) Iskandar (1998) Yuliana (2000) ,6 67,3 Sholihat (2007) 48,8 54,5 70,9 88,9 - P. leucomystax dewasa dideskripsikan sebagai katak dengan ukuran sedang, tubuh yang ramping dan panjang. Sisi mulut meruncing dan berkulit halus, kecuali pada garis yang membengkok di luar tympanum. Kaki ramping dengan jari tangan dan kaki melebar dan bagian ujung rata. Jari tangan setengahnya berselaput dan jari kaki hampir sepenuhnya berselaput (Gambar 2). Kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Terkstur kulit sepenuhnya halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan. Bagian bawah berbintil granular yang jelas (Iskandar 1998; Inger & Stuebing 1997).

22 6 Pasangan yang sedang kawin sering berasal dari bentuk warna yang berbeda. Bentuk warna individu pertama terdiri atas individu berwarna coklat gelap atau coklat kekuningan dengan empat atau enam garis gelap membentang dari kepala sampai selangkangan. Bentuk warna individu kedua biasanya coklat keabu-abuan gelap atau kekuningan dengan bercak yang lebih gelap tersebar di seluruh tubuh (Iskandar 1998). (a) (b) Gambar 2. (a) Bentuk kaki depan Katak pohon bergaris; (b) selaput yang tidak penuh pada keempat jari tangan (Sumber Berry 1875) Menurut Leong & Chou (1999), berudu P. leucomystax memiliki warna kepala-tubuh dan ekor kecoklatan hingga kuning gelap, terkadang bercorak gelap. Bagian sirip ekor terkadang berpigmen coklat atau kehitaman. Pada moncong mulut terdapat spot (titik) berwarna putih terang dan terdapat corak gelap dari arah mata ke ujung moncong (Gambar 3). Gambar 3. Berudu Katak-pohon bergaris; (a) Tampak samping, lateral dan (b) Tampak atas, dorsal (Sumber Leong & Chou 1999)

23 Ekologi Perkembang-biakan amfibi merupakan suatu proses perubahan bentuk morfologi di setiap perkembangannya hingga menjadi individu muda. Kebanyakan spesies amfibi hanya berkembang-biak selama waktu tertentu dalam satu tahun dan biasanya pada musim tertentu pula (Halliday & Adler 2000). Katak P. leucomystax merupakan jenis katak yang bisa hidup di habitat terganggu bahkan seringkali ditemukan di sekitar hunian manusia yang terdapat genangan air, tetapi jarang ditemukan di hutan primer. Seperti halnya jenis amfibi lainnya, siklus hidupnya sangat berkaitan erat dengan ketersediaan air tawar, baik untuk tempat hidup, mencari makan, dan juga berkembang-biak (Inger & Stuebing 1997; Berry 1975). Katak pada umumnya melakukan perkawinan dan proses fertilisasi secara eksternal yang dikenal dengan istilah amplexus. Pada saat kawin, katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman & Trueb 1994; Goin et al. 1978). Pilihan betina atas individu jantan sebagai pasangan kawin ditentukan oleh kecocokan frekuensi suara, ukuran tubuh, umur dan kondisi fisik katak jantan (Eggert & Guyetant 2003; Schiesari et al. 2003; Morrison et al. 2001). Sebagian besar amfibi bertelur pada air tawar atau di darat (oviparous). Pemilihan lokasi peletakan telur oleh amfibi sangat beragam dan tergantung pada masing-masing jenis katak. Telur dapat diletakkan di tempat terbuka, berada di atas air (permanen atau sementara), di air yang mengalir, di bawah batu atau kayu lapuk, di lubang pohon atau di daun yang terdapat air menggenang (Goin et al. 1978). Strategi berbiak ini sangat tergantung pada jenis dan kondisi habitatnya. P. leucomystax dapat bertelur butir yang berada dalam sarang berupa busa. Pasangan katak ini biasanya membuat sarang berbusa di atas tetumbuhan di atas kolam. Beberapa diantaranya menempel pada bagian bawah semak atau pada cabang pohon yang tinggi di atas genangan air semi-permanen (Leong & Chou 1999). Namun pada kondisi tidak terdapat vegetasi, sarang diletakkan di bagian pinggir kolam yang berbatasan langsung dengan air. Setelah menetas, berudu akan bergerak menggeliat dan membuat busa mencair, membuat jalan masuk ke bagian bawahnya dan jatuh ke kolam. Proses ini biasanya dibantu oleh air hujan (Berry 1975).

24 8 Semua amfibi merupakan satwa karnivora. Pakan katak dewasa antara lain adalah serangga, cacing, dan arthropoda. Untuk jenis katak yang berukuran lebih besar, makanannya mencakup ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda (Halliday & Adler 2000; Iskandar 1998). Namun pada saat fase berudu, hampir semua jenis katak merupakan herbivora (Iskandar 1998). Amfibi tidak memiliki bentuk pertahanan yang aktif. Sebagian besar Anura melompat atau berenang untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis tertentu memiliki warna yang menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi (kamuflase) dari predator (Iskandar 1998). Beberapa jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada dart-poison frogs (Dendrobates spp.) di Amerika Selatan dan jenis dari famili Bufonidae (Halliday & Adler 2000; Iskandar 1998) Habitat dan Penyebaran P. leucomystax sering ditemukan di antara tetumbuhan atau di sekitar rawa dan hutan sekunder bekas tebangan (Iskandar 1998), hutan terganggu, areal pertanian, kebun (Lim & Lim 1992), hutan sub-tropis, lahan basah, daerah permukiman, padang rumput, pantai, dan semak belukar (Diesmos et al. 2004). Menurut Schijfsma (1932), di Pulau Jawa P. leucomystax dapat ditemukan di daerah persawahan, kolam, serta genangan air yang tidak mengalir lainnya. Penyebaran populasi P. leucomystax di dunia sangat luas. Katak ini dapat ditemukan di India, Cina Selatan, Indo-Cina, Filipina, Nicobar, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Peninsular Malaysia, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Lombok, Sumbawa Sumba, Flores, Timor Timur, dan Irian Jaya. Penyebaran katak ini di Irian Jaya merupakan hasil introduksi (Iskandar 1998). Peta sebaran jenis katak ini seperti disajikan pada Gambar 4. Di wilayah Kampus IPB Darmaga, P. leucomystax dapat ditemukan di sekitar Sawah Baru, Arboretum Fakultas Kehutanan, hutan percobaan, dan persawahan di Cikabayan (Yuliana 2000). Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan pada bulan November Desember 2006, jenis katak ini juga dapat ditemukan di areal lapangan bola voli Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Konservasi Tumbuhan Fakultas Kehutanan, Plaza Rektorat IPB, Fakultas Peternakan, Fakultas Perikanan

25 9 dan Ilmu Kelautan, Komplek Perumahan Dosen, Asrama Sylvasari, Kompleks Masjid Al-Hurriyyah, Gedung Graha Widya Wisuda dan Techno Park. Jenis ini sering ditemukan menempel di dinding tembok, daun, cabang atau bagian tumbuhan lainnya pada ketinggian kurang dari 2 m di atas permukaan tanah bahkan juga ditemukan di dalam pipa paralon dan saluran air (Yuliana 2000; Sholihat 2007). Gambar 4. Peta penyebaran Katak-pohon bergaris (Polypedates leucomystax) (Sumber: IUCN 2004)

26 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kampus IPB Darmaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada bulan Februari hingga April 2007 dan tahapan kedua dilakukan pada bulan Januari hingga awal bulan Maret Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dalam tiga periode waktu. Pengambilan data habitat (tutupan genangan, luas genangan, kedalaman air, dan kualitas air) dilakukan pada siang hari sedangkan pengambilan data iklim mikro (suhu udara, suhu air, dan kelembaban nisbi) dilakukan pada pagi ( WIB), siang ( WIB) dan malam hari ( WIB). Kegiatan pengambilan sampel katak dewasa dan berudu dilakukan pada malam hari. 1 : Gambar 5. Peta lokasi penelitian di areal Kampus IPB Darmaga (Sumber: Google earth 2008) Pengambilan sampel dilakukan di 12 tampungan/genangan air yang terbagi dalam 2 tipe, yakni tampungan air permanen dan temporer. Penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) berdasarkan hasil penelitian Yuliana (2000), Yazid (2006), dan penelitian pendahuluan (Desember 2006 Januari 2007). Posisi, kode, dan kategori genangan disajikan pada Tabel 2.

27 11 Tabel 2. Posisi, kode, dan kategori genangan air lokasi pengambilan sampel Lokasi pengambilan No. sampel Genangan Permanen 1. Kolam Utama Taman Rektorat 2. Kolam 2 (kiri) Taman Rektorat 3. Kolam 3 (kanan) Taman Rektorat 4. Kolam (sedang) IPAL-Fateta 5. Kolam (kecil) IPAL-Fateta 6. Kolam (besar) IPAL-Fateta Genangan Temporer 1. Saluran air (selatan) Arboretum Fahutan 2. Lab. Konservasi Tumbuhan Fahutan 3. Saluran air Audit Toyyib-Faperta 4. Saluran air Gymnasium 5. Saluran air (timur) Graha Widya Wisuda 6. Saluran air (barat) Lap. Voli Fateta dpl = di atas permukaan laut Kode Pp.1 Pp.2 Pp.3 Pp.4 Pp.5 Pp.6 Tp.1 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Tp.6 Koordinat S E S E S E S E S E S E S E S E S E S E S E S E Ketinggian m dpl Kategori genangan 213 Artifisial 209 Artifisial 209 Artifisial 207 Artifisial 207 Artifisial 207 Artifisial 212 Artifisial 213 Artifisial 211 Artifisial 215 Artifisial 213 Artifisial 209 Artifisial 3.2. Ruang Lingkup Penelitian Polypedates leucomystax merupakan salah satu jenis anura dari keluarga Rhacophoridae yang mudah dijumpai di sekitar kawasan pemukiman yang bervegetasi, termasuk di Kampus IPB Darmaga. Jenis ini diketahui memiliki kemampuan beradaptasi terhadap kerusakan habitat dan belum diketahui secara spesifik ancaman yang dapat menganggu kestabilan populasi. Sehingga jenis ini termasuk jenis dengan populasi yang melimpah setelah kodok buduk (Bufo melanostictus) di Kampus IPB Darmaga.

28 12 Kawasan Kampus IPB termasuk kategori kawasan yang berada di dataran rendah dengan ketinggian m dpl dan memiliki tipe iklim A. Dahulunya penutupan lahan di Kampus IPB didominasi oleh perkebunan karet (Hevea brasiliensis) yang kemudian dikonversi menjadi kawasan pendidikan (Mulyani 1985). Namun kini, terjadi perubahan penutupan lahan oleh unsur mikrohabitat yang semakin beragam akibat pola pengembangan fasilitas dan sarana perkuliahan di kawasan kampus IPB. Unsur mikrohabitat yang paling mendominasi adalah mikrohabitat pepohonan dan bangunan gedung-perumahan (Kurnia 2003). Kondisi ini sangat ideal bagi jenis P. leucomystax untuk hidup dan berkembangbiak. Dengan adanya pembangunan saluran air, wadah penampung air, kolam-kolam percobaan, dan cekungan tanah pada jalur jalan tanah memberikan peluang bagi katak dewasa untuk meletakkan telur pada dinding atau tumbuhan di atas genangan air sebagai lokasi berbiak. Dengan demikian, kawasan Kampus IPB Darmaga dapat dijadikan sebagai lokasi penelitian untuk mempelajari preferensi habitat berbiak P. leucomystax Kerangka Kerja Penelitian Penelitian ini mengkaji tingkat kesukaan habitat untuk kepentingan berbiak dan meletakan telur dari 12 lokasi berbiak yang diketahui berdasarkan penelitian pendahuluan. Selanjutnya dilakukan identifikasi karakteristik habitat berbiak yang mencakup kondisi iklim mikro (suhu dan kelembaban nisbi), penutupan genangan, kualitas air (DO, BOD, COD, kekeruhan, TDS, Daya Hantar Listrik, ph), suhu air, luasan genangan air, dan kedalaman air. Keberadaan jenis lain dan predator alami juga dipertimbangkan dalam hal ini. Preferensi habitat berbiak dirunutkan mulai dari habitat yang paling disukai hingga habitat yang kurang disukai. Asumsi yang digunakan bahwa suatu habitat tersebut disukai oleh P. leucomystax sebagai habitat berbiak adalah besarnya nilai frekuensi perjumpaan sarang, populasi berudu yang melimpah, dan jumlah individu dewasa yang teramati, baik yang sedang kawin (amplexus) maupun tidak, per luas permukaan genangan air. Selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut terhadap faktor lingkungan yang dianggap mempengaruhi pemilihan habitat berbiak yang kemudian sebagai tempat tumbuh-kembang berudu katak.

29 Alat dan Bahan Alat dan bahan digunakan dalam kegiatan pengamatan katak dewasa dan berudu, pengumpulan spesimen dan identifikasi, pengamatan habitat dan dokumentasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian No. Alat dan Bahan Kegunaan A. Penandaan lokasi penelitian 1. Meteran (50m) Mengukur dimensi habitat berudu 2. Kompas Mengetahui posisi sarang 3. GPS Mengetahui koordinat lokasi penelitian 4. Pita tanda (flagging tape) Penanda lokasi pengamatan 5. Peta Menentukan lokasi plot penelitian B. Pengumpulan data dan identifikasi jenis 1. Senter dan baterai Alat penerangan 2. Kantong plastik Penampung sementara sampel 3. Spidol permanen Pelabelan pada kantong plastik 4. Jam Pengukur waktu 5. Alat tulis dan daftar isian Pencatatan data lapangan 6. Buku panduan identifikasi Mengidentifikasi jenis 7. Kaliper Mengukur panjang tubuh/ SVL sampel 8. Timbangan (5, 10, 30, 60 g) Mengukur berat sampel 9. Jaring berudu/lamit Menangkap sampel berudu 10. Formalin dan Alkohol 70% Mengawetkan spesimen 11. Tabung spesimen Wadah spesimen yang telah diawetkan 12. Kapas dan alat suntik Perlengkapan preservasi 13. Kertas label dan benang Pelabelan spesimen 14. Kaca pembesar (lup) Pengamatan morfologi sampel 15. Akuarium Wadah uji coba sampel di laboratorium C. Pengukuran parameter habitat 1. Termometer digital Pengukuran suhu air dan udara 2. Kertas ph Pengukuran tingkat keasaman air 3. Higrometer Pengukuran kelembaban relatif 4. Botol plastik 600 ml Wadah sampel air D. Dokumentasi 1. Kamera digital dan baterai Pengambilan foto Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah fisik habitat, kondisi sarang, berudu dan katak dewasa P. leucomystax. Dikaji pula anura jenis lain dan predator alami pada habitat yang sama.

30 Jenis Data Data yang dikumpulkan pada penelitian di lapangan dikelompokan sebagai berikut: (a) data primer, mencakup karakteristik habitat berbiak, frekuensi perjumpaan katak dewasa P. leucomystax, jumlah sarang dan jumlah berudu yang teramati; (b) data sekunder, meliputi jenis berudu dan anura lain, predator alami, kondisi iklim lokasi penelitian dan hasil penelitian sebelumnya. Komponen data yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Komponen data penelitian Kondisi fisik-kimia genangan Data katak dewasa Frekuensi sarang & data berudu Cover (%) Lokasi Lokasi Kedalaman air (m) Jenis Kondisi sarang Luas permukaan (m2) Snout vent length (SVL) Tanggal penemuan Suhu air (oc) Aktivitas saat ditemukan Dimensi sarang Suhu udara (0C) Waktu penemuan Bobot sarang Kelembaban relatif (%) Cuaca Jumlah telur DO (mg/l) Sex Jenis berudu BOD (mg/l) Weight (bobot) Jumlah berudu COD (mg/l) Posisi horisontal Predator alami dari badan air Conductivity (μ S/cm) Posisi vertikal dari badan air/ tanah Kekeruhan (NTU) Subtrat TDS (mg/l) Kecacatan ph 3.6. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian mengacu pada Heyer et.al. (1994), yakni dengan menggunakan metode Visual Encouter Survey (VES) untuk katak dewasa di sekitar lokasi ditemukan habitat berudu dan removal methods untuk mengamati populasi berudu. Prosedur pengambilan data diuraikan sebagai berikut: 1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui habitat berbiak P. leucomystax dan permasalahannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat ditentukan penempatan plot pengamatan.

31 15 Pengelompokan plot pengamatan berdasarkan tipe genangan air dan variasi karakteristik habitat. Penentuan koordinat plot dilakukan dengan menggunakan alat GPS dan kompas. 2. Pengumpulan data karakteristik habitat berbiak Data habitat yang kumpulkan mencakup pengukuran luas genangan (panjang, lebar, diameter, tinggi), suhu air dan udara, kelembaban relatif, kedalaman air, ph air, persentase penutupan genangan, dan beberapa parameter kualitas air (DO, BOD, COD, kekeruhan, TDS dan daya hantar listrik). Pengukuran faktor lingkungan ini dilakukan dengan asumsi perbedaan kondisi fisik dan kualitas genangan air menyebabkan perbedaan kondisi mikro-habitat yang berpengaruh juga pada frekuensi penemuan sarang, berudu dan individu dewasa P. leucomystax. Pengukuran suhu air, suhu udara, dan kelembaban relatif dilakukan di waktu pagi ( WIB), siang ( WIB) dan malam ( WIB) pada setiap lokasi pengamatan dengan 3 kali ulangan per lokasi. Pengukuran beberapa parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dengan sampel air sebanyak 600 ml. 3. Pengumpulan data P. leucomystax dewasa Pengumpulan data ini dilakukan pada malam hari ( WIB, tergantung kondisi cuaca) dengan 3 kali ulangan pada setiap lokasi pengamatan. Pencarian individu katak dewasa dilakukan di sekitar lokasi genangan dengan pengamatan langsung maupun pencatatan jumlah suara yang terdengar. Metode ini merupakan teknik yang paling efektif untuk mengamati lokasi berbiak dan sebaran spasial populasi (Parris 1999). Pengamatan malam hari melibatkan 2-3 orang yang berjalan perlahan di sekitar lokasi ditemukannya sarang ataupun berudu dengan menggunakan lampu senter sebagai penerangan. Semua individu P. leucomystax ditemukan selama pengamatan ditangkap dan dimasukan ke dalam kantong plastik untuk identifikasi dan pengukuran morfologi. Data yang dicatat pada kantong plastik berupa waktu penemuan, aktivitas, lokasi ditemukan, posisi horisontal dari badan air, posisi vertikal dari badan air/permukaan tanah, dan nama kolektor. Pencatatan jumlah suara digunakan untuk memprediksi jumlah individu dan posisi sumber suara.

32 16 Jenis anura lainnya yang ditemukan cukup dicatat jenis, lokasi ditemukan, dan jenis kelamin (jika diketahui). Identifikasi dan pengukuran morfologi dilakukan di lapangan setelah kegiatan pengamatan selesai. Informasi yang dicatat berupa jenis, sex (jika diketahui), Snout vent length (SVL), bobot, subtrat ditemukan, lokasi ditemukan, aktivitas, dan kecacatan (jika ditemukan). Untuk kepentingan dokumentasi, beberapa spesimen diawetkan di laboratorium. 4. Pengumpulan data kondisi sarang dan jumlah berudu Pengumpulan data jumlah sarang pada semua lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan mencatat jumlah sarang yang ditemukan pada lokasi tersebut, baik dalam kondisi utuh, rusak, maupun berdasarkan jejak sarang yang masih melekat pada dinding kolam ataupun batang tanaman. Data lain yang dianggap perlu dicatat berupa lokasi peletakan sarang, kondisi fisik sarang, ketinggian sarang dari badan air, subtrat sarang, dimensi dan bobot sarang. Beberapa sarang yang ditemukan diambil untuk diamati perkembangannya di laboratorium. Pendugaan kelimpahan populasi berudu dilakukan dengan menggunakan metode penangkapan berudu (removal methods). Metode ini mengadopsi metode Heyer et al. (1994) dan Krebs (1978) untuk tipe habitat genangan air kecil, kolam permanen dan kolam temporer. Metode ini menggunakan beberapa asumsi yang harus dipenuhi, yakni: (i) populasi yang diamati adalah populasi yang tertutup; (ii) setiap individu memiliki peluang tertangkap yang sama pada setiap upaya penangkapan; (iii) luasan bidang tangkap adalah tetap selama kegiatan penelitian berlangsung. Pada genangan air yang memiliki kedalaman kurang dari 0,5 m dengan kondisi air tidak keruh dan luasan yang tidak terlalu besar, maka perhitungan individu berudu dilakukan secara sensus yang selanjutnya ditangkap dengan menggunakan jaring berudu/lamit. Genangan air yang memiliki kedalaman lebih dari 0,5 m, penangkapan berudu dilakukan dengan menggunakan jaring berudu berdiameter 35 cm. Upaya penangkapan dan perhitungan individu secara sensus dilakukan 60 menit dengan rentang waktu 10 menit per upaya. Individu yang tertangkap dihitung secara sensus tanpa pengembalian, selanjutnya diidentifikasi dan dikelompokan berdasarkan tahapan metamorfosis (jika diketahui).

33 17 Penentuan tahap perkembangan berudu mengacu pada panduan tahapan Gosner (Duellman & Trueb 1994). Setelah kegiatan selesai sebagian berudu dilepaskan kembali dan beberapa individu dipilih secara acak untuk kepentingan spesimen. 5. Preservasi spesimen Kegiatan preservasi bertujuan untuk memudahkan proses identifikasi dan pengukuran morfologi lanjutan, disamping sebagai dokumentasi penelitian. Proses preservasi dilakukan dengan menggunakan alkohol 70% dan formalin. Selanjutnya disimpan dalam tabung spesimen yang berisi alkohol 70% dan diberikan label informasi berupa jenis, lokasi ditemukan, sex (katak dewasa)/ stage gosner (berudu), habitat, tanggal preservasi, dan nama kolektor. 6. Analisis data Setelah pengumpulan data lapangan selesai, data tersebut dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif terhadap variabel penelitian yang telah diuraikan sebelumnya. Keluaran yang dihasilkan berupa tabel, diagram, dan grafik yang menggambarkan kondisi habitat berbiak P. leucomystax di kedua tipe genangan air. Analisis data mengunakan software Microsoft Excel dan SPSS 13.0 for Windows Analisis Data Preferensi habitat berbiak P. leucomystax ditentukan berdasarkan frekuensi penemuan sarang, jumlah berudu yang teramati, dan frekuensi perjumpaan katak dewasa. Selanjutnya dilakukan reduksi parameter lingkungan yang telah diukur untuk menentukan faktor yang berperan dalam proses pemilihan habitat berbiak. Data mengenai keberadaan jenis anura lainnya dan predator alami digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penjelasan lokasi yang disukai untuk berbiak. Informasi lainnya yang mendukung hasil penelitian ini adalah data iklim tahun 2007, karakteristik sarang dan persen keberhasilan telur yang berkembang menjadi berudu. Analisis data mengikuti kaidah sebagai berikut:

34 1. Karakteristik genangan air Data karakteristik genangan air dianalisis dengan menggunakan Uji idependensi dengan menggunakan persamaan khi-kuadrat untuk menguji ada tidaknya perbedaan rata-rata suhu air, suhu udara, kelembaban nisbi, penutupan genangan dan kualitas air (DO, BOD, COD, TDS, ph, DHL dan kekeruhan) pada genangan air permanen dan temporer. Uji khi-kuadrat menggunakan taraf nyata 0,05 dengan asumsi kedua populasi tersebut menghampiri sebaran normal. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut : H 0 = Tidak ada perbedaan antara tipe genangan air permanen dan temporer berdasarkan rata-rata variabel mikro-habitat yang diukur. H 1 = Ada perbedaan antara tipe genangan air permanen dan temporer berdasarkan rata-rata variabel mikro-habitat yang diukur. pada taraf nyata 0,05, tolak H 0 jika: a). Khi-kuadrat Hitung > Khi-kuadrat Tabe atau, b). p < 0,05 persamaan khi-kuadrat ditampilkan sebagai berikut: Nilai χ 2 menggambarkan nilai bagi peubah acak yang sebarannya mengikuti kaidah sebaran khi-kuadrat sedangkan lambang O bk dan e bk masing-masing menyatakan frekuensi teramati dan frekuensi harapan pada suatu penarikan contoh. 2. Preferensi habitat berbiak Polypedates leucomystax Analisis preferensi habitat berbiak P. leucomystax diduga berdasarkan jumlah katak dewasa, jumlah berudu yang teramati dan frekuensi perjumpaan sarang pada masing-masing plot. Untuk mengetahui tingkat preferensi habitat berbiak P. leucomystax pada semua genangan yang diamati digunakan Habitat Preference Index (Duncan 1983 dalam Santos et al. 2002). Indeks preferensi habitat (P i ) merupakan logaritma dari proporsi individu yang teramati pada habitat tertentu dibagi proporsi luasan 18

35 habitat tersebut. Apabila nilai P i > 0,3, maka dapat dikatakan bahwa habitat tersebut disukai oleh P. leucomystax untuk berbiak. Namun, jika nilai P i < 0,3 maka yang terjadi adalah sebaliknya (Bignal et al dalam Beltzer et al. 2004). Indek Preferensi Habitat dirumuskan sebagai berikut: P i = x log10 a i i + 1 Pi merupakan nilai indeks preferensi habitat, sedangkan x i adalah proporsi jumlah individu yang teramati pada lokasi ke-i dan a i adalah proporsi luas genangan air ke-i. Semakin besar nilai Pi menunjukan semakin besar pula tingkat kesukaan terhadap suatu habitat untuk aktivitas berbiak P. leucomystax. 3. Analisis pengaruh faktor lingkungan Penentuan ada atau tidaknya pengaruh faktor lingkungan yang terukur serta teramati di lapangan terhadap pemilihan habitat berbiak dianalisis menggunakan korelasi Spearman rho dan penjabaran secara deskriptif. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel. Persamaan umum korelasi Spearman rho adalah sebagai berikut: S 2 6 di 1 r = 1 i= 2 n( n 1) n Keterangan : S = Selisih antara jumlah data yang lebih besar dengan jumlah data yang lebih kecil n = Jumlah data Selanjutnya, faktor lingkungan yang dianggap memberikan pengaruh terhadap indeks preferensi habitat berbiak P. leucomystax dianalisis menggunakan analisis regresi. Analisis regresi berguna untuk memprediksi seberapa jauh pengaruh satu atau beberapa variabel bebas (independent) terhadap variabel bergantung (dependent). Variabel bebas dalam analisis ini adalah faktor abiotik yang telah diukur dan faktor biotik yang teramati, sedangkan variabel bergantung terdiri dari jumlah katak jantan dan betina, total katak dewasa, frekuensi sarang, dan jumlah berudu yang teramati. Analisis regresi memiliki bentuk umum sebagai berikut: 19

36 20 Y = a + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X b n X n Keterangan : Y = Variabel bergantung (dependent variabel) X = Variabel bebas (Independent variabel) a = Konstanta regresi b = Intersep atau kemiringan garis regresi Paramater habitat berbiak yang diukur tidak memilki unit yang sama, sehingga perlu dilakukan normalisasi data melalui transformasi. Dalam kasus ini digunakan transformasi arcsin. Transformasi ini sesuai untuk data proporsi yang dinyatakan dalam sebagai pecahan desimal atau persentase. Transformasi arcsin dilakukan dengan menggunakan tabel arcsin pada Lampiran 6. Perhitungan data dengan metode ini menggunakan perangkat lunak statistik SPSS.13 for Windows dan Microsoft Excel 2007 yang menghasilkan keluarannya dapat berupa grafik maupun tabel.

37 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Kampus IPB Darmaga terletak ± 9 km arah barat pusat kota Bogor atau ± 49 km sebelah selatan kota Jakarta. Secara administratif, areal Kampus IPB Darmaga termasuk dalam wilayah Desa Babakan Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Batas-batas Kampus IPB Darmaga adalah: a). b). c). d). Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Babakan, Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Raya Bogor Jasinga, Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cihideung, dan Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane. Secara geografis, areal Kampus IPB Darmaga terletak antara 6 o 30 6 o 45 Lintang Selatan dan 106 o o 45 Bujur Timur dengan luas areal adalah 256,97 ha dan berada di ketinggian m dpl Lokasi Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel pada tipe genangan air permanen terletak di Plaza Akademik atau lebih dikenal dengan Taman Rektorat dan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Fakultas Teknik Pertanian. Kolam Utama Taman Rektorat terletak di tengah taman (Gambar 6a). Kolam ini berbentuk lingkaran dengan logo IPB di tengahnya dan terdapat dua buah kubah eks-penangkaran kupu-kupu di sebelah selatan dan utara kolam. Di sekililing kolam terdapat tanaman pagar yang digunakan untuk bersembunyi oleh katak dewasa pada siang hari. Sedangkan kolam 2 dan 3 di Taman Rektorat berjarak ± 100 meter dari kolam utama dengan posisi saling berseberangan, yakni berada di kiri dan kanan jalan utama taman, dengan bentuk geometri berupa gabungan persegi panjang dan setengah lingkaran (Gambar 6b dan Gambar 6c). Jenis vegetasi yang dapat ditemukan pada ketiga kolam tersebut diantaranya sengon, bintaro, kamboja, damar, bunga kupu-kupu dan palem.

38 22 Gambar 6. Lokasi pengambilan sampel di Taman Rektorat IPB; (a) kolam utama, (b) kolam 3 (kanan) dan (c) kolam 2 (kiri) Tipe genangan permanen lainnya berada di IPAL di dekat lapangan voli Fakultas Teknik Pertanian (Gambar 7). Kondisi air mengenang permanen dan fluktuasi volume air ditentukan oleh curah hujan dan asupan air dari limbah cucian alat-alat laboratorium dan aktivitas kampus lainnya yang ada di Fateta. Kondisi IPAL ini masih berfungsi namun jarang digunakan. Di bagian kiri bangunan ini terdapat 2 pohon angsana (Pterocarpus indicus) yang berdiameter lebih dari 50 cm dan juga jenis pohon Kapuk randu (Ceiba petandra) dan Sawo duren (Chrysophilum cainito). Ketiga lokasi ini juga ditumbuhi tanaman merambat yang biasanya untuk meletakan telur dan berlindung oleh katak dewasa pada siang hari. Terkadang pula lokasi ini dijadikan sebagai tempat pembuangan sementara (TPS) untuk sampah organik maupun non organik. Unsur logam dan beton mendominasi bahan baku rangka bangunan IPAL ini serta sifat airnya yang menggenang menyebabkan warna air tampak berwarna hijau pekat dan pada permukaan air terdapat corak atau bayangan yang berwarna kecoklatan akibat logam yang berkarat. Gambar 7. Lokasi pengambilan sampel di IPAL Fakultas Teknik Pertanian; (a) kondisi IPAL, (b) kolam besar (Pp.6), (c) kolam sedang (Pp.4), (d) kolam kecil (Pp.5)

39 23 Lokasi pengambilan sampel untuk tipe genangan air sementara tersebar di beberapa tempat. Dua lokasi pertama terletak di Fakultas Kehutanan, yakni parit di sebelah selatan Arboretum Fahutan dan Lab. Lapang Konservasi Tumbuhan Fahutan. Arboterum Fahutan memiliki luas ± 0,36 hektar yang terletak di depan gedung utama Fakultas Kehutanan IPB. Arboretum ini merupakan miniatur hutan tropis yang ditanami dengan berbagai jenis pohon kehutanan dari keluarga Dipterocarpacea, Puspa (Schima wallicii), Kayu Afrika (Maesopsis emini), Matoa (Pometia pinnata), dan sebagainya. Parit kecil yang terdapat di sebelah selatan Arboretum, akan tergenang air apabila musim hujan tiba (Gambar 8a). Air ini mengalir sangat lambat karena tersumbat oleh ranting dan dedaunan sehingga pada dasar parit terbentuk endapan lumpur dan memungkinkan untuk katak memanfaatkan parit tersebut untuk berbiak, salah satunya jenis katak pohon Rhacophorus reinwardti (Yazid 2006). Lokasi kedua adalah Lab. Lapang Konservasi Tumbuhan yang memiliki luas sekitar 0,20 Hektar dan terletak di samping Perpustakaan Departemen Silvikultur. Tampungan air yang terdapat berudu katak adalah berupa atap koridor dan perpustakaan yang dapat menampung air ketika hujan (Gambar 8b). Berdasarkan hasil penelitian Yazid (2006) dan penelitian pendahuluan (Desember 2006), tampungan air yang berbentuk persegi tersebut digunakan oleh Rhacophorus reinwardti dan Polypedates leucomystax sebagai tempat membesarkan berudu. Air yang menggenang dalam waktu yang lama dan berulang-ulang menyebabkan terjadi pengikisan terhadap bahan bangunan. Sehingga pada dasar genangan terdiri dari campuran pasir, lumpur, sisa-sisa ranting dan daun yang membusuk serta terdapat alga sebagai pakan berudu. (a) (b) Gambar 8. Lokasi pengambilan sampel di Fakultas Kehutanan; (a) Arboretum Fahutan dan (b) Lab. Konservasi Tumbuhan Fahutan

40 24 Lokasi pengambilan sampel lainnya terdapat di Fakultas Pertanian, Gymnasium, Parkiran GWW, dan Fakultas Teknik Pertanian. Semuanya berupa saluran air yang pada salah satu ujungnya memiliki cerukan yang lebih lebar dan dalam dibanding badan saluran air. Badan saluran air akan terisi air ketika turun hujan yang cukup deras dan terus-menerus dalam beberapa hari. Sebagian air akan mengalir melalui outlet dan sisanya tergenang pada cerukan dan badan saluran air. Badan saluran air ada yang seluruhnya tertutupi oleh beton, namun cerukannya terbuka, seperti saluran air di Audit Toyyib Faperta (Gambar 9a). Ada juga badan saluran air yang terbuka, namun cerukannya yang tertutupi oleh beton permanen, seperti pada saluran air di Parkiran GWW (Gambar 9c). Namun ada pula yang badan saluran air dan cerukannya sama-sama terbuka, misalkan pada saluran air di samping kiri-kanan Gymnasium (Gambar 9b) dan Fateta (Gambar 9d). Kondisi ini cukup menyulitkan dalam penangkapan sampel, karena katak dewasa lebih sering berada di dalam saluran air, begitu pula dengan larvanya. Gambar 9. Lokasi pengambilan sampel di lokasi genangan sementara lainnya; (a) saluran air di samping Audit Toyyib Faperta, (b) saluran air di kiri-kanan Gymnasium, (c) saluran air di sebelah timur GWW, (d) saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta Kondisi Fisik Topografi areal Kampus IPB Darmaga mewakili kondisi topografi datar hingga bergelombang dengan gedung-gedung yang dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Berdasarkan kemiringan lahan maka areal IPB Darmaga terdiri atas: (a) 41% areal dengan kemiringan lahan 0 5%, (b) 37% areal dengan kemiringan lahan 5 15%, (c) 17% areal dengan kemiringan lahan 15 25%, dan (d) 5% areal dengan kemiringan lahan > 25% (Mulyani 1985).

41 25 Berdasarkan perhitungan data curah hujan bulanan selama periode 10 tahun terakhir ( ) serta klasifikasi curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson maka areal Kampus IPB Darmaga termasuk dalam tipe iklim A dengan jumlah bulan basah bulan (Gambar 10). Daerah yang dikategorikan bertipe A merupakan daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. curah hujan (mm/bulan) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 10. Rata-rata jumlah curah hujan di wilayah Darmaga 10 tahun terakhir ( ) dan curah hujan sepanjang tahun 2007 (Stasiun I Klimatologi Darmaga 2007) Curah hujan rata-rata tahunan wilayah Darmaga selama 10 tahun terakhir mencapai mm/tahun. Temperatur udara rata-rata selama tahun 2007 berkisar antara 20,7 o 33,5 o C, dengan suhu maksimum 34,6 o C yakni pada bulan November dan suhu minimum 19,1 o C pada bulan September. Kelembaban nisbi rata-rata 83,3%, kecepatan angin 1,9 3,7 km/jam, lama penyinaran matahari 66,3% dan laju penguapan 3,8% (Stasiun Klimatologi Kelas I Darmaga 2008). Pola penggunaan lahan di Kampus IPB Darmaga terbagi kedalam 11 kelompok yaitu Komplek Akademik, Pusat Administrasi, Plaza Taman Rektorat, Arboretum, Kompleks Graha Widya Wisuda, Kandang Ternak, Komplek Olahraga, Komplek Mesjid Al Hurriyyah, Asrama Mahasiswa, Kebun Percobaan dan Ruang Terbuka Hijau (Kurnia 2003). Areal Kampus IPB Darmaga juga mewakili habitat perairan, yakni Danau LSI, Rawa berumput/lahan basah, kolam percobaan, DAS Cihideung DAS Cisadane dan DAS Ciapus.

42 Kondisi Biotik Kondisi vegetasi secara umum di lingkungan Kampus IPB Darmaga berupa vegetasi semak berumput, tegakan karet, hutan pinus, hutan campuran, hutan percobaan, arboretum serta tanaman perkarangan perumahan dan taman. Pada mulanya seluruh wilayah Kampus IPB Darmaga didominasi oleh tegakan karet (Hevea brasilliensis), namun saat ini hanya terdapat di beberapa lokasi saja. Selain itu terdapat pula tegakan hutan campuran yang terletak di sebelah utara Masjid Al-Hurriyyah yang merupakan miniatur dari hutan tropika dataran rendah karena adanya strata tajuk yang berbeda. Kondisi habitat yang beragam mendukung kehidupan jenis satwaliar yang beragam pula. Tercatat 12 jenis mamalia, 68 jenis burung, 37 jenis reptilia, dan 4 jenis ikan yang ada di lingkungan Kampus IPB berdasarkan kajian yang dilakukan Hernowo dkk pada tahun Kemudian dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, tercatat 77 jenis dari 4 famili kupu-kupu (Saputro 2007) dengan 3 jenis diantaranya endemik Indonesia, 72 jenis dari 34 famili burung (Kurnia 2003) termasuk 15 jenis yang dilindungi dan 3 jenis endemik Pulau Jawa, 33 jenis reptil dan 13 jenis dari 4 famili amfibi ordo anura (KPH Himakova 2008 pers com.; Yuliana 2000). Hasil tersebut menambah daftar kelimpahan dan keanekaragaman satwaliar di Kampus IPB Darmaga.

43 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Habitat Berbiak Polypedates leucomystax Kondisi fisik genangan air Habitat berbiak Polypedates leucomystax dapat dikelompokan menjadi dua berdasarkan ketersediaan air, yakni habitat genangan air permanen (Pp) dan temporer/sementara (Tp). Lokasi genangan air umumnya berdekatan dengan bangunan gedung yang di sekitarnya terdapat pohon, tumbuhan bawah maupun tanaman hias. Luas permukaan genangan air permanen rata-rata 19,47 m 2, sedangkan genangan air temporer memiliki luas permukaan genangan rata-rata 10,03 m 2. Habitat genangan air permanen merupakan kolam-kolam buatan yang kondisi airnya tersedia sepanjang tahun dengan kedalaman air mencapai 3 meter dengan rata-rata 1,02 meter. Sebaliknya, habitat genangan air sementara umumnya berupa saluran air/selokan yang airnya menggenang apabila terjadi hujan lebat dalam beberapa hari. Kedalaman air rata-rata pada genangan air temporer sebesar 0,15 meter dengan kedalaman air maksimum mencapai 0,5 meter. Penutupan genangan air dapat disebabkan oleh penutupan tajuk pohon maupun bangunan yang ada di sekitarnya. Penutupan genangan air habitat berbiak P. leucomystax memiliki kisaran 0 96% dengan tutupan rata-rata pada genangan air permanen sebesar 33% dan 61% pada genangan sementara. Hasil uji khi-kuadrat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara luas permukaan genangan, kedalaman air dan penutupan genangan pada tipe genangan air permanen maupun temporer dengan nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 (lihat Lampiran 8). Kondisi ini berarti rerata variabel yang diukur pada genangan permanen maupun temporer dapat dianggap homogen, meskipun hasil pengukuran menunjukan data yang bervariasi. Karakteristik fisik genangan air sebagai habitat berbiak P. leucomystax ditampilkan pada Tabel 5.

44 28 Tabel 5. Karakteristik habitat berbiak P. leucomystax di Kawasan Kampus IPB No Tipe genangan Plot Luas permukaan (m 2 ) Kedalaman air rata-rata (m) Bahan bangunan genangan Kategori genangan Penutupan genangan (%) 1. Permanen Pp.1 12,56 0,51 Keramik Artifisial 0,00 Pp.2 48,81 0,39 Keramik Artifisial 37,50 Pp.3 48,81 0,39 Keramik Artifisial 30,00 Pp.4 3,40 0,80 Beton Artifisial 13,75 Pp.5 1,00 0,99 Beton Artifisial 35,00 Pp.6 2,22 3,06 Beton Artifisial 85,00 2. Sementara Tp.1 10,00 0,09 Beton Artifisial 96,25 Tp.2 10,85 0,05 Beton Artifisial 35,00 Tp.3 17,75 0,27 Beton Artifisial 87,26 Tp.4 4,92 0,16 Beton Artifisial 17,50 Tp.5 5,80 0,10 Beton Artifisial 81,25 Tp.6 4,53 0,22 Beton Artifisial 52,50 Keterangan: Pp.1= kolam utama taman rektorat; Pp.2 dan Pp.3 = kolam di kiri-kanan jalan utama taman rektorat; Pp.4, Pp.5 dan Pp.6 = kolam sedang, kecil dan besar di IPAL Fateta; Tp.1 = saluran air bagian selatan Arb.Fahutan; Tp.2 = genangan air di atap perpustakaan Silvikultur Lab. Konservasi Tumbuhan; Tp.3 = saluran air Auditorium Toyyib Faperta; Tp.4 = saluran air di Gymnasium; Tp.5 = saluran air sebelah timur GWW dan Tp.6 = saluran air sebelah barat lapangan voli Fateta Beberapa parameter kualitas air Pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas air digunakan untuk mengetahui perbedaan kualitas air pada kedua tipe lokasi pengambilan sampel. Hasil pengukuran terhadap beberapa kualitas air ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Beberapa parameter kualitas air pada habitat genangan air permanen dan sementara No Tipe Genangan Plot Parameter kualitas air yang diamati DO BOD 5 COD Turb TDS Cond ph 1 Permanen Pp.1 7,38 4,20 15,80 1,80 4,00 0,08 6,01 Pp.2 8,83 3,52 15,80 3,45 5,00 0,09 6,05 Pp.3 8,21 2,72 19,00 4,30 4,00 0,07 5,67 Pp.4 1,44 5,17 20,59 3,80 11,00 0,22 6,50 Pp.5 1,64 3,32 17,40 1,80 13,00 0,26 5,82 Pp.6 0,62 3,20 23,16 1,55 15,00 0,29 6,58 2 Sementara Tp.1 na na na na na na na Tp.2 na na na na na na na Tp.3 1,03 8,27 17,41 5,30 15,00 0,29 5,42 Tp.4 2,87 3,41 14,53 2,45 3,00 0,05 5,91 Tp.5 na na na na na na na Tp.6 1,23 3,25 14,53 1,55 4,00 0,07 6,41 Keterangan: DO (Oksigen terlarut), BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand) dalam satuan mg/l; Turb (Turbidity/ kekeruhan) dalam satuan NTU; TDS (Total Dissolved Solid/padatan terlarut total) dalam satuan mg/l; Cond (Conductivity/ Daya Hantar Listrik) dalam satuan μ S; na: data not available (kondisi air sedang kering).

45 29 Penentuan kualitas air mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 pasal 8 tentang klasifikasi dan kriteria mutu air. Kriteria mutu air yang digunakan sebagai parameter adalah kriteria mutu air untuk kelas II dan III. Asumsinya kebutuhan kualitas air yang diperlukan oleh berudu sama dengan kualitas air untuk kepentingan budidaya ikan air tawar. Beberapa parameter penetapan kriteria mutu air untuk masing-masing kelas ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Kriteria mutu air berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 Parameter Temperatur ph Satuan II Kelas III Keterangan o C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi temperatur dari alamiahnya Apabila secara alamiah di luar rentang ersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah BOD* mg/l 3 6 COD* mg/l DO mg/l 4 3 Angka batas minimum *) Nilai yang tercantum merupakan batas maksimum Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa nilai BOD 5 dan COD pada 9 lokasi pengambilan sampel masih berada pada kisaran toleransi kriteria mutu air untuk budidaya ikan air tawar, kecuali pada lokasi saluran air Audit Toyyib (Tp.3). Nilai BOD 5 pada lokasi tersebut menunjukkan nilai 8,27 mg/l, yakni diatas batas maksimum untuk kriteria mutu air kelas III yang ditetapkan sebesar 6 mg/l. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan tersebut kurang sesuai digunakan untuk kepentingan budidaya ikan air tawar, tetapi cukup sesuai untuk mendukung kehidupan berudu P. leucomystax (lihat Gambar 15). Nilai BOD 5 pada suatu perairan alami berada pada kisaran 3 5 mg/l (Fardiaz 1992) dan dikatakan tercemar ketika nilai BOD 5 lebih besar dari 10 mg/l (Effendi 2003). Nilai DO (Dissolve oxygen) menunjukkan jumlah gas oksigen (mg/l) yang terlarut dalam air. Nilai DO yang memenuhi syarat untuk kelas II dan III terdapat pada kolam-kolam yang berada di Taman Rektorat (Pp.1, Pp.2, Pp.3), yakni di atas 5 mg/l. Sebaliknya, nilai DO pada genangan permanen lainnya (Pp.4, Pp.5, dan Pp.6) dan genangan temporer (Tp.3, Tp.4, dan Tp.6) menunjukkan nilai di bawah batas minimum ketentuan DO untuk kelas II dan III (DO < 3 mg/l).

46 30 Pengukuran terhadap parameter ph air menunjukkan kisaran nilai 5,42 6,58. Meskipun kisaran ph air ini tidak berada tepat pada kisaran ph yang telah ditetapkan, kisaran nilai tersebut masih dapat ditolerir oleh berudu bahkan beberapa jenis katak dari genus Rana dapat hidup pada kisaran ph 5,8 7,2 (Pratomo 1997). Menurut Mattison (1993), kisaran umum kondisi ph yang dapat ditolerir oleh biota air tawar, yakni 6,0 7,0, tetapi ada juga yang menyebutkan pada kisaran 6,5 9,0 (EPA 1986, Boyd 1982). Nilai Daya Hantar Listrik (DHL) merupakan gambaran numerik dari kemampuan air untuk menghantarkan listrik. Semakin tinggi nilai DHL suatu perairan maka semakin baik pula perairan tersebut menghantarkan panas (konduktor). Nilai DHL air pada kolam-kolam IPAL Fateta (Pp.4, Pp.5, Pp.6) dan saluran air Audit Toyyib Faperta (Tp.3) memilik nilai rata-rata 0,265 μ S/cm, sedangkan pada lokasi lainnya kurang dari 0,10 μ S/cm. Sehingga pada siang hari, suhu air di keempat lokasi tersebut cenderung akan lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (lihat Gambar 12). Nilai ini dipengaruhi oleh kandungan garam-garam terlarut yang dapat terionisasi dalam air yang disebabkan oleh penyerapan karbondioksida udara ke dalam air dan peningkatan kadar amonia (Boyd 1982). Hasil analisis terhadap parameter kekeruhan (lihat Tabel 6) berada pada kisaran 1,55 5,30 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Nilai ini masuk dalam tipe perairan dengan kekeruhan rendah (Buck 1956 dalam Boyd 1982). Kondisi ini cukup mendukung kebutuhan berudu dan biota air lainnya untuk hidup dan berkembang dengan baik. Kondisi air yang keruh mengindikasikan tingginya bahan-bahan tersuspensi dalam air. Hal tersebut dapat mengganggu proses respirasi biota air dalam jangka waktu tertentu (Bennett 1970). Berdasarkan uraian di atas diketahui terdapat perbedaan kebutuhan DO, BOD dan ph bagi berudu anura dan kriteria mutu air untuk kepentingan budidaya perikanan air tawar. Meskipun demikian, kriteria mutu air tersebut merupakan gambaran kondisi ideal bagi suatu perairan untuk menunjang kehidupan biota perairan. Hasil uji khi-kuadrat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara beberapa variabel kualitas air pada kedua tipe genangan air dengan nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (lihat Lampiran 9).

47 Kondisi suhu dan kelembaban nisbi udara Pengukuran dan pengamatan kondisi iklim mikro di lapangan menunjukkan bahwa lokasi pengamatan memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22 o 30 o C dengan kelembaban nisbi udara rata-rata 76 92% dan suhu air rata-rata berkisar antara 24 o 29 o C. Kondisi cuaca pada saat pengamatan umumnya cerah hingga hujan gerimis. Kondisi iklim mikro (suhu dan kelembaban) pada masing-masing lokasi pengambilan sampel ditampilkan Gambar 12, 13, dan 14. Berdasarkan uji khikuadrat pada tingkat kepercayaan 95% terhadap parameter iklim mikro, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara parameter suhu dan kelembaban nisbi pada kedua tipe genangan (lihat Lampiran 8). Hasil pengukuran kondisi iklim di wilayah Darmaga sepanjang tahun 2007 digunakan sebagai kontrol terhadap hasil pengukuran kondisi iklim mikro di lapangan selama kegiatan penelitian berlangsung. Hasil analisis data iklim selama bulan Januari 2007 Januari 2008 ditampilkan pada Gambar 11. Suhu udara rata-rata bulanan ( 0 C) 34,0 32,0 30,0 28,0 26,0 24,0 22,0 20,0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Bulan Obser Maks Min Gambar 11. Kondisi suhu udara rata-rata wilayah Darmaga pada bulan Januari 2007 Januari 2008 (Stasiun I Klimatologi Darmaga 2007)

48 32 32,00 Suhu udara rata-rata ( 0 C) 30,00 28,00 26,00 24,00 22,00 20,00 Pp.1 Pp.2 Pp.3 Pp.4 Pp..5 Pp.6 Tp.1 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Tp.6 Lokasi pengamatan T udara ( ) Tudara ( ) Tudara ( ) Gambar 12. Kondisi suhu udara rata-rata pada tiga periodee pengamatan di setiap lokasi pengambilan sampel 30,00 Suhu air rata-rata ( 0 C) 29,00 28,00 27,00 26,00 25,00 24,00 Pp.1 Pp.2 Pp.3 Pp.4 Pp..5 Pp.6 Tp.1 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Tp.6 Lokasi pengamatan T air ( ) T air ( ) T air ( ) Gambar 13. Kondisi suhu air rata-rata sampel pada tiga periode lokasi pengambilan pengamatann di setiap Kondisi suhu udara rata-rataa tertinggi terjadi padaa periode siang, yakni mencapai 30,33 o C di lokasi pengamatan saluran air Gymnasium (Tp.4). Kondisi suhu udara pada pagi dan malamm hari padaa keseluruhan lokasi pengamatan menunjukkan perbedaan suhu yang relatif kecil. Namun kondisi ini terjadi sebaliknya pada hasil pengukuran suhu air rata-rata (Gambar 13). Kondisi suhu air rata-rata pada malam hari memiliki kecenderungan yang sama dengan suhu air

49 Kelembaban nisbi rata-rata (%) 92,00 89,00 86,00 83,00 80,00 77,00 74,00 Pp.1 Pp.2 Pp.3 Pp.4 Pp..5 Pp.6 Tp.1 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Tp.6 Lokasi pengamatan % RH ( ) % RH ( ) % RH ( ) Gambar pada siang hari bahkan pada lokasi genangan temporerr (Tp.1 hingga Tp.6) menunjukkan kisaran suhu air rata-rata yang lebih tinggi dibanding pada siang hari. Seharusnya pada lokasi genangan permanen pada siang hari suhu air akan lebih cepat panas dan lebih cepat dingin pada malam hari. Kondisii ini dapat terjadi karena bahan yang digunakan untuk membangun genangan air temporer terbuat dari semen-beton. Semen-beton bersifat menyerap panas pada siang hari dan melepas panas padaa malam hari. Sehingga pada pagi harinya kondisi semen- beton sudah mulai mendingin hingga menjelang siang hari. Kondisi kelembaban nisbi udara rata-rataa pada tiga periode pengamatann di setiap lokasi pengambilan sampel Kondisi kelembaban nisbi rata-rata padaa lokasi pengamatan, seperti yang disajikan pada Gambar 14, diketahui bahwa kelembaban udara tertinggi terjadi pada pagi hari, yakni mencapai 91% pada lokasi kolam besar IPAL Fateta (Pp.6) dan Parit di sebelah selatan Arboretum Fahutan (Tp.1). Kondisi kelembaban nisbi kurang dari 80% terjadi pada genangan air di lokasi kolam utama Taman Rektorat (Pp.1), saluran air Gymnasium (Tp.4) dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6). Berdasarkan Tabel 5 dan kondisi umumm ketiga lokasi tersebut, penutupan genangan oleh tajuk vegetasi sangat minim bahkan tidak ada. Sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan vegetasi mempengaruhi persentase kelembaban udara di suatu lokasi.

50 Ancaman populasi yang teramati di lapangan Ancaman populasi suatu spesies dapat berasal dari mekanisme predasi, parasitisme, kompetisi, maupun aktivitas manusia. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan 3 jenis predator berudu berupa larva dari ordo odonata subordo anisoptera, 1 jenis semut berwarna hitam dan 1 jenis ikan dari ordo Cyprinodontiformes, guppy lokal (Poeciliidae). Larva capung yang ditemukan diidentifikasi sebagai larva dari keluarga Corduliidae dan Libellulidae (lihat Lampiran 11). Selain itu ditemukan pula ancaman populasi yang berasal 1 jenis parasit telur dari suku diptera dan aktivitas manusia berupa pembersihan kolam secara berkala dan keberadaan sampah organik maupun anorganik di dalam kolam maupun saluran air yang tergenang. Informasi tentang ancaman populasi pada masing-masing lokasi pengambilan sampel ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8. Ancaman populasi katak pohon bergaris yang teramati di lokasi pengamatan Ancaman populasi Tipe genangan permanen Tipe genangan temporer Corduliidae Libellulidae Diptera Himenoptera Poeciliidae Aktivitas manusia Keterangan: (+) = terdapat ancaman; (-) = tidak ditemukan ancaman. Jenis anura lainnya yang dijumpai pada lokasi berbiak P. leucomystax terdiri dari keluarga Bufonidae, Ranidae, dan Rhacophoridae. Jenis dari keluarga Bufonidae merupakan jenis yang paling banyak ditemukan hampir pada semua lokasi pengamatan, terutama jenis Bufo melanostictus. Jenis Rana chalconota lebih sering ditemukan di saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp. 6) baik individu dewasa maupun berudu. Jenis katak pohon lainnya, yakni Rhacophorus reinwardti, ditemukan di parit sebelah selatan Arboretum Fahutan (Tp.1), lab. Konservasi Tumbuhan Fahutan (Tp.2) dan kolam besar IPAL Fateta (Pp.6). Jenis anura lainnya yang teramati di lokasi pengambilan sampel ditampilkan pada Tabel 9.

51 35 Tabel 9. Jenis anura lainnya yang teramati di lokasi pengamatan Spesies Tipe genangan permanen Tipe genangan temporer Bm Bb Ba Rc Fc Rr Keterangan: Bm = Bufo melanostictus; Bb = Bufo biporcatus; Ba = Bufo asper; Rc = Rana chalconota; Fc = Fejervarya cancrivora; Rr = Rhacophorus reinwardti. Tanda plus (+) = hanya ditemukan individu dewasa, (++) = ditemukan individu dewasa dan berudu dan tanda minus (-) = tidak ditemukan Preferensi Habitat Berbiak Polypedates leucomystax Total individu dewasa yang teramati Total individu yang teramati selama pengamatan pada 10 lokasi pengambilan sampel sebanyak 247 individu katak yang terdiri dari 203 katak jantan, 24 katak betina, dan 20 anakan sedangkan pada 2 lokasi lainnya tidak ditemukan katak dewasa. Informasi mengenai jumlah individu pada setiap lokasi pengamatan ditampilkan pada Tabel 10. Tabel 10. Total individu yang teramati pada setiap lokasi pengamatan Tipe genangan N Plot Jumlah individu yang teramati* Jantan Betina Anakan Total Permanen 111 Pp Pp Pp Pp Pp Pp Temporer 136 Tp Tp Tp Tp Tp Tp Total *) Nilai yang tercantum, terkecuali berudu, merupakan penjumlahan semua individu selama tiga kali ulangan per lokasi dengan asumsi individu yang ditemukan adalah individu yang berbeda.

52 36 Persentase jumlah katak jantan yang teramati sekitar 75%, sedangkan jumlah katakk betina yang teramati hanya mencapai 25%. Hal ini berarti peluang perjumpaan dengan individu katakk jantan lebih besar dibanding katak betina. Selain itu, rata-rata perbandingan jantan dan betina padaa suatu habitat berbiak adalah 3 : 1. Kondisi inii memungkinkan terjadinya aktivitas berbiak yang bersifat poliandri, yakni padaa masa berbiak betina dapat melakukan perkawinan (amplexus) dengan beberapa ekor jantan yang berbeda. Hal ini juga dilaporkan terjadi pada Rhacophorus reinwardti di kampus (Yazid 2006). Informasi tentang jumlah individu rata-rata yang teramati berdasarkan jenis kelamin ditampilkan pada Gambar 15. Rata-rata individu yang teramati 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 19,67 14,,17 2,50 permanen temporer permanen 1,50 1,83 1,50 temporer permanen temporer Jantan Betina Anakann Gambar 15. Perbedaan jumlah individu jantan, betina, dan anakan yang teramati pada tipe genangan permanen dan temporer Berdasarkan uji khi-kuadrat pada taraf nyata 0,05, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata jumlah jantan, betina dan anakan pada kedua tipe genangan. Hal ini mengindikasikan bahwaa P. leucomystax dapat beradaptasi dengan baik pada kedua tipe genangan tersebut meskipun dalam peluang perjumpaan individu memiliki perbedaan. Individu katak jantan lebih banyak ditemukan di tipe genangan air temporer sedangkan katak betina dan anakan terjadi sebaliknya. Katak jantan sering ditemukan sedang melakukan panggilan di dalam saluran air ataupun pipa paralon. Hal ini diduga merupakan bagian dari strategi katakk jantan muda untuk menarik perhatian betina.

53 Total sarang dan individu berudu yang teramati Total sarang P. leucomystax yang ditemukan pada semua plot berjumlah 31 buah sarang. Sarang yang ditemukan pada semua lokasi pengamatan umumnya menempel pada dinding kolam. Pada lokasi genangan temporer, sarang hanya ditemukan di tiga lokasi pengamatan, yakni saluran air Auditorium Toyyib Faperta (Tp.3), saluran air Gymnasium (Tp.4), dan saluran air di sebelah timur GWW (Tp.5). Jumlah sarang terbanyak ditemukan di kolam utama Taman Rektorat (Pp.1) sebanyak 13 buah sarang dan di lokasi saluran air di sebelah timur GWW (Tp.5) ditemukan 7 buah sarang. Rata-rata perjumpaan sarang pada kedua tipe genangan ditampilkan pada Gambar 16. Rata-rata jumlah sarang yang teramati 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 3,50 1,67 0,00 permanen Tipe genangan temporer Gambar 16. Perbedaan jumlah sarang yang teramati pada tipe genangan air permanen dan temporerr Frekuensi penemuan sarang P. leucomystax yang teramati menunjukkan bahwa jenis katak ini lebih banyak meletakan telurnya di lokasi habitat berbiak dengan tipe genangan air yang permanen, yakni dengan rata-rata 3,50 buah sarang per lokasi. Frekuensi penemuan sarang yang lebih banyak pada suatu habitat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk berhasil daripada habitat yang ditemukan jumlah sarang yang lebih sedikit. Meskipun demikian, perlu ditelaah lebih lanjut mengenai pengaruh faktor lainnya yang menentukan kesuksesan proses metamorfosis, seperti persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya, predasi, dan pengaruh aktivitas manusia.

54 38 Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses metamorfosis pada fase telur ke berudu adalah dengan menghitung jumlah berudu yang ada di suatu genangan. Berdasarkan perhitungan populasi berudu, diperoleh hasil sebanyak 972 ekor berudu dari keseluruhan lokasi pengamatan. Rata-rata jumlah berudu yang teramati di tipe genangan air permanen sebanyak 86, 5 ekor, sedangkan padaa genangan air temporerr sebanyak 75,5 ekor. Beberapa lokasi pengamatan di genangan temporer, tidak ditemukan adanya sarang, yakni lokasi Arboretum Fahutan (Tp.1), Lab. lapang Konservasi tumbuhan (Tp.2) dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6). Namun pada Gambar 18, lokasi kolam 2 di kiri jalan utama Taman Rektorat (Pp.2) tidak ditemukan tindividu berudu, padahal di lokasi tersebut ditemukan 2 buah sarang. Lokasi lainnya yang tidak ditemukan berudu adalah Arboretum Fahutan (Tp.1) dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6). Berikut ditampilkan sebaran populasi berudu pada setiap plot pengamatan Jumlah sarang yang teramati Pp.1 Pp.2 Pp.3 Pp.4 Pp.5 Pp.6 Tp.1 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp..5 Tp.6 Lokasi pengamatan Gambar 17. Jumlah sarang yang teramati pada setiap lokasi pengamatann Jumlah berudu yang teramati Pp. 1Pp.2Pp.3Pp.4 Pp.5 Pp..6 Tp.1 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Tp.6 Lokasi pengamatan Gambar 18. Jumlah berudu yang teramati pada setiap lokasi pengamatan

55 39 Perbandingan jumlah berudu dan jumlah sarang yang ditampilkan pada Gambar 17 dan 18 menunjukkan kondisi yang tidak semestinya terjadi. Umumnya, ketika suatu habitat genangan air yang ditemukan lebih banyak sarang maka peluang perjumpaan dengan berudu akan lebih besar pula. Namun hasil perhitungan populasi berudu menunjukkan bahwa lokasi yang tidak dijumpai ataupun sedikit sarang ditemukan berudu dalam jumlah yang lebih banyak secara proporsi. Menurut beberapa pustaka, jenis ini mampu menghasilkan telur sebanyak butir telur dalam satu sarang (Brown & Alcala 1983; Berry 1964), namun yang mampu bertahan hingga menjadi katak dewasa hanya sekitar 5% dari total telur yang terfertilisasi tergantung pada kondisi lingkungannya (Yorke 1983). Dengan demikian, kondisi lingkungan memiliki peran penting sebagai penentu kesuksesan proses metamorfosis seperti kondisi air yang dangkal bahkan mengalami kekeringan, faktor predasi, parasitisme, kompetisi, kondisi kualitas perairan dan aktivitas manusia yang berdampak pada tingkat mortalitas berudu Habitat berbiak yang disukai Habitat berbiak yang disukai oleh P. leucomystax ditentukan berdasarkan proporsi jumlah individu jantan, betina, sarang dan berudu yang teramati dibagi dengan proporsi luasan genangan air yang tersedia. Informasi mengenai urutan habitat berbiak yang paling disukai (Pi > 0,3) hingga kurang disukai (Pi < 0,3), disajikan dalam bentuk diagram data pada Gambar 19 dan 20. Individu jantan maupun betina kurang menyukai lokasi kolam lainnya yang ada di taman rektorat (Pp.2 dan Pp.3) dan menyukai kolam kecil di IPAL Fateta (Pp.5), saluran air di sebelah timur GWW (Tp.5), kolam besar di IPAL Fateta (Pp.6), kolam utama Taman Rektorat (Pp.1) dan saluran air Gymnasium (Tp.4). Beberapa lokasi yang tidak memiliki nilai Pi menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut tidak ditemukan individu jantan ataupun betina. Preferensi habitat yang sama antara katak jantan dan betina memungkinkan terjadinya aktivitas kawin, namun ada kemungkinan pula habitat tersebut kurang disukai untuk meletakan telur. Sehingga proporsi jumlah sarang dan berudu yang teramati digunakan sebagai indikator bahwa suatu genangan dipilih sebagai lokasi peletakan telur dan habitat tumbuh-kembang berudu oleh P. leucomystax.

56 40 1,50 1,33 Nilai Pi untuk jantan & betina 1,20 0,90 0,60 0,30 0,00 0,68 0,57 Pp.1 0,91 0,,92 0,90 0,66 0,61 0,42 0,43 0,45 0,35 0,32 Pp. 2 Pp.3 Pp.4 Pp.5 Pp.6 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Lokasi pengamatan Jantan betina Gambar 19. Nilai indeks preferensi habitat (Pi) berdasarkan proporsi jumlah katak jantann dan betina yang teramati pada setiap lokasi pengamatan Nilai Pi untuk sarang & berudu 1,80 1,50 1,20 0,900 0,600 0,300 0,000 0,81 Pp.1 1,56 0,92 0,,86 0,80 0,61 0,64 0,66 0,53 0,60 Pp.2 Pp.3 Pp.4 Pp.5 Pp.6 Tp.2 Tp.3 Tp.4 Tp.5 Lokasi pengamatan sarang berudu Gambar 20. Nilai indeks preferensi habitat (Pi) berdasarkan proporsi jumlah sarang dan berudu yang teramati pada setiap lokasi pengamatan Gambar 20 menunjukkan bahwa tidak semua lokasi pengamatan disukai oleh katak dewasa untuk meletakan sarang. Lokasi yang paling disukai untuk meletakan sarang adalah kolam utama Taman Rektorat (Pp.1), kolam kecil di IPAL Fatetaa (Pp.5), dan saluran air di sebelah timur GWW (Tp.5). Namun nilai Pi untuk tingkat berudu pada lokasi kolam utama Taman Rektorat menunjukkan nilai dibawah 0,3.

57 41 Sehingga diduga terdapat faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut kurang sesuai sebagai habitat tumbuh-kembang berudu sedangkan di lokasi pengamatan parit Arboretum Fahutan (Tp.1) dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6) tidak ditemukan sarang maupun berudu P. leucomystax Faktor yang Mempengaruhi Preferensi Habitat Berbiak Pengaruh faktor abiotik Pengaruh faktor abiotik terhadap preferensi habitat berbiak dianalisis menggunakan analisis data non-parametrik dengan metode koefisien korelasi Spearman s rho diperoleh hasil seperti yang ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis korelasi Spearman s rho Tu_iii Ta_ii Rh_i Rh_ii Spearman's rho Jantan Correlation Coefficient 0,729(*) -0,034-0,713(*) -0,413 Sig. (2-tailed) 0,026 0,931 0,031 0,27 N Betina Correlation Coefficient 0,427 0,171-0,148-0,351 Berudu Sig. (2-tailed) 0,252 0,66 0,704 0,354 N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) -0,383-0,778(*) 0,443 0,714(*) 0,309 0,014 0,233 0,031 N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Keterangan: Tu_iii (rata-rata suhu udara pada malam hari); Ta_ii (rata-rata suhu air pada siang hari); Rh_i (rata-rata kelembaban nisbi pada pagi hari); dan Rh_ii (rata-rata kelembaban nisbi pada siang hari). Berdasarkan tabel data di atas, diketahui bahwa keberadaan katak jantan dewasa pada suatu habitat dipengaruhi oleh suhu udara pada malam hari dan kelembaban udara pada pagi hari. Sebaliknya, faktor abiotik tidak memberikan pengaruh pada keberadaan individu betina sedangkan keberadaan berudu lebih dipengaruhi oleh kondisi suhu dan kelembaban udara pada siang hari. Tanda bintang (*) menunjukkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan pada taraf kepercayaan 95%.

58 42 Tudara malam rata-rata ( 0 C) 25,40 25,20 25,00 24,80 24,60 24,40 24,20 24,00 23,80 23,60 y = 5E 05x 2 + 0,019x + 23,83 R² = 0, Jumlah individu jantan Gambar 21. Keeratan hubungan antara jumlah katak jantan dan kondisi suhu udara rata-rata pada malam hari 92,00 RH pagi rata-rata (%) 90,00 88,00 86,00 84,00 82,00 y = 0,005x 2 0,403x + 91,43 R² = 0, Jumlah individu jantan Gambar 22. Keeratan hubungan antara jumlah katak jantan dan kelembaban udara rata-rata pada pagi hari Grafik regresi pada Gambar 21 menunjukkan bahwa katak jantan lebih banyak teramati pada kisaran suhu udara 24 o 25 o C dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,670 (R 2 = 0,448). Hal ini menunjukkan hubungan yang cukup (moderate) antara variabel jumlah katak jantan dan kondisi suhu udara rata-rata pada malam hari. Demikian pula hubungan jumlah katak jantan dan kelembaban udara rata-rata pada pagi hari dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,706 (R 2 = 0,498). Hal ini menggambarkan bahwa peluang perjumpaan dengan katak jantan lebih besar pada saat kelembaban nisbi rata-rata berkisar antara 84 88%.

59 43 Tu siang rata-rata 0 C 30,50 30,00 29,50 29,00 28,50 28,00 27,50 27,00 y = 8E 05x 2 0,030x + 30,85 R² = 0, Jumlah berudu yang teramati Gambar 23. Keeratan hubungan antara jumlah berudu dan kondisi suhu udara rata-rata pada siang hari RH siang rata-rata (%) 86,0 85,0 84,0 83,0 82,0 81,0 80,0 79,0 78,0 77,0 76,0 75,0 y = 0,000x 2 + 0,245x + 66,77 R² = 0, Jumlah berudu yang teramati Gambar 24. Keeratan hubungan antara jumlah berudu dan kelembaban udara ratarata pada siang hari Berudu lebih banyak ditemukan pada lokasi yang memiliki suhu udara ratarata siang hari berada pada kisaran 27 o 29 o C dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,671 (Gambar 23). Suhu yang hangat memberikan peluang bagi berudu untuk mengoptimalkan pertumbuhannya (Duellman & Trueb 1994). Kelembaban nisbi siang hari menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah berudu yang ditemukan di suatu perairan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,813 (R 2 = 0,661). Hal ini mengindikasikan bahwa suhu udara dan kelembaban nisbi udara pada siang hari mempengaruhi pola aktivitas harian berudu.

60 Pengaruh faktor biotik Pengaruh faktor biotik terhadap pemilihan habitat berbiak oleh P. leucomystax dewasa terjadi pada lokasi saluran air Audit Toyyib Faperta (Tp. 3), saluran air di Gymnasium (Tp.4) dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6). Ketiga lokasi tersebut termasuk ke dalam lokasi yang kurang disukai oleh P. leucomystax dewasa untuk meletakan telur (lihat Gambar 20). Sarang P. leucomystax yang terinfeksi larva dari ordo diptera ditemukan di lokasi saluran air Audit Toyyib Faperta (Tp. 3) dan saluran air di Gymnasium (Tp.4), namun sejauh ini jenis larva tersebut belum teridentifikasi. Telur diptera dimasukkan pada saat permukaan sarang belum mengeras, kemudian telur tersebut berkembang menjadi larva. Larva tersebut menjadikan telur P. leucomystax sebagai sumber makanan utamanya untuk berkembang menjadi pupa. Tingkat kerusakan telur P. leucomystax akibat mekanisme ini dapat mencapai 100%. Hal ini ditandai dengan warna gelap di beberapa bagian permukaan sarang dan tidak ditemukan embrio yang berhasil keluar dari sarang. Keberadaan predator dari jenis ikan guppy ditemukan di lokasi saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6). Di lokasi yang sama ditemukan juga berudu Rana chalconota. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ikan tidak memberikan pengaruh terhadap jenis R. chalconota untuk meletakkan telurnya di lokasi tersebut, namun memberikan pengaruh terhadap pemilihan lokasi peletakan sarang bagi P. leucomystax dewasa. Faktor biotik lainnya adalah keberadaan spesies anura lain di lokasi berbiak yang sama, khususnya terhadap keberadaan jenis katak pohon lainnya, R. reinwardti. Jenis ini ditemukan di lokasi saluran air di sebelah selatan Arboretum Fahutan (Tp.1), IPAL Fateta (Pp.6) dan genangan air di Lab. Lapang Konservasi Tumbuhan Fahutan (Tp.2). Di lokasi yang sama ditemukan juga P. leucomystax. Di lokasi parit Arbotetum Fahutan tidak ditemukan katak dewasa maupun berudu P. leucomystax, sedangkan di kedua lokasi lainnya (Pp.6 dan Tp.2) P. leucomystax lebih dominan baik dari segi jumlah katak dewasa maupun berudu. Sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai interaksi kedua jenis katak pohon tersebut dalam hal pemanfaatan lokasi berbiak yang sama.

61 Pembahasan Karakteristik habitat berbiak Polypedates leucomystax Penelitian yang berkaitan dengan aktivitas berbiak P. leucomystax telah cukup banyak dilakukan (lihat Roy et al. 2004; Brown & Alcala 1983; Yorke 1983; Berry 1964; Alcala 1962; Alcala & Brown 1956), namun belum ditemukan pembahasan yang lebih spesifik mengenai karakteristik habitat berbiak jenis ini. P. leucomystax memiliki cakupan sebaran populasi yang luas dengan kondisi habitat yang beragam, mulai dari habitat berhutan hingga daerah pemukiman. Akan tetapi, jenis ini lebih sering ditemukan di hutan sekunder ataupun di dekat hunian manusia (Inger 2005; Diesmos et al. 2004; Mistar 2003; Iskandar 1998; Inger & Stuebing 1997; Lim & Lim 1992). P. leucomystax diketahui menyimpan telurnya dalam sarang busa yang dihasilkan oleh katak jantan dan betina selama proses perkawinan berlangsung ketika telah menemukan tempat yang tepat untuk meletakan sarangnya, seperti yang terjadi pada R. reinwardti di kampus (lihat Yazid 2006). Namun belum diketahui secara jelas informasi lebih lanjut mengenai lokasi yang dipilih untuk meletakan sarang, selain ditemukan menempel pada pinggiran genangan air atau di antara tetumbuhan di atas genangan air. Aktivitas amfibi sangat bergantung pada kondisi lingkungannya, termasuk dalam hal berbiak. Di daerah tropika basah, umumnya anura memiliki pola reproduksi yang terus menerus sepanjang tahun (Duellman & Trueb 1994). Faktor yang berkaitan dengan pola aktivitas berbiak amfibi salah satunya adalah curah hujan, termasuk intensitas dan lamanya periode curah hujan (Aichinger 1997; Berry 1964). Kondisi iklim di Kampus IPB Darmaga memungkinkan aktivitas berbiak terjadi sepanjang tahun. Data klimatologi tahun menunjukkan bahwa periode bulan basah rata-rata di wilayah Darmaga berlangsung selama 10 bulan setiap tahunnya sedangkan 2 bulan lainnya termasuk dalam kategori bulan lembab dan kering. Curah hujan rata-rata pada tahun 2007 mencapai 310 mm/bulan dan dengan adanya kolam-kolam buatan dan saluran air, air hujan yang turun tertampung dengan baik, sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh amfibi sebagai lokasi berbiak, salah satunya oleh P. leucomystax.

62 Curah Hujan (mm/bulan) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan rata rata 2005/ Gambar 25. Curah hujan rata-rata bulanan dalam 3 tahun terakhir ( ) (Stasiun I Klimatologi Darmaga 2007) Kondisi suhu udara dan kelembaban nisbi pada masing-masing lokasi pengambilan sampel menunjukkan kisaran 22 o 30 o C dengan kelembaban nisbi udara rata-rata 76 92%. Kondisi ini cukup ideal untuk habitat P. leucomystax meskipun tingkat toleransi suhu untuk setiap jenis anura berbeda-beda. Umumnya jenis anura dapat hidup pada kisaran 3 o 41 o C (Goin et al. 1978). Hal ini berlaku juga pada tahap berudu. Umumnya berudu mengalami penurunan aktivitas pada kisaran suhu 38 o 40 o C (Duelman & Trueb 1986), namun berudu P. leucomystax dapat hidup pada kisaran suhu tersebut pada lokasi genangan air yang terbuka (Inger & Tan 1996 dalam Leong & Chou 1999) bahkan berudu Fejervarya cancrivora dapat bertahan hidup hingga suhu 41 o C (Dunson 1977). Suhu air berperan dalam proses tumbuh-kembang berudu untuk bermetamorfosis menjadi katak dewasa (Duellman & Trueb 1986) dan hasil pengukuran suhu air pada semua lokasi pengambilan sampel menunjukkan kisaran yang ideal untuk menjamin pertumbuhan berudu, yakni 24 o 29 o C. Hasil pengukuran suhu udara pada semua lokasi pengambilan sampel menunjukkan bahwa suhu udara tertinggi berada pada periode siang sedangkan suhu air relatif lebih hangat pada malam hari (lihat Gambar 12 dan 13).

63 47 Genangan air yang ada di kawasan kampus IPB Darmaga terdiri dari kolamkolam buatan, saluran air yang menggenang, atap bangunan yang dapat menampung air, dan cerukan pada permukaan tanah. Luas permukaan genangan, kedalaman air, dan penutupan genangan adalah faktor yang berperan dalam proses terbentuknya kondisi iklim mikro (suhu dan kelembaban) pada lokasi pengambilan sampel. Uji regresi menunjukkan bahwa hanya faktor penutupan genangan yang memberikan nilai korelasi yang cukup sebesar 0,784 terhadap kondisi suhu air pada siang hari, sedangkan faktor lainnya menunjukkan nilai korelasi yang sangat lemah (Gambar 25). Luas genangan dan kedalaman air berperan dalam penyediaan sumberdaya bagi kehidupan berudu, selain tipe genangan air. Genangan air yang luas memungkinkan untuk menampung jumlah individu berudu dalam jumlah yang besar begitu juga dengan kedalaman air. Ruang yang luas untuk bergerak, mencari makan dan berinteraksi dengan leluasa dapat meminimalkan terjadinya persaingan intraspesifik dan fenomena kanibalisme dalam pemanfaatan sumberdaya (Heinen & Abdella 2004; Mokany & Shine 2002; Dickman & Durtche 2000; Griffiths & Foster 1998). Namun genangan air yang luas tidak menjamin ketersediaan air dalam waktu yang lama terutama terjadi pada tipe genangan air temporer. Dalam kasus ini, genangan air yang luas dengan kedalaman air yang minimal, dapat menyebabkan laju penguapan air lebih cepat dibanding lokasi yang lebih dalam. Akibatnya genangan akan kering sebelum berudu bermetamorfosis menjadi katak dewasa. Beberapa penelitian pada jenis anura yang bertelur pada tipe genangan air temperor memiliki adaptasi yang unik, yakni mempersingkat masa metamorfosis (Loman 1999) dengan meningkatkan aktivitas makan (Dickman & Durtche 2000) dan mereduksi jumlah berudu yang bermetamorfosis (Loman & Claesson 2003), pada saat proses pengeluaran telur oleh katak betina ataupun melalui mekanisme kanibalisme antar sesama berudu yang terdapat pada genangan air yang sama.

64 48 Suhu air rata-rata siang hari 0 C 29,50 29,00 28,50 28,00 27,50 27,00 26,50 26,00 25,50 y = 0,000x 2 0,071x + 29,00 R² = 0,614 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 Tutupan genangan (%) Gambar 26. Keeratan hubungan antara persentase tutupan genangan dan suhu air pada siang hari Genangan air yang tidak ternaungi memiliki suhu air yang lebih tinggi daripada genangan air yang ternaungi pada siang hari. Sinar matahari yang langsung mengenai permukaan air dapat mengakibatkan suhu di permukaan air meningkat sehingga suhu air juga menjadi cenderung meningkat pula. Mekanisme ini juga didukung oleh permukaan genangan yang luas, kedalaman air yang dangkal dan nilai daya hantar listrik yang besar. Semakin tinggi kenaikan suhu air maka oksigen yang dapat terlarut dalam air semakin sedikit (Wardhana 1995). Kadar oksigen terlarut (DO) pada lokasi pengambilan sampel di kolam Taman Rektortat (Pp.1, Pp.2 dan Pp.3) adalah yang paling baik, yakni di atas 5 mg/l. Akan tetapi pada 6 genangan air lainnya menunjukkan kadar DO dibawah 5 mg/l bahkan lebih kecil dari 1 mg/l. Kondisi ini dapat berakibat fatal bagi ikan (lihat Tabel 12). Oleh karena itu, pada genangan air yang kadar oksigennya rendah, kebutuhan oksigen diperoleh dari udara di atas permukaan air, yang pada berudu dikenal dengan perilaku gulping air. Kadar oksigen terlarut yang minim meningkatkan intensitas perilaku gulping (Duellman & Trueb 1994) sekaligus meningkatkan resiko pemangsaan oleh predator alami berudu (McDairmid &Altig 1999 dalam Dickman & Durtche 2000).

65 49 Konsumsi rata-rata oksigen terlarut akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan berudu (Duellman & Trueb 1994) meskipun pada kasus larva X. laevis justru terjadi sebaliknya. Hal ini disebabkan terjadi penurunan aktivitas fisik, seperti aktivitas berenang, mencari makan, dan menghindari predator, pada beberapa individu larva yang memasuki tahap terakhir perkembangan (Feder 1981 dalam Duellman & Trueb 1994). Dugan (1972) menyebutkan bahwa oksigen yang larut dengan cepat dikonsumsi oleh organisme dalam suatu perairan untuk melakukan proses metabolisme dan penguraian bahan organik sehingga kondisi perairan dalam status anaerob. Pemulihan kadar oksigen terlarut dalam air dapat diperoleh dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya atau melalui proses difusi atau persinggungan langsung dengan udara melalui mekanisme pergerakan air (Lesmana & Dermawan 2001). Kondisi kadar oksigen terlarut pada seluruh sampel air yang berasal dari kolam di Taman Rektorat lebih disebabkan oleh proses pergerakan air. Setiap hari pada jam kerja, pompa air mancur yang berada di tengah- tengah kolam dinyalakan sehingga menyebabkan terjadinya pergerakan air yang berdampak pada tingginya kadar DO dalam air. Tabel 12. Pengaruh kadar DO dalam air terhadap tumbuh-kembang ikan (Swingle 1969 dalam Boyd 1982) Nilai DO Dampak terhadap tumbuh-kembang ikan < 1 mg/l Menyebabkan kematian dalam beberapa jam 1-5 mg/l Ikan dapat hidup namun menyebabkan pertumbuhan terhambat dan menggangu reproduksi > 5 mg/l Ikan dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik Parameter kualitas air lainnya adalah BOD (Biochemical Oxygen Demand). Nilai BOD 5 menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (termasuk proses respirasi pada keadaan aerob) dalam waktu lima hari pada suhu 20 o C (Boyd 1982). Nilai BOD seringkali digunakan untuk menginvestigasi pencemaran air karena nilai BOD menggambarkan jumlah oksigen yang diperlukan untuk mencapai kondisi stabil atau self-purification (Bennet 1970). Nilai BOD 5 sampel air dari lokasi saluran air Audit Toyyib (Tp.3) menunjukkan nilai diatas kriteria baku mutu kualitas air yang telah ditetapkan, yakni sebesar 8,27 mg/l. Hal ini

66 50 dapat disebabkan oleh faktor bahan organik, jumlah mikroorganisme ataupun kombinasi keduanya. Kondisi ini berpeluang untuk terjadinya pencemaran organik yang disebabkan volume bahan organik lebih besar dibanding volume air yang tersedia, yang berdampak miskinnya kadar DO dalam air dan meningkatnya kadar BOD (Bennett 1970). Nilai daya hantar listrik (conductivity) suatu perairan menggambarkan konsentrasi ion dalam air. Nilai DHL dapat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa kimia yang bereaksi menghasilkan molekul ionik, salah satunya adalah amonia (NH + 4 ). Kadar amonia yang tinggi dalam air dapat menyebabkan keracunan pada ikan (Lesmana & Dermawan 2001), begitu pula pada berudu. Senyawa Amonia dalam air dapat berasal dari hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui urine dan feces berudu atau pembusukan bahan organik di dalam air (Dugan 1972). Selain itu, setiap kenaikan nilai DHL memberikan pengaruh terhadap kenaikan suhu air (Effendi 2003) yang berdampak pada penurunan jumlah oksigen terlarut di dalam air (Wardhana 1995). Kekeruhan terutama dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi seperti: lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton serta organisme mikroskopik lainnya. Kekeruhan yang disebabkan oleh plankton dan organisme mikroskopik lainnya tidak secara langsung berbahaya pada ikan, tetapi dapat menyebabkan kondisi air menjadi asam, pemiskinan nutrien, dan mengurangi penetrasi cahaya untuk proses fotosintesis (Boyd 1982). Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel tanah, pasir, lumpur dan bahan lainnya dapat membahayakan populasi ikan dalam jangka panjang (Boyd 1982). Namun hal tersebut tidak bersifat mematikan pada ikan, hanya akan berdampak pada produktivitas lingkungan perairan (Bennet 1970). Nilai kekeruhan air di lokasi pengambilan sampel termasuk dalam kategori sedang, yakni kurang dari 25 mg/l (Buck 1956 dalam Boyd 1982). Kondisi ini memungkinkan berudu P. leucomystax untuk hidup dan berkembang dengan baik karena berudu jenis ini diketahui dapat hidup pada kondisi air yang jernih ataupun keruh (Leong & Chou 1999).

67 Preferensi habitat berbiak P. leucomystax P. leucomystax dewasa sering ditemukan di tetumbuhan sekitar genangan air daripada di pepohonan yang tinggi, bahkan seringkali ditemukan di permukaan tanah atau di dalam saluran air (Sholihat 2007). Katak jantan umumnya ditemukan sedang menempel di dinding kolam atau bersembunyi di dalam saluran air. Keberadaan katak jantan cukup mudah diketahui karena katak jantan bersuara untuk menarik perhatian katak betina. Banyaknya suara yang dikeluarkan oleh katak jantan pada awalnya dipengaruhi oleh ada atau tidaknya hujan sebelum atau sesudahnya. Kemudian kehadiran betina yang produktif untuk kawin akan menentukan katak jantan yang akan dipilih berdasarkan intensitas suara yang dihasilkan (Yazid 2006). Sebaliknya, katak betina sangat jarang bersuara dan hanya mendatangi genangan air ketika individu tersebut siap untuk kawin, seperti yang dinyatakan Sholihat (2007) bahwa pola pergerakan katak jantan cenderung berada di sekitar genangan air sedangkan pada katak betina memiliki pola pergerakan yang lebih luas. Selanjutnya, katak betina yang menentukan jantan yang sesuai untuk melakukan perkawinan (amplexus). Umumnya ukuran P. leucomystax jantan lebih kecil daripada katak betina. Proses perkawinan ini dapat berlangsung selama 1 2 jam. Durasi waktu tersebut berhubungan dengan waktu yang diperlukan katak betina untuk menemukan lokasi peletakan telur yang sesuai (Duellman & Trueb 1994). Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi peletakan sarang/telur adalah mudah atau tidaknya lokasi tersebut diketahui oleh predator, kondisi genangan air, suhu dan keberadaan berudu jenis anura lain (Stebbins & Cohen 1997). Pengamatan pada 12 lokasi genangan air membuktikan bahwa tidak semua lokasi genangan disukai untuk meletakan telur (lihat Gambar 19 dan 20), khususnya di lokasi Arboretum Fahutan (Tp.1) dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta (Tp.6). Keberadaan predator dari jenis ikan guppy lokal dan berudu R. chalconota ditemukan di saluran air sebelah barat lapangan voli Fateta, sedangkan berudu dari jenis katak pohon lainnya, R. reinwardti, ditemukan di parit sebelah selatan Arboretum Fahutan. Namun pada lokasi lainnya juga ditemukan berudu dari jenis anura lain, seperti Bufo melanostictus dan Rana chalconota (lihat Tabel 9).

68 52 Lokasi yang disukai sebagai lokasi berbiak adalah kolam utama di Taman Rektorat (Pp.1), kolam di IPAL Fateta (Pp.4, Pp.5 dan Pp.6), genanga air di atap Perpuskaan Departemen Budidaya Hutan (Tp.2) dan saluran air di sebelah timur GWW (Tp.5), yang masing-masing merupakan perwakilan tipe genangan permanen dan temporer (lihat Gambar 20). Kondisi air pada kolam air permenan lebih terjamin ketersediaannya dibandingkan kondisi air yang berada di saluran air maupun tempat-tempat yang bisa menampung air hujan yang cenderung fluktuatif. Kolam-kolam permanen umumnya melibatkan campur tangan manusia, terutama kolam utama di Taman Rektorat (Pp.1). Adanya campur tangan manusia memberikan pengaruh terhadap kondisi kualitas air genangan air dan keberadaan sarang, seperti yang ditampilkan pada Tabel 13. Kondisi air pada kolam utama di Taman Rektorat lebih terjaga kebersihan. Nilai DO pada lokasi tersebut lebih tinggi daripada lokasi genangan air permanen lainnya sedangkan parameter kualitas air lainnya memiliki nilai yang lebih rendah, terkecuali ph. Kondisi ini memberikan pengaruh yang positif dalam menunjang perkembangan berudu. Namun aktivitas pembersihan kolam setiap sebulan sekali oleh petugas taman menyebabkan kerusakan pada sarang dan kematian pada berudu. Kondisi tersebut dapat dilihat dari perbandingan jumlah sarang dan individu berudu yang diteramati (lihat Gambar 26). Jumlah sarang yang ditemukan di lokasi kolam utama di Taman Rektorat sebanyak 13 buah sarang namun hanya 57 ekor berudu yang teramati, begitu juga pada lokasi kolam lainnya yang ada di Taman Rektorat (Pp.2 dan Pp.3). Jumlah sarang yang ditemukan di kedua lokasi tersebut hanya 2 buah sarang namun tidak ditemukan satu ekor pun berudu pada kolam sebelah selatan jalan (Pp.2) sedangkan dilokasi kolam sebelah utara jalan (Pp.3) ditemukan 87 ekor berudu. Kondisi suhu air rata-rata dan ph air pada keenam lokasi yang disukai untuk berbiak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Selain itu, ditemukan jenis anura lainnya yang menempati habitat yang sama, sedangkan ikan, semut, dan larva lalat tidak ditemukan pada kelima lokasi tersebut. Larva Odonata ditemukan pada 3 kolam permanen (Pp.1, Pp.3 dan Pp.4) dan lokasi genangan air di atap bangunan Perpustakaan Silvikultur Fahutan (Tp.2).

69 53 Larva dari beberapa lalat dari keluarga Calliphoridae, Chironomidae, Drosophilidae, Ephydridae, Phoridae, dan Psychodidae diketahui sebagai parasit bagi telur amfibi (Menin & Giaretta 2003; Duellman & Trueb 1994; Villa & Townsend 1983; Yorke 1983) dengan tingkat kerusakan % (Leong & Chou 1999). Beberapa jenis serangga lainnya, dari jenis tawon, juga diketahui sebagai predator bagi telur anura, misalnya Polybia rejecta dan Angiopolybia pallens (Warkentin 2000).. Embrio anura merupakan sumber makanan utama bagi koloni tawon yang hidup di sekitar genangan air (Warkentin 2000) Telur amfibi merupakan sumber makanan berprotein tinggi sebagai sumber energi bagi organisme lainnya (Villa & Townsend 1983), diantaranya ikan dan invetebrata akuatik (Duellman & Trueb 1994). Di lokasi genangan permanen dan sungai kecil, kedua predator tersebut merupakan predator utama, sedangkan pada genangan temporer, invetebrata aquatik merupakan satu-satunya predator bagi telur dan larva amfibi (Duellman & Trueb 1994). Larva odonata diketahui sebagai predator utama larva amfibi (Heyer et al. 1975). Ada juga jenis serangga akuatik lainnya, seperti kumbang air (Lethocerus spp ), Belastoma, Nepa dan Ranatra (Pinnaro 2006; Wager 1965 dalam Duellman & Trueb 1994). Keberadaan ikan pada suatu perairan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan reproduksi katak pohon Litoria aurea dan L. dentata, seperti dilaporkan oleh Morgan & Buttermer (1996). Berudu P. leucomystax diketahui tidak pernah ditemukan pada genangan air yang terdapat ikan di dalamnya (Taylor 1962 dalam Leong & Chou 1999). Penelitian ini belum mampu menjawab pengaruh anura jenis lainnya terhadap pemilihan habitat berbiak oleh P. leucomystax secara pasti. Akan tetapi, ada kemungkinan terdapat pengaruh anura lainnya, terutama oleh katak pohon lainnya, seperti yang terjadi pada lokasi parit sebelaha selatan Arboretum Fahutan (Tp.1) dan Lab. Lapang Konservasi Tumbuhan Fahutan (Tp.2) yang merupakan habitat utama Rhacophorus reindwarti (Yazid 2006). Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa larva jenis anura lainnya dapat menjadi predator bagi larva anura yang lain, terutama dapat terjadi pada tipe genangan temporer. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan persediaan makanan dan ruang yang menyebabkan terjadinya mekanisme kanibalisme (Duelman & Trueb 1994).

70 Tabel 13. Karakteristik lokasi pengamatan yang disukai sebagai lokasi berbiak oleh P. leucomystax Parameter yang diukur Lokasi pengamatan yang disukai Kondisi fisik Pp.1 Pp.4 Pp.5 Pp.6 Tp.2 Tp.5 1. Luas permukaan (m 2 ) 12,56 3,40 1,00 2,22 10,85 5,80 2. Kedalaman air (m) 0,51 0,80 0,99 3,06 0,05 0,10 3. Kelas tutupan genangan a < 1 < Kualitas air 1. DO (mg/l) 7,38 1,44 1,64 0,62 na na 2. BOD (mg/l) 4,20 5,17 3,32 3,20 na na 3. COD (mg/l) 15,80 20,59 17,40 23,16 na na 4. Turbid (NTU) 1,80 3,80 1,80 1,55 na na 5. Suhu air b ( o C) 28,3±1,0 27,5±0,8 26,9±0,4 26,7±0,1 26,5±1,6 26,8±0,7 6. TDS (mg/l) 0,04 0,11 0,13 0,15 na na 7. DHL (µs) 0,08 0,22 0,26 0,29 na na 8. ph 6,01 6,50 5,82 6,58 na na Spesies lain c 1. Odonata Ikan Semut Larva lalat Anura Aktivitas manusia d a b Kelas tutupan genangan 1 = 20 40% ; 2 = 41 60% ; 3 = 61 80% ; 4 = % ; Suhu air adalah ratarata suhu pada tiga periode pengukuran (mean ± SD); c Keberadaan spesies lain (+) = ditemukan; (-) = tidak ditemukan; d Aktivitas manusia (+++) = tinggi; (++) = jarang; (-) = tidak ada; na (data not available) pada saat pengukuran kondisi air tidak memenuhi kriteria untuk pengambilan sampel. 54 Kondisi penutupan genangan pada keenam lokasi berbiak memperlihatkan kondisi yang bervariasi, mulai yang terbuka(< 40%) hingga yang hampir tertutup seluruhnya (> 80%). Kondisi mengindikasikan bahwa P. leucomystax memiliki strategi reproduksi yang mampu beradaptasi pada habitat yang bervegetasi maupun bervegetasi jarang. Hal inilah yang membedakan P. leucomystax dengan jenis katak pohon lainnya yang ada di kampus, R. reinwardti. Yazid (2006) melaporkan bahwa R. reinwardti sangat bergantung pada keberadaan vegetasi, khususnya jenis pohon burahol (Stelechocarpus burahol), Matoa (Pometia pinata), angsana (Pterocarpus indicus), baik pada saat katak jantan melakukan panggilan, amplexus, hingga meletakan sarang. Sehingga P. leucomystax dapat ditemukan dengan mudah dan memiliki populasi yang relatif melimpah di kawasan kampus dibanding R. reinwardti.

71 55 Strategi reproduksi pada amfibi dipandang sebagai perpaduan dari kondisi fisiologi, morfologi dan perilaku dari masing-masing jenis untuk menghasilkan produktivitas yang optimal, disamping faktor lingkungan (Duellman & Trueb 1994). Karakteristik fisik genangan air, kualitas air, faktor iklim mikro pada seluruh lokasi pengambilan sampel, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk setiap variabel yang diukur. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang nyata pada faktor ketinggian lokasi, intensitas curah hujan, fluktuatif temperatur dan kelembaban yang rendah. Jumlah sarang & berudu Pp.1 Pp.5 Tp.5 Sarang Berudu Lokasi pengamatan Gambar 27. Perbandingan jumlah sarang dan berudu yang teramati pada genangan air dengan nilai Pi untuk lokasi peletakan sarang paling tinggi Lokasi kolam kecil di IPAL Fateta (Pp.5) merupakan lokasi yang jumlah berudu yang teramati paling tinggi namun jumlah sarang yang teramati hanya satu sarang. Kondisi tersebut menggambarkan lokasi tersebut kurang disukai sebagai lokasi peletakan sarang, namun menunjukkan tingkat keberhasilan reproduksi yang optimal. Hal ini diduga sebagai salah satu bentuk strategi reproduksi untuk menjaga optimalitas proses regenerasi, seperti yang diamati oleh Marsh & Borreall (2001) pada jenis Physalaemus pustulosus, yang menghindari lokasi genangan yang telah terdapat sarang atau larva dari jenis yang sama.

72 56 Fenomena yang diamati oleh Marsh & Borrelll (2001) terjadi pada tipe genangan temporer, sedangkan lokasi pengambilan sampel yang diamati termasuk dalam tipe genangan air permanen. Faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut adalah faktor luas permukaan genangan yang kecil. Luas permukaan genangan yang sempit dapat menghambat pertumbuhan berudu (Woodward 1987 dalam Stebbins & Cohen 1995). Meskipun lokasi ini memiliki ketersediaan air dan kedalaman air yang cenderung konstan, akan tetapi kadar oksigen yang terlarut sangat rendah, yakni dibawah 3 mg/l, sehingga intensitas perilaku gulping air meningkat yang berdampak pada kebutuhan akan energi untuk metabolisme juga meningkat, dengan sumberdaya yang terbatas. Lokasi pengambilan sampel di saluran air sebelah timur GWW (Tp.5) disukai oleh P. leucomystax sebagai lokasi peletakan telur, akan tetapi proporsi jumlah berudu yang teramati tidak mencerminkan jumlah sarang yang ditemukan. Faktor utama penyebab terjadinya kondisi tersebut adalah faktor kekeringan, sehingga berudu akan mati sebelum menjadi katak dewasa. Lokasi ini akan tergenang air jika hujan turun lebat dalam waktu satu hingga dua hari dan dalam selang waktu 5-7 hari setelahnya akan mengalami kekeringan jika tidak turun hujan Upaya konservasi Polypedates leucomystax di Kampus IPB Darmaga Upaya konservasi dan pengelolaan habitat satwaliar, khususnya amfibi, secara nyata di Kampus IPB Darmaga belum pernah dilakukan. Informasi dan data mengenai keanekaragaman amfibi di kampus dapat dijadikan sebagai pengetahuan dasar dalam upaya konservasi dan perlindungan habitat baik oleh elemen mahasiswa maupun institusi. Persepsi negatif masyarakat awan terhadap katak dan kodok sebaiknya pahami sebagai sebuah tantangan untuk merubah persepsi tersebut menjadi sebuah pemahaman yang berlandaskan fakta dan bukti ilmiah. Pengetahuan dan pemahaman tentang amfibi dapat dikatakan masih minim, terutama di kawasan kampus IPB Darmaga. Sehingga diperlukan upaya penyadar-tahuan arti penting amfibi bagi kebelangsungan ekosistem yang terbentuk di kawasan kampus IPB.

73 57 Upaya penyadar-tahuan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara dan media, misalnya dengan melakukan pendidikan konservasi kepada siswa-siswi sekolah tingkat dasar, menengah maupun lanjutan untuk mengenalkan dan memberikan pengetahuan yang benar tentang amfibi. Selain itu juga, keberadaan anura di kampus dapat dijadikan sebagai objek yang menarik dalam kegiatan Agro-edutourism yang diselenggarakan oleh institusi IPB. Peserta Agroedutourism dapat secara langsung berinteraksi dengan satwa, mengenal dan mampu membedakan ciri masing-masing jenis. Informasi mengenai ancaman populasi P. leucomystax masih belum ada, karena jenis katak pohon ini dapat beradaptasi dengan baik pada habitat yang terganggu sekalipun. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi suatu alasan untuk tidak memperhatikan keberadaan jenis ini. Faktor fragmentasi habitat dan tercemarnya genangan air oleh bahan buangan akibat aktivitas manusia merupakan ancaman serius yang dapat berdampak punahnya suatu spesies dalam cakupan area yang spesifik (Diesmos et al. 2004). Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan keberadaan P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga adalah dengan mempertahankan keberadaan vegetasi dan genangan air sebagai habitatnya, tidak melakukan penangkapan yang berlebihan untuk kepentingan komersil dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang bio-ekologi P. leucomystax, salah satunya dengan pengawetan (preservasi). Gambar 28. Preservasi P. leucomystax sebagai upaya mempelajari Bio-ekologi di laboratorium Harapannya dengan mempelajari bio-ekologi P. leucomystax dapat memberikan informasi lebih detail tentang jenis katak pohon ini, misalnya yang berkenaan dengan perilaku, jenis makanan, ancaman populasi dan sebagainya.

74 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai preferensi habitat berbiak katak pohon bergaris, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Habitat berbiak P. leucomystax di kawasan Kampus IPB Darmaga terdiri dari kolam dan saluran air dengan suhu air rata-rata 24 o 29 o C, oksigen terlarut 0,5 9 mg/l, dan ph air berkisar 5,5 6,5. Persentase tutupan genangan air memiliki kisaran nilai 0 96 % dengan temperatur udara rata-rata 22 o 30 o C, kelembaban nisbi udara rata-rata 76 92% dan kedalaman air 0,10 3,06 meter. 2. Habitat berbiak diklasifikasi menjadi tipe genangan air permanen dan temporer. Lokasi berbiak yang paling disukai untuk meletakan telur adalah saluran air sebelah timur GWW, kolam kecil di IPAL Fateta dan kolam utama Taman Rektorat, sedangkan lokasi yang tidak disukai adalah parit di sebelah selatan Arboretum Fahutan dan saluran air di sebelah barat lapangan voli Fateta. 3. Keberadaan ikan, larva dipteral dan pengelolaan kolam oleh manusia merupakan faktor yang paling berperan dalam pemilihan lokasi berbiak P. leucomystax, sedangkan pengaruh keberadaan jenis anura lainnya belum diketahui Saran 1. Keberadaan vegetasi di sekitar kolam dan genangan air harus dipertahankan untuk menjaga kestabilan kondisi iklim mikro terutama pada siang hari dan sebagai tempat berlindung dan mencari makan bagi katak. 2. Sampah plastik, kaleng, botol minuman, kertas dan sisa makanan, sebaiknya tidak dibuang ke dalam kolam maupun saluran air karena dapat berdampak pada penurunan kualitas air. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebaran populasi dan monitoring secara berkala untuk jenis anura yang ada di kampus dalam upaya mewujudkan kampus IPB sebagai kampus konservasi.

75 DAFTAR PUSTAKA Aichinger M Annual activity of anurans in a seasonal Neotropical environment. Oecologia 71: Alcala AC Breeding behavior and early development of frogs of Negros, Philippine Islands. Copeia 1962: Alcala AC and WC Brown Early life history of two Philippine frogs with notes on deposition of eggs. Herpetologica 12 (3): Beard KH, S McCullough and AK Eschtruth Quantitative assessment of habitat preferences for the Puerto Rican terrestrial frog, Eleutherodactylus coqui. Journal of Herpetology 37 (1): Beltzer AH, M Quiroga, SLB Comini Feeding ecology of the grayish saltator saltator coerulescens (Aves: Emberizidae) in the Parana river floodplain (Argentina). Orsis 19 : Bennett GW Management of Lakes and Ponds. New York: Van Nostrand Reinhold Comp. 375 p. Berry PY The Amphibians Fauna of Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Tropical Pr. 130 p. Boyd CE Water Quality Management for Pond Fish Culture. Amsterdam: Elsevier Science Pub. Comp. 318 p. Brasileiro CA and M Martins Breeding biology of Physalaemus centralis Bokermann 1962 (Anura: Leptodactylidae) in Southeastern Brazil. Journal of Natural History 40 (17-18): Brown WC and AC Alcala Modes of reproduction of Philippine anurans. In AGJ Rhodin and K Miyata (eds.), Advances in Herpetology and Evolutionary Biology, Cambridge, Massachusetts; Museum Company of Zoology : Dickman TC and RD Durtsche Time activity budgets for tadpoles of the american toad (Bufo americanus). Norse Scientist, Northern Kentucky University. Diesmos A, AC Alcala, R Brown, L Afuang, G Gee, J Sukumaran, N Yaakob, LT Ming, Y Chuaynkern, K Thirakhupt, I Das, DT Iskandar, Mumpuni, R Inger, R Stuebing, P Yambun, M Lakim, S Dutta, A Ohler, Y Kaneko, M Matsui, S Bordoloi Polypedates leucomystax. In: IUCN IUCN Red List of Threatened Species. [9 Feb 2007]. Duellman WE and L Trueb Biology of Amphibians. New York: McGraw- Hill. 670 p. Dugan PR Biochemical Ecology of Water Pollution. New York: Plenum Pr. 159 p. Dunson WA Tolerance to high temperature and salinity by tadpoles of the Philippine frog, Rana cancrivora. Copeia. 1977:

76 Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 258 hlm. Eggert C and R Guyetant Reproductive behaviour of spadefoot toads (Pelobates fuscus): Daily sex ratios and males tactics, ages and physical condition. Canadian Journal of Zoology 81: [EPA] Environmental Protection Agency of USA Quality Criteria for Water. Washington DC: United States Pub. Agency. Fardiaz S Polusi Air dan Udara. Bogor: Kanisius. 190 hlm. Goin CJ, OB Goin and GR Zug Introduction to Herpetology. San Fransisco: Freeman. 341 p. Goldman CR and AJ Horne Limnology. United States of America : McGraw-Hill Book Comp. 455 p. Griffiths RA and JP Foster The effect of social interactions on tadpole activity and growth in the british anuran amphibians (Bufo bufo; B.calamita, and Rana temporaria). Journal of Zoology London 245: Hlmliday T and K Adler The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New York: Facts on File Inc. 143 p. Heinen JT and JA Abdella On the advantages of putative cannibalism in american toad tadpoles (Bufo a. americanus): Is it active or passive and why? Am. Midl. Nat. 153: Hernowo JB, R Soekmadi dan Ekarelawan Kajian pelestarian satwaliar di Kampus IPB Darmaga. Media Konservasi III (2): Heyer WR, RW McDiarmid and DL Weigmann Tadpoles, predation and pond habitats in the Tropic. Biotropica 7(2): Heyer WR, MA Donnelly, RW McDiarmid, LC Hayek and MS Foster Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard methods for amphibians. Washington: Smithsonian Inst. Pr. 364 p. Inger RF The Systematics and Zoogeography of the Amphibia of Borneo. Chicago: Field Museum of Natural History Pr. 402 p The Systematics and Zoogeography of the Amphibia of Borneo. Kota Kinabalu: Natural History Pub. 402 p. Inger RF and RB Stuebing A Field Guide to the Frogs of Borneo. Sabah: Natural History Pub. 205 p. Iskandar DT Amfibi Jawa dan Bali: Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI. 117 hlm. Kadadevaru GG and RD Kanamadi Courtship and nesting behavior of the malabar gliding frog, Rhacophorus malabaricus (Jerdon, 1870). Current Science 79 (3): Kreb CJ Ecological Methodology. New York: Harper and Row Pub. 654 p. 60

77 Kurnia I Studi keanekaragaman jenis burung untuk pengembangan wisata Birdwatching di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Kuzmin Y, VV Tkach and JA Vaughan Rhabdias kongmongthaensis sp.n. (Nematoda:Rhabdiasidae) from Polypedates leucomystax (amphibia: Anura: Rhacophoridae) in Thailand. Folia parasitological 52: Leong TM and LM Chou Larval diversity and development in the Singapore anura (Amphibia). The Raffles Bulletin of Zoology 47(1): Lesmana DS dan I Dermawan Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Jakarta: Penerbar Swadaya. 60 hlm. Liem DSS The frogs and toads of Tjibodas National Park, Mt. Gede, Java, Indonesia. Phillippine Journal of Science 100 (4): Lim KKP and FLK Lim A Guide to the Amphibians & Reptiles of Singapore. Singapore: Singapore Science Center. 160 p. Loman J Early metamorphosis in common frog Rana temporaria tadpoles at risk of drying: an experimental demonstration. Amphibia-Reptilia 20: Loman J and D Claesson Plastic response to pond drying in tadpoles Rana temporaria: test of cost models. Evolutionary Ecology Research 5: Marsh DM and BJ Borrell Flexible oviposition strategies in tungara frogs and their implicants for tadpole spatial distributions. Oikos 93: Mattison C Keeping and Breeding Amphibian. London: Bland ford. Mattison C Encyclopedia of Reptiles and Amphibians: An Essential Guide to Reptiles and Amphibians of the World. London: Grange Books. 288 p. Menin M and AA Giaretta Predation on foam nests of leptodactyline frogs (Anura: Leptodactylidae) by larvae of Beckeriella niger (Diptera: Ephydridae). Journal Zoology of London 261: Mistar Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation and PILI-NGO Movement. 111 hlm. Mokany A and R Shine Competition between tadpoles and mosquitoes: the effect of larval density and tadpole size. Australian Journal of Zoology 50: Morgan LA and WA Buttermer Predation by the non-native fish on small Litoria aurea and L. dentata tadpoles. Australian Zoologist 30(2): Morrison C, JM Hero and WP Smith Mate selection in Litoria chloris and Litoria xanthomera: Females prefer smaller males. Austral Ecology 26: Mulyani YA Studi keanekaragaman jenis burung di lingkungan Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. 61

78 Parris KM, TW Norton and RB Cunningham A comparison of techniques for sampling amphibian in the forest of South-East Queensland. Australia Herpetological 55: Parris KM The distribution and habitat requirements of the great barred frog (Mixophyes fasciolatus). Wildlife Research 29: Pinnaro C The effect of cover on a predator-prey system: giant water bugs (Lethocerus spp.) and Eastern gray treefrog tadpoles (Hyla versicolor). BIOS 539: Practicum in Field Biology. Pratomo H Keragaman dan ekologi genus rana (Amphibia:Ranidae) di daerah Bogor, Sukabumi dan Cianjur [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Premo DB The reproductive ecology of a ranid frog community in pond habitats of West Java, Indonesia [Dissertation]. United States: Department of Zoology. Michigan University. Roy D, A Choudhury and B Borah Role of weather condition on the daily apperance and avertisement call initiation time of Polypedates leucomystax during breeding season. Zoos' Print Journal 19(3): Santos SA, SMA Crispim, AC Soares, RA Mauro, M Pereira and JRB Sereno Grazing patterns of pantaneiro horses: an element of adaptability to the pantanal region, Brazil. Arch. Zootec 51: Saputro NC Keanekaragaman jenis kupu-kupu di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Schiesari L, M Gordo and W Hoedl Treeholes as calling, breeding, and developmental sites for the amazonian canopy frog, Phrynohyas resinifictrix (Hylidae). Copeia 2: Schijfsma K Notes on some tadpole, toads and frogs from Java. Treubia (XIV): Sholihat N Pola pergerakan harian dan penggunaan ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Stebbins RC and N W Cohen A Natural History of Amphibians. Princeton University Pr. New Jersey. 316 p. Villa J and DS Townsend Viable frog eggs eaten by phorid fly larvae. Journal Herpetology 17: Wardhana WA Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset. 284 hlm. Warkentin KM Wasp predation and wasp-induced hatching of red-eyed tree frog egg. Animal Behaviour (60):

79 Yazid M Perilaku berbiak katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii Kuhl and van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Intitut Pertanian Bogor. Yorke CD Survival of embryos and larvae of the frog Polypedates lecomystax in Malaysia. Journal Herpetology 17(3): Yuliana S Keragaman jenis amfibi (Ordo Anura) di Kampus IPB Darmaga, Bogor [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Intitut Pertanian Bogor. 63

80 LAMPIRAN

81 65 Lampiran 1. Ciri morfologi Polypedates leucomystax Gravenhorst, dewasa dan tingkat berudu 1829 pada Katak dewasa: Katak dewasa jenis inii umumnya berukuran sedang hingga besar dengan warna kulit coklat kekuningann dan terdapat garis berwarna gelap pada bagian punggung. Ukuran tubuh betina umumnya lebih besar daripada jantan. Warna kulit pada jenis ini bervariasi tergantung pada kondisi habitatnya, sehingga tidak dapat menjadi parameter utama identifikasi. Proses identifikasi dapat dilakukan dengan melihat bentuk kepala yang meruncing (Gambar 1a) dengan kulit kepala yang menyatu dengan tengkorak. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan melihat selaput pada jari tangan. Jenis ini memiliki kaki ramping dengan jari tangan dan kaki melebar dan bagian ujung rata. Jari tangan setengahnya berselaput dan jari kaki hampir sepenuhnya berselaput (Gambar 1b). Gambar 1a. Gambar 1b. Berudu : Berudu jenis ini dapat dikenali dengan cirri terdapat titik putih pada bagian ujung moncong kepala di atas mulut. warna kepala-tubuh dan ekor kecoklatan hingga kuning gelap, terkadang bercorak gelap. Bagian sirip ekor terkadang berpigmen coklat atau kehitaman.dan terdapat corak gelap dari arah mata ke ujung moncong. Berudu jenis ini juga dapat diidentifikasi menghitung jumlah gigi labial yang memiliki formula gigi I: 3-3/III (Gambar 2). Labial atas (I) Labial tengah kiri-kanan (3-3) Labial bawah (III) Gambar 2.

82 Lampiran 2. Tahapan perkembangan pada fase berudu berdasarkan tahap Gosner 66

83 67 Lampiran 3. Data curah hujan selama 10 tahun terakhir ( ) di Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. STASIUN : KLIMATOLOGI BOGOR Elevasi : 250 M Lokasi : 06.33'10,9 LS : '58,5" BT TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OCT NOV DES CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH Rata-rata* *di ukur dalam mm

84 68 Lampiran 4. Data klimatologi sepanjang tahun BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR WILAYAH II STASIUN KLIMATOLOGI KLAS I DARMAGA BOGOR BULAN TEMPERATUR UDARA LEMBAB NISBI PENYINARAN PENG WAKTU PERAMATAN MAKSIMUM MINIMUM WAKTU PERAMATAN MATAHARI UAPAN RT2 RT2 ABS RT2 ABS RT2 Lama Intenst KA Januari 23,0 30,6 27,9 26,1 31,7 35,0 22,4 20, , ,0 Februari 23,0 28,7 25,6 25,1 29,7 32,8 22,6 21, , ,2 Maret 23,4 29,6 26,3 25,7 30,7 32,8 22,9 22, , ,7 April 23,4 30,4 25,9 25,8 31,6 32,8 22,9 21, , ,1 Mei 23,2 30,7 26,7 26,0 31,8 33,0 22,9 22, , ,9 Juni 22,7 30,3 26,7 25,6 31,4 32,8 22,3 20, , ,0 Juli 22,2 30,8 27,3 25,6 31,7 32,6 21,8 19, , ,2 Agustus 21,8 30,8 27,3 25,4 31,9 33,8 21,3 19, , ,5 September 22,2 31,5 27,9 26,0 32,6 34,1 21,6 19, , ,9 Oktober 23,1 31,7 26,0 26,0 32,7 34,3 22,3 21, , ,6 November 23,2 31,1 26,0 25,9 32,0 34,6 22,1 20, , ,6 Desember 23,3 29,0 25,5 25,3 30,0 33,6 22,4 21, , ,0 Jumlah 274,5 365,1 319,0 308,3 377,8 402,2 267,5 248,3 1129,9 780,9 992,7 1000,0 46,0 795,1 3297,0 30,9 Rata-rata 22,9 30,4 26,6 25,7 31,5 33,5 22,3 20,7 94,2 65,1 82,7 83,3 3,8 66,3 274,8 2,6 Keterangan RT2 : Rata-rata ABS : Absolut ( Yang "ter" ) LP : Lama Penyinaran KA : Kecepatan Angin (Km/jam) CH : Curah Hujan (mm) HH : Hari hujan RR : Jumlah Curah Hujan Intenst : Intensitas

85 69 Lampiran 5. Data kondisi suhu udara, suhu air, dan kelembaban nisbi pada tiga periode waktu di lokasi pencuplikan selama kegiatan penelitian berlangsung. Periode Pagi T udara ( ) T air ( ) % RH ( ) Lokasi Mean Df Mean Df Mean Df Pp.1 24,50 23,00 22,00 23,17 0,63 28,30 26,60 26,40 27,10 1,04 83,00 83,00 91,00 85,67 4,62 Pp.2 24,00 24,00 22,50 23,50 0,76 26,80 26,20 25,70 26,23 0,55 91,00 83,00 91,00 88,33 4,62 Pp.3 24,00 24,00 22,50 23,50 0,76 27,90 26,40 26,30 26,87 0,90 91,00 83,00 91,00 88,33 4,62 Pp.4 24,00 23,00 22,00 23,00 0,58 27,10 26,50 26,20 26,60 0,46 83,00 91,00 91,00 88,33 4,62 Pp.5 24,00 23,00 22,00 23,00 0,58 26,70 26,50 26,10 26,43 0,31 83,00 91,00 91,00 88,33 4,62 Pp.6 24,00 23,00 22,00 23,00 0,58 26,80 26,80 26,90 26,83 0,06 91,00 91,00 91,00 91,00 0,00 Tp.1 24,00 26,00 23,50 24,50 1,26 24,50 24,70 24,30 24,50 0,20 91,00 92,00 91,00 91,33 0,58 Tp.2 25,00 27,00 25,50 25,83 0,79 25,80 24,50 24,20 24,83 0,85 84,00 84,00 92,00 86,67 4,62 Tp.3 25,50 27,00 24,50 25,67 1,25 27,80 26,80 26,20 26,93 0,81 84,00 84,00 83,00 83,67 0,58 Tp.4 25,00 24,50 24,00 24,50 0,29 26,30 25,70 25,30 25,77 0,50 84,00 83,00 83,00 83,33 0,58 Tp.5 24,50 24,00 23,00 23,83 0,54 26,30 26,30 25,70 26,10 0,35 91,00 83,00 83,00 85,67 4,62 Tp.6 22,50 23,00 22,50 22,67 0,25 25,30 25,20 24,70 25,07 0,32 91,00 83,00 82,00 85,33 4,93 Periode siang Tudara ( ) T air ( ) % RH ( ) Lokasi Mean Df Mean Df Mean Df Pp.1 28,00 29,00 29,00 28,67 0,19 29,70 28,40 29,10 29,07 0,65 77,00 78,00 78,00 77,67 0,58 Pp.2 28,00 30,00 30,00 29,33 0,38 27,90 26,90 27,30 27,37 0,50 77,00 85,00 85,00 82,33 4,62 Pp.3 28,00 30,00 30,00 29,33 0,38 28,60 27,60 28,30 28,17 0,51 77,00 85,00 85,00 82,33 4,62 Pp.4 28,50 28,50 28,00 28,33 0,25 28,40 28,20 28,10 28,23 0,15 85,00 85,00 77,00 82,33 4,62 Pp.5 28,50 28,50 28,00 28,33 0,25 27,30 26,80 27,30 27,13 0,29 85,00 85,00 77,00 82,33 4,62 Pp.6 28,50 28,50 28,00 28,33 0,25 26,80 26,60 26,80 26,73 0,12 85,00 85,00 85,00 85,00 0,00

86 70 Tudara ( ) T air ( ) % RH ( ) Lokasi Mean Df Mean Df Mean Df Tp.1 26,00 27,00 27,50 26,83 0,35 26,70 25,40 26,40 26,17 0,68 84,00 92,00 85,00 87,00 4,36 Tp.2 26,00 27,00 28,50 27,17 0,82 26,40 26,20 26,80 26,47 0,31 84,00 84,00 85,00 84,33 0,58 Tp.3 27,00 30,00 30,50 29,17 0,67 28,20 27,50 27,70 27,80 0,36 77,00 85,00 79,00 80,33 4,16 Tp.4 27,50 30,50 33,00 30,33 1,49 27,90 27,10 27,60 27,53 0,40 77,00 79,00 73,00 76,33 3,06 Tp.5 27,00 29,00 29,50 28,50 0,50 26,70 26,10 27,40 26,73 0,65 84,00 85,00 78,00 82,33 3,79 Tp.6 29,00 28,50 28,00 28,50 0,29 25,90 25,70 26,70 26,10 0,53 78,00 77,00 77,00 77,33 0,58 Periode malam Tudara ( ) T air ( ) % RH ( ) Lokasi Mean Df Mean Df Mean Df Pp.1 25,00 23,00 25,00 24,33 1,02 29,00 28,90 28,20 28,70 0,44 91,00 83,00 83,00 85,67 4,62 Pp.2 25,00 23,00 24,00 24,00 0,58 28,50 27,60 27,70 27,93 0,49 91,00 83,00 83,00 85,67 4,62 Pp.3 25,00 23,00 24,00 24,00 0,58 29,50 29,20 27,10 28,60 1,31 91,00 83,00 83,00 85,67 4,62 Pp.4 24,50 23,00 24,00 23,83 0,54 27,50 28,70 27,20 27,80 0,79 91,00 83,00 84,00 86,00 4,36 Pp.5 24,50 23,00 24,00 23,83 0,54 27,00 27,80 26,90 27,23 0,49 91,00 83,00 84,00 86,00 4,36 Pp.6 24,50 23,00 24,00 23,83 0,54 26,50 26,30 27,20 26,67 0,47 91,00 83,00 84,00 86,00 4,36 Tp.1 24,50 22,50 24,00 23,67 0,79 27,80 25,80 27,20 26,93 1,03 91,00 82,00 91,00 88,00 5,20 Tp.2 25,00 23,00 23,50 23,83 0,42 29,00 27,80 27,40 28,07 0,83 92,00 83,00 91,00 88,67 4,93 Tp.3 25,50 24,50 24,00 24,67 0,35 28,00 29,20 28,20 28,47 0,64 92,00 84,00 83,00 86,33 4,93 Tp.4 25,50 25,00 24,50 25,00 0,29 28,00 27,50 27,30 27,60 0,36 92,00 83,00 83,00 86,00 5,20 Tp.5 25,00 24,50 26,00 25,17 0,75 28,00 27,30 27,40 27,57 0,38 92,00 84,00 84,00 86,67 4,62 Tp.6 24,50 23,00 24,50 24,00 0,76 25,50 26,70 26,90 26,37 0,76 91,00 84,00 83,00 86,00 4,36

87 71 Lampiran 6. Tabel transformasi Arcsine.

88 72 Lampiran 6. Lanjutan.

89 73 Lampiran 7. Indeks preferensi habitat katak pohon bergaris (Duncan 1983). Jumlah (Xi) Proporsi (xi/n) Proporsi (xi/ai) Pi (Log [(xi/ai)+1]) Plot Luas ai jantan betina sarang berudu jantan betina sarang berudu jantan betina sarang berudu jantan betina sarang berudu Pp.1 12,56 0, ,207 0,292 5,424 0,059 2,676 3,773 5,424 0,759 0,57 0,68 0,81 0,25 Pp.2 48,81 0, ,034 0,042 0,215 0,000 0,115 0,139 0,215 0,000 0,05 0,06 0,08 0,00 Pp.3 48,81 0, ,049 0,125 0,215 0,090 0,164 0,416 0,215 0,298 0,07 0,15 0,08 0,11 Pp.4 3,40 0, ,034 0,000 3,083 0,070 1,648 0,000 3,083 3,343 0,42 0,00 0,61 0,64 Pp.5 1,00 0, ,044 0,125 5,241 0,216 7,203 20,308 5,241 35,099 0,91 1,33 0,80 1,56 Pp.6 2,22 0, ,049 0,042 2,361 0,100 3,605 3,049 2,361 7,303 0,66 0,61 0,53 0,92 Tp.2 10,85 0, ,113 0,000 0,000 0,197 1,696 0,000 0,000 2,942 0,43 0,00 0,00 0,60 Tp.3 17,75 0, ,133 0,000 0,590 0,080 1,217 0,000 0,591 0,734 0,35 0,00 0,20 0,24 Tp.4 11,26 0, ,074 0,125 0,465 0,061 1,066 1,804 0,465 0,876 0,32 0,45 0,17 0,27 Tp.5 5,80 0, ,261 0,250 6,325 0,129 7,313 7,003 6,325 3,602 0,92 0,90 0,86 0,66 Total 162,

90 74 Lampiran 8. Uji khi-kuadrat luas permukaan, kedalaman air, dan tutupan genangan, suhu dan kelembaban nisbi di kedua tipe genangan. Luas permukaan * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 10,285 16,636 10,083,965 1, a. 22 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Suhu udara pagi * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 7,101 16,636 7,020 4,552 1, a. 16 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Kedalaman air * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 10,285 16,636 10,083 3,326 1, a. 22 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Suhu udara siang * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 7,101 16,636 7,020,310 1, a. 16 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Tutupan genangan * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 10,000 a 10,440 13,863 10,179 2,384 1, a. 22 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Suhu udara malam * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 6,333 a 6,387 8,318 6,216 2,107 1, a. 14 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Suhu air pagi * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 11,364 16,636 11,119 5,055 1, a. 24 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Kelembaban nisbi pagi * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 10,000 a 7,189 13,863 7,054 2,258 1, a. 16 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Suhu air siang * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 10,000 a 10,440 13,863 10,179 3,489 1, a. 22 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Kelembaban nisbi siang * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 8,800 a 7,267 11,632 7,113,114 1, a. 16 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50.

91 75 Lampiran 8. Lanjutan. Suhu air malam * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 11,364 16,636 11,119,540 1, a. 24 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Kelembaban nisbi malam * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 7,200 a 5,206 9,905 5,078 3,848 1, a. 12 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Lampiran 9. Uji khi-kuadrat parameter kualitas air. DO (Oksigen terlarut) * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-square (0,05 ; 8) = 15,507 BOD * tipe genangan COD * tipe genangan ph * tipe genangan Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 9,000 a 8,342 11,457 8,177 1,525 1,217 a. 18 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 9 Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 9,000 a 8,342 11,457 8,177 1,135 1,287 a. 18 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 9 Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 9,000 a 6,174 11,457 6,075 2,339 1,126 a. 14 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. 9 Chi-Square Tests Kekeruhan * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 6,750 a 6,345 8,685 6,192,106 1,744 a. 14 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. TDS * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 9 Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 3,750 a 5,586 4,866 5,433,133 1,715 a. 12 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. DHL * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 9 Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 4,500 a 6,609 5,912 6,433,185 1,668 a. 14 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. 9 Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Asymp. Sig. Value df (2-sided) 9,000 a 8,342 11,457 8,177,479 1,489 a. 18 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,33. 9

92 76 Lampiran 10. Uji khi-kuadrat jumlah individu dewasa dan berudu P. leucomystax yang teramati pada kedua tipe genangan. Jumlah jantan * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Jumlah sarang * tipe genangan Asymp. Sig. Value df (2-sided) 12,000 a 8,151 16,636 8,034,333 1, a. 18 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 6,333 a 4,176 8,318 4,081,707 1, a. 10 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Jumlah betina * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 6,133 a 4,189 7,812 4,099,500 1, a. 10 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50. Jumlah berudu * tipe genangan Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 9,333 a 9,407 12,816 9,171,077 1, a. 20 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is,50.

93 77 Lampiran 11. Foto spesimen larva odonata, larva dipteral, dan beberapa jenis anura lainnya yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel. Spesimen larva odonata Spesimen larva donata, dipteral dan himenoptera Spesimen himenoptera (kiri) dan larva dipteral (kanan) Spesimen himenoptera Spesimen larva diptera Bufo melanostictus * Bufo asper* Bufo bipocartus* Rana chalconota Rhacophorus reindwartii*

Karya ilmiah ini didedikasikan kepada: Ayahanda dan Bunda tercinta.

Karya ilmiah ini didedikasikan kepada: Ayahanda dan Bunda tercinta. Karya ilmiah ini didedikasikan kepada: Ayahanda dan Bunda tercinta. PREFERENSI HABITAT BERBIAK KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR FERI IRAWAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Telur Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

Lebih terperinci

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) Desy Natalia Sitorus (E34120011), Rizki Kurnia Tohir (E34120028), Dita Trifani (E34120100) Departemen Konservasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai 19 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitiana Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai April 2012, pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada malam hari

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di desa Doro yang terletak di wilayah pesisir barat Pulau Halmahera Bagian Selatan. Secara administratif Desa Doro termasuk ke dalam wilayah

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014,

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, 19 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, di areal pertambakan intensif PT. CPB Provinsi Lampung dan PT. WM Provinsi

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 9 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dalam sebelas bulan, dimulai pada bulan April 2009 sampai bulan Maret 2010. Pengambilan data clutch telur dan berudu dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec.

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec. 3 BAHAN DAN METODE 3. 1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Gambar 1). Secara geografis desa ini terletak di wilayah bagian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat III. MATERI DAN METODE 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di areal kampus Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Identifikasi serangga dilakukan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERILAKU BERBIAK KATAK POHON HIJAU (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) DI KAMPUS IPB DARMAGA MUHAMMAD YAZID

PERILAKU BERBIAK KATAK POHON HIJAU (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) DI KAMPUS IPB DARMAGA MUHAMMAD YAZID PERILAKU BERBIAK KATAK POHON HIJAU (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) DI KAMPUS IPB DARMAGA MUHAMMAD YAZID DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS

MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS PEMODELAN SPASIAL HABITAT KATAK POHON JAWA (Rhacophorus javanus Boettger 1893) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JARAK JAUH DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C14101048 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat (Gambar 2).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

UJI COBA PENENTUAN FREKUENSI SUARA DALAM PEMIKATAN IKAN MAS ( Cyprinus carpio ) Oleh : YATNA PRIATNA C

UJI COBA PENENTUAN FREKUENSI SUARA DALAM PEMIKATAN IKAN MAS ( Cyprinus carpio ) Oleh : YATNA PRIATNA C UJI COBA PENENTUAN FREKUENSI SUARA DALAM PEMIKATAN IKAN MAS ( Cyprinus carpio ) Oleh : YATNA PRIATNA C54101030 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

V. HASIL & PEMBAHASAN

V. HASIL & PEMBAHASAN 19 V. HASIL & PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer 5.1.1.1. Telur Hasil pengamatan terhadap sembilan selubung busa telur (clutch) menunjukkan bahwa semua telur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN SKRIPSI Oleh : Melyana Anggraini 061201022 / Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel langsung dari lokasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI KATAK SAWAH (Rana cancrivora Gravenhorst) YANG DITEMUKAN DI BUNGO PASANG KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN

KEPADATAN POPULASI KATAK SAWAH (Rana cancrivora Gravenhorst) YANG DITEMUKAN DI BUNGO PASANG KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN KEPADATAN POPULASI KATAK SAWAH (Rana cancrivora Gravenhorst) YANG DITEMUKAN DI BUNGO PASANG KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN JURNAL YULIA AFRITA YENI NIM. 09010159 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM ADITYA PRIMA YUDHA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci