BAB III HIDROGEOLOGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HIDROGEOLOGI"

Transkripsi

1 BAB III HIDROGEOLOGI 3.1 HIDROGEOLOGI REGIONAL Hidrogeologi Jayapura telah diteliti oleh Purwanto dan Budiana, 1982 (Gambar 3.1) dari Direktorat Geologi Tata Lingkungan Sub Direktorat Hidrogeologi dan dibedakan menjadi tiga mandala yakni: Mandala airtanah dataran/perbukitan (Akifer dengan aliran melalui ruang antar-butir) : Muka airtanah tak-terkekang umumnya dangkal, dekat ke permukaan sampai kedalaman kurang dari 10 m. Buaian muka airtanah tak-terkekang pada musim hujan dan musim kemarau umumnya kecil. Pada mandala airtanah ini dijumpai beberapa mataair yang umumnya berluah kecil, kurang dari 5 lt/detik. Mandala airtanah batugamping (Akifer dengan aliran melalui ruang, rekahan dan saluran) : Di mandala ini keterdapatan airtanah terbatas pada rekahan, celahan maupun saluran pelarutan. Karena keterdapatannya yang demikian, muka airtanah juga sangat beragam, tetapi umumnya akan dalam. Di beberapa tempat pada mandala airtanah ini (Pegunungan A) terdapat banyak pola kelurusan (berdasar citra foto udara), yang dapat ditafsirkan sebagai daerah dengan produktivitas akuifer tinggi. Kemungkinan besar di daerah dengan banyak kelurusan akan dijumpai banyak sistem rekahan maupun celahan. Banyak pemunculan mataair dijumpai pada mandala airtanah ini. Luah mataair tersebut sangat beragam besarnya antara 1 sampai lebih dari 100 lt/detik. Mandala airtanah batuan beku dan batuan malihan (Akifer dengan produktifitas kecil dan daerah airtanah langka) : Produktivitas akuifer umumnya rendah, seperti dicerminkan dari tidak adanya munculan mataair yang berluah cukup. III - 21

2 Gambar 3.1 Peta hidrogeologi regional yang mencakup daerah penelitian dan sekitarnya (Purwanto dan Budiana, 1982) III - 22

3 3.2 IKLIM DAN CURAH HUJAN Secara umum keadaan iklim di Jayapura adalah tropis, dimana pengaruh angin pusat dan angin muson tenggara sangat besar. Temperatur rata-rata 26 0 pada siang hari, temperatur maksimum antara C sedangkan pada malam hari temperatur minimum C. Musim hujan terjadi antara bulan Desember dan Maret, musim kemarau pada bulan Mei dan Oktober sedangkan curah hujan berkisar sekitar mm/th dan kecepatan angin rata-rata dibawah 15 km/jam. Informasi tentang curah hujan di daerah penelitian diperoleh dari hasil pencatatan pada stasiun pengukuran hujan Kotaraja. Hujan turun hampir sepanjang tahun, dengan ratarata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei (238,8 mm/bln) dan Oktober (224,2 mm/bln), dan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari (114,0 mm/bln). Total rata-rata curah hujan untuk lima tahun ( ) adalah 2004,6 mm/th, dengan rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2001 (2656 mm/th) dan ratarata curah hujan terendah terjadi pada tahun 2002 (1179 mm/th) (Tabel 3.1). Bulan Tahun 2000 (mm/bln) 2001 (mm/bln) 2002 (mm/bln) 2003 (mm/bln) 2004 (mm/bln) Rata-rata (mm/bln) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total (mm/th) Tabel 3.1. Data curah hujan tahun Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Jayapura (2006). III - 23

4 3.3 HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan hasil pemetaan, maka kondisi hidrogeologi tiap satuan litologi di daerah penelitian (Gambar 3.2) adalah sebagai berikut : Gambar 3.2 Peta hidrogeologi daerah penelitian III - 24

5 3.3.1 Satuan Sekis Pada lokasi penelitian dijumpai tiga mataair yang berupa rembesan dengan debit yang tidak berarti, sedangkan sumur gali pada satuan ini berjumlah tiga dengan kedalaman airtanah antara 3-5 meter (Foto 3.1). Mataair yang keluar, berasal dari pelapukan dimana permukaan lapukan sekis berpotongan dengan muka airtanah. Berdasarkan kondisi tersebut maka jenis mataair pada satuan sekis ini dapat diklasifikasikan sebagai mataair depresi (Fetter, 1988). Konduktivitas hidrolik kualitatif menunjukkan perbedaan antara sekis yang melapuk dan segar (fresh), hasil lapukan mampu menyimpan dan mengalirkan air baik melalui hubungan antar butir maupun rekahan, sedangkan yang segar tidak demikian halnya walaupun ada kemungkinan untuk mengalirkan air bila terdapat rekahan pada tubuh sekis Satuan Batugamping II Foto 3.1. Sumur gali dan pemunculan mataair pada Satuan Sekis (arah foto ke utara). Foto 3.2. Pemunculan mataair pada Satuan Batugamping II (arah foto ke barat) Pada satuan ini terdapat enam mataair, diantaranya ada yang berdebit 50 lt/detik (Foto 3.2), sedangkan sumur gali yang dijumpai pada satuan ini, berjumlah empat buah dengan III - 25

6 kedalaman airtanah berkisar 2-4 meter. Mataair yang berdebit besar ini muncul pada rekahan tubuh batugamping yang terakumulasi menjadi sebuah telaga kecil dan menjadi salah satu sumber air Sungai Acai. Pada satuan ini tidak dijumpai karakteristik karst seperti sinkhole atau dolina, namun lebih didominasi oleh retakan, rekahan dan patahan pada tubuh batugamping yang kemungkinan dikontrol oleh struktur geologi regional maupun lokal berupa sesar geser Kotaraja. Resapan (recharge) kedalam tubuh batuan ini, mengalir masuk melalui rekahan-rekahan yang terbentuk oleh struktur geologi dan keluar melalui rekahan-rekahan pada tubuh batugamping. Berdasarkan kondisi tersebut maka jenis mataair pada satuan batugamping II ini dapat dikategorikan sebagai mataair rekahan (fracture spring) (Fetter, 1988) Satuan Perselingan Napal-Batupasir Sumur gali yang dijumpai pada satuan ini berjumlah enam sumur dengan kedalaman airtanah antara 0-1 meter (Foto 3.3). Pada satuan ini, yang menjadi akifer adalah batupasir dan konglomerat sedangkan napal berfungsi sebagai lapisan impermeabel. Foto 3.3 Sumur gali dan mataair pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir yang dimanfaatkan penduduk sekitar (arah foto ke tenggara). III - 26

7 Konduktivitas hidrolik menunjukkan, batupasir memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang ekonomis ke sumur dan mataair. Hal ini terlihat dengan dilakukannya pemasangan saringan (screen) pada batupasir dan konglomerat di sumur bor Dewi dan pemunculan mataair yang cukup banyak, terutama pada batupasir dan umumnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan seharihari. Pada satuan ini dijumpai pemunculan mataair yang paling banyak dibanding satuan lainnya di daerah penelitian (Tabel 3.2). Pemunculan mataair-mataair ini umumnya dijumpai sepanjang jalur patahan sehingga diduga berhubungan dengan pembentukan sesar normal di daerah penelitian. Patahan ini membentuk rekahan-rekahan pada tubuh akifer dan juga menyebabkan lapisan akifer tersingkap ke permukaan, berpotongan dengan permukaan tanah dan muncul sebagai mataair di sepanjang zona patahan terutama pada bagian hangingwall dari bidang patahan, dan mengalir ke bagian tengah daerah penelitian. Berdasarkan kondisi tersebut, maka jenis mataair pada satuan ini dapat dikategorikan sebagai mataair patahan (fault spring) (Fetter, 1988). Satuan Aluvial Perselingan Napal-Batupasir Batugamping II Sekis Mataair Jumlah Debit (l/det) < 0.1 Magnitude (Meinzer opcit Todd, 1980) Sixth Sixth-Fifth Fourth Seventh Tabel 3.2 Distribusi mataair dan besaran debit di tiap satuan batuan Satuan Batugamping I Pada satuan ini tidak dijumpai pemunculan mataair. Hal ini diduga berkaitan dengan konduktivitas hidrolik yang menunjukkan satuan ini tidak memiliki kemampuan untuk meluluskan, menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang berarti. Dugaan ini diperkuat dengan hasil pengamatan kondisi singkapan Batugamping I di lapangan yang relatif mengkristal dan no-porosity. III - 27

8 3.3.5 Satuan Aluvial Konduktivitas hidrolik menunjukkan satuan ini memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang berarti. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya dijumpai sumur gali dengan muka airtanah yang relatif dangkal yakni kurang dari satu meter, bahkan ada yang sama dengan ketinggian muka tanah setempat (Foto 3.4). Foto 3.4 Sumur gali yang terdapat pada Satuan Aluvial (arah foto ke timur) Muka Airtanah dari Sumur Gali dan Mataair Lapukan Satuan Sekis, Satuan Batugamping II, Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan Satuan Aluvial diduga saling berhubungan membentuk akifer tidak terkekang di daerah penelitian. Khusus pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir, jenis mataair yang terbentuk dikategorikan sebagai mataair patahan, dengan perlapisan batuan yang relatif miring ke arah selatan-baratdaya dan mataair yang mengalir sesuai kelerengan yakni ke arah yang berlawanan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa pada satuan ini terdapat dua sistem aliran airtanah yaitu sistem airtanah yang berada pada hangingwall dan footwall dari patahan. Sistem airtanah pada hangingwall selanjutnya bergabung membentuk akifer tidak terkekang dengan satuan lainnya di daerah penelitian, dibuktikan dengan kehadiran sumur gali yang terletak pada satuan ini, sedangkan bagian footwall diduga membentuk sistem airtanah terkekang. Namun demikian, luahan (discharge) dari III - 28

9 footwall menjadi resapan (recharge) pada bagian hangingwall, sedangkan resapan untuk footwall kemungkinan berada di bagian lain daerah penelitian. Berdasarkan elevasi mukaairtanah, mataair dan kedalaman muka airtanah sumur gali (Lampiran III) maka dilakukan penggambaran kontur muka airtanah dan arah aliran (Gambar 3.3). Gambar 3.3 Peta muka airtanah di daerah penelitian Elevasi muka airtanah yang paling rendah yakni meter terdapat di bagian tengah daerah penelitian yang merupakan daerah dataran, semakin ke arah perbukitan, elevasi muka airtanah semakin tinggi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kontur muka airtanah dikontrol oleh bentuk morfologi, sehingga pola garis kontur topografi daerah penelitian, III - 29

10 mencerminkan juga pola kesamaan muka airtanah. Hal ini menyebabkan aliran airtanah di daerah perbukitan, secara umum mengalir ke daerah yang lebih rendah terutama pada bagian tengah daerah penelitian, sesuai dengan arah umum kelerengannya. Resapan utama dari airtanah pada akifer ini diduga berasal dari air hujan. Sungai Acai dan Sungai Kotaraja diduga tidak memberikan kontribusi yang berarti, hal ini disebabkan elevasi muka air sungai yang teramati di lapangan, umumnya lebih rendah (8,2 9,8 m) dari muka airtanah (10 11 m), yang mengindikasikan aliran kedua sungai tersebut justru disuplai oleh aliran airtanah di daerah penelitian. Sedangkan luahan di daerah penelitian berupa sumur gali yang dijumpai hampir di seluruh satuan batuan, mataair pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir, lapukan Satuan Sekis dan Satuan Batugamping II, sumur bor pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan sungai. Dari kondisi diatas, maka diduga seluruh daerah penelitian merupakan daerah resapan yang sekaligus dapat menjadi daerah luahan Hasil Geolistrik Data geolistrik sebanyak 10 titik diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan yang didasarkan pada kondisi hidrogeologi daerah penelitian (Gambar 3.4). Pemilihan lokasi pengukuran didasarkan pada panjang bentangan yang dapat diukur, kelerengan yang relatif landai (<10 o ), bukan merupakan daerah genangan air/rawa dan grid-grid titik lokasi pengukuran yang dianggap representatif terhadap luasan daerah penelitian. Namun pengukuran berdasarkan grid-grid ini, tidak dapat dilakukan secara ideal di lapangan, karena terkendala dengan banyaknya bangunan perkantoran, perumahan, rawa, kelerengan yang besar dan saluran irigasi. Kondisi ini menyebabkan pengukuran dilakukan dengan tetap berpatokan pada grid lokasi yang telah dibuat namun dengan penyesuaian terhadap kondisi lapangan. Data data tersebut kemudian diproses dengan program komputer (Lampiran I), memperlihatkan harga resistivitas batuan sebenarnya (true resistivity) dan ketebalan dengan anggapan data tersebut mewakili kondisi lateral dan vertikal pada titik pusat pengukuran. III - 30

11 Gambar 3.4 Lokasi pengukuran titik geolistrik Dalam menafsirkan kondisi geologi bawah permukaan, pada prinsipnya nilai tahanan jenis mencerminkan litologi sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3.3. Korelasi nilai resistivitas dengan litologi dari satu daerah dengan daerah lain sering menunjukkan nilai yang berbeda, oleh karena itu, korelasi antara parameter litologi dan parameter geolistrik harus dikontrol dengan mengkalibrasi nilai resistivitas dengan litologi yang ada pada sumur bor atau dengan singkapan batuan yang terdekat. III - 31

12 Litologi Resisitivitas (ohm-m) Shale Sandstone Limestone Dolomit Sand Clay Marl Brackish water 0,3-1 Seawater 0,2 Supersaline brine Basalt slate Tabel 3.3 Kisaran nilai resistivitas (Telford dkk., 1982) Penyesuaian nilai resistivitas terhadap litologi di daerah penelitian, didasarkan pada hasil kalibrasi nilai tahanan jenis hasil pengukuran geolistrik terhadap data log litologi daerah Dewi (Gambar 3.5). Hasil kalibrasi data geolistrik titik STIE, Bosowa, BTN dan Pasar Youtefa dengan data log menunjukkan bahwa nilai tahanan jenis 1,7 20 ohm-m sama dengan tanah penutup berupa pasir, kerikil dan lempung, 0,599 21,9 ohm-m sama dengan napal dan lempung pasiran, ,7 ohm-m sama dengan batupasir, batupasir kerikilan, pasir lempungan, 142,6-613 ohm-m sama dengan batugamping. Hasil kalibrasi data geolistrik titik-titik Cigombong, DPR, BPG, Youtefa, Kolam Renang dan Otonom dengan data log menunjukkan bahwa nilai tahanan jenis 11,29 31,5 ohm-m sama dengan tanah penutup berupa pasir, kerikil dan lanau, 0, ohm-m sama dengan napal dan lempung pasiran, 40,33 131,88 ohm-m sama dengan batupasir, batupasir kerikilan, pasir lempungan, lebih dari 654,15 ohm-m sama dengan konglomerat. III - 32

13 Gambar 3.5 Hasil kalibrasi data geolistrik dengan data bor sumur Dewi dan geologi permukaan. III - 33

14 3.3.8 Analisis Data Uji Pompa (pumping test) Gambar 3.6. Konstruksi sumur bor daerah Dewi Pada konstruksi sumur bor Dewi, saringan terletak pada kedalaman antara 37,5 50 meter, 65 77,5 meter dan 82,5 95 meter pada lapisan pasir kerikilan yang termasuk kedalam Formasi Makats (Gambar 3.6). Walaupun penempatan saringan dilakukan pada tiga lapisan akifer yang berbeda, namun muka airtanah pada sumur bor memperlihatkan ketinggian yang sama dengan muka airtanah pada sumur dangkal (sumur gali) yakni III - 34

15 hampir sama dengan muka tanah. Kondisi ini mengindikasikan unit-unit akifer tersebut terhubung sebagai satu sistem akifer. Gambar 3.7 Grafik uji pompa dan hasil perhitungan (Dinas PU Provinsi Papua). Data uji pompa yang diperoleh dari Laporan Proyek Sumur Artesis RSUD Abepura Jayapura, berupa grafik uji pompa (Gambar 3.7.), dengan tinggi muka airtanah = -0,5 m, debit (Q) = 82,02 m 3 /hari, transmivitas (T) = 1,64E-04 m 2 /det, tebal akifer (D) = 65 m dan konduktivitas hidrolik (K) = 2,52E-06 m/det. Hasil uji pompa dan analisis menyebutkan bahwa akifer di daerah pemboran termasuk jenis akifer terkekang III - 35

16 (confined aquifer) (Provinsi Papua dan CV. Sinar Marante, 2002, Laporan Proyek Sumur Artesis RSUD Abepura, Jayapura). Data-data di atas dianalisis kembali untuk membuktikan kesimpulan bahwa jenis akifer di sumur bor Dewi merupakan akifer terkekang, yakni dengan membandingkan kurva uji pompa dengan kurva model (Gambar 3.8). Gambar 3.8 Grafik uji pompa dan grafik model (Kruseman dan de Ridder, 1994) Pada kurva uji pompa terlihat bahwa pemompaan pada menit-menit awal menyebabkan drawdown yang cepat, menit ke-45 dan seterusnya drawdown relatif stabil sedangkan kurva drawdown selanjutnya tidak diketahui karena waktu pemompaan hanya 22 jam, sedangkan waktu ideal yang diperlukan untuk suatu uji pompa seharusnya 24 jam untuk akifer terkekang dan 72 jam untuk akifer tidak terkekang (Driscoll, 1986). Bila waktu pemompaan dilanjutkan maka ada dua kemungkinan yang terjadi yakni kurva drawdown selanjutnya akan tetap stabil karena adanya resapan air permukaan dari sungai dan rawa maupun resapan dari aliran air hujan (akifer semi terkekang?) dan yang kedua kurva drawdown akan naik lagi (akifer tidak terkekang?). Dari perbandingan kurva uji pompa III - 36

17 dengan kurva model maka jenis akifer terkekang (confined aquifer) tidak termasuk dalam kriteria ini, karena pada akifer terkekang tidak dijumpai kurva yang berbentuk datar sebagai indikasi pergerakan drawdown yang relatif stabil. Kurva uji pompa yang sesuai dengan kurva model adalah akifer tidak terkekang (unconfined aquifer) atau akifer semi terkekang (leaky aquifer), sehingga dapat disimpulkan bahwa akifer yang terdapat di daerah penelitian bukan jenis akifer terkekang melainkan akifer tidak terkekang atau akifer semi terkekang. Setelah diketahui jenis akifer di daerah sumur bor, maka dilakukan perhitungan untuk menentukan properti akifer dan efisiensi sumur. Metode yang digunakan untuk menentukan properti akifer pada akifer tidak terkekang adalah metode Neuman (Gambar 3.9), karena merupakan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk kasus aliran unsteady-state baik pada akifer isotropik maupun anisotropik (Kruseman dan de Ridder, 1994). Pada akifer semi terkekang terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk aliran unsteady-state yaitu metode curve-fitting Walton, metode inflection-point Hantush, metode curve-fitting Hantush dan metode Ratio Neuman & Witherspoon (Kruseman dan de Ridder, 1994). Metode curve-fitting Hantush dan metode Ratio Neuman & Witherspoon dapat digunakan bila uji pompa dilakukan baik pada akifer maupun akitar, namun karena uji pompa pada akitar tidak dilakukan maka kedua metode ini tidak dapat digunakan dalam kasus ini. Metode inflection-point dan metode curvefitting Walton dapat digunakan karena hanya membutuhkan data uji pompa pada akifer. Perbedaan kedua metode ini terletak pada prosedur perhitungan, metode inflection-point menggunakan data grafik drawdown sedangkan metode Walton menggunakan grafik drawdown yang dicocokkan dengan kurva Walton. Pada kasus ini, metode yang digunakan adalah metode Walton (Gambar 3.10). Penentuan efisiensi sumur dilakukan dengan uji pompa bertahap (step-drawdown test), dimana untuk perhitungan ini terdapat beberapa metode yang dapat digunakan yaitu metode Hantush-Bierschenk, metode Eden-Hazel, metode Rorabaugh dan metode Sheahan (Kruseman dan de Ridder, 1994). Metode Eden-Hazel digunakan khusus untuk jenis akifer terkekang. Metode Rorabaugh dan metode Sheahan adalah dua metode yang hampir sama karena didasarkan pada persamaan Rorabaugh dan dapat digunakan untuk III - 37

18 jenis akifer terkekang, semi terkekang maupun tidak terkekang. Perbedaan keduanya, metode Rorabaugh menggunakan data grafik drawdown sedangkan metode Sheahan menggunakan data grafik yang dicocokkan dengan kurva Sheahan. Metode Hantush- Bierschenk dapat dipakai untuk ketiga jenis akifer dan nilai P telah ditentukan (Kruseman dan de Ridder, 1994). Oleh sebab itu, dari keempat metode di atas maka metode Hantush-Bierschenk, metode Rorabaugh dan metode Sheahan dapat digunakan untuk melakukan perhitungan uji pompa bertahap ini. Pada perhitungan ini, metode yang digunakan adalah metode Hantush-Bierschenk dan Metode Sheahan. Metode Neuman dilakukan dengan memplot nilai drawdown (s) dan waktu (t) uji pompa pada kertas log-log kemudian dicocokkan dengan kurva Neuman yang memuat well function kondisi waktu awal dan akhir (W(u A, u B, β)) terhadap (1/u A ) dan (1/u B ) untuk memperoleh nilai (β). u A dan u B adalah kondisi waktu awal dan akhir dari perbandingan jarak sumur pantau (r) dan storativitas (S) terhadap transmisivitas (T) (Gambar 3.9). Gambar 3.9 Grafik uji pompa berdasarkan metoda Neuman III - 38

19 Selanjutnya ditentukan dua titik pada nilai β yang sama untuk mendapatkan nilai drawdown (s), waktu (t), 1/u A, 1/u B dan W(u A, u B, β), sedangkan parameter hidrolik seperti transmisivitas awal (T ha ), transmisivitas akhir (T hb ), storativitas waktu awal (S A ), specific yield (S Y ), konduktivitas hidrolik vertikal (Kv) dan konduktivitas hidrolik horizontal (Kh) dihitung dengan menggunakan rumus: Q T ha = W ( u A, β )...(1) 4πs Q T hb = W ( u B, β )...(2) 4πs 4ThA. ta. ua S A =...(3) 2 r 4T. t. u S = hb B B Y 2 r...(4) K ( ThA + T b ) / 2 hb h =...(5) K v β. b 2. Kh =...(6) 2 r dimana: Q = debit pompa s = drawdown b = tebal akifer W(u A,u B,β)= well function r = jarak sumur pantau t = waktu pompa β = r 2 K v /b 2 K h u A = r 2.S A /4T A.t Tebal akifer (b) dan debit (Q) diketahui dari hasil pemompaan. Dari analisis grafik diperoleh: s A = 11,5 m, s B = 4,5 m, β = 0,4, t A = 1 menit = 60 detik, t B = 10 menit = 600 detik, 1/u A = 0,7, 1/u B = 7,0E-04, W(U A, β) = 7,0E-02 dan W(U B, β) = 0,7. Sedangkan dari perhitungan (Lampiran II) diperoleh T ha = 0,136 m 2 /hari, T hb = 3,48 m 2 /hari, S A = 9,8E-02, S Y = 2,55E+04, K h = 6,02E-02 m/hari, K v = 4,01E+03 m/hari dan nilai rasio S Y /S A = 2,61E+05. Nilai rasio (S Y /S A ) > 10 menunjukkan bahwa kasus ini memenuhi syarat untuk menggunakan metode Neuman. III - 39

20 Metoda Walton (Gambar 3.10) dilakukan dengan memplot nilai drawdown (s) dan waktu (t) uji pompa pada kertas log-log kemudian dicocokkan dengan kurva Walton yang memuat well function W(u, r/l) terhadap (1/u) untuk memperoleh parameter integral r/l (r = jarak sumur pantau, L = faktor leakage). Gambar 3.10 Grafik uji pompa berdasarkan metoda Walton Sedangkan nilai transmisivitas (T), storativitas (S) dan konduktivitas hidrolik (K), diperoleh dengan menggunakan rumus: T Q = W ( u, r / L)...(7) 4πs 4T. t = u...(8) r S 2 T K =...(9) b dimana: Q = debit pompa b = tebal akifer s = drawdown W(u,r/L) = well function Tebal akifer (b) dan debit (Q) diketahui dari hasil pemompaan. Dari hasil analisis grafik diperoleh s = 5 m, t = 17 menit = detik, W(u, r/l) = 0,1, 1/u = 10 dan r/l = 1,0. III - 40

21 Setelah dilakukan perhitungan (Lampiran II) maka diperoleh nilai parameter hidrolik akifer pada sumur ini, T = 0,447 m 2 /hari, K = 1,49E-02 m/hari dan S = 3,85. Selanjutnya dilakukan analisis uji pompa bertahap (step drawdown) menggunakan metode Hantush-Bierschenk (Gambar 3.11) dan metode Sheahan (Gambar 3.12) untuk mengevaluasi parameter koefisien akifer-loss (B) dan well-loss (C), untuk menentukan efisiensi sumur dan mengetahui kondisi sumur. Gambar 3.11 Grafik metode Hantush-Bierschenk Nilai B diperoleh dari perpotongan garis linier (dari grafik specific drawdown (sw n /Q n ) terhadap debit pemompaan (Q n )) dengan sumbu y, sedangkan nilai C diperoleh dari perbandingan selisih specific drawdown ( Sw n /Q n ) dengan selisih debit ( Q n ) (Kruseman dan de Ridder, 1994). Dari perhitungan grafik (Lampiran II) diperoleh nilai B = 1,83E-03 hari/m 2 dan nilai C = 1,15E-05 hari 2 /m 5 atau 5,55E-12 menit 2 /m 5. III - 41

22 Berdasarkan nilai koefisien well-loss (C), kondisi sumur masuk dalam kategori properly designed and developed (didesain dan dikembangkan dengan baik) (Tabel 3.4). Selanjutnya ditentukan efisiensi sumur (well efficiency) (Driscoll, 1986) dengan rumus: BQn Ew = 100%...(10) P BQ + CQ n n Dimana: BQ n = aquifer loss CQ n = well-loss P = 2 Nilai efisiensi sumur yang diperoleh (Lampiran II) untuk Q1 (debit pertama) 59,53%, Q2 (debit kedua) 51,81%, Q3 (debit ketiga) 43,79% dan Q4 (debit keempat) 36,13%. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini maka diketahui bahwa nilai efisiensi sumur (dari debit pertama hingga debit keempat) semakin kecil, karena dipengaruhi oleh bertambahnya aliran turbulen dari koefisien well-loss (C) pada saat pemompaan (Driscoll, 1986). Well Loss Coefficient (C)/min 2 /m 5 Well Condition < 0.5 Properly designed and developed Mild deterioration or clogging Severe deterioration or clogging > 4.0 Difficult to restore well to original capacity Tabel 3.4. Relasi koefisien well loss dengan kondisi sumur (Walton opcit Todd, 1980). Metode Sheahan (Gambar 3.12) dilakukan dengan memplot nilai specific drawdown (sw x /Q x ) terhadap Q x pada kertas log-log kemudian dicocokkan dengan kurva Sheahan untuk memperoleh nilai P, B dan C. Nilai P diperoleh sebagai hasil perpotongan kurva Sheahan dengan garis indeks, nilai B dan C diperoleh dengan rumus: III - 42

23 B 0, 5 Sw x =...(11) Q x Sw / Q C...(12) x x = P 1 2Qx dimana: Sw x /Q x = specific capacity Q x = debit pompa P = 3,6 Gambar 3.12 Grafik log-log dengan kurva Sheahan Dari hasil pengeplotan grafik log-log terhadap kurva Sheahan diperoleh nilai P = 2,4, sw x /Q x = 7,5E-03 hari/m 2, Q x = 195 m 3 /hari, sedangkan dari perhitungan (Lampiran II) diperoleh nilai B = 3,75E-03 hari/m 2 dan C = 6,2E-06 hari 2 /m 5 = 1,1E-12 menit 2 /m 5. Berdasarkan nilai koefisien well-loss (C), kondisi sumur masuk dalam kategori properly designed and developed (didesain dan dikembangkan dengan baik) (Tabel 3.4). Nilai III - 43

24 efisiensi sumur yang diperoleh untuk Q1 (debit pertama) 69,57%, Q2 (debit kedua) 59,59%, Q3 (debit ketiga) 48,44% dan Q4 (debit keempat) 37,51%. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini maka diketahui bahwa nilai efisiensi sumur (dari debit pertama hingga debit keempat) semakin kecil, karena dipengaruhi oleh bertambahnya aliran turbulen yang berasal dari koefisien well-loss (C) pada saat pemompaan. Nilai Efisiensi sumur (Ew) yang dihasilkan dari metode Sheahan lebih besar dibandingkan dengan metode Hantush-Bierschenk (Tabel 3.5), walaupun demikian perbedaan itu ( Ew) semakin kecil dengan peningkatan debit (Q). Q (m 3 /hari) Ew Metode Hantush-Bierschenk (%) Ew Metode Sheahan (%) Ew (%) ,53 69,57 10,04 147,744 51,81 59,59 7,78 203,904 43,79 48,44 4,65 280,8 36,13 37,51 1,38 Tabel 3.5. Perbandingan efisiensi sumur metode Hantush-Bierschenk dan Sheahan dimana: Ew = efisiensi sumur Q = debit pompa Geometri Akifer Untuk menentukan geometri akifer, maka terlebih dahulu dilakukan korelasi litologi (Gambar 3.13) yang didasarkan pada peta geologi, penafsiran geolistrik dan data bor yang terdapat di daerah penelitian. Kedalaman titik bor di daerah penelitian adalah 125 m, sedangkan kedalaman hasil penafsiran geolistrik adalah m, dan kedalaman yang diperoleh dari hasil korelasi ini adalah 125 m. Dari hasil korelasi Satuan Aluvial terdapat di bagian tengah; Satuan Batugamping I terdapat di bagian timurlaut-timur; Satuan Perselingan Napal-Batupasir tersusun oleh napal, batupasir dan konglomerat. Napal dominan di bagian selatan dan menipis ke arah utara, batupasir menyebar secara merata di bagian selatan dan tengah, sedangkan konglomerat terdapat setempat di bagian tengah. Satuan Batugamping II (Formasi Numbay) tersusun oleh batugamping dan terdapat di bagian tengah dan menerus ke selatan, sedangkan Satuan Sekis (Formasi Cycloop) dominan di bagian utara dan sebagian di bagian timur. III - 44

25 Gambar 3.13 Korelasi litologi utara-selatan dan barat-timur daerah penelitian. III - 45

26 Hasil korelasi litologi ini kemudian ditransformasikan menjadi model hidrogeologi yang tersusun oleh Satuan Aluvial (Qa), konglomerat dan batupasir (Formasi Makats) dan Satuan Batugamping II yang dilewati oleh sesar (Formasi Numbay) sebagai akifer; Satuan Batugamping II (Formasi Numbay) yang tidak dilewati oleh sesar, Satuan Batugamping I (Formasi Jayapura) dan napal (Formasi Makats) sebagai akitar; serta Satuan Sekis sebagai akiklud (Formasi Cycloop). Pada hasil korelasi terlihat akifer terdapat di bagian tengah dan selatan. Akitar terdapat dominan di bagian selatan, menipis ke arah utara, sedangkan akiklud terdapat dominan di bagian utara dan sebagian di bagian timur. Penyebaran di atas mengindikasikan bahwa di bagian selatan terdapat akifer semi terkekang. Semakin ke utara, lapisan napal menipis, bahkan menghilang yang mengindikasikan bahwa di bagian tengah terdapat akifer tidak terkekang. Akifer tidak terkekang ini bergabung dengan akifer tidak terkekang yang tersusun oleh lapukan Satuan Sekis, Satuan Batugamping II, Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan Satuan Aluvial, yang dibahas pada Bila hasil analisis uji pompa pada daerah pemboran dihubungkan dengan korelasi yang tergambar, maka dapat diduga bahwa daerah pemboran dan sekitarnya tersusun oleh akifer semi terkekang Diskusi Kondisi hidrogeologi di atas berimplikasi pada hal-hal berikut : 1. Kemungkinan terjadinya intrusi airlaut di bagian timur yaitu dari utara tengah adalah sangat kecil karena daerah tersebut dialasi oleh Satuan Sekis yang berfungsi sebagai lapisan impermeabel. Di bagian tenggara daerah penelitian, intrusi airlaut dapat terjadi karena daerah tersebut tersusun oleh Satuan Batugamping II, terutama bila pada satuan tersebut terdapat rekahan dan pori yang memungkinkan airlaut mengalir masuk ke dalam akifer dan mencemari airtanah. 2. Daerah tengah yang tersusun oleh akifer tidak terkekang memiliki potensi untuk menyerap air hujan secara langsung dibandingkan daerah selatan yang tersusun oleh akifer semi terkekang, oleh karena itu pembangunan sumur resapan untuk III - 46

27 mengimbangi pengambilan airtanah yang berlebih, akan lebih efektif bila dibangun pada daerah ini. 3. Dengan keberadaan akifer tidak terkekang dan semi terkekang, dibandingkan dengan akifer terkekang, airtanah bisa diambil lebih banyak dengan dampak penurunan airtanah yang sama. 4. Potensi pencemaran airtanah pada akifer tidak terkekang lebih besar karena tidak ada lapisan impermeabel sebagai penyekat aliran airtanah, dibandingkan akifer semi terkekang yang memiliki lapisan penyekat walaupun masih ada kontribusi aliran dari lapisan akitar ke dalam akifer. III - 47

JENIS DAN GEOMETRI AKIFER DAERAH TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA TESIS

JENIS DAN GEOMETRI AKIFER DAERAH TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA TESIS JENIS DAN GEOMETRI AKIFER DAERAH TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA TESIS Karya tulis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh: ROBERT

Lebih terperinci

Tata cara analisis data pengujian surutan bertahap pada sumur uji atau sumur produksi dengan metode Hantush-Bierschenk

Tata cara analisis data pengujian surutan bertahap pada sumur uji atau sumur produksi dengan metode Hantush-Bierschenk Standar Nasional Indonesia SNI 8061:2015 Tata cara analisis data pengujian surutan bertahap pada sumur uji atau sumur produksi dengan metode Hantush-Bierschenk ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional BSN

Lebih terperinci

Gambar 3 Hidrostratigrafi cekungan airbumi Jakarta (Fachri M, Lambok MH dan Agus MR 2002)

Gambar 3 Hidrostratigrafi cekungan airbumi Jakarta (Fachri M, Lambok MH dan Agus MR 2002) 5 termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di Teluk Jakarta (Turkandi et al 1992). Secara geografis, wilayah Jakarta terletak antara 5 o 19 12 6 o 23 54 LS dan 106 o 22 42 106 o 58 18 BT.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan klasifikasi Mendel (1980) sistem hidrogeologi daerah penelitian adalah sistem akifer volkanik. Pada sistem akifer volkanik ini batuan segar yang mempunyai

Lebih terperinci

Week 10 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA

Week 10 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA Week 10 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA Reference: 1.Geological structures materials 2.Weight & Sonderegger, 2007, Manual of Applied Field Hydrogeology, McGraw-Hill online books 3.Mandel & Shiftan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Bagian barat dengan Kabupaten Jayapura. - Bagian selatan dengan Kecamatan Arso, Kabupaten Jayapura

BAB I PENDAHULUAN. - Bagian barat dengan Kabupaten Jayapura. - Bagian selatan dengan Kecamatan Arso, Kabupaten Jayapura BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Jayapura, ibukota Provinsi Papua, merupakan pusat pemerintahan dengan berbagai kegiatan sosial, politik, kebudayaan maupun pembangunan. Sebelum Perang Dunia II,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI IV.1 Kondisi Hidrogeologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang (Distam Jabar dan LPPM-ITB, 2002) dan Peta Hidrogeologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Perkembangan yang terjadi meliputi infrastruktur hingga

Lebih terperinci

GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN

GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN Pengertian o Potamologi Air permukaan o o o Limnologi Air menggenang (danau, waduk) Kriologi Es dan salju Geohidrologi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 4 BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Deskripsi ABT (Air Bawah Tanah) Keberadaan ABT (Air Bawah Tanah) sangat tergantung besarnya curah hujan dan besarnya air yang dapat meresap kedalam tanah.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak, Luas dan Batas wilayah Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan)

Lebih terperinci

Tata cara analisis dan evaluasi data uji pemompaan dengan metode Papadopulos Cooper

Tata cara analisis dan evaluasi data uji pemompaan dengan metode Papadopulos Cooper Standar Nasional Indonesia Tata cara analisis dan evaluasi data uji pemompaan dengan metode Papadopulos Cooper ICS 13.060.10 Badan Standardisasi Nasional BSN 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Umum Sekitar Daerah Penelitian Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung selatan Sumatra, yang mana bagian selatan di batasi oleh Kabupaten

Lebih terperinci

POTENSI AKUIFER DAERAH DESA WATUBONANG KECAMATAN TAWANGSARI KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK

POTENSI AKUIFER DAERAH DESA WATUBONANG KECAMATAN TAWANGSARI KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK POTENSI AKUIFER DAERAH DESA WATUBONANG KECAMATAN TAWANGSARI KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK Fivry Wellda Maulana Jurusan Teknik Geologi,, IST. AKPRIND Yogyakarta Abstrak

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang

BAB III TEORI DASAR. Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang BAB III TEORI DASAR 3.1 Hidrogeologi Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang mempelajari distribusi dan gerakan aliran air di dalam tanah/batuan pada bagian kerak bumi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan. Manusia akan memanfaatkan Sumberdaya yang ada di Lingkungan. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Manfaat air sangat luas bagi kehidupan manusia, misalnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, irigasi, industri,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman. No.190, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR:

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

POTENSI AIRTANAH DI CEKUNGAN AIRTANAH (CAT) PALU BERDASARKAN SATUAN HIDROMORFOLOGI DAN HIDROGEOLOGI. Zeffitni *)

POTENSI AIRTANAH DI CEKUNGAN AIRTANAH (CAT) PALU BERDASARKAN SATUAN HIDROMORFOLOGI DAN HIDROGEOLOGI. Zeffitni *) POTENSI AIRTANAH DI CEKUNGAN AIRTANAH (CAT) PALU BERDASARKAN SATUAN HIDROMORFOLOGI DAN HIDROGEOLOGI Zeffitni *) Abstrak : Potensi airtanah pada setiap satuan hidromorfologi dan hidrogeologi ditentukan

Lebih terperinci

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH Oleh : Budi Islam, Nendaryono, Fauzan, Hendro Supangkat,EkoPujianto, Suhendar, Iis Hayati, Rakhmanudin, Welly Gatsmir, Jajat

Lebih terperinci

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat BAB V ANALISIS DATA 5.1 Aliran dan Pencemaran Airtanah Aliran airtanah merupakan perantara yang memberikan pengaruh yang terus menerus terhadap lingkungan di sekelilingnya di dalam tanah (Toth, 1984).

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

KELOMPOK

KELOMPOK Oleh: KELOMPOK 13 1. 2. 3. 4. 5. 6. Rina Sri Wulansari Nanang Darul M Indra Gunawan Setiawan Rendi Reza Sembiring Yusuf Suhendi Pratama : : : : : : 0551 0551 0551 0551 0551 0551 KATA PENGANTAR 12 12 12

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air

BAB I PENDAHULUAN. butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Airtanah merupakan air yang tersimpan dan mengalir dalam ruang antar butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air bersih. Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR )

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) KEGIATAN KEGIATAN PENYUSUNAN ZONA PEMANFAATAN DAN KONSERVASI AIR TANAH PADA CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) DI JAWA TENGAH DINAS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AIRTANAH DAERAH CIEMAS, KABUPATEN SUKABUMI BERDASARKAN CITRA SATELIT, GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI

IDENTIFIKASI AIRTANAH DAERAH CIEMAS, KABUPATEN SUKABUMI BERDASARKAN CITRA SATELIT, GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI IDENTIFIKASI AIRTANAH DAERAH CIEMAS, KABUPATEN SUKABUMI BERDASARKAN CITRA SATELIT, GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI Fathurrizal Muhammad 1, M. Nursiyam Barkah 1, Mohamad Sapari Dwi Hadian 1 1 Laboratorium Hidrogeologi

Lebih terperinci

PERHITUNGAN KONDUKTIVITAS HIDROLIK MELALUI UJI PEMOMPAAN DENGAN METODE NEUMAN DI LEUWIKOPO, DRAMAGA, BOGOR ARDILA AYU APRINA

PERHITUNGAN KONDUKTIVITAS HIDROLIK MELALUI UJI PEMOMPAAN DENGAN METODE NEUMAN DI LEUWIKOPO, DRAMAGA, BOGOR ARDILA AYU APRINA PERHITUNGAN KONDUKTIVITAS HIDROLIK MELALUI UJI PEMOMPAAN DENGAN METODE NEUMAN DI LEUWIKOPO, DRAMAGA, BOGOR ARDILA AYU APRINA DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

HIDROGEOLOGI UMUM (GL-3081) MINGGU KE-3

HIDROGEOLOGI UMUM (GL-3081) MINGGU KE-3 Materi kuliah dapat didownload di www.fiktm.itb.ac.id/kk-geologi_terapan HIDROGEOLOGI UMUM (GL-3081) MINGGU KE-3 TIPOLOGI SISTEM AKUIFER Oleh: Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Asisten: Dr. D. Erwin

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

PENENTUAN NILAI KONDUKTIVITAS HIDROLIK, KOEFISIEN STORAGE DAN EFISIENSI SUMUR DENGAN UJI PEMOMPAAN DI FATETA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENENTUAN NILAI KONDUKTIVITAS HIDROLIK, KOEFISIEN STORAGE DAN EFISIENSI SUMUR DENGAN UJI PEMOMPAAN DI FATETA INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENENTUAN NILAI KONDUKTIVITAS HIDROLIK, KOEFISIEN STORAGE DAN EFISIENSI SUMUR DENGAN UJI PEMOMPAAN DI FATETA INSTITUT PERTANIAN BOGOR SAFIRA INKEMARIS DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH Rabu - Kamis, Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang

Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH Rabu - Kamis, Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH - 2017 Rabu - Kamis, 17-18 Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang ANALISIS PARAMETER HIDROGEOLOGI DENGAN BEBERAPA METODE KONVENSIONAL

Lebih terperinci

Karakteristik Fluktuasi Muka Air Tanah Pada Akuifer Tidak Tertekan Di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi

Karakteristik Fluktuasi Muka Air Tanah Pada Akuifer Tidak Tertekan Di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi 1 Karakteristik Fluktuasi Muka Air Tanah Pada Akuifer Tidak Tertekan Di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi Groundwater Fluctuations Characteristics of Cibabat Unconfined Aquifer, District

Lebih terperinci

KONTRUKSI SUMUR BOR AIRTANAH DALAM PADA SUMUR X DESA NYEMOK, KECAMATAN BRINGIN, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

KONTRUKSI SUMUR BOR AIRTANAH DALAM PADA SUMUR X DESA NYEMOK, KECAMATAN BRINGIN, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH KONTRUKSI SUMUR BOR AIRTANAH DALAM PADA SUMUR X DESA NYEMOK, KECAMATAN BRINGIN, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH Gilang Cempaka Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

UJI SUMUR TUNGGAL DENGAN PEMOMPAAN BERTINGKAT ( STEP DRAWDOWN TEST ) UNTUK IRIGASI AIR TANAH DI SUMUR DALAM PROBOLINGGO (SDPB) 195, DESA

UJI SUMUR TUNGGAL DENGAN PEMOMPAAN BERTINGKAT ( STEP DRAWDOWN TEST ) UNTUK IRIGASI AIR TANAH DI SUMUR DALAM PROBOLINGGO (SDPB) 195, DESA UJI SUMUR TUNGGAL DENGAN PEMOMPAAN BERTINGKAT ( STEP DRAWDOWN TEST ) UNTUK IRIGASI AIR TANAH DI SUMUR DALAM PROBOLINGGO (SDPB) 195, DESA POHSANGIT TENGAH, KECAMATAN WONOMERTO, KABUPATEN PROBOLINGGO SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modern ini, baik untuk kebutuhan sehari-hari yang bersifat individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. modern ini, baik untuk kebutuhan sehari-hari yang bersifat individu maupun BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air memiliki peranan yang sangat penting dalam kebutuhan pada jaman modern ini, baik untuk kebutuhan sehari-hari yang bersifat individu maupun kebutuhan bagi industri

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih model lereng stabil dengan FK

BAB V PEMBAHASAN. lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih model lereng stabil dengan FK 98 BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan analisis terhadap lereng, pada kondisi MAT yang sama, nilai FK cenderung menurun seiring dengan semakin dalam dan terjalnya lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sumberdaya air bawah tanah merupakan sumberdaya yang vital dan strategis, karena menyangkut kebutuhan pokok hajat hidup orang banyak dalam berbagai aktivitas masyarakat

Lebih terperinci

Cara uji sifat hidraulik akuifer terkekang dan bebas dengan metode Jacob

Cara uji sifat hidraulik akuifer terkekang dan bebas dengan metode Jacob SNI 57:01 Standar Nasional Indonesia Cara uji sifat hidraulik akuifer terkekang dan bebas dengan metode Jacob ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 01 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan, pendekatan wilayah merupakan alternatif lain dari pendekatan sektoral yang keduanya bisa saling melengkapi. Kelebihan pendekatan wilayah

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk tugas akhir ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. 4.1.1 Data Primer Data primer adalah

Lebih terperinci

ZONASI POTENSI AIRTANAH KOTA SURAKARTA, JAWA TENGAH

ZONASI POTENSI AIRTANAH KOTA SURAKARTA, JAWA TENGAH ZONASI POTENSI AIRTANAH KOTA SURAKARTA, JAWA TENGAH Thomas Triadi Putranto 1* Dian Agus Widiarso 1 Muhammad Irfa Udin 1 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Jalan Prof.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. air bersih semakin meningkat dan sumber-sumber air konvensional yang berupa

BAB I PENDAHULUAN. air bersih semakin meningkat dan sumber-sumber air konvensional yang berupa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Kebutuhan akan air bersih semakin meningkat dan sumber-sumber air konvensional yang berupa air permukaan semakin

Lebih terperinci

Ahli Hidrogeologi Muda. Ahli Hidrogeologi Tingkat Muda. Tenaga ahli yang mempunyai keahlian dalam Hidrogeologi Tingkat Muda

Ahli Hidrogeologi Muda. Ahli Hidrogeologi Tingkat Muda. Tenaga ahli yang mempunyai keahlian dalam Hidrogeologi Tingkat Muda Ahli Hidrogeologi Muda Ahli Hidrogeologi Tingkat Muda Tenaga ahli yang mempunyai keahlian dalam Hidrogeologi Tingkat Muda Sub Kompetensi 1. Mampu melakukan inventarisasi dan penyusunan data base air tanah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Airtanah merupakan sumber daya penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai sumber pasokan air, airtanah memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses TINJAUAN PUSTAKA Intrusi Air Laut Intrusi atau penyusupan air asin ke dalam akuifer di daratan pada dasarnya adalah proses masuknya air laut di bawah permukaan tanah melalui akuifer di daratan atau daerah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK AIR TANAH DI KECAMATAN TAMANSARI KOTA TASIKMALAYA

KARAKTERISTIK AIR TANAH DI KECAMATAN TAMANSARI KOTA TASIKMALAYA J. Tek. Ling. Vol. 8 No. 3 Hal. 197-206 Jakarta, September 2007 ISSN 1441-318X KARAKTERISTIK AIR TANAH DI KECAMATAN TAMANSARI KOTA TASIKMALAYA Agung Riyadi dan Kusno Wibowo Peneliti di Pusat Teknologi

Lebih terperinci

POTENSI AIR TANAH DI PULAU MADURA

POTENSI AIR TANAH DI PULAU MADURA POTENSI AIR TANAH DI PULAU MADURA HENDRA WAHYUDI Dosen Diploma Teknik Sipil FTSP ITS ABSTRAK Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura telah diresmikan oleh bapak presiden, pada

Lebih terperinci

RSNI3 2527:2012 SNI. Standar Nasional Indonesia. Cara uji sifat hidraulik akuifer terkekang dan bebas dengan metode Jacob

RSNI3 2527:2012 SNI. Standar Nasional Indonesia. Cara uji sifat hidraulik akuifer terkekang dan bebas dengan metode Jacob SNI RSNI3 57:01 Standar Nasional Indonesia Cara uji sifat hidraulik akuifer terkekang dan bebas dengan metode Jacob ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional SNI 57:01 Daftar isi Daftar isi... i Prakata...

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah

BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah Keberadaan sumberdaya airtanah di alam menurut sistem tatanan air secara alami dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: Cekungan hidrologi atau Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui penggunaan pump (pompa) sudah begitu luas baik dikalangan masyarakat maupun pada industri-industri baik sekala kecil, menengah, maupun sekala

Lebih terperinci

2.2 PENENTUAN BATAS CEKUNGAN AIR TANAH

2.2 PENENTUAN BATAS CEKUNGAN AIR TANAH 2.2 PENENTUAN BATAS CEKUNGAN AIR TANAH 1. PENDAHULUAN Pengelolaan air tanah yang terbaik didasarkan pada cekungan air tanah. Secara alamiah cekungan air tanah dibatasi oleh batas hidrogeologi yang dikontrol

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Umum Lembar Kotaagung Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di sebelah barat dan selatan, dibatasi oleh Samudra Hindia, di bagian utara oleh

Lebih terperinci

PERHITUNGAN NILAI KONDUKTIVITAS HIDROLIK AKUIFER MELALUI UJI PEMOMPAAN DENGAN METODE THIEM DI LEUWIKOPO, DRAMAGA, BOGOR MUHAMMAD MAULDY BHAGYA

PERHITUNGAN NILAI KONDUKTIVITAS HIDROLIK AKUIFER MELALUI UJI PEMOMPAAN DENGAN METODE THIEM DI LEUWIKOPO, DRAMAGA, BOGOR MUHAMMAD MAULDY BHAGYA 1 PERHITUNGAN NILAI KONDUKTIVITAS HIDROLIK AKUIFER MELALUI UJI PEMOMPAAN DENGAN METODE THIEM DI LEUWIKOPO, DRAMAGA, BOGOR MUHAMMAD MAULDY BHAGYA DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

GEOMETRI AKUIFER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAN SUMUR PEMBORAN DI DAERAH JASINGA, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

GEOMETRI AKUIFER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAN SUMUR PEMBORAN DI DAERAH JASINGA, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT GEOMETRI AKUIFER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAN SUMUR PEMBORAN DI DAERAH JASINGA, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Febriwan Mohamad, Undang Mardiana, Yuyun Yuniardi, M. Kurniawan Alfadli

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kajian Pendahuluan Berdasarkan pada peta geohidrologi diketahui siklus air pada daerah penelitian berada pada discharge area ditunjukkan oleh warna kuning pada peta,

Lebih terperinci

Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat

Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat 1 Ahmad Komarudin, 2 Yunus Ashari

Lebih terperinci

Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Pemetaan Potensi Airtanah Menggunakan Metode Geolistrik 1- Dimensi (VES) Sub DAS Cileles Untuk Identifikasi Area Recharge dan Discharge, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat Undang Mardiana 1), Boy

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Geometri Akuifer dan Potensi Sumberdaya Airtanah di PT Charoen Pokphand Indonesia, Desa Cikasungka Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

Jurnal APLIKASI ISSN X

Jurnal APLIKASI ISSN X Volume 3, Nomor 1, Agustus 2007 Jurnal APLIKASI Identifikasi Potensi Sumber Daya Air Kabupaten Pasuruan Sukobar Dosen D3 Teknik Sipil FTSP-ITS email: sukobar@ce.its.ac.id ABSTRAK Identifikasi Potensi Sumber

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 2 1.2 Maksud Dan Tujuan... 2 1.2.1 Maksud...

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

Karakteristik Fluktuasi Muka Airtanah Pada Akuifer Dangkal Di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara

Karakteristik Fluktuasi Muka Airtanah Pada Akuifer Dangkal Di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara 1 Karakteristik Fluktuasi Muka Airtanah Pada Akuifer Dangkal Di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara Characteristics of Groundwater Fluctuations in Cibabat Shallow Aquifer, District of Cimahi Utara

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMANFAATAN AIR HUJAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air hujan merupakan sumber air yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air tanah merupakan sumber daya yang sangat bermanfaat bagi semua makhluk hidup di muka bumi. Makhluk hidup khususnya manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2009 Tanggal : 15 April 2009 TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN I. Pendahuluan Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi,

Lebih terperinci

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi 1. Alur Siklus Geohidrologi Hidrogeologi dalam bahasa Inggris tertulis hydrogeology. Bila merujuk dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi (Toth, 1990) : Hydro à merupakan

Lebih terperinci

POTENSI SUMBERDAYA AIR TANAH DI SURABAYA BERDASARKAN SURVEI GEOLISTRIK TAHANAN JENIS

POTENSI SUMBERDAYA AIR TANAH DI SURABAYA BERDASARKAN SURVEI GEOLISTRIK TAHANAN JENIS POTENSI SUMBERDAYA AIR TANAH DI SURABAYA BERDASARKAN SURVEI GEOLISTRIK TAHANAN JENIS Oleh : Mardi Wibowo *) Abstrak Surabaya merupakan salah satau kota terbesar di Indonesia dan sebagai pusat kegiatan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR Dalam pembahasan kali ini, penulis mencoba menganalisis suatu prospek terdapatnya hidrokarbon ditinjau dari kondisi struktur di sekitar daerah tersebut. Struktur yang menjadi

Lebih terperinci

SURVEY GEOLISTRIK DI DAERAH PANAS BUMI KAMPALA KABUPATEN SINJAI SULAWESI SELATAN

SURVEY GEOLISTRIK DI DAERAH PANAS BUMI KAMPALA KABUPATEN SINJAI SULAWESI SELATAN PROCEEDING PEMAPARAN HASIL KEGIATAN LAPANGAN DAN NON LAPANGAN TAHN 7 PSAT SMBER DAYA GEOLOGI SRVEY GEOLISTRIK DI SLAWESI SELATAN Bakrun 1, Sri Widodo 2 Kelompok Kerja Panas Bumi SARI Pengukuran geolistrik

Lebih terperinci

HIDROGEOLOGI MATA AIR

HIDROGEOLOGI MATA AIR HIDROGEOLOGI MATA AIR DR. Ir. Heru Hendrayana Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering Gadjah Mada University heruha@ugm.ac.id PENGERTIAN MATA AIR Airtanah adalah air yang terdapat di bawah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii Sari Metode penelitian yang dilakukan adalah survey geologi permukaan, pendataan klimatologi hidrologi dan hidrogeologi daerah telitian dan sekitarnya serta analisis air. Beberapa data diambil dari data

Lebih terperinci

Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiarti, M.Sc. Teknik Geologi

Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiarti, M.Sc. Teknik Geologi Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiarti, M.Sc. Sistem Hidrogeologi disusun oleh: Sistem Akifer Sistem Airtanah SISTEM AKUIFER, Terdiri dari: - LAPISAN PEMBAWA AIR LAPISAN ALAS KEDAP AIR LAPISAN PENYEKAT (TIDAK HARUS

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SISTEM HIDROLOGI KARST DI KARST PIDIE, ACEH. Karst Research Group Fak. Geografi UGM

PERKEMBANGAN SISTEM HIDROLOGI KARST DI KARST PIDIE, ACEH. Karst Research Group Fak. Geografi UGM PERKEMBANGAN SISTEM HIDROLOGI KARST DI KARST PIDIE, ACEH Karst Research Group Fak. Geografi UGM PERTANYAAN?? Apakah karst di daerah penelitian telah berkembang secara hidrologi dan mempunyai simpanan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Airtanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer) di bawah permukaan tanah, termasuk mataair yang muncul di permukaan tanah. Peranan airtanah

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Bentang alam karst merupakan suatu bentang alam yang memiliki bentukan yang sangat unik dan khas. Bentang alam karst suatu daerah dengan daerah yang lainnya

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA dan ANALISIS

BAB IV PENGOLAHAN DATA dan ANALISIS BAB IV PENGOLAHAN DATA dan ANALISIS 4.1 PENGOLAHAN DATA 4.1.1 Kedalaman Muka Airtah Kedalaman muka airtah didapat dengan mengukur jarak minimum muka airtah terhadap permukaan. Menurut metoda DRASTIC kedalaman

Lebih terperinci

JURNAL TEKNOLOGI TECHNOSCIENTIA ISSN: Vol. 6 No. 1 Agustus 2013

JURNAL TEKNOLOGI TECHNOSCIENTIA ISSN: Vol. 6 No. 1 Agustus 2013 POTENSI AKUIFER DAERAH DESA KARANGMOJO KECAMATAN WERU KABUPATEN SUKOHARJO PROPINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK Fivry Wellda Maulana 1 1 Jurusan Teknik Geologi, Institut Sains & Teknologi AKPRIND

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan tahanan jenis dilakukan dengan cara mencatat nilai kuat arus yang diinjeksikan dan perubahan beda potensial yang terukur dengan menggunakan konfigurasi wenner. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci