A. Perspektif Teori Struktural Giddens

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "A. Perspektif Teori Struktural Giddens"

Transkripsi

1 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai modal untuk melawan. Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens. Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan tindakan rasional bertujuan. A. Perspektif Teori Struktural Giddens Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas 371

2 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang ekonomi lainnya. Yang ingin dilihat adalah bagaimana tindakan PKL sebagai agen dalam kerangka struktur sosial, sebagaimana teori struktural yang dikembangkan oleh Giddens. Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial. Struktur sosial dimaksud adalah organisasi atau paguyuban internal yang dimiliki PKL dan organisasi eksternal yang menaungi aktivitas mereka, seperti PPKLS, LBH, dan lainlain. Dalam perspektif teori struktural Giddens, ditegaskan pentingnya keseluruhan atau keutuhan sosial atas bagianbagian atau aktor individual (Giddens 2009; Giddens 2010; Giddens 2011). Tindakan PKL sebagai agen individual dapat dilihat dalam kerangka struktur sosial dalam perspektif strukturalisme Giddens. Itulah sebabnya, dapat dipahami bahwa aktivitasaktivitas sosial, menurut perspektif teori ini tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan diciptakan terus-menerus oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, para agen memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas tersebut. Dalam pemahaman Giddens, tindakan manusia sebagai agen, merupakan tindakan disengaja, yang memiliki alasanalasan atas aktivitas yang dilakukan dan jika diminta mampu mengelaborasi secara diskursif alasan-alasan tersebut. Semua aktor sosial mengetahui tentang kondisi dan akibat dari apa yang mereka kerjakan dalam kehidupan sehati-hari mereka (Sztompka 2004). Tindakan aktor, menurut Giddens, terjadi dalam arus tindakan yang terus-menerus seperti halnya kesadaran (cognition). Refleksi atas tindakan manusia ini tertanam dalam monitoring terus-menerus dari tindakan manusia yang diharapkan juga diperlihatkan kepada orang lain. Monitoring 372

3 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN refleksif terhadap tindakan bergantung pada rasionalisasi dan dipahami sebagai suatu proses daripada keadaan. Hal itu inheren dalam kompetensi para agen. Dalam teori strukturasi, tindakan bukan merupakan gabungan perbuatan-perbuatan. Monitoring refleksif, rasionalisasi, dan motivasi tindakan merupakan sederet proses yang melekat. Seperti halnya monitoring refleksif dan motivasi tindakan, rasionalisasi tindakan merujuk kepada kesengajaan sebagai proses. Rasionalisasi tindakan adalah upaya yang dilakukan oleh para aktor yang secara rutin mempertahankan suatu pemahaman teoretis yang terus menerus tentang aktivitas mereka (Giddens 2010:8). Rasionalisasi tindakan dalam keanekaragaman keadaan interaksi merupakan basis utama bagi orang lain dalam mengevaluasi kompetensi umum para aktor. Dalam pandangan Giddens (2010), monitoring refleksif atas tindakan merupakan satu unsur tetap dari tindakan sehari-hari yang melibatkan tidak hanya perilaku si individu, tetapi juga perilaku dari individu-individu lain. Para aktor atau agen akan memonitor terus menerus arus aktivitas mereka dan berharap orang lain juga melakukan hal sama terhadap aktivitas mereka sendiri. Para aktor juga secara rutin memonitor aspek-aspek sosial dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak. Rasionalisasi tindakan para aktor dalam sistem tindakan tidak dipahami sebagai alasan-alasan bagi suatu tindakan tertentu, tetapi lebih pada kompetensi bahwa para aktor akan mampu menjelaskan sebagian besar tindakannya jika diminta. Visualisasi tentang rasionalisasi tindakan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut. 373

4 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Gambar 55. Rasionalisasi Tindakan dari Giddens Dalam gambar di atas, monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan memiliki perbedaan dilihat dari aspek motivasinya. Jika alasan-alasan merujuk pada dasar-dasar tindakan, motivasi mengacu pada keinginan-keinginan yang mendorongnya. Namun demikian, motif tidak dibatasi langsung oleh kesinambungan tindakan-tindakan seperti halnya monitoring refleksif atau rasionalisasinya. Motivasi mengacu pada potensi tindakan, bukan pada cara tindakan dilakukan terus menerus oleh agen bersangkutan (Giddens 2010). Motif-motif cenderung memiliki hubungan langsung dengan tindakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tidak lazim, situasi-situasi yang terputus dari rutinitas. Kebanyakan perilaku agen sehari-hari tidak didasarkan pada motivasi langsung. Umumnya keberlangsungan kehidupan sehari-hari mengalir dari suatu tindakan yang disengaja. Namun demikian, ada juga tindakan yang memiliki konsekuensi yang tidak disengaja. Konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja ini bisa secara sistematis memberikan umpan balik untuk menjadi konsekuensi-konsekuensi tidak terkenali dari tindakan selanjutnya. Agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasarkan maksud-maksud (Giddens 2010). Artinya, bahwa agar sebuah perilaku dapat dianggap sebagai tindakan, siapa pun yang melakukan harus memiliki maksud untuk melakukan tindakan tersebut. Jika tidak, maka perilaku tersebut hanya merupakan 374

5 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN respon reaktif saja. Hal ini masuk akal, karena terdapat sejumlah tindakan yang tidak bisa berlangsung kecuali jika si agen memang berkeinginan untuk melakukan tindakan tersebut. Misalnya konsep bunuh diri yang diintroduksi Durkheim. Bunuh diri tidak dapat dikatakan terjadi, kecuali apabila seseorang bermaksud untuk menimbulkan kematian bagi dirinya. Seseorang yang menyeberang jalan secara sembrono, kemudian tertabrak mobil lalu meninggal, tidak bisa dikatakan sebagai tindakan bunuh diri, karena kejadian tersebut adalah kecelakaan meskipun diawali dari kesembronoan si korban. Ini adalah kejadian kecelakaan atau accident, yakni sebagai sesuatu yang menimpa orang yang celaka, bukan karena orang itu sengaja melakukan supaya dirinya ditabrak mobil. Agar suatu kejadian yang melibatkan manusia dapat dianggap sebagai contoh agensi, maka perlu ada persyaratan bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang adalah disengaja berdasarkan deskripsi, kendatipun agen keliru mengenai deskripsi tersebut. Seseorang bisa melakukan sesuatu secara sengaja, meskipun sesuatu itu tidak seperti yang diharapkan. Jika seseorang dengan sengaja menumpahkan kopi karena ia mengira kopi tersebut adalah teh, maka menumpahkan kopi tersebut sejatinya merupakan tindakan orang tersebut meskipun tidak dilakukan secara sengaja. Namun demikian, menumpahkan sesuatu dapat dikatakan sebagai kekhilafan di tengah-tengah tindakan seseorang yang hendak melakukan sesuatu yang berbeda. Freud mengatakan bahwa hampir semua perilaku khilaf seperti itu, memiliki motivasi tidak sadar (Giddens 2010). Tindakan merupakan suatu proses berkesinambungan, yaitu suatu arus yang di dalamnya kemampuan introspeksi dan mawas diri yang dimiliki individu sangat penting bagi pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan para aktor 375

6 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang dalam kehidupan mereka sehari-hari (Giddens 2010). Seseorang acapkali melakukan banyak hal yang tidak ingin dilakukan, tetapi hal itu tetap terjadi. Seseorang bisa saja melakukan perbuatan yang tidak disengaja, meskipun hal itu tidak sematamata ia yang melakukannya. Si A bermaksud iseng meletakkan secara tidak pas secangkir kopi di atas lepek, sehingga B mengambil cangkir itu bisa dipastikan akan tumpah. B benar-benar mengambil cangkir tersebut dan tumpah karenanya. B tentu tidak sengaja menumpahkan cangkir tadi, karena posisinya memang dimungkinkan akan tumpah ketika diambil. Siapa yang menumpahkan? Jelas B yang bertindak menumpahkan cangkir tersebut, tetapi perbuatan A juga dipandang turut mengakibatkan tumpahnya cangkir. Semua tindakan manusia dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis tindakan, yaitu tindakan disengaja dan tindakan yang tidak disengaja. Tindakan disengaja jelas maknanya, karena dilakukan untuk maksud-maksud tertentu. Orang membeli tiket pesawat Garuda untuk pergi ke Jakarta pada hari Senin, karena ada urusan tertentu, merupakan contoh dari tindakan disengaja. Apa arti melakukan sesuatu tindakan tidak disengaja? Giddens (2010) memberikan contoh sederhana mengenai hal ini. A menghidupkan lampu agar ruangan menjadi terang. Ternyata di dalam ruangan tersebut ada seorang pencuri dan ketahuan setelah lampu tersebut dihidupkan. Meskipun tindakan menghidupkan lampu disengaja oleh A, tetapi menghidupkan lampu yang memberitahukan keberadaan seorang pencuri bukanlah tindakan disengaja. Untuk mengetahui apakah suatu tindakan itu disengaja atau tidak, Giddens (2010) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan disengaja adalah upaya menyifati sebuah tindakan yang diketahui atau diyakini oleh pelakunya akan memiliki kualitas atau hasil tertentu dan pengetahuan itu 376

7 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN dimanfaatkan si pelaku untuk memperoleh kualitas atau hasil tertentu. Dari pengertian tindakan disengaja ini, maka perilaku A menghidupkan lampu yang mengakibatkan si pencuri ketahuan berada di ruangan tersebut, tergolong sebagai tindakan tidak disengaja. Hal ini karena si pelaku tidak mengetahui kalau pencuri ada di dalam ruangan. Apakah jika si pencuri ketahuan lalu ditangkap polisi, merupakan konsekuensi yang disengaja dari tindakan A? Menurut konsep Giddens, segala hal yang menimpa si pencuri setelah A menghidupkan lampu, termasuk konsekuensi tidak disengaja dari tindakan menghidupkan lampu karena A tidak mengetahui keberadaan si pencuri. Semakin jauh rentang waktu konsekuensi-konsekuensi dari konteks tindakan pertama, maka akan semakin kecil kemungkinan konsekuensi-konsekuensi itu disengaja. Anggapan ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dipunyai aktor dan daya kuasa dia untuk memobilisasinya. Kadangkala perilaku manusia bersifat irasional, tetapi aktivitas yang irasional atau yang kelihatannya tahayul, bisa saja dipandang rasional. Menurut Merton, hal ini terutama terjadi pada aktivitas atau praktik-praktik yang sudah berlangsung cukup lama. Jika ditemukan bahwa ada fungsi laten di balik aktivitas atau praktik tertentu, seperangkat konsekuensi yang tidak disengaja yang mengiringi atau mempertahankan keterulangan aktivitas atau praktik tersebut, dapat dipastikan praktik tersebut tidak irasional (Giddens 2010). Sebagai contoh, sebuah upacara dapat memiliki fungsi laten, berupa penguatan identitas kelompok dengan memberikan kesempatan rutin kepada setiap anggota kelompok yang tersebar untuk berkumpul dengan melakukan aktivitas bersama. Aktivitas-aktivitas sosial kelompok mengadakan upacara bersama ini, selain untuk mempertahankan identitas 377

8 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang kelompok juga untuk menjaga kelangsungan hidup (survival) mereka. Dalam konteks individu, relasi yang dibangun antara anggota kelompok yang satu dengan lainnya, ditengarai ada dorongan motivasional yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Dalam relasinya dengan orang lain, aktor atau agen dalam bertindak harus mampu menggunakan secara terus menerus kekuasaan kausal, termasuk dalam memengaruhi kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain (Giddens 2010). Tindakan agen tergantung pada kemampuannya untuk memengaruhi keadaan atau peristiwa yang telah ada sebelumnya. Menurut Giddens (2010:23), seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian apabila ia kehilangan kemampuan untuk memengaruhi orang lain. Kekuasaan agen dipahami dalam kaitannya dengan maksud atau kehendak, yakni sebagai kemampuan untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan atau dimaksudkan. Dalam pandangan Parsons, kekuasaan merupakan sebuah kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial. Kekuasaan berbeda dengan sumber daya, dan sebagaimana diungkapkan Giddens (2010) bahwa kekuasaan memang bukan sumber daya. Sumber daya itu sendiri merupakan sarana untuk menggunakan kekuasaan dalam sistem interaksi sosial. Dalam sistem sosial, kekuasaan mengandaikan adanya rutinisasi relasi kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor atau kelompok dalam konteks interaksi sosial. Ketergantungan dalam keadaan tertentu dapat menawarkan sumber daya yang memberikan kemampuan kepada pengikut atau anggota kekompok untuk memengaruhi ketua atau pimpinan kelompok. Inilah yang oleh Giddens disebut dengan dialektika kendali dalam sistem sosial. 378

9 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN B. Perspektif Teori Tindakan Weber Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa respon yang ditunjukkan PKL dalam menghadapi kebijakan penataan PKL oleh Pemkot bermacam-macam. Mereka yang ditertibkan dan digusur ada yang pasrah menerima nasib, bersedia pindah ke lokasi yang disediakan Pemkot, ada yang bersedia minggir tetapi setelah itu kembali ke lokasi berdagang (run and back), dan ada yang resisten tetap bertahan di lokasi di mana mereka melakukan aktivitas ekonomi sektor informal. Dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, resistensi PKL yang merupakan respon terhadap kebijakan Pemkot, terdiri atas dua bentuk yaitu dengan perlawanan fisik (kekerasan) dan perlawanan nonkekerasan. Perlawanan kekerasan (violence resistance) ditunjukkan dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu, menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, dan menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan lapak PKL. Perlawanan nonkekerasan (nonviolence resistance) diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai, berorasi, lari dan kembali (run and back), membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi aktivitas mereka. Weber (dalam Habermas 2009) memperkenalkan makna sebagai konsep tindakan dasar dan menggunakannya untuk 379

10 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati. Perilaku manusia, yang eksternal maupun internal, aktif maupun pasif, akan disebut tindakan manakala aktor melekatkan makna subjektif ke dalam perilaku tersebut. Teori tindakan Weber yang bersifat subjektif ini berbeda dengan teori tindakan Habermas yang bercorak komunikatif atau intersubjektif. Dalam ruang sosial, konsep tindakan subjektif Weber tidak dapat diterima oleh Habermas, karena tindakan aktor tidak dipandang bermakna kalau hanya berdasarkan rasionalitas sang aktor. Itulah sebabnya, menurut Habermas (2009), model tindakan bertujuan harus diperluas dengan dua spesifikasi agar syarat bagi interaksi sosial terpenuhi. Pertama, suatu orientasi ke arah perilaku subjek lain yang bertindak. Kedua, suatu relasi refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang bertindak. Meskipun demikian, Weber menyadari bahwa suatu tindakan akan mengandung makna sebagaimana dimaksud oleh seorang atau beberapa aktor, apabila tindakan tersebut menjelaskan perilaku orang lain dan orientasinya juga dipengaruhi oleh perilaku orang lain tersebut. Dalam bahasa Ricoeur, tindakan dimaknai sebagai pemenuhan-pemenuhan dan intervensinya dalam peristiwa publik dan pengejawantahan publik lainnya (Kaplan 2010). Weber membagi tindakan manusia ke dalam empat aspek, yaitu tindakan rasional bertujuan, tindakan rasional bernilai, tindakan afektual, dan tindakan tradisional (den Doel 1988; Habermas 2009; Abercrombie, et al 2010). Tindakan rasional bertujuan dicapai melalui harapanharapan seperti keadaan objek-objek di dalam dunia eksternal atau perilaku orang lain. Harapan-harapan ini dijadikan seseorang sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan, serta dipertimbangkan dan diupayakan secara rasional berdasarkan keberhasilannya. 380

11 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN Tindakan rasional bernilai ditempuh melalui kepercayaan sadar, seperti etis, estetis, religius terhadap nilai intrinsik dan mutlak dari mode perilaku tertentu sebagaimana adanya dan terlepas dari apakah berhasil atau tidak. Tindakan efektual atau emosional, diperoleh melalui kondisi afeksi atau emosional yang tengah dialami. Perasaan senang atau benci pada sesuatu dapat memicu tindakan seseorang. Tindakan yang berada dalam situasi tradisional berupa pembiasaan praktik yang telah lama dilakukan. Wolfgang Schluchter (dalam Habermas 2009) menyarankan bahwa tipologi tindakan Weber ini dapat direkonstruksi menurut unsur formal tindakan rasional bertujuan. Bagi Schluchter, seorang aktor bertindak secara rasional bertujuan ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala konsekuensi nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Cakupan hal-hal yang dipertimbangkan aktor dalam bertindak semakin menyempit. Dalam tindakan rasional bernilai, konsekuensi-konsekuensi yang dipilih dari makna subjektif lalu diikat dengan kontrol rasional. Dalam tindakan afektual, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan adalah konsekuensi itu sendiri dan nilai-nilai yang ada. Dalam tindakan berbasis tradisi, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan adalah tujuan. Versi resmi dari konsep tindakan Weber dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15. Tipologi Resmi Tindakan Weberian Jenis-jenis Tindakan menurut rasionalitas dari tertinggi hingga terendah Makna Subjektif mencakupi elemenelemen berikut. Sarana Tujuan Nilai Konsekuensi Rasionalitas bertujuan Rasionalitas bernilai Afektual Tradisional Sumber: Habermas (2009) 381

12 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi, Weber (dalam Habermas 2009) menetapkan tindakan sosial pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama, stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi (Habermas 2009). C. Perspektif Teori Tindakan Parsons Parsons dengan mengutip Weber, menjelaskan bahwa tindakan seorang aktor merupakan tindakan rasional bertujuan atau tindakan normatif. Dalam kaitan ini, Parsons (dalam Habermas 2009) membedakan tindakan voluntaristik dan konsep normativis tentang tatanan. Dengan mengutip katakata Weber, Parsons mengatakan, setiap refleksi mendalam tentang elemen-elemen hakiki dari tindakan bermakna yang dilakukan manusia, pada dasarnya dilakukan berdasarkan kategori tujuan dan sarana. Parsons mengambil struktur teleologis bertujuan yang terkandung dalam seluruh tindakan sebagai panduan dalam analisisnya tentang konsep tindakan sosial (Habermas 2009). Dalam model tindakan teleologis, aktor dipahami sebagai orang yang pada situasi tertentu menetapkan tujuan tertentu serta memilih dan menetapkan cara yang sesuai untuk mencapainya. Tujuan dipahami Parsons sebagai hal-hal pada masa depan yang ingin diwujudkan oleh sang aktor (Habermas 2009). Hal- 382

13 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN hal yang mendasari keputusan aktor di antara berbagai pilihan sarana merupakan aturan dasar; sedangkan yang mendasari penetapan tujuan merupakan orientasi nilai dan norma. Keduanya dipadukan Parsons dalam suatu standar normatif. Dalam hal ini, tindakan dapat dianalisis sebagai orientasi tindakan yang dilakukan sang aktor dalam sebuah situasi tindakan. Kerangka konseptual tindakan Parsons memiliki dua implikasi. Pertama, model tindakan tidak hanya mengandaikan aktor memiliki kapasitas kognitif, tetapi juga menyarankan bahwa aktor dapat membuat keputusan yang dipandu secara normatif berkaitan dengan penetapan tujuan dan pemilihan sarana. Teori tindakan ini menurut Parsons termasuk tindakan voluntaristik. Kedua, konsep Parsons tentang situasi mengandaikan bahwa sarana dan syarat yang terkait dengan orientasi tindakan ditafsirkan dari perspektif agen sendiri. Dalam hal ini, teori tindakan diletakkan pada konteks subjektivitas. Hal ini juga diakui oleh Ricoeur, bahwa pribadi-pribadi merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (Kaplan 2010). Dalam hal tindakan, Ricoeur juga memahami bahwa sebuah diri bukan fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak secara bertanggung jawab. Dalam hal orientasi tindakan, Parsons melihat dua aspek penting. Pertama, tindakan direpresentasikan sebagai proses pencapaian tujuan sembari mempertimbangkan standar normatif. Dalam aspek pencapaian tujuan, diperlukan upaya atau biaya yang berbuah hasil atau kepuasan. 383

14 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Kedua, pertimbangan standar normatif berupa tindakan menjembatani kesenjangan antara wilayah yang sebenarnya dengan wilayah yang seharusnya, antara fakta dengan nilai, antara kondisi situasi tertentu dengan orientasi agen. Elemen normatif dari suatu tindakan menurut Parsons hanya dapat dicapai melalui serangkaian tindakan, sebab dengan tindakan, norma dapat direalisasikan sepenuhnya. Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana tatanan sosial muncul, Parsons mengkaji konsep Durkheim. Parsons menerima pandangan Durkheim bahwa tindakan para aktor hanya dapat dikoordinasi secara memuaskan berdasarkan norma-norma yang diakui secara intersubjektif. Parsons mengembangkan gagasan tentang sistem nilai yang mengandung imperatif moral, yang pada satu sisi terkandung dalam norma sosial dan di sisi lainnya terdapat pada motif aktor yang bertindak. Ketika diterapkan pada regulasi baku perbuatan dalam sejumlah kondisi yang relatif ajek, maka sistem nilai seperti itu terkandung dalam serangkaian aturan normatif (Habermas 2009). Aturan-aturan tersebut tidak hanya menjadi tujuan dari perilaku spesifik dan mata rantai dari tujuan-tujuan tersebut, tetapi juga mengatur secara keseluruhan atau sebagian tindakan individu. Pada gilirannya, proses tersebut memerlukan kontrol atas perilaku internal. Individu konkret normal adalah individu yang memiliki disiplin secara moral. Ini artinya bahwa elemenelemen normatif telah terinternalisasi dalam diri individu. Norma-norma yang semula mengekang individu, menurut Parsons berubah menjadi kewajiban moral. Subjektivitas tindakan individu Parsons ini menerapkan konsep moral yang telah dikembangkan oleh Durkheim. Sejalan dengan Durkheim, Parsons merasa puas telah berhasil menemukan karakter dimensi normatif sebagai sikap di mana aktor yang bertindak dapat mematuhi atau melanggar 384

15 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN perintah-perintah yang mengikat. Dalam hal ini, aktor memiliki otonomi moral, yakni kebebasan untuk mematuhi suatu aturan. Otonomi atau otoritas moral sebagai suatu tatanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Durkheim, dalam bahasa Weber disebut dengan legitimasi. Tindakan aktor yang otonom mengacu pada konsensus nilai dan menurut Parsons, tindakan tersebut pasti berorientasi pada tujuan. Tatanan ini mensyaratkan adanya tindakan berorientasi nilai-rasional. Parsons (dalam Habermas 2009) mengakui bahwa tatanan sosial kadang juga dibentuk melalui kompromi antara kepentingan individu yang saling bertumpang tindih. Sembari tetap memiliki kepentingan individunya, aktor menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tindakan terkoordinasi dalam sebuah tatanan sosial yang absah. Konsep tindakan Parsons, utamanya tindakan rasional bertujuan, ditafsirkan dalam kerangka alur utilitarian. Dalam pandangan Parsons, aktor berhadapan dengan suatu dunia objektif, berupa hal-hal yang terjalin dan ia memiliki pengetahuan empiris yang pasti tentang peristiwa dan situasi tempat ia berada. Empirisme mengasimilasikan subjek yang bertindak dan subjek yang merepresentasikan dan menilai. Asumsinya adalah aktor telah mengetahui fakta situasi tempat ia bertindak, syarat-syarat yang diperlukan dan sarana yang tersedia untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Parsons menyebut konsep tindakan ini sebagai tindakan rasional. Selanjutnya, menurut Parsons, keberhasilan tindakan bertujuan yang diorientasikan kepada fakta hanya diukur dari apakah tindakan tersebut mengarah pada tujuan atau tidak (Habermas 2009). Selain aturan dasarnya adalah peningkatan manfaat, norma lain dalam model tindakan rasional bertujuan adalah berkaitan dengan efektivitas sarana yang dipilih atau berhubungan dengan efisiensi intervensi yang dilakukan. Konsep tindakan rasional bertujuan tidak menyediakan mekanisme yang digunakan oleh aktor untuk 385

16 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang mengkoordinasikan tindakan satu dengan lainnya. Parsons (dalam Habermas 2009) mengintroduksi juga konsep tindakan strategis, yang ia sebut dengan atomistik. Apabila aktor hanya berhadapan dengan dunia yang ada, keputusan aktor lain hanya relevan baginya dari sudut pandang keberhasilannya sendiri. Hubungan stabil antara para aktor hanya dapat terjadi ketika kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam relasi sosial saling melengkapi dan saling menopang. Mengacu pada pandangan Hobbes, Parsons (dalam Habermas 2009) meyakini bahwa subjek atau aktor dibekali kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan. Pencapaian kepentingan tiap-tiap individu menurut Hobbes akan terjebak pada perang untuk memperebutkan barang, karena hasrat dari tiap-tiap individu beranekaragam. Masingmasing aktor juga memandang bahwa keputusan setiap aktor lainnya merupakan sarana atau syarat untuk mewujudkan tujuan mereka sendiri. Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk memengaruhi orang lainnya. Dalam interaksi ini muncul apa yang disebut dengan kekuasaan. Dalil rasionalnya adalah bahwa seluruh manusia pasti menginginkan kekuasaan atas sesamanya. Konsep kekuasaan ini menempati posisi sentral dalam analisis tatanan. Oleh karena masyarakat terperosok ke dalam perjuangan untuk memperoleh kekuasaan jangka pendek, maka tujuan akhir berupa keinginan bersama tidak akan pernah ada. Solusi yang ditawarkan Hobbes adalah adanya kontrak untuk menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuasaan mutlak (Habermas 2009). Parsons menentang pandangan Hobbes tentang solusi berupa kontrak kekuasaan tersebut. Parsons yakin bahwa kontrak yang memberikan kepada penguasa tersebut tidak sejalan dengan konsep rasional bertujuan. Dua alasan berikut 386

17 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN menjadi pertimbangan Parsons menolak pandangan Hobbes tentang kontrak kekuasaan. Pertama, realisasi kontrak biasanya dijalankan dengan menggunakan paksaan dan penipuan. Kedua, paksaan dan penipuan tersebut tidak sesuai dengan hakikat rasional bertujuan yang lebih banyak bersifat persuasif. Berbeda dengan pandangan Hobbes yang memerlukan suatu kekuatan tertentu untuk membatasi perilaku alamiah manusia yang cenderung egois, Locke percaya bahwa setiap manusia memiliki kesetaraan dan kebebasan serta mereka memiliki kewajiban resiprokal untuk mengakui setiap orang dan mereka bersedia mengorbankan kepentingan sesaatnya. Sikap tunduk pada kekuasaan mutlak harus didasarkan pada konsensus normatif, bukan pada paksaan. Normalah yang menjadi pembatas tindakan aktor yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Pembatasan tersebut berlangsung melalui orientasi terhadap nilai. Orientasi tindakan individu mengarah pada nilai-nilai yang mengikat. Dengan mengacu pada nilainilai atau kesepakatan normatif, maka tindakan bertujuan yang berorientasi pada nilai akan berjalan seiring dengan tatanan yang mengintegrasikan nilai. Tatanan sosial yang dipahami Parsons merupakan struktur sosial. Dalam struktur sosial ini, suatu masyarakat dapat terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat diramalkan melalui pola perilaku yang berulang antarindividu dan antarkelompok. Sementara itu, sistem sosial sebagai bagian dari struktur sosial dipahami Parsons sebagai sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurangkurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang memiliki motivasi, dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi yang didefinisikan dan dimediasi dalam simbol bersama yang terstruktur secara kultural (Martono 2011:50). 387

18 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik. Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus dijalankan. Empat fungsi itu adalah adaptation atau adaptasi (A), goal attainment atau pencapaian tujuan (G), integration atau integrasi (I), dan latent pattern maintenance atau pemeliharaan pola-pola laten (L) (Kinloch 2005). Keempat fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL. Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah pemeliharaan pola-pola laten. D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional Pandangan Giddens, Weber, dan Parsons mengenai tindakan aktor atau subjek individual tidak jauh berbeda. Mereka meyakini bahwa tindakan aktor dalam suatu aktivitas tertentu merupakan tindakan rasional atau tindakan rasional bertujuan. Tindakan aktor tersebut cenderung untuk mengejar kepentingan mereka masing-masing. Namun tindakan aktor tidak akan berlangsung jika tidak berada dalam suatu struktur sosial tertentu, di mana masing-masing aktor berinteraksi satu dengan lainnya. 388

19 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN Pedagang kaki lima (PKL) resisten terhadap Pemkot Semarang merupakan tindakan yang disadari dan memiliki tujuan, agar mereka tetap diizinkan berdagang di lokasi guna memenuhi keperluan hidup hidup sehari-hari. PKL seperti halnya kelas bawah lainnya sesungguhnya tidak memiliki keberanian melawan pemerintah atau negara, tetapi sebagaimana dikemukakan Paige, intervensi dari luar berpotensi menggerakkan kelas bawah dalam suatu bentuk perlawanan tertentu (Alisjahbana 2006). Dukungan dari PPKLS, LBH, dan organisasi lainnya, menguatkan nyali PKL melawan Pemkot. Semua itu mereka lakukan agar mereka dapat bekerja di tempat yang bagi mereka mudah untuk memperoleh penghasilan, sehingga mereka dapat menghidupi keluarganya. Dengan bekerja, kelangsungan hidup mereka dapat terjaga. Gambaran tentang bagaimana PKL resisten terhadap pemerintah dan apa tujuan mereka bertindak resisten dapat dilihat pada gambar berikut. Tindakan PKL disadari dan bertujuan Kebijakan Pemerintah yang tidak akomodatif Resistensi PKL PKL Bertahan Hidup (Survive) Dukungan dari Organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan 389

20 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang Di Semarang terdapat dua tempat untuk menampung para pedagang kaki lima (PKL) yang bersedia dipindah atau direlokasi, yaitu di Kokrosono dan Pasar Waru, tetapi mengapa PKL menolak direlokasi atau menolak perubahan terhadap dirinya. Banyak aspek, faktor, atau alasan mengapa PKL tidak bersedia dipindah dan mereka melawan ketika digusur. Dari penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak pemkot dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula. Respon-respon dari yang ditunjukkan oleh PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk kepentingan bertahan hidup (survive) atau paling tidak untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Memang ada di antara PKL yang diteliti, tidak sekedar bertahan hidup. Di Kokrosono yang lokasinya tidak layak untuk berdagang, karena tempatnya berada di pinggir sungai, kumuh, kotor, dan bau ketika hujan, terdapat dua orang pedagang yang sukses menekuni pekerjaan sebagai pedagang kaki lima. Demikian pula, di Sampangan, ada seorang pedagang gado-gado yang cukup sukses secara ekonomi, meskipun ia mengalami penggusuran di tempat di mana ia berjualan. Pedagang kaki lima yang sukses juga ditemui di bundaran Simpang Lima. Namun demikian, sebagian besar 390

21 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, Kokrosono, dan di tempat lainnya hidup sebagai PKL hanya cukup untuk bertahan hidup atau menjaga kelangsungan hidupnya. Tindakan PKL melawan Pemerintah kota Semarang dapat dipahami dalam konteks tindakan individual dan tindakan kolektif. Dalam hal tindakan individual, konsep aktor atau agen dari Giddens dapat menjelaskan mengapa PKL bersikap resisten terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Sebagaimana dikatakan Giddens bahwa aktor atau agen memiliki kesadaran (kognitif) terhadap apa yang mereka lakukan, artinya mereka tahu apa yang akan dan telah dilakukan. Tindakan agen tersebut memang sengaja dilakukan, di dalamnya ada unsur kehendak dan kebebasan (Moya 1990). Tindakan tersebut merupakan tindakan rasional. Tindakan tersebut tentu sengaja dilakukan, tidak secara kebetulan. Masih adanya beberapa PKL yang nekat berdagang di Basudewo, di Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya, menunjukkan bahwa para PKL memang sadar mengenai apa yang dilakukan, dan mereka pun siap menanggung resiko ketika harus ditertibkan petugas Satpol PP kota Semarang. PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan rasional, karena apa yang mereka lakukan telah disadari betul, sebab jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya. Tindakan PKL tersebut juga disengaja dilakukan, karena mereka juga menyadari akan resiko yang akan ditanggungnya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, di antaranya mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Pak Haji Mustaqim merupakan salah satu contoh PKL Kokrosono liar 391

22 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang yang semula sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono, tetapi karena dagangan sepi, pak Haji kembali berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Agar diizinkan berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat tersebut, pak Haji bersedia membayar kalau diperlukan. Ketika diwawancarai, pak Haji berujar: membayar sepuluh juta pun saya mau pak, asalkan diperbolehkan berjualan di sini (tepi jalan). Hal ini juga diakui pak Mul, kalau harus membayar saya siap pak asal boleh berdagang di sini. Sikap resisten dan tindakan PKL melawan pemerintah, dari sisi agen merupakan tindakan manusia yang di dalamnya terlekat makna subjektif (Weber) atau bersifat individual. Tindakan melawan, dalam arti tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sebagaimana diperlihatkan PKL Kokrosono merupakan tindakan subjektif. Para PKL menggunakan taktik run and back, merupakan contoh tindakan subjektif dan ini rasional bagi mereka. Tipe tindakan rasional bertujuan Weber juga dapat menjelaskan mengapa PKL resisten terhadap Pemkot. Para PKL tetap bertahan di lokasi memang disengaja dengan tujuan agar Pemkot memperhatikan nasib dan masa depan PKL yang berjualan di tepi sungai, yakni dengan mendirikan tempat yang layak bagi mereka untuk berdagang, meski kenyataannya hal itu tidak sesuai dengan harapan para PKL. Pemkot tetap pada pendiriannya, yaitu menertibkan, menggusur, dan memindahkan PKL sebagaimana dialami PKL Basudewo. Tindakan melawan yang dilakukan PKL juga dapat dipahami dari aspek tindakan rasional bernilai dari Weber. Para PKL tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan memang tidak benar, tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka terpaksa harus berdagang di tempat tersebut karena selama ini dagangan mereka ramai dikunjungi pembeli dan jika pindah belum tentu 392

23 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN dagangannya laku. Kenikmatan pada zona aman (comfort zone) ketika berada di lokasi lama, membuat PKL bersikukuh bertahan di lokasi. Dalam hal tindakan kolektif, para PKL bertahan di lokasi karena tindakan mereka sudah terkoordinasi, seperti yang terlihat pada tindakan kolektif PKL Sampangan dan PKL Basudewo. Adanya kesepakatan bersama (normatif) dari PKL untuk tetap bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan Pemerintah kota, membuat tindakan individual PKL bertransformasi menjadi tindakan kolektif. Tindakan kolektif ini terwujud dalam bentuk menghalangi petugas yang akan menggusur mereka, memblokade jalan, pawai menuju Kantor Balaikota, dan berdemonstrasi. Kekuatan kolektif inilah yang membuat para individu PKL berani melawan dan tidak patuh terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh oleh Pemkot Semarang. Tindakan individual PKL juga dapat dipahami dalam konteks teori tindakan Parsons. Teori tindakan Parsons mirip dengan teori tindakan Weber, di mana aktor bertindak rasional, subjektif, dan cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri (self-interest). Parsons setuju dengan konsep tindakan rasional bertujuan dari Weber, di mana tindakan memiliki tujuan-tujuan tertentu dan mengandaikan adanya sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Para PKL bertindak melawan Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional bertujuan, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku. Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL 393

24 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti Lembaga Bantuan Hukum, Pattiro, Organisasi Mahasiswa, dan lain-lain. Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL yang terkena kebijakan relokasi ini digunakan para PKL untuk mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi semula. PKL Sampangan berhasil mewujudkan tujuannya, yakni tetap berdagang di lokasi semula, meskipun tempat berdagangnya sedikit bergeser ke arah selatan. PKL Basudewo bertahan di lokasi, hingga akhirnya pindah pada awal tahun PKL Kokrosono (liar) tidak pindah, tetap bertahan untuk berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keberhasilan gerakan rakyat kecil ini sejalan dengan hasil temuan Roever (2005) yang menunjukkan bahwa rakyat miskin dalam situasi tertentu berhasil memobilisasi dan mendesakkan tuntutan mereka. Aktivitas PKL Basudewo yang masih berjalan hingga akhir Desember 2010 dan kegiatan kuliner PKL Sampangan yang masih berlangsung hingga kini merupakan contoh dari keberhasilan tindakan kolektif PKL. Tindakan para PKL untuk tetap bertahan di lokasi di mana mereka berjualan sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan memang memerlukan upaya dan biaya yang tidak kecil (bagi ukuran PKL) seperti yang diperlihatkan oleh PKL Basudewo. Perjuangan PKL Basudewo selama dua tahun, yaitu tahun 2009 sampai dengan 2010 membutuhkan energi yang luar biasa dari para PKL, tidak hanya uang, tetapi tenaga, waktu, dan pikiran. Buah dari kerja keras itu adalah mereka tetap dapat bertahan berjualan di lokasi, di tengah-tengah ancaman preman dan tindakan kekerasan dari aparat pemerintah, seperti Satpol PP dan Kepolisian. Sebagai aktor yang bertindak individual dalam kaitannya dengan posisinya sebagai pedagang yang cenderung 394

25 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN mengutamakan self-interest, tindakan para PKL juga dapat dikoordinasi berdasarkan norma-norma intersubjektif, yakni oleh paguyuban internal yang mereka bangun, seperti yang dimiliki PKL Basudewo. Sebagaimana dikemukakan Durkheim, bahwa dengan adanya paguyuban, ada imperatif moral dari sistem nilai bersama yang menegaskan adanya aturan normatif yang berfungsi mengontrol perilaku anggota PKL sebagai aktor. Salah satu contoh dari nilai bersama yang disepakati para PKL adalah ketika PKL Basudewo bersepakat untuk tetap bertahan di lokasi. Dalam rapat yang diselenggarakan pada hari Minggu tanggal 23 Mei 2010, para PKL bersepakat untuk turun ke jalan menemui walikota Semarang pada tanggal 25 Mei 2010, dengan tujuan agar mereka diberi kesempatan untuk tetap dapat berdagang di Basudewo. Jumlah mereka yang berangkat turun ke jalan adalah 65 orang PKL, dengan didampingi beberapa orang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Untuk kepentingan aksi ini, PKL bersepakat membayar iuran sebesar Rp10.000,00 per orang. Para PKL yang ingin tetap dapat berdagang di Basudewo harus bersedia bergabung dan bekerja bersama dalam paguyuban yang telah mereka bentuk. Norma yang disepakati, di antaranya membayar iuran Rp10.000,00 setiap diadakan rapat, harus hadir jika diundang rapat, dan tidak berjualan pada saat mengadakan aksi ke jalan, merupakan norma yang seakan-akan mengekang hak individual PKL. Rasa solidaritas terhadap perjuangan paguyuban PKL Basudewo, menyebabkan banyak anggota PKL yang turut bergabung dalam tindakan kolektif yang diinisiasi oleh paguyuban. Mereka merasa kewajiban tersebut tidak dipaksakan, tetapi merupakan kewajiban moral yang harus ditanggung bersama. Rapat PKL dalam rangka memperjuangkan tujuan untuk dapat berdagang di lokasi lama, telah dilakukan PKL Basudewo tidak kurang dari 20 kali selama tahun Dari komitmen dan aktivitas PKL Basudewo 395

26 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang menunjukkan bahwa anggota PKL sebagai aktor individu dapat menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tatanan sosial sebagaimana dikehendaki oleh paguyuban PKL Basudewo. Selaras dengan pandangan Parsons, PKL sebagai aktor menyadari apa yang mereka lakukan, yaitu bekerjasama untuk kepentingan bersama, agar PKL tetap diizinkan berdagang di lokasi yang selama ini mereka tempati. Tindakan PKL dalam konteks individual juga dapat dipahami dari pandangan Ricoeur. Sebagaimana diungkapkan Ricoeur bahwa sebuah diri seorang subjek bukan fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak secara bertanggung jawab (Kaplan 2010). Pedagang kaki lima (PKL) dalam pandangan Ricoeur ini juga merupakan aktor yang mampu berbicara, meskipun kebanyakan pendidikannya tidak tamat SMA, dan bertindak untuk merealisasikan kebutuhannya. Mereka berdagang di tempat terlarang, memang mereka akui salah, tetapi tidak ada pilihan lain bagi mereka selain berdagang meskipun harus menempati lokasi yang dilarang oleh ketentuan Peraturan Daerah. Mereka sudah memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk ketika harus menerima resiko digusur dari tempat di mana mereka berjualan. Mereka sejatinya juga bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. PKL Sampangan misalnya, selesai berdagang pasti juga membersihkan kotoran dan sampah yang timbul akibat dari usaha perdagangan mereka. Demikian pula, yang dilakukan oleh PKL Basudewo dan Kokrosono. Apabila mereka diberi otonomi dan kepercayaan untuk mengelola aktivitasnya, tidak digusur dari tempatnya, atau bahkan didukung dengan dibuatkan tempat untuk berdagang yang layak, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah diberikan oleh pemerintah kepadanya. 396

27 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN E. Rangkuman Kebijakan Pemkot Semarang merelokasi PKL dengan caracara represif, direspon PKL dengan tindakan resisten. Resistensi merupakan suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang, dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat menikmati aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup mereka, yang belum tentu memberi jaminan dengan kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup lebih baik. Inilah yang menyebabkan para PKL bersikap resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan. Faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak Pemkot dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula. PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan rasional, sebagaimana pandangan Giddens, karena apa yang 397

28 Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang mereka lakukan telah disadari betul. Jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka khawatir tidak bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, misalnya mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Para PKL bertindak melawan Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional bertujuan, sebagaimana diintroduksi Weber dan Parsons, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku dan pembelinya tidak lari ke tempat lain. Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima kota Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti LBH, Pattiro, Organisasi Kemahasiswaan, dan lain-lain. Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL digunakan para PKL untuk mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi yang selama ini mereka gunakan untuk berdagang dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya. 398

BAB XI PENUTUP. A. Simpulan. Dari hasil penelitian dan temuan lapangan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

BAB XI PENUTUP. A. Simpulan. Dari hasil penelitian dan temuan lapangan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. BAB XI PENUTUP A. Simpulan Dari hasil penelitian dan temuan lapangan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pedagang kaki lima (PKL) sebagai bagian dari entitas ekonomi sektor informal tidak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB IX MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL

BAB IX MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL BAB IX MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL Dalam bab berikut disajikan uraian tentang kontribusi, pengaruh atau peran modal sosial terhadap perlawanan (resistensi) PKL. Konsep-konsep pokok atau unsur-unsur

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI

DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oktober 2011 PADA MULANYA...WEBER ZWECKRATIONALITÄT RASIONALITAS BERTUJUAN WERTRATIONALITÄT RASIONALITAS

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antar aktor dalam proses negosiasi dan resolusi konflik Pasar Kranggan Yogyakarta. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. antar aktor dalam proses negosiasi dan resolusi konflik Pasar Kranggan Yogyakarta. Seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi alur konflik yang terjadi dalam proyek revitalisasi Pasar Kranggan Yogyakarta. Penelitian ini juga ingin mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wadah yang disebut masyarakat. Seperti yang kita ketahui pada zaman yang

BAB I PENDAHULUAN. wadah yang disebut masyarakat. Seperti yang kita ketahui pada zaman yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau secara sosiologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang disebut masyarakat. Seperti yang kita ketahui pada zaman yang modern ini masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN BERBASIS KOMPETENSI

PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN BERBASIS KOMPETENSI PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN BERBASIS KOMPETENSI UU No.4 Tahun 2014 tentang ASN PEMBINAAN KARIR JABATAN DAN JENJANG PANGKAT POLA DASAR KARIR PERPINDAHAN JABATAN POLA KARIR MANAJEMEN KARIR TALENT POOL SDM

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Pola Asuh Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (dalam Isni Agustiawati, 2014), kata pola berarti model,

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL Tidak seperti biologi atau teori-teori psikologi yang, untuk sebagian besar, mengeksplorasi faktor-faktor yang terkait kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Provinsi Jawa Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km sebelah tenggara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI MODUL PERKULIAHAN PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI Pokok Bahasan 1. Alternatif Pandangan Organisasi 2. Perkembangan Teori Dalam Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Ilmu Komunikasi Public

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NEQUALITY DAN MUNCULNYA PERILAKU ANOMI Beberapa konsep yang digunakan pada kajian ini ialah, komunitas, inequality, konflik, dan pola perilaku. Komunitas yang dimaksud disini

Lebih terperinci

BAB II STRUKTURAL FUNGSIONAL TALCOTT PARSONT. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional

BAB II STRUKTURAL FUNGSIONAL TALCOTT PARSONT. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional BAB II STRUKTURAL FUNGSIONAL TALCOTT PARSONT Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional oleh Talcott Parsons. 45 Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. menentukan. Strategi utama yang harus dilakukan oleh pedagang waralaba Tela-Tela

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. menentukan. Strategi utama yang harus dilakukan oleh pedagang waralaba Tela-Tela BAB II. KAJIAN PUSTAKA Umumnya bertumbuhnya ekonomi selalu dijelaskan lebih karena faktor eksternal seperti struktur dan sistem ekonomi. Namun, pengaruh internal juga sangat menentukan. Strategi utama

Lebih terperinci

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER Max Weber (1864-1920), ia dilahirkan di Jerman dan merupakan anak dari seorang penganut protestan Liberal berhaluan sayap kanan. Weber berpendidikan ekonomi, sejarah,

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 KONFLIK ORGANISASI Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan

Lebih terperinci

Dasar-Dasar Etika Michael Hariadi / Teknik Elektro

Dasar-Dasar Etika Michael Hariadi / Teknik Elektro Dasar-Dasar Michael Hariadi / 1406564332 Teknik Elektro Sama halnya antara karakter dan kepribadian, demikian juga antara etika dan moralitas yang penggunaan sering menjadi rancu. berasal dari bahasa Yunani,

Lebih terperinci

BAGIAN 3 TELAAH NORMATIF

BAGIAN 3 TELAAH NORMATIF BAGIAN 3 TELAAH NORMATIF 229 Pada bagian normatif ini, pertama-tama akan dijelaskan tentang jenjang pemahaman moral dari para responden. Penjelasan ini adalah hasil analisis atas data penelitian dengan

Lebih terperinci

A. Proses Pengambilan Keputusan

A. Proses Pengambilan Keputusan A. Proses Pengambilan Keputusan a) Definisi Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : )

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) PERAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM) DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN Anastasia Lipursari Dosen Tetap ASM Semarang Abstrak Sistem informasi mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan yang logis sehingga

Lebih terperinci

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga kini belum ada upaya kongkrit untuk mengatasi tawuran pelajar di Kota Yogya, akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) banyak menjadi permasalahan di kota-kota besar, karena pada umumnya kebijakan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Teori ini digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesantren dan pangajian taaruf (studi kasus eksistensi

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL 1. Teori Asosiasi Diferensial (differential association Theory) Teori ini dikembangan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1930-an,

Lebih terperinci

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak 53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bourdieu tentang Habitus Menurut Bourdieu (dalam Ritzer 2008:525) Habitus ialah media atau ranah yang memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

Generasi Santun. Buku 1B. Timothy Athanasios

Generasi Santun. Buku 1B. Timothy Athanasios Generasi Santun Buku 1B Timothy Athanasios Teori Nilai PENDAHULUAN Seorang pendidik terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam menumbuhkembangkan manusia Indonesia yang utuh, berakhlak suci, dan berbudi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Struktural Fungsional Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan defenisi ini,

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS A. Teori Fungsionalisme Struktural Untuk menjelaskan fenomena yang diangkat oleh peneliti yaitu Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin telah menyusun

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin telah menyusun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin telah menyusun sebuah dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2012-2017. RPJMD merupakan

Lebih terperinci

MK Etika Profesi. Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law

MK Etika Profesi. Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law MK Etika Profesi Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law Moralitas Definisi Descriptive: seperangkat aturan yang mengarahkan perilaku manusia dalam memilah hal yang baik dan buruk, contoh: nilai-nilai moralitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Disiplin Disiplin kerja sangatlah penting dalam mempengaruhi perkembangan diri suatu perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam setiap kehidupan sosial terdapat individu-individu yang memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang dalam arti perilakunya tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA PROFESIONALISME APARAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA

PEDOMAN WAWANCARA PROFESIONALISME APARAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA PROFESIONALISME APARAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung) Kualitas keahlian dan kewenangan

Lebih terperinci

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan?

Lebih terperinci

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN Keterampilan berkomunikasi merupakan suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu. Melalui komunikasi individu akan merasakan kepuasan, kesenangan atau

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengertian nilai dengan nilai social. 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Aparat pamong praja kota Sibolga menjalankan tugasnya sesuai dengan Pasal 4 PP Nomor 6 Tahun 2010, jadi peraturan tersebut bukan hanya menjadi sebuah teori, tapi

Lebih terperinci

Perkebunan produktif di lereng pegunungan

Perkebunan produktif di lereng pegunungan Khofiffah Mudjiono: Perkebunan produktif di lereng pegunungan Bayangkan anda tengah berada di lereng pegunungan. Sejauh mata anda memandang, terlihat hamparan perkebunan berbagai komoditas. Mungkin teh

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP DAN IMPLIKASI TEORI

BAB V PENUTUP DAN IMPLIKASI TEORI BAB V PENUTUP DAN IMPLIKASI TEORI 5.1. Temuan-Temuan di Lapangan Berdasarkan penulusuran secara seksama melalui pengamatan terlibat yang cukup lama dengan pihak PKL, Preman dan aparat, maka diperoleh beberapa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya, muncul di dunia dan setelah itu menentukan dirinya. (Jean-Paul Sartre) A. MANUSIA DAN KESADARAN DIRI Sebagian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan. pada masyarakat, hal ini juga dialami oleh Indonesia.

PENDAHULUAN. dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan. pada masyarakat, hal ini juga dialami oleh Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman sekarang globalisasi menimbulkan berbagai tantangan yang semakin berat. Cepatnya perubahan yang terjadi akibat globalisasi berdampak dalam berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pedagang yang di dalam usahanya mempergunakan sarana dan atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang

Lebih terperinci

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah.

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah. BAB V KESIMPULAN, ILPIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil perhitungan pada Bab IV penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Kepemimpinan kepala sekolah harus didukung oleh nilai-nilai

Lebih terperinci

KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS

KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS Kode Etik Global Performance Optics adalah rangkuman harapan kami terkait dengan perilaku di tempat kerja. Kode Etik Global ini mencakup beragam jenis praktik bisnis;

Lebih terperinci

Generasi Santun. Buku 1A. Timothy Athanasios

Generasi Santun. Buku 1A. Timothy Athanasios Generasi Santun Buku 1A Timothy Athanasios Teori Nilai PENDAHULUAN Seorang pendidik terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam menumbuhkembangkan manusia Indonesia yang utuh, berakhlak suci, dan berbudi

Lebih terperinci

PIAGAM PEMBELIAN BERKELANJUTAN

PIAGAM PEMBELIAN BERKELANJUTAN PIAGAM PEMBELIAN BERKELANJUTAN PENGANTAR AptarGroup mengembangkan solusi sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan usaha yang wajar dan hukum ketenagakerjaan, dengan menghargai lingkungan dan sumber daya alamnya.

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

A. Kegunaan Mempelajari Moral Kelompok

A. Kegunaan Mempelajari Moral Kelompok A. Kegunaan Mempelajari Moral Kelompok Sebagaimana telah diutarakan, bahwa hubungan interpersonal yang cukup lama dapat meninggalkan kesan-kesan yang mendalam terhadap sesama anggota kelompok dan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Institusional Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah didasarkan pada pemikiran bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori Landasan teori adalah teori-teori yang relevan dan dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian. Landasan teori ini juga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. tersebut ketika bekerja sendiri atau dengan karyawan lain (Jones, 2010).

BAB II LANDASAN TEORITIS. tersebut ketika bekerja sendiri atau dengan karyawan lain (Jones, 2010). BAB II LANDASAN TEORITIS A. Happiness at Work 1. Definisi Happiness at Work Happiness at work dapat diidentifikasikan sebagai suatu pola pikir yang memungkinkan karyawan untuk memaksimalkan performa dan

Lebih terperinci

A. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya

A. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya BAB V PENUTUP Kehadiran social media sebagai media komunikasi telah memberikan warna baru dalam dinamika praktik komunikasi korporat. Proses komunikasi yang bersifat egaliter, langsung, dan dialogis mendorong

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Definisi dan pengertian komunikasi juga banyak dijelaskan oleh beberapa ahli komunikasi. Komunikasi mengandung makna bersama sama (common). Istilah komunikasi berasal

Lebih terperinci

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol

Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Oleh: DUSKI SAMAD Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang sudah berjalan proses saat ini adalah sarana demokrasi untuk melahirkan pemimpin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BE ETHICAL AT WORK. Part 9

BE ETHICAL AT WORK. Part 9 BE ETHICAL AT WORK Part 9 POKOK BAHASAN An ethics framework Making ethical decisions Social responsibility An ethics framework Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian ini mengkaji dan menganalisis kegiatan usaha pedagang kaki lima dengan metode SWOT. Adapun fokus lokasi penelitian pada pedagang kaki lima jalan Kapten

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 7 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur dalam organisasi dapat diartikan sebagai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemekaran wilayah pemerintahan merupakan suatu langkah strategis yang ditempuh oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1V ANALISIS DATA. A. Pengaruh Regresi tentang Individu Bergelar Haji terhadap Interaksi. dikonsultasikan dengan r tabel dengan jumlah responden 96

BAB 1V ANALISIS DATA. A. Pengaruh Regresi tentang Individu Bergelar Haji terhadap Interaksi. dikonsultasikan dengan r tabel dengan jumlah responden 96 BAB 1V ANALISIS DATA A. Pengaruh Regresi tentang Individu Bergelar Haji terhadap Interaksi Sosial Masyarakat Setelah data berhasil di uji dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Integritas Bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan era globalisasi. Berbagai macam budaya global yang masuk melalui beragam media komunikasi dan informasi. Dengan

Lebih terperinci

Simpulan dan Saran. Bab 8. Simpulan

Simpulan dan Saran. Bab 8. Simpulan Bab 8 Simpulan dan Saran Simpulan Pada mulanya kawasan makam Gunung Brintik itu kosong. Dari hari ke hari tempat itu diisi oleh oleh orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal untuk beristirahat. Bagian

Lebih terperinci

Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 Beratus-ratus tahun yang lalu dalam sistem pemerintahan monarki para raja atau ratu memiliki semua kekuasaan absolut, sedangkan hamba sahaya tidak memiliki kuasa apapun. Kedudukan seorang raja atau ratu

Lebih terperinci

BAB II TEORI AGIL PERUBAHAN SOSIAL TALCOTT PARSONS. kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu.

BAB II TEORI AGIL PERUBAHAN SOSIAL TALCOTT PARSONS. kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu. 35 BAB II TEORI AGIL PERUBAHAN SOSIAL TALCOTT PARSONS A. AGIL Suatu fungsi adalah suatu kompleks kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu. Menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota. Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas

BAB IV ANALISA DATA. 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota. Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas BAB IV ANALISA DATA A. Temuan Penelitian 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas Dalam penelitian kualitatif, analisis data

Lebih terperinci

APLIKASI TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DALAM MASYARAKAT INDONESIA. Oleh Yoseph Andreas Gual

APLIKASI TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DALAM MASYARAKAT INDONESIA. Oleh Yoseph Andreas Gual APLIKASI TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DALAM MASYARAKAT INDONESIA Oleh Yoseph Andreas Gual Sebelum masuk dalam inti tulisan, penulis ingin mengemukakan bahwa tulisan ini tidak akan menggunakan seluruh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen bukanlah sesuatu yang bisa hadir begitu saja, karena itu untuk menghasilkan karyawan yang memiliki komitmen yang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. model kecakapan hidup terintegrasi dengan nilai-nilai budaya lokal dalam

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. model kecakapan hidup terintegrasi dengan nilai-nilai budaya lokal dalam BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Pada dasarnya penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menemukan model kecakapan hidup terintegrasi dengan nilai-nilai budaya lokal dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini menghasilkan informasi komprehensif terkait pelaksanaan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini menghasilkan informasi komprehensif terkait pelaksanaan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menghasilkan informasi komprehensif terkait pelaksanaan kebijakan pengendalian parkir dengan penggembokan roda. Penggunaan pendekatan top-down dan bottom-up sekaligus

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang tercakup atas aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. d. klaim komprehensibilitas (comprehensibility). Dalam masyarakat tentunya seperti hubungan-hubungan yang telah

BAB V PENUTUP. d. klaim komprehensibilitas (comprehensibility). Dalam masyarakat tentunya seperti hubungan-hubungan yang telah 120 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Habermas menggiring pemikiran manusia untuk bermasyarakat supaya bagaimana membangun hubungan sosial yang dapat menjadi ideal dengan menggunakan perantara komunikasi

Lebih terperinci

Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Prosedur ini tidak boleh diubah tanpa persetujuan dari kantor Penasihat Umum dan Sekretaris Perusahaan Vesuvius plc.

Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Prosedur ini tidak boleh diubah tanpa persetujuan dari kantor Penasihat Umum dan Sekretaris Perusahaan Vesuvius plc. VESUVIUS plc Kebijakan Anti-Suap dan Korupsi PERILAKU BISNIS UNTUK MENCEGAH SUAP DAN KORUPSI Kebijakan: Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Tanggung Jawab Perusahaan Penasihat Umum Versi: 2.1 Terakhir diperbarui:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Flow Akademik 1. Definisi Flow Akademik Menurut Bakker (2005), flow adalah suatu keadaan sadar dimana individu menjadi benar-benar tenggelam dalam suatu kegiatan, dan menikmatinya

Lebih terperinci