PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Kota Ternate adalah karya saya sendiri dibawa bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis. Bogor, Mei 2011 AISYAH BAFAGIH

3 ABSTRACT AISYAH BAFAGIH. The Small Pelagic Fishery Resource Management in Ternate. Under direction of ERNAN RUSTIADI, MENNOFATRIA BOER, and ALEX S W RETRAUBUN The potentially-resources of capture fishery in Ternate is a considered superior commodity for fishermen as it has a mechanism of directive marketing, effective and efficient of distribution between neighboring-area which it would turn of a considerable-gain. The potential resources of capture fishery bring importance to development of social and economical in Ternate. Generally, this is turn in the next for the society as a whole, and specifically for the fishermen, to gain the social and economical significance relate to equity, growth, and sustainability. This study aims to assess the potential resources of fisheries in term of following matters: small pelagic fish in Ternate associated with determination of technical factors into sustainable yields, the influence of fishing gear used to impact of its potential, and also the production gained from its supporting factors. In this study, it was also looked for the feasibility of the fishing gear which can be concluded and then be developed to increase the fishermen income. This study is especially useful in providing data and information for the government to prepare the management strategies in fisheries potency and the production factors also for feasibility of the fishing effort in Ternate. Data collection consists of: field data covering structured-quetionary with respondents were fishermen whereas data and information of capture production collected between from DKP Ternate. Data were analyzed with regression analisis. The discussion then is based on data interpretation from the result and theoretical approaches from the same other study on similar object. The MSY value from analysis of the Schaefer model based-on fishing effort and the catch showed that the sustainable fishing were ,674 tons/year whereas the fishing effort were ,173 of fishing gear units. The regression of technically-production factors between fishing gear of Pole and Line (huhate) and Purse Seine (pajeko) showed that the catch is very influential on the amount of labor, day fishing operations, the amount of fuel as well as the capacity of the vessel size. The mathematically feasibility-calculation for business showed that both of the fishing gear are profitable and feasible to be developed. Keyword: MSY, Ternate, Pelagic-fish, Huhate, Pajeko RINGKASAN

4 AISYAH BAFAGIH. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Kota Ternate. Komisi Pembimbing ERNAN RUSTIADI, MENNOFATRIA BOER, dan ALEX S W RETRAUBUN Potensi sumberdaya perikanan tangkap di kota Ternate merupakan komoditi unggulan bagi masyarakat nelayan, karena komoditi ini memiliki mekanisme pemasaran langsung, efektif dan efisien ke wilayah sekitarnya, yang tentunya memberikan keuntungan yang cukup besar. Menyadari akan besarnya potensi sumberdaya perikanan khususnya di Kota Ternate yang berarti mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi wilayah. Hal ini akan memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan, dan yang lebih penting lagi adalah untuk masyarakat nelayan. Dengan demikian, diharapkan akan dicapainya keadilan (equity), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability). Tujuan penelitian adalah mengkaji tingkat potensi sumberdaya perikanan tangkap, khususnya ikan pelagis kecil, di Kota Ternate yang dihubungkan dengan faktor-faktor teknis untuk mengetahui potensi lestari. Kemudian alat tangkap yang digunakan mempunyai pengaruh terhadap dampak dari potensi yang dimiliki dan faktor-faktor pendukung produksi terhadap hasil produksi yang dicapai. Selain itu mencari tahu kelayakan usaha dengan menggunakan alat tangkap ini sehingga dapat disimpulkan untuk dikembangkan demi meningkatkan pendapatan nelayan. Penelitian ini sangat bermanfaat dalam hal penyediaan data dan informasi kepada pemerintah dalam rangka menyusun strategi pengelolaan potensi perikanan tangkap dan faktor-faktor produksi serta kelayakan usaha perikanan tangkap di Kota Ternate. Pengumpulan data terbagi menjadi beberapa bagian yakni pengambilan data langsung di lapangan dengan melakukan amatan serta menggunakan quisioner terstruktur dengan respondennya adalah para nelayan, pengambilan data dan informasi tentang hasil produksi dari tahun diperoleh dari DKP Kota Ternate. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi pada aplikasi excel dan soft ware SPSS. Interpretasi data dilakukan berdasarkan fenomena yang diperoleh dari hasil penelitian dan pendekatan teoritis berdasarkan informasi dari penelitian penelitian yang memiliki objek kajian yang sama. Nilai MSY yang diperoleh dari analisis dengan model Schaefer terhadap upaya tangkap (effort) dan hasil tangkapan (catch) menunjukkan penangkapan lestari sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan sebesar ,173 unit alat tangkap. Faktor-faktor teknis produksi dari perhitungan regresi untuk alat tangkap pole and line (huhate) dan purse seine (pajeko) menunjukkan hasil tangkapan sangat berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja, hari operasi penangkapan, jumlah bahan bakar serta kapasitas ukuran kapal. Kelayakan usaha yang didapat dari perhitungan matematis menunjukkan kedua alat tangkap ikan ini menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Kata kunci: Ternate, ikan pelagis, huhate, pajeko

5 @ Hak Cipta milik IPB Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH Tesis Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Achmad Fachrudin M. Sc

8 Judul Penelitian Nama : Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Kota Ternate : Aisyah Bafagih NRP : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota Prof.Dr.Ir. Alex S.W Retraubun, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Tanggal Ujian : 25 Juli 2011 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki karakteristik spesifik yang sarat dengan biodeversitas ekologis dan membutuhkan sentuhan teknologi. Aspek ekologis merupakan salah satu dimensi utama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan disebabkan karena pola pengelolaan tersebut sangat mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang bersifat dapat pulih (renewable resources). Komoditi perikanan laut khususnya perikanan tangkap merupakan komoditi unggulan bagi masyarakat nelayan khususnya di Kota Ternate, karena komoditi ini memiliki mekanisme pemasaran langsung, efektif dan efisien kewilayah sekitarnya, yang tentunya memberikan keuntungan yang cukup besar. Besarnya potensi sumberdaya perikanan khususnya di Kota Ternate mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi wilayah. Hal ini akan memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan, terutama bagi masyarakat nelayan, dalam rangka mewujudkan keadilan (equity), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability). Hasil dari kegiatan lapangan menunjukkan bahwa nilai MSY yang diperoleh telah melebihi penangkapan lestari sehingga perlu ada perhatian pengelolaan secara baik dan terpadu agar tidak terjadi konflik antara kepentingan stakeholder. Dari penggunaan peralatan penangkapan menunjukkan adanya hubungan yang nyata dengan faktor teknis penunjang penangkapan serta layak dikembangkan sebagai usaha dalam skala yang lebih besar untuk peningkatan pendapatan nelayan. Bogor, Mei 2011 AISYAH BAFAGIH

10 RIWAYAT HIDUP Aisyah Bafagih, S.Pi. Lahir di Ternate pada Tanggal 27 April Merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara, pasangan Bapak H. Taher Achmad Bafagih dan Ibu Ayu Syech Bubakar. Penulis menamatkan pendidikan SD hingga SMA di Kota Ternate. Pada Tahun 1991 penulis diterima sebagai Mahasiswa Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) di Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado dan tamat pada Tahun Tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana program magister pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL). Selama menjalani pendidikan program Magister (SPs IPB) Bogor, penulis menerima beasiswa (BPPS DIKTI) pada Tahun

11 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala yang telah diberikan baik berkah, karunia, rakhmat yang tak terhingga sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr.Ir Mennofatria Boer DEA serta Prof. Dr. Ir Alex S W Retraubun, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang terus membimbing penulis dalam waktu yang cukup lama dan kesabarannya dalam pembimbingan sampai saat ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung dan tidak langsung berturutturut kepada DIRJEN DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas kesempatan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) yang telah diberikan; pimpinan dan staf SPs IPB terutama program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) atas layanan dan kerjasamanya selama ini; Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) atas dukungan dan bantuannya; Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perikanan (THP) Fakultas Pertanian atas motivasinya; para dosen dilingkup Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara; rekan-rekan pekerja di Forum Studi Halmahera (FOSHAL) yang tak pernah lelah memberi motivasi untuk menyelesaikan studi. Untuk kalian semua penulis ucapkan terima kasih. Seluruh keluarga besar yang ada di Ternate, terima kasih yang tulus penulis haturkan, kakak-kakak penulis yang selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan studi dan kepada kedua orang tua yang telah tiada, semoga Allah memberikan tempat terbaik buat kalian berdua, karena hanya ini yang dapat penulis berikan sebagai bakti kepada kalian.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman xxiii DAFTAR LAMPIRAN... xxvii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia Sumberdaya Ikan Pelagis Model Bioekonomi Perikanan Nilai Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kondisi Umum Lokasi Penelitian Geografis dan Administrasi Pemerintahan Penduduk dan Ketenagakerjaan Gambaran Perekonomian dan Struktur Sosial Gambaran Sumberdaya Perikanan METODE PENELITIAN Pendekatan Studi Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Analisis Data Standarisasi Alat Tangkap Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Analisis Fungsi Produksi Analisis Kelayakan Usaha HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Tangkap Wilayah Kota Ternate Rumah Tangga Perikanan (RTP) Armada Penangkapan Alat Tangkap Produksi Penangkapan Produksi Surplus Stok Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil Model Schaefer Model CYP Faktor-Faktor Produksi Alat Tangkap Pole and Line xxv xxi

13 xxii Alat Tangkap Purse Seine Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kota Ternate SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 89

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Indonesia Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta luas wilayah per kecamatan di Kota Ternate Jumlah penduduk, kepadatan rumah tangga dan rasio jenis kelamin di Kota Ternate menurut kecamatan Persentase penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan tahun 2008 di Kota Ternate Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha di Kota Ternate PDRB Kota Ternate menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun Spesifikasi kapal pole and line di Kota Ternate Spesifikasi Kapal purse seine di Kota Ternate Perkembangan jumlah RTP dan jumlah kapal di Kota Ternate Perkembangan jumlah armada penangkapan menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate Perkembangan jumlah armada alat tangkap di Kota Ternate Perkembangan jumlah trip operasi penangkapan ikan masing-masing alat tangkap di Kota Ternate Perkembangan produksi hasil perikanan di Kota Ternate Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap Kota Ternate Perkembangan volume produksi menurut jenis ikan dominan di Kota Ternate xxiii

15 xxiv 16 Hasil produksi per unit upaya penangkapan ikan menggunakan alat pole and line di Kota Ternate Effort, produksi actual dan produksi lestari perikanan pelagis kecil di Kota Ternate Produksi, upaya optimal dan rente ekonomi pada pengelolaan perikanan Kota Ternate Total produksi actual, total effort standart dan produktifitas alat tangkap standart di Kota Ternate Produksi, effort, nilai logaritma CPUE pada waktu t+1 dan logaritma CPUE pada saat t serta jumlah effort pada waktu t dan t+1 perikanan tangkap di Kota Ternate Parameter biologi dan ekonomi perikanan kota Ternate Tingkat biomass, produksi, upaya optimal dan rente ekonomi perikanan pelagis kecil dari berbagai rezim pengelolaan di Kota Ternate Rataan hasil analisis usaha perikanan tangkap selama 1 tahun Hasil analisis criteria investasi perikanan tangkap kota Ternate... 77

16 xxvii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi Sumberdaya Ikan menurut Jumlah Produksi (Ton) di Kota Ternate Tahun Komposisi Sumberdaya Ikan menurut Kelompok Jenis Sumberdaya Hasil Standarisasi Produksi dan Effort tahun Hasil Tangkapan berdasarkan Alat Tangkap di Kota Ternate Perhitungan untuk Estimasi MSY F opt/ F MSY dengan Model Schaefer dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan Pole and Line di Perairan Kota Ternate Hasil Nilai Duga Penentuan F Opt dan MSY Hasil Penelitian Hasil Analisi Bioekonomi berdasarkan Produksi Actual Hasil Analisis Bioekonomi Effort Aktual Hasil Analisis Bioekonomi CPUE Hasil Analisis Bioekonomi Effort Standart Hasil Perhitungan yang ditabelkan Hasil Analisis Bioekonomi MEY,MSY dan OA Model Schaefer Hasil Analisis Bioekonomi Perbandingan atas Rezim Data Observasi Lapangan Alat Tangkap Pole and line Data Observasi Lapangan Alat Tangkap Purse Seine Hasil Perhitungan Pole and Line dengan SPSS Hasil Perhitungan Purse Seine dengan SPSS Deskripsi dan Analisis Biaya Unit Penangkapan Pole and Line (Huhate) di Kota Ternate Cash Flow Analisis Biaya Unit Penangkapan Pole and Line di Kota Ternate

17 xxviii 20 Deskripsi dan Analisis Biaya Unit Penangkapan Purse Seine (Pajeko) di Kota Ternate Cash Flow Analisis Biaya Unit Penangkapan Purse Seine di Kota Ternate

18 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah daratatan 1,9 juta km 2, wilayah laut sekitar 5,8 juta km 2, jumlah pulau buah dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu km. Dengan kondisi ini membuat Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang sangat besar. Sumberdaya perikanan pelagis merupakan salah satu bagian terpenting dari potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia dan merupakan bahan konsumsi dalam negeri. Sumberdaya perikanan laut tersebut perlu dijaga kelestariannya agar dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat juga dinikmati oleh generasi yang akan datang. Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Besarnya potensi sumberdaya perikanan mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi wilayah. Hal ini memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan,terutama bagi masyarakat nelayan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara keadilan (equity), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability). Komoditi perikanan laut khususnya perikanan tangkap merupakan komoditi unggulan bagi masyarakat nelayan khususnya di Kota Ternate, karena komoditi ini memiliki mekanisme pemasaran langsung, efektif dan efisien ke wilayah sekitarnya, yang tentunya memberikan keuntungan yang cukup besar. Untuk memperoleh keuntungan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan pelagis di Kota Ternate, maka perlu dilakukan suatu usaha pendekatan yang memperhatikan aspek biologis dan ekonomis, sehingga nelayan dalam melakukan aktifitasnya dapat memperoleh keuntungan secara maksimal tetapi sumberdaya ikan tetap lestari. Clark (1985) in Purwanto (2002), mengungkapkan bahwa pendekatan bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menentukan produksi suplai ikan. Untuk itu maka digunakan

19 2 pendekatan bioekonomi untuk mengestimasi aspek biologi, dan ekonomi dalam melakukan usaha penangkapan ikan. Diberlakukannya UU nomor 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi pengelolaan sumberdaya kepada Pemerintah Daerah membawa angin segar bagi upaya demokratisasi dan pemerataan kemakmuran nasional. Momentum otonomi ini merupakan peluang bagi daerah Maluku Utara khususnya Kota Ternate untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lokal secara langsung melalui pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara proporsional dan terkendali tanpa mengabaikan aspek keberlanjutan serta hakikat keterkaitan dengan berbagai kepentingan antar wilayah. Status kontemporer sumberdaya manusia, lingkungan (sumberdaya alam dan ekosistem), dan pola formulasi kebijakan pembangunan di Kota Ternate menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mewujudkan mekanisme pemanfaatan dan konservasi sumberdaya yang mensejahterakan masyarakat tanpa melupakan pemihakan pada kelestarian lingkungan Perumusan Masalah Potensi sumberdaya pesisir dan laut yang terdapat di Kota Ternate, khususnya perikanan pelagis kecil belum sepenuhnya dikelola secara optimal. Pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil tersebut merupakan fenomena rumit dan unik dalam pembangunan ekonomi, karena mempunyai sifat akses terbuka (open access), dimana setiap orang dapat memanfaatkannya. Akses terbuka tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengurasan (depletion) sumberdaya perikanan, lebih-lebih karena pengelolaan yang kurang jelas lembaga pengaturnya dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Berarti karakteristik sumberdaya perikanan yang bersifat akses terbuka akan semakin terbuka, sehingga terjadi pengurasan terutama dari pengusaha perikanan domestik yang bermodal besar, disamping pencurian yang dilakukan nelayan dan pengusaha perikanan asing. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka peran pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokal sebagai sumber keuangan dalam pembiayaan pembangunan daerahnya secara mandiri. Untuk itu pemerintah Kota Ternate melakukan upaya pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)

20 3 secara optimal sehingga diharapkan dengan peningkatan PAD tersebut, secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di Kota Ternate. Sumberdaya perikanan yang seharusnya menjadi sektor unggulan bagi beberapa wilayah di Kota Ternate, diharapkan akan memberikan sumbangan dan merangsang kemajuan perekonomian wilayah yang bersangkutan. Hal ini dimungkinkan apabila pengelolaan sumberdaya dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dengan mengurangi pengurasan (depletion) dan mempertahankan tangkap lestari (sustainable yield) sumberdaya perikanan. Pada saat kajian stok ikan lebih didasarkan pada pendekatan biologi dan belum ada dilakukan pendekatan ekonomi (Maximum Economic Yield, MEY), maka adanya estimasi potensi dan status pemanfaatan mengenai suatu jenis usaha perikanan melalui suatu bentuk pendekatan bio-ekonomi yang memadukan antara aspek ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis yang menentukan produksi dan suplai ikan sangat diperlukan. Pada tingkat kesetimbangan antara permintaan ikan dengan penawaran akan menghasilkan nilai maksimum secara bioekonomi sebagai tingkat keuntungan maksimum bagi nelayan. Tingkat produksi optimal tersebut bukan tingkat terbaik bagi pihak pembeli ataupun pihak nelayan secara sendiri-sendiri namun adalah tingkat terbaik bagi masyarakat atau pengguna milik umum (common property). Dengan permasalahan-permasalahan di atas, maka timbul beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah sumberdaya ikan di Kota Ternate masih layak untuk dieksploitasi? 2. Bagaimana upaya yang optimal dalam melakukan usaha penangkapan ikan? 3. Berapa produksi yang optimal dalam usaha penangkapan ikan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengestimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) sumberdaya perikanan pelagis kecil di Kota Ternate.

21 4 2. Mengestimasi Effort Maximum Sustainable Yield (E MSY ), Effort Maximum Economic Yield (E MEY ), Maximum Economic Yield (MEY), Effort Open Access (E OA ), Catch Open Access (C OA ) dalam usaha perikanan pelagis kecil di Kota Ternate. 3. Menentukan hubungan antara potensi sumberdaya dengan faktorfaktor produksi yang berperan dalam pengoperasian alat tangkap pada perikanan pelagis kecil. 4. Mengetahui gambaran kelayakan finansial usaha penangkapan berdasarkan jenis alat tangkap pada perikanan pelagis kecil di Kota Ternate Manfaat Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi nelayan / masyarakat perikanan dapat digunakan sebagai informasi agar memperhatikan pengeksploitasian sumberdaya hayati laut ke arah berimbang lestari. 2. Bagi instansi yang terkait, sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan dalam mengupayakan manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan mempertimbangkan faktor bioekonominya. 3. Bagi mahasiswa, sebagai acuan bagi kajian dan pengembangan keilmuan yang bersifat akademis dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya, mengingat data perikanan bersifat time series.

22 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi 1997). Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional. Sumberdaya perikanan laut termasuk pada kriteria sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun demikian pemanfaatan sumberdaya ini harus tetap rasional untuk menjaga kesinambungan produksi dan kelestarian sumbernya. Sumberdaya hayati laut yang telah dimanfaatkan oleh perikanan meliputi ikan (Pisces), kelompok Udang (Crustacea), binatang berkulit lemak (molusca) dan rumput laut. Sebagai suatu negara yang terletak didaerah tropis, Indonesia tergolong dalam perikanan multi species. Sumberdaya perikanan dikelompokkan menjadi kelompok sumberdaya perikanan Demersal dan Pelagis (Dahuri et al. 2001). Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum optimal, dimana tingkat pemanfaatan untuk ikan-ikan pelagis kecil baru sekitar 35 %, ikan demersal baru dimanfaatkan 27% sedangkan untuk Cakalang sekitar 51% dan Tuna 54%. Tingkat pemanfaatan Udang dikategorikan cukup tinggi yaitu sekitar 79% yang telah dimanfaatkan, sementara untuk jenis sumberdaya Cumi dan Sotong baru sekitar 37% yang telah dimanfaatkan (Ayodhyoa et al. 1995). FAO (1997) melaporkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (small pelagic) yaitu sebesar ton atau 18,30 % dan perikanan Skipjack sebesar ton (5,22 %). Tabel 1 menyajikan estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut khususnya pelagis besar di kawasan perairan Indonesia.

23 6 Tabel 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Indonesia Wilayah Potensi Produksi Pemanfaatan (10 3 ton/tahun) 3 (10 ton/tahun) % Selat Malaka 27,67 35,27 >001 Laut Cina Selatan 66,08 35,16 53,21 Laut Jawa ,82 >001 Selat Makassar & Laut Flores 193,6 85,1 43,96 Laut Banda 104,12 29,1 27,95 Laut Seram & Teluk Tomini 106,57 37,46 35,17 Laut Sulawesi & Samudera Pasifik 175,26 153,43 87,54 Laut Arafura 50,86 34,55 67,93 Samudera Hindia 386,26 188,28 48,74 Perairan Indonesia Sumber: Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia tahun Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia yaitu Katsuwonus pelamis (Waldron & King 1963) diacu in Taeran (2007). Klasifikasi cakalang menurut FAO (1991) adalah sebagai berikut: Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Perciformes Subordo: Scorbroidae Genus: Katsuwonus Species: K. Pelamis Badan memanjang, gelendong dengan penampang melintang bundar. Kepala bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, badan kurang bersisik. Pangkal ekor ramping dengan plat tulang yang kuat. Kepala dan badan bagian atas biru kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan dan sirip-sirip kehitaman. Hidup diperairan pantai dan oseanis, ukurannya dapat mencapai 100 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiawady 2006 in Taeran 2007). Khususnya di kawasan timur Indonesia, ikan Cakalang tersebar di wilayah perairan terutama laut Maluku, Laut Banda, laut Seram dan laut Sulawesi. Perairan tersebut termasuk daerah migrasi kelompok ikan di Samudera Pasifik bagian selatan,

24 7 khusus jenis ikan cakalang. Populasi cakalang yang dijumpai memasuki perairan timur Indonesia terutama mengikuti arus. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu perairan (Uktolseja et al. 1991). Selanjutnya Nontji (2002), menyatakan bahwa faktor pembatas yang penting bagi keberadaan ikan cakalang di suatu perairan adalah suhu dan salinitas. Telah diketahui bahwa cakalang hidup di perairan lapisan permukaan dengan suhu C dan salinitas Lokasi penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ditentukan oleh musim yang berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara umum dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Musim dengan hasil lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan musim dengan hasil penangkapan lebih sedikit disebut musim paceklik (Nikijuluw 2002). 2) Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Secara umum Tongkol terdiri dari 2 genus dan 5 spesies dan diklasifikasikan sebagai berikut (Collete & Nauen 1983 in Taeran 2007). Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Subordo: Scombroidea Famili: Scombridae Genus: Euthynnus auxis Species:E.Affinis; E.Alletteratus; E.Lineatus; A.thazard; A.rochei Ciri morfologi tongkol (Euthynnus affinis) adalah badan memanjang dan penampang melintang agak bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip tidak melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis bergelombang menyilang kehitaman. Sirip perut dan dubur keputihan. Sirip ekor, sirip dada dan sirip punggung kehitaman. Hidup diperairan pantai dan oseanis, dapat

25 8 mencapai 100 cm, tersebar luas di bagian tengah Indo Pasifik (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). Sedangkan ciri morfologi tongkol (Auxis thazard) adalah badan memanjang dengan penampang melintang bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai setelah mata hampir lurus, sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan bagian atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis menyilang kehitaman. Sirip punggung, dada, perut dan dubur keputihan. Sirip ekor kehitaman. Hidup di perairan pantai dan oseanis, dapat mencapai 58 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). 3) Ikan Layang (Decapterus sp) Lima jenis Layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies ikan layang hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup dilaut dalam dan tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji 2002). Ikan Layang tergolong ikan stenohaline (diatas 30 ) yang suka pada perairan dengan salinitas Sebagai ikan pelagis yang suka berkumpul dan bergerombol, pemakan zooplankton serta senang pada perairan yang jernih, banyak tertangkap pada perairan sejauh mil dari pantai (Hardenberg 1937 in Taeran 2007). Ciri morfologi Layang (Decapterus russelli) adalah badan memanjang, panjang kepala lebih besar daripada tinggi badan, panjang moncong lebih besar daripada garis tanda mata, maxilla bagian belakang tidak mencapai bagian depan mata, garis rusuk yang lurus dengan sisik tebal. Kepala dan badan bagian atas biru tua, bagian bawah putih keperakan, sirip punggung dan sirip dubur sedikit kekuningan, sirip perut

26 9 keputihan. Hidup diperairan pantai dengan ukuran dapat mencapai 27 cm (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). Ciri dari Decapterus macrosoma adalah badan memanjang seperti cerutu. Bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian bawah berwarna putih perak, sirip-siripnya kuning pucat, satu totol hitam pada bagian atas penutup insang dan pangkal sirip dada. Ukuran panjangnya dapat mencapai 40 cm). Klasifikasi ikan layang menurut Direktorat Jenderal Perikanan 1979 adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007: Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Subordo: Percoidea Famili: Carangidae Genus: Decapterus Species: D.russelli; D.kurroides; D.lajang; D.macrosoma; D.maruadsi. 4) Ikan Kembung (Rastrelliger sp) Ikan Kembung dibagi atas dua jenis yakni kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastelliger brachysoma). Kembung lelaki mempunyai tubuh yang lebih langsing, dan biasanya terdapat diperairan yang agak jauh dari pantai. Kembung perempuan sebaliknya mempunyai tubuh yang lebih lebar dan lebih pendek, dijumpai di perairan dekat pantai. Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, badan tinggi dan agak pipih, kepala bagian atas hingga mata hampir lurus sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Panjang kepala sama atau lebih kecil daripada tinggi badan. Sirip dada pendek, kepala dan badan bagian atas kehijauan, bagian bawah putih keperakan. Pada kembung perempuan terdapat bercak-bercak di badan yang membentuk garis kehitaman memanjang. Sedangkan Kembung lelaki dibadan bagian atas terdapat strip kehitaman memanjang. Klasifikasi ikan Kembung adalah sebagai berikut (Paristiwady 2006 in Taeran 2007): Filum: Chordata Kelas: Pisces

27 10 Ordo: Perchomorphi Subordo: Scombroideae Famili: Scombridae Genus: Rastrelliger Species: R.branchysoma; R.kanagurta Ikan Kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32, sedangkan kembung perempuan (Rastreliger branchysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 2002). Penyebaran utama ikan kembung (Rastreliger spp) adalah Kalimantan di perairan barat, timur dan selatan serta Malaka, sedangkan daerah penyebarannya mulai dari pulau Sumatera bagian barat dan timur, Pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian utara dan selatan, Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007). Jenis ikan ini biasanya ditangkap menggunakan sero, jala lompa dan sejenisnya, kadang-kadang masuk trawl, jaring insang lingkar dan pukat cincin. 5) Ikan Julung-Julung (Hemirchamphus sp) Bentuk badan memanjang dengan rahang atas pendek membentuk paruh sedangkan rahang bawah panjang dan membentuk segitiga. Sirip-sirip tidak mempunyai jari-jari keras. Sirip punggung dan sirip dubur terletak jauh dibelakang, sirip dada pendek. Garis rusuk terletak dibadan bagian bawah (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). Daerah penyebaran terdapat diperairan pantai,lepas pantai, terutama Indonesia timur (laut Flores, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda) dan perairan yang berbatasan dengan Samudera Indonesia. Tergolong ikan pelagis lapisan atas. Penangkapan dengan soma antoni, jala oras, jala buang, soma giob (Direktorat Jenderal perikanan 1979 in Taeran 2007) Model Bioekonomi Perikanan Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Pada perikanan terbuka (open access) dimana terdapat kebebasan bagi nelayan untuk ikut serta menangkap ikan sehingga terdapat kecenderungan pada nelayan untuk

28 11 menangkap sebanyak mungkin sebelum didahului oleh nelayan lainnya. Kecenderungan ini menyebabkan usaha tidak lagi didasarkan pada efisiensi ekonomi. Oleh karena itu pengembangan upaya penangkapan ikan terus dilakukan hingga pendapatan nelayan sama dengan biaya penangkapan ikan, atau harga ikan setara dengan rata-rata biaya penangkapannya. Dengan kata lain TR (penerimaan total) sama dengan TC (biaya total). Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan bionomic dalam kondisi akses terbuka dimana nelayan atau pelaku perikanan tidak mendapatkan keuntungan (Soemokaryo, 2001). Pada kondisi akses terbuka (tidak ada pengaturan) setiap tingkat effort E > E O akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari penerimaan, sehingga menyebabkan effort berkurang sampai kembali ke titik E = E O. Sebaliknya, jika terjadi kondisi dimana E < E O, penerimaan akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan entry pada industry perikanan. Entry ini akan terus terjadi sampai manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol (Fauzi dan Anna, 2005) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan hal yang sangat penting dalam manajemen penangkapan. Menurut Suyedi (2001), hasil tangkapan per unit upaya (CpUE) adalah ; 1) suatu indeks kelimpahan suatu stok ikan yang dikaitkan dengan tingkat eksploitasinya, 2) CpUE dan jumlah penangkapan sangat berguna untuk menentukan apakah suatu eksploitasi sumberdaya perikanan sudah dalam keadaan penangkapan yang berlebih atau dalam taraf under exploited. Perkembangan fishing ground menyebabkan sumberdaya ikan semakin menurun baik alat tangkap yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil. Dimana kapasitas dari masing-masing alat tangkap berbeda dalam operasi penangkapan ikan. Seperti Catch per Unit Effort (CpUE) dari alat tangkap pole and line, purse seine dan gillnet serta alat tangkap lainnya berbeda dengan kapasitasnya. Tetapi setiap ikan dapat didominasi penangkapannya oleh alat tangkap tertentu, sehingga belum tentu alat tangkap yang besar kapasitasnya akan mendominasi hasil tangkap dari alat tangkap lain. Dari hal tersebut maka sangat penting dilakukan suatu standarisasi alat tangkap ikan pelagis bila dilihat dari CpUE masing-masing alat tangkap. Standarisasi alat tangkap adalah untuk menyatukan suatu effort kedalam bentuk satu satuan yang dianggap standart. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan satuan effort yang seragam sebelum dilakukan pendugaan kondisi MSY (Maximum Sustainable

29 12 Yield), yaitu suatu kondisi dimana stok ikan dipertahankan pada kondisi keseimbangan (Setyohadi, 1995) Nilai Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan antar suatu wilayah. Perbedaan ini erat kaitannya dengan kondisi dan potensi wilayah tersebut dilihat dari segi biogeofisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta kelembagaan dan sekaligus mengindikasikan adanya keterbatasan yang dihadapi oleh setiap wilayah dalam upaya memacu pembangunannya. Perbedaan ini menuntut adanya strategi pengelolaan sumberdaya dalam pembangunan di setiap wilayah yang bersifat spesifik (Kusnadi 2002). Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berbasis pada potensi sumberdaya domestik, terutama sektor-sektor primer, seperti perikanan serta sektorsektor sekunder dan tersier sebagai pendukung. Artinya masing-masing wilayah memiliki berbagai fungsi sesuai potensi yang dimiliki. Sehingga pengembangan usaha tersebut yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut dapat tumbuh dan berkembang mendukung aktifitas dan perkembangan ekonomi wilayah. Keunggulan tersebut meliputi produksi, produktifitas maupun luasan produksi, pemasaran, penduduk, tenaga kerja, dan akses terhadap fasilitas infrastruktur. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah digunakan dan bisa dijadikan persepsi bersama dalam penilaian sumberdaya ekonomi perikanan adalah dengan memberikan harga (price tag) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi dari sumberdaya alam. Secara umum nilai ekonomi merupakan pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya. Menurut Cuningham, nilai ekonomi produk perikanan adalah melalui pembelian dan penjualan dipasar dengan harga sebagai ukuran nilai per unit. Jika harga ikan konstan, maka permintaan akan mengalami kenaikan. Sedangkan apabila harga mengalami penurunan, maka produk perikanan cenderung dialihkan ke wilayah yang mempunyai kemampuan membeli yang besar (Fauzi 2005). Sebagaimana dalam ekonomi produksi, pengelolaan sumberdaya perikanan membutuhkan faktor produksi, seperti tenaga kerja, kapal, peralatan tangkap dan sebagainya.

30 13 Beberapa usaha di atas dimaksudkan untuk peningkatan produktifitas sumberdaya perikanan serta mencapai keuntungan ekonomi yang maksimum. Dengan demikian perlu pengembangan melalui perluasan usaha tangkapan, perbaikan teknologi penanganan pasca panen, pemasaran dan transportasi, hasil produksi perikanan dan pembangunan infrastruktur, seperti tempat pendaratan ikan (landing place), tempat pelelangan ikan (TPI), serta fasilitas pendingin dan lain-lainnya. Sehingga diharapkan secara kumulatif, pengembangan usaha tersebut akan menciptakan berbagai peluang serta spasial multiplier yang lebih besar dalam pembangunan dan pengembangan wilayah seperti peningkatan produk lokal dan permintaan lokal, penyerapan tenaga kerja, serta aktifitas sektor jasa baik formal maupun informal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang unik yaitu open acces sehingga dalam pemanfaatannya mengalami overfishing. Sumberdaya laut tersebut meliputi berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, moluska, rumput laut dan sebagainya. Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut dilakukan eksploitasi dengan penangkapan. Untuk daerah-daerah tertentu tingkat eksploitasinya telah melebihi dari sumberdaya yang tersedia (overfishing). Oleh karena itu diperlukan suatu usaha pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan. Dalam Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi: 1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) 2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan. 3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.

31 14 Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain: 1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan. 2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan. 3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri, sifat dan bentuk kehidupan. 4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industi yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab. Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan: tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu 2. Pengendalian alat tangkap: tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu. Berdasarkan prinsip tersebut maka Purnomo (2002), menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut: 1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi. 2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin. 3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono DHS (2003) dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain: 1) Pengaturan Musim Penangkapan Pendekatam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda, dan baru kemudian menjadi

32 15 ikan dewasa. Bila salah satu siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan. Untuk pengaturan musim penangkapan ikan perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya ikan, serta bagaimana reproduksi. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Kendala yang timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah 1). Belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, 2). Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, 3). Hukum diberlakukan tidak konsisten, 4). Terbatasnya sarana pengawasan. 2) Penutupan Daerah Penangkapan Kebijakan penutupan dilakukan apabila pada daerah tersebut sudah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang biak sehingga populasinya dapat bertambah. Dalam penentuan suatu daerah penangkapan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut meliputi dimana dan kapan terdapatnya ikan serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan untuk penangkapan. Penutupan daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah yang merupakan habitat vital seperti daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery ground). Penutupan daerah ini dimaksudkan agar telur-telur ikan, larva dan ikan yang kecil dapat bertumbuh. Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan ikan, diperlukan regulasi dan pengawasan yang ketat oleh pihak terkait seperti dinas perikanan dan kelautan setempat bekerjasama dengan Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara (POLAIRUD) dan Stakeholders (nelayan). 3) Selektifitas Alat Tangkap

33 16 Kebijakanan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan stok ikan berdasarkan struktur umur dan dan ukuran ikan. Dengan demikian ikan yang tertangkap telah mencapai ukuran yang sesuai. Sementara ikan-ikan yang kecil tidak tertangkap sehingga memberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh. Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap, adalah: 1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mezh size) pada alat tangkap gill net, purse seine dan pancing lingkar seperti pukat dan lain-lain. 2) Penentuan ukuran mata pancing pada long line Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap, peran nelayan sangat penting. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multigears) yang beroperasi di Indonesia. Kendala lain dalam kebijakan ini yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk modifikasi alat tangkap yang sudah ada di nelayan. Sehingga perlunya peran masyarakat untuk memodifikasi alat sesuai dengan lokasinya dengan aturan yang ada. 4) Pelarangan Alat Tangkap Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan dan yang paling buruk yaitu punahnya ikan. Seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potas, cyanida. Seringkali pelanggaran terhadap peraturan penggunaan alat atau bahan berbahaya tidak ditindak sesuai aturan yang ada sehingga nelayan tersebut tidak jera. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan tersebut tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung dengan penerapan aturan yang berlaku dan harus konsisten. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap juga perlu adanya keterlibatan secara aktif dari nelayan dan masyarakat pesisir sebagai pengawas. Pengawasan yang dilakukan oleh nelayan dan masyarakat pesisir dapat membantu aparat dalam menindak oknum yang

34 17 melakukan penangkapan dengan alat yang membahayakan dan merusak ekosistem sumberdaya perikanan. 5) Kuota Penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowble Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan di Perairan Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, maka nilai TAC harus dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY). Implementasi dari kuota dengan TAC adalah: 1) Penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atau suatu jenis ikan diperairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai usaha penangkapan mencapai total TAC yang ditetapkan maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama. 2) Membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. 3) Membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui. 6) Pengendalian Upaya Penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada maupun jumlah trip penangkapan. Untuk menentukan batas upaya penangkapan perlu adanya data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya penangkapan di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif yaitu dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah 2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Geografis dan Administrasi Pemerintahan Wilayah Kota Administratif Ternate dengan luas wilayah 5.797,24 km 2 terdiri dari 5.547,55 km 2 perairan dan 249,79 km 2 daratan, yang mencakup delapan pulau yaitu Pulau Ternate (110,7 km 2 ), Pulau Moti (24,6 km 2 ), Pulau Hiri (12,4 km 2 ), Pulau Mayau

35 18 (78,4 km 2 ), Pulau Tifure (22,1 km 2 ), Pulau Maka (0,5 km 2 ), Pulau Mano (0,05 km 2 ) dan Pulau Gurida (0,05 km 2 ), tiga pulau terakhir disebut Gura Mangofa atau pulau tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut terletak dalam lingkup yang bergerak melalui kepulauan Filiphina, Sangihe Talaud dan Minahasa dan dilengkapi dengan lengkung Sulawesi dan Pulau Sangihe. Secara geografis, Kota Ternate berada diantara 3 0 Lintang Utara sampai 3 0 Lintang Selatan dan sampai Bujur Timur berbatasan dengan (BPS Kota Ternate ) : * Sebelah Utara dengan Laut Maluku. * Sebelah Selatan dengan Laut Maluku. * Sebelah Timur dengan Selat Halmahera, dan * Sebelah Barat dengan Laut Maluku. Sejak tahun 2001, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah serta dengan adanya perkembangan dan kemajuan daerah Kota Ternate pada umumnya dan juga adanya tuntutan aspirasi masyarakat serta untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, maka Kota Ternate telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan yang terdiri atas 77 kelurahan dimana 79,22% atau 61 kelurahan berada dikawasan pesisir/pantai, diantaranya: Kecamatan Ternate Utara : 17 Kelurahan Kecamatan Ternate Selatan : 12 Kelurahan Kecamatan Ternate Tengah : 14 Kelurahan Kecamatan Pulau Ternate : 13 Kelurahan Kecamatan Pulau Moti : 6 Kelurahan Kecamatan Pulau Batang Dua : 6 Kelurahan Kecamatan Pulau Hiri : 6 Kelurahan Tabel 2 Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta Luas wilayah per kecamatan di KotaTernate. No Kecamatan Desa Pantai Desa bukan Pantai Luas km 2 1 Pulau Ternate ,58 2 Ternate Selatan ,44 3 Ternate Utara ,16 4 Ternate Tengah ,52 5 Pulau Moti 6-24,6 6 Pulau Batang Dua 5-101,55 7 Pulau Hiri 3-12,4 Jumlah ,75 Sumber : BPS Kota Ternate 2009.

36 19 Pembagian wilayah Kota Ternate berdasarkan topografi cukup bervariasi namun dalam berbagai publikasi dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori yaitu kategori rendah yakni ketinggian dari m dimana dari kategori ini sekitar 67 kelurahan atau 83%, kategori sedang dengan ketinggian m berjumlah 6 kelurahan atau 10% sedangkan yang termasuk ketegori tinggi dengan ketinggian diatas 700 m berjumlah 4 kelurahan atau 7%. Sedangkan musim di wilayah Kota Ternate beriklim tropis sehingga keadaan iklimnya sangat dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai ciri indikasi umum iklim tropis. Di wilayah ini juga mengenal dua musim yaitu musim utara-barat dan musim timur-selatan yang biasanya diselingi dengan dua kali masa pancaroba setiap tahun. Melalui stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate, selama tahun 2008 diperoleh informasi tentang klimatologi yaitu temperatur rata-rata 26,70 0 C, kelembaban nisbi rata-rata 84%, tingkat penyinaran 54% dan kecepatan angin rata-rata 8,6 km/jam dengan kecepatan maksimum mutlak rata-rata 33,2 km/jam Penduduk dan Ketenagakerjaan Penduduk di Kota Ternate berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2009 sebanyak jiwa, yang terdiri dari Kecamatan Pulau Ternate jiwa atau 8,99%, Kecamatan Ternate Selatan jiwa atau 33,93%, Kecamatan Ternate Utara sebanyak jiwa atau 23,27%, Kecamatan Ternate Tengah sebanyak jiwa atau 29.65%, Kecamatan Pulau Batang Dua sebanyak jiwa atau 1,59%,Kecamatan Pulau Moti jiwa atau 4,30% dan Kecamatan Pulau Hiri sebanyak jiwa atau 28%. Kota Ternate yang memiliki luas wilayah 250,85 km 2 mempunyai kepadatan penduduk rata-rata 484 jiwa/km 2. Kecamatan Ternate Selatan merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan keenam kecamatan lainnya yakni sekitar jiwa/km 2 sementara keenam kecamatan masing-masing; Ternate Utara km 2, Pulau Ternate 2,915 jiwa/km 2, Pulau Moti 225 jiwa/km 2, Pulau Batang Dua 190 km 2, dan Pulau Hiri 243 km 2 (BPS Kota Ternate 2009). Rasio jenis kelamin penduduk Kota Ternate adalah 103. Hal ini memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk lelaki di Kota Ternate lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan. Bila dilihat per kecamatan, Pulau Moti dan Pulau Batang Dua memiliki komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan dengan rasio sebesar 99,7 dan 99,6. Sedangkan hasil registrasi penduduk tahun 2009 di

37 20 Kota Ternate menunjukkan jumlah rumah-tangga sebanyak rumah-tangga dengan rataan anggota rumah-tangga sebanyak lima orang, sedangkan untuk masingmasing kecamatan besarnya bervariasi, antara 3 sampai dengan 6 jiwa per rumah-tangga (BPS Kota Ternate 2009). Tabel 3 Jumlah penduduk, kepadatan, rumahtangga dan rasio jenis kelamin di Kota Ternate menurut kecamatan N Penduduk(%) Rasio Rumah Kepadata Kecamatan Jenis tangga o Lelaki Perempuan n (%) Kelamin (%) 1. Pulau Ternate Ternate Selatan , Ternate Utara , Ternate Tengah , Pulau Moti , P Batang Dua , Total , Sumber : BPS Kota Ternate Dalam Angka, Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Ternate berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2008 sekitar 46,18%. Hal ini mengindikasikan bahwa dari 100 penduduk usia 15 tahun keatas sebanyak 46 orang diantaranya adalah merupakan angkatan kerja. Tabel 4 Persentasi penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan tahun 2008 di Kota Ternate No. Jenis Kegiatan Penduduk(%) Lelaki Perempuan Lk + Pr(%) 1. Angkatan Kerja - Bekerja 70,45 38,93 54,43 - Mencari Kerja 5,41 10,26 7,88 2. Bukan Angkatan Kerja 24,14 50,81 37,69 Jumlah Tenaga Kerja Sumber : BPS Dalam Angka, Tabel 5 memperlihatkan bahwa pada tahun 2009 sektor pertanian termasuk di dalamnya sub sektor perikanan mempunyai jumlah tenaga kerja terbanyak. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini sebanyak jiwa atau 72,54% dengan laju kenaikan sebesar 0,17. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan dan sektor jasa yang masing-masing sebesar jiwa dan jiwa atau 9,50% dan 7,65%. Struktur perekonomian tersebut menggambarkan bahwa penduduk di Kota Ternate sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan meskipun banyak juga yang berpendidikan lebih tinggi berorientasi ke sektor perdagangan, sebagai pegawai

38 dan wirausaha (BPS Kota Ternate 2009). Untuk jelasnya tabel tentang angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha tahun 2008, rinciannya sebagai berikut. Tabel 5 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha di Kota Ternate. No. Sektor Lapangan Kerja Tahun Persentase Tahun Persentase 2008 (%) 2009 (%) 1. Pertanian , ,54 2. Pertambangan/Penggalian 269 0, ,44 3. Industri/Listrik, Gas dan Air , ,41 4. Bangunan 841 1, ,38 5. Perdagangan , ,5 6. Perhubungan dan Angkutan 142 0, ,88 7. Keuangan/Asuransi 94 0, ,15 8. J a s a , ,65 9. Lain-lain 142 0, ,04 J u m l a h Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Ternate, Gambaran Perekonomian dan Struktur Sosial lndikator utama dalam mengukur pertumbuhan perekonomian suatu wilayah adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 6 memperlihatkan PDRB Kota Ternate pada tahun 2008 atas dasar harga konstan sebesar juta rupiah atau meningkat sebesar 7,92% (BPS Kota Ternate 2009). Struktur perekonomian lebih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan serta sektor pertanian. Hal ini terlihat dari kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB tahun 2008 atas dasar harga konstan didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar juta rupiah atau 33,20%, begitu juga PDRB tahun 2009 dimana sektor tertinggi masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar juta rupiah atau 33,58%, sedangkan sektor pertanian pada tahun yang sama menduduki urutan kelima yakni sebesar juta rupiah atau 15,58% (BPS Kota Ternate 2009). Sementara itu laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi daerah Kota Ternate tahun 2008 pada umumnya bervariasi. Laju pertumbuhan ekonomi sektoral di Kota Ternate pada periode mengalami peningkatan dari menjadi 2,83. Bila ditinjau pada masing-masing sektor terlihat bahwa pertumbuhan tertinggi periode

39 22 menurut harga konstan 2007 terdapat pada sektor pengangkutan dan komunikasi atau 6,84%, dan pada tahun ini sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi terdapat pada perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan pada tahun 2008 sektor pengangkutan dan komunikasi kembali menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 4,98%, diikuti oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 4,84%, dan yang terendah terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,63%. Tabel 6 PDRB Kota Ternate menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun No Sektor Tahun (%) Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Produk Domestik Regional Bruto Sumber : BPS Kota Ternate, Kondisi sosial Kota Ternate dapat terlihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, penerapan keluarga berencana dan kondisi sosial lainnya. Untuk pendidikan jumlah sekolah yang terdapat di wilayah Kota Ternate secara umum cukup memadai dibandingkan dengan wilayah lainnya dimana jumlah sekolah dasar negeri maupun swasta sebanyak 104 unit dan tersebar merata di setiap kecamatan, sekolah menengah berjumlah 26 unit dimana belum tersebar secara merata dan hanya terpusat pada daerahdaerah tertentu, sedangkan sekolah menengah umum berjumlah 15 unit dan menengah kejuruan 7 unit. Selain jenjang pendidikan dasar dan menengah, di kota ini juga terdapat enam perguruan tinggi. Sementara itu rasio murid-guru untuk jenjang pendidikan dasar adalah 19 murid per seorang guru di SD Negeri dan 22 murid per seorang guru di SD Swasta. Untuk SLTP Negeri tercatat 16 murid per seorang guru dan 14 murid per seorang guru di SLTP Swasta, sedangkan untuk pendidikan menengah atas tercatat rasio 17 murid per seorang guru untuk SMU Negeri dan 13 murid per seorang guru untuk SMU Swasta (BPS Kota Ternate 2009).

40 23 Bidang kesehatan mencakup pengembangan sumberdaya manusia melalui program pembangunan kesehatan dengan mengutamakan upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk memperlancar pelaksanaan program dimaksud maka sejak tahun 2008 tercatat sebanyak 8 buah Rumah Sakit, 8 buah Puskesmas, 13 unit Puskesmas Pembantu, 1 buah Rumah Bersalin dan ditunjang dengan 162 unit Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Berkaitan dengan kondisi kesehatan, terdapat upaya penerapan penurunan angka kelahiran melalui keluarga berencana dengan cara mendorong kesadaran masyarakat dalam pemakaian alat kontrasepsi keluarga berencana yang mana dari tahun ke tahun semakin nampak hasilnya, sesuai dengan kebijakan yang berkaitan dengan kuantitas penduduk berdasar keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara jumlah penduduk dan daya dukung dan daya tampung serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan sosial budaya. Pada tahun 2006/2008 terjadi realisasi melebihi yang ditargetkan yaitu sebesar 94,1% dari target semula pasangan. Sedangkan tahun sebelumnya 2005 pencapaian peserta KB baru, hanya 68% dari yang ditargetkan ( pasangan) dan pada tahun 2007/2008 pencapaian peserta KB baru melebihi target 10,13% (BPS Kota Ternate 2009). Kondisi sosial lainnya yang cukup berperan yakni kehidupan beragama dalam kehidupan sosial yang sangat berkaitan dengan budaya masyarakat, dimana sebagian besar masyarakat di Kota Ternate adalah pemeluk agama Islam. Secara umum pemuka adat yang terpilih di daerah ini adalah tokoh agama Islam yang terpandang dan disegani masyarakat. Kepatuhan masyarakat pada agama Islam dapat dilihat pada beberapa elemen yakni peranan para ulama yang tidak dipisahkan dari tempat peribadatan yang digunakan sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan dan aktivitas lainnya Gambaran Sumberdaya Perikanan Kota Ternate dengan luas wilayah lautan yang lebih besar yaitu % yang jika dibandingkan dengan luas daratan yang hanya % mengandung beraneka ragam sumberdaya hayati laut. Ketersediaan sumberdaya laut yang ada memungkinkan terjadinya aktifitas di bidang perikanan dan hal ini dapat dilihat dengan beragamnya jumlah alat tangkap, jumlah armada dan peningkatan produksi hasil tangkapan dari tahun ketahun. Gambaran tentang alat tangkap yang ada menunjukkan bahwa usaha

41 24 penangkapan yang ada di Kota Ternate masih dapat digolongkan bersifat tradisional dan dalam usaha skala kecil. 1. Unit Penangkapan pole and line (huhate) a. Kapal Ikan Spesifikasi umum kapal pole and line yang beroperasi di Kota Ternate dirincikan pada tabel 7. Konstruksi dan tata letak kapal pole and line adalah terdiri atas bagian haluan yang terdapat tempat duduk untuk para pemancing yang disebut flying deck dan plat form. Flying deck adalah dek yang menjorok keluar dari bagian haluan kapal dan plat form adalah berupa sayap yang menonjol dari dek kesisi-sisi kapal. Pada bagian ini juga terdapat pila-pila yaitu penyangga yang berfungsi sebagai pijakan atau tumpuan para pemancing. Water spayer atau penyemprot air terdapat pada bagian depan dan samping pada pila-pila kapal berperan sangat penting saat pemancingan yaitu untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap mata pancing ataupun pemancing. Pada bagian haluan juga terdapat tempat penyimpanan alat tangkap dan jaring yang akan digunakan untuk penangkapan umpan. Kota Ternate. Berikut ini tabel mengenai spesifik kapal pole and line di Tabel 7 Spesifikasi kapal pole and line di Kota Ternate Spesifikasi Keterangan Tipe Kapal F.R.P. 15 GT Bahan utama Fibre glass Reinforced Plastic Panjang 12,7 meter Lebar 2,7 meter Dalam 1,2 meter Isi kotor 6,69 GRT Isi bersih 4,02 GRT Mesin penggerak Yanmar 6 CHE, 105 PK Kecepatan maksimum 14 knot Daya jelajah 60 jam Isi tangki liter Pemakaian bahan bakar 16,2 liter/ jam Kapasitas palkah 4 5 ton Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan, 2010 Pada bagian tengah kapal terdapat dua buah bak umpan sebagai tempat penampungan umpan hidup, empat buah palkah sebagai tempat penampungan dan penyimpanan hasil tangkapan dan sebuah palkah gudang yang tidak difungsikan

42 25 sehingga digunakan sebagai palkah penampung hasil tangkapan. Pada bagian anjungan terdapat ruang ABK dan ruang kemudi yang didalamnya terdapat beberapa alat navigasi dan komunikasi yang sederhana seperti kompas, peta, teropong dan sebuah radio komunikasi. Pada bagian bawah terdapat ruang mesin dan bagian buritan terdapat ruang dapur dan sedikit ruang yang selalu digunakan ABK kapal untuk belajar memancing bagi pemancing pemula. b. Alat Tangkap Konstruksi alat tangkap pole and line terdiri atas joran (pole), tali (line) dan mata pancing (hook). Joran yang digunakan nelayan terbuat dari bambu dengan tingkat kelenturan yang cukup tinggi. Panjang joran dan tali yang digunakan nelayan bervariasi antara 2-4 m dan 1,5 3 meter sesuai dengan keinginan pemancing untuk mempermudah pemancingan dan disesuaikan dengan besarnya kapal. Pada umumnya panjang pole and line yang berkisar 3,5 5 meter digunakan oleh pemancing bagian haluan dan panjang pole and line yang berkisar 6 7 meter digunakan oleh pemancing bagian samping atau buritan. Umumnya tali pemancing yang digunakan nelayan perikanan cakalang di Ternate terdiri atas tiga bagian yaitu tali kepala (head line), tali utama (main line) dan tali pengikat (string line). Panjang tali kepala berkisar 0,3 0,5 meter dari bahan kuralon yang ujung satunya diikatkan pada joran dan ujung satunya lagi diikatkan pada tali utama. Tali utama yang panjangnya bervariasi antara 1 3 meter terbuat dai bahan polyethylen (PE), salah satu ujungnya diikatkan pada ujung tali kepala secara tetap dan salah satu ujungnya diikatkan pada tali pengikat dengan simpul yang dapat dilepas. Hal tersebut dimaksud untuk dapat dilepaskan setelah selesai melakukan pemancingan dan akan dipasang lagi apabila akan memulai pemancingan. Panjang tali pengikat berkisar 0,3 0,4 meter terbuat dari bahan nylon monofilament diikatkan pada ujung simpul tali utama dan mata pancing yang diberi lobang. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik dan terbuat dari baja dengan maksud agar ikan yang tertangkap akan lebih mudah terlepas dari mata pancing jika disentak dan mata pancing tidak mudah berkarat. Pada mata pancing dipasangkan bulu ayam atau tali rafia yang berwarna-warni dengan maksud agar mengelabui penglihatan ikan terhadap mata pancing sehingga ikan akan menganggap sebagai umpan.

43 26 c. Nelayan Anak buah kapal (ABK) kapal pole and line merupakan tenaga kerja yang harus trampil, ulet dan mempunyai fisik yang kuat. Jumlah ABK kapal berkisar antara 9 13 orang dengan masing-masing tugas dan tanggung jawabnya sebagai berikut: 1. Nahkoda (Skipper) : Bertanggung jawab terhadap keselamatan pelayaran, ABK dan keberhasilan usaha penangkapan 2. Wakil Nahkoda (Mualim) : Membantu nahkoda dalam pelayaran 3. KKM (Chief enginer) : Bertanggung jawab terhadap seluruh pekerjaan di dalam kamar mesin dan mengawasi masinis dan olimen dalam pekerjaannya 4. Masinis (Ass. Enginer) : Membantu KKM 5. Olimen (oiler) : Membantu KKM dan masinis dalam mengawasi mesin agar kapal dapat berjalan dengan baik dan lancar 6. Juru mudi : Membantu nahkoda dan mualim dalam mengawasi kemudi selama pelayaran 7. Boy-boy : Menjaga dan merawat umpan agar tetap dalam kondisi baik serta menaburkan umpan pada saat kegiatan penangkapan 8. juru masak (Cook) : Bertanggung jawab terhadap makan dan minum para ABK kapal selama pelayaran 9. Pemancing : Memancing ikan, menangani hasil tangkapan selama diatas kapal dan mempersiapkan sarana produksi pada saat akan melakukan operasi penangkapan d. Kegiatan operasi penangkapan pole and line Faktor yang sangat berperan penting dalam kegiatan operasi penangkapan cakalang dengan pole and line adalah ketersediaan umpan hidup. Awal kegiatan operasi penangkapan dimulai dari persiapan ABK untuk menyediakan perlengkapan kapal, alat dan sarana produksi lainnya serta perbekalan (konsumsi) pada pukul WIT. Setelah itu kapal menuju lokasi penangkapan atau pengambilan umpan pada pukul WIT. Umpan yang tersedia harus memadai dan mencukupi untuk penangkapan satu hari (one day fishing). Setelah umpan tersedia, kapal menuju daerah penangkapan

44 27 (rumpon) pada pukul WIT. Kapal tiba di lokasi rumpon pada pukul WIT saat menjelang fajar. Saat itu nafsu makan ikan cakalang sangat baik sehingga operasi penangkapan selalu diusahakan pada waktu yang sama. Ketika di lokasi rumpon semua ABK telah siap pada tempatnya dan mengamati schooling ikan. Para pemancing dengan pole and line telah duduk di haluan kapal (flying deck dan plat form). Boy-boy telah siap untuk menebarkan umpan. Nahkodapun mendekati gerombolan ikan dengan menjalankan kapal secara perlahan dengan memperhatikan arah renang ikan dan arah angin. Kapal mendekati schooling ikan dari arah lambung dimana terdapat boy-boy. Umpan ditebarkan dan ikan cakalang mulai mengejar dan mendekati umpan yang berenang berbalik menuju kapal. Kapal diusahakan memotong arah renang ikan hingga berada di bagian depan ikan agar ikan dapat melihat umpan yang ditebarkan dan mendekati kapal. Bersamaan dengan itu water sprayer dijalankan untuk mengaburkan pandangan ikan terhadap mata pancing maupun pemancing. Proses penangkapan dimulai setelah ikan cakalang telah banyak bergerombol mendekati kapal. Para pemancing dengan cekatan dan cepat melakukan pemancingan dengan sistem banting. Sistem ini biasanya dipakai jika pemancingnya telah berpengalaman. Ikan hasil tangkapan disentak hingga terpelanting jatuh pada bagian dek kapal. Diusahakan agar ikan tidak kembali jatuh kedalam air karena dengan jatuhnya ikan yang telah ditangkap akan menyebabkan gerombolan ikan lainnya akan segera menjauh dan meninggalkan kapal ataupun berenang kearah yang lebih dalam. Selain itu ada beberapa pemancing yang melakukan pemancingan pada bagian buritan kapal dengan sistem dijepit. Biasanya sistem ini diberlakukan bagi pemancing pemula. Setelah 30 menit sampai 1 jam pemancingan dilakukan, schooling cakalang semakin sedikit bahkan menjauh meninggalkan kapal. Nahkoda kembali menjalankan kapalnya menuju rumpon berikutnya untuk melakukan penangkapan selanjutnya. Para ABK kapal lainnya mulai menyortir dan membersihkan ikan hasil tangkapan dan menyusunnya ke dalam palkah. Perjalanan menuju rumpon berikutnya membutuhkan waktu satu sampai dua jam. Umumnya penangkapan dilakukan hingga sore hari pada pukul WIT sampai pukul WIT. Kapal kembali ke fishing base dan tiba pada pukul WIT. Hasil tangkapan dibongkar dan ABK kembali mempersiapkan diri untuk melakukan operasi penangkapan selanjutnya.

45 28 2. Unit Penangkapan purse seine (pajeko) a. Kapal Kapal yang dioperasikan di Kota Ternate untuk kegiatan penangkapan ikan menggunakan tipe dua buah kapal (two boat system) yaitu terdiri atas kapal utama (tipe lembut) yang berfungsi untuk melingkarkan pukat cincin pada saat operasi penangkapan berlangsung dan menarik purse line setelah pelingkaran pukat cincin selesai, dan kapal jhonson (slep) yang berfungsi sebagai tempat hasil tangkapan untuk dibawa ke fishing base. Kedua kapal tersebut terbuat dari bahan kayu. Gambar 1: Kapal Utama (tipe lembut) Kapal utama (tipe lembut) di kota Ternate memiliki ukuran berkisar 13,21 17,63 GT dengan panjang (L) antara 12,80 13,90 m, lebar (B) 3,15 3,30 m dan dalam (D) 1,90 2 m, sedangkan untuk kapal jhonson (slep) (gambar 2) memiliki ukuran 5,82 7,40 GT dengan panjang antara 10 11,50 m, lebar 2,50 2,60 dan dalam 1,20 1,30 m. Spesifikasi kapal pukat cincin yang di operasikan di Kota Ternate dapat dilihat pada tabel 10. Tenaga penggerak yang digunakan untuk kedua kapal adalah sama yaitu baik kapal utama maupun kapal jhonson menggunakan mesin tempel (outboard) masingmasing berjumlah dua buah dengan kekuatan 40 PK yang bermerk Yamaha (tabel 10). Tenaga penggerak pada kedua kapal menggunakan bahan bakar campuran yaitu minyak tanah, bensin dan oli.

46 29 Tabel 8 Spesifikasi kapal purse seine (pukat cincin) di Kota Ternate Spesifikasi Kapal Utama (Tipe Lembut) Kapal Jhonson (Tipe Slep) Dimensi Utama a. Panjang (L) 12,80 13,90 m 10 11,50 m b. Lebar (B) 3,15 3,30 m 2,50 2,60 c. Dalam (D) 1,90 2 m 1,20 1,30 m Tonage 13,21 17,63 GT 5,82 7,40 GT Mesin Outboard (Yamaha enduro Outboard (Yamaha Enduro 40 PK) 40 PK) Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan 2010 Kapal utama pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate juga terdapat palkah. Kapasitas dari palkah tersebut dapat memuat hasil tangkapan sekitar 2 3 ton. Palkah ini hanya dipergunakan jika pada saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan yang banyak dan pada kapal jhonson tidak dapat lagi meletakkan hasil tangkapan, namun pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal jhonson. Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal jhonson berkisar antara 4 6 ton. Perawatan kapal pukat cincin (purse seine) biasanya dilakukan setiap bulan pada saat tidak melakukan kegiatan penangkapan, yaitu pada saat bulan purnama. Kapal pukat cincin (purse seine) dalam sebulan tidak melakukan kegiatan penangkapan selama 7 10 hari. Perawatan yang dilakukan meliputi pengecatan dan perbaikan-perbaikan jika kerusakan pada kapal. Gambar 2: Kapal Jhonson (Tipe Slep)

47 30 b. Alat Tangkap Pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate yang menjadi objek penelitian lebih dikenal dengan nama pajeko. Alat tangkap pukat cincin ini terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir badan jaring (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat (sinkers), pelampung (floats) dan cincin (purse rings). Panjang pukat cincin berkisar antara m dan lebar berkisar m. Kantong sebagai tempat berkumpulnya ikan terbuat dari bahan PA 210/D12 dan PA 210/D9 dengan ukuran mesh size 0,75 inci1-1 inci. Badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size sebesar 1 inci. Bagian sayap yang berfungsi sebagai pagar pada waktu penangkapan gerombolan ikan dan mencegah ikan keluar dari bagian kantong, terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 1,25 inci. Jaring pada pinggir badan jaring (selvedge) terbuat dari bahan PVA 380/D15 dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1 inci yang terdiri dari 3 mata untuk arah kebawah. Tali ris atas (floatline) terbuat dari bahan PVA dengan panjang 410 m, dan diameter tali sebesar 14 mm, sedangkan tali ris bawah (leadline) terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali sebesar 14 mm yang memiliki panjang 470 m. Jumlah pemberat dalam satu unit alat pikat cincin terdiri dari 2200 buah, dengan berat 100 gram/buah. Pemberat pada pukat cincin memiliki panjang 2,9 cm dengan diameter tengah 2,8 cm yang terbuat dari bahan timah hitam. Jarak antar pemberat berkisar cm. Tali pemberat pada pukat cincin terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali 12 mm. Jumlah pelampung dalam satu unit pikat cincin terdiri dari 1100 buah, dengan jarak antar pelampung sekitar cm. Pelampung pukat cincin berbentuk elips dengan panjang 12,7 cm dan diameter tengah 9,5 cm yang terbuat dari bahan sintetis rubber. Jumlah cincin dalam satu unit rata-rata terdiri dari 50 buah. Cincin digunakan oleh nelayan pajeko di Ternate memiliki diameter luar 10 cm dan diameter dalam 6,6 cm. Cincin yang digunakan terbuat dari bahan kuningan dengan jarak antar cincin berkisar m. Purse line pada pukat cincin terbuat dari bahan PVA dengan

48 diameter tali 20 mm yang memiliki panjang 700 m. Desain jaring pukat cincin ( purse seine) dapat dilihat pada gambar Gambar 3: Desain jaring pada purse seine di Kota Ternate Keterangan: 1. Tali selembar 6. Pemberat 11. Tali ris bawah 2. Pelampung 7. Selvedge 12. Kantong 3. Tali kolor 8. Float line 13. Sayap 4. Tali ring 9. Singker line 14. Panjang jaring 5. Ring 10. Tali ris atas 15. Tinggi jaring c. Nelayan Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam usaha penangkapan di Kota Ternate, terutama dalam mengelola faktor-faktor yang terdapat dalam unit penangkapan sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada. Kapal pajeko dioperasikan oleh nelayan berkisar antara orang. Sebagian besar nelayan yang mengoperasikan pajeko merupakan penduduk asli daerah setempat. Sebagai nelayan merupakan mata pencaharian utama, sedangkan jika kapal tidak melakukan kegiatan penangkapan yaitu terutama pada musim kurang ikan nelayan bekerja sampingan sebagai petani dan memancing. Pembagian tugas nelayan pajeko adalah sebagai berikut: 1. Juragan laut (1 orang) : Bertugas sebagai penanggung jawab dalam mengoperasikan kapal utama (lambut) untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan

49 32 2. Juru Tawur (2 orang) : Bertugas melempar pukat cincin pada saat proses setting dilakukan 3. Juru Mesin ( 2 orang) : Bertugas dalam masalah mesin baik untuk mesin pada kapal utama maupun kapal jhonson 4. Juru Pantau (1 orang) : Bertugas mendeteksi gerombolan ikan 5. Juru Pelampung (2 orang) : Bertugas mengatur dan merapikan pelampung sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan 6. Juru Pemberat (2 orang) : Bertugas mengatur dan merapikan pemberat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan 7. Nelayan Biasa : Bertugas menarik, merapikan dan memperbaiki pukat cincin jika ada kerusakan 8. Juru mesin kapal jhonson/slep (1 orang) : bertugas menyiapkan kapalnya untuk tempat penampungan ikan hasil tangkapan 9. Juru hasil tangkapan (2 orang) : Bertugas mengambil hasil tangkapan untuk ditempatkan pada kapal jhonson, dua orang tersebut berada di kapal Jhonson bersama Juru Mesin. Pembagian tugas tersebut sudah menjadi kesepakatan dalam satu unit pajeko. Tugas nelayan yang satu dapat dikerjakan juga oleh nelayan yang lain. Seperti pada saat penarikan pajeko, juru pelampung juru pemberat dan juru pantau juga melakukan tugas ini. Nelayan pajeko di Kota Ternate terbagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik rata-rata berpendidikan terakhir SMP dan SMA, sedangkan nelayan buruh berpendidikan terakhir dari tingkat SD sampai SMA. Nelayan pemilik umumnya hanya memiliki masing-masing satu unit alat tangkap. Sistem pembagian hasil yang berlaku dalam pola perikanan pajeko di Kota Ternate, dimana setelah diperoleh hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi dengan biaya operasional (pendapatan bersih) kemudian 50% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak pemilik kapal (pemilik usaha), sedangkan 50% sisanya dibagi untuk nelayan, bagian untuk juragan laut (fishing master) 2 bagian dan sering mendapat bonus

50 dari pemilik. Bagian untuk juru mesin 1,5 bagian dan untuk nelayan ABK lainnya memperoleh 1 bagian untuk masing-masing. 33 Gambar 4: Diagram Alir Sistem bagi hasil usaha perikanan purse seine di Kota Ternate d. Kegiatan operasi Penangkapan Purse Seine Berdasarkan pengamatan langsung dalam 2 kali trip operasi penangkapan dan wawancara dengan nelayan pajeko (purse seine), umumnya nelayan berangkat pada pagi hari (sekitar pukul WIT) hingga menjelang siang yaitu sekitar jam WIT dan selesai atau kembali ke pantai sekitar jam WIT. Informasi mengenai metode operasi penangkapan pajeko dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu meliputi tahap persiapan, penurunan jaring dan penarikan jaring. 1) Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap yang harus dilakukan setiap sebelum penangkapan ikan. Tahap persiapan ini meliputi kegiatan pemeriksaan mesin baik mesin utama maupun mesin jhonson, pemeriksaan alat tangkap, persiapan bahan bakar (minyak tanah, bensin, oli) es, serta konsumsi. Hal ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan penangkapan ikan 2). Kapal pajeko berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan berdasarkan

51 34 hasil pemantauan oleh nelayan pemantau yang telah dilakukan pada malam harinya sebelum kapal pajeko berangkat, dan jika kegiatan penangkapan sebelumnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, maka kegiatan penangkapan berikutnya tidak akan jauh dari daerah penangkapan (rumpon) 3) Setting Setelah tiba didaerah penangkapan ikan (rumpon), kemudian dilakukan proses setting yang diawali dengan penurunan pukat cincin pada bagian kantong dari kapal utama yang berada dibagian buritan sebelah kiri. Tali selambar pada bagian pajeko dilemparkan pada kapal jhonson untuk dilakukan proses setting. Kapal jhonson menunggu proses setting hingga selesai untuk melakukan proses selanjutnya yaitu penarikan purse line. Proses pelingkaran gerombolan ikan oleh kapal utama (ketinting) harus dilakukan dengan kekuatan penuh. Hal ini dilakukan agar gerombolan ikan yang menjadi target tidak lolos baik dari arah horisontal maupun vertikal. Proses pelingkaran gerombolan ikan membutuhkan waktu ± 5 menit. Dalam satu trip nelayan pukat cincin melakukan setting atau tawur rata-rata sebanyak 1-2 kali. Hal ini sangat ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. 4) Hauling Setelah proses pelingkaran gerombolan ikan selesai oleh kapal utama (lambut), salah satu nelayan yang berada pada kapal utama melempar purse line pada kapal jhonson untuk dilakukan penarikan purse line dengan kekuatan penuh yang arahnya menjauhi kapal utama. Pada saat dilakukan penarikan purse line oleh kapal jhonson, proses penarikan kapal pukat cincin juga dilakukan oleh nelayan pada kapal utama. Setelah proses penarikan purse line selesai, kapal jhonson kembali dan mendekati pukat cincin yang sudah membentuk sebuah mangkuk, kemudian dilakukan pengangkatan pelampung yang berada dikantong. Penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa bagian kantong. Maka dilakukan pengangkatan hasil tangkapan oleh nelayan yang berada pada kapal jhonson untuk diletakkan pada kapal jhonson. Proses penarikan (setting) pukat cincin hingga selesai membutuhkan waktu menit

52 35 5) penanganan hasil tangkapan Penarikan pajeko (purse seine) hingga bagian kantong, ikan hasil tangkapan diambil oleh nelayan yang berada pada kapal jhonson dengan menggunakan serok untuk ditempatkan pada kapal jhonson. Pukat cincin yang selesai digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, disusun dan dirapikan kembali sebagai persiapan untuk kembali kepantai.

53 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Studi Dalam melakukan usaha penangkapan ikan setiap nelayan ingin memperoleh hasil tangkapan yang banyak dan memperoleh keuntungan. Hal ini menyebabkan terjadinya over exploited (tangkapan lebih) apabila input yang digunakan tidak dikelola secara baik. Input yang tidak dikelola secara baik mengakibatkan sumberdaya ikan akan berkurang, nelayan akan mengalami kerugian dan sumberdaya ikan mengalami kepunahan. Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah data primer berupa produksi per trip, upaya penangkapan per trip, biaya per trip, harga jual rata-rata ikan sedangkan data sekunder berupa data time series upaya (trip) dan Produksi selama 8 tahun ( ) dikumpulkan. Data-data tersebut diatas sudah terkumpul maka dilakukan analisis dengan model bieokonomi untuk mengestimasi hasil tangkapan lestari sumberdaya ikan demersal MSY, E MSY, MEY, E MEY dan E OA, C OA. Setelah dianalisis maka akan diketahui apakah secara ekonomis usaha penangkapan ikan mengalami keuntungan atau tidak dan potensi yang ada apakah under eksploited (rendah tingkat pemanfaatannya), suistainable (lestari) dan over eksploited (tangkapan lebih). Selain itu juga dilakukan analisis faktor- faktor produksi untuk melihat sejauh mana terjadinya hubungan antara variable bebas terhadap variable terikat, serta analisis kelayakan usaha dari perikanan pelagis kecil. Dari hasil analisis di atas maka pengembangan sumberdaya perikanan pelagis kecil dapat dimanfaatkan secara optimal dan upaya pengelolaan dapat dilakukan untuk keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya ikan. Selanjutnya diberikan rekomendasi kebijakan dalam manajemen sumberdaya ikan pelagis kecil di Kota Ternate untuk pemanfaatan dan pengelolaannya. Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 5. Pengembangan perikanan pelagis kecil di Kota Ternate masih menghadapi berbagai kendala, baik dari sumberdaya perikanan yang bersifat fugitive dan cenderung kearah open akses maupun yang ditimbulkan oleh pengembangan skala ekonomi yang ditandai dengan lemahnya kapital di bidang perikanan dan sedikit investasi.

54 38 Sumberdaya pelagis kecil di kota Ternate Faktor-Faktor Tekhnik Produksi Alat Tangkap Data Primer Data Produksi per trip Data Upaya per trip Data Biaya per trip Data Harga rata-rata ikan Data Sekunder Data Time Series produksi tahun Data Time Series Upaya tahun Analisis Regresi Linear Berganda Faktor Produksi yang berperan dari alkap Pole and line Faktor Produksi yang berperan dari alkap Purse seine Estimasi nilai optimal Analisis Bioekonomi Maximum Sustainable Yield (MSY) Effort Maximum Sustainable Yield(E MSY ) Maximum Economic Yield (MEY) Effort Maximum Economic Yield (E MEY ) Effort Open Access (E OA ) Catch Open Access (C OA ) Data investasi dan biaya operasional alat tangkap Analisis Finansial Kelayakan Usaha perikanan tangkap pelagis kecil di kota Ternate Gambar 5: Diagram Alir Kegiatan Penelitian

55 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Ternate yang ditentukan secara purposive sampling, dengan pertimbangan sebagai berikut: lokasi yang dipilih merupakan desa pantai dimana secara kultur sebagian masyarakatnya merupakan masyarakat nelayan, selain tingginya aktifitas pemanfatan sumberdaya wilayah pesisir di wilayah tersebut. Desa yang terpilih dalam penelitian sebanyak 8 desa (berada pada 4 pulau di 3 kecamatan) yaitu Lilewi (pulau Batang Dua), Loto, Rua, dan Dufa-Dufa (pulau Ternate), Dorari Isa dan Togolobe (pulau Hiri) serta Moti Kota dan Tafamutu (pulau Moti), yang dilakukan pada bulan April 2006, bulan Agustus - September 2008 dan bulan Pebruari Di samping data pengamatan langsung di lapangan juga diambil data yang bersifat sekunder dari berbagai instansi terkait yang berhubungan dengan penelitian ini, untuk kurun waktu Metode Pengumpulan Data Penentuan responden berdasarkan lokasi desa pantai dimana responden tersebut merupakan rumah tangga nelayan yang hidupnya dengan berbagai tingkatan. Data yang dibutuhkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer (cross section) diperoleh melalui wawancara dengan para pelaku perikanan (nelayan/abk, pemilik kapal, pengumpul. dibo-dibo, petugas TPI, pelabuhan perikanan, dan stakeholder lainnya), dan pilihan dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian. Struktur koesioner dirancang berdasarkan tujuan penelitian yaitu merujuk pada pola pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis kecil, aspek efisiensi produksi, pendapatan, tenaga kerja, serta yang berkaitan erat dengan implikasi sosial ekonomi masyarakat nelayan terhadap kelestarian sumberdaya dan pengembangan perekonomian di Kota Ternate. Sedangkan data sekunder diperoleh dari penelusuran dari kantor statistik Kota Ternate, Statistik propinsi Maluku Utara, Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi, Dinas Tenaga Kerja Kota Ternate, Bappeda Kota Ternate, serta data kecamatan dan kelurahan/desa, disamping berbagai literatur yang mendukung penelitian ini.

56 40 Gambar 6: Peta lokasi penelitian (Anak Panah merah adalah lokasi penelitian) 3.4 Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis pendekatan bioekonomi, analisis faktor produksi dan analisis kelayakan usaha dari beberapa alat tangkap. Selain itu menurut Clark 1985 in Purwanto 2006 bahwa pendekatan bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis yang menentukan produksi dan suplai. Parameter biologi berupa data time series ditabulasi untuk mengestimasi MSY dan E MSY dengan menggunakan metode Schaefer (1954) dan metode CYP (Clarke Yoshimoto Pooley, 1992). Kemudian data primer yang terkumpul berdasarkan wawancara dan turun lapang langsung dianalisis dengan metode bioekonomi untuk mengestimasi MEY, E MEY, dan OA, serta E OA. Analisis faktor produksi menggunakan metode analisis regresi linear berganda, sedangkan analisis kelayakan usaha menggunakan penghitungan Net B/C ratio, Net Present Value (NPV), IRR,BEP dan Pay back of Period.

57 41 Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada batasan: 1) Potensi sumberdaya ikan yang terdapat didaerah penelitian dihitung berdasarkan hasil tangkapan kapal yang menangkap jenis hasil tangkapan dari unit alat tangkap. 2) Kapal-kapal yang diteliti adalah kapal yang fishing base di Pulau Ternate dan beroperasi di perairan wilayah Kab/Kota Ternate. 3) Analisis finansial usaha dihitung berdasarkan harga rata-rata ikan hasil tangkapan dan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh unit penangkapan dari alat tangkap Standarisisasi Alat Tangkap Standarisasi dilakukan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap target sumberdaya perikanan begitu beragam, sehingga sangat dimungkinkan satu spesies ikan tertangkap oleh dua alat tangkap yang berbeda atau lebih. Alat tangkap yang dijadikan standart adalah alat tangkap yang memiliki produktivitas tinggi (dominan) dalam menangkap sumberdaya perikanan yang menjadi objek penelitian atau memiliki rata-rata CPUE terbesar pada suatu periode waktu dan memiliki nilai faktor daya tangkap sama dengan satu. Standarisasi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Upaya dan hasil tangkapan dihitung masing-masing hingga tahun ke-i, dimana i = 1,2,3,.,n 2. CpUE dihitung untuk masing-masing upaya 3. Total upaya yang terbesar dari beberapa jenis upaya dipilih sebagai standart dalam menghitung Fishing Power Indeks (FPI) 4. Jika upaya yang diperoleh terbesar misalnya alat tangkap purse seine, maka FPI purse seine adalah 1 dan FPI FPI gillnet adalah, demikian juga sebaliknya 5. Upaya standart dihitung melalui persamaan sebagai berikut: Upaya standart = (upaya purse seine tahun ke-i x FPI purse seine) + (upaya gill net tahun ke-i x FPI gill net) dst

58 Analisis Bioekonomi Sumberdaya perikanan Dalam penilaian sumberdaya perikanan, hal terpenting yang perlu diketahui adalah nilai estimasi tangkapan lestari dari stok ikan. Nilai-nilai ini idealnya dihitung pada setiap spesies. (stock by stock basis), namun karena keterbatasan waktu, maka penelitian ini dibatasi pada spesies cakalang saja. Dipilihnya spesies ini karena merupakan spesies pelagis yang paling dominan yang ditangkap di perairan kota Ternate. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, terlebih dahulu perlu diketahui produktifitas dari stok ikan. Untuk menganalisi stok ikan digunakan model surplus produksi (surplus production model). Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan: F (x t ) adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomass, h t adalah laju penangkapan atau laju pengambilan. Ada dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomass, yaitu bentuk logistik (Schaefer, 1957) dan bentuk Gompertz (Fox, 1970), dengan persamaan sebagai berikut: Bentuk logistik Bentuk Gompertz r adalah laju pertumbuhan intristik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional logistik adalah simetris, sementara Gompertz tidak. Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort dengan rumus sebagai berikut: q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E t adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan upaya lestari (yield-effort-curve) dari fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut:

59 43 Logistik Gompertz Estimasi parameter r, K, dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas melibatkan teknik non linear. Namun demikian dengan menuliskan U t = h t / E t, persamaan tersebut dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Teknik estimasi parameter dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto, dan Pooley (1992) atau sering dikenal dengan metode CYP, adalah sebagai berikut: Nilai parameter r,q dan K pada persamaan di atas dapat diperoleh melalui persamaan berikut: Dari data time series produksi selama 8 tahun ( ) dijadikan basis untuk perhitungan kurva yield effort dengan menggunakan regresi. Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numeric dengan menggunakan perangkat lunak MAPLE 11. Pada penelitian ini ditentukan dua jenis alat tangkap yang paling dominan, yaitu pole and line dan purse seine. Alat tangkap pole and line distandarisasi ke alat tangkap purse seine untuk mendapatkan satu unit upaya yang terstandarisasi (standardized effort) Analisis Fungsi Produksi Analisis fungsi produksi yang sering dilakukan oleh para peneliti untuk memperoleh informasi hubungan antara faktor produksi dapat digunakan dengan fungsi linear atau fungsi kuadratik. Umumnya yang sering dipakai adalah fungsi

60 44 linear dengan analisis regresi (Stell and Torrie 1989). Peubah Y disebut sebagai peubah tidak bebas, sedangkan peubah X disebut peubah bebas. Apabila lebih dari satu peubah maka disebut dengan garis regresi linear berganda. Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi unit penangkapan dari beberapa alat tangkap dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan persamaan regresi linear berganda (Stell and Torrie,1981) dengan satuan analisisnya adalah unit kapal/ trip. Persamaannya sebagai berikut: keterangan: Y = nilai dugaan produksi atau nilai variabel tak bebas B o B X 1 1 = peubah pengganggu (intercept) = koefisien regresi = koefisien produksi yang digunakan n = jumlah variabel e = galat/kesalahan Variabel-variabel yang ditentukan dan diukur dilapangan adalah: 1. Variabel tak bebas: Hasil tangkapan (Y) Hasil tangkapan yang dimaksud adalah jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dalam satu kali usaha penangkapan. Satuan ukuran yang digunakan dalam hasil tangkapan adalah kg/trip 2. Variabel bebas (X) Variabel bebas yang digunakan sebagai faktor-faktor teknis produksi dalam penangkapan beberapa alat tangkap dominan antara lain tenaga kerja (ABK), jumlah bahan bakar, panjang jaring (purse seine, gilnet), tinggi jaring (purse seine, gilnet), jumlah hari melaut dan ukuran kapal. a. jumlah tenaga kerja ( X1 /orang) Tenaga kerja yang dimaksud adalah jumlah nelayan yang ikut dalam kegiatan penangkapan. Tenaga kerja merupakan satu unsur utama dalam operasi penangkapan, sehingga dimasukkan dalam faktor teknis produksi. b. jumlah bahan bakar (X 2 /liter) Bahan bakar merupakan salah satu faktor pada kegiatan penangkapan ikan yang dipakai dalam motorisasi. Bahan bakar yang dihitung adalah jumlah

61 45 rata-rata bahan bakar yang digunakan tiap trip dalam satu tahun satuan yang digunakan adalah liter/tahun. c. panjang jaring purse seine dan gillnet (X 3 /meter) panjang alat yang dimaksud adalah panjang ukuran purse seine dan gillnet sebelum digunakan didalam air. Panjang purse seine diduga mempunyai hubungan yang nyata terhadap hasil tangkapan. Pengukuran panjang alat purse seine dan gillnet menggunakan satuan meter. d. Tinggi jaring purse seine dan gillnet (X 4 /meter) Tinggi alat dimaksud adalah ukuran tinggi bukan dialam air. Tinggi ini diduga mempunyai hubungan yang nyata terhadap hasil tangkapan. Pengukuran tinggi menggunakan satuan meter. e. Jumlah hari melaut (X 5 /trip) Jumlah hari melaut yang dimaksud adalah jumlah trip operasi penangkapan alat purse seine, gillnet, pole and line, dan pancing tonda yang menggunakan satuan hari f. Ukuran kapal (X 6 /GT) Ukuran kapal merupakan bobot kapal yang dinyatakan dalam gross tonage (GT). Menurut Nomura dan Yamazaki (1975) pengukuran gross tonage kapal menggunakan rumus: GT = L x B x D x C x 0,353 keterangan: L = panjang kapal (meter) B = lebar kapal (meter) D = dalam kapal (meter) dan C = konstanta bahan kapal (kayu = 0,55) Penggunaan hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi, diuji dengan pengujian hipotesis yang menggunakan uji statistik. Pengujian yang dilakukan terhadap pengaruh faktor produksi sebagai berikut : pengujian pengaruh bersama-sama faktor teknis produksi yang digunakan terhadap produksi (Y) dilakukan dengan uji F yaitu:

62 46 H 0 ; b 1 = 0 (untuk i = 1,2,3...n). ini berarti antara hasil tangkapan (Y) dengan faktor teknis produksi (X 1 ) tidak ada hubungan yang nyata H1 = b 1 0 (untuk i = 1,2,3,...n) Ini berarti bahwa hasil tangkapan (Y) memiliki hubungan yang nyata terhadap faktor teknis produksi (X1) Jika : F hitung > F tabel H o ditolak F hitung < F tabel H o diterima Hal ini berarti bahwa jika H0 ditolak pada selang kepercayaan tertentu, faktor teknis produksi (X 1 ) yang bersangkutan berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Sebaliknya, jika H 0 diterima pada selang kepercayaan tertentu, faktor teknis produksi (X 1 ) yang bersangkutan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y) Analisis Kelayakan Usaha Analisis kelayakan usaha pada perikanan tangkap dilakukan khususnya untuk penggunaan alat tangkap pole and line dan purse seine, yang merupakan alat tangkap dominan digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil di Kota Ternate. Analisis kelayakan usaha dimaksudkan untuk menilai keberhasilan usaha pada suatu bidang produksi dengan menilai besarnya pendapatan (keuntungan) yang diperoleh dalam kurun waktu 10 tahun. Kriteria yang digunakan dalam studi kelayakan ini didasarkan pada analisis biaya manfaat baik secara finansial maupun ekonomi. Untuk menentukan keuntungan, dilakukan penghitungan besar manfaat (benefit) yang diperoleh dan besarnya biaya (cost) yang dikeluarkan selama satu kali produksi. Secara matematis, fungsi keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut: keterangan: π = keuntungan (Rp/periode) Y = total produksi (Kg/ periode) X =jumlah input yang digunakan (unit)

63 47 P y P xi =harga/satuan produk (Rp) =harga/satuan input (Rp) =total pengeluaran atau total revenue (TR) (Rp) Sementara itu untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh usaha tersebut telah layak dilanjutkan atau tidak, digunakan analisis perimbangan antara penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut: R/C = TR/TC keterangan: TR =Total Revenue (penerimaan/trip) TC =Total Cost (biaya yang dikeluarkan/trip) Kemudian untuk kepentingan pengambilan keputusan R/C dinilai dengan menggunakan kriteria berikut: R/C > 1, usaha menguntungkan R/C = 1, usaha berada pada titik impas R/C < 1, usaha rugi Selanjutnya untuk menentukan prospek pengembangan kegiatan perikanan di Kota Ternate dilakukan penghitungan besar manfaat (benefit) dan besarnya biaya (cost) yang dihitung berdasarkan nilai kini. Ada beberapa indikator yang biasa digunakan dalam analisis ini yaitu: Net Present Value (NPV). Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: keterangan: B t = merupakan benefit kotor tahunan Ct = merupakan biaya kotor tahunan, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal atau rutin

64 48 n = umur ekonomis dari proyek i = tingkat suku bunga ( discount rate) Bila NPV > 0 berarti investasi dinyatakan menguntungkan dan merupakan tanda go untuk suatu proyek atau proyek tersebut layak, sedangkan apabila NPV < 0 maka investasi dinyatakan tidak menguntungkan yang berarti proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Pada keadaan nilai NPV = 0 maka berarti investasi pada proyek tersebut hanya mengembalikan manfaat yang parsial sama dengan tingkat social opportunity cost of capital, atau dikatakan proyek hanya pulang pokok (break event) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Kriteria ini merupakan perbandingan dimana sebagai pembilang terdiri atas nilai total dari manfaat bersih yang bersifat positif, sedangkan sebagai penyebut terdiri atas present value total yang bernilai negatif atau pada keadaan biaya kotor lebih dari manfaat kotor. Persamaan Net B-C Ratio tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: keterangan: B t C t = benefit bersih tahun t = biaya bersih tahun t n = umur ekonomis dari proyek i = tingkat suku bunga (discount rate) Dari persamaan tersebut tampak bahwa nilai Net B/C akan terhingga bila paling sedikit ada satu nilai Bt - Ct yang bernilai positif. Kalau Net B/C memberikan nilai > 1, maka keadaan tersebut menunjukkan bahwa NPV > 0,. Dengan demikian maka apabila Net B/C 1 merupakan tanda layak untuk sesuatu proyek, sedangkan bila Net B/C 1 merupakan tanda tidak layak untuk suatu proyek.

65 49 Internal Rate of Return (IRR) merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam keadaan batas untung rugi. Oleh karena itu juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Asal setiap manfaat yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. Dengan demikian IRR dapat dirumuskan debagai berikut: keterangan: Proyek dikatakan layak bila IRR > dari tingkat bunga berlaku. Sehingga bila, IRR ternyata sama dengan tingkat bunga yang berlaku maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga yang berlaku maka berarti bahwa nilai NPV < 0, berarti proyek tidak layak. Pay Back Period (PBP) Analisis ini dilakukan untuk melihat lama waktu yang diperlukan oleh kegiatan usaha untuk mengembalikan investasi, yaitu membandingkan investasi dengan tingkat keuntungan selama satu periode produksi (satu tahun). Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

66 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaan Perikanan Tangkap Wilayah Kota Ternate 4.1.1Rumah tangga perikanan (RTP)/Penduduk nelayan Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara tahun (2009), jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Ternate sebanyak 414 unit. Perkembangan jumlah RTP rata-rata per tahun di Kota Ternate dari tahun 2005 sampai 2009 mengalami penurunan sebesar 2,67% yaitu dari sebesar 464 buah pada tahun 2005 menjadi 414 buah pada tahun Perkembangan jumlah penduduk, RTP dan RT di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perkembangan jumlah RTP dan jumlah kapal di Kota Ternate, Tahun Rata-rata Rincian perubahan (%) RTP (2,67) Jumlah kapal motor (4,44) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara tahun ( ); BPS Kota Ternate ( ). Penurunan RTP ini disebabkan oleh adanya beberapa RTP yang mengalihkan pekerjaannya akibat kapal/perahu dan alat tangkap yang mereka gunakan telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berproduksi lagi. Tabel 9 juga memperlihatkan perbandingan antara perkembangan antara jumlah RTP dan jumlah kapal yang beroperasi di Kota Ternate. Pada tahun 2009 tercatat jumlah RTP adalah sebesar 414 buah, sedangkan jumlah kapal yang beroperasi adalah sebesar 240 buah. Dilihat dari perkembangan jumlah rata-rata per tahun, jumlah kapal dari tahun mengalami penurunan sebesar 4,44%, dan hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan penurunan jumlah RTP rata-rata yang sebesar 2,67% Armada Penangkapan Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara dari tahun dapat dilihat pada Tabel 10. Secara keseluruhan jumlah jenis kapal penangkap ikan

67 52 didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel (66%) dan rata-rata menurun sebesar 4,26% per tahun. Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada kapal motor yang berukuran antara GT sebesar 72,22% disusul kemudian oleh kapal motor berukuran GT (25%). Penurunan jumlah kapal terjadi pada kapal motor berukuran 5-10 GT sebesar 15,34% yaitu dari 69 buah kapal pada tahun 2005 menjadi 26 buah kapal pada tahun 2009, disusul kemudian oleh kapal motor tempel dan kapal tanpa motor sebesar 11,91% yaitu dari 287 buah kapal pada tahun 2005 menjadi 216 buah pada tahun Tabel 10 Jenis Kapal Perkembangan jumlah armada penangkapan menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate, Tahun Rata-rata perubahan (%) (unit) 2006 (unit) 2007 (unit) 2008 (unit) 2009 (unit) Perahu Tanpa Motor (3,86) Motor Tempel (8,05) Kapal Motor (0,43) 0 5 (GT) , (GT) (15,34) (GT) , (GT) ,00 Jumlah (4,26) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Peningkatan dan penurunan jumlah unit kapal penangkapan ikan tersebut pada dasarnya sejalan dengan program motorisasi dan pengadaan kapal penangkap ikan yang penangkapannya dapat menjangkau perairan yang lebih jauh. baik dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara, maupun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate Alat tangkap Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara terdapat 17 jenis alat tangkap yang dioperasikan di wilayah Kota Ternate. Secara keseluruhan, jenis alat tangkap pole and line merupakan alat tangkap paling terbanyak dibandingkan dengan alat tangkap lain yang ada wilayah ini. Dilihat dari alat tangkap yang dioperasikan, terdapat sepuluh jenis alat tangkap yang memiliki jumlah unit yang banyak yaitu purse seine, gillnet, pole and line, bottom

68 handline, pukat pantai, jaring insang hanyut, rawai tuna, pancing tonda, jaring insang lingkar, dan bubu. Peningkatan rata-rata tahunan dari seluruh jenis alat tangkap yang ada hanya terdapat 4 alat tangkap yang mengalami peningkatan yaitu purse seine, pole and line, pancing tonda, dan muroami, sedangkan 13 alat tangkap lainnya mengalami penurunan jumlah atau tetap (tidak berubah jumlahnya). Peningkatan rata-rata per tahun jumlah alat tangkap terbesar terjadi pada alat tangkap purse seine yaitu sebesar 24,55%. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Ternate, No. Jenis Alat Tangkap Tahun Rata-rata perubahan (%) (unit) 2006 (unit) 2007 (unit) 2008 (unit) 2009 (unit) 1. Purse seine Gillnet (4,17) 3. Pole and line ,52 4. Bottom handline (5,42) 5. Pukat pantai ,00 6. Jaring insang (4,17) hanyut 7. Rawai tuna (3,21) 8. Pancing tonda ,32 9. Jaring insang (3,52) lingkar 10. Bubu (0,83) 11. Rawai hanyut , Rawai tetap (4,17) 13. Bagan tancap , Sero , Muroami , Trammel net (6,25) 17. Jaring klitik (12,5) Total Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Alat tangkap yang dioperasikan di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2009, alat tangkap pole and line yang memiliki jumlah trip (frekuensi melaut) terbesar yaitu kali, disusul kemudian oleh alat tangkap purse seine sebesar kali. Peningkatan jumlah trip rata-rata per tahun terjadi pada alat tangkap bagan tancap sebesar 247,2%, namun pada tahun terjadi penurunan sebesar 50% pada tahun Penurunan ini disebabkan karena alat tangkap ini 53

69 54 banyak yang sudah tidak dapat beroperasi lagi karena mengalami kerusakan. Perkembangan jumlah trip operasi penangkapan ikan masing-masing alat tangkap di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah trip operasi penangkapan ikan menurut jenis alat penangkapan ikan di Kota Ternate, No. Tahun Rata-rata Jenis perubahan (%) Alat Tangkap Purse seine ,17 2. Gillnet (1,21) 3. Pole and line ,16 4. Bottom handline (4,10) 5. Pukat pantai (1,25) 6. Jaring insang hanyut ,44 7. Rawai tuna ,81 8. Pancing tonda ,29 9. Jaring insang lingkar , Bubu , Rawai hanyut (1,41) 12. Rawai tetap , Bagan tancap ,2 14. Sero , Muroami , Trammel net *) Jaring klitik (37,50) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ); *) data tidak tersedia Produksi penangkapan Secara geografis, Ternate merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan, dengan luas wilayah laut yang dimiliki sebesar 903,73 km 2. Di dalamnya terdapat berbagai potensi sumberdaya alam yang bernilai ekonomis penting yakni perikanan pantai (coastal), ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan sumber daya perikanan tangkap yaitu ikan demersial dan pelagis. Ikan pelagis terbagi menjadi pelagis besar dan pelagis kecil, yang dilihat berdasarkan ukuran panjang dan bobot serta habitat dan areal migrasi atau ruaya. Potensi hasil tangkapan di Kota Ternate sangat besar, ditunjukkan dengan tingkat rata-rata produksi ikan hasil tangkapan di Kota Ternate pada tahun menunjukkan tren peningkatan. Menurut data BPS Kota Ternate (2003) dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ), pada periode tahun ,

70 perkembangan produksi rata-rata tahunan perikanan tangkap di Kota Ternate meningkat sebesar 14,61%. Dalam periode ini juga terlihat terjadinya penurunan produksi yaitu pada tahun 2000 sebesar 15,21% dan tahun 2006 sebesar 5,45%. Penurunan produksi pada tahun 2000 dan 2006 masing-masing disebabkan karena banyaknya kapal yang tidak melakukan operasi penangkapan akibat terjadinya konflik sosial (kerusuhan) dan terdapat beberapa kapal penangkapan yang melakukan perbaikan. Tabel 13 memperlihatkan perkembangan produksi hasil perikanan tangkap Kota Ternate dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mulai tahun Perkembangan produksi ini masih terasa kecil terhadap perekonomian daerah dibandingkan dengan sub-sektor lainnya. Menurut BPS (2009), kontribusi sektor perikanan bagi PDRB secara keseluruhan di Kota Ternate dalam lima tahun terakhir hanya rata-rata sebesar 2,64% terhadap harga berlaku dan 1,99% terhadap harga konstan. Untuk itu perlu ada pengelolaan yang baik dan berkelanjutan sehingga kontribusi terhadap perekonomian daerah dapat meningkat dan di sisi lain dapat meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan nelayan dan mengurangi angka pengangguran serta kemiskinan yang ada di Kota Ternate. Tabel 13 Perkembangan produksi hasil perikanan di Kota Ternate Tahun Jumlah Produksi (Ton) Perkembangan (%) ,34 (15,21) ,31 4, ,00 15, ,84 4, ,50 34, ,06 27, ,26 (5,45) ,52 26, ,21 16, ,41 36,07 Rata-rata 14,61 Sumber : BPS Kota Ternate (2003); Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Perkembangan produksi hasil perikanan tersebut merupakan data hasil produksi dari setiap alat tangkap yang beroperasi di Kota Ternate. Volume produksi dari 10 alat penangkapan ikan dominan yang dioperasikan di perairan Kota Ternate menunjukkan bahwa pada tahun 2009 produksi alat tangkap pole and line memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 7.477,30 ton dengan rata-rata 55

71 56 peningkatan dalam lima tahun terakhir sebesar 28,66%, disusul kemudian oleh alat tangkap purse seine yaitu sebesar 2.252,70 ton dengan peningkatan sebesar 37,41%.. Perkembangan produksi tahunan alat tangkap di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap Kota Ternate, Jenis Tahun Rata-rata No. Alat Tangkap 2005 (Ton) 2006 (Ton) 2007 (Ton) 2008 (Ton) 2009 (Ton) perubahan (%) Purse seine 1.639, , , , ,70 37,41 2. Gillnet 64,10 66,60 67,80 70,70 72,70 13,41 3. Pole and line 4. Bottom handline 5. Pukat pantai 6. Jaring insang hanyut 5.811, , , , ,30 28,66 368,65 309,72 412,95 720,00 646,00 20,36 521,60 552,42 451,96 346,68 346,00 (8,94) 181,34 97,91 74,18 74,18 126,10 (0,06) 7. Rawai tuna 562,71 400,12 745,72 540,00 664,48 13,24 8. Pancing tonda 521,40 527,50 556,80 531,70 563,80 8,07 9. Jaring insang lingkar 303,45 290,79 285,60 453,60 515,60 16, Bubu 46,65 15,12 12,60 12,60 12,56 (21,14) 11. Rawai hanyut 82,52 65,78 65,78 61,79 65,65 (5,03) 12. Rawai 175,60 124,51 50,32 42,77 21,38 tetap (38,42) 13. Bagan tancap 136,70 28,35 28,35 9,6 9,6 (36,35) 14. Sero 4,91 2,24 2,24 2,24 2,24 (13,59) 15. Muroami 9,71 7,61 11,41 21,60 27,00 35, Trammel 94,45 44,27 33,20 14,40 0 net (58,59) 17. Jaring 4,25 1,77 0,89 0,06 0 klitik (60,16) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Produksi dari berbagai alat tangkap sebagaimana dilihat pada Tabel 15, menghasilkan tangkapan beberapa ikan pelagis seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), layang (Decapterus lajang), dan tongkol (Auxis thazard). Selain itu juga masih terdapat beberapa perikanan pelagis kecil lainnya yang ditangkap walaupun memiliki produktivitas yang rendah. Sedikitnya terdapat 27 jenis ikan yang sering ditangkap oleh nelayan di wilayah Kota Ternate. Keseluruhan jenis ikan yang ditangkap tersebut didominasi oleh cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan

72 volume produksi sebesar 7.778,3 ton, diikuti kemudian oleh layang (Decapterus spp) sebesar 2.429,3 ton, dan teri (Stolephorus spp) sebesar ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2010). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15 Perkembangan volume produksi menurut jenis ikan dominan di Kota Ternate, Jenis Ikan Tahun Cakalang/ Tongkol Layang Teri , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,5 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate (2010) Produksi Surplus Stok Sumberdaya Pelagis Kecil Potensi stok sumberdaya dengan menggunakan model produksi surplus dilakukan untuk mengetahui daya dukung sumberdaya ikan terhadap upaya penangkapan (effort). Model produksi surplus yang akan dikaji berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, yaitu upaya total dan hasil penangkapan total yang diperoleh dari stok. Tujuannya adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan optimum sumberdaya tanpa mempengaruhi produktifitas stok jangka panjang, yang dikenal dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) (Sparred and Venema, 1999). Perhitungan MSY didasarkan pada adanya data tahunan tingkat eksploitasi dan upaya penangkapan. Metode yang dilakukan pada perhitungan penelitian ini menggunakan metode Schaefer (1954) dan metode CYP (Clarke, Yoshimoto dan Pooley, 1992). Kedua metode ini digunakan diantaranya untuk melihat metode yang lebih mendekati kenyataaan di lapangan.

73 58 Tabel 16 Hasil produksi per unit upaya penangkapan ikan menggunakan alat pole and line di Kota Ternate tahun Tahun Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton/trip) Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2010 Pada Tabel 16 disajikan hasil tangkapan setelah dilakukan standardisasi terhadap alat tangkap atau upaya penangkapan (effort). Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa hasil tangkapan pelagis kecil di Kota Ternate berfluktuasi selama kurun waktu Dari tahun terjadi peningkatan penangkapan, namun terjadi penurunan hasil tangkapan pada tahun 2005 sebesar ton dan mengalami peningkatan lagi pada tahun 2006 sebesar 158 ton menjadi ton, serta terus menerus menunjukkan peningkatan sampai tahun 2010 sebesar 333,9 ton menjadi ton Model Schaefer Mengingat armada perikanan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan khususnya pada perikanan pelagis kecil di Kota Ternate terdiri dari beberapa alat tangkap, maka upaya (effort) dari setiap alat tangkap tersebut dikonversi menjadi unit standard sebelum penjumlahan untuk memperoleh upaya total (Sparred and Venema, 1999). Standardisasi armada perikanan dilakukan berdasarkan jenis alat tangkap pole and line, dengan pertimbangan jenis alat tangkap tersebut memiliki kemampuan tangkap yang besar, selektif terhadap jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, dan umumnya digunakan oleh nelayan di Kota Ternate. Hasil analisis dengan model Schaefer terhadap upaya tangkap (effort) dan hasil tangkapan (catch) menunjukkan hasil penangkapan lestari di Kota Ternate

74 sebesar ,69 ton per tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 11,150,43 trip. 59 Produksi Gambar Produksi (Schaefer) (ton) Produksi Th (ton) Effort Pendugaan produksi lestari (MSY) perikana pelagis kecil di Kota Ternate tahun Dari gambaran di atas telah menunjukkan informasi penting tentang potensi sumberdaya perikanan tangkap dalam hal ini pelagis kecil di Kota Ternate. Tahun 2003 menunjukkan hasil tangkapan lebih sedikit dibanding tahun Ini menunjukkan adanya penambahan produksi. Namun pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi hasil tangkapan, dan kembali menunjukkan peningkatan pada tahun 2006 dan terus menerus meningkat sampai tahun Terjadinya peningkatan pada tahun 2006 disebabkan beberapa faktor diantaranya permintaan akan hasil tangkapan oleh produsen meningkat, karena di tahun 2006 hasil tangkapan dapat langsung disalurkan ke industri-industri pengolahan hasil tangkapan di Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Pertumbuhan akses pasar yang begitu tinggi memicu terjadinya peningkatan hasil produksi. Walaupun terjadi peningkatan secara produksi, namun terlihat telah terjadi overfishing bila dilihat produksi aktual dimana masing-masing sebesar 7477,3 dan 7778,3 ton/tahun telah melebihi produksi lestari (MSY) yang diperbolehkan yaitu 5518,5 dan 5746,8 ton/tahun. Untuk pemanfaatan potensi sumberdaya ikan atas prinsip kehati-hatian maka potensi ikan yang diperbolehkan

75 60 untuk ditangkap sebesar 80% yang dikenal dengan TAC (Total Allowable Catch) dari potensi lestari (MSY) Analisis regresi linear CPUE terhadap upaya penangkapan diperoleh nilai a (intercept) sebesar 1, dan nilai b (slope) sebesar , sehingga persamaan lestari Schaefer adalah Y = a.e b. E Persamaan Schaefer di atas diperoleh nilai a dan b yang dapat digunakan untuk mengetahui upaya penangkapan maksimum yaitu (EMSY) = ,72 trip. Setelah memasukkan nilai upaya maksimum (E MSY ) tersebut ke dalam persamaan penangkapan lestari didapatkan tingkat produksi lestari (Y MSY ) = ,173 ton. hubungan antara produksi hasil tangkapan terhadap upaya penangkapan (CPUE) dapat dilihat pada Gambar Produksi y = x R² = CPUE Gambar 8 Hubungan antara Produksi dengan CPUE di Kota Ternate Gambar 9 terlihat bahwa penambahan upaya (effort) tidak selalu identik dengan peningkatan produksi seperti yang terjadi pada tahun 2004 dan 2005 di mana dengan effort yang tinggi diperoleh hasil tangkapan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

76 61 Produksi Prod Aktual Prod Lestari Tahun Gambar 9 Hubungan antara produksi actual dan produksi lestari perikanan di Kota Ternate Dengan menggunakan persamaan ini dapat diduga produksi lestari dengan metode Schaefer di Kota Ternate setiap tahunnya. Produksi lestari, produksi aktual dan effort aktual yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Effort, produksi aktual dan produksi lestari perikanan pelagis kecil di Kota Ternate Tahun Effor (trip) Produksi aktual (ton) Produksi lestari Schaefer (ton) Sumber : Hasil olahan Analisis MEY digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan yang diperoleh pada saat produksi maksimal. Apabila penangkapan melebihi MEY maka keuntungan akan semakin berkurang. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan secara berlebihan akan mengakibatkan hilangnya manfaat ekonomi. Jumlah tangkapan pada kondisi MEY sebesar: Y MEY = ,22 ton

77 62 R MEY = 7, rupiah Pada kondisi open access, komponen harga dan biaya operasi penangkapan di perairan Kota Ternate diketahui rata-rata harga (p) = Rp / ton dan rata rata biaya (c) = Rp / trip. Selanjutnya dapat dihitung nilai effort (upaya penangkapan) pada kondisi open access sebesar EOA = 20, 393 trip Y OA = ton Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 18 di bawah ini. Tabel Model CYP Produksi, upaya optimal dan rente ekonomi pada pengelolaan perikanan Kota Ternate Parameter MEY MSY OA Produksi Y (ton) Effort opt E (trip) Rente Ek. π (juta) 7.359E E+10 0 Analisis surplus produksi dengan metode CYP (1992) dilakukan dengan menggunakan data produksi dan effort tahunan selama 8 (delapan) tahun mulai 2003 sampai Rata-rata produksi tahunan dari keempat jenis alat tangkap dominan yang dioperasikan di Kota Ternate adalah ,27 ton, dengan ratarata upaya penangkapan tahunan sebanyak trip. Jumlah trip penangkapan ini telah distandardisasi sesuai dengan fishing power index (FPI) masing-masing alat tangkap. Nilai CPUE (catch per unit effort) menunjukkan besaran produksi per unit upaya penangkapan dalam hal ini adalah trip. CPUE diperoleh dari total produksi dibagi dengan jumlah trip yang dioperasikan. Hasil perhitungan CPUE berdasarkan alat tangkap yang sudah distandarisasi serta produktivitas alat tangkap standar disajikan pada Tabel 19 dan hubungan upaya penangkapan dengan produksi dapat dilihat pada Gambar 11.

78 Tabel 19 Tahun Total Produksi aktual, total effort standart dan produktifitas alat tangkap standart di kota ternate Produksi (ton) Effort (trip)standart CPUE (ton/trip) Sumber : Hasil olahan 63 CPUE (ton/trip) y = x R² = Gambar 10 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE di Kota Ternate Effort (trip) Hasil evaluasi dengan menggunakan data runtun waktu dari tahun 2003 sampai dengan 2010 tentang produksi perikanan dan upaya (effort) yang dipergunakan di perairan Kota Ternate (Laut Maluku), menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah upaya penangkapan standar (trip) dengan CPUE pada perikanan Kota Ternate adalah CPUE = 0, ,027x dengan nilai R 2 = 0,743. Ini artinya, hubungan yang terjadi memiliki nilai intercept sebesar 0,408 dan sudut kemiringan (slope) sebesar 0,292 dengan tingkat hubungan antara peubah tak bebas (dependent variabel) dan peubah bebas (independent variabel) sebesar 74%.

79 64 Pendugaan parameter biologi dengan menggunakan metode CYP diperlukan nilai logaritma CPUE pada waktu t+1 dan logaritma CPUE pada saat t serta jumlah effort pada waktu t dan t+1. Nilai tersebut sesuai dengan persamaan matematis CYP. Dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS), persamaan ini dapat disederhanakan menjadi Y = α + βxi + γx 2. Hasil dari OLS dengan menggunakan Microsoft Excel diperoleh nilai koefisien α = ; koefisien β = ; dan koefisien γ = Tabel berikut menyajikan data rata-rata produksi tahunan dari semua jenis alat tangkap yang dioperasikan di Kota Ternate. Tabel 20 Produksi, Effort, nilai logaritma CPUE pada waktu t+1 dan logaritma CPUE pada saat t serta jumlah Effort pada waktu t dan t+1 perikanan tangkap di kota Ternate Total Total CPUE ln Et + Tahun Produksi Effort ton/trip CPUEt+1 ln CPUEt Et Rata-rata Sumber : data olahan Dari nilai koefisien yang diperoleh tersebut, selanjutnya dihitung untuk memperoleh nilai r, q, dan K. Hasil perhitungan diperoleh tingkat pertumbuhan intristik (r) sebesar , koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar , dan daya dukung lingkungan/perairan (K) adalah ton. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh rata-rata harga ikan per ton (p) adalah Rp dan biaya per trip rata-rata (c) adalah Rp ,00. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Parameter biologi dan ekonomi perikanan Kota Ternate Keterangan Simbol Nilai Nilai keberadaan r Kemampuan tangkap q Daya dukung lingk. K Price (Rp./ton) p Cost (per trip) c

80 Selanjutnya, tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan dilihat dari tiga rezim pengelolaan yaitu maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access. Nilai produksi optimal pada rezim maximum economic yield (MEY) adalah ton per tahun, dimana dapat menghasilkan produksi optimal sebesar ton per tahun yang dihasilkan dari jumlah effort (trip) optimal sebanyak trip. Pada rezim maximum sustainable yield (MSY), diperoleh biomass sebesar ,30 ton per tahun, produksi sebesar ,09 ton per tahun, dan upaya optimal sebanyak trip. Pada rezim open access (OA), diperoleh biomass sebesar 5.491,05 ton per tahun, produksi sebesar 5.357,96 ton per tahun, dan upaya optimal sebanyak ,03 trip. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 22 berikut. Tabel 22 Tingkat biomass, produksi, upaya optimal dan rente ekonomi perikanan pelagis kecil dari berbagai rezim pengelolaan di kota Ternate Parameter MEY MSY OA Biomass x (ton) Produksi H ton Effort opt E* (trip) Rente Ek. π (juta) Sumber: Hasil olahan 4.3 Faktor-Faktor Produksi 4.3.1Alat Tangkap Pole and Line Pada umumnya produktifitas dari suatu unit penangkapan merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi. Menganalisis aspek teknik pole and line (huhate) di Kota Ternate dapat dipresentasikan dengan persamaan Y = b 0 + b 1 X 1 + b2x b n x n. Berdasarkan analisis linear berganda dengan menggunakan alat tangkap pole and line (huhate) yang berpengaruh terhadap output hasil tangkapan ikan cakalang di kota Ternate adalah BBM (X 3 ), umpan hidup (X 4 ) dan ukuran kapal (X 6 ). Dari hasil observasi di lapangan didapatkan data faktorfaktor teknis produksi yang terdiri dari ABK (X 1 ) dengan satuan orang, jumlah hari penangkapan dengan satuan trip penangkapan (X 2 ), BBM (X 3 ) dengan satuan liter/tahun, jumlah umpan hidup (X 4 ) dengan satuan ember/trip, jumlah umur kapal (X 5 ) dengan satuan tahun serta ukuran kapal (X 6 ) dengan satuan GT. 65

81 66 Hasil analisis regresi menunjukkan terjadinya hubungan antara faktorfaktor teknis dengan hasil tangkapan pole and line (huhate) dengan persamaan sebagai berikut: Dari hasil analisis regresi menunjukkan korelasi antara beberapa variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), dimana ABK (X 1 ), jumlah hari melaut (X 2 ) serta umur kapal (X 5 ) saling berkorelasi sehingga tidak dimasukkan lagi dalam model persamaan untuk melihat hasil lanjut. Gambaran ini menunjukkan adanya hubungan multikolienaritas terhadap faktor teknis produksi lainnya. Uji lanjut regresi kemudian didapatkan model persamaan sebagai berikut: Hasil analisis menggunakan uji statistik dengan uji F didapatkan nilai F hitung > F tabel ( > 2.77), ini berarti secara keseluruhan faktor-faktor teknis produksi yang digunakan yang meliputi jumlah bahan bakar (X 3 ), jumlah umpan hidup (X 4 ) dan Ukuran kapal (X 6 ) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien determinasi (R 2 ) untuk model persamaan pada tabel summary link output sebesar 0,96%. Ini menunjukkan jumlah bahan bakar (X 3 ), jumlah umpan hidup (X 4 ) dan ukuran kapal (X 6 ) mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan model produksi bagi alat tangkap pole and line (huhate). Jumlah bahan bakar (X 3 ) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan sebesar mengartikan setiap penambahan satuan jumlah bahan bakar (liter) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Hal in menunjukkan jumlah bahan bakar termasuk faktor produksi yang harus dipertimbangkan dalam jangkauan lokasi daerah penangkapan dimana kapal akan mengejar gerombolan ikan pada daerah penangkapan yang lebih luas selain rumpon. Hasil analisis faktor produksi lainnya menunjukkan umpan hidup sangat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan dan menunjukkan korelasi positif. Semakin banyak jumlah umpan yang digunakan maka akan mendapatkan hasil

82 67 tangkapan yang semakin besar. Hal ini disebabkan karena umpan merupakan faktor yang sangat penting dalam perikanan cakalang. Ketersediaan umpan dapat menghambat atau memperlancar operasi penangkapan yang ada karena aktifitas operasi penangkapan tidak dapat dilakukan apabila ketersediaan umpan hidup tidak cukup. Fungsi umpan hidup digunakan untuk menarik ikan cakalang agar berkumpul didekat kapal sehingga mempermudah proses pemancingan. Gambar 8 menjelaskan hubungan umpan dengan hasil tangkapan menunjukkan estimasi umpan hidup dalam meperoleh hasil tangkapan. Ukuran kapal (X 6 ) juga sangat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Dari data lapangan didapatkan hampir semua kapal penangkap pole and line (huhate) berkisar 5 sampai 20 GT. Hanya beberapa buah kapal saja yang berkapasitas GT. Dengan kapasitas kapal membuat daya gerak dalam ruang semakin sempit juga jangkauan yang tidak boleh melebihi pembagian luas wilayah operasional. Contoh terbatasnya bak penyimpan umpan serta palka untuk menyimpan hasil tangkapan membuat kadang-kadang ikan lainnya tidak tersimpan secara baik. Dengan ukuran kapal yang semakin besar membuat wilayah jangkauan bisa semakin jauh untuk mendapatkan hasil yang semakin banyak. Persamaan produksi yang diperoleh menunjukkan pengaruh antara faktorfaktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan. Semua koefisien regresi dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa persamaan tersebut bernilai positif. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan setiap faktor produksi tidak selalu harus berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini mengingat ada pembatas untuk setiap faktor teknis produksi. Misalnya faktor teknis jumlah bahan bakar, dimana bahan bakar yang dapat dibawa oleh unit penangkapan ikan dibatasi oleh kapasitas tanki atau wadah bahan bakar. Kapasitas tersebut sangat ditentukan oleh ketersediaan ruang di kapal.

83 Fitted Line Plot TH BBM Gambar 11Hubungan antara jumlah bahan bakar (BBM) dengan hasil tangkapan 800 Fitted Line Plot TH UMPAN Gambar 12 Hubungan antara jumlah umpan hidup dengan hasil tangkapan

84 Fitted Line Plot TH GT Gambar 13 Hubungan antara kapasitas ukuran kapal dengan hasil tangkapan Grafik histogram terlihat adanya penyebaran data yang terdistribusi secara normal. Hal yang sama juga tergambar dari grafik p-p Plot. Gambar 14 Data terdistribusi secara normal dengan menggunakan alat tangkap pole and line (huhate).

85 Alat Tangkap Purse Seine Faktor-faktor produksi merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input dari hasil penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin yang berpengaruh terhadap output (hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan produksi). Menganalisis aspek teknik pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate dapat dipresentasikan dengan persamaan Y = b 0 + b 1 X 1 + b2x b n x n. Faktor teknis produksi yang digunakan meliputi; jumlah tenaga kerja (X 1 ) dengan satuan orang, jumlah bahan bakar (X 2 ) dengan satuan liter/tahun, panjang pukat cincin (X 3 ) dengan satuan meter, tinggi pukat cincin (X 4 ) dengan satuan meter, jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X 5 ) dengan satuan hari dan ukuran kapal (X 6 ) dengan satuan GT. Serta jumlah hasil tangkapan ikan (Y) yang dinyatakan dalam (ton/tahun). Hasil analisis regresi menunjukkan terjadinya hubungan antara faktorfaktor teknis dengan hasil tangkapan pukat cincin dengan persamaan sebagai berikut: Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan korelasi yang erat antara faktor teknis produksi (X 4 ) yaitu tinggi jaring dan (X 6 ) yaitu ukuran kapal dengan nilai Selain faktor produksi tinggi jarring (X4) berkorelasi terhadap ukuran kapal (X 6 ), ternyata ukuran kapal (X 6 ) juga berkorelasi dengan ABK (X 1 ), BBM (X 2 ), panjang jarring (X 3 ) serta jumlah hari penangkapan (X 5 ). Sehingga dalam model persamaan untuk melihat hasil tangkapan, cukup diwakili oleh ke empat faktor produksi yang disebutkan diatas. Gambaran ini menunjukkan adanya hubungan multikolinieritas terhadap faktor teknis produksi lainnya. Pada analisis regresi lanjut diperoleh persamaan hubungan antara faktorfaktor teknis dengan hasil tangkapan pukat cincin dengan persamaan sebagai berikut : Hasil analisa menggunakan uji statistik dengan uji F diperoleh nilai F hitung > F tabel ( > 2.64), hal ini berarti bahwa secara keseluruhan faktor-faktor

86 71 teknis produksi yang digunakan yang meliputi jumlah tenaga kerja (X 1 ), jumlah bahan bakar (X 2 ), Panjang jarring (X 3 ), dan jumlah hari penangkapan (X 5 ) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat kepercayaan 95%. Pada tabel Model Summary menunjukkan faktor-faktor teknis produksi atau variabel bebas dapat digunakan sebagai parameter untuk menjelaskan persamaan regresi tersebut. Nilai R menunjukkan seberapa baik faktor-faktor produksi memprediksikan variabel terikat. Hal ini semakin diperjelas dengan nilai R 2 yaitu 90.2% dimana keragaman hasil tangkapan (Y) dapat dijelaskan oleh ke empat variabel bebas. Sementara nilai Durbin-Watson didapatkan angka dimana nilai Durbin-Watson berada pada rentang -2 sampai 2. Ini menunjukkan bahwa asumsi tidak adanya autokorelasi terpenuhi. Tabel Anova menunjukkan besarnya angka probabilitas atau terjadinya signifikansi, dimana sejumlah faktor-faktor produksi atau variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Nilai ini dapat dilihat pada kolom sig dimana jika sig < 0.05, maka model analisis dianggap layak. Nilai konstan b sebesar pada tabel Coefficient menjelaskan variabel terikat (Y) akan berubah jika variabel variabel bebas (X) diubah 1 unit. Atau memberi pengertian dimana nilai Y pada saat semua peubah X = 0. Sig pada kolom ini menjelaskan tentang signifikansi hubungan antar variabel-variabel bebas (X) dengan variabel terikat. Sementara nilai VIF menginformasikan apakah terjadi korelasi antar variabel bebas atau tidak. Nilai VIF > 2 menunjukkan adanya korelasi antar variabel bebas (X). 240 Fitted Line Plot HT ABK Gambar 15 Hubungan antara kapasitas ukuran kapal dengan hasil tangkapan

87 Fitted Line Plot HT BBM Gambar 16 Hubungan antara jumlah bahan bakar (BBM) dengan hasil tangkapan 240 Fitted Line Plot HT PJ Gambar 17 Hubungan antara panjang purse seine (pajeko) dengan hasil tangkapan

88 Fitted Line Plot HT HP Gambar 18 Hubungan antara hari operasi penangkapan dengan hasil tangkapan Dari hasil analisa didapatkan gambaran hubungan masing-masing faktor produksi (X) dengan hasil tangkapan (Y). Tabel-tabel diatas menunjukkan faktor-faktor produksi atau variabel bebas (X) yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat atau hasil tangkapan (Y) adalah jumlah tenaga kerja (X 1 ), jumlah bahan bakar (X 2 ), Panjang pukat cincin (X 3 ) dan jumlah hari penangkapan. Koefisien regresi jumlah tenaga kerja (X1) sebesar mengartikan searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satuan tenaga kerja (orang) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Sementara nilai sig dimana < 0.05 yang menginterpretasikan jumlah tenaga kerja berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena proses penurunan (setting) maupun penarikan (hauling) pukat cincin pada saat pengoperasian tidak menggunakan alat bantu tetapi mengandalkan tenaga manusia. Tenaga manusia bukan hanya digunakan pada saat menurunkan atau menarik jarring saja, tetapi setelah proses setting dan hauling pukat cincin selesai dilakukan, tenaga mereka juga digunakan untuk menaikkan atau mengangkat hasil tangkapan untuk diletakkan pada kapal jhonson (slep).

89 74 Koefisien regresi bahan bakar minyak (X 2 ) sebesar mengartikan searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, dimana setiap penambahan satu satuan jumlah bahan bakar (liter) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Hal ini menunjukkan dengan penambahan bahan bakar minyak dalam melakukan pengoperasian penangkapan bisa dilakukan pada daerah fishing gorund yang lebih jauh. Dengan demikian hasil tangkapan akan semakin banyak mengingat wilayah fishing ground pada kedalaman tertentu akan semakin baik. Nilai sig < 0.05 yang menginterpretasikan adanya perbedaan nyata antara jumlah bahan bakar terhadap hasil tangkapan. Koefisien panjang pukat cincin (X Koefisien jumlah hari penangkapan ikan (X 3 ) sebesar mengartikan searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, dimana setiap penambahan satu satuan panjang pukat cincin (meter) dalam keadaan cateris peribus. Nilai sig menginterpretasikan adanya perbedaan nyata antara panjang pukat cincin terhadap hasil tangkapan. Hal ini diduga jika semakin panjang pukat cincin yang digunakan maka semakin besar pula garis tengah lingkaran pukat cincin yang terbentuk. Hal ini menyebabkan semakin besar peluang gerombolan ikan yang tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan ikan dengan dinding pukat cincin dapat semakin besar, sehingga gerombolan ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap. searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satu satuan hari penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Nilai sig menginterpretasikan jumlah hari tangkapan berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah hari penangkapan maka peluang untuk mendapatkan jumlah hasil tangkapan akan lebih banyak. Pada grafik histogram terlihat adanya penyebaran data yang terdistribusi secara normal. Grafik histogram digambarkan menyerupai lonceng terbalik, walaupun ada beberapa data yang berada di luar garis lonceng. 5 ) sebesar yang berarti

90 75 Gambar 19 Data terdistribusi secara normal dengan menggunakanalat tangkap purse seine (huhate) 4.4 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan unit usaha perikanan tangkap dengan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan menggunakan teknologi penangkapan ikan yang ada akan memberikan solusi optimum, perlu didukung dengan analisis kelayakan usaha. Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk melihat manfaat secara finansial maupun ekonomi apabila kegiatan masing-masing unit usaha tersebut dilaksanakan sehingga investasi, biaya operasional yang digunakan akan memberikan manfaat maksimal terhadap pendapatan nelayan serta pengusaha perikanan. Berdasarkan hasil analisis finansial yang dilakukan terhadap nelayan pole and line dan purse seine dengan prioritas hasil tangkapan Ikan Cakalang diperoleh hasil rata-rata 500 kg pada musim puncak (bulan April) dengan jumlah trip penangkapan 14 trip. Harga jual Ikan yang diperoleh rata-rata Rp 8000/ kg. Berdasarkan hasil analisis, total penerimaan dalam satu tahun adalah sebesar Rp , untuk usaha pole and line dan Rp untuk purse seine. Nilai investasi dalam usaha penangkapan ikan dengan menggunakan pole and line ini adalah sebesar Rp dan Rp untuk puse seine. Biaya yang dikeluarkan berupa biaya tetap yaitu penyusutan alat dan biaya tidak tetap

91 76 berupa biaya perawatan dan biaya operasional dan lain-lain dengan total biaya Rp , dan biaya operasional purse seine sebesar Biaya yang paling banyak dikeluarkan adalah upah untuk para ABK dengan system bagi hasil 25% dari total pendapatan bersih pertrip. Keuntungan yang diperoleh dalam satu tahun Rp dan per tahun dengan R/C (revenue cost) masing-masing sebesar dan 1.347, artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar nilai tersebut, dengan asumsi bahwa setiap tahun usaha perikanan tangkap ikan Cakalang menghasilkan keuntungan yang tetap maka dihasilkan payback period atau waktu pengembalian modal usaha sebesar 1.4 tahun dengan menggunakan pole and line dan 1.6 tahun untuk purse seine. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23 Rataan hasil analisis usaha perikanan tangkap selama 1 tahun No Uraian Pole and Line Purse Seine 1 Investasi (Rp) 23,057,500 44,887,125 2 Total Biaya Tetap (Rp) 7, ,354,946 3 Total Biaya Variabel (Rp) 806,750 3,415,000 4 Total Biaya (Rp) 45,540,000 68,688,000 5 Biaya Retribusi (2,5%) 1,800,000 2,700,000 6 Total penerimaan setelah retribusi (Rp) 55,712,488 80,157,946 9 R/C Payback Period (tahun) Sumber Hasil olahan Selanjutnya dilakukan analisis terhadap prospek pengembangan usaha dalam jangka waktu yang lama (10 tahun) yang didasarkan pada pemakaian alat yang paling lama dalam hal ini Kapal dan mesin yaitu nilai net present value (NPV), benefit cost ratio (Net B/C) dan Internal rate of return (IRR). Berdasarkan hasil perhitungan Cash flow selama kurun waktu 10 tahun dengan suku bunga 15% diperoleh nilai NPV sebesar Rp dan Rp artinya nilai rupiah tersebut menggambarkan keuntungan bersih yang akan diperoleh selama masa waktu 10 tahun kedepan, dihitung dengan nilai pada saat ini. Jika dilihat nilai B/C didapatkan angka 5.3 dan 2.8 yang berarti bahwa usaha ini memberikan manfaat bersih 5,3 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan Sedangkan nilai IRR diperoleh sebesar 75,10% dan 73.80% yaitu lebih besar dari discount faktor 15% (lampiran 20). Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa

92 usaha penangkapan dengan alat tangkap pole and line dan purse seine layak dan menguntungkan dan mempunyai prospek yang bagus untuk dikembangkan. Hasil rinciannya dapat dilihat pada tabel 24. Tabel 24 Hasil analisis kriteria investasi perikanan tangkap di Kota Ternate No Uraian Pole and Line Purse Seine 1 Net Present Value (NPV) 97,551,404 48,443,757 2 Net Benefit Cost (Net B/C) Internal Rate of Return (IRR) 75,10% 73,80% Sumber: Hasil olahan Sentra produksi perikanan tangkap di Kota Ternate dipusatkan di kawasan Dufa-Dufa dan Bastiong. Ditempat ini juga terdapat TPI (tempat Pelelangan Ikan) namun pelaksanaan pelelangan tidak pernah dilakukan ditempat ini. Justru nelayan menjual hasil tangkapannya kepada kapal kapal penampung yang sering berlabuh di tengah laut dan kedua pihak mengadakan transaksi ditengah laut. Biasanya kapal-kapal penampung ini sering berlabuh sekitar 1 sampai 2 minggu untuk menerima berbagai nelayan yang menjual hasil tangkapannya. Kemudian kapal penampung ini akan kembali ke wilayahnya masing-masing seperti Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, bahkan sampai ke kota Surabaya. 4.5 Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap Di Kota Ternate Berbagai tahapan dan analisis untuk menentukan status keberlanjutan perikanan pelagis kecil di lokasi penelitian telah dilakukan, di antaranya: (1) analisis sumberdaya (Schaefer, 1954) dan analisis bioekonomi Gordon Schaefer dengan metode Clark, Yoshimoto & Pooley, 1992 (CYP, 1992) Model produksi surplus, yaitu Schaefer (1954) dan CYP (1992) dalam pendugaan potensi lestari dilakukan untuk melihat kondisi sumberdaya secara akurat dan obyektif sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kedua metode tersebut dapat dibandingkan metode mana yang lebih mendekati kondisi riil di lapangan agar prinsip kehati-hatian betul-betul menjadi prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil. Perhitungan parameter biologi, ekonomi maupun tekhnis terhadap data yang ada menghasilkan nilai-nilai yang diperlukan untuk analisa selanjutnya. Dari data diatas menunjukkan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) pelagis kecil di Kota Ternate menurut Schaefer dimana telah terjadi overfishing sementara 77

93 78 dengan metode CYP, hasil perhitungan belum menunjukkan overfishing tetapi telah sampai pada batas ambang pengelolaan. ini terlihat dari masing-masing nilai effort untuk Schaefer trip/tahun dan CYP sebesar trip/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah kota Ternate (laut Maluku) sudah terjadi fully exploited. Hal ini dikarenakan daerah tangkapan nelayan masih pada wilayah yang sempit dengan armada yang banyak dan effort yang lebih besar. Ada beberapa alasan terjadinya gejala overfishing diantaranya : 1) produktifitas hasil tangkapan menurun, 2) terjadinya booming spesies tertentu, 3) penurunan ukuran ikan hasil tangkapan, 4) grafik penangkapan dalam satuan waktu berbentuk fluktuasi atau tidak menentu (eractic), 5) penurunan produksi secara nyata /significant. Sementara produksi maksimum pada tingkat MEY tercapai sebelum tingkat produksi maksimum lestari (MSY). Dengan kata lain, jumlah upaya optimalnya juga berada dibawah jumlah upaya optimal yang diperlukan untuk menghasilkan produksi sebesar maksimum lestari. Ini artinya, setiap upaya yang berada pada tingkat MSY adalah lebih efisien dibandingkan dengan upaya yang ada pada tingkat MEY, sehingga rente ekonomi pada rezim MSY di Laut Maluku lebih besar dibandingkan dengan rente ekonomi pada rezim MEY. Kondisi berbeda terjadi pada rezim pengelolaan yang bersifat akses terbuka (open access), dimana pertambahan upaya tidak akan berhenti kecuali dicapainya titik yang dikenal sebagai keseimbangan akses terbuka (open access equilibrium). Pada titik ini, jumlah penerimaan dari eksploitasi sumberdaya ikan akan sama besarnya dibandingkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan eksploitasi sumberdaya ikan (total revenue = total cost). Dengan kata lain, rente ekonomi yang diperoleh pada rezim pengelolaan seperti ini adalah sama dengan nol. Titik keseimbangan open access dalam perhitungan ini sangat ditentukan oleh sudut kurva biaya produksi terhadap sumbu horizontal. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan ini relatif besar, dan ini terjadi karena tingginya komponen biaya operasional dari biaya produksi secara keseluruhan. Tingginya biaya operasional yang merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya operasi penangkapan ikan, menjadikan sebagian nelayan sulit untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari kegiatan penangkapan yang

94 dilakukan. Bahkan dalam beberapa kasus, nelayan terpaksa mengurangi trip operasi penangkapannya dalam waktu-waktu tertentu karena pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan tidak lagi sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Kondisi ini mengakibatkan semakin rendahnya pendapatan nelayan, dan pada akhirnya dapat bermuara pada menurunnya tingkat kesejahteraan nelayan. Pada rezim pengelolaan yang bersifat akses terbuka perairan ini, nilai biomass hanya sebesar 5.491,05 ton dengan jumlah upaya sebesar ,03 trip. Tingkat upaya ini, menghasilkan produksi ikan sebesar ton AKTUAL MEY 79 (ton) Rp. 90,9 M Rp. 89,9 M OA Effort (trip) Gambar 20 Pengelolaan pelagis kecil berdasarkan rezim di kota Ternate Perbandingan input aktual dibandingkan dengan input optimal pada rezim MEY adalah 95.88% dan output adalah 100% sedangkan pada rezim MSY adalah 94.75% dan output adalah 89%. Sementara perbandingan input aktual terhadap input open access adalah % dan output adalah 49.90%. Nilai persentasi diatas 100% menunjukkan bahwa nilai aktual lebih besar dibandingkan dengan nilai optimal dan sebaliknya. Keadaan menunjukkan bahwa rata-rata output/produksi pada kondisi aktual lebih rendah dari kondisi pengelolaan

95 80 MEY,dan MSY, serta lebih tinggi dari kondisi open access. Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi kelebihan tangkapan (over harvested). Namun pada sisi input/effort, perbandingan rata-rata pada kondisi aktual dan rata-rata pada kondisi MEY dan MSY menunjukkan bahwa effort rata-rata pada kondisi aktual berada pada posisi di atas kondisi MEY dan kondisi MSY (>100%). Rata-rata input/effort aktual sudah melebihi dari kondisi input/effort optimal MEY menandakan bahwa telah mengalami economic overfishing sebesar 49.90% dan rata-rata input/effort aktual sudah melebihi dari kondisi input/effort optimal MSY menandakan bahwa telah mengalami biological overfishing sebesar 49,90%

96 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaan Perikanan Tangkap Wilayah Kota Ternate 4.1.1Rumah tangga perikanan (RTP)/Penduduk nelayan Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara tahun (2009), jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Ternate sebanyak 414 unit. Perkembangan jumlah RTP rata-rata per tahun di Kota Ternate dari tahun 2005 sampai 2009 mengalami penurunan sebesar 2,67% yaitu dari sebesar 464 buah pada tahun 2005 menjadi 414 buah pada tahun Perkembangan jumlah penduduk, RTP dan RT di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perkembangan jumlah RTP dan jumlah kapal di Kota Ternate, Tahun Rata-rata Rincian perubahan (%) RTP (2,67) Jumlah kapal motor (4,44) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara tahun ( ); BPS Kota Ternate ( ). Penurunan RTP ini disebabkan oleh adanya beberapa RTP yang mengalihkan pekerjaannya akibat kapal/perahu dan alat tangkap yang mereka gunakan telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berproduksi lagi. Tabel 9 juga memperlihatkan perbandingan antara perkembangan antara jumlah RTP dan jumlah kapal yang beroperasi di Kota Ternate. Pada tahun 2009 tercatat jumlah RTP adalah sebesar 414 buah, sedangkan jumlah kapal yang beroperasi adalah sebesar 240 buah. Dilihat dari perkembangan jumlah rata-rata per tahun, jumlah kapal dari tahun mengalami penurunan sebesar 4,44%, dan hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan penurunan jumlah RTP rata-rata yang sebesar 2,67% Armada Penangkapan Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara dari tahun dapat dilihat pada Tabel 10. Secara keseluruhan jumlah jenis kapal penangkap ikan

97 52 didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel (66%) dan rata-rata menurun sebesar 4,26% per tahun. Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada kapal motor yang berukuran antara GT sebesar 72,22% disusul kemudian oleh kapal motor berukuran GT (25%). Penurunan jumlah kapal terjadi pada kapal motor berukuran 5-10 GT sebesar 15,34% yaitu dari 69 buah kapal pada tahun 2005 menjadi 26 buah kapal pada tahun 2009, disusul kemudian oleh kapal motor tempel dan kapal tanpa motor sebesar 11,91% yaitu dari 287 buah kapal pada tahun 2005 menjadi 216 buah pada tahun Tabel 10 Jenis Kapal Perkembangan jumlah armada penangkapan menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate, Tahun Rata-rata perubahan (%) (unit) 2006 (unit) 2007 (unit) 2008 (unit) 2009 (unit) Perahu Tanpa Motor (3,86) Motor Tempel (8,05) Kapal Motor (0,43) 0 5 (GT) , (GT) (15,34) (GT) , (GT) ,00 Jumlah (4,26) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Peningkatan dan penurunan jumlah unit kapal penangkapan ikan tersebut pada dasarnya sejalan dengan program motorisasi dan pengadaan kapal penangkap ikan yang penangkapannya dapat menjangkau perairan yang lebih jauh. baik dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara, maupun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate Alat tangkap Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara terdapat 17 jenis alat tangkap yang dioperasikan di wilayah Kota Ternate. Secara keseluruhan, jenis alat tangkap pole and line merupakan alat tangkap paling terbanyak dibandingkan dengan alat tangkap lain yang ada wilayah ini. Dilihat dari alat tangkap yang dioperasikan, terdapat sepuluh jenis alat tangkap yang memiliki jumlah unit yang banyak yaitu purse seine, gillnet, pole and line, bottom

98 handline, pukat pantai, jaring insang hanyut, rawai tuna, pancing tonda, jaring insang lingkar, dan bubu. Peningkatan rata-rata tahunan dari seluruh jenis alat tangkap yang ada hanya terdapat 4 alat tangkap yang mengalami peningkatan yaitu purse seine, pole and line, pancing tonda, dan muroami, sedangkan 13 alat tangkap lainnya mengalami penurunan jumlah atau tetap (tidak berubah jumlahnya). Peningkatan rata-rata per tahun jumlah alat tangkap terbesar terjadi pada alat tangkap purse seine yaitu sebesar 24,55%. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Ternate, No. Jenis Alat Tangkap Tahun Rata-rata perubahan (%) (unit) 2006 (unit) 2007 (unit) 2008 (unit) 2009 (unit) 1. Purse seine Gillnet (4,17) 3. Pole and line ,52 4. Bottom handline (5,42) 5. Pukat pantai ,00 6. Jaring insang (4,17) hanyut 7. Rawai tuna (3,21) 8. Pancing tonda ,32 9. Jaring insang (3,52) lingkar 10. Bubu (0,83) 11. Rawai hanyut , Rawai tetap (4,17) 13. Bagan tancap , Sero , Muroami , Trammel net (6,25) 17. Jaring klitik (12,5) Total Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Alat tangkap yang dioperasikan di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2009, alat tangkap pole and line yang memiliki jumlah trip (frekuensi melaut) terbesar yaitu kali, disusul kemudian oleh alat tangkap purse seine sebesar kali. Peningkatan jumlah trip rata-rata per tahun terjadi pada alat tangkap bagan tancap sebesar 247,2%, namun pada tahun terjadi penurunan sebesar 50% pada tahun Penurunan ini disebabkan karena alat tangkap ini 53

99 54 banyak yang sudah tidak dapat beroperasi lagi karena mengalami kerusakan. Perkembangan jumlah trip operasi penangkapan ikan masing-masing alat tangkap di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah trip operasi penangkapan ikan menurut jenis alat penangkapan ikan di Kota Ternate, No. Tahun Rata-rata Jenis perubahan (%) Alat Tangkap Purse seine ,17 2. Gillnet (1,21) 3. Pole and line ,16 4. Bottom handline (4,10) 5. Pukat pantai (1,25) 6. Jaring insang hanyut ,44 7. Rawai tuna ,81 8. Pancing tonda ,29 9. Jaring insang lingkar , Bubu , Rawai hanyut (1,41) 12. Rawai tetap , Bagan tancap ,2 14. Sero , Muroami , Trammel net *) Jaring klitik (37,50) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ); *) data tidak tersedia Produksi penangkapan Secara geografis, Ternate merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan, dengan luas wilayah laut yang dimiliki sebesar 903,73 km 2. Di dalamnya terdapat berbagai potensi sumberdaya alam yang bernilai ekonomis penting yakni perikanan pantai (coastal), ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan sumber daya perikanan tangkap yaitu ikan demersial dan pelagis. Ikan pelagis terbagi menjadi pelagis besar dan pelagis kecil, yang dilihat berdasarkan ukuran panjang dan bobot serta habitat dan areal migrasi atau ruaya. Potensi hasil tangkapan di Kota Ternate sangat besar, ditunjukkan dengan tingkat rata-rata produksi ikan hasil tangkapan di Kota Ternate pada tahun menunjukkan tren peningkatan. Menurut data BPS Kota Ternate (2003) dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ), pada periode tahun ,

100 perkembangan produksi rata-rata tahunan perikanan tangkap di Kota Ternate meningkat sebesar 14,61%. Dalam periode ini juga terlihat terjadinya penurunan produksi yaitu pada tahun 2000 sebesar 15,21% dan tahun 2006 sebesar 5,45%. Penurunan produksi pada tahun 2000 dan 2006 masing-masing disebabkan karena banyaknya kapal yang tidak melakukan operasi penangkapan akibat terjadinya konflik sosial (kerusuhan) dan terdapat beberapa kapal penangkapan yang melakukan perbaikan. Tabel 13 memperlihatkan perkembangan produksi hasil perikanan tangkap Kota Ternate dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mulai tahun Perkembangan produksi ini masih terasa kecil terhadap perekonomian daerah dibandingkan dengan sub-sektor lainnya. Menurut BPS (2009), kontribusi sektor perikanan bagi PDRB secara keseluruhan di Kota Ternate dalam lima tahun terakhir hanya rata-rata sebesar 2,64% terhadap harga berlaku dan 1,99% terhadap harga konstan. Untuk itu perlu ada pengelolaan yang baik dan berkelanjutan sehingga kontribusi terhadap perekonomian daerah dapat meningkat dan di sisi lain dapat meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan nelayan dan mengurangi angka pengangguran serta kemiskinan yang ada di Kota Ternate. Tabel 13 Perkembangan produksi hasil perikanan di Kota Ternate Tahun Jumlah Produksi (Ton) Perkembangan (%) ,34 (15,21) ,31 4, ,00 15, ,84 4, ,50 34, ,06 27, ,26 (5,45) ,52 26, ,21 16, ,41 36,07 Rata-rata 14,61 Sumber : BPS Kota Ternate (2003); Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Perkembangan produksi hasil perikanan tersebut merupakan data hasil produksi dari setiap alat tangkap yang beroperasi di Kota Ternate. Volume produksi dari 10 alat penangkapan ikan dominan yang dioperasikan di perairan Kota Ternate menunjukkan bahwa pada tahun 2009 produksi alat tangkap pole and line memiliki nilai tertinggi yaitu sebesar 7.477,30 ton dengan rata-rata 55

101 56 peningkatan dalam lima tahun terakhir sebesar 28,66%, disusul kemudian oleh alat tangkap purse seine yaitu sebesar 2.252,70 ton dengan peningkatan sebesar 37,41%.. Perkembangan produksi tahunan alat tangkap di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap Kota Ternate, Jenis Tahun Rata-rata No. Alat Tangkap 2005 (Ton) 2006 (Ton) 2007 (Ton) 2008 (Ton) 2009 (Ton) perubahan (%) Purse seine 1.639, , , , ,70 37,41 2. Gillnet 64,10 66,60 67,80 70,70 72,70 13,41 3. Pole and line 4. Bottom handline 5. Pukat pantai 6. Jaring insang hanyut 5.811, , , , ,30 28,66 368,65 309,72 412,95 720,00 646,00 20,36 521,60 552,42 451,96 346,68 346,00 (8,94) 181,34 97,91 74,18 74,18 126,10 (0,06) 7. Rawai tuna 562,71 400,12 745,72 540,00 664,48 13,24 8. Pancing tonda 521,40 527,50 556,80 531,70 563,80 8,07 9. Jaring insang lingkar 303,45 290,79 285,60 453,60 515,60 16, Bubu 46,65 15,12 12,60 12,60 12,56 (21,14) 11. Rawai hanyut 82,52 65,78 65,78 61,79 65,65 (5,03) 12. Rawai 175,60 124,51 50,32 42,77 21,38 tetap (38,42) 13. Bagan tancap 136,70 28,35 28,35 9,6 9,6 (36,35) 14. Sero 4,91 2,24 2,24 2,24 2,24 (13,59) 15. Muroami 9,71 7,61 11,41 21,60 27,00 35, Trammel 94,45 44,27 33,20 14,40 0 net (58,59) 17. Jaring 4,25 1,77 0,89 0,06 0 klitik (60,16) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara ( ) Produksi dari berbagai alat tangkap sebagaimana dilihat pada Tabel 15, menghasilkan tangkapan beberapa ikan pelagis seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), layang (Decapterus lajang), dan tongkol (Auxis thazard). Selain itu juga masih terdapat beberapa perikanan pelagis kecil lainnya yang ditangkap walaupun memiliki produktivitas yang rendah. Sedikitnya terdapat 27 jenis ikan yang sering ditangkap oleh nelayan di wilayah Kota Ternate. Keseluruhan jenis ikan yang ditangkap tersebut didominasi oleh cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan

102 volume produksi sebesar 7.778,3 ton, diikuti kemudian oleh layang (Decapterus spp) sebesar 2.429,3 ton, dan teri (Stolephorus spp) sebesar ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2010). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15 Perkembangan volume produksi menurut jenis ikan dominan di Kota Ternate, Jenis Ikan Tahun Cakalang/ Tongkol Layang Teri , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,5 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate (2010) Produksi Surplus Stok Sumberdaya Pelagis Kecil Potensi stok sumberdaya dengan menggunakan model produksi surplus dilakukan untuk mengetahui daya dukung sumberdaya ikan terhadap upaya penangkapan (effort). Model produksi surplus yang akan dikaji berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, yaitu upaya total dan hasil penangkapan total yang diperoleh dari stok. Tujuannya adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan optimum sumberdaya tanpa mempengaruhi produktifitas stok jangka panjang, yang dikenal dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) (Sparred and Venema, 1999). Perhitungan MSY didasarkan pada adanya data tahunan tingkat eksploitasi dan upaya penangkapan. Metode yang dilakukan pada perhitungan penelitian ini menggunakan metode Schaefer (1954) dan metode CYP (Clarke, Yoshimoto dan Pooley, 1992). Kedua metode ini digunakan diantaranya untuk melihat metode yang lebih mendekati kenyataaan di lapangan.

103 58 Tabel 16 Hasil produksi per unit upaya penangkapan ikan menggunakan alat pole and line di Kota Ternate tahun Tahun Produksi (ton) Effort (trip) CPUE (ton/trip) Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2010 Pada Tabel 16 disajikan hasil tangkapan setelah dilakukan standardisasi terhadap alat tangkap atau upaya penangkapan (effort). Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa hasil tangkapan pelagis kecil di Kota Ternate berfluktuasi selama kurun waktu Dari tahun terjadi peningkatan penangkapan, namun terjadi penurunan hasil tangkapan pada tahun 2005 sebesar ton dan mengalami peningkatan lagi pada tahun 2006 sebesar 158 ton menjadi ton, serta terus menerus menunjukkan peningkatan sampai tahun 2010 sebesar 333,9 ton menjadi ton Model Schaefer Mengingat armada perikanan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan khususnya pada perikanan pelagis kecil di Kota Ternate terdiri dari beberapa alat tangkap, maka upaya (effort) dari setiap alat tangkap tersebut dikonversi menjadi unit standard sebelum penjumlahan untuk memperoleh upaya total (Sparred and Venema, 1999). Standardisasi armada perikanan dilakukan berdasarkan jenis alat tangkap pole and line, dengan pertimbangan jenis alat tangkap tersebut memiliki kemampuan tangkap yang besar, selektif terhadap jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, dan umumnya digunakan oleh nelayan di Kota Ternate. Hasil analisis dengan model Schaefer terhadap upaya tangkap (effort) dan hasil tangkapan (catch) menunjukkan hasil penangkapan lestari di Kota Ternate

104 sebesar ,69 ton per tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 11,150,43 trip. 59 Produksi Gambar Produksi (Schaefer) (ton) Produksi Th (ton) Effort Pendugaan produksi lestari (MSY) perikana pelagis kecil di Kota Ternate tahun Dari gambaran di atas telah menunjukkan informasi penting tentang potensi sumberdaya perikanan tangkap dalam hal ini pelagis kecil di Kota Ternate. Tahun 2003 menunjukkan hasil tangkapan lebih sedikit dibanding tahun Ini menunjukkan adanya penambahan produksi. Namun pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi hasil tangkapan, dan kembali menunjukkan peningkatan pada tahun 2006 dan terus menerus meningkat sampai tahun Terjadinya peningkatan pada tahun 2006 disebabkan beberapa faktor diantaranya permintaan akan hasil tangkapan oleh produsen meningkat, karena di tahun 2006 hasil tangkapan dapat langsung disalurkan ke industri-industri pengolahan hasil tangkapan di Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Pertumbuhan akses pasar yang begitu tinggi memicu terjadinya peningkatan hasil produksi. Walaupun terjadi peningkatan secara produksi, namun terlihat telah terjadi overfishing bila dilihat produksi aktual dimana masing-masing sebesar 7477,3 dan 7778,3 ton/tahun telah melebihi produksi lestari (MSY) yang diperbolehkan yaitu 5518,5 dan 5746,8 ton/tahun. Untuk pemanfaatan potensi sumberdaya ikan atas prinsip kehati-hatian maka potensi ikan yang diperbolehkan

105 60 untuk ditangkap sebesar 80% yang dikenal dengan TAC (Total Allowable Catch) dari potensi lestari (MSY) Analisis regresi linear CPUE terhadap upaya penangkapan diperoleh nilai a (intercept) sebesar 1, dan nilai b (slope) sebesar , sehingga persamaan lestari Schaefer adalah Y = a.e b. E Persamaan Schaefer di atas diperoleh nilai a dan b yang dapat digunakan untuk mengetahui upaya penangkapan maksimum yaitu (EMSY) = ,72 trip. Setelah memasukkan nilai upaya maksimum (E MSY ) tersebut ke dalam persamaan penangkapan lestari didapatkan tingkat produksi lestari (Y MSY ) = ,173 ton. hubungan antara produksi hasil tangkapan terhadap upaya penangkapan (CPUE) dapat dilihat pada Gambar Produksi y = x R² = CPUE Gambar 8 Hubungan antara Produksi dengan CPUE di Kota Ternate Gambar 9 terlihat bahwa penambahan upaya (effort) tidak selalu identik dengan peningkatan produksi seperti yang terjadi pada tahun 2004 dan 2005 di mana dengan effort yang tinggi diperoleh hasil tangkapan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

106 61 Produksi Prod Aktual Prod Lestari Tahun Gambar 9 Hubungan antara produksi actual dan produksi lestari perikanan di Kota Ternate Dengan menggunakan persamaan ini dapat diduga produksi lestari dengan metode Schaefer di Kota Ternate setiap tahunnya. Produksi lestari, produksi aktual dan effort aktual yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Effort, produksi aktual dan produksi lestari perikanan pelagis kecil di Kota Ternate Tahun Effor (trip) Produksi aktual (ton) Produksi lestari Schaefer (ton) Sumber : Hasil olahan Analisis MEY digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan yang diperoleh pada saat produksi maksimal. Apabila penangkapan melebihi MEY maka keuntungan akan semakin berkurang. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan secara berlebihan akan mengakibatkan hilangnya manfaat ekonomi. Jumlah tangkapan pada kondisi MEY sebesar: Y MEY = ,22 ton

107 62 R MEY = 7, rupiah Pada kondisi open access, komponen harga dan biaya operasi penangkapan di perairan Kota Ternate diketahui rata-rata harga (p) = Rp / ton dan rata rata biaya (c) = Rp / trip. Selanjutnya dapat dihitung nilai effort (upaya penangkapan) pada kondisi open access sebesar EOA = 20, 393 trip Y OA = ton Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 18 di bawah ini. Tabel Model CYP Produksi, upaya optimal dan rente ekonomi pada pengelolaan perikanan Kota Ternate Parameter MEY MSY OA Produksi Y (ton) Effort opt E (trip) Rente Ek. π (juta) 7.359E E+10 0 Analisis surplus produksi dengan metode CYP (1992) dilakukan dengan menggunakan data produksi dan effort tahunan selama 8 (delapan) tahun mulai 2003 sampai Rata-rata produksi tahunan dari keempat jenis alat tangkap dominan yang dioperasikan di Kota Ternate adalah ,27 ton, dengan ratarata upaya penangkapan tahunan sebanyak trip. Jumlah trip penangkapan ini telah distandardisasi sesuai dengan fishing power index (FPI) masing-masing alat tangkap. Nilai CPUE (catch per unit effort) menunjukkan besaran produksi per unit upaya penangkapan dalam hal ini adalah trip. CPUE diperoleh dari total produksi dibagi dengan jumlah trip yang dioperasikan. Hasil perhitungan CPUE berdasarkan alat tangkap yang sudah distandarisasi serta produktivitas alat tangkap standar disajikan pada Tabel 19 dan hubungan upaya penangkapan dengan produksi dapat dilihat pada Gambar 11.

108 Tabel 19 Tahun Total Produksi aktual, total effort standart dan produktifitas alat tangkap standart di kota ternate Produksi (ton) Effort (trip)standart CPUE (ton/trip) Sumber : Hasil olahan 63 CPUE (ton/trip) y = x R² = Gambar 10 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE di Kota Ternate Effort (trip) Hasil evaluasi dengan menggunakan data runtun waktu dari tahun 2003 sampai dengan 2010 tentang produksi perikanan dan upaya (effort) yang dipergunakan di perairan Kota Ternate (Laut Maluku), menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah upaya penangkapan standar (trip) dengan CPUE pada perikanan Kota Ternate adalah CPUE = 0, ,027x dengan nilai R 2 = 0,743. Ini artinya, hubungan yang terjadi memiliki nilai intercept sebesar 0,408 dan sudut kemiringan (slope) sebesar 0,292 dengan tingkat hubungan antara peubah tak bebas (dependent variabel) dan peubah bebas (independent variabel) sebesar 74%.

109 64 Pendugaan parameter biologi dengan menggunakan metode CYP diperlukan nilai logaritma CPUE pada waktu t+1 dan logaritma CPUE pada saat t serta jumlah effort pada waktu t dan t+1. Nilai tersebut sesuai dengan persamaan matematis CYP. Dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS), persamaan ini dapat disederhanakan menjadi Y = α + βxi + γx 2. Hasil dari OLS dengan menggunakan Microsoft Excel diperoleh nilai koefisien α = ; koefisien β = ; dan koefisien γ = Tabel berikut menyajikan data rata-rata produksi tahunan dari semua jenis alat tangkap yang dioperasikan di Kota Ternate. Tabel 20 Produksi, Effort, nilai logaritma CPUE pada waktu t+1 dan logaritma CPUE pada saat t serta jumlah Effort pada waktu t dan t+1 perikanan tangkap di kota Ternate Total Total CPUE ln Et + Tahun Produksi Effort ton/trip CPUEt+1 ln CPUEt Et Rata-rata Sumber : data olahan Dari nilai koefisien yang diperoleh tersebut, selanjutnya dihitung untuk memperoleh nilai r, q, dan K. Hasil perhitungan diperoleh tingkat pertumbuhan intristik (r) sebesar , koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar , dan daya dukung lingkungan/perairan (K) adalah ton. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh rata-rata harga ikan per ton (p) adalah Rp dan biaya per trip rata-rata (c) adalah Rp ,00. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Parameter biologi dan ekonomi perikanan Kota Ternate Keterangan Simbol Nilai Nilai keberadaan r Kemampuan tangkap q Daya dukung lingk. K Price (Rp./ton) p Cost (per trip) c

110 Selanjutnya, tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan dilihat dari tiga rezim pengelolaan yaitu maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access. Nilai produksi optimal pada rezim maximum economic yield (MEY) adalah ton per tahun, dimana dapat menghasilkan produksi optimal sebesar ton per tahun yang dihasilkan dari jumlah effort (trip) optimal sebanyak trip. Pada rezim maximum sustainable yield (MSY), diperoleh biomass sebesar ,30 ton per tahun, produksi sebesar ,09 ton per tahun, dan upaya optimal sebanyak trip. Pada rezim open access (OA), diperoleh biomass sebesar 5.491,05 ton per tahun, produksi sebesar 5.357,96 ton per tahun, dan upaya optimal sebanyak ,03 trip. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 22 berikut. Tabel 22 Tingkat biomass, produksi, upaya optimal dan rente ekonomi perikanan pelagis kecil dari berbagai rezim pengelolaan di kota Ternate Parameter MEY MSY OA Biomass x (ton) Produksi H ton Effort opt E* (trip) Rente Ek. π (juta) Sumber: Hasil olahan 4.3 Faktor-Faktor Produksi 4.3.1Alat Tangkap Pole and Line Pada umumnya produktifitas dari suatu unit penangkapan merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi. Menganalisis aspek teknik pole and line (huhate) di Kota Ternate dapat dipresentasikan dengan persamaan Y = b 0 + b 1 X 1 + b2x b n x n. Berdasarkan analisis linear berganda dengan menggunakan alat tangkap pole and line (huhate) yang berpengaruh terhadap output hasil tangkapan ikan cakalang di kota Ternate adalah BBM (X 3 ), umpan hidup (X 4 ) dan ukuran kapal (X 6 ). Dari hasil observasi di lapangan didapatkan data faktorfaktor teknis produksi yang terdiri dari ABK (X 1 ) dengan satuan orang, jumlah hari penangkapan dengan satuan trip penangkapan (X 2 ), BBM (X 3 ) dengan satuan liter/tahun, jumlah umpan hidup (X 4 ) dengan satuan ember/trip, jumlah umur kapal (X 5 ) dengan satuan tahun serta ukuran kapal (X 6 ) dengan satuan GT. 65

111 66 Hasil analisis regresi menunjukkan terjadinya hubungan antara faktorfaktor teknis dengan hasil tangkapan pole and line (huhate) dengan persamaan sebagai berikut: Dari hasil analisis regresi menunjukkan korelasi antara beberapa variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), dimana ABK (X 1 ), jumlah hari melaut (X 2 ) serta umur kapal (X 5 ) saling berkorelasi sehingga tidak dimasukkan lagi dalam model persamaan untuk melihat hasil lanjut. Gambaran ini menunjukkan adanya hubungan multikolienaritas terhadap faktor teknis produksi lainnya. Uji lanjut regresi kemudian didapatkan model persamaan sebagai berikut: Hasil analisis menggunakan uji statistik dengan uji F didapatkan nilai F hitung > F tabel ( > 2.77), ini berarti secara keseluruhan faktor-faktor teknis produksi yang digunakan yang meliputi jumlah bahan bakar (X 3 ), jumlah umpan hidup (X 4 ) dan Ukuran kapal (X 6 ) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat kepercayaan 95 %. Koefisien determinasi (R 2 ) untuk model persamaan pada tabel summary link output sebesar 0,96%. Ini menunjukkan jumlah bahan bakar (X 3 ), jumlah umpan hidup (X 4 ) dan ukuran kapal (X 6 ) mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan model produksi bagi alat tangkap pole and line (huhate). Jumlah bahan bakar (X 3 ) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan sebesar mengartikan setiap penambahan satuan jumlah bahan bakar (liter) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Hal in menunjukkan jumlah bahan bakar termasuk faktor produksi yang harus dipertimbangkan dalam jangkauan lokasi daerah penangkapan dimana kapal akan mengejar gerombolan ikan pada daerah penangkapan yang lebih luas selain rumpon. Hasil analisis faktor produksi lainnya menunjukkan umpan hidup sangat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan dan menunjukkan korelasi positif. Semakin banyak jumlah umpan yang digunakan maka akan mendapatkan hasil

112 67 tangkapan yang semakin besar. Hal ini disebabkan karena umpan merupakan faktor yang sangat penting dalam perikanan cakalang. Ketersediaan umpan dapat menghambat atau memperlancar operasi penangkapan yang ada karena aktifitas operasi penangkapan tidak dapat dilakukan apabila ketersediaan umpan hidup tidak cukup. Fungsi umpan hidup digunakan untuk menarik ikan cakalang agar berkumpul didekat kapal sehingga mempermudah proses pemancingan. Gambar 8 menjelaskan hubungan umpan dengan hasil tangkapan menunjukkan estimasi umpan hidup dalam meperoleh hasil tangkapan. Ukuran kapal (X 6 ) juga sangat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Dari data lapangan didapatkan hampir semua kapal penangkap pole and line (huhate) berkisar 5 sampai 20 GT. Hanya beberapa buah kapal saja yang berkapasitas GT. Dengan kapasitas kapal membuat daya gerak dalam ruang semakin sempit juga jangkauan yang tidak boleh melebihi pembagian luas wilayah operasional. Contoh terbatasnya bak penyimpan umpan serta palka untuk menyimpan hasil tangkapan membuat kadang-kadang ikan lainnya tidak tersimpan secara baik. Dengan ukuran kapal yang semakin besar membuat wilayah jangkauan bisa semakin jauh untuk mendapatkan hasil yang semakin banyak. Persamaan produksi yang diperoleh menunjukkan pengaruh antara faktorfaktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan. Semua koefisien regresi dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa persamaan tersebut bernilai positif. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan setiap faktor produksi tidak selalu harus berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini mengingat ada pembatas untuk setiap faktor teknis produksi. Misalnya faktor teknis jumlah bahan bakar, dimana bahan bakar yang dapat dibawa oleh unit penangkapan ikan dibatasi oleh kapasitas tanki atau wadah bahan bakar. Kapasitas tersebut sangat ditentukan oleh ketersediaan ruang di kapal.

113 Fitted Line Plot TH BBM Gambar 11Hubungan antara jumlah bahan bakar (BBM) dengan hasil tangkapan 800 Fitted Line Plot TH UMPAN Gambar 12 Hubungan antara jumlah umpan hidup dengan hasil tangkapan

114 Fitted Line Plot TH GT Gambar 13 Hubungan antara kapasitas ukuran kapal dengan hasil tangkapan Grafik histogram terlihat adanya penyebaran data yang terdistribusi secara normal. Hal yang sama juga tergambar dari grafik p-p Plot. Gambar 14 Data terdistribusi secara normal dengan menggunakan alat tangkap pole and line (huhate).

115 Alat Tangkap Purse Seine Faktor-faktor produksi merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input dari hasil penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin yang berpengaruh terhadap output (hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan produksi). Menganalisis aspek teknik pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate dapat dipresentasikan dengan persamaan Y = b 0 + b 1 X 1 + b2x b n x n. Faktor teknis produksi yang digunakan meliputi; jumlah tenaga kerja (X 1 ) dengan satuan orang, jumlah bahan bakar (X 2 ) dengan satuan liter/tahun, panjang pukat cincin (X 3 ) dengan satuan meter, tinggi pukat cincin (X 4 ) dengan satuan meter, jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X 5 ) dengan satuan hari dan ukuran kapal (X 6 ) dengan satuan GT. Serta jumlah hasil tangkapan ikan (Y) yang dinyatakan dalam (ton/tahun). Hasil analisis regresi menunjukkan terjadinya hubungan antara faktorfaktor teknis dengan hasil tangkapan pukat cincin dengan persamaan sebagai berikut: Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan korelasi yang erat antara faktor teknis produksi (X 4 ) yaitu tinggi jaring dan (X 6 ) yaitu ukuran kapal dengan nilai Selain faktor produksi tinggi jarring (X4) berkorelasi terhadap ukuran kapal (X 6 ), ternyata ukuran kapal (X 6 ) juga berkorelasi dengan ABK (X 1 ), BBM (X 2 ), panjang jarring (X 3 ) serta jumlah hari penangkapan (X 5 ). Sehingga dalam model persamaan untuk melihat hasil tangkapan, cukup diwakili oleh ke empat faktor produksi yang disebutkan diatas. Gambaran ini menunjukkan adanya hubungan multikolinieritas terhadap faktor teknis produksi lainnya. Pada analisis regresi lanjut diperoleh persamaan hubungan antara faktorfaktor teknis dengan hasil tangkapan pukat cincin dengan persamaan sebagai berikut : Hasil analisa menggunakan uji statistik dengan uji F diperoleh nilai F hitung > F tabel ( > 2.64), hal ini berarti bahwa secara keseluruhan faktor-faktor

116 71 teknis produksi yang digunakan yang meliputi jumlah tenaga kerja (X 1 ), jumlah bahan bakar (X 2 ), Panjang jarring (X 3 ), dan jumlah hari penangkapan (X 5 ) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat kepercayaan 95%. Pada tabel Model Summary menunjukkan faktor-faktor teknis produksi atau variabel bebas dapat digunakan sebagai parameter untuk menjelaskan persamaan regresi tersebut. Nilai R menunjukkan seberapa baik faktor-faktor produksi memprediksikan variabel terikat. Hal ini semakin diperjelas dengan nilai R 2 yaitu 90.2% dimana keragaman hasil tangkapan (Y) dapat dijelaskan oleh ke empat variabel bebas. Sementara nilai Durbin-Watson didapatkan angka dimana nilai Durbin-Watson berada pada rentang -2 sampai 2. Ini menunjukkan bahwa asumsi tidak adanya autokorelasi terpenuhi. Tabel Anova menunjukkan besarnya angka probabilitas atau terjadinya signifikansi, dimana sejumlah faktor-faktor produksi atau variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Nilai ini dapat dilihat pada kolom sig dimana jika sig < 0.05, maka model analisis dianggap layak. Nilai konstan b sebesar pada tabel Coefficient menjelaskan variabel terikat (Y) akan berubah jika variabel variabel bebas (X) diubah 1 unit. Atau memberi pengertian dimana nilai Y pada saat semua peubah X = 0. Sig pada kolom ini menjelaskan tentang signifikansi hubungan antar variabel-variabel bebas (X) dengan variabel terikat. Sementara nilai VIF menginformasikan apakah terjadi korelasi antar variabel bebas atau tidak. Nilai VIF > 2 menunjukkan adanya korelasi antar variabel bebas (X). 240 Fitted Line Plot HT ABK Gambar 15 Hubungan antara kapasitas ukuran kapal dengan hasil tangkapan

117 Fitted Line Plot HT BBM Gambar 16 Hubungan antara jumlah bahan bakar (BBM) dengan hasil tangkapan 240 Fitted Line Plot HT PJ Gambar 17 Hubungan antara panjang purse seine (pajeko) dengan hasil tangkapan

118 Fitted Line Plot HT HP Gambar 18 Hubungan antara hari operasi penangkapan dengan hasil tangkapan Dari hasil analisa didapatkan gambaran hubungan masing-masing faktor produksi (X) dengan hasil tangkapan (Y). Tabel-tabel diatas menunjukkan faktor-faktor produksi atau variabel bebas (X) yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat atau hasil tangkapan (Y) adalah jumlah tenaga kerja (X 1 ), jumlah bahan bakar (X 2 ), Panjang pukat cincin (X 3 ) dan jumlah hari penangkapan. Koefisien regresi jumlah tenaga kerja (X1) sebesar mengartikan searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satuan tenaga kerja (orang) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Sementara nilai sig dimana < 0.05 yang menginterpretasikan jumlah tenaga kerja berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena proses penurunan (setting) maupun penarikan (hauling) pukat cincin pada saat pengoperasian tidak menggunakan alat bantu tetapi mengandalkan tenaga manusia. Tenaga manusia bukan hanya digunakan pada saat menurunkan atau menarik jarring saja, tetapi setelah proses setting dan hauling pukat cincin selesai dilakukan, tenaga mereka juga digunakan untuk menaikkan atau mengangkat hasil tangkapan untuk diletakkan pada kapal jhonson (slep).

119 74 Koefisien regresi bahan bakar minyak (X 2 ) sebesar mengartikan searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, dimana setiap penambahan satu satuan jumlah bahan bakar (liter) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Hal ini menunjukkan dengan penambahan bahan bakar minyak dalam melakukan pengoperasian penangkapan bisa dilakukan pada daerah fishing gorund yang lebih jauh. Dengan demikian hasil tangkapan akan semakin banyak mengingat wilayah fishing ground pada kedalaman tertentu akan semakin baik. Nilai sig < 0.05 yang menginterpretasikan adanya perbedaan nyata antara jumlah bahan bakar terhadap hasil tangkapan. Koefisien panjang pukat cincin (X Koefisien jumlah hari penangkapan ikan (X 3 ) sebesar mengartikan searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, dimana setiap penambahan satu satuan panjang pukat cincin (meter) dalam keadaan cateris peribus. Nilai sig menginterpretasikan adanya perbedaan nyata antara panjang pukat cincin terhadap hasil tangkapan. Hal ini diduga jika semakin panjang pukat cincin yang digunakan maka semakin besar pula garis tengah lingkaran pukat cincin yang terbentuk. Hal ini menyebabkan semakin besar peluang gerombolan ikan yang tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan ikan dengan dinding pukat cincin dapat semakin besar, sehingga gerombolan ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap. searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satu satuan hari penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan dalam keadaan cateris peribus. Nilai sig menginterpretasikan jumlah hari tangkapan berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah hari penangkapan maka peluang untuk mendapatkan jumlah hasil tangkapan akan lebih banyak. Pada grafik histogram terlihat adanya penyebaran data yang terdistribusi secara normal. Grafik histogram digambarkan menyerupai lonceng terbalik, walaupun ada beberapa data yang berada di luar garis lonceng. 5 ) sebesar yang berarti

120 75 Gambar 19 Data terdistribusi secara normal dengan menggunakanalat tangkap purse seine (huhate) 4.4 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan unit usaha perikanan tangkap dengan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan menggunakan teknologi penangkapan ikan yang ada akan memberikan solusi optimum, perlu didukung dengan analisis kelayakan usaha. Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk melihat manfaat secara finansial maupun ekonomi apabila kegiatan masing-masing unit usaha tersebut dilaksanakan sehingga investasi, biaya operasional yang digunakan akan memberikan manfaat maksimal terhadap pendapatan nelayan serta pengusaha perikanan. Berdasarkan hasil analisis finansial yang dilakukan terhadap nelayan pole and line dan purse seine dengan prioritas hasil tangkapan Ikan Cakalang diperoleh hasil rata-rata 500 kg pada musim puncak (bulan April) dengan jumlah trip penangkapan 14 trip. Harga jual Ikan yang diperoleh rata-rata Rp 8000/ kg. Berdasarkan hasil analisis, total penerimaan dalam satu tahun adalah sebesar Rp , untuk usaha pole and line dan Rp untuk purse seine. Nilai investasi dalam usaha penangkapan ikan dengan menggunakan pole and line ini adalah sebesar Rp dan Rp untuk puse seine. Biaya yang dikeluarkan berupa biaya tetap yaitu penyusutan alat dan biaya tidak tetap

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies cakalang yang

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE

ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE ANALISIS POTENSI PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE Aisyah Bafagih* *Staf Pengajar THP UMMU-Ternate, email :aisyahbafagih2@yahoo.com ABSTRAK Potensi sumberdaya perikanan tangkap di kota ternate merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi Klasifikasi ikan Tembang (Gambar 1) menurut www.fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 159-168 ISSN 2087-4871 POTENSI LESTARI IKAN LAYANG (Decapterus spp) BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(1): 1-8, Juni 2015 ISSN 2337-4306 Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Catch per unit effort

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA

STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA STUDI BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN GABION KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA BIOECONOMY STUDY OF MACKEREL (Rastrelliger spp) IN BELAWAN GABION OCEAN

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO 1 ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO SUDARMIN PARENRENGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2

Lebih terperinci

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA.

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA. @2003 Alfret Luasunaung Posted 10 December 2003 Makalah falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN EDDY SOESANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Nadia Adlina 1, *, Herry Boesono 2, Aristi Dian Purnama Fitri 2 1

Lebih terperinci

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(Edisi Khusus): 1-5, Januari 2015 ISSN 2337-4306 Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Distribution of caught trevally

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN BEBERAPA JENIS IKAN PELAGIS EKONOMIS PENTING DI PROVINSI MALUKU UTARA IMRAN TAERAN

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN BEBERAPA JENIS IKAN PELAGIS EKONOMIS PENTING DI PROVINSI MALUKU UTARA IMRAN TAERAN TINGKAT PEMANAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN BEBERAPA JENIS IKAN PELAGIS EKONOMIS PENTING DI PROVINSI MALUKU UTARA IMRAN TAERAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO PENDUGAAN KELOMPOK UMUR DAN OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 1, Juni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA FISHING FLEET PRODUCTIVITY AND POTENTIAL PRODUCTION OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA ABSTRAK Purwanto Anggota Komisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci