IDENTIFIKASI TIPOLOGI KEKUMUHAN PERMUKIMAN PESISIR YANG RAWAN ABRASI DI KABUPATEN INDRAMAYU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI TIPOLOGI KEKUMUHAN PERMUKIMAN PESISIR YANG RAWAN ABRASI DI KABUPATEN INDRAMAYU"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI TIPOLOGI KEKUMUHAN PERMUKIMAN PESISIR YANG RAWAN ABRASI DI KABUPATEN INDRAMAYU Oleh : Sri Tusnaeni Ningsih 1) 1 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Pasundan Bandung. sritusnaeniningsih@gmail.com. ABSTRAK Kawasan pesisir merupakan salah satu kawasan yang penting untuk diperhatikan dalam pembangunannya, karena sekitar 60 % masyarakat Indonesia bermukim di kawasan ini (Dahuri, 02). Bertolak dari kondisi tersebut, kawasan pesisir justru menjadi kantong kemiskinan tertinggi. Hal ini sama halnya yang terjadi di Kawasan Permukiman pesisir di Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Kawasan tersebut merupakan tempat bermukim masyarakat pesisir, dan rata-rata kualitas serta taraf hidup masyarakat pesisir termasuk dalam penghasilan rendah atau kurang mampu, sehingga memicu kekumuhan yang lebih lagi. Tujuan dari penelitian ini adalah untukdijadikan sebagai masukan dalam perencanaan permukiman kumuh dan perencanaan yang adaptif di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu dengan mengidentifikasi tipologi kekumuhan permukiman pesisir yang rawan abrasi di Kabupaten Indramayu. Hasil dari penelitian ini adalah sebagian wilayah kawasan permukiman pesisir di Desa Eretan Kulon dan Wetan memiliki tipologi kekumuhan tinggi sampai sedang, khususnya yang tipologi kekumuhannya tinggi ada di blok permukiman pada Desa Eretan Kulon. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan adalah dengan relokasi khusus untuk permukiman yang diindikasikan terkena abrasi, dan tidak sesuai tata ruang; melakukan pemugaran dengan pembuatan bangunan yang adaptif terhadap bencana rob dan abrasi seperti bentuk rumah panggung untuk permukiman yang rentan banjir rob; serta dalam penanganan abrasi maka dilakukan upaya penanaman bakau, dan pembangunan tanggul baik memanjang maupun tegak lurus pantai. Kata kunci : Kawasan Pesisir, Permukiman Kumuh, Abrasi, Penanganan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang terparah akan bencana abrasi, sebab berdasarkan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Indramayu AR Hakim mengungkapkan, tahun 07 abrasi di Kabupaten Indramayu mencapai 49,56 kilometer, dan jalan pantura atau jalan nasional sudah dekat sekali dengan garis pantai. Begitupun dengan Kabupaten Subang, namun abrasi di Subang tidak mengancam infrastruktur jalan nasional dan permukiman. Dan berdasarkan Laporan Akhir Strategi Adaptasi dan Mitigasi Bencana Pesisir Akibat Perubahan Iklim Terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (08), diketahui bahwa wilayah pesisir Kabupaten Indramayu merupakan salah satu 57

2 wilayah pesisir Pantura Pulau Jawa yang terkena dampak kenaikan muka air laut terparah selama 10 tahun terakhir, salah satunya adalah abrasi garis pantai yang mencapai 8,23 Ha/tahun yang merupakan laju abrasi terbesar di pesisir Pantura (Tugas Akhir Adila, 12 : 3). Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia tahun 11 dalam laporan nya terdapat tiga pantai di Kabupaten Indramayu yang dinilai telah mengalami dampak kenaikan muka air laut terparah, yaitu Pantai Balongan Kecamatan Balongan, Pantai Kecamatan Juntinyuat dan Pantai Eretan Kecamatan Kandanghaur. Namun dari ketiganya, pantai yang memiliki permukiman terpadat dan telah mengalami abrasi paling parah yaitu dengan kemunduran garis pantai sekitar 1,5m/tahun (Penelitian oleh Pusat Penelitian Oseanografi, 12) adalah pesisir di Kecamatan Kandanghaur, yang mana terdiri atas dua desa yang memiliki permukiman pesisir terpadat, yaitu Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan, dan dari dua desa tersebut, Desa Eretan Kulon memiliki 6 area lokasi permukiman kumuh, sedangkan Desa Eretan Wetan hanya 3 area lokasi permukiman kumuh (RPIJM Kabupaten Indramayu, 13-17). Dari uraian di atas, maka diperlukan kajian mengenai tipologi kekumuhan permukiman pesisir di kawasan rawan abrasi Kabupaten Indramayu, guna mencegah kerugian yang lebih besar lagi dimasa mendatang akibat bencana abrasi dan dapat meningkatkan kelayakan permukiman. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diuraikan permasalahan utama yang ada pada kawasan studi sebagai berikut : 1) Permukiman pesisir Indramayu rawan akan abrasi dan rob, sehingga hal ini memberikan dampak tidak meningkatnya taraf hidup masyarakat pesisir, karena selalu memperbaiki rumah bahkan pindah rumah akibat abrasi dan rob, alhasil kehidupannya berputar pada siklus kemiskinan. 2) Banyak yang membangun permukiman di sempadan pantai akibat kurangnya pendidikan yang dienyam sehingga tak acuh terhadap aturan, sehingga rumahnya terkena rob dan abrasi. Melihat dari permasalahan permasalahan yang ada, maka timbul pertanyaan yang dapat dijadikan bahan studi, yakni Bagaimana Tipologi Kekumuhan Permukiman Pesisir di Kawasan Rawan Abrasi Kabupaten Indramayu serta Penanganan yang Tepat Sesuai Tipologi dan Karakteristik Kekumuhan? 1.3 Tujuan dan Sasaran Studi Tujuan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan,maka tujuan dalam penulisan studi ini adalah sebagai masukan dalam perencanaan permukiman kumuh dan perencanaan yang adaptif di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu dengan mengidentifikasi tipologi kekumuhan permukiman pesisir yang rawan abrasi di Kabupaten Indramayu Sasaran Sasaran yang harus dicapai dalam mencapai tujuan di atas adalah sebagai berikut : 1. Teridentifikasinya lokasi blok permukiman kumuh pesisir di wilayah penelitian 2. Teridentifikasinya tipologi kekumuhan permukiman pesisir di wilayah penelitian 3. Teridentifikasinya penanganan permasalahan permukiman kumuh pesisir yang sesuai dengan kondisi lingkungan di wilayah penelitian. 58

3 II. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini, diperlukan metode untuk melakukan kajian kerawanan abrasi dan kekumuhan permukiman pesisir, di mana metodologi yang dilakukan terdiri atas metode pendekatan studi, metode pengumpulan data, dan metode analisis. 2.1 Metode Pendekatan Untuk mencapai tujuan dalam studi ini, maka dibuat kerangka pendekatan, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Perumusan definisi permukiman kumuh dan kerawanan abrasi; 2) Perumusan variabel, parameter dan data; 3) Pengumpulan data sekunder dan primer yang relevan; 4) Membuat komparasi dan interpretasi data yang didapat ; 5) Membuat analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif tentang data yang diperoleh untuk menentukan lokasi kumuh berdasarkan analisis variabel dan parameter yang telah ditetapkan, dan menentukan tipologi permukiman kumuh; 6) Menentukan rekomendasi penanganan permukiman kumuh di kawasan rawan abrasi. 2.2 Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk penelitian ini yaitu dengan dua (2) cara, meliputi : a. Survei Primer Dalam survei primer ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : Observasi Lapangan, dimana data yang di observasi ini dilakukan untuk mengidentifikasi variabel kekumuhan, seperti kondisi fisik bangunan, kondisi sarana prasarana, dan kondisi fisik pesisir, serta penanganan fisik bangunan untuk abrasi dari pemerintah yang sudah dilakukan. Wawancara, dilakukan kepada tokohtokoh dan pemerintah yang terkait dengan penelitian ini, seperti kepala desa, RT, RW, camat, bappeda, PU Ciptakarya, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Geologi, dll. Dimana pertanyaan yang diajukan terkait dengan kondisi eksisting dan arahan yang akan dilakukan atau diinginkan seperti variabel dominasi status tanah dan bangunan, komitmen pemerintah dalam indikasi pembiayaan, kelembagaan, rencana, pembenahan fisik dan kawasan, serta rekam jejak bencana pesisir yang terjadi di lokasi penelitian seperti abrasi dan rob. b. Survei sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan beberapa cara diantaranyaitu melalui studi pustaka atau studi literatur dengan cara mengkaji sumber teoritis berupa jurnaljurnal, text book, serta survey instansi.untuk memuat teori tentang permukiman pesisir, permukiman kumuh, penanganan bencana pesisir, relokasi,penataan kawasan, dan kajian lain yang terkait serta data institusi guna mengidentifikasi variabel tinggi gelombang, arus, tutupan lahan, kesesuaian tata ruang, kondisi kependudukan, vitalitas ekonomi, serta status tanah dan bangunan. 2.3 Metode Analisis Metode analisis diperlukan dalam analisis data penelitian.metode analisismenjelaskan mengenai teknik analisis data.analisis yang digunakan adalah Metode Analisis Deskriptif Kualitatif dan Analisis Deskriptif Kuantitatif. 1. Metode Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data yang ada sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai kondisi yang tengah terjadi di lapangan. 2. Metode Analisis Deskriptif Kuantitatif 59

4 Metode penetapan kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan metode analisis deskriptif kuantitatif, metode ini merupakan metode analisis dengan mendeskripsikan. Penentuan Indeks Ancaman Abrasi Berikut adalah tabel dalam menentukan komponen indeks ancaman bencana. Tabel 1. Komponen Indeks Ancaman Bencana Bencana Gelombang Ekstrim & Abrasi Komponen/ Indikator Rendah (skor =1) Kelas Indeks Sedang (skor=2) Tinggi (skor=3) Bobot (%) Skor Tinggi Skor Rendah Tinggi Gelombang <1m 1-2,5 m >2,5 m 90 Arus <0,2 0,2-0,4 >0,4 90 Tutupan Lahan/ Vegetasi >80% 40-80% <40% Bentuk Lurusberteluk Berteluk garis pantai Lurus Tipologi Berbatu Berbatu Pantai karang pasir berlumpur TOTAL SKOR Sumber : Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 12 Kemudian setelah dikelompokkan seperti tabel di atas, maka dilakukan perhitungan indeks ancaman abrasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Nilai Rentang (NR) = ( = ( ) = 67 Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh hasil tipologi indeks ancaman abrasi sebagai berikut : - Rendah = Sedang = Tinggi = 235 Penentuan Permukiman Kumuh Tabel 2. Parameter dan Variabel Penilaian Kekumuhan Kawasan Permukiman Variabel Parameter Skor Kondisi fisik bangunan Kepadatan bangunan Bangunan Temporer Jarak antar Bangunan Pertambaha n bangunan liar Tapak Bangunan >100 unit/ha unit/Ha <80unit/Ha >% 25-% <25% <1,5 m 1,5-3,0 m >3,0 m Sangat Tinggi Tinggi Rendah >70% -70% Skor Tinggi Skor Rendah Variabel Parameter Skor Kondisi kependuduk an Kondisi jalan lingkungan Kondisi drainase Kondisi air bersih Kondisi air limbah Kondisi persampaha n Kepadatan penduduk <% >0 jiwa/ha jiwa/ha <400 jiwa/ha Sangat buruk >70% Buruk -70% Baik <% Sangat Buruk (Genangan >%) Buruk (Genangan 25-%) Sedang (<25%) Pelayanan <% Pelayanan -60% Pelayanan >60% Pelayanan <% Pelayanan -60% Pelayanan >60% Pelayanan <% Pelayanan -70% Pelayanan >70% Skor Tinggi Skor Rendah Total 5 2 Sumber : UU No. 1 Tahun 11, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum tahun 06 dan hasil modifikasi Sinulingga (07) Penilaian kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan sistem skoring pada masing-masing kriteria diatas, dimana rumusnya adalah sebagai berikut: Nilai Rentang (NR) = ( ) = ( ) = 165 Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh hasil klasifikasi atau tipologi kekumuhan sebagai berikut : - Tidak Kumuh = Kumuh = Penentuan Tipologi Kekumuhan Permukiman Kumuh Pesisir, yaitu dengan teknik skoring berdasarkan variabel dan indikator yang ditetapkan oleh Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum tahun 06 dan hasil modifikasi dari Kriteria Kawasan Kumuh oleh Sinulingga (07). Dalam analisis ini, tipologi kawasan kumuh dibagi dalam 3 tipologi, yaitu : - I = Tinggi (Prioritas pertama untuk penanganannya) - II = Sedang (Prioritas ke-2 untuk penanganannya) - III = Rendah (Prioritas ke-3 untuk penanganannya) 60

5 Bandung, Maret 15 Volume 2 Nomor 1 ISSN : Metode Analisis Superimpose Metode ini digunakan untuk menentukan penanganan permukiman kumuh, dengan teknik overlapping map yang mempertimbangkan : III. Kerawanan Lokasi Terhadap Bencana Abrasi Kesesuaian Tata Ruang Hasil Tipologi Kekumuhan Variabel Tipologi Kekumuhan lainnya dengan bantuan tools SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk memetakan penanganan permukiman kumuh dan abrasi. PEMBAHASAN DAN HASIL 3.1 Kedudukan dan Kondisi Fisik Desa Eretan Kulon dan Eretan Wetan Pantai Eretan Kulon dan Wetan yang berada di Pesisir utara Pulau Jawa terletak pada koordinat LS dan ,5 dengan penyusun berupa pasir lanau dan sedikit lempung. Wilayah ini memiliki ketinggian rata-rata maksimum 2 mdpl dengan kondisi kemiringan pantai sekitar 5,3% sampai 5,5% dan lebar pantai sekitar 5 meter. Topografi Desa Eretan Kulon dan Eretan Wetan yang rendah dan landai tentunya akan mempengaruhi kondisi kebencanaan di wilayah tersebut, di mana wilayah ini semakin rentan terhadap genangan akibat adanya kenaikan muka air laut. 3.2 Sosial Kependudukan Desa Eretan Wetan dan Kulon Kedua Desa ini, baik Desa Eretan Wetan maupun Desa Eretan kulon memiliki jumlah penduduk yang cukup padat, dan memiliki mata pencaharian seperti apa yang digambarkan dalam grafik berikut : Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan Tahun PNS Pensiunan Buruh Tani Petani Peternak Desa Eretan Wetan Desa Eretan Kulon Sumber : Kandanghaur Dalam Angka Tahun Kondisi Permukim man dan Lingkungan Sekitar Permukima an Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan A. Kesesuaian Tataa Ruang Terdapat beberapa blok permukiman yang tidak sesuai dengan tata ruang atau pola ruang yang direncanakan sesuai dengan Peta Pola Ruang Kabupaten Indramayu. Setelah melakukan pengukuran, antara guna lahan permukiman di tiap blok permukiman dengan pola ruang yang ada, bahwa di Desa Eretan Kulon, blok permukiman yang tidak sesuai sama sekali dengan tata ruang adalah di blok 01-1, sedangkan di Desa Eretan Wetan blok permukiman yang tidak sesuai sama sekali adalah di blok 01-1, 01-2, dan Di sisi lain, blok permukiman yang sesuai dengan tata ruang adalah blok permukiman 02-1, 02-2, 03-1, 03-3, 04-1 di Eretan Kulon, dan blok 02-1, 02-2, 03-1, 04-1, dan 05-1 di Eretan Wetan. Gambar 2. Peta Kesesuaian Tata Ruang Sumber : RTRW Kabupaten Indramayu Tahun

6 B. Kondisi Fisik Bangunan Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, di Desa Eretan Kulon yang memiliki kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu di RW 01, yaitu blok 01-1, 01-2, RW 05 di blok Sedangkan di Desa Eretan Wetan sendiri, permukiman pesisir yang memiliki kepadatan cukup tinggi adalah di RW 01 blok 01-3 dan RW 02 blok C. Bangunan Temporer bangunan di permukiman pesisir Desa Eretan Wetan dan Kulon rata-rata memiliki kondisi bangunan permanen, karena dilihat dari bangunan temporernya rata-rata <25% dari total keseluruhan kondisi bangunan. Sedangkan terdapat yang kondisi bangunannya didominasi oleh rumah non permanen dan semi permanen dengan persentasi >%, di mana terletak di RW 01 blok 1&2, RW 05 blok 1&3 dan RW 06 untuk Desa Eretan Kulon, sedangkan untuk Desa Eretan Wetan berada di RW 01blok 1&2 dan RW 02 blok 1. D. Jarak Antar Bangunan Rata-rata jarak antar bangunan di kawasan permukiman pesisir adalah antara -100 cm (0,3-1 meter). Di Desa Eretan Kulon sendiri, rumah dengan jarak yang paling rapat yaitu sekitar 0,3 meter berada di RW 01, sedangkan di RW lainnya antara 0,5-1 meter. Begitupun dengan Desa Eretan Wetan, bahwa di RW 01, RW 02 dan 03 memiliki jarak antar bangunan yang sangat rapat, dengan jarak kira-kira 0,3-0,5 meter. E. Pertambahan Bangunan Liar Desa Eretan Kulon dan Eretan Wetan terdapat bangunan yang liar atau tidak memiliki sertifikat rumah, selain itu menggunakan tanah bengkok, atau tanah timbul dari hasil sedimentasi, yang belum jelas kepemilikannya.namun hanya beberapa saja yang merupakan bangunan liar, dan pertambahannyapun cukup rendah. F. Tapak Bangunan Bangunan rumah yang terdapat di permukiman pesisir Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan, semuanya rata-rata memiliki tapak bangunan >70% di blok permukiman yang padat, dan dekat berada di sepanjang jalan ataupun di pinggir pantai. Namun di blok permukiman dengan kepadatan cukup rendah, atau sedang memiliki tapak bangunan -70%, seperti di RW 02, 03, dan 04 Desa Eretan Kulon, sedangkan di Desa Eretan Wetan yang memiliki tapak bangunan >70% adalah di RW 01, 02, 03, dan untuk bangunan dengan tapak -70% yaitu berada di RW 04 dan RW 05. G. Letak Permukiman Permukiman pesisir di Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan ini, memiliki letak yang cukup strategis, karena sangat dekat dengan jalan nasional dan dekat dengan tempat pekerjaannya yaitu laut, serta lokasi permukiman Desa Eretan Wetan dan Kulon ini saling beriringan, hanya dibatasi oleh sungai dan di sekitar permukiman ini adalah persawahan, kawasan perdagangan dan jasa, dan permukiman lainnya. Namun dari pusat kota Kabupaten Indramayu cukup jauh, sekitar 36 Km, sedangkan jarak ke pusat ibukota kecamatan hanya 3-4 Km. H. Status dan Tanah Bangunan Untuk status kepemilikan tanah dan rumah masih banyak yang belum bersertifikat dan masih ada sebagian blok yang bukan tanah milik, yaitu tanah milik pemerintah (tanah KUD), dan tanah timbul akibat sedimentasi sehingga dijadikan lahan untuk dibangunnya rumah. Di mana rumah-rumah yang masih banyak tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan adalah di RW 01 dan 05 untuk Desa Eretan Kulon, sedangkan di Desa Eretan Wetan terletak di RW

7 3.4 Kondisi Sarana dan Prasarana Permukiman Desa Eretan Kulon dan Wetan Di Kawasan Permukiman Pesisir Desa Eretan Wetan dan Kulon memiliki jalan setapak atau gang gang dengan lebar rata rata 1-1,5 meter dan memiliki perkerasan jalan yang tidak semua jalan setapaknya memiliki kondisi perkerasan yang baik. Bahkan beberapa blok memiliki jalan setapak tanah, belum dilakukan perkerasan. Sehingga jika musim hujan, akan becek di jalan tersebut. Untuk kondisi drainase di permukiman Desa Eretan Wetan dan Desa Eretan Kulon menggunakan drainase terbuka yang dialirkan ke muara kali Eretan da nada pula yang langsung ke laut. Selain itu di Desa Eretan Kulon dan Wetan ini, terdapat kawasan yang terkena banjir, apabila disaat air laut pasang dan meluap ke atas, yaitu di RW 01 untuk Desa Eretan Kulon, begitupun di Desa Eretan Wetan yaitu di RW 01, yang memang ke dua blok permukiman ini dekat sekali dengan air laut. Pelayanan air bersih di dua desa ini kurang terlayani jika mengandalkan perpipaan PDAM, tetapi sekitar 80% dari jumlah bangunan rumah menggunakan sarana air minum dari sumur bor, namun kondisi air nya agak asin, dan 10% nya menggunakan pelayanan air dari koperasi air bersih milik salah satu warga yang di jual per dirigen, sedangkan 10% lagi rumah tangga yang menggunakan PDAM. 3.5 Ancaman Bencana Pesisir di Kawasan Permukiman Desa Eretan Wetan dan Desa Eretan Kulon Desa Eretan Kulon dan Wetan berpotensi bencana yang berkaitan dengan pesisir.berikut peta kerawanan bencana. Gambar 3. Peta Skenario Genangan Rob di Permukiman Eretan Tahun Gambar 4. Peta Skenario Genangan Rob di Permukiman Eretan Tahun Dalam penanggulangan abrasi tersebut, pemerintah sudah melakukan upaya pada tahun 90-an seperti : - Pantai Eretan Kulon telah dibangun seawallsepanjang ±00 meter, terbuat dari batu belah (andesit) yang disusun rapi (sudah tinggal setengahnya dan kondisi nya sudah buruk) - Pantai Eretan Wetan telah dibangun seawall sepanjang ±0 meter terbuat dari batu belah (andesit) yang disusun rapi. - Muara sungai eretan telah dibangun jetty sepanjang ±1000 meter yang terbuat dari batu belah (andesit) yang disusun rapi, namun kondisinya sudah rusak. 63

8 3.6 Pemilihan Lokasi Blok Permukiman Kumuh Desa Eretan Wetan dan Desa Eretan Kulon Berdasarkan hasil skoring untuk mengkaji lokasi blok permukiman kumuh Desa Eretan Wetan dan Kulon, yang dapat diklasifikasikan blok permukiman yang tergolong dalam kategori kumuh berdasarkan hasil rangeadalah sebagai berikut : - Tidak Kumuh = Kumuh = Maka dihasilkan hasil sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Pengkategorian Kekumuhan Desa Blok Skor Kategori Eretan Kulon Eretan Wetan Kumuh Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Kumuh Kumuh Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Tidak Kumuh Dari tabel di atau, sudah jelas blok permukiman pesisir yang tergolong kumuh ada enam blok, yaitu blok 01-1, 01-2,05-1, 06-1 di Desa Eretan Kulon dan 01-1 serta 01-2 di Desa Eretan Wetan. Dari pembagian kumuh dan tidaknya permukiman, setelah itu dapat dibagi lagi menjadi tingkat kekumuhan, tinggi, sedang, rendah, dilihat dari variabel yang sudah dibahas di atas, dengan sistem skoring, yaitu sebagai berikut : = = Dari perhitungan pengelompokkan di atas, bahwa dapat dikelompokkan, kekumuhan tinggi, sedang, rendah, berikut hasil pengkelasan: - Kumuh Ringan = Kumuh Sedang = Kumuh Berat = Dari hasil pengkelasan di atas, maka dapat diuraikan blok-blok dengan tingkat kekumuhan berbeda, berikut pengkelasan blok kumuh : Tabel 4. Hasil Pengkategorian Tingkat Kekumuhan Desa Blok Skor Kategori Eretan Kulon Eretan Wetan Kumuh Berat Kumuh Ringan Kumuh Ringan Kumuh Ringan Kumuh Berat Kumuh Sedang Dari hasil pengkelasan atau pengkategorian di atas dari permukiman kumuh menjadi tingkat kekumuhan, maka dari enam blok permukiman kumuh, yang termasuk kumuh ringan adalah blok 01-2, 05-1 dan 06-1 di Desa Eretan Kulon, sedangkan yang termasuk kumuh sedang adalah blok 01-2 di Desa Eretan Wetan, selain itu yang tergolong kumuh berat adalah di blok 01-1 baik Desa Eretan Wetan maupun Desa Eretan Kulon. Berikut visualisasi kondisi fisik bangunan dan lingkungan kumuh di Desa Eretan Kulon dan Wetan. Tingkat Kekumuhan = 64

9 Gambar 5. Peta Lokasi Blok Permukiman Kumuh di Desa Eretan Kulon Gambar 6. Peta Lokasi Blok Permukiman Kumuh di Desa Eretan Wetan 3.7 Analisis Tipologi Kekumuhan Permukiman Pesisir Dari hasil gabungan skoring, maka dapat disimpulkan kekumuhan permukiman pesisir di Eretan Wetan dan Kulon dapat terklasifikasi ke dalam tiga klasifikasi, yang mana skor dari masing-masing kelas adalah : - Tipologi III = Tipologi II = Tipologi I = Tabel 5. Total Skor Per Blok Permukiman Kumuh Desa Blok Total Skor Tipologi I Eretan II Kulon II II Eretan I Wetan II Dari tabel di atas, dapat disimpulkan, bahwa blok yang memiliki tipologi I hanya berada pada blok 01-1 di Desa Eretan Kulon begitupun di Desa Eretan Wetan. Sehingga dijadikan prioritas utama dalam penanganannya. Berikut kondisi dari tiap tipologi : Tipologi I : a. Kondisi kekumuhan yang dilihat dari terminologi kekumuhan berdasarkan UU No.1 Tahun 11 (kondisi fisik bangunan, kepadatan penduduk, kondisi sarana prasarana) tergolong kumuh berat. b. Level kerawanan abrasi & rob cukup tinggi c. Kesesuaian Tata ruang tidak lebih dari 25% d. Status tanah dan bangunan didominasi oleh tanah belum bersertifikat dan milik negara e. Komitmen Pemerintah daerah tinggi. Tipologi II : a. Kondisi kekumuhan yang dilihat dari terminologi kekumuhan berdasarkan UU No.1 Tahun 11 (kondisi fisik bangunan, kepadatan penduduk, kondisi sarana prasarana) tergolong kumuh sedang sampai ringan. b. Level kerawanan abrasi & rob cukup tinggi c. Kesesuaian Tata ruang sekitar 25- % d. Status tanah dan bangunan didominasi oleh tanah masyarakat dan hak milik e. Komitmen Pemerintah daerah sedang sampai tinggi. Tipologi III : a. Kondisi kekumuhan yang dilihat dari terminologi kekumuhan berdasarkan UU No.1 Tahun 11 (kondisi fisik bangunan, kepadatan 65

10 penduduk, kondisi sarana prasarana) tergolong kumuh ringan. b. Level kerawanan abrasi & rob sedang sampai rendah c. Kesesuaian Tata ruang sekitar 25- % d. Status tanah dan bangunan didominasi oleh tanah masyarakat dan hak milik e. Komitmen Pemerintah daerah rendah sampai sedang Gambar 7. Peta Analisis Tipologi Kekumuhan Permukiman Pesisir Desa Eretan Wetan kekumuhan yang dominan mempengaruhi, bahkan setiap blok pun terdapat permasalahan yang berbeda, sehingga peneliti membagi lagi setiap blok menjadi sub blok penanganan. Berikut asumsi kriteria pembagian sub blok: Berdasarkan kerawanan lokasi terhadap bencana abrasi Berdasarkan kesesuaian tata ruang Berdasarkan kepadatan dan kerapatan bangunan Namun sebelum melakukan penanganan, peneliti mengidentifikasi terlebih dahulu penanganan-penanganan yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini. Pemerintah Kabupaten Indramayu telah melakukan beberapa penangananpenanganan yaitu : 1. Dalam hal kebijakan, pemerintah telah melakukan pembenahan fisik di blok 01-1 berupa perbaikan jalan lingkungan Gambar 8. Peta Analisis Tipologi Kekumuhan Permukiman Pesisir Desa Eretan Kulon 3.8 Penanganan Permukiman Kumuh Pesisir Penanganan kawasan permukiman kumuh pesisir ini dilakukan untuk meminimalisir resiko bertambahnya atau semakin parahnya kekumuhan permukiman tersebut. Dan penanganan setiap blok permukiman pasti berbeda-beda sesuai dengan tingkat permasalahan dan tipologi kekumuhan yang disebabkan oleh variabel-variabel 2. Pemerintah juga sudah melakukan upaya permukiman kembali di daerah eretan untuk warga atau penduduk di RW 01, namun gagal, akibat tidak adanya warga yang pindah atau menempati rumah tersebut 3. Pemerintah Indramayu membuat program kepemilikan tanah dan bangunan dengan sistem KUD (Koperasi Unit Desa) di RW 01 & 05 Desa Eretan Kulon serta di RW 01 Desa Eretan Wetan, di mana pemerintah melegalkan beberapa tanah timbul yang sudah terlanjur dijadikan rumah, walaupun tanah milik negara, tetapi masyarakat mencicil untuk membayar di KUD agar menjadi hak milik 4. Dalam menanggulangi abrasi, pemerintah telah membangun : - Seawall sepanjang ±00 meter, terbuat dari batu belah (andesit) 66

11 yang disusun rapi di Pantai Eretan Kulon - Seawall sepanjang ±0 meter terbuat dari batu belah (andesit) yang disusun rapi di Pantai Eretan Wetan - Breakwatersepanjang ±1000 meter yang terbuat dari batu belah (andesit) yang disusun rapi di Muara Sungai Eretan. Dari rujukan di atas, maka dapat dilakukan penanganan baru tentunya memperhatikan kriteria tersebut di atas, yang mana penanganan mengacu pada UU No. 01 Tahun 11, yaitu: Dilihat dari tipologi kekumuhan, penanganan diantaranya dilakukan dengan pemugaran, dan relokasi. Namun sambil melakukan perbaikan kondisi fisik lingkungan kumuh, perlu dilakukan pula penanganan abrasi dan rob. Terdapat beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi abrasi dan rob, karena jika tidak dilakukan penanganan maka akan mengganggu eksistensi dari permukiman pesisir tersebut. Gambar 9. Peta Penanganan Permukiman Kumuh yang Rawan Abrasi di Desa Eretan Kulon Peremajaan, jika tipologi I, dan atau kepadatan penduduk >400 jiwa/ha Pemugaran, jika tipologi II-I, dan atau kepadatan penduduk jiwa/ha Pemeliharaan dan perbaikan, jika tipologi III, dan atau kepadatan penduduk jiwa/ha Permukiman kembali, jika tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Namun, kriteria di atas, lebih mengacu pada tipologi, karena pada penentuan tipologi sudah termasuk kriteria kepadatan penduduk di dalamnya. Dari hasil overlay beberapa variabel berdasarkan rujukan di atas, yaitu tipologi permukiman kumuh dan kerawanan bencana serta kesesuaian tata ruang, makadapat di rumuskan penanganan fisik permukiman dan penanganan abrasi per sub blok permukiman dalam penanganan permukiman kumuh sesuai variabel tipologi kekumuhan, bahwa dapat disimpulkan sebuah penanganan untuk menanggulangi permukiman kumuh pesisir di Desa Eretan Kulon dan Wetan bermacammacam cara penanganannya. Berdasarkan beberapa teori dan metode penanganan, maka dalam menangani abrasi dan rob dapat dilakukan dengan penanganan soft solution dan hard solution. Soft Solution ini dapat dilakukan dengan cara penanaman tumbuhan pelindung pantai (bakau, nipah dan pohon api-api) dapat dilakukan terhadap pantai berlumpur, karena pada pantai berlumpur pohon bakau dan pohon api-api dapat tumbuh dengan baik tanpa perlu perawatan yang rumit. Pohon bakau dan pohon api-api dapat mengurangi energi gelombang yang 67

12 mencapai pantai sehingga pantai terlindung dari serangan gelombang. Pohon ini ditanam di blok yang tadi nya blok 01-1, 01-2 Desa Eretan Wetan dan 01-1 Desa Eretan Kulon yang tadinya ada permukiman, namun direncanakan akan dilakukan relokasi. Selain itu secara hard solutiondilakukan pembangunan tanggul, baik di sepanjang pantai yang belum ada perlindungannya, begitupun tegak lurus dengan pantai. IV. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisa serta pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perolehan hasil identifikasi, berdasarkan indikator indikasi kekumuhan, maka dari ke dua desa yaitu Desa Eretan Kulon dan Desa Eretan Wetan ditemukan blok permukiman yang terindikasikan kumuh yaitu Blok 01-1, 01-2, 05-1, dan 06-1 di Desa Eretan Kulon. Sedangkan di Desa Eretan Wetan adalah di Blok 01-1, Dari hasil analisis tipologi kekumuhan permukiman pesisir, maka dihasilkan : - Tipologi I yaitusecara kondisi fisik bangunan teridentifikasi kumuh dengan level tinggi sampai sedang, dan kepadatan penduduk cukup padat, kondisi sarpras yang sangat buruk, rawan abrasi & rob tinggi, dan didorong dengan komitmen pemerintah yang tinggi, dengan lokasi : Desa Eretan Kulon (Blok 01-1) - Tipologi II yaitukondisi fisik bangunan permukiman termasuk kumuh tingkat sedang, kepadatan penduduk tidak terlalu padat, kondisi sarana prasarana yang tidak terlalu buruk, rawan abrasi & rob tinggi, namun komitmen pemerintah rendah, dengan lokasi : Desa Eretan Kulon (Blok 01-2, 05-1, 06-1) & Desa Eretan Wetan (Blok 01-1, 01-2). 3. Penanganan permukiman kumuh pesisir akan dilakukan dengan berbagai penanganan, dari pendekatan dan indikator kesesuaian tata ruang serta kebencanaan, maka dihasilkan beberapa penanganan sebagai berikut : Desa Eretan Kulon - Blok 01-1 : Relokasi atau Permukiman Kembali & Pemugaran, - Blok 01-2 : Pemugaran - Blok 05-1 : Relokasi dan pemugaran - Blok 06-1 : Relokasi Desa Eretan Wetan - Blok 01-1 : Relokasi dan Pemuguraan - Blok 01-2 : Pemugaran Sedangkanuntuk penanganan abrasi dan rob sendiri, dapat dilakukan beberapa penanganan, yaitu dengan penanganan soft solution dan hard solution. Soft solution : dengan menanami kembali pohon mangrove ataupun pohon api-api yang dapat tumbuh dengan baik tanpa perlu perawatan yang rumit, Hard solution adalah pembangunan tanggul di sepanjang pantai yang belum ada perlindungnya dantegak lurus dengan pantai. 68

13 V. REFERENSI Adisasmita, Rahardjo. (06). Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan.Yogyakarta: Graha Ilmu Adisasmita, Rahardjo. (10). Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang.Yogyakarta: Graha Ilmu Blaang, Jemabut. (1986). Perumahan dan Permukiman sebagai Kebutuhan Dasar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Dahuri, Rokhmin, dkk. (08). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita Jayadinata, Johara. (1999). Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah.Bandung: ITB Kuswartojo, Tjuk, dkk. (05). Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: ITB Ongkosongo, Otto. (11). Strategi Menghadapi Risiko Bencana Di Wilayah Pesisir Akibat Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Global. Jakarta: LIPI Ramli, Soehatman. (10). Manajemen Bencana, Jakarta: Dian Rakyat Sastra, Suparno, dkk. (06). Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: Andi, Undang Undang No. 26 Tahun 07 tentang Penataan Ruang.,Undang Undang No. 01 Tahun 11 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.,Undang Undang No. 27 Tahun 07 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.,Undang Undang No. 24 Tahun 07 tentang Penanggulangan Bencana.,Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 08 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.,Peraturan Daerah No.22 Tahun 10 tentang RTRWP Jawa Barat,Peraturan Daerah No.01 Tahun 12 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indramayu.,Peraturan Daerah No.15 Tahun 12 Tentang Bangunan Gedung Kabupate Indramayu.,Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan., Dan Sedimentasi Pantai.Htm//14/05/11/, Articles.Htm//14/04/06/, Kreshna Adhitya Abrasi Pantai.Htm//14/05/13, Pemukiman Berdasarkan Sifatnya _ Anakunhas.Htm//14/06/12, Persoalan Pantai.Htm//14/05/19, Permukiman Kumuh.Htm//14/05/19 Solusi Abrasi, Deskriptif Kualitatif Dan Kuantitatif - Bimbingan.Htm//14/05/. 69

14 70

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan terkait dengan perumahan dan kawasan permukiman dalam studi ini yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 11 tentang Perumahan dan Kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar populasi dunia bermukim dan menjalani kehidupannya di kawasan pesisir (Bird, 2008), termasuk Indonesia. Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa yang rawan terhadap bencana abrasi dan gelombang pasang. Indeks rawan

BAB I PENDAHULUAN. Jawa yang rawan terhadap bencana abrasi dan gelombang pasang. Indeks rawan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah di pesisir utara Pulau Jawa yang rawan terhadap bencana abrasi dan gelombang pasang. Indeks rawan bencana yang terhitung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh: JurnalSangkareangMataram 9 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara Barat Abstrak: Perkembangan

Lebih terperinci

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya C389 Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya Elpidia Agatha Crysta dan Yanto Budisusanto Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan timbulnya masalah permukiman. Masalah permukiman lebih terasa di daerah perkotaan daripada di daerah perdesaan. Masalah perumukiman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kawasan Pantai Utara Surabaya merupakan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik topografi rendah sehingga berpotensi terhadap bencana banjir rob. Banjir rob ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini dirumuskan dengan menentukan tingkat bahaya banjir kemudian menentukan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir. Penentuan kelas kerentanan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan Kapuk, Kelurahan Kamal dan Kelurahan Tegal Alur, dengan luas wilayah 1 053 Ha. Terdiri dari 4 Rukun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 232 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Setelah data dan hasil analisis penelitian diperoleh kemudian di dukung oleh litelature penelitian yang relevan, maka tiba saatnya menberikan penafsiran dan pemaknaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS IV.1 Uji Sensitifitas Model Uji sensitifitas dilakukan dengan menggunakan 3 parameter masukan, yaitu angin (wind), kekasaran dasar laut (bottom roughness), serta langkah waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surabaya merupakan kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan menyumbang pendapatan Negara yang sangat besar. Surabaya juga merupakan kota terbesar kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penyusunan penelitian ini dilakukan dengan menentukan tingkat bahaya banjir yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap

Lebih terperinci

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH. ISSN No. 2355-9292 Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total panjang keseluruhan 95.181

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil penelitian yang pernah dilakukan Penelitian tentang analisis tingkat bahaya dan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir banyak dilakukan sebelumnya, tetapi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 87 BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 6.1 Perlindungan Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara maritim yang mana terdapat banyak kota berada di wilayah pesisir, salah satunya adalah Kota Pekalongan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara maritim yang mana terdapat banyak kota berada di wilayah pesisir, salah satunya adalah Kota Pekalongan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kawasan pesisir merupakan kawasan yang rawan akan bencana alam. Adanya isu perubahan iklim yang sedang marak diberitakan menjadikan masyarakat kawasan pesisir harus

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI PUSAT KOTA BANDUNG KELURAHAN NYENGSERET

BAB IV ANALISIS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI PUSAT KOTA BANDUNG KELURAHAN NYENGSERET BAB IV ANALISIS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI PUSAT KOTA BANDUNG KELURAHAN NYENGSERET 4.1 Analisis Deskriptif Beberapa Aspek Kawasan Sebelum masuk kepada analisis relevansi konsep penanganan permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Felicia Putri Surya Atmadja 1, Sri Utami 2, dan Triandriani Mustikawati 2 1 Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Konsep Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Konsep Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini dirumuskan dengan menentukan tingkat bahaya banjir kemudian menentukan kerentanan wilayah terhadap banjir. Penentuan kelas kerentanan maupun

Lebih terperinci

Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan pada Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi

Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan pada Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan pada Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi 1 Enggar Septika Diyarni, 2 Hilwati Hindersah 1,2 Prodi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

Interpretasi dan Uji Ketelitian Interpretasi. Penggunaan Lahan vii

Interpretasi dan Uji Ketelitian Interpretasi. Penggunaan Lahan vii DAFTAR ISI Halaman Judul... i Intisari... ii Abstract... iii Kata Pengantar... iv Daftar Isi... vi Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran... xiii BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

INERSIA Vol. V No. 1, Maret 2013 Penelitian Pemetaan Kawasan Kumuh Permukiman Kecamatan Tanjung Selor - Kabupaten Bulungan

INERSIA Vol. V No. 1, Maret 2013 Penelitian Pemetaan Kawasan Kumuh Permukiman Kecamatan Tanjung Selor - Kabupaten Bulungan Penelitian Pemetaan Kawasan Kumuh Permukiman Kecamatan Tanjung Selor - Kabupaten Bulungan Afif Bizrie Mardhanie Staff Pengajar Politeknik Negeri Samarinda Jurusan teknik Sipil fifa_yudhistira@yahoo.com

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH 5.1 Kesimpulan Kesimpulan terkait dengan analisis kriteria kekumuhan permukiman Ciloseh Kota Tasikmalaya meliputi kesimpulan terhadap dua

Lebih terperinci

5.1. Area Beresiko Sanitasi

5.1. Area Beresiko Sanitasi 5.1. Area Beresiko Sanitasi Risiko sanitasi adalah terjadinya penurunan kualitas hidup, kesehatan, bangunan dan atau lingkungan akibat rendahnya akses terhadap layanan sektor sanitasi dan perilaku hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dengan baik. Kegiatan ini adalah kelanjutan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kajian Peta Daerah Berpotensi Banjir Rob Karena Pasang Surut Analisis daerah yang berpotensi terendam banjir rob karena pasang surut dilakukan dengan pemetaan daerah berpotensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya disatukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya disatukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya disatukan oleh lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km 2. Menurut Puslitbang Geologi

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sering terjadi bencana, seperti bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, dan lain-lainnya. Bencana yang terjadi di kota-kota

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor yang memiliki derajat pengaruh terbesar adalah faktor kerentanan fisik dan faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Ada dua istilah tentang pantai dalam bahasa Indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Pesisir adalah daerah darat di tepi laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran merupakan salah satu bencana yang cukup sering melanda beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan dengan kepadatan permukiman yang tinggi.

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 1 PENDAHULUAN Bab PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari 1

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penataan Gambaran Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penataan Gambaran Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penataan 1.1.1. Gambaran Umum Kota Semarang selaku ibukota dari Provinsi Jawa Tengah memiliki keterletakan astronomis di antara garis 6º 50-7º 10 LS dan garis 109º

Lebih terperinci

PERUMUSAN ZONASI RISIKO BENCANA BANJIR ROB DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR ARIFIN

PERUMUSAN ZONASI RISIKO BENCANA BANJIR ROB DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR ARIFIN PERUMUSAN ZONASI RISIKO BENCANA BANJIR ROB DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR ARIFIN 3607100 020 LATAR BELAKANG Banjir rob melanda 27 desa pesisir Kabupaten Demak Kejadian banjir rob terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pesisir adalah wilayah bertemunya daratan dan laut, dengan dua karakteristik yang berbeda. Bergabungnya kedua karakteristik tersebut membuat kawasan pesisir memiliki

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6 0 12 Lintang Selatan dan 106 0 48 Bujur Timur. Sebelah Utara Propinsi DKI Jakarta terbentang pantai dari Barat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi berdasarkan sumber Badan Pusat Statistik sebesar 1,49% pada tahun 2015 dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 3 C. Tujuan... 4 D. Manfaat...

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kelurahan Fatubesi merupakan salah satu dari 10 kelurahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan luas daratan ± 1.900.000 km 2 dan laut 3.270.00 km 2, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan ditinjau dari luasnya terdiri atas lima pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang sangat intensif

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) Bagus Ahmad Zulfikar 1) ; Lilis Sri Mulyawati 2), Umar Mansyur 2). ABSTRAK Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Akhir kata kepada semua pihak yang telah turut membantu menyusun laporan interim ini disampaikan terima kasih.

Kata Pengantar. Akhir kata kepada semua pihak yang telah turut membantu menyusun laporan interim ini disampaikan terima kasih. Kata Pengantar Buku laporan interim ini merupakan laporan dalam pelaksanaan Penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Ciptakarya Kabupaten Asahan yang merupakan kerja sama

Lebih terperinci

PROFIL DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU TA.2017 BIDANG KAWASAN PERMUKIMAN

PROFIL DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU TA.2017 BIDANG KAWASAN PERMUKIMAN DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU PROFIL DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU TA.2017 BIDANG KAWASAN PERMUKIMAN Konsep Entitas Objek Bidang Perumahan

Lebih terperinci

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK 96 BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK 6.1 Perlindungan Muara Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai

Lebih terperinci

KAJIAN MITIGASI BENCANA KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADAT (STUDI KASUS: KELURAHAN TAMAN SARI, KOTA BANDUNG)

KAJIAN MITIGASI BENCANA KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADAT (STUDI KASUS: KELURAHAN TAMAN SARI, KOTA BANDUNG) INFOMATEK Volume 18 Nomor 1 Juni 2016 KAJIAN MITIGASI BENCANA KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADAT (STUDI KASUS: KELURAHAN TAMAN SARI, KOTA BANDUNG) Furi Sari Nurwulandari *) Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA 5.1. KESIMPULAN Kawasan Strategis Pantai Utara yang merupakan Kawasan Strategis Provinsi DKI Jakarta sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan,

III. METODE PENELITIAN. kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, III. METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaan studi terdiri dari beberapa tahapan proses penelitian antara lain tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis. Tahapan kegiatan ini dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³ KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG BERAPI DI KOTA TOMOHON Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³ ¹Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan menunjukkan bahwa manusia dengan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG

BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat risiko bencana tsunami di Kota Padang berdasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bencana

Lebih terperinci

ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN

ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN Oleh : Veranita Hadyanti Utami (3609100055) Dosen Pembimbing : Adjie Pamungkas, ST. M. Dev. Plg. PhD Prodi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembobotan. Tabel 5.1 Persentase Pembobotan Tingkat Bahaya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembobotan. Tabel 5.1 Persentase Pembobotan Tingkat Bahaya BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembobotan Adapun hasil dari kuesioner yang dilakukan dibeberapa instansi terkait kerentanan banjir dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan untuk hasil kuesioner tingkat

Lebih terperinci

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK 2.1 KONDISI AWAL KAWASAN PRIORITAS 2.1.1 Delineasi Kawasan Prioritas Berdasarkan 4 (empat) indikator yang telah ditetapkan selanjutnya dilakukan kembali rembug

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta merupakan tujuan utama bagi penduduk untuk berurbanisasi karena mereka pada umumnya melihat kehidupan kota yang lebih modern dan memiliki lebih banyak lapangan

Lebih terperinci