2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi 1997). Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional. Sumberdaya perikanan laut termasuk pada kriteria sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun demikian pemanfaatan sumberdaya ini harus tetap rasional untuk menjaga kesinambungan produksi dan kelestarian sumbernya. Sumberdaya hayati laut yang telah dimanfaatkan oleh perikanan meliputi ikan (Pisces), kelompok Udang (Crustacea), binatang berkulit lemak (molusca) dan rumput laut. Sebagai suatu negara yang terletak didaerah tropis, Indonesia tergolong dalam perikanan multi species. Sumberdaya perikanan dikelompokkan menjadi kelompok sumberdaya perikanan Demersal dan Pelagis (Dahuri et al. 2001). Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum optimal, dimana tingkat pemanfaatan untuk ikan-ikan pelagis kecil baru sekitar 35 %, ikan demersal baru dimanfaatkan 27% sedangkan untuk Cakalang sekitar 51% dan Tuna 54%. Tingkat pemanfaatan Udang dikategorikan cukup tinggi yaitu sekitar 79% yang telah dimanfaatkan, sementara untuk jenis sumberdaya Cumi dan Sotong baru sekitar 37% yang telah dimanfaatkan (Ayodhyoa et al. 1995). FAO (1997) melaporkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (small pelagic) yaitu sebesar ton atau 18,30 % dan perikanan Skipjack sebesar ton (5,22 %). Tabel 1 menyajikan estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut khususnya pelagis besar di kawasan perairan Indonesia.

2 6 Tabel 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Indonesia Wilayah Potensi Produksi Pemanfaatan (10 3 ton/tahun) 3 (10 ton/tahun) % Selat Malaka 27,67 35,27 >001 Laut Cina Selatan 66,08 35,16 53,21 Laut Jawa ,82 >001 Selat Makassar & Laut Flores 193,6 85,1 43,96 Laut Banda 104,12 29,1 27,95 Laut Seram & Teluk Tomini 106,57 37,46 35,17 Laut Sulawesi & Samudera Pasifik 175,26 153,43 87,54 Laut Arafura 50,86 34,55 67,93 Samudera Hindia 386,26 188,28 48,74 Perairan Indonesia Sumber: Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia tahun Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia yaitu Katsuwonus pelamis (Waldron & King 1963) diacu in Taeran (2007). Klasifikasi cakalang menurut FAO (1991) adalah sebagai berikut: Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Perciformes Subordo: Scorbroidae Genus: Katsuwonus Species: K. Pelamis Badan memanjang, gelendong dengan penampang melintang bundar. Kepala bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, badan kurang bersisik. Pangkal ekor ramping dengan plat tulang yang kuat. Kepala dan badan bagian atas biru kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan dan sirip-sirip kehitaman. Hidup diperairan pantai dan oseanis, ukurannya dapat mencapai 100 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiawady 2006 in Taeran 2007). Khususnya di kawasan timur Indonesia, ikan Cakalang tersebar di wilayah perairan terutama laut Maluku, Laut Banda, laut Seram dan laut Sulawesi. Perairan tersebut termasuk daerah migrasi kelompok ikan di Samudera Pasifik bagian selatan,

3 7 khusus jenis ikan cakalang. Populasi cakalang yang dijumpai memasuki perairan timur Indonesia terutama mengikuti arus. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu perairan (Uktolseja et al. 1991). Selanjutnya Nontji (2002), menyatakan bahwa faktor pembatas yang penting bagi keberadaan ikan cakalang di suatu perairan adalah suhu dan salinitas. Telah diketahui bahwa cakalang hidup di perairan lapisan permukaan dengan suhu C dan salinitas Lokasi penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ditentukan oleh musim yang berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara umum dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Musim dengan hasil lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan musim dengan hasil penangkapan lebih sedikit disebut musim paceklik (Nikijuluw 2002). 2) Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Secara umum Tongkol terdiri dari 2 genus dan 5 spesies dan diklasifikasikan sebagai berikut (Collete & Nauen 1983 in Taeran 2007). Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Subordo: Scombroidea Famili: Scombridae Genus: Euthynnus auxis Species:E.Affinis; E.Alletteratus; E.Lineatus; A.thazard; A.rochei Ciri morfologi tongkol (Euthynnus affinis) adalah badan memanjang dan penampang melintang agak bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip tidak melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis bergelombang menyilang kehitaman. Sirip perut dan dubur keputihan. Sirip ekor, sirip dada dan sirip punggung kehitaman. Hidup diperairan pantai dan oseanis, dapat

4 8 mencapai 100 cm, tersebar luas di bagian tengah Indo Pasifik (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). Sedangkan ciri morfologi tongkol (Auxis thazard) adalah badan memanjang dengan penampang melintang bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai setelah mata hampir lurus, sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan bagian atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis menyilang kehitaman. Sirip punggung, dada, perut dan dubur keputihan. Sirip ekor kehitaman. Hidup di perairan pantai dan oseanis, dapat mencapai 58 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). 3) Ikan Layang (Decapterus sp) Lima jenis Layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies ikan layang hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup dilaut dalam dan tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji 2002). Ikan Layang tergolong ikan stenohaline (diatas 30 ) yang suka pada perairan dengan salinitas Sebagai ikan pelagis yang suka berkumpul dan bergerombol, pemakan zooplankton serta senang pada perairan yang jernih, banyak tertangkap pada perairan sejauh mil dari pantai (Hardenberg 1937 in Taeran 2007). Ciri morfologi Layang (Decapterus russelli) adalah badan memanjang, panjang kepala lebih besar daripada tinggi badan, panjang moncong lebih besar daripada garis tanda mata, maxilla bagian belakang tidak mencapai bagian depan mata, garis rusuk yang lurus dengan sisik tebal. Kepala dan badan bagian atas biru tua, bagian bawah putih keperakan, sirip punggung dan sirip dubur sedikit kekuningan, sirip perut

5 9 keputihan. Hidup diperairan pantai dengan ukuran dapat mencapai 27 cm (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). Ciri dari Decapterus macrosoma adalah badan memanjang seperti cerutu. Bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian bawah berwarna putih perak, sirip-siripnya kuning pucat, satu totol hitam pada bagian atas penutup insang dan pangkal sirip dada. Ukuran panjangnya dapat mencapai 40 cm). Klasifikasi ikan layang menurut Direktorat Jenderal Perikanan 1979 adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007: Filum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Subordo: Percoidea Famili: Carangidae Genus: Decapterus Species: D.russelli; D.kurroides; D.lajang; D.macrosoma; D.maruadsi. 4) Ikan Kembung (Rastrelliger sp) Ikan Kembung dibagi atas dua jenis yakni kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastelliger brachysoma). Kembung lelaki mempunyai tubuh yang lebih langsing, dan biasanya terdapat diperairan yang agak jauh dari pantai. Kembung perempuan sebaliknya mempunyai tubuh yang lebih lebar dan lebih pendek, dijumpai di perairan dekat pantai. Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, badan tinggi dan agak pipih, kepala bagian atas hingga mata hampir lurus sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Panjang kepala sama atau lebih kecil daripada tinggi badan. Sirip dada pendek, kepala dan badan bagian atas kehijauan, bagian bawah putih keperakan. Pada kembung perempuan terdapat bercak-bercak di badan yang membentuk garis kehitaman memanjang. Sedangkan Kembung lelaki dibadan bagian atas terdapat strip kehitaman memanjang. Klasifikasi ikan Kembung adalah sebagai berikut (Paristiwady 2006 in Taeran 2007): Filum: Chordata Kelas: Pisces

6 10 Ordo: Perchomorphi Subordo: Scombroideae Famili: Scombridae Genus: Rastrelliger Species: R.branchysoma; R.kanagurta Ikan Kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32, sedangkan kembung perempuan (Rastreliger branchysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 2002). Penyebaran utama ikan kembung (Rastreliger spp) adalah Kalimantan di perairan barat, timur dan selatan serta Malaka, sedangkan daerah penyebarannya mulai dari pulau Sumatera bagian barat dan timur, Pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian utara dan selatan, Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007). Jenis ikan ini biasanya ditangkap menggunakan sero, jala lompa dan sejenisnya, kadang-kadang masuk trawl, jaring insang lingkar dan pukat cincin. 5) Ikan Julung-Julung (Hemirchamphus sp) Bentuk badan memanjang dengan rahang atas pendek membentuk paruh sedangkan rahang bawah panjang dan membentuk segitiga. Sirip-sirip tidak mempunyai jari-jari keras. Sirip punggung dan sirip dubur terletak jauh dibelakang, sirip dada pendek. Garis rusuk terletak dibadan bagian bawah (Paristiwady 2006 in Taeran 2007). Daerah penyebaran terdapat diperairan pantai,lepas pantai, terutama Indonesia timur (laut Flores, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda) dan perairan yang berbatasan dengan Samudera Indonesia. Tergolong ikan pelagis lapisan atas. Penangkapan dengan soma antoni, jala oras, jala buang, soma giob (Direktorat Jenderal perikanan 1979 in Taeran 2007) Model Bioekonomi Perikanan Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Pada perikanan terbuka (open access) dimana terdapat kebebasan bagi nelayan untuk ikut serta menangkap ikan sehingga terdapat kecenderungan pada nelayan untuk

7 11 menangkap sebanyak mungkin sebelum didahului oleh nelayan lainnya. Kecenderungan ini menyebabkan usaha tidak lagi didasarkan pada efisiensi ekonomi. Oleh karena itu pengembangan upaya penangkapan ikan terus dilakukan hingga pendapatan nelayan sama dengan biaya penangkapan ikan, atau harga ikan setara dengan rata-rata biaya penangkapannya. Dengan kata lain TR (penerimaan total) sama dengan TC (biaya total). Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan bionomic dalam kondisi akses terbuka dimana nelayan atau pelaku perikanan tidak mendapatkan keuntungan (Soemokaryo, 2001). Pada kondisi akses terbuka (tidak ada pengaturan) setiap tingkat effort E > E O akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari penerimaan, sehingga menyebabkan effort berkurang sampai kembali ke titik E = E O. Sebaliknya, jika terjadi kondisi dimana E < E O, penerimaan akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan entry pada industry perikanan. Entry ini akan terus terjadi sampai manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol (Fauzi dan Anna, 2005) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan hal yang sangat penting dalam manajemen penangkapan. Menurut Suyedi (2001), hasil tangkapan per unit upaya (CpUE) adalah ; 1) suatu indeks kelimpahan suatu stok ikan yang dikaitkan dengan tingkat eksploitasinya, 2) CpUE dan jumlah penangkapan sangat berguna untuk menentukan apakah suatu eksploitasi sumberdaya perikanan sudah dalam keadaan penangkapan yang berlebih atau dalam taraf under exploited. Perkembangan fishing ground menyebabkan sumberdaya ikan semakin menurun baik alat tangkap yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil. Dimana kapasitas dari masing-masing alat tangkap berbeda dalam operasi penangkapan ikan. Seperti Catch per Unit Effort (CpUE) dari alat tangkap pole and line, purse seine dan gillnet serta alat tangkap lainnya berbeda dengan kapasitasnya. Tetapi setiap ikan dapat didominasi penangkapannya oleh alat tangkap tertentu, sehingga belum tentu alat tangkap yang besar kapasitasnya akan mendominasi hasil tangkap dari alat tangkap lain. Dari hal tersebut maka sangat penting dilakukan suatu standarisasi alat tangkap ikan pelagis bila dilihat dari CpUE masing-masing alat tangkap. Standarisasi alat tangkap adalah untuk menyatukan suatu effort kedalam bentuk satu satuan yang dianggap standart. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan satuan effort yang seragam sebelum dilakukan pendugaan kondisi MSY (Maximum Sustainable

8 12 Yield), yaitu suatu kondisi dimana stok ikan dipertahankan pada kondisi keseimbangan (Setyohadi, 1995) Nilai Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan antar suatu wilayah. Perbedaan ini erat kaitannya dengan kondisi dan potensi wilayah tersebut dilihat dari segi biogeofisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta kelembagaan dan sekaligus mengindikasikan adanya keterbatasan yang dihadapi oleh setiap wilayah dalam upaya memacu pembangunannya. Perbedaan ini menuntut adanya strategi pengelolaan sumberdaya dalam pembangunan di setiap wilayah yang bersifat spesifik (Kusnadi 2002). Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berbasis pada potensi sumberdaya domestik, terutama sektor-sektor primer, seperti perikanan serta sektorsektor sekunder dan tersier sebagai pendukung. Artinya masing-masing wilayah memiliki berbagai fungsi sesuai potensi yang dimiliki. Sehingga pengembangan usaha tersebut yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut dapat tumbuh dan berkembang mendukung aktifitas dan perkembangan ekonomi wilayah. Keunggulan tersebut meliputi produksi, produktifitas maupun luasan produksi, pemasaran, penduduk, tenaga kerja, dan akses terhadap fasilitas infrastruktur. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah digunakan dan bisa dijadikan persepsi bersama dalam penilaian sumberdaya ekonomi perikanan adalah dengan memberikan harga (price tag) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi dari sumberdaya alam. Secara umum nilai ekonomi merupakan pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya. Menurut Cuningham, nilai ekonomi produk perikanan adalah melalui pembelian dan penjualan dipasar dengan harga sebagai ukuran nilai per unit. Jika harga ikan konstan, maka permintaan akan mengalami kenaikan. Sedangkan apabila harga mengalami penurunan, maka produk perikanan cenderung dialihkan ke wilayah yang mempunyai kemampuan membeli yang besar (Fauzi 2005). Sebagaimana dalam ekonomi produksi, pengelolaan sumberdaya perikanan membutuhkan faktor produksi, seperti tenaga kerja, kapal, peralatan tangkap dan sebagainya.

9 13 Beberapa usaha di atas dimaksudkan untuk peningkatan produktifitas sumberdaya perikanan serta mencapai keuntungan ekonomi yang maksimum. Dengan demikian perlu pengembangan melalui perluasan usaha tangkapan, perbaikan teknologi penanganan pasca panen, pemasaran dan transportasi, hasil produksi perikanan dan pembangunan infrastruktur, seperti tempat pendaratan ikan (landing place), tempat pelelangan ikan (TPI), serta fasilitas pendingin dan lain-lainnya. Sehingga diharapkan secara kumulatif, pengembangan usaha tersebut akan menciptakan berbagai peluang serta spasial multiplier yang lebih besar dalam pembangunan dan pengembangan wilayah seperti peningkatan produk lokal dan permintaan lokal, penyerapan tenaga kerja, serta aktifitas sektor jasa baik formal maupun informal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang unik yaitu open acces sehingga dalam pemanfaatannya mengalami overfishing. Sumberdaya laut tersebut meliputi berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, moluska, rumput laut dan sebagainya. Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut dilakukan eksploitasi dengan penangkapan. Untuk daerah-daerah tertentu tingkat eksploitasinya telah melebihi dari sumberdaya yang tersedia (overfishing). Oleh karena itu diperlukan suatu usaha pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan. Dalam Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi: 1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam level maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) 2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan. 3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.

10 14 Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain: 1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan. 2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan. 3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri, sifat dan bentuk kehidupan. 4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industi yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab. Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan: tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu 2. Pengendalian alat tangkap: tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu. Berdasarkan prinsip tersebut maka Purnomo (2002), menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut: 1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi. 2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin. 3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono DHS (2003) dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain: 1) Pengaturan Musim Penangkapan Pendekatam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda, dan baru kemudian menjadi

11 15 ikan dewasa. Bila salah satu siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan. Untuk pengaturan musim penangkapan ikan perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya ikan, serta bagaimana reproduksi. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Kendala yang timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah 1). Belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, 2). Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, 3). Hukum diberlakukan tidak konsisten, 4). Terbatasnya sarana pengawasan. 2) Penutupan Daerah Penangkapan Kebijakan penutupan dilakukan apabila pada daerah tersebut sudah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang biak sehingga populasinya dapat bertambah. Dalam penentuan suatu daerah penangkapan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut meliputi dimana dan kapan terdapatnya ikan serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan untuk penangkapan. Penutupan daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah yang merupakan habitat vital seperti daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery ground). Penutupan daerah ini dimaksudkan agar telur-telur ikan, larva dan ikan yang kecil dapat bertumbuh. Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan ikan, diperlukan regulasi dan pengawasan yang ketat oleh pihak terkait seperti dinas perikanan dan kelautan setempat bekerjasama dengan Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara (POLAIRUD) dan Stakeholders (nelayan). 3) Selektifitas Alat Tangkap

12 16 Kebijakanan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan stok ikan berdasarkan struktur umur dan dan ukuran ikan. Dengan demikian ikan yang tertangkap telah mencapai ukuran yang sesuai. Sementara ikan-ikan yang kecil tidak tertangkap sehingga memberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh. Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap, adalah: 1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mezh size) pada alat tangkap gill net, purse seine dan pancing lingkar seperti pukat dan lain-lain. 2) Penentuan ukuran mata pancing pada long line Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap, peran nelayan sangat penting. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multigears) yang beroperasi di Indonesia. Kendala lain dalam kebijakan ini yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk modifikasi alat tangkap yang sudah ada di nelayan. Sehingga perlunya peran masyarakat untuk memodifikasi alat sesuai dengan lokasinya dengan aturan yang ada. 4) Pelarangan Alat Tangkap Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan dan yang paling buruk yaitu punahnya ikan. Seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potas, cyanida. Seringkali pelanggaran terhadap peraturan penggunaan alat atau bahan berbahaya tidak ditindak sesuai aturan yang ada sehingga nelayan tersebut tidak jera. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan tersebut tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung dengan penerapan aturan yang berlaku dan harus konsisten. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap juga perlu adanya keterlibatan secara aktif dari nelayan dan masyarakat pesisir sebagai pengawas. Pengawasan yang dilakukan oleh nelayan dan masyarakat pesisir dapat membantu aparat dalam menindak oknum yang

13 17 melakukan penangkapan dengan alat yang membahayakan dan merusak ekosistem sumberdaya perikanan. 5) Kuota Penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowble Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan di Perairan Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, maka nilai TAC harus dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY). Implementasi dari kuota dengan TAC adalah: 1) Penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atau suatu jenis ikan diperairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai usaha penangkapan mencapai total TAC yang ditetapkan maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama. 2) Membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. 3) Membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui. 6) Pengendalian Upaya Penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada maupun jumlah trip penangkapan. Untuk menentukan batas upaya penangkapan perlu adanya data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya penangkapan di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif yaitu dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah 2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Geografis dan Administrasi Pemerintahan Wilayah Kota Administratif Ternate dengan luas wilayah 5.797,24 km 2 terdiri dari 5.547,55 km 2 perairan dan 249,79 km 2 daratan, yang mencakup delapan pulau yaitu Pulau Ternate (110,7 km 2 ), Pulau Moti (24,6 km 2 ), Pulau Hiri (12,4 km 2 ), Pulau Mayau

14 18 (78,4 km 2 ), Pulau Tifure (22,1 km 2 ), Pulau Maka (0,5 km 2 ), Pulau Mano (0,05 km 2 ) dan Pulau Gurida (0,05 km 2 ), tiga pulau terakhir disebut Gura Mangofa atau pulau tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut terletak dalam lingkup yang bergerak melalui kepulauan Filiphina, Sangihe Talaud dan Minahasa dan dilengkapi dengan lengkung Sulawesi dan Pulau Sangihe. Secara geografis, Kota Ternate berada diantara 3 0 Lintang Utara sampai 3 0 Lintang Selatan dan sampai Bujur Timur berbatasan dengan (BPS Kota Ternate ) : * Sebelah Utara dengan Laut Maluku. * Sebelah Selatan dengan Laut Maluku. * Sebelah Timur dengan Selat Halmahera, dan * Sebelah Barat dengan Laut Maluku. Sejak tahun 2001, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah serta dengan adanya perkembangan dan kemajuan daerah Kota Ternate pada umumnya dan juga adanya tuntutan aspirasi masyarakat serta untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, maka Kota Ternate telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan yang terdiri atas 77 kelurahan dimana 79,22% atau 61 kelurahan berada dikawasan pesisir/pantai, diantaranya: Kecamatan Ternate Utara : 17 Kelurahan Kecamatan Ternate Selatan : 12 Kelurahan Kecamatan Ternate Tengah : 14 Kelurahan Kecamatan Pulau Ternate : 13 Kelurahan Kecamatan Pulau Moti : 6 Kelurahan Kecamatan Pulau Batang Dua : 6 Kelurahan Kecamatan Pulau Hiri : 6 Kelurahan Tabel 2 Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta Luas wilayah per kecamatan di KotaTernate. No Kecamatan Desa Pantai Desa bukan Pantai Luas km 2 1 Pulau Ternate ,58 2 Ternate Selatan ,44 3 Ternate Utara ,16 4 Ternate Tengah ,52 5 Pulau Moti 6-24,6 6 Pulau Batang Dua 5-101,55 7 Pulau Hiri 3-12,4 Jumlah ,75 Sumber : BPS Kota Ternate 2009.

15 19 Pembagian wilayah Kota Ternate berdasarkan topografi cukup bervariasi namun dalam berbagai publikasi dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori yaitu kategori rendah yakni ketinggian dari m dimana dari kategori ini sekitar 67 kelurahan atau 83%, kategori sedang dengan ketinggian m berjumlah 6 kelurahan atau 10% sedangkan yang termasuk ketegori tinggi dengan ketinggian diatas 700 m berjumlah 4 kelurahan atau 7%. Sedangkan musim di wilayah Kota Ternate beriklim tropis sehingga keadaan iklimnya sangat dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai ciri indikasi umum iklim tropis. Di wilayah ini juga mengenal dua musim yaitu musim utara-barat dan musim timur-selatan yang biasanya diselingi dengan dua kali masa pancaroba setiap tahun. Melalui stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate, selama tahun 2008 diperoleh informasi tentang klimatologi yaitu temperatur rata-rata 26,70 0 C, kelembaban nisbi rata-rata 84%, tingkat penyinaran 54% dan kecepatan angin rata-rata 8,6 km/jam dengan kecepatan maksimum mutlak rata-rata 33,2 km/jam Penduduk dan Ketenagakerjaan Penduduk di Kota Ternate berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2009 sebanyak jiwa, yang terdiri dari Kecamatan Pulau Ternate jiwa atau 8,99%, Kecamatan Ternate Selatan jiwa atau 33,93%, Kecamatan Ternate Utara sebanyak jiwa atau 23,27%, Kecamatan Ternate Tengah sebanyak jiwa atau 29.65%, Kecamatan Pulau Batang Dua sebanyak jiwa atau 1,59%,Kecamatan Pulau Moti jiwa atau 4,30% dan Kecamatan Pulau Hiri sebanyak jiwa atau 28%. Kota Ternate yang memiliki luas wilayah 250,85 km 2 mempunyai kepadatan penduduk rata-rata 484 jiwa/km 2. Kecamatan Ternate Selatan merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan keenam kecamatan lainnya yakni sekitar jiwa/km 2 sementara keenam kecamatan masing-masing; Ternate Utara km 2, Pulau Ternate 2,915 jiwa/km 2, Pulau Moti 225 jiwa/km 2, Pulau Batang Dua 190 km 2, dan Pulau Hiri 243 km 2 (BPS Kota Ternate 2009). Rasio jenis kelamin penduduk Kota Ternate adalah 103. Hal ini memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk lelaki di Kota Ternate lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan. Bila dilihat per kecamatan, Pulau Moti dan Pulau Batang Dua memiliki komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan dengan rasio sebesar 99,7 dan 99,6. Sedangkan hasil registrasi penduduk tahun 2009 di

16 20 Kota Ternate menunjukkan jumlah rumah-tangga sebanyak rumah-tangga dengan rataan anggota rumah-tangga sebanyak lima orang, sedangkan untuk masingmasing kecamatan besarnya bervariasi, antara 3 sampai dengan 6 jiwa per rumah-tangga (BPS Kota Ternate 2009). Tabel 3 Jumlah penduduk, kepadatan, rumahtangga dan rasio jenis kelamin di Kota Ternate menurut kecamatan N Penduduk(%) Rasio Rumah Kepadata Kecamatan Jenis tangga o Lelaki Perempuan n (%) Kelamin (%) 1. Pulau Ternate Ternate Selatan , Ternate Utara , Ternate Tengah , Pulau Moti , P Batang Dua , Total , Sumber : BPS Kota Ternate Dalam Angka, Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Ternate berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2008 sekitar 46,18%. Hal ini mengindikasikan bahwa dari 100 penduduk usia 15 tahun keatas sebanyak 46 orang diantaranya adalah merupakan angkatan kerja. Tabel 4 Persentasi penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan tahun 2008 di Kota Ternate No. Jenis Kegiatan Penduduk(%) Lelaki Perempuan Lk + Pr(%) 1. Angkatan Kerja - Bekerja 70,45 38,93 54,43 - Mencari Kerja 5,41 10,26 7,88 2. Bukan Angkatan Kerja 24,14 50,81 37,69 Jumlah Tenaga Kerja Sumber : BPS Dalam Angka, Tabel 5 memperlihatkan bahwa pada tahun 2009 sektor pertanian termasuk di dalamnya sub sektor perikanan mempunyai jumlah tenaga kerja terbanyak. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini sebanyak jiwa atau 72,54% dengan laju kenaikan sebesar 0,17. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan dan sektor jasa yang masing-masing sebesar jiwa dan jiwa atau 9,50% dan 7,65%. Struktur perekonomian tersebut menggambarkan bahwa penduduk di Kota Ternate sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan meskipun banyak juga yang berpendidikan lebih tinggi berorientasi ke sektor perdagangan, sebagai pegawai

17 dan wirausaha (BPS Kota Ternate 2009). Untuk jelasnya tabel tentang angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha tahun 2008, rinciannya sebagai berikut. Tabel 5 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha di Kota Ternate. No. Sektor Lapangan Kerja Tahun Persentase Tahun Persentase 2008 (%) 2009 (%) 1. Pertanian , ,54 2. Pertambangan/Penggalian 269 0, ,44 3. Industri/Listrik, Gas dan Air , ,41 4. Bangunan 841 1, ,38 5. Perdagangan , ,5 6. Perhubungan dan Angkutan 142 0, ,88 7. Keuangan/Asuransi 94 0, ,15 8. J a s a , ,65 9. Lain-lain 142 0, ,04 J u m l a h Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Ternate, Gambaran Perekonomian dan Struktur Sosial lndikator utama dalam mengukur pertumbuhan perekonomian suatu wilayah adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 6 memperlihatkan PDRB Kota Ternate pada tahun 2008 atas dasar harga konstan sebesar juta rupiah atau meningkat sebesar 7,92% (BPS Kota Ternate 2009). Struktur perekonomian lebih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan serta sektor pertanian. Hal ini terlihat dari kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB tahun 2008 atas dasar harga konstan didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar juta rupiah atau 33,20%, begitu juga PDRB tahun 2009 dimana sektor tertinggi masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar juta rupiah atau 33,58%, sedangkan sektor pertanian pada tahun yang sama menduduki urutan kelima yakni sebesar juta rupiah atau 15,58% (BPS Kota Ternate 2009). Sementara itu laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi daerah Kota Ternate tahun 2008 pada umumnya bervariasi. Laju pertumbuhan ekonomi sektoral di Kota Ternate pada periode mengalami peningkatan dari menjadi 2,83. Bila ditinjau pada masing-masing sektor terlihat bahwa pertumbuhan tertinggi periode

18 22 menurut harga konstan 2007 terdapat pada sektor pengangkutan dan komunikasi atau 6,84%, dan pada tahun ini sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi terdapat pada perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan pada tahun 2008 sektor pengangkutan dan komunikasi kembali menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 4,98%, diikuti oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 4,84%, dan yang terendah terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,63%. Tabel 6 PDRB Kota Ternate menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun No Sektor Tahun (%) Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Produk Domestik Regional Bruto Sumber : BPS Kota Ternate, Kondisi sosial Kota Ternate dapat terlihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, penerapan keluarga berencana dan kondisi sosial lainnya. Untuk pendidikan jumlah sekolah yang terdapat di wilayah Kota Ternate secara umum cukup memadai dibandingkan dengan wilayah lainnya dimana jumlah sekolah dasar negeri maupun swasta sebanyak 104 unit dan tersebar merata di setiap kecamatan, sekolah menengah berjumlah 26 unit dimana belum tersebar secara merata dan hanya terpusat pada daerahdaerah tertentu, sedangkan sekolah menengah umum berjumlah 15 unit dan menengah kejuruan 7 unit. Selain jenjang pendidikan dasar dan menengah, di kota ini juga terdapat enam perguruan tinggi. Sementara itu rasio murid-guru untuk jenjang pendidikan dasar adalah 19 murid per seorang guru di SD Negeri dan 22 murid per seorang guru di SD Swasta. Untuk SLTP Negeri tercatat 16 murid per seorang guru dan 14 murid per seorang guru di SLTP Swasta, sedangkan untuk pendidikan menengah atas tercatat rasio 17 murid per seorang guru untuk SMU Negeri dan 13 murid per seorang guru untuk SMU Swasta (BPS Kota Ternate 2009).

19 23 Bidang kesehatan mencakup pengembangan sumberdaya manusia melalui program pembangunan kesehatan dengan mengutamakan upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk memperlancar pelaksanaan program dimaksud maka sejak tahun 2008 tercatat sebanyak 8 buah Rumah Sakit, 8 buah Puskesmas, 13 unit Puskesmas Pembantu, 1 buah Rumah Bersalin dan ditunjang dengan 162 unit Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Berkaitan dengan kondisi kesehatan, terdapat upaya penerapan penurunan angka kelahiran melalui keluarga berencana dengan cara mendorong kesadaran masyarakat dalam pemakaian alat kontrasepsi keluarga berencana yang mana dari tahun ke tahun semakin nampak hasilnya, sesuai dengan kebijakan yang berkaitan dengan kuantitas penduduk berdasar keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara jumlah penduduk dan daya dukung dan daya tampung serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan sosial budaya. Pada tahun 2006/2008 terjadi realisasi melebihi yang ditargetkan yaitu sebesar 94,1% dari target semula pasangan. Sedangkan tahun sebelumnya 2005 pencapaian peserta KB baru, hanya 68% dari yang ditargetkan ( pasangan) dan pada tahun 2007/2008 pencapaian peserta KB baru melebihi target 10,13% (BPS Kota Ternate 2009). Kondisi sosial lainnya yang cukup berperan yakni kehidupan beragama dalam kehidupan sosial yang sangat berkaitan dengan budaya masyarakat, dimana sebagian besar masyarakat di Kota Ternate adalah pemeluk agama Islam. Secara umum pemuka adat yang terpilih di daerah ini adalah tokoh agama Islam yang terpandang dan disegani masyarakat. Kepatuhan masyarakat pada agama Islam dapat dilihat pada beberapa elemen yakni peranan para ulama yang tidak dipisahkan dari tempat peribadatan yang digunakan sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan dan aktivitas lainnya Gambaran Sumberdaya Perikanan Kota Ternate dengan luas wilayah lautan yang lebih besar yaitu % yang jika dibandingkan dengan luas daratan yang hanya % mengandung beraneka ragam sumberdaya hayati laut. Ketersediaan sumberdaya laut yang ada memungkinkan terjadinya aktifitas di bidang perikanan dan hal ini dapat dilihat dengan beragamnya jumlah alat tangkap, jumlah armada dan peningkatan produksi hasil tangkapan dari tahun ketahun. Gambaran tentang alat tangkap yang ada menunjukkan bahwa usaha

20 24 penangkapan yang ada di Kota Ternate masih dapat digolongkan bersifat tradisional dan dalam usaha skala kecil. 1. Unit Penangkapan pole and line (huhate) a. Kapal Ikan Spesifikasi umum kapal pole and line yang beroperasi di Kota Ternate dirincikan pada tabel 7. Konstruksi dan tata letak kapal pole and line adalah terdiri atas bagian haluan yang terdapat tempat duduk untuk para pemancing yang disebut flying deck dan plat form. Flying deck adalah dek yang menjorok keluar dari bagian haluan kapal dan plat form adalah berupa sayap yang menonjol dari dek kesisi-sisi kapal. Pada bagian ini juga terdapat pila-pila yaitu penyangga yang berfungsi sebagai pijakan atau tumpuan para pemancing. Water spayer atau penyemprot air terdapat pada bagian depan dan samping pada pila-pila kapal berperan sangat penting saat pemancingan yaitu untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap mata pancing ataupun pemancing. Pada bagian haluan juga terdapat tempat penyimpanan alat tangkap dan jaring yang akan digunakan untuk penangkapan umpan. Kota Ternate. Berikut ini tabel mengenai spesifik kapal pole and line di Tabel 7 Spesifikasi kapal pole and line di Kota Ternate Spesifikasi Keterangan Tipe Kapal F.R.P. 15 GT Bahan utama Fibre glass Reinforced Plastic Panjang 12,7 meter Lebar 2,7 meter Dalam 1,2 meter Isi kotor 6,69 GRT Isi bersih 4,02 GRT Mesin penggerak Yanmar 6 CHE, 105 PK Kecepatan maksimum 14 knot Daya jelajah 60 jam Isi tangki liter Pemakaian bahan bakar 16,2 liter/ jam Kapasitas palkah 4 5 ton Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan, 2010 Pada bagian tengah kapal terdapat dua buah bak umpan sebagai tempat penampungan umpan hidup, empat buah palkah sebagai tempat penampungan dan penyimpanan hasil tangkapan dan sebuah palkah gudang yang tidak difungsikan

21 25 sehingga digunakan sebagai palkah penampung hasil tangkapan. Pada bagian anjungan terdapat ruang ABK dan ruang kemudi yang didalamnya terdapat beberapa alat navigasi dan komunikasi yang sederhana seperti kompas, peta, teropong dan sebuah radio komunikasi. Pada bagian bawah terdapat ruang mesin dan bagian buritan terdapat ruang dapur dan sedikit ruang yang selalu digunakan ABK kapal untuk belajar memancing bagi pemancing pemula. b. Alat Tangkap Konstruksi alat tangkap pole and line terdiri atas joran (pole), tali (line) dan mata pancing (hook). Joran yang digunakan nelayan terbuat dari bambu dengan tingkat kelenturan yang cukup tinggi. Panjang joran dan tali yang digunakan nelayan bervariasi antara 2-4 m dan 1,5 3 meter sesuai dengan keinginan pemancing untuk mempermudah pemancingan dan disesuaikan dengan besarnya kapal. Pada umumnya panjang pole and line yang berkisar 3,5 5 meter digunakan oleh pemancing bagian haluan dan panjang pole and line yang berkisar 6 7 meter digunakan oleh pemancing bagian samping atau buritan. Umumnya tali pemancing yang digunakan nelayan perikanan cakalang di Ternate terdiri atas tiga bagian yaitu tali kepala (head line), tali utama (main line) dan tali pengikat (string line). Panjang tali kepala berkisar 0,3 0,5 meter dari bahan kuralon yang ujung satunya diikatkan pada joran dan ujung satunya lagi diikatkan pada tali utama. Tali utama yang panjangnya bervariasi antara 1 3 meter terbuat dai bahan polyethylen (PE), salah satu ujungnya diikatkan pada ujung tali kepala secara tetap dan salah satu ujungnya diikatkan pada tali pengikat dengan simpul yang dapat dilepas. Hal tersebut dimaksud untuk dapat dilepaskan setelah selesai melakukan pemancingan dan akan dipasang lagi apabila akan memulai pemancingan. Panjang tali pengikat berkisar 0,3 0,4 meter terbuat dari bahan nylon monofilament diikatkan pada ujung simpul tali utama dan mata pancing yang diberi lobang. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik dan terbuat dari baja dengan maksud agar ikan yang tertangkap akan lebih mudah terlepas dari mata pancing jika disentak dan mata pancing tidak mudah berkarat. Pada mata pancing dipasangkan bulu ayam atau tali rafia yang berwarna-warni dengan maksud agar mengelabui penglihatan ikan terhadap mata pancing sehingga ikan akan menganggap sebagai umpan.

22 26 c. Nelayan Anak buah kapal (ABK) kapal pole and line merupakan tenaga kerja yang harus trampil, ulet dan mempunyai fisik yang kuat. Jumlah ABK kapal berkisar antara 9 13 orang dengan masing-masing tugas dan tanggung jawabnya sebagai berikut: 1. Nahkoda (Skipper) : Bertanggung jawab terhadap keselamatan pelayaran, ABK dan keberhasilan usaha penangkapan 2. Wakil Nahkoda (Mualim) : Membantu nahkoda dalam pelayaran 3. KKM (Chief enginer) : Bertanggung jawab terhadap seluruh pekerjaan di dalam kamar mesin dan mengawasi masinis dan olimen dalam pekerjaannya 4. Masinis (Ass. Enginer) : Membantu KKM 5. Olimen (oiler) : Membantu KKM dan masinis dalam mengawasi mesin agar kapal dapat berjalan dengan baik dan lancar 6. Juru mudi : Membantu nahkoda dan mualim dalam mengawasi kemudi selama pelayaran 7. Boy-boy : Menjaga dan merawat umpan agar tetap dalam kondisi baik serta menaburkan umpan pada saat kegiatan penangkapan 8. juru masak (Cook) : Bertanggung jawab terhadap makan dan minum para ABK kapal selama pelayaran 9. Pemancing : Memancing ikan, menangani hasil tangkapan selama diatas kapal dan mempersiapkan sarana produksi pada saat akan melakukan operasi penangkapan d. Kegiatan operasi penangkapan pole and line Faktor yang sangat berperan penting dalam kegiatan operasi penangkapan cakalang dengan pole and line adalah ketersediaan umpan hidup. Awal kegiatan operasi penangkapan dimulai dari persiapan ABK untuk menyediakan perlengkapan kapal, alat dan sarana produksi lainnya serta perbekalan (konsumsi) pada pukul WIT. Setelah itu kapal menuju lokasi penangkapan atau pengambilan umpan pada pukul WIT. Umpan yang tersedia harus memadai dan mencukupi untuk penangkapan satu hari (one day fishing). Setelah umpan tersedia, kapal menuju daerah penangkapan

23 27 (rumpon) pada pukul WIT. Kapal tiba di lokasi rumpon pada pukul WIT saat menjelang fajar. Saat itu nafsu makan ikan cakalang sangat baik sehingga operasi penangkapan selalu diusahakan pada waktu yang sama. Ketika di lokasi rumpon semua ABK telah siap pada tempatnya dan mengamati schooling ikan. Para pemancing dengan pole and line telah duduk di haluan kapal (flying deck dan plat form). Boy-boy telah siap untuk menebarkan umpan. Nahkodapun mendekati gerombolan ikan dengan menjalankan kapal secara perlahan dengan memperhatikan arah renang ikan dan arah angin. Kapal mendekati schooling ikan dari arah lambung dimana terdapat boy-boy. Umpan ditebarkan dan ikan cakalang mulai mengejar dan mendekati umpan yang berenang berbalik menuju kapal. Kapal diusahakan memotong arah renang ikan hingga berada di bagian depan ikan agar ikan dapat melihat umpan yang ditebarkan dan mendekati kapal. Bersamaan dengan itu water sprayer dijalankan untuk mengaburkan pandangan ikan terhadap mata pancing maupun pemancing. Proses penangkapan dimulai setelah ikan cakalang telah banyak bergerombol mendekati kapal. Para pemancing dengan cekatan dan cepat melakukan pemancingan dengan sistem banting. Sistem ini biasanya dipakai jika pemancingnya telah berpengalaman. Ikan hasil tangkapan disentak hingga terpelanting jatuh pada bagian dek kapal. Diusahakan agar ikan tidak kembali jatuh kedalam air karena dengan jatuhnya ikan yang telah ditangkap akan menyebabkan gerombolan ikan lainnya akan segera menjauh dan meninggalkan kapal ataupun berenang kearah yang lebih dalam. Selain itu ada beberapa pemancing yang melakukan pemancingan pada bagian buritan kapal dengan sistem dijepit. Biasanya sistem ini diberlakukan bagi pemancing pemula. Setelah 30 menit sampai 1 jam pemancingan dilakukan, schooling cakalang semakin sedikit bahkan menjauh meninggalkan kapal. Nahkoda kembali menjalankan kapalnya menuju rumpon berikutnya untuk melakukan penangkapan selanjutnya. Para ABK kapal lainnya mulai menyortir dan membersihkan ikan hasil tangkapan dan menyusunnya ke dalam palkah. Perjalanan menuju rumpon berikutnya membutuhkan waktu satu sampai dua jam. Umumnya penangkapan dilakukan hingga sore hari pada pukul WIT sampai pukul WIT. Kapal kembali ke fishing base dan tiba pada pukul WIT. Hasil tangkapan dibongkar dan ABK kembali mempersiapkan diri untuk melakukan operasi penangkapan selanjutnya.

24 28 2. Unit Penangkapan purse seine (pajeko) a. Kapal Kapal yang dioperasikan di Kota Ternate untuk kegiatan penangkapan ikan menggunakan tipe dua buah kapal (two boat system) yaitu terdiri atas kapal utama (tipe lembut) yang berfungsi untuk melingkarkan pukat cincin pada saat operasi penangkapan berlangsung dan menarik purse line setelah pelingkaran pukat cincin selesai, dan kapal jhonson (slep) yang berfungsi sebagai tempat hasil tangkapan untuk dibawa ke fishing base. Kedua kapal tersebut terbuat dari bahan kayu. Gambar 1: Kapal Utama (tipe lembut) Kapal utama (tipe lembut) di kota Ternate memiliki ukuran berkisar 13,21 17,63 GT dengan panjang (L) antara 12,80 13,90 m, lebar (B) 3,15 3,30 m dan dalam (D) 1,90 2 m, sedangkan untuk kapal jhonson (slep) (gambar 2) memiliki ukuran 5,82 7,40 GT dengan panjang antara 10 11,50 m, lebar 2,50 2,60 dan dalam 1,20 1,30 m. Spesifikasi kapal pukat cincin yang di operasikan di Kota Ternate dapat dilihat pada tabel 10. Tenaga penggerak yang digunakan untuk kedua kapal adalah sama yaitu baik kapal utama maupun kapal jhonson menggunakan mesin tempel (outboard) masingmasing berjumlah dua buah dengan kekuatan 40 PK yang bermerk Yamaha (tabel 10). Tenaga penggerak pada kedua kapal menggunakan bahan bakar campuran yaitu minyak tanah, bensin dan oli.

25 29 Tabel 8 Spesifikasi kapal purse seine (pukat cincin) di Kota Ternate Spesifikasi Kapal Utama (Tipe Lembut) Kapal Jhonson (Tipe Slep) Dimensi Utama a. Panjang (L) 12,80 13,90 m 10 11,50 m b. Lebar (B) 3,15 3,30 m 2,50 2,60 c. Dalam (D) 1,90 2 m 1,20 1,30 m Tonage 13,21 17,63 GT 5,82 7,40 GT Mesin Outboard (Yamaha enduro Outboard (Yamaha Enduro 40 PK) 40 PK) Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan 2010 Kapal utama pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate juga terdapat palkah. Kapasitas dari palkah tersebut dapat memuat hasil tangkapan sekitar 2 3 ton. Palkah ini hanya dipergunakan jika pada saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan yang banyak dan pada kapal jhonson tidak dapat lagi meletakkan hasil tangkapan, namun pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal jhonson. Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal jhonson berkisar antara 4 6 ton. Perawatan kapal pukat cincin (purse seine) biasanya dilakukan setiap bulan pada saat tidak melakukan kegiatan penangkapan, yaitu pada saat bulan purnama. Kapal pukat cincin (purse seine) dalam sebulan tidak melakukan kegiatan penangkapan selama 7 10 hari. Perawatan yang dilakukan meliputi pengecatan dan perbaikan-perbaikan jika kerusakan pada kapal. Gambar 2: Kapal Jhonson (Tipe Slep)

26 30 b. Alat Tangkap Pukat cincin (purse seine) di Kota Ternate yang menjadi objek penelitian lebih dikenal dengan nama pajeko. Alat tangkap pukat cincin ini terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir badan jaring (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat (sinkers), pelampung (floats) dan cincin (purse rings). Panjang pukat cincin berkisar antara m dan lebar berkisar m. Kantong sebagai tempat berkumpulnya ikan terbuat dari bahan PA 210/D12 dan PA 210/D9 dengan ukuran mesh size 0,75 inci1-1 inci. Badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size sebesar 1 inci. Bagian sayap yang berfungsi sebagai pagar pada waktu penangkapan gerombolan ikan dan mencegah ikan keluar dari bagian kantong, terbuat dari bahan PA 210/D6, PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 1,25 inci. Jaring pada pinggir badan jaring (selvedge) terbuat dari bahan PVA 380/D15 dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1 inci yang terdiri dari 3 mata untuk arah kebawah. Tali ris atas (floatline) terbuat dari bahan PVA dengan panjang 410 m, dan diameter tali sebesar 14 mm, sedangkan tali ris bawah (leadline) terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali sebesar 14 mm yang memiliki panjang 470 m. Jumlah pemberat dalam satu unit alat pikat cincin terdiri dari 2200 buah, dengan berat 100 gram/buah. Pemberat pada pukat cincin memiliki panjang 2,9 cm dengan diameter tengah 2,8 cm yang terbuat dari bahan timah hitam. Jarak antar pemberat berkisar cm. Tali pemberat pada pukat cincin terbuat dari bahan PVA dengan diameter tali 12 mm. Jumlah pelampung dalam satu unit pikat cincin terdiri dari 1100 buah, dengan jarak antar pelampung sekitar cm. Pelampung pukat cincin berbentuk elips dengan panjang 12,7 cm dan diameter tengah 9,5 cm yang terbuat dari bahan sintetis rubber. Jumlah cincin dalam satu unit rata-rata terdiri dari 50 buah. Cincin digunakan oleh nelayan pajeko di Ternate memiliki diameter luar 10 cm dan diameter dalam 6,6 cm. Cincin yang digunakan terbuat dari bahan kuningan dengan jarak antar cincin berkisar m. Purse line pada pukat cincin terbuat dari bahan PVA dengan

27 diameter tali 20 mm yang memiliki panjang 700 m. Desain jaring pukat cincin ( purse seine) dapat dilihat pada gambar Gambar 3: Desain jaring pada purse seine di Kota Ternate Keterangan: 1. Tali selembar 6. Pemberat 11. Tali ris bawah 2. Pelampung 7. Selvedge 12. Kantong 3. Tali kolor 8. Float line 13. Sayap 4. Tali ring 9. Singker line 14. Panjang jaring 5. Ring 10. Tali ris atas 15. Tinggi jaring c. Nelayan Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam usaha penangkapan di Kota Ternate, terutama dalam mengelola faktor-faktor yang terdapat dalam unit penangkapan sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada. Kapal pajeko dioperasikan oleh nelayan berkisar antara orang. Sebagian besar nelayan yang mengoperasikan pajeko merupakan penduduk asli daerah setempat. Sebagai nelayan merupakan mata pencaharian utama, sedangkan jika kapal tidak melakukan kegiatan penangkapan yaitu terutama pada musim kurang ikan nelayan bekerja sampingan sebagai petani dan memancing. Pembagian tugas nelayan pajeko adalah sebagai berikut: 1. Juragan laut (1 orang) : Bertugas sebagai penanggung jawab dalam mengoperasikan kapal utama (lambut) untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan

28 32 2. Juru Tawur (2 orang) : Bertugas melempar pukat cincin pada saat proses setting dilakukan 3. Juru Mesin ( 2 orang) : Bertugas dalam masalah mesin baik untuk mesin pada kapal utama maupun kapal jhonson 4. Juru Pantau (1 orang) : Bertugas mendeteksi gerombolan ikan 5. Juru Pelampung (2 orang) : Bertugas mengatur dan merapikan pelampung sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan 6. Juru Pemberat (2 orang) : Bertugas mengatur dan merapikan pemberat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan 7. Nelayan Biasa : Bertugas menarik, merapikan dan memperbaiki pukat cincin jika ada kerusakan 8. Juru mesin kapal jhonson/slep (1 orang) : bertugas menyiapkan kapalnya untuk tempat penampungan ikan hasil tangkapan 9. Juru hasil tangkapan (2 orang) : Bertugas mengambil hasil tangkapan untuk ditempatkan pada kapal jhonson, dua orang tersebut berada di kapal Jhonson bersama Juru Mesin. Pembagian tugas tersebut sudah menjadi kesepakatan dalam satu unit pajeko. Tugas nelayan yang satu dapat dikerjakan juga oleh nelayan yang lain. Seperti pada saat penarikan pajeko, juru pelampung juru pemberat dan juru pantau juga melakukan tugas ini. Nelayan pajeko di Kota Ternate terbagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik rata-rata berpendidikan terakhir SMP dan SMA, sedangkan nelayan buruh berpendidikan terakhir dari tingkat SD sampai SMA. Nelayan pemilik umumnya hanya memiliki masing-masing satu unit alat tangkap. Sistem pembagian hasil yang berlaku dalam pola perikanan pajeko di Kota Ternate, dimana setelah diperoleh hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi dengan biaya operasional (pendapatan bersih) kemudian 50% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak pemilik kapal (pemilik usaha), sedangkan 50% sisanya dibagi untuk nelayan, bagian untuk juragan laut (fishing master) 2 bagian dan sering mendapat bonus

29 dari pemilik. Bagian untuk juru mesin 1,5 bagian dan untuk nelayan ABK lainnya memperoleh 1 bagian untuk masing-masing. 33 Gambar 4: Diagram Alir Sistem bagi hasil usaha perikanan purse seine di Kota Ternate d. Kegiatan operasi Penangkapan Purse Seine Berdasarkan pengamatan langsung dalam 2 kali trip operasi penangkapan dan wawancara dengan nelayan pajeko (purse seine), umumnya nelayan berangkat pada pagi hari (sekitar pukul WIT) hingga menjelang siang yaitu sekitar jam WIT dan selesai atau kembali ke pantai sekitar jam WIT. Informasi mengenai metode operasi penangkapan pajeko dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu meliputi tahap persiapan, penurunan jaring dan penarikan jaring. 1) Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap yang harus dilakukan setiap sebelum penangkapan ikan. Tahap persiapan ini meliputi kegiatan pemeriksaan mesin baik mesin utama maupun mesin jhonson, pemeriksaan alat tangkap, persiapan bahan bakar (minyak tanah, bensin, oli) es, serta konsumsi. Hal ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan penangkapan ikan 2). Kapal pajeko berangkat menuju rumpon yang merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam untuk menuju daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan berdasarkan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis 1) Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies cakalang yang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE AISYAH BAFAGIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN Enjah Rahmat ) ) Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristasi

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA 4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Tobelo 4.1.1 Kondisi kewilayahan Kecamatan Tobelo 1) Letak geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak pada posisi koordinat 0 o 40

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil yang diperoleh secara nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya. Artinya produktivitas sama

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000 126 4 HASIL 4.1 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan 4.1.1 Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis kecil selama 5 tahun terakhir (Tahun 2001-2005) cenderung bervariasi, hal ini disebabkan karena

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan 5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan Spesifikasi ketiga buah kapal purse seine mini yang digunakan dalam penelitian ini hampir sama antara satu dengan yang lainnya. Ukuran kapal tersebut dapat dikatakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi Klasifikasi ikan Tembang (Gambar 1) menurut www.fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan dan dikelola sumberdaya

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN BEBERAPA JENIS IKAN PELAGIS EKONOMIS PENTING DI PROVINSI MALUKU UTARA IMRAN TAERAN

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN BEBERAPA JENIS IKAN PELAGIS EKONOMIS PENTING DI PROVINSI MALUKU UTARA IMRAN TAERAN TINGKAT PEMANAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN BEBERAPA JENIS IKAN PELAGIS EKONOMIS PENTING DI PROVINSI MALUKU UTARA IMRAN TAERAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak 5 PEMBAHASAN Hasil penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan dengan menggunakan single output (total tangkapan) berdasarkan bulan ( Agustus 2007 Juli 2008) menunjukkan bahwa hanya ada 1 2 unit kapal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 48 IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 4.1 Geografi dan Pemerintahan 4.1.1 Geografi Secara geografi Kabupaten Kepulauan Aru mempunyai letak dan batas wilayah, luas wilayah, topografi, geologi dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan Purse seine (1) Alat tangkap

4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan Purse seine (1) Alat tangkap 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaman Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Purse seine (1) Alat tangkap Pukat cincin (purse seine) di daerah Maluku Tenggara yang menjadi objek penelitian lebih dikenal dengan sebutan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 61 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis 4.1.1 Kota Ambon Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979, luas Kota Ambon adalah 377 Km 2 atau 2/5 dari luas wilayah Pulau Ambon.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku 155 5 PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Penangkapan ikan pada dasarnya merupakan aktifitas eksploitasi sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

WARNA UMPAN TIRUAN PADA HUHATE

WARNA UMPAN TIRUAN PADA HUHATE WARNA UMPAN TIRUAN PADA HUHATE Imitation Bait Colour of Skipjack Pole and Line Gondo Puspito 1 1 Staf Pengajar pada Bagian Teknologi Alat Penangkapan Ikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Pada bab IV ini Penulis akan menyajikan Gambaran Umum Obyek/Subyek yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi, kondisi ketenagakerjaan, kondisi penanaman modal

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH Erika Lukman Staf Pengajar Faperta FPIK UNIDAR-Ambon, e-mail: - ABSTRAK Ikan tuna (Thunnus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci