EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E
|
|
- Sudirman Lie
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
2 PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan amfibi sangat dipengaruhi oleh kondisi dan tipe habitatnya. Beberapa jenis amfibi hanya ditemukan di hutan primer dan beberapa jenis lainnya ditemukan di hutan sekunder serta hutan yang telah terdegradasi. Setiap habitat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara mikro maupun makro. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi keberadaan jenis amfibi. Menurut Iskandar (1998), beberapa jenis amfibi tidak dapat jauh dari sumber air. Terdapat, beberapa jenis yang hanya dijumpai di perairan arus cepat hingga perairan tenang seperti genangan air. Keberadaan amfibi di suatu habitat dapat tergambarkan dari struktur komunitas amfibi yang ada di habitat tersebut. Penggunaan suatu habitat oleh amfibi sangat dipengaruhi oleh struktur komunitasnya. Habitat merupakan suatu kesatuan dari faktor fisik dan biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup satwa (Alikodra 2002). Habitat digunakan oleh satwa untuk tempat berkembangbiak, tempat mencari pakan, dan melakukan aktivitas harian lainnya (Inger et al. 1986). Struktur komunitas dan penyebaran spesies sangat tergantung pada faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan. Keberadaan suatu spesies dapat mempengaruhi keberadaan spesies lainnya dalam habitat tersebut. Tujuan Penelitian tentang komunitas amfibi di beberapa sungai pada SM Nantu Provinsi Gorontalo ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi: 1. Komposisi jenis amfibi di beberapa sungai. 2. Pemilihan mikrohabitat oleh jenis-jenis amfibi dominan di sungai. 3. Pola penyebaran amfibi di beberapa sungai. METODE Waktu dan Lokasi Waktu pembuatan makalah selama 1 minggu yang berlokasi di Kampus IPB Dramaga Bogor. Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah laptop, alat tulis, dan kumpulan jurnal dan karya ilmiah Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan hasil dari studi literatur dari makalah, dan karya ilmiah lainnya.
3 Analisis Data Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif. Kesamaan komunitas berdasarkan penelitian Ayuningrum (2015) dianalisis sebagai berikut : Kesamaan komunitas amfibi antar sungai Indeks kesamaan komunitas jenis amfibi digunakan untuk mengidentifikasi kesamaan komposisi jenis amfibi di setiap sungai. Kesamaan komunitas jenis amfibi dianalisis menggunakan software minitab 16 dengan Ward s Linkage Clustering berdasarkan nilai kehadiran jenis amfibi. Pemilihan mikrohabitat oleh jenis amfibi Kecenderungan pemilihan karakteristik mikrohabitat oleh jenis amfibi dianalisis menggunakan software CANOCO dengan metode Canonical Corespondence Analysis (CCA). Mikrohabitat yang dianalisis meliputi kedalaman sungai, kecepatan arus sungai, lebar sungai, tutupan kanopi, dan jenis substrat. Pola penyebaran amfibi Pola penyebaran amfibi dianalisis dengan menggunakan indeks dispersi. Untuk mengurangi kemungkinan bias, hanya jenis yang memiliki jumlah individu lebih dari lima ekor yang dianalisis pola penyebarannya. Persamaan indeks dispersi merupakan rasio antara nilai varian dan nilai rata-rata contoh (Ludwig dan Reynolds 1988): ID = S2 x Keterangan: ID : Indeks dispersi S2 : Ragam contoh x : Rata-rata Jika contoh mengikuti sebaran poisson, maka varian contoh akan sebanding dengan rata-rata contoh dan selanjutnya nilai ID yang diharapkan = 1, yang menunjukkan bahwa populasi mengikuti pola sebaran acak. Jika varian < 1 (mendekati 0) menunjukkan pola sebaran seragam dan jika varian > 1 maka menunjukkan pola sebaran mengelompok. Selanjutnya untuk menguji indeks dispersi dengan ukuran N < 30 digunakan uji chi-square dengan persamaan sebagai berikut: χ2 = ID (N-1) Keterangan: χ2 : Nilai chi-square ID : Indeks dispersi N : Jumlah transek Jika komunitas komunitas menyebar seragam χ2 < χ ; jika menyebar mengelompok maka nilai χ2 > χ dan jika menyebar acak maka χ < χ2 < χ
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kesamaan komunitas amfibi Berdasarkan hasil kajian dari penelitian Ayuningrum (2015) bahwa amfibi di sungai pada hutan primer dan hutan sekunder membentuk satu komunitas dan memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%). Dendrogram kesamaan komunitas amfibi disajikan pada Gambar 3. Tingginya kesamaan tersebut karena karakteristik kedua sungai hampir sama yaitu memiliki tingkat gangguan rendah, jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia, di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan, tumbuhan bawah, serta serasah yang hampir menutupi tanah di tepi sungai, dengan tutupan kanopi tergolong sangat rapat (81%). Hal ini menyebabkan hampir semua jenis amfibi yang ditemukan di sungai pada hutan primer dapat ditemukan di sungai pada hutan sekunder, kecuali jenis R. monticola yang hanya ditemukan di sungai pada hutan primer. Hasil ini sama dengan Wanger et al. (2009) yang menemukan komposisi jenis amfibi di hutan sekunder sama dengan komposisi amfibi di hutan primer. Sumber : Ayuningrum (2015) Komunitas amfibi yang menempati sungai pada kebun jagung dan sungai daerah ekoton mengelompok dan membentuk komunitas dengan nilai kesamaan komunitas amfibi sebesar 67.1%. Kesamaan komunitas ini terbentuk karena karakteristik sungai pada kebun jagung yang hampir sama dengan sungai pada daerah ekoton yaitu lokasi kedua sungai berdekat dengan ladang dan kebun tetapi jauh dari pemukiman, memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang hampir sama. Meskipun berada di kebun jagung namun di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan dan tumbuhan bawah yang rapat dengan serasah yang hampir menutupi tanah. Selain itu lokasi sungai pada daerah ekoton lebih dekat dengan sungai pada kebun jagung menyebabkan komposisi jenis amfibi di kedua lokasi hampir sama. Hasil tersebut sama dengan Khairunnisa (2014) yang menemukan habitat yang jauh dari pemukiman tetapi dekat dengan kebun dan ladang memiliki
5 kesamaan sebesar 78.39%. Hal ini karena kedua lokasi memiliki bentuk habitat dan penyusun vegetasi yang sama. Komunitas amfibi yang menempati sungai pada kebun jagung dan daerah ekoton mengelompok dan membentuk komunitas dengan amfibi yang menempati sungai pada kebun tebu sebesar 54.3%. Hal ini dikarenakan kondisi sungai pada kebun tebu hampir sama dengan sungai pada kebun jagung yaitu berada di daerah perkebunan, terdapat batuan besar dan kecil di tepi kanan dan kiri sungai. Oleh karena itu komposisi jenis amfibi di kedua sungai memiliki kemiripan. Komunitas amfibi tersebut kemudian mengelompok dengan komunitas amfibi di sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder dengan nilai kesamaan sebesar 29.9%. Hal ini dikarenakan kondisi sungai pada kebun tebu memiliki tutupan kanopi agak terbuka (39.3%), di tepi kanan dan kiri sungai hampir tidak ada vegetasi hanya terdapat batuan. Selain itu sungai memiliki gangguan yang tinggi karena berdekatan dengan pemukiman dan aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan komunitas amfibi di sungai pada kebun tebu berbeda dengan komunitas amfibi di daerah berhutan yang jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Wanger et al. (2009) bahwa komposisi jenis amfibi di daerah terganggu berbeda dengan komposisi di hutan yang masih alami. Pemilihan Mikrohabitat oleh Jenis-jenis Amfibi Penelitian Ayuningrum (2015) menyebutkan bahwa Jenis R. monticola, H. celebensis, dan O. semipalmata tidak dimasukkan dalam analisis pemilihan mikrohabitat karena jumlah individu yang ditemukan masing-masing hanya satu individu. L. larvaepartus, F. cancrivora, dan D. melanostictus merupakan amfibi yang cenderung memilih sungai dengan arus lambat, substrat tanah liat dan lumpur. Iskandar (1998) menyatakan bahwa habitat F. cancrivora berada di daerah terganggu yaitu sawah. Mikrohabitat yang dipilih F.cancrivora hampir sama dengan kondisi sawah yang memiliki substrat berupa lumpur dengan aliran air yang lambat bahkan cenderung tidak mengalir. Jenis D. melanostictus termasuk dalam famili Bufonidae yang hidupnya cenderung terestrial, namun beberapa tahapan hidupnya setengah akuatik (Iskandar 1998), sehingga cenderung memilih sungai dengan kecepatan arus lambat dan substrat tanah. Jenis L. larvaepartu merupakan jenis yang baru teridentifikasi, sehingga dapat dipastikan kondisi mikrohabitat yang disukainya. F. limnocharis cenderung memilih habitat yang memiliki tutupan kanopi terbuka pada sungai yang sangat lebar. Menurut Iskandar (1998), F. Limnocharis termasuk jenis katak yang menyukai daerah sawah dan padang rumput. Kondisi mikrohabitat yang dipilih F. limnocharis hampir sama dengan kondisi sawah dan padang rumput yaitu memiliki tutupan kanopi tergolong terbuka. O. Celebensis cenderung memilih sungai dengan arus sedang pada sungai yang sangat sempit. Pemilihan mikrohabitat diduga dipengaruhi oleh perilaku O. celebensis yang termasuk dalam marga Occidozyga, dimana hidupnya selalu berada di dalam air. Menurut Iskandar (1998), marga Occidozyga terdiri atas jenis-jenis yang berukuran kecil sehingga memerlukan kecepatan arus yang tergolong sedang agar tidak terbawa oleh aliran air. R. georgii cenderung memilih substrat batang pohon dan ranting. Hal ini berhubungan dengan peletakan busa telur R. georgii, dimana saat pengamatan
6 ditemukan busa telur R. georgii menggantung di batang pohon yang dibawahnya terdapat aliran air. Penemuan tersebut sama dengan hasil penelitian Gillespie et al. (2007) yang menemukan busa telur R. georgii melekat secara vertikal pada permukaan batang pohon dengan jarak 1-3 m di atas permukaan air. L. heinrichi, L.cf modestus, H. mocquardii, H. macrops dan I. celebensis menunjukkan posisi jenis-jenis tersebut mendekati titik pusat, menandakan jenis tersebut semakin tidak selektif. Hasil analisis tersebut sesuai dengan Gillespie et al. (2004) yang menemukan beberapa individu I. celebensis di berbagai jenis substrat seperti tumbuhan, batang pohon, log kayu, bebatuan, dan tanah atau pasir di pinggir sungai. Menurut Iskandar dan Mumpuni (2004) di dalam IUCN Red List L. heinrichi hidup di aliran berarus sedang sampai cepat di sungai dalam hutan. Pola Penyebaran Jenis Amfibi Di Sungai Pola penyebaran amfibi di lokasi penelitian Ayuningrum (2015) umumnya bersifat mengelompok. Hal ini terjadi karena adanya keseragaman habitat sehingga satwa cenderung mengelompok di tempat yang terdapat banyak pakan (Tarumingkeng 1994). Pakan amfibi adalah serangga, cacing, dan larva serangga yang berukuran kecil, semua amfibi termasuk dalam kelompok karnivora (Iskandar 1998). Keragaman serangga di hutan dipengaruhi oleh kerapatan pohon, tumbuhan bawah, dan tutupan kanopi. Umumnya keragaman serangga di hutan primer lebih tinggi karena hutan primer memiliki kerapatan tajuk dan vegetasi yang tinggi (Haneda 2004). Hal ini sesuai dengan kondisi sungai di SM Nantu yang memiliki tutupan kanopi rata-rata tergolong rapat (72.2%) dengan tepi kanan dan kiri sungai terdapat vegetasi serta serasah yang hampir menutupi tanah dan batuan di tepi sungai. Kondisi ini membuat amfibi cenderung mengelompok di daerah bervegetasi yang terdapat serangga sebagai pakan. Penyebaran acak ditemukan pada jenis F. limnocharis di sungai pada kebun jagung. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) yang menyatakan bahwa penyebaran acak paling jarang ditemukan. Penyebaran seragam ditemukan pada beberapa jenis yaitu F. limnocharis di sungai pada kebun tebu, L. heinrichi di sungai pada kebun jagung, dan L. cf modestus di sungai pada hutan primer. Terdapat keseragaman dalam lingkungan hidup spesies tersebut (Tarumingkeng 1994). Selain itu Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa keseragaman terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan pakan atau sumberdaya lainnya. Keseragaman lingkungan hidup terlihat dari kondisi sungai pada kebun jagung di tepi kanan dan kiri sungai terdapat pepohonan, tumbuhan bawah, serasah, dan tutupan kanopi yang rapat (79.7%). Hal ini menyebabkan F. limnocharis memencar secara acak untuk mencari daerah yang terbuka, sesuai dengan habitat F. limnocharis hidup di daerah terbuka (Iskandar 1998). Sungai di kebun tebu memiliki tutupan kanopi agak terbuka (39.3%) kondisi tersebut sesuai dengan habitat F. limnocharis. Kesamaan kebutuhan ruang yang terbuka ini menyebabkan persaingan antar individu F. limnocharis sehingga tersebar seragam (Odum 1993). L. heinrichi menyebar seragam di sungai pada kebun jagung diduga karena kondisi vegetasi di sungai ini tidak serapat di sungai yang berada di hutan. Hal ini dapat berpengaruh pada keberadaan serangga sebagai pakan amfibi yang menyukai daerah yang memiliki kerapatan pohon tinggi (Haneda 2004), diduga serangga di sungai pada kebun jagung menyebar merata sesuai kondisi vegetasi sehingga L. heinrichi menyebar seragam untuk mendapatkan pakan. L. cf modestus menyebar
7 seragam di sungai pada hutan primer diduga karena kondisi sungai pada hutan primer didominasi oleh substrat pasir, menyebabkan L. cf modestus bersaing untuk mendapatkan daerah yang lebih tinggi dari permukaan air. Hal ini didukung dengan Gillespie et al. (2004) menemukan L. cf modestus di substrat batu yang berjarak 15 cm dari permukaan tanah tidak berada di dalam air. KESIMPULAN Ditemukan 15 jenis dari empat famili dengan total individu 490 ekor. L. Cf modestus jenis yang paling melimpah (519 individu/ha) di sungai pada hutan sekunder. Komunitas amfibi di sungai pada hutan primer dengan sungai pada hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling tinggi (86.6%), sedangkan komunitas amfibi di sungai pada kebun tebu dengan komunitas amfibi yang menempati sungai pada hutan primer dan sungai pada hutan sekunder memiliki kesamaan komunitas amfibi paling rendah (29.9%). Amfibi memerlukan habitat yang spesifik, keberadaan mikrohabitat tertentu bisa menjadi indikator untuk menemukan jenis tertentu. Pola penyebaran amfibi di sungai didominasi oleh penyebaran mengelompok DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Ayuningrum N T Komunitas amfibi di beberapa sungai pada Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Haneda NF Insect communities in the three different forest habitats of Sungai Lalang forest reserve with emphasis on selected order of insect [tesis]. Selangor (MY): Universiti Putra Malaysia. Iskandar DT, Tjan KN The amphibians and reptiles of Sulawesi, with notes on the distribution and chromosomal number of frogs. In: Kitchener DJ. Khairunnisa LR Keanekaragaman jenis dan sebaran spasial amfibi di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Odum EP Dasar-dasar Ekologi Edisi ketiga. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Tarumingkeng RC Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Wanger TC, Iskandar DT, Motzke I, Brook BW, Sodhi NS, Clough Y, Tscharntke T Effect of land-use change on community composition of tripical amphibians and reptiles in Sulawesi. Indonesia. Conservation Biology. DOI: /j
KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM
KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO NOVI TRI AYUNINGRUM DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS
Lebih terperinciMETODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK
METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016
Lebih terperinciKeanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak
Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas
Lebih terperinciIdentifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati
Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan
10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung
Lebih terperinciKomunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi
Komunitas Anura (Amphibia) pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi Community of Anura (Amphibia) in three types of wetland habitat at the Harapan Rainforest Jambi Kharisma Putra
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada
Lebih terperinciGambar 2 Peta lokasi penelitian.
0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan
Lebih terperinciAsrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak
Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan
Lebih terperinciPENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)
PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) Desy Natalia Sitorus (E34120011), Rizki Kurnia Tohir (E34120028), Dita Trifani (E34120100) Departemen Konservasi
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan
Lebih terperinciASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS
KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau
Lebih terperinciLAPORAN PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF BUNGLON (Bronchochela sp.) Oleh :
LAPORAN PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF BUNGLON (Bronchochela sp.) Oleh : Elsafia Sari Rizki Kurnia Tohir Rachmi Aulia E34120016 E34120028 E34120065 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN
Lebih terperinciBAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01 0 32
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan
Lebih terperinciIV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,
I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o
Lebih terperinciSTRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD
STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan ragam jenisnya. Serangga memiliki beberapa
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total
15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati
Lebih terperinciANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR
ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi
Lebih terperincibio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR
BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR Oleh: Dr. Endang Widyastuti, M.S. Fakultas Biologi Unsoed PENDAHULUAN Ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan keanekaragaman spesies tumbuhan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan dan daratan yang dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar. Habitat alami di Indonesia
Lebih terperincimemiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lereng selatan Gunung Merapi meliputi Taman Nasional Gunung Merapi merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Yogyakarta. Kawasan ini memiliki luas sekitar
Lebih terperinciSUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.
SUKSESI SUKSESI EKOLOGI AUTEKOLOGI SYNEKOLOGI Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. Synekologi adalah ilmu yang mempelajari struktur,
Lebih terperinci:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012
ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA
KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan
Lebih terperinci4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.
Lebih terperinciKEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI
KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK
KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest
Lebih terperinciPOLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E
POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang
Lebih terperinciGambar 1. Lahan pertanian intensif
14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi
Lebih terperinciPemodelan Dinamika Sistem Untuk Pengelolaan Hutan Di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo
Pemodelan Dinamika Sistem Untuk Pengelolaan Hutan Di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Nur Indah Ristiana 1, Budi Kuncahyo 2 1 Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2 Dosen Sekolah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)
Lebih terperinciModul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis
ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL Naskah Publikasi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Menempuh Derajat Sarjana S-1 Program Studi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat
17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai
Lebih terperinciBAB III. METODE PENELITIAN
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar
Lebih terperinciPengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang
TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG
JURNAL HUTAN LESTARI (217) KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG (The Diversity Herpetofauna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran
Lebih terperinciKAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA
KEANEKARAGAMAN JENIS AMPIBI (Ordo Anura) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity of Amphibians Species (Ordo Anura) in Gunung Ambawang Protected Forest
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli
` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton
Lebih terperinciLAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. B. Rumusan Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam penelitian ekologi seringkali seseorang perlu mendapatkan informasi besarnya populasi makhluk hidup di alam, baik di laboratorium, di lapangan seperti : hutan,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang banyak dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan makanan, binatang peliharaan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan estetika
Lebih terperinciKonsep Populasi dan Komunitas. Ekologi Perairan Pertemuan Saifullah Jurusan Perikanan Untirta
Konsep Populasi dan Komunitas Ekologi Perairan Pertemuan 10-11 Saifullah Jurusan Perikanan Untirta Konsep Populasi Individu Populasi kelompok organisme dari spesies yang sama dan menduduki ruang atau
Lebih terperinciSejarah Perkembangan Status, Penggunaan Lahan, dan Keanekaragaman Hayati Kebun Kelapa Sawit Indonesia
COVER LAPORAN AKHIR RISET GRANT RESEARCH SAWIT Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) JUDUL RISET Sejarah Perkembangan Status, Penggunaan Lahan, dan Keanekaragaman Hayati Kebun Kelapa Sawit
Lebih terperinci