HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Setiap tahun tidak kurang dari 3000 mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia masuk menjadi mahasiswa baru IPB melalui berbagai jalur seleksi. Jalur seleksi mahasiswa baru IPB antara lain Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Ujian Talenta Mandiri (UTMI), Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Beasiswa Utusan Daerah (BUD), serta Beasiswa Prestasi Olahraga dan Seni. Dengan berbagai jalur seleksi tersebut, mahasiswa baru yang tersaring masuk IPB sangat plural, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang keilmuan dan budaya yang beragam. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun pertama diwajibkan menjalani kegiatan perkuliahan dasar yang dinamakan Tingkat Persiapan bersama (TPB) selama dua semester atau satu tahun. Jumlah satuan kredit semester (SKS) yang diambil selama masa TPB adalah 36 SKS. Khusus mahasiswa dari jalur masuk USMI, UTMI, dan BUD (sebagian) diwajibkan juga menjalani perkuliahan matrikulasi yang diselenggarakan satu bulan lebih awal, sebelum perkuliahan reguler berlangsung. Selain menjalani perkuliahan, mahasiswa TPB juga diwajibkan menjalani Program Pengembangan Akademik dan Multibudaya (PPAMB) dan tinggal di asrama. Program tersebut memberikan kesempatan berinteraksi dengan berbagai latar belakang bidang ilmu, budaya, agama, dan suku bangsa. Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) terdiri atas asrama putra dan asrama putri. Asrama putra terdiri atas empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 (Asrama Sylvalestari). Adapun asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3, A4 (Rusunawa), dan A5 (Asrama Sylvasari). Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama (kecuali Rusunawa, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan). Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior Residence (SR) untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri sekurang-kurangnya 40 orang (10 kamar, masing-masing kamar diisi oleh empat orang). Fasilititas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16m 2 (4mx4m). Dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari, empat buah meja belajar (lengkap dengan lampu), kapstok, tempat sampah, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang (kecuali Asrama Sylvalestari dan

2 Sylvalestari, satu kamar diisi oleh tiga orang). Di setiap lorong disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak terdapat di setiap lorong. Toilet yang disediakan di setiap lorong asrama, terdiri atas enam unit kamar mandi dan empat unit WC. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu ruangan dengan ruang setrika. Air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu. Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada di luar gedung. Di dalam lingkungan asrama juga terdapat toko koperasi dan jasa fotokopi (asrama putri) yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat minimarket (Agrimart IPB). Dengan adanya toko dan minimarket tersebut, mahasiswa TPB akan lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama. Mahasiswa TPB menjalani perkuliahan di berbagai gedung fakultas yang terdapat di berbagai wilayah kampus Dramaga (terdapat sembilan fakultas di IPB, dengan lokasi yang berbeda-beda). Untuk mempermudah akses ke lokasi perkuliahan, diberikan fasilitas bus IPB yang akan menjemput dan mengantarkan mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi kuliah. Bus kampus ini tidak memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif alat transportasi di dalm kampus. Fasilitas lainnya adalah ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam. Karakteristik Contoh Mahasiswa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah yang sudah tinggal di asrama sekurang-kurangnya satu bulan dan pernah menjalani perkuliahan matrikulasi. Contoh pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah mengalami gangguan lambung) dan kelompok kontrol (contoh tanpa gangguan lambung). Karakteristik contoh diidentifikasi untuk mengetahui sebaran umur dan jenis kelamin contoh. Karakteristik Hasil sebaran masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.

3 Tabel 5 Sebaran contoh menurut karakteristik contoh Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Jenis Kelamin Putra Putri Umur (Tahun) Remaja madya (15-18 tahun) 17 28, , ,3 Remaja akhir (18-19 tahun) 43 71, , ,7 Lebih dari separuh contoh (60%) berjenis kelamin perempuan (putri), sedangkan 40% sisanya laki-laki (putra). Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan, contoh pada kelompok kontrol adalah pasangan yang berjenis kelamin sama dengan contoh yang terdapat pada kelompok kasus. Proporsi contoh berdasarkan jenis kelamin disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Sebanyak 40,2% mahasiswa TPB IPB angkatan 2010/2011 berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 59,8% sisanya berjenis kelamin perempuan. Monks (1999) mengklasifikasikan remaja dalam tiga kelompok umur, yaitu: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan atau madya (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Penelitian ini membatasi usia contoh pada rentang tahun untuk memudahkan pengolahan data. Contoh yang didapatkan untuk penelitian ini berada dalam kisaran umur tahun atau remaja madya dan remaja akhir. Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, sebagian besar contoh (71,7%) terdapat pada kelompok umur remaja akhir (18-19) tahun. Rata-rata umur contoh pada kelompok kasus adalah 17,73±0,48 tahun. Adapun rata-rata umur contoh pada kelompok kontrol adalah 17, 68±0,50 tahun. Umur merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan (matching), contoh pada kelompok kasus dicarikan pasangan yang umurnya relatif sama untuk kontrolnya. Karakteristik Sosial-Ekonomi Karakteristik sosial-ekonomi dapat digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Karakteristik sosial ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah domisili contoh sebelum

4 tinggal di asrama. Hasil sebaran jumlah uang saku dapat dilihat pada Tabel 6, sebaran suku/etnis pada Tabel 7, dan sebaran wilayah domisili pada Tabel 8. Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah uang saku Jumlah Uang Saku Kasus Kontrol Total n % n % n % Rendah 13 21, , ,8 Sedang 34 56, , ,2 Tinggi 13 21, , ,0 Variabel jumlah uang saku dapat menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Lebih dari separuh contoh (56,7% pada kelompok kasus dan 53,3% pada kelompok kontrol) berada pada kategori sedang. Jumlah contoh yang berada pada kategori rendah, lebih banyak yang berasal dari kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus. Rata-rata jumlah uang saku contoh pada kelompok kasus adalah Rp ± , sedangkan pada kelompok kontrol adalah Rp ± Analisis uji Independent-T menunjukkan bahwa p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata jumlah uang saku contoh antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Lampiran 3). Suku/etnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Suku/etnis contoh diidentifikasi berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh. Wilayah domisili contoh adalah wilayah atau provinsi yang paling lama ditinggali oleh contoh, sebelum contoh menjalani perkuliahan dan tinggal di asrama. Pengelompokan suku/etnis dan wilayah domisili contoh didasarkan pada suku/etnis yang banyak muncul pada data. Sebaran contoh berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Suku/etnis contoh dibagi menjadi kategori Sunda, Jawa, Betawi, Batak, Sulawesi, Melayu, dan Bali. Secara umum, sebagian besar contoh pada kelompok kasus dan kontrol, berasal dari suku Jawa, baik ayah maupun ibu contoh. Persentase terbesar setelah suku Jawa adalah suku Sunda. Analisis uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata suku/etnis ayah dan ibu contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).

5 Tabel 7 Sebaran suku/etnis menurut ayah dan ibu contoh Suku Ayah Kasus Kontrol Kasus Kontrol n % n % n % n % Sunda 20 33, , , ,3 Jawa 25 41, , , ,7 Betawi 1 1,7 2 3,3 0 0,0 2 3,3 Batak 5 8,3 5 8,3 6 10,0 4 6,7 Sulawesi 2 3,3 2 3,3 2 3,3 1 1,7 Melayu 6 10,0 4 6,7 6 10,0 4 6,7 Bali 1 1,7 1 1,7 2 3,3 1 1,7 Sebaran contoh berdasarkan wilayah domisili dapat dilihat pada Tabel 8. Wilayah domisili contoh dibagi menjadi delapan kategori, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Banten, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Secara umum, contoh banyak berasal dari Pulau Jawa. Sebagian besar contoh (kasus maupun kontrol) berasal dari wilayah Jawa Barat (wilayah dengan persentase sebaran contoh terbesar). Persentase sebaran contoh berikutnya adalah Sumatera, yang terdiri atas Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Analisis uji Chi Square menunjukkan nilai p<0,05, artinya tidak ada perbedaan yang nyata wilayah domisili pada kelompok kasus dan kontrol (Lampiran 3). Tabel 8 Sebaran wilayah domisili contoh Ibu Wilayah Domisili Kasus Kontrol Total n % n % n % Jawa Barat 27 45, , ,8 Jawa Tengah 7 11,7 8 13, ,5 Jawa Timur 6 10,0 6 10, ,0 Jakarta 2 3,3 5 8,3 7 5,8 Banten 2 3,3 4 6,7 6 5,0 Bali 1 1,7 2 3,3 3 2,5 Sumatera 12 20, , ,0 Sulawesi 3 5,0 1 1,7 4 3,3 Total , , Gangguan Lambung Penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung yang umum terjadi antara lain gastritis dan tukak peptik.

6 Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung, sedangkan tukak peptik adalah ulserasi (perlukaan) pada saluran pencernaan bagian atas, terutama pada lambung dan duodenum. Patogenesis tukak peptik berkaitan dengan asam lambung dan pepsin. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gastritis dan tukak peptik maupun yang menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang menyertai penyakit tersebut. Faktor risiko yang mempengaruhinya antara lain kebiasaan makan atau diet, merokok, alkohol, stres (fisik dan psikologis), herediter atau genetik atau bawaan, konsumsi obatobatan (obat anti inflamasi non sterodi, beberapa antibiotik, suplemen besi, dll), lingkungan (sosial-ekonomi), dan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Yanti (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa insiden gastritis di Indonesia sebesar 115/ penduduk. Prevalensi tukak peptik ditemukan antara 6-15%. Dalam penelitian, data riwayat penyakit gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik), pertama-tama digunakan sebagai acuan untuk menentukan kelompok kasus dan kontrol. Jumlah contoh untuk kedua kelompok (kasus dan kontrol) sama besar, yaitu 60 orang, yang terdiri atas 24 putra (40%) dan 36 putri (60%). Riwayat muncul atau kambuhnya gejala gangguan lambung diteliti menggunakan metode retrospektif dengan referensi waktu sejak contoh tinggal di asrama hingga sebelum contoh menjalani ibadah puasa (sebelum tanggal 11 Agustus 2010). Dalam rentang waktu tersebut, contoh sekurangkurangnya telah tinggal di asrama selama satu bulan (contoh tinggal asrama sejak tanggal 26 Juni 2010) dan telah menjalani perkuliahan (kuliah matrikulasi dan reguler). Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia (sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas) dirasakan cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30% penderita dispepsia tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala dispepsia menyerang. Hal tersebut mengganggu produktivitas penderitanya dan menimbulkan kerugian. Penyakit tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan makan dan gaya hidup sehari-hari sehingga apabila kebiasaan makan dan gaya hidup yang dijalani penderitanya kurang baik, penderita rawan mengalami frekuensi munculnya gejala. Perubahan lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Seseorang yang

7 telah mengalami masalah pencernaan sebelumnya akan rentan mengalami gejala dispepsia karena perubahan kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, perilaku hidup yang kurang baik akan memicu munculnya gangguan lambung yang diawali dengan sindrom dispepsia. Gejala-gejala khas dari gangguan lambung (gastritis maupun tukak peptik) adalah sakit/nyeri/rasa tidak enak di daerah epigastrum (ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas terbakar/tidak nyaman di bagian dada/bawah tulang dada, kembung (bloating) setelah makan, perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea), muntah (vomitting), dan sering bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia. Adanya gangguan lambung yang dialami dicirikan oleh seberapa sering (frekuensi) gejala gangguan lambung yang dialami oleh contoh. Frekuensi munculnya gejala dispepsia ditentukan berdasarkan data subyektif contoh, bukan data pemeriksaan. Data frekuensi dispepsia pada awalnya dikategorikan berdasarkan informasi dari contoh mengenai berapa kali munculnya masingmasing gejala dispepsia dalam seminggu. Gejala-gejala yang dialami contoh tersebut kemudian diskor dan ditotal untuk menentukan kategori frekuensi dispepsia. Terdapat dua kategori frekuensi dispepsia, dengan pengklasifikasian sebagai berikut: frekuensi dispepsia termasuk kategori jarang apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma lima ( 7,5) dan frekuensi dispepsia termasuk kategori sering apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima (>7,5). Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi gejala gangguan lambung yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia Frekuensi Kasus Kontrol Total Gejala* n % n % n % Jarang 49 81, ,8 Sering 11 18,3 0 0,0 11 9,2 * signifikan/nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney Secara umum, sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi jarang (90,8%). Seluruh contoh pada kelompok kontrol berada pada kategori jarang, sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 18,3% contoh termasuk kategori sering. Analisis perbedaan kedua kelompok contoh menggunakan uji

8 beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi dispepsia pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).. Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05). Contoh yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik) cenderung lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (OR: 1,224; 95% CI: 0,086-1,380). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelumnya (kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 1,224 kali dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (kontrol). Sering bersendawa Muntah Mual Perut penuh, cepat kenyang Kembung setelah makan Rasa panas terbakar di dada Kontrol ">4 kali/minggu" Kontrol "3-4 kali/minggu" Kontrol "1-2 kali/minggu" Kontrol "Tidak Pernah" Kasus ">4 kali/minggu" Kasus "3-4 kali/minggu" Kasus "1-2 kali/minggu" Kasus "Tidak Pernah" Nyeri epigastrum 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% Gambar 3 Sebaran contoh pada kelompok kasus berdasarkan frekuensi dispepsia lambung yang dialami Sebagian contoh yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung (kontrol), tidak seratus persen bebas dari dispepsia yang gejala-gejala khas gangguan lambung. Beberapa gejala dispepsia juga dialami oleh contoh pada kelompok kontrol, tetapi frekuensinya tidak sesering contoh pada kelompok kasus. Dispepsia dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh kelainan organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena sebab-sebab yang lain seperti kebiasaan dan faktor psikologis (stres). Gejala-gejala gangguan lambung atau sering disebut sindrom dispepsia (sekumpulan gejala gangguan lambung berupa

9 ketidaknyamanan perut bagian atas) dapat timbul bukan hanya karena kelainan organik, melainkan dapat pula bersifat fungsional. Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui dengan menggunakan metode antropometri (Gibson 2005). WHO merekomendasikan penggunaan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak dan remaja. Dengan z-score, anak atau remaja yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Indeks yang digunakan dalam menentukan status gizi pada contoh adalah IMT/U (indeks massa tubuh terhadap umur). Sebaran contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi Status Gizi Kasus Kontrol Total n % n % n % Normal 50 83, , ,5 Tidak normal 10 16, , ,5 Sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) berada pada status gizi normal. Hanya sedikit contoh (total kasus dan kontrol) yang berada pada status gizi tidak normal (overweight atau underweight) yaitu sebesar 16,7% (kasus) dan18,3% (kontrol). Sebaran status gizi secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar 4, terdapat 0,8-9,2% contoh yang status gizinya sangat kurus, kurus, dan overweight. Tidak ada contoh yang status gizinya obesitas. Rata-rata berat dan tinggi badan contoh pada kelompok kasus adalah 52,6±9,76 kg dan 161,3±6,7 cm, sedangkan pada kelompok kontrol 51,8±10,2 kg dan 160,0±8,9. Indeks Massa Tubuh (IMT) contoh memiliki rataan 20,14±2,9 kg/m 2 untuk kelompok kasus dan 20,16±3,2 kg/m 2 untuk kelompok kontrol. 2% 10% 7% 8% 8% 83% Sangat kurus Kurus 82% Gambar 4 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan status gizi

10 Analisis statistik menggunakan uji beda Independent T-test menyatakan bahwa status gizi antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menghubungkan status gizi dengan frekuensi dispepsiamenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata. Hubungan antara status gizi dengan tingkat frekuensi dispepsia tidak signifikan pada taraf nyata 5% (p>0,05). Hal ini berarti semakin baik status gizi contoh maka tidak berhubungan dengan penurunan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi tidak berpengaruh pada pederita dispepsia (gejala gastritis dan tukak peptik). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya gastritis dan tukak peptik dengan gejala khas dispepsia. Kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan sekresi asam lambung, yang merupakan faktor agresif pada lambung. Kebiasaan makan terdiri atas dua aspek, yaitu cara makan dan makanan itu sendiri. Kebiasan makan teratur akan membantu lambung beradaptasi terhadap waktu makan sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya gangguan lambung. Kebiasaan makan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, keteraturan makan, jeda waktu makan, kebiasaan sarapan (makan pagi), kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan (snacking), kebiasaan melakukan diet, serta frekuensi konsumsi makanan dan minuman tertentu (kopi, teh, soda, makanan pedas, makanan asam, dan suplemen). Selain itu diperhitungkan juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, lemak, natrium, dan kalium. Tabel 11 dan 12 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makannya. Adapun Tabel 14 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, C, lemak, natrium, dan kalium.

11 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan. Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Keteraturan Makan* Teratur 25 41, , ,7 Tidak teratur 35 58, , ,3 Frekuensi Makan* tidak tentu atau 2 kali per hari 14 23,3 5 8, ,8 tertentu dan > 2kali per hari 46 76, , ,2 Jeda Waktu Makan tidak tentu atau 6 jam 26 43, , ,0 tertentu dan < 6 jam 34 56, , ,0 Kebiasaan Sarapan Ya 28 46, , ,3 Tidak 32 53, , ,7 Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan Ya 24 40, , ,7 Tidak 36 60, , ,3 Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Ya 13 21,7 8 13, ,5 Tidak 47 78, , ,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square Keteraturan Makan Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik. Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol kemudian menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Bagi orang yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), makan tidak teratur akan memicu kekambuhan gangguan lambung yang ditandai dengan munculnya gejala dispepsia. Adapun bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, bila kebiasaan makan tidak teratur terus berlanjut, hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan organik pada lambung akibat meningkatnya faktor agresif terutama asam lambung. Sebaran keteraturan makan contoh menunjukkan bahwa contoh pada kelompok kontrol cenderung makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus (Tabel 11). Lebih dari separuh contoh (58,3%) pada kelompok kasus makan tidak teratur setiap hari, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi sebaliknya (61,7% contoh makan teratur, 38,3% contoh makan tidak teratur). Secara keseluruhan, terdapat 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan makan tidak teratur. Bila dibandingkan dengan data frekuensi makan, walaupun sebagian besar contoh menjawab frekuensi makannya dua sampai tiga kali sehari, tetapi dilihat dari

12 keteraturan makan, sebagian contoh tidak menunjukkan pola yang sesuai. Sebagian contoh hanya makan ketika sudah merasa lapar. Contoh pada kelompok kontrol cenderung memiliki kebiasaan makan yang lebih teratur dibandingkan kelompok kasus. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keteraturan makan dan frekuensi makan contoh dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Keteraturan makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,312 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,810; 95% CI: 0,715-0,918). Contoh yang memiliki kebiasaan makan teratur memiliki risiko 0,810 kali (lebih rendah) untuk sering mengalami dispepsia dibandingkan dengan contoh yang tidak terbiasa makan teratur. Frekuensi Makan Frekuensi makan yang dilihat dalam penelitian adalah berapa kali contoh makan dengan menu makanan berat (meal), di luar snack atau cemilan seharihari. Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan. Seseorang yang frekuensi makannya tidak tentu, dapat dikatakan bahwa pola makannya tidak teratur. Makan tidak teratur menyebabkan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Untuk mengurangi rasa mual atau tidak nyaman pada lambung sebaiknya makan dalam porsi kecil tetapi sering (small frequent meal). Makan dengan porsi kecil tetapi sering merupakan salah satu cara membantu dan meringankan kerja lambung dan produksi asam lambung juga tidak berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam jumlah terlalu banyak. Data frekuensi makan contoh pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) memiliki kebiasaan makan dua sampai tiga kali sehari. Pada kelompok kasus, terdapat 23,3% contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari itu. Hampir seluruh contoh pada kelompok kontrol makan lebih dari dua kali sehari. Contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, biasanya hanya makan ketika sudah merasa lapar. Analisis statistik berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi makan contoh pada kelompok kasus

13 dan kelompok kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari. Dengan kata lain, contoh pada kelompok kasus cenderung makan lebih jarang dibandingkan kelompok kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa frekuensi makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,319 dan dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). Frekuensi makan lebih dari dua kali sehari mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,113; 95% CI: 0,030-0,423). Contoh yang memiliki kebiasaan makan lebih dari dua kali sehari berisiko 0,113 kali (lebih rendah) untuk mengalami dispepsia dibandingkan dengan yang contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari dua kali sehari. Jeda Waktu Makan Jeda waktu makan yang lama berkaitan dengan munculnya dispepsia. Semakin panjang jeda waktu makan berarti membuat frekuensi makan semakin berkurang, sehingga membuat seseorang cenderung makan dalam jumlah banyak ketika makan. Makan dalam jumlah banyak tiba-tiba membuat beban lambung menjadi lebih berat dan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Makan tiba-tiba dalam jumlah banyak atau membiarkan lambung dalam keadaan kosong terlalu lama dapat membuat lambung memproduksi asam lambung secara berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa lambung dan menimbulkan peradangan. Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari, meskipun dalam kondisi tidur. Pada fase sefalik, asam lambung akan diproduksi walaupun makanan belum memasuki lambung. Sekedar memikirkan atau merasakan makanan sudah cukup untuk membuat saraf bekerja mempengaruhi kelenjar memproduksi asam lambung. Data penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, terdapat 40,0 % contoh yang memiliki jeda waktu makan lebih dari enam jam atau tidak tertentu jeda waktu makannya. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang tidak tentu atau lebih dari enam jam waktu makannya. Uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok contoh tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara jeda waktu makan dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 4).

14 Kebiasaan Sarapan Salah satu isi dari tiga belas Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) adalah membiasakan sarapan pagi. Sarapan atau makan pagi memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi esensial. Selain memberikan sumbangan energi, sarapan juga memiliki manfaat lain seperti memberikan kekuatan metabolisme sepanjang malam tubuh tidak mendapat asupan, meningkatkan konsentrasi dan kemampuan berpikir, dan menghindari makan tidak terkontrol. Setelah delapan jam dalam kondisi tidur tanpa asupan, di pagi hari tubuh akan memberikan sinyal kekurangan energi dengan timbulnya rasa lapar. Dalam kondisi tersebut, energi diperoleh dari pemecahan cadangan glukosa yang terdapat pada hati dan otot, efisiensi penggunaan energi pun meningkat. Sarapan memberikan energi bagi otak sehingga meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir, dan menjaga tubuh berada pada performa terbaik. Melewatkan sarapan akan membuat tubuh dalam kondisi kelaparan sehingga memicu untuk makan berlebihan pada siang hari. Menahan lapar dalam waktu lama juga memicu produksi asam lambung berlebihan sehingga dapat menimbulkan dispepsia. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) tidak memiliki kebiasaan sarapan, sedangkan pada kelompok kontrol justru sebaliknya (60% contoh terbiasa sarapan). Contoh pada kelompok kontrol lebih banyak yang memiliki kebiasaan sarapan dibandingkan kelompok kasus. Namun demikian, analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan nilai p< 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan sarapan dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 4). Contoh yang memiliki kebiasaan sarapan sejak tinggal bersama keluarga, biasanya masih membawa kebiasaan tersebut ketika tinggal di asrama. Sebagian contoh melakukan sarapan hanya jika merasa lapar atau pada saat akan menjalani aktivitas kuliah (ketika hari aktif kuliah) agar tidak mengganggu konsentrasi ketika kuliah. Ketika ditanyakan alasan melewatkan sarapan kepada contoh yang tidak terbiasa sarapan, sebagian menjawab bahwa contoh masih dalam tahap adaptasi terhadap aktivitas kuliah dan tinggal tanpa keluarga sehingga belum dapat mengatur waktu dan gaya hidup dengan baik.

15 Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan Mengkonsumsi makanan selingan (snacking) atau cemilan dapat menambah asupan energi dan zat gizi. Disamping itu, bagi penderita gangguan lambung, mengkonsumsi makanan selingan digunakan untuk mengisi lambung sementara (tidak terlalu lama membiarkan perut dalam keadaan kosong) sehingga dapat mengatasi kelebihan asam lambung. Lebih dari separuh contoh (kelompok kasus 60,0% dan kontrol 63,3%) tidak terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Namun, uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Penyebab ketidakteraturan makan adalah multifaktorial, tetapi salah satunya adalah perubahan pola makan pada remaja. Remaja seringkali terlalu ketat dalam mengatur pola makan demi menjaga penampilan sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Dalam jurnal penelitiannya, Robert dan William (2000) menyatakan bahwa 44% remaja perempuan di sekolah menengah atas mencoba untuk menurunkan berat badan dan 26% lainnya menjaga agar berat badannya tidak bertambah. Terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan membatasi konsumsi makanan untuk menurunkan berat badan dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (kelompok kasus 21,7% dan kontrol 13,3%). Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan membatasi asupan makanan dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05) (Lampiran 4). Contoh yang melakukan pembatasan asupan makanan, sebagian besar melakukannya dengan membatasi konsumsi jenis makanan tertentu saja (makanan tinggi lemak), sebagian lagi menghindari makan atau mengurangi frekuensi makan, atau kombinasi keduanya (Gambar 5).

16 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0% Membatasi konsumsi makanan tertentu Gambar 5 Kebiasaan membatasi asupan contoh untuk menurunkan berat badan Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum kopi, teh, soda, makan makanan pedas, asam, dan konsumsi suplemen. Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan Minum Teh, Kopi, dan Minuman berkarbonasi Teh 10 16, , ,8 Kopi* 3 5,0 1 1,7 4 3,3 Minuman berkarbonasi* 6 10,0 4 6,7 10 8,3 Teh + Kopi* 6 10,0 5 8,3 11 9,2 Teh + Minuman berkarbonasi * 8 13,3 8 13, ,3 Kopi + Minuman berkarbonasi 1 1,7 4 6,7 5 4,2 Teh + Kopi+ Minuman berkarbonasi * 16 26,7 5 8, ,5 Bukan ketiganya 10 16, , ,3 Kebiasaan Makan Pedas* Ya 51 85, , ,3 Tidak 9 15, , ,7 Kebiasaan Makan Asam* Ya Tidak Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Ya 23 38, , ,3 Tidak 37 61, , ,7 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 ** Signifikan atau nyata pada p<0,001 Kebiasaan Minum Teh, Kopi, Minuman berkarbonasi, dan Kombinasinya Minuman dari seduhan daun teh (Camelia sinensis) merupakan salah minuman alami yang Menghindari makan Membatasi makanan seminimal mungkin (kombinasi keduanya) Kasus Kontrol total sangat populer di masyarakat. Beberapa kandungan senyawa kimia dalam teh dapat memberikan kesan warna, rasa, dan aroma khas yang dapat memberikan efek relaksasi pada peminumnya. Senyawa utama yang dikandung teh adalah katekin, yaitu suatu kerabat tanin terkondensasi yang juga sering disebut polifenol. Selain itu, teh juga mengandung alkaloid kafein yang bersama-sama dengan polifenol teh akan membentuk rasa yang pahit, sepat,

17 dan aroma segar. Teh juga mengandung kafein dalam jumlah lebih sedikit daripada kopi. Polifenol merupakan antioksidan yang dapat mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Akan tetapi, tanin mudah teroksidasi (karena panas, udara, senyawa asam, dan lainnya) dan berubah menjadi asam tanat. Tanin yang bercampur dengan asam lambung akan teroksidasi dan berubah menjadi asam tanat. Asam tanat dapat membekukan protein sehingga menimbulkan efek negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan berbagai gangguan lambung seperti gastritis atrofi atau tukak lambung. Minum teh pada saat perut kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung. Lebih dari separuh contoh (kelompok kasus 66,7% dan kontrol 55%) memiliki kebiasaan minum teh dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum teh tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Jenis teh yang dikonsumsi oleh contoh adalah minuman teh dalam kemasan (tetra pak atau botol) dan minuman teh racikan (es teh). Alasan contoh menggemari minuman teh adalah karena rasanya yang familiar dan minuman tersebut mudah didapatkan dimana saja. Sebagian besar contoh yang terbiasa minum teh, tidak mengkonsumsi teh setiap hari atau hanya mengkonsumsi teh kurang dari lima gelas per minggu. Sebagian besar contoh yang terbiasa minum teh masih mengkonsumsi teh dalam jumlah yang wajar dan sesuai anjuran (membatasi minum teh 2-3 cangkir saja per hari). Selain teh, kopi (Coffea arabica atau Coffea canephora) juga merupakan bahan penyegar yang populer di masyarakat dan sudah menjadi bagian dari budaya. Kopi biasanya dikonsumsi dalam bentuk minuman (diseduh), baik hanya kopi saja dengan gula maupun dicampur dengan bahan lainnya (susu atau krimer). Biji kopi mengandung senyawa kafein dalam jumlah 1-1,5% dan senyawa polifenol (antioksidan). Kafein merupakan senyawa alkaloid yang memiliki efek merangsang otak dan saraf simpatis, meningkatkan aktivitas jantung, serta bersifat diuretik (Lelyana 2009). Efek kafein pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung karena kafein mengandung senyawa asam diantaranya caffeic acid dan chlorogenic acid. Tingginya asam menyebabkan peradangan

18 hingga luka pada mukosa lambung serta duodenum, serta menngkatkan tekanan di dalam lambung. Selain itu, kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan gejala heartburn, mulut terasa asam, dan sendawa (Harahap 2009). Lebih dari separuh contoh tidak terbiasa minum kopi (kelompok kasus 56,7% dan kontrol 75%) dengan kecenderungan contoh pada kelompok kasus lebuh banyak yang memiliki kebiasaan minum kopi. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum kopi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Jenis kopi yang banyak dikonsumsi contoh adalah kopi instan (kopi dengan campuran susu atau krimer). Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan minum kopi, masih mengkonsumsi minuman tersebut dalam jumlah yang wajar sebanyak kurang dari satu cangkir per hari atau kurang dari lima cangkir per minggu. Minuman berkarbonasi atau minuman bersoda adalah minuman yang dibuat dengan mengabsorbsikan karbon dioksida (CO 2 ) ke dalam air minum. Penginjeksian gas-gas CO 2 akan menghasilkan gelembung-gelembung (buih) yang akan memberi kesan segar pada minuman dan efek rasa menggigit di lidah ketika diminum (Zentimer 2009). Proses karbonasi biasanya menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO 3 ) atau dikenal juga dengan nama soda kue (baking soda). Oleh karena itu, minuman berkarbonasi juga sering disebut sebagai minuman bersoda (Zentimer 2007). Terdapat banyak jenis minuman berkarbonasi berupa cola, sari buah berkarbonasi, teh berkarbonasi, kopi berkarbonasi, dan lainnya. Diantara berbagai jenis minuman berkarbonasi, yang paling banyak diminati mahasiswa TPB adalah cola (Dewi 2008). Beberapa merk minuman berkarbonasi yang familiar di kalangan remaja antara lain Coca Cola, Pepsi Cola, Fanta, dan Sprite. Dalam minuman berkarbonasi, selain terkandung CO 2 juga mengandung zat pemberi rasa (flavor), pemanis, pengemulsi, penstabil, dan pengawet. Minuman berkarbonasi mengandung gula (karbohidrat) tinggi sehingga memberikan asupan kalori yang tinggi. Minuman berkarbonasi bersifat asam, memiliki ph sangat rendah (3-4). Makanan asam dapat menyebabkan iritasi dan mengikis mukosa lambung. Selain itu, kandungan CO 2 dalam minuman

19 berkarbonasi dapat menghambat sekresi enzim pencernaan, bila soda dikonsumsi bersama dengan makanan akan menghambat proses pencernaan dan penyerapan zat gizi. Dalam minuman berkarbonasi juga ditambahkan kafein untuk memberikan rasa pahit. Kafein tersebut memiliki efek yang sama dengan kafein yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung, mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap mukosa lambung. Efek lainnya adalah kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan. Tabel 12 menunjukkan, lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (51,7%) memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar contoh (65%) tidak terbiasa minum minuman berkarbonasi. Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi (kelompok kasus dan kontrol), mengkonsumsi minuman tersebut sebanyak kurang dari satu botol (ukuran 500 ml) per hari atau kurang dari lima botol per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum minuman berkarbonasi berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0,05). Koefisien kontingensi kebiasaan minum kopi dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,240 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 6,907; 95% CI: 1,423-33,519). Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 6,907 kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi minuman berkarbonasi. Kombinasi kebiasaan minum minuman iritatif terhadap mukosa lambung diduga lebih berisiko terhadap frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Sebagian contoh memiliki kebiasaan mengkonsumsi teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, kopi dan minuman berkarbonasi, serta teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus adalah yang terbiasa mengkonsumsi kombinasi teh, kopi, dan minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol adalah yang tidak terbiasa

20 mengkonsumsi ketiganya (Tabel 12). Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kebiasaan minum teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi ketiganya (teh, kopi, dan minuman berkarbonasi) contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan kombinasi kebiasaan minum teh dan kopi, kebiasaan minum teh dan minuman berkarbonasi, kebiasaan minum kopi dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi kebiasaan minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Kebiasaan Makan Pedas dan Asam Makanan asam dan pedas seperti cabai, merica, dan bumbu-bumbu tajam merupakan makanan yang merangsang organ pencernaan dan secara langsung dapat merusak dinding lambung. Asam dan pedas merangsang sekresi asam lambung berlebihan, sehingga menimbulkan dispepsia. Disamping itu, asam dan pedas juga dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan (Harahap 2009). Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (85%) memilki kebiasaan makan makanan pedas, demikian juga pada kelompok kontrol (71,7%). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih sering mengkonsumsi makanan pedas dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas, sebanyak 20% contoh pada kelompok kasus, mengkonsumsi makanan pedas lebih dari tiga kali sehari (hampir di setiap waktu makan), sedangkan pada kelompok kontrol hanya sejumlah 5%. Contoh lainnya (sebanyak 31,7%-33,33%) biasa mengkonsumsi makanan pedas <1 kali per hari atau 1-2 kali per hari (Gambar 6). Analisis statistik mengunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang nyata (p>0,05) pada kedua kelompok (kasus dan kontrol). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia (p<0,05) (Tabel 6).

21 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% Tidak mengkonsumsi <1 kali/hari 1-2 kali/hari 3 kali/hari Kasus Kontrol Total Gambar 6 Frekuensi konsumsi makanan pedas contoh Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh pada kelompok kasus (70%) memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, sedangkan pada kelompok kontrol sebaliknya (60% contoh tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam). Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan asam, sebagian besar (kasus 70,0% dan kontrol 40,0%) mengkonsumsi makanan atau minuman asam kurang dari satu kali per hari atau kurang dari lima kali per minggu dan tidak ada yang mengkonsumsi makanan atau minuman asam lebih dari tiga kali per hari. Contoh pada kelompok kasus lebih sering mengkonsumsi makanan atau minuman asam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia (p<0,05) (Lampiran 4). Koefisien kontingensi kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,219 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 9,123; 95% CI: 1,129-73,735). Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 9,123 kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam. Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Suplemen kesehatan atau diebut juga dietary supplement adalah produk kesehatan yang mengandung satu jenis atau lebih zat-zat gizi atau obat. Zat-zat

22 gizi yang dimaksud adalah vitamin, mineral, dan asam-asam amino, sedangkan yang bersifat obat umumnya diambil dari jaringan tubuh hewan atau dari tanaman (Thomson 2008). Pada umumnya suplemen mengandung zat gizi, enzim, serta herbal yang meningkatkan antioksidan dan imunitas tubuh, serta mengendalikan kolesterol, gula darah, dan tekanan darah. Terdapat beberapa kondisi yang melatarbelakangi pengunaan suplemen makanan, diantaranya pola makan yang tidak seimbang yang berpengaruh pada asupan gizi ke dalam tubuh. Alasan mengkonsumsi suplemen diantaranya adalah ingin tetap dalam kondisi gizi yang baik, memulihkan tenaga, mengurangi stres, dan mencegah terjadinya penyakit. Hanya sebagian kecil contoh pada kedua kelompok, yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi suplemen (kelompok kasus 38,3% dan kontrol 28,3%). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata konsumsi suplemen diantara kedua kelompok (p>0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi suplemen dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis suplemen yang dikonsumsi contoh Suplemen Kasus Kontrol Total n (18) % n (12) % n (30) % Vitamin C 6 33,3 7 58, ,3 Multivitamin 5 27,8 2 16,7 7 23,3 Madu dan Herbal 4 22,2 0 0,0 4 13,3 Lainnya 3 16,7 3 25,0 6 20,0 Jenis suplemen yang paling banyak dikonsumsi contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) adalah vitamin C. Pada kelompok kasus, selain vitamin C suplemen yang juga banyak dikonsumsi adalah multivitamin (merek suplemen yang dikonsumsi adalah Sangobion, Enervon-C, Calcium D Redoxon, dan Cerebrovit). Suplemen herbal yang banyak dikonsumsi adalah klorofil cair, sedangkan suplemen lainnya adalah vitamin E (merek Natur-E) dan vitamin B kompleks (merek IPI dan Neurobion). Frekuensi konsumsi suplemen contoh paling sering dua kali per hari dan yang paling jarang satu kali per minggu. Contoh terutama mengkonsumsi vitamin C sebanyak satu kali per hari dengan

23 dosis 500 mg, sesuai dengan vitamin C yang ada di pasaran (merek Xon Ce atau Vitacimin). Tabel 14 Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Tingkat Kecukupan Vitamin A* Normal (>77% AKG) 40 67, , ,8 Defisit (< 77% AKG) 20 33, , ,2 Tingkat Kecukupan Vitamin C Normal (>77% AKG) 12 20,0 7 11, ,8 Defisit (< 77% AKG) 48 80, , ,2 Konsumsi Lemak** Cukup ( 30% AKE) 23 95, , ,2 Lebih (> 30% AKE) 37 5,0 6 10, ,8 Konsumsi Natrium Cukup (<2400 mg/hari) 59 98, , ,3 Lebih (> 2400 mg/hari) 1 1,7 1 1,7 1 0,8 Konsumsi Kalium Cukup (>2000mg/hari) 1 1,7 2 3,3 3 2,5 Defisit (<2000 mg/hari) 59 98, , ,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 ** Signifikan atau nyata pada p<0,01 AKE = Angka Kecukupan Energi, digunakan sebagai pendekatan jumlah kebutuhan energi sehari contoh (WKNPG 2004). Tingkat Kecukupan Vitamin A dan C Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem imunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A menjamin perkembangan kulit yang sehat, membran mukosa, kelenjar thymus dan jaringan lymphoid, dan semua hal yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Dapat dikatakan bahwa vitamin A membantu menjaga membran mukosa lambung atau menjadi faktor protektif atau defensif mukosa lambung. Vitamin C bersama dengan vitamin E dapat melindungi sel dari perlawanan peroksidasi lemak didalam sel. Vitamin C juga dapat berfungsi sebagai pencegah kanker. Akan tetapi, vitamin C atau asam askorbat merupakan senyawa yang bersifat asam. Dengan demikian, asam tersebut dapat bersifat agresif terhadap mukosa lambung. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dapat dilihat pada Tabel 14. Tingkat kecukupan vitamin A contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) sebagian besar berada pada kategori normal. Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengalai defisit vitamin A dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji Mann

24 Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05) (Lampiran 4). Tingkat kecukupan vitamin C pada sebagian besar contoh berada pada kategori defisit (kelompok kasus 80% dan kontrol 88,3%). Angka kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05). Tingkat kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kontrol karena contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Konsumsi Lemak Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter, LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan sendawa dan heartburn. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak lambung dan munculnya gejala perut terasa penuh. Akan tetapi, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal (Thomson 2008). Jenis lemak tertentu, yaitu asam lemak rantai pendek (C4-C6) dan rantai sedang (C8-C10) dapat diabsorbsi langsung ke dalam vena porta dan dibawa ke hati untuk segera dioksidasi (diubah menjadi energi). Medium Chain Triglycerides (MCT) dengan panjang 6-12 karbon, cukup larut dalam air, hanya membutuhkan garam empedu dalam jumlah sedikit untuk mencernanya, tidak membutuhkan reseterifikasi pada enterosit, dan ditransportasikan sebagai asam lemak bebas

25 pada sistem porta. MCT dapat dicerna dengan cepat dan tidak terpengaruh oleh faktor intestinal yang menghambat absorbsi lemak (Thomson 2008). Lemak rantai pendek dan sedang (MCT) berkontribusi positif dalam mengurangi frekuensi munculnya gejala gangguan lambung atau dispepsia. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada Tabel 14. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus (61,7%) mengkonsumsi lemak dalam jumlah > 30% AKE, sedangkan pada kelompok kontrol, hampir seluruh contoh (90%) mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup 30% AKE. Konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus dan kontrol berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi lemak berhubungan sangat nyata terhadap frekuensi dispepsiapada contoh (p<0,01) (Lampiran 4). Konsumsi lemak memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,237 (p=0,007) dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Konsumsi lemak 30% kecukupan energi sehari berhubungan dengan semakin rendahnya frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Mengkonsumsi lemak kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 5,683; 95% CI : 1,409-22,557). Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar pada konsumsi lemak contoh adalah susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan pangan yang mengandung MCT, baik susu maupun telur adalah pangan hewani yang memiliki daya cerna tinggi. Konsumsi Natrium dan Kalium Natrium dan kalium merupakan mineral yang berperan dalam keseimbangan elektrolit cairan tubuh. Namun, disisi lain kedua mineral tersebut memiliki peran lain yang bertolak belakang. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan menyebabkan tukak lambung. Asupan garam berlebihan dan terus menerus dapat menyebabkan hiperplasia sel sehingga meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori serta menimbulkan kerusakan mukosa lambung (gastritis).

26 Gastritis ringan dapat berubah menjadi gastritis kronis yang merupakan prekursor perlukaan lambung (tukak lambung) yang dapat berakhir pada kanker lambung. Kalium yang kebanyakan berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan, merupakan antioksidan yang dapat memberikan perlindungan pada tubuh sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya tukak lambung dan meringankan gejala pada saat tukak mulai terbentuk. Kalium sebagai antioksidan mampu menghambat kerusakan kromosom, transformasi sel, dan rangsangan pembentukan kanker. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi natrium dan kalium dapat dilihat pada Tabel 14. Hampir keseluruhan contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tidak berlebihan. Sebaliknya, hampir keseluruhan contoh defisit konsumsi kalium. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium antara kedua kelompok (kelompok kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (Lampiran 4). Kebiasaan Merokok Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Gas karbon monoksida, nitrogen oksida, ammonia, benzene, methanol, perylene, hydrogen sianida akrolein, asetilen, bensaldehida, arsen, n-nitrosamine, urethane, nikotin, dan tar adalah beberapa gas yang terdapat dalam asa rokok. Zat-zat kimia dalam asap rokok akan terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu beredar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi setiap sel tubuh. Merokok adalah salah satu faktor risiko bagi munculnya dispepsia. Penelitan-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa merokok merupakan faktor yang berkontribusi nyata terhadap munculnya gastritis dan tukak peptik, terutama tukak lambung, serta proses penyembuhannya. Tar dalam asap rokok dapat melemahkan katup lower esophageal sphincter (LES), katup antara lambung dan kerongkongan. Melemahnya LES dapat mengakibatkan naiknya asam lambung dan gas ke kerongkongan sehingga muncul heartburn dan sering bersendawa. Merokok juga mengganggu faktor defensif lambung dengan cara mengurangi sekresi bikarbonat dan aliran

27 darah di mukosa lambung. Berkurangnya faktor defensif lambung dapat memperburuk peradangan lambung dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Selain berpengaruh terhadap perokok aktif secara langsung, asap rokok juga dapat berpengaruh kepada perokok pasif (orang ang terkena asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif). Hanya terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan merokok, 10% pada kelompok kasus dan 3,3% pada kelompok kontrol. Sebaran kebiasaan merokok contoh dapat dilihat pada Tabel 15. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria (mahasiswa). Jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok contoh antara tahun, sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Contoh telah merokok rata-rata selama 2,75 tahun atau dua tahun sembilan bulan, dengan kisaran satu hingga enam tahun. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok aktif dan pasif Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Perokok aktif Ya 6 10,0 2 3,3 8 6,7 Tidak 54 90, , ,3 Total , , ,0 Perokok pasif Sering 3 5,6 6 6,9 15 6,3 Jarang 51 94, , ,8 Total , , ,0 Selain perokok aktif, sebagian kecil contoh yang tidak memiliki kebiasaan merokok juga sering terpapar asap rokok (menjadi perokok pasif). Jumlah contoh pada kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih banyak dibandingkan jumlah perokok pasif pada kelompok kasus. Sebanyak 5,6% contoh pada kelompok kasus dan 6,9% pada kelompok kontrol. Contoh dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila terpapar asap rokok lebih dari tiga kali sehari. Hasil penelitian mengenai perokok aktif dan pasif hanya dianalisis secara deskriptif, tidak diuji secara statistik karena jumlah contoh yang positif (perokok aktif maupun pasif) hanya sedikit dan keseluruhan berjenis kelamin pria Berkarakteristik khusus), sehingga diduga tidak proporsional diuji bersamaan dengan contoh yang lain.

28 Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol Alkohol dalam makanan atau minuman terkandung dalam bentuk etil alkohol atau etanol. Minuman yang mengandung alkohol antara lain bir, arak, anggur, wine, dan minuman keras lainnya. Pencernaan alkohol dilakukan oleh enzim alkohol dehidrogenase di dalam organ lambung dan hati. Apabila jumlah alkohol yang dikonsumsi melebihi kemampuan mencerna enzim alkohol dehidrogenase, maka alkohol akan dikeluarkan dari hati dan masuk ke dalam sirkulasi darah dan ikut beredar ke bagian-bagian tubuh yang lain sehinga menyebabkan mabuk. Seseorang dikatakan mabuk bila darahnya mengandung setidaknya 0,1% alkohol (Almatsier 2002). Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati. Alkohol merangsang produksi asam lambung secara berlebihan (meningkatkan faktor agresif), sehingga berakibat negatif pada mukosa lambung (menurunkan faktor defensif). Selain itu, sama seperti rokok, alkohol dapat mengendurkan katup lower esophageal sphincter (LES) sehingga menyebabkan refluks atau berbaliknya aliran asam lambung dan gas ke kerongkongan (Harahap 2009). Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Menurut Khomsan (2004) alkohol dapat menurunkan nafsu makan sehingga tubuh akan terhalang untuk memperoleh asupan gizi seimbang. Keseluruhan contoh tidak ada yang pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Akan tetapi, sebenarnya terdapat beberapa contoh putra yang penah bahkan terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol sebelum tinggal di asrama TPB IPB (ketika masih duduk di bangku SMA). Keseluruhan dari contoh yang pernah atau terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol termasuk dalam kelompok kasus. Informasi tersebut dieroleh dari wawancara mendalam terhadap contoh, meliputi kebiasaan sebelum contoh tinggal di asrama. Akivitas Fisik dan Kebiasaan Berolahraga Aktivitas fisik adalah gerakan yang dlakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. selama melakukan aktivitas fisik otot membutuhkan energi di luar metabolisme basal untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat satu sama lain. Olahraga yang teratur membantu

29 menguatkan jantung, meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat badan (Bredbenner et al 2009). Peranan olahraga yang terbesar adalah menurunkan rsiko terjadinya penyakit dan kematian dini. kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Rajin berolahraga akan membantu memanajemen stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres yang baik akan membantu mengontrol sekresi asam lambung. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa olahraga secara nyata dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan olah raga Ya 40 66, , ,5 Tidak 20 33, , ,5 Tingkat aktivitas fisik* Tidak aktif 15 25, , ,5 Aktif 45 75, , ,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square Kebiasaan olahraga contoh dinilai berdasarkan informasi atau pengakuan contoh mengenai kebiasaan olahraga yang dilakukan selama tinggal di asrama TPB IPB. Tingkat aktifitas fisik contoh dinilai berdasarkan akumulasi durasi aktivitas sedang (moderate activity) termasuk olahraga yang yang dilakukan contoh selama seminggu. Pengkategorian tingkat aktivitas fisik menggunakan kriteria U.S. Department of Health and Human Services (USDHHS) tahun Sebaran contoh beradasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (66,7%) memiliki kebasaan melakukan olahraga, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan melakukan olahraga. Data kebiasaan olahraga diperoleh berdasarkan pengakuan contoh sehingga lebih bersifat subjektif atau dipengaruhi oleh persepsi contoh. Analisis statistika menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kasus tidak berbeda nyata dengan kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kontrol (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 kebiasaan olahraga tidak berhubungan nyata (p>0,05) dispepsia (Lampiran 4). menunjukkan dengan frekuensi

30 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik pada kelompok kasus berbeda dengan pada kelompok kontrol. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (75%) berada pada kategori aktif, sedangkan pada kelompok kontrol lebih separuh contoh berada pada kategori tidak aktif. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) pada kedua kelompok tersebut (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Tingkat aktivitas fisik memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 (p=0,036) dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR: 7,031; 95%CI: 0,869-56,886). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia dengan frekuensi sering 7,031 kali lebih tinggi dibandingkan yang aktif. Jenis olahraga yang dilakukan contoh berbeda-beda satu sama lain. Pada umumnya contoh putra lebih banyak melakukan olahraga futsal, sedangkan contoh putri jenis olahraga sepeda. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh contoh baik putra maupun putri adalah lari. Selain olahraga yang dilakukan, dilihat transportasi yang dilakukan contoh dari asrama menuju tempat kuliah. Jika contoh terbiasa berjalan kaki dari dan menuju tempat kuliah, hal tersebut turut berkontribusi pada aktivitas fisik sehari-hari contoh. Konsumsi Obat-Obatan Jenis obat-obatan tertentu dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Obat anti nyeri (misalnya: aspirin, neuralgin, parasetamol, dll), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa jenis obat yang memiliki efek samping menyebabkan gastritis. Di Indonesia obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G (obat yang memerlukan resep dokter) dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Pemakaian obat-obatan yang luas ini menyebabkan kejadian efek samping obat meningkat. Dilaporkan 10-20% pasien yang menggunakan aspirin dan OAINS mengalami dispepsia, yang merupakan gejala gastritis (Santoso 2008). Obat pengurang rasa sakit atau antinyeri diduga berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Rasa sakit atau nyeri sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari bagi penderitanya, sehingga

31 penderita lebih suka bertindak cepat mengatasinya dengan obat anti nyeri (analgesik). Santoso 2008 menyatakan, terdapat dua mekanisme kerja obatobatan yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna. Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua, inhibisi atau hambatan terhadap pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa lambung. Prostaglandin bersifat protektif terhadap mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya respon inflamasi dan rasa nyeri. Penderita gastritis dan tukak peptik sering menggunakan obat-obatan yang menekan sekresi asam lambung untuk mengatasi gejala yang muncul. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik. Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung. Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kadang-kadang disertai simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terdapat pada makanan atau obat tertentu. Zat aktif pada antasida (magnesium dan alumunium) akan bersaing dengan mineral lainnya yang memiliki valensi sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida Variabel Kasus Kontrol Total n % n % n % Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan* Pengguna harian 28 46,7 8 36, ,0 Bukan pengguna harian 32 53, , ,0 Konsumsi antasida** Ya 19 31,7 1 1, ,5 Tidak 41 68, , ,5 **Signifikan atau nyata pada p<0,01

32 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida dipaparkan pada Tabel 17, Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) dan sebagian besar contoh pada kelompok kontrol (84,0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna harian. Bukan pengguna harian artinya contoh mengkonsumsi obat kurang dari atau sama dengan tujuh takaran (tablet/kapsul/kaplet) per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) antara kelompok kasus dengan kontrol (Lampiran 3). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata (p>0,05) dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Antasida dikonsumsi untuk mengurangi gejala dispepsia yang dialami penderita gastritis atau tukak peptik. Terdapat 31,7% contoh pada kelompok kasus memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Sebagian besar dari mereka adalah pengguna harian, contoh yang mengkonsumsi obat lebih dari tujuh takaran (tablet/kapsul/kaplet) per minggu. Terdapat 1,7% contoh pada kelompok kontrol yang juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Contoh pada kelompok kontrol tersebut juga mengalami gejala dispepsia (gejala gangguan lambung), tetapi tidak mengalami gastritis atau tukak peptik. Hal tersebut dapat terjadi karena gejala dispepsia tidak hanya timbul karena adanya masalah organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena masalah fungsional. Analisis perbandingan secara statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata pada konsumsi antasida antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (p<0,01). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara konsumsi antasida dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,01), dengan koefisien kontingensi sebesar 0,307 dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah (Lampiran 4). Semakin sering contoh mengalami dispepsia, maka cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida untuk mengatasi gejalanya (OR: 8,143; 95% CI 2,191-30,263). Tingkat Stres Stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi akan menimbulkan gangguan psikosomatik yang diikuti perubahan fisiologis dan biokemis

33 seseorang. Stres akan memicu hormon kortisol, dimana hormon tersebut akan menimbulkan reaksi pada seluruh sistem dalam tubuh, termasuk jantung, paruparu, peredaran darah, metabolisme, dan sistem imun. Hormon lainnya, yaitu hormon kotekolamin yang terdiri atas zat aktif dopamin, norepinefrin, dan epinefrin atau yang lebih dikenal dengan adrenalin turut berperan dalam menekan ingatan jangka pendek seseorang. Hal tersebut menyebabkan seseorang yang sedang mengalami stres akan sulit untuk berpikir secara rasional. Proses tersebut juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, diare, pusing, sakit otot dan sendi. Berbagai mekanisme hormonal (penurunan serotonin dan katekolamin, peningkatan asetilkolin) akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan tukak peptik. Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami ketika tinggal di asrama dipaparkan pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami Tingkat stres** Kasus Kontrol Total n % n % n % Rendah 17 28, , ,3 Sedang 43 63, , ,7 **Signifikan atau nyata pada p<0,01 Tingkat stres contoh diukur melalui delapan belas pertanyaan mengenai gejala stres yang dialami contoh ketika tinggal di asrama. Masing-masing pertanyaan diberikan pilihan jawaban yang skornya berbeda-beda. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus dan kontrol (63,3% dan 51,7%) berada pada tingkat stres kategori sedang. Contoh pada kelompok kasus cenderung berada pada tingkat stres lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan Independent T-Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat stres contoh pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol (p<0,05). Contoh pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh pada kelompok kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 antara skor gejala stres dengan frekuensi dispepsia contoh menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p<0,05). Tingkat stres memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 yang dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Semakin tinggi tingkat stres contoh maka berhubungan dengan semakin sering muncul dispepsia yang dialami contoh (OR: 7,031; 95% CI: 0,869-56,886). Contoh dengan kategori stres

34 lebih tinggi berpeluang mengalami dispepsia lebih sering sebesar 7,031 kali dibandingkan dengan yang kategori stresnya lebih rendah. Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan stres psikologis. Stres fisik terjadi misalnya karena luka bakar, infeksi yang sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung. Berbeda dengan stres fisik, stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang dirasakan internal di dalam diri (Santoso 2008). Penelitian yang dilakukan untuk menentukan tingkat stres contoh, lebih dititikberatkan untuk menggali stres psikologis yang dialami oleh contoh. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengeksklusi contoh yang memiliki riwayat penyakit degeneratif kronis (diabetes, jantung, gagal ginjal, epilepsi, kanker, dll). Berbagai reaksi gangguan psikosomatik dapat timbul akibat stres. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami oleh contoh dipaparkan pada Tabel 19. Sebagian besar gejala stres (12 dari 18 gejala yang dipaparkan) didominasi dengan jawaban jarang atau kadang-kadang oleh contoh. Tiga gejala stres yang paling sering dialami contoh adalah merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu (sering dialami oleh 23,3% contoh), mengalami perubahan nafsu makan (sering dialami oleh 18,3% contoh), dan merasa pusing/sakit kepala tanpa alasan yang jelas (sering dialami oleh 14,2% contoh). Dalam kondisi tertekan atau stres, nafsu makan sering berubah-ubah karena berbagai reaksi hiperasimtomatik pada sistem gastrointestinal. Hiperasiditas lambung menyebabkan berkurangnya nafsu makan. Di samping itu, sekresi adrenalin membuat cadangan gula darah meningkat sehingga turut mempengaruhi penurunan nafsu makan yang juga berakibat pada pola makan menjadi tidak teratur. Perubahan nafsu makan merupakan salah penyebab timbulnya gastritis maupun tukak peptik dan frekuensi munculnya gejalanya.

35 Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami. Gejala Stres Tidak Pernah (%) Jarang dan Kadang-kadang (%) Sering (%) Merasa pusing/ sakit kepala tanpa alasan yang jelas 15,8 70,0 14,2 Merasa pegal-pegal pada leher/ punggung/ bahu 9,2 67,5 23,3 Mengalami kejang otot dan tangan gemetaran 60,0 35,8 4,2 Perut terasa kembung/mulas/diare pada saat akan 43,3 49,2 7,5 melakukan sesuatu Sering menjatuhkan barang/ tersandung/ 65,8 25,0 9,2 memecahkan barang Jantung berdebar dengan cepat 45,8 50,8 3,3 Merasa tidak tenang/ tegang/ cemas/ terancam 49,2 45,0 5,8 Merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan 20,8 70,8 8,3 kegiatan Mengalami sulit tidur/ tidak dapat tidur nyenyak 32,5 56,7 10,8 seperti biasa Mudah tersinggung 36,7 55,0 8,3 Mengalami perubahan nafsu makan 20,0 61,7 18,3 Merasa sangat lelah/ lesu/ lemas/ tidak bertenaga 17,5 70,0 12,5 Merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab 38,3 53,3 8,3 Merasa tak memiliki harapan/ putus asa 57,5 39,2 3,3 Merasa bingung/ takut bertemu orang lain 60,0 37,5 2,5 Merasa sedih sekali dan ingin menangis 36,7 54,2 9,2 Merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain/ 65,8 29,2 5,0 keadaan, tertekan Mengalami mimpi buruk 35,0 59,2 5,8 Herediter Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik atau bawaan. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit. Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi. Dalam penelitian ini, dianalisis dua pengaruh herediter atau bawaan, yaitu riwayat penyakit keluarga dan golongan darah. Riwayat Penyakit Keluarga Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung. Penyakit tukak peptik (ulkus) terjadi 2-3 kali

36 lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik dipaparkan dalam Tabel 19 berikut ini. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan riwayat gangguan lambung keluarga Riwayat Kasus Kontrol Total n % n % n % Tidak ada 24 40, , ,3 Ayah 12 20,0 5 8, ,2 Ibu 21 35,0 7 11, ,3 Kakek 2 3,3 1 1,7 3 2,5 Nenek 1 1,7 1 1,7 2 1,7 Garis keluarga yang diambil dalam penelitian ini adalah ayah, ibu, kakek, dan nenek. Sebagian besar contoh pada kelompok kontrol (76,7%) tidak memiliki riwayat penyakit gangguan lambung berupa gastritis maupun tukak peptik di keluarganya, sedangkan pada kelompok kasus hanya sebesar 40% (Tabel 20). Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu. Riwayat penyakit gastritis pada ibu contoh lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kelompok kontrol (Lampiran 3). Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, dan nenek tidak berbeda nyata (p>0,05) antara kelompok kasus dengan kontrol. Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa riwayat penyakit ayah, ibu, kakek, dan nenek tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Golongan Darah Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan. Pada golongan darah O didapatkan 30-40% lebih sering mengalami tukak peptik dibandingkan golongan darah lainnya. Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain.

37 Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan golongan darah Golongan Kasus Kontrol Total Darah n % n % n % O 26 43, , ,8 Selain O 34 56, , ,1 O 43% A 22% O 38% A 20% AB 8% B 27% AB 10% B 32% Gambar 7 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan golongan darah Sebaran contoh berdasarkan golongan darah dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 7. Sebagian contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) memiliki golongan darah O (43,3% dan 38,3%). Penelitian Mulyani (2007) pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit peptik dibandingkan golongan darah yang lain (A, B, dan AB). Namun analisis statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok kasus dan kontrol (p>0,05). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa golongan darah tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05). Faktor Risiko Frekuensi Dispepsia Analisis multivariat menggunakan regresi logistik ordinal dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel independen yang berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan analisis bivariat. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap frekuensi munculnya dispepsia. Pada penelitian ini, terdapat sembilan variabel independen yang diduga menjadi faktor risiko frekuensi munculnya dispepsia, yaitu: riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), keteraturan makan, frekuensi makan,

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012). BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (51 orang) adalah perempuan. Perempuan lebih mudah merasakan adanya serangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis merupakan radang pada jaringan dinding lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi dan ketidakteraturan dalam pola makan misalnya makan terlalu banyak

Lebih terperinci

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah

3. Apakah anda pernah menderita gastritis (sakit maag)? ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah 104 KUESIONER PENELITIAN GAMBARAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCEGAHAN PENYAKIT GASTRITIS PADA MAHASISWA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2015 A. Karateristik 1. Umur

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kuesioner Skrining

Lampiran 1 Kuesioner Skrining Lampiran 1 Kuesioner Skrining KUESIONER PENELITIAN FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) Oleh: Andri Susanti / I14062402 MAYOR ILMU GIZI Nomor Sampel: DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan.

METODE PENELITIAN. 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/putri TPB IPB minimal 1 bulan. METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian menggunaka desain case-control study (kasus-kontrol) berpasangan. Penetapan contoh didasarkan pada kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah istilah yang dipakai untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 8 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai hubungan konsumsi susu dan kebiasaan olahraga dengan status gizi dan densitas tulang remaja di TPB IPB dilakukan dengan menggunakan desain

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sedang kita hadapi saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah beban ganda penyakit, yaitu disatu pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sukarmin (2012) gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa lambung. Peradangan ini dapat mengakibatkan pembengkakan mukosa lambung sampai terlepasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zat seng / zinc. Padahal zinc merupakan co-faktor hampir 100 enzim yang

BAB I PENDAHULUAN. zat seng / zinc. Padahal zinc merupakan co-faktor hampir 100 enzim yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah gizi pada anak sekolah dasar masih cukup memprihatinkan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap anak usia sekolah dasar di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan khususnya sebagai generasi penerus bangsa tidak luput dari aktifitas yang tinggi. Oleh sebab itu, mahasiswa diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan yang belum terselesaikan, dan terjadi peningkatan

Lebih terperinci

LEMBAR KUESIONER HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA FKM USU TAHUN 2015

LEMBAR KUESIONER HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA FKM USU TAHUN 2015 LEMBAR KUESIONER HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA FKM USU TAHUN 2015 Nama : Umur : Jenis kelamin : Tahun angkatan : Jadwal makan 1. Apakah setiap hari anda biasa sarapan

Lebih terperinci

Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB)

Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011 Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Dyspepsia Risk Factors of University Students in Bogor Agricultural University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soft Drink 2.1.1 Pengertian Soft Drink Soft drink ialah minuman berkarbonasi yang diberi tambahan berupa bahan perasa dan pemanis seperti gula. Soft drink terdiri dari sugar-sweetened

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh baik untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari.

Lebih terperinci

Pengaruh Soft Drink Pada Penggunaan Obat Herbal Untuk Penyakit Diabetes

Pengaruh Soft Drink Pada Penggunaan Obat Herbal Untuk Penyakit Diabetes Pengaruh Soft Drink Pada Penggunaan Obat Herbal Untuk Penyakit Diabetes Apa Efek Minuman Ringan Terhadap Penyakit Diabetes dan Obat Herbal Untuk Penyakit Diabetes? Jika berita dan laporan kesehatan terbaru

Lebih terperinci

OHM PELANGSING OBAT HERBAL MAMI PELANGSING

OHM PELANGSING OBAT HERBAL MAMI PELANGSING OHM PELANGSING OBAT HERBAL MAMI PELANGSING Rp 195.000,- per botol @ 625 ml Rp 100.000,- per botol @ 300 ml Kombinasi khasiat 10 tanaman herbal khas Indonesia menurunkan berat badan. Anjuran minum 2x sehari:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia yang mengarah modern ditandai gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang dapat merangsang peningkatan asam lambung, seperti:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan sebuah masalah keluarga yang sifatnya jangka panjang dan kebisaan makan yang sehat harus dimulai sejak dini. Masalah gizi pada anak di Indonesia akhir-akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18

BAB I PENDAHULUAN. Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18 tahun, sarapan berfungsi sumber energi dan zat gizi agar dapat berpikir, belajar dan melakukan aktivitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah 10 Surakarta. SMP Muhammadiyah 10 Surakarta terletak di Jl. Srikoyo No.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah 10 Surakarta. SMP Muhammadiyah 10 Surakarta terletak di Jl. Srikoyo No. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah 10 Surakarta SMP Muhammadiyah 10 Surakarta terletak di Jl. Srikoyo No.3 Karangasem, Laweyan, Surakarta. SMP Muhammadiyah 10 Surakarta memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan harta yang sangat berharga dan patut dipelihara. Gaya hidup sehat harus diterapkan untuk menjaga tubuh tetap sehat. Salah satu cara agar kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga dapat terjadi kurang gizi dan gizi lebih,

BAB I PENDAHULUAN. masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga dapat terjadi kurang gizi dan gizi lebih, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Status gizi yang diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuranukuran gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia umumnya digunakan untuk menggambarkan makanan yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan, melebihi diet sehat normal yang diperlukan bagi nutrisi manusia. Makanan Sehat "Makanan Kesehatan" dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pola makan disuatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suplemen berenergi adalah jenis minuman yang ditujukan untuk. stamina tubuh seseorang yang meminumnya. (www.wikipedia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suplemen berenergi adalah jenis minuman yang ditujukan untuk. stamina tubuh seseorang yang meminumnya. (www.wikipedia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Suplemen Berenergi 1. Pengertian Suplemen Berenergi Suplemen berenergi adalah jenis minuman yang ditujukan untuk menambah energi, kesegaran, stimulasi metabolisme, memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia yang sehat setiap harinya memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga memiliki kesanggupan yang maksimal dalam menjalankan kehidupannya.

Lebih terperinci

Lembar Persetujuan Menjadi Responden. Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada

Lembar Persetujuan Menjadi Responden. Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Gambaran Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Gastritis Pada Mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan negara miskin,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Faktor Internal Usia. Usia mahasiswa dalam penelitian ini berksar antara 18-22 tahun Rata-rata usia mahasiswa sebesar 19,8 tahun dan standar deviasi sebesar 1,0 tahun. Rata-rata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Karakteristik contoh meliputi usia, pendidikan, status pekerjaan, jenis pekerjaan, riwayat kehamilan serta pengeluaran/bulan untuk susu. Karakteristik contoh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subyek Karakteristik subyek yang diamati adalah karakteristik individu dan karakteristik keluarga. Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, dan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN STUDI TENTANG PENGETAHUAN GIZI, KEBIASAAN MAKAN, AKTIVITAS FISIK,STATUS GIZI DAN BODYIMAGE REMAJA PUTRI YANG BERSTATUS GIZI NORMAL DAN GEMUK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak,

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak, BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang paling sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak, cepat dan makan makanan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Sampel dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan rentang usia 20-55 tahun. Menurut Hurlock (2004) rentang usia sampel penelitian ini dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya suatu penyakit berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah satunya gangguan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan di dalam alat pencernaan.

BAB 1 PENDAHULUAN. setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan di dalam alat pencernaan. BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Zat gizi adalah bahan dasar yang menyusun bahan makanan. Makanan setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan di dalam alat pencernaan. Bahan makanan diuraikan menjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain survei melalui pendekatan Cross-sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada suatu waktu

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight?

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight? Obesitas yang dalam bahasa awam sering disebut kegemukan merupakan kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang

Lebih terperinci

Pola hidup sehat untuk penderita diabetes

Pola hidup sehat untuk penderita diabetes Pola hidup sehat untuk penderita diabetes Penanganan diabetes berfokus pada mengontrol kadar gula darah (glukosa). Hal tersebut dapat dijalankan dengan memperhatikan pola makan dan olahraga, serta merubah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

Oleh : Seksi Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bali

Oleh : Seksi Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bali Oleh : Seksi Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bali Anak bukan miniatur orang dewasa Anak sedang tumbuh dan berkembang Anak membutuhkan energi per kg BB lebih tinggi Anak rentan mengalami malnutrisi Gagal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap hari manusia selalu membutuhkan minum untuk mempercepat proses metabolisme dalam tubuh dan agar terhindar dari dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Salah satu ibadah dalam agama Islam adalah shoum atau berpuasa, menahan lapar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dismenore adalah nyeri menstruasi seperti kram pada perut bagian bawah yang terjadi saat menstruasi atau dua hari sebelum menstruasi dan berakhir dalam 72 jam. Terkadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh, maka resiko terjadinya penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering terjadi pada lansia antara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi lebih merupakan keadaan patologis, yaitu dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. (1) Gizi lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu

BAB I PENDAHULUAN. peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis atau lebih dikenal dengan istilah maag merupakan suatu keadaan peradangan pada mukosa lambung. Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu rasa tidak nyaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

A P A I T U M C T O I L, S E R T A B E R B A G A I K E G U N A A N N Y A

A P A I T U M C T O I L, S E R T A B E R B A G A I K E G U N A A N N Y A MCT OIL A P A I T U M C T O I L, S E R T A B E R B A G A I K E G U N A A N N Y A APA ITU MCT? M C T M E R U P A K A N S I N G K A T A N D A R I M E D I U M - C H A I N T R I G L Y C E R I D E. MCT merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas didefinisikan sebagai penumpukan lemak yang berlebihan sehingga dapat menggangu kesehatan tubuh. (1) Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat IX-xi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat dari bahan utama yaitu tumbuhan umbi yang digunakan oleh semut sebagai sarang sehingga

Lebih terperinci

Nutrition in Elderly

Nutrition in Elderly Nutrition in Elderly Hub gizi dg usia lanjut Berperan besar dalam longevity dan proses penuaan Percobaan pada tikus: restriksi diet memperpanjang usia hidup Menurunkan peny kronis Peningkatan konsumsi

Lebih terperinci

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya?

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya? Faktor psikis atau kejiwaan seseorang bisa pula meningkatkan produksi asam lambung. Selain itu penyakit maag juga bisa disebabkan insfeksi bakteri tertentu, misalnya helicobacter pylori yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika misalnya, sebagian besar masyarakat menyukai minuman ini, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Amerika misalnya, sebagian besar masyarakat menyukai minuman ini, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kopi merupakan salah satu minuman yang sangat di gemari oleh masyarakat Indonesia karena rasa dan aromanya. Minuman ini di gemari oleh segala umur secara turun temurun.

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013 JURNAL KESEHATAN HOLISTIK Vol 8, No 2, April 2014 : 94-98 HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013 Rohani 1, M. Ricko

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN MORNING SICKNESS PADA IBU HAMIL

SATUAN ACARA PENYULUHAN MORNING SICKNESS PADA IBU HAMIL SATUAN ACARA PENYULUHAN MORNING SICKNESS PADA IBU HAMIL Topik : Morning Sickness Sub topik : Pengertian morning sickness pada ibu hamil Penyebab morning sickness pada ibu hamil Gejala morning sickness

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

Mitos dan Fakta Kolesterol

Mitos dan Fakta Kolesterol Mitos dan Fakta Kolesterol Oleh admin Selasa, 01 Juli 2008 09:19:20 Apakah mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tidak baik bagi tubuh? Apakah kita tak boleh mengonsumsi makanan berkolesterol?

Lebih terperinci

PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima.

PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima. Menjelang haid atau menstruasi biasanya beberapa wanita mengalami gejala yang tidak nyaman, menyakitkan, dan mengganggu. Gejala ini sering disebut dengan sindrom pra menstruasi atau PMS, yakni kumpulan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, bertempat di Pabrik Hot Strip Mill (HSM) PT. Krakatau Steel Cilegon, Propinsi Banten. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

Satuan Acara penyuluhan (SAP) Lampiran Satuan Acara penyuluhan (SAP) A. Pelaksanaan Kegiatan a. Topik :Gastritis b. Sasaran : Pasien kelolaan (Ny.N) c. Metode : Ceramah dan Tanya jawab d. Media :Leaflet e. Waktu dan tempat : 1. Hari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Sehat Anak sehat adalah anak yang dapat tumbuh kembang dengan baik dan teratur, jiwanya berkembang sesuai dengan tingkat umurnya, aktif, gembira, makannya teratur, bersih,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hasil analisis data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2005) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan gizi kurang pada anak usia sekolah yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia, sebagai sumber energi vital manusia agar dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik. Kandungan dalam makanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar sekitar 1,8-2,1 juta

BAB I PENDAHULUAN. 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar sekitar 1,8-2,1 juta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) mengadakan tinjauan terhadap beberapa Negara dunia dan mendapatkan hasil presentase dari angka kejadian diseluruh dunia, diantaranya

Lebih terperinci

BAB 6 HASIL PENELITIAN

BAB 6 HASIL PENELITIAN BAB 6 HASIL PENELITIAN 6.1 Karakteristik Responden Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pengemudi travel X-Trans Jakarta dengan trayek Jakarta-Bandung yang berjumlah 60 orang. Namun seiring dengan

Lebih terperinci

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif dr. Yulia Megawati Tenaga Kerja Adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman beralkohol telah banyak dikenal oleh masyarakat di dunia, salah satunya Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup tinggi angka konsumsi minuman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok

BAB I PENDAHULUAN. tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, ransangan, atau kombinasi halhal tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok penjual dan untuk

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS. Susilowati, SKM, MKM.

PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS. Susilowati, SKM, MKM. 1 PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS Susilowati, SKM, MKM. 2 Masih ingat pebasket internasional Earvin Johnson? Pemain NBA tersohor itu membuat berita mengejutkan dalam karier bermain basketnya. Bukan

Lebih terperinci

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk: HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam

Lebih terperinci

GIZI SEIMBANG PADA USIA DEWASA

GIZI SEIMBANG PADA USIA DEWASA 1 GIZI SEIMBANG PADA USIA DEWASA 2 PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunankesehatan Tdk sekaligus meningkat kan mutu kehidupan terlihat dari meningkatnya angka kematian orang dewasa karena penyakit degeneratif

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah crosssectional study dimana seluruh paparan dan outcome diamati pada saat bersamaan dan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

Manfaat Coklat bagi Kesehatan. Manfaat Coklat bagi Kesehatan

Manfaat Coklat bagi Kesehatan. Manfaat Coklat bagi Kesehatan Manfaat Coklat bagi Kesehatan Kata coklat berasal dari xocoatl (bahasa suku Aztec) yang berarti minuman pahit. Suku Aztec dan Maya di Mexico percaya bahwa Dewa Pertanian telah mengirimkan coklat yang berasal

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik responden yang mempengaruhi tekanan darah. rentang tahun dan lansia akhir pada rentang tahun.

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik responden yang mempengaruhi tekanan darah. rentang tahun dan lansia akhir pada rentang tahun. BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik responden yang mempengaruhi tekanan darah Seluruh responden pada penelitian ini memiliki rentang usia 45-65 tahun di posyandu Lansia RW 18 dan RW 19 Kelurahan Jebres,

Lebih terperinci

Lampiran 2 Form informed consent INFORMED CONSENT

Lampiran 2 Form informed consent INFORMED CONSENT 56 Lampiran 2 Form informed consent INFORMED CONSENT Kami meminta Anda bersama 45 orang lainnya untuk turut terlibat dalam penelitian berjudul Manfaat Air Minum Beroksigen terhadap Stamina Mahasiswa dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

Soft Drink dan Alcholic beer

Soft Drink dan Alcholic beer Soft Drink dan Alcholic beer Disusun oleh : Abdika Rorian H Afriyanti Rosmadiyana Della Tri Winarni Falah Ayu Nita Fitriani Yupriyanto Assalamualaikum Apa itu Soft Drink? Soft drink adalah minuman berkarbonasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh. Pemilihan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Purposive. siswa kelas 5 & 6. Siswa laki-laki (n=27)

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh. Pemilihan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Purposive. siswa kelas 5 & 6. Siswa laki-laki (n=27) METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah case study. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2, Kota Bogor. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

REKOMENDASI GIZI UNTUK ANAK SEKOLAH. YETTI WIRA CITERAWATI SY, S.Gz, M.Pd

REKOMENDASI GIZI UNTUK ANAK SEKOLAH. YETTI WIRA CITERAWATI SY, S.Gz, M.Pd REKOMENDASI GIZI UNTUK ANAK SEKOLAH YETTI WIRA CITERAWATI SY, S.Gz, M.Pd TERDAPAT 6 REKOMENDASI 1. Konsumsi menu Gizi Seimbang 2. Sesuaikan konsumsi zat gizi dengan AKG 3. Selalu Sarapan 4. Pelihara Otak

Lebih terperinci