UNIVERSITAS INDONESIA PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN SKOR SLEDAI DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSCM TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN SKOR SLEDAI DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSCM TESIS"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN SKOR SLEDAI DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSCM TESIS Anisah M Saleh FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK JAKARTA DESEMBER 2013

2 UNIVERSITAS INDONESIA PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK DENGAN SKOR SLEDAI DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSCM TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak Anisah M Saleh FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS JAKARTA DESEMBER 2013 ii

3

4

5 KATA PENGANTAR Segala puji syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah SWT, Sang Maha Kuasa karena berkat ridho dan rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan pendidikan sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya pada Dr. Nia Kurniati, Sp.A(K), selaku pembimbing materi yang senantiasa membimbing saya sejak penulisan sari pustaka, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai penulisan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya juga saya haturkan kepada Dr. Badriul Hegar Syarif, Phd.Sp.A(K), selaku pembimbing metodologi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing saya dengan penuh kesabaran dan di tengah kesibukan beliau selalu dapat menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan memberikan saran dan pendapat beliau untuk penulisan tesis ini. Kepada tim penguji tesis DR.Dr. Partini P Trihono, Sp.A(K), MM(Paed), DR.Dr. Muyadi M Djer, Sp.A(K) dan DR.Dr. Setyo Handryastuti, Sp.A(K) dengan rasa hormat sedalam-dalamnya, saya haturkan terima kasih untuk bimbingan, kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk menyempurnakan penulisan tesis ini. Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada Dr Bambang Tridjaja, SpA(K), MMPaed selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FKUI/RSCM yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat untuk segera menyelesaikan program studi ini. Kepada DR.Dr Aryono Hendarto, SpA(K), selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak(IKA) FKUI-RSCM, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Pogram Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. Terimakasih saya sampaikan kepada seluruh guru guru di departemen IKA FKUI/RSCM yang telah mencurahkan ilmu selama saya menempuh proses pendidikan. Ucapan terima kasih yang mendalam juga saya sampaikan untuk para perawat dan petugas rekam medis di unit rawat jalan Departemen IKA-RSCM ibu Yeti, ibu Ratia, ibu Suryati, ibu Ani, ibu Tati dan bapak Yanto atas bantuan dan v

6 dukungannya selama pengumpulan data. Terima kasih juga saya ucapkan untuk seluruh sejawat PPDS IKA, khususnya teman-teman PPDS IKA angkatan Januari 2009 Ajeng, Angel, Awidia, Cynthia, Eka, Fitri, Ivena, Niken, Nurhayati, Pustika, dan Winda yang senantiasa menemani dan mendukung dalam suka dan duka selama masa pendidikan. Untuk seluruh paramedik serta karyawan di departemen IKA FKUI/RSCM saya ucapkan terimakasih atas kerjasamanya yang luar biasa selama ini. Saya persembahkan tesis ini untuk ayah saya tercinta M.Saleh, SH dan ibu saya Nurhamah, terima kasih telah menjadi sumber kekuatan buat saya untuk menjalani dan menghadapi segala rintangan dan tantangan hidup termasuk menjalani pendidikan PPDS ini. Untuk kedua mertua saya tercinta, Kombes(pol).Sutaryo,Sik,MM dan Wahyuniarti yang telah seperti kedua orangtua sendiri, terimakasih untuk semua cinta kasih, doa serta dukungan tanpa pamrih. Tiada kata yang dapat saya sampaikan selain ungkapan terima kasih kepada suami saya AKBP.Anton Perda Eko Harmanto, Sik yang telah mendukung penuh saya selama menempuh proses pendidikan ini. Untuk anak-anakku Nayra Keisha Harmanto dan Nadia Kayla Harmanto, mama bangga atas kalian berdua yang telah memahami kesibukan mama dalam menyelesaikan pendidikan ini, semoga waktu yang terlewatkan dapat tergantikan di kemudian hari. Kupersembahkan pula tesis ini untuk kedua kakak, ipar dan keponakan, Hikmah, Kamal, Mufid, Wiwi, Kineta dan Idris. Semua kebanggan ini kupersembahkan untuk kalian semua dan semoga pengorbanan kalian dibalas oleh Allah SWT. Akhir kata, tentunya tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan memerlukan penyempurnaan. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, saya memohon saran dan masukan demi perbaikan tesis ini. Jakarta, Desember 2013 (Anisah M Saleh) vi

7

8 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Anisah M. Saleh : Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak : Penilaian Aktivitas Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik dengan Skor SLEDAI di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Latar belakang. Penilaian aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) dengan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) berperan penting dalam pemantauan atau follow up aktivitas penyakit LES pada anak. Saat ini belum ada data mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia. Tujuan. Memantau aktivitas penyakit LES anak dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan. Metode. Studi deskriptif untuk memantau aktivitas penyakit LES anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara retrospektif menggunakan data rekam medis dari bulan Juli 2005 hingga Juli Hasil penelitian. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 30 pasien. Mayoritas penderita LES adalah perempuan. Rerata usia awitan 11,23 (SD 2,88) tahun dan rerata usia saat diagnosis ditegakkan 11,79 (SD 2,69) tahun, terbanyak didiagnosis di atas usia 10 tahun dan tidak ada yang di bawah usia 5 tahun. Median (rentang) waktu antara timbulnya gejala sampai diagnosis ditegakkan adalah 3 (1 84) bulan dan terbanyak pada jarak kurang dari 5 bulan. Terapi inisial yang paling banyak diberikan adalah kortikosteroid dalam bentuk metilprednisolon. Manifestasi klinis awal tersering adalah artritis, rash, dan demam, sedangkan untuk laboratorium adalah peningkatan dsdna dan komplemen darah yang rendah. Perbedaan skor SLEDAI terutama terlihat antara pengamatan bulan ke-0 dengan bulan ke-3. Skor SLEDAI yang dinilai setiap 3 bulan menunjukkan perubahan aktivitas penyakit LES yang bermakna, dengan mayoritas high activity pada awal pengamatan menjadi no activity pada akhir pengamatan. Simpulan. Penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit LES anak. Kata kunci: lupus eritematosus sistemik, aktivitas penyakit, SLEDAI viii

9 ABSTRACT Name Program of study Title : Anisah M. Saleh : Pediatrician : Assessment of Disesase Activity in Pediatric Systemic Lupus Erythematosus with SLEDAI Scoring System at Department of Child Health Cipto Mangunkusomo Hospital Background. Assessment of disease activity in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE) with SLEDAI scoring system has an important role in monitoring or follow up disease activity of pediatric LES. Currently no available data that assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months in Indonesia. Objective. To assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months for one year observation. Methods. Descriptive study to assess disease activity of pediatric SLE at Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record retrospectively from July 2005 until July Results. Thirty patients were included in this study. Majority of SLE subjects were girls. Mean age at symptoms onset was (SD 2.88) y.o and mean age at diagnosis was (SD 2.69) y.o, most of them were diagnosed above 10 y.o and no one had below 5 y.o. The median of duration between symptoms onset and diagnosis was 3 (1 84) months, most of them had duration below 5 months. Majority of the subjects received corticosteroid in the form of methylprednisolone as initial therapy. Most common clinical manifestations were arthritis, rash, and fever, for laboratorium results were elevation of dsdna and low complement level. The difference of SLEDAI score were especially obtained between the initial month with the 3 rd months. SLEDAI score that assessed every 3 months showed significant disease activity changes, with majority of patients had high activity in the beginnning and became no activity in the end of observation. Conclusions. Assesment of SLEDAI score every 3 months is useful for monitoring disease activity of pediatric SLE. Keywords: systemic lupus erythematosus, disease activity, SLEDAI ix

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv KATA PENGANTAR... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii ABSTRAK... viii ABSTRACT... ix DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR SINGKATAN... xv BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat penelitian Bidang akademik Bidang pelayanan masyarakat Bidang penelitian... 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Epidemiologi Etiologi dan Patogenesis Manifestasi Klinis Pemeriksaan Penunjang Tata laksana Tindak Lanjut Prognosis BAB 3 KERANGKA KONSEP BAB 4 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Populasi Target Populasi Terjangkau Sampel Penelitian Metode Pengambilan Sampel Instrumen Pengumpulan Data x

11 4.5 Cara Kerja Sebelum Penelitian Saat Penelitian Sesudah Penelitian Batasan Operasional Alur Penelitian BAB 5 HASIL PENELITIAN Seleksi subjek penelitian Karakteristik subjek penelitian Karakteristik subjek berdasarkan aktivitas penyakit sesuai sistem skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan Skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan BAB 6 DISKUSI Keterbatasan Penelitian Karakteristik subjek penelitian Karakteristik aktivitas penyakit LES berdasarkan sistem skor SLEDAI selama satu tahun pengamatan Skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR REFERENSI xi

12 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Manifestasi klinis LES pada berbagai organ... Tabel 2.2 Kriteria klasifikasi LES menurut ACR revisi Tabel 2.3. Daftar pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk LES... Tabel 2.4. Tatalaksana LES pada anak... Tabel 2.5. Skor SLEDAI... Tabel 2.6. Ringkasan karakteristik masing-masing sistem skor... Tabel 4.1. Kriteria klasifikasi LES menurut ACR revisi Tabel 5.1. Kategori kelengkapan data subjek sesuai skor SLEDAI... Tabel 5.2. Karakteristik subjek penelitian penderita LES... Tabel 5.3. Karakteristik aktivitas penyakit LES pada subjek penelitian berdasarkan sistem skor SLEDAI... Tabel 5.4. Skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan... Tabel 5.5. Analisis perbedaan skor total SLEDAI pada setiap pengamatan... Tabel 5.6. Perubahan dan hubungan antar skor pengamatan setiap 3 bulan... Tabel 5.7. Jumlah subjek dengan interpretasi hasil skor SLEDAI padaberbagai waktu pengamatan xii

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1. Algoritme seleksi subjek penelitian Gambar 5.2. Grafik rerata skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Formulir Identitas Pasien... Lampiran 2 Formulir Penilaian Aktivitas Penyakit LES dengan SLEDAI... Lampiran 3 Lembar Rekapitulasi Skor SLEDAI... Lampiran 4 Surat Kajian Lolos Etik xiv

15 DAFTAR SINGKATAN ACR AINS ANA antism BB BILAG C CD CRP CVA DNA dsdna ECLAM EKG ESI FKUI Hb HLA ICD Ig IKA iv LBP LED LES MMF MTX Pk PPK RNA RSCM SD SLAM SLAM-R SLEDAI SLICC SPSS ssdna SSP USG UV American College of Rheumatology antiinflamasi nonsteroid autoantibodi antinukleus antismith berat badan British isles lupus assessment group complement cluster of differentiation C-reactive protein cerebrovascular accident deoxyribonucleic acid double stranded DNA European consensus lupus activity measurement elektrokardiografi effect size index Fakultas Kedokteran hemoglobin human leukocyte antigen International Classification of Disease imunoglobulin Ilmu Kesehatan Anak intravena lapang pandang besar laju endap darah lupus eritematosus sistemik mycophenolate mofetil methotrexate phosphokinase pedoman penatalaksanaan klinis ribonucleic acid Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo standar deviasi systemic lupus activity measure systemic lupus activity measure-revised systemic lupus erythematosus disease activity index Systemic Lupus International Collaborating Clinics statistical package for the social sciences single stranded DNA sistem saraf pusat ultrasonografi ultraviolet xv

16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun dengan spektrum penyakit yang sangat bervariasi dan melibatkan berbagai organ. Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang didasari disregulasi sistem imun dan ditandai oleh pembentukan autoantibodi antinukleus (ANA), terutama antidoublestranded DNA (antidsdna) yang selanjutnya akan membentuk kompleks imun dan terjadi inflamasi serta kerusakan jaringan. 1-4 Penyakit LES dapat terjadi pada masa anak dan dewasa, tetapi 20% kasus didiagnosis pada masa anak. Awitan LES yang timbul pada masa anak memperlihatkan manifestasi dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan jika LES baru terjadi pada usia dewasa. 4,5 Insidens LES pada anak mencapai kasus per anak dan umumnya lebih sering ditemukan pada anak perempuan di atas usia 10 tahun. 5,6 Prevalens LES bervariasi tergantung pada wilayah demografi dan etnis, pada anak perempuan dari etnis Asia berkisar 31,14 per anak. 4 Selama periode terdapat 36 kasus LES di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), 29 di antaranya adalah anak perempuan dan rasio anak perempuan dibandingkan laki-laki 3,6:1. Perjalanan penyakit LES bersifat episodik yang ditandai oleh fase remisi dan flare. Pada penyakit ini tidak ditemukan tampilan klinis atau nilai laboratorium yang secara tunggal dapat merepresentasikan derajat aktivitas penyakit pada suatu waktu. Penentuan aktivitas LES melalui pemantauan jangka panjang memiliki peran sangat penting dalam menentukan jenis dan dosis obat serta mencegah timbulnya penyulit. 7 Mengingat LES memerlukan pengobatan jangka panjang maka dibutuhkan perangkat yang dapat mengevaluasi penyakit LES. 1,4 Terdapat berbagai sistem skor yang dapat digunakan untuk menilai aktivitas LES, antara lain: the systemic lupus activity measure (SLAM), systemic lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI), the European consensus lupus activity measurement (ECLAM) dan the British isles lupus 1

17 2 assessment group (BILAG). 3 Secara keseluruhan semua jenis sistem skor ini akurat dan reliable, serta dapat digunakan untuk anak dan dewasa. Sistem skor yang praktis dan banyak digunakan dalam aplikasi klinis sampai saat ini adalah SLEDAI. 3 Sistem skor SLEDAI mudah digunakan bahkan pada pemantau pemula sekalipun. 3,4 Sistem skor ini memiliki jumlah variabel yang relatif sedikit dan sederhana, sehingga dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 2 menit. Setiap variabel sudah didefinisikan dengan jelas sehingga perbedaan persepsi pengisi formulir menjadi minimal. Skor SLEDAI juga sensitif terhadap perubahan aktivitas penyakit Studi retrospektif mengenai karakteristik pasien LES anak dilakukan sebelumnya oleh Sudewi dkk. 7 di RSCM. Hasil studi ini menunjukkan bahwa karakteristik klinis dan laboratorium terbanyak pada pasien LES adalah ruam malar, artritis, artralgia, fotosensitivitas, peningkatan antidsdna, dan komplemen darah yang rendah. Pada studi ini juga dilakukan penilaian skor SLEDAI dan didapatkan peningkatan skor SLEDAI di akhir pengamatan pada subyek dengan perjalanan penyakit yang progresif. Pemantauan skor SLEDAI dapat dilakukan setiap 3 6 bulan atau ketika terdapat perubahan aktivitas penyakit. 1 Penelitian yang dilakukan Ibanez dkk. 14 pada pasien LES dewasa menunjukkan bahwa pengamatan SLEDAI setiap 3 bulan memberikan estimasi aktivitas penyakit LES lebih baik dalam hal mendeteksi kejadian flare dibandingkan pengamatan setiap 6 atau 12 bulan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang memantau aktivitas penyakit LES menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia. Oleh karena itu dilakukan studi deskriptif yang bertujuan memantau aktivitas penyakit LES dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan pada pasien LES anak selama satu tahun pengamatan.

18 3 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana gambaran aktivitas penyakit LES dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan pada pasien LES anak? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Memantau aktivitas penyakit LES dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan pada pasien LES anak Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik subjek berdasarkan jenis kelamin, usia awitan, usia diagnosis, rentang waktu diagnosis, dan terapi inisial penyakit LES pada anak. 2. Mengetahui karakteristik aktivitas penyakit LES dengan sistem skor SLEDAI selama satu tahun pengamatan. 3. Mengetahui perubahan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan. 1.4 Manfaat penelitian Bidang akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan penilaian skor SLEDAI di Indonesia Bidang pelayanan masyarakat Pemantauan aktivitas penyakit LES dengan skor SLEDAI ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk perbaikan pedoman penatalaksanaan klinis (PPK) pada tatalaksana penyakit LES pada anak.

19 Bidang penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya dalam hal pemantauan aktivitas penyakit LES pada anak.

20 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit sistemik yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh, ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap self antigen khususnya autoantibodi antinukleus (ANA), terutama antidouble stranded DNA (antidsdna). Penyakit LES dapat menyebabkan inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat yang bersifat episodik dengan ditandai oleh periode remisi dan flare. 1,2 Karakteristik utama dari penyakit ini adalah adanya produksi autoantibodi yang bereaksi dengan antigen diri (self antigen) sehingga menimbulkan deposit kompleks imun dan inflamasi dengan hasil akhirnya terjadi kerusakan organ yang permanen. 3 Penyakit ini merupakan penyakit sistemik sehingga menimbulkan kelainan klinis dan laboratorium yang sangat bervariasi. Penyakit LES pada anak biasanya melibatkan lebih dari satu macam organ, sehingga manifestasi dan prognosisnya lebih buruk bila dibandingkan dengan dewasa. 1, Epidemiologi Prevalens LES bervariasi tergantung pada wilayah demografi dan etnis. 2 Data dari regional referral center di Los Angeles menyatakan bahwa prevalens LES di Amerika Serikat adalah 5 10 per anak. Pada anak laki-laki prevalens LES pada usia 1 9 tahun adalah 1 per anak, sedangkan prevalens pada usia tahun sedikit meningkat menjadi 1,61 per anak. 4 Prevalens pada anak perempuan lebih tinggi terutama pada usia pubertas. Pada etnis Kaukasia setelah pubertas terjadi peningkatan prevalens LES dari 1,27 sebelum pubertas menjadi 4,4 per anak setelah pubertas. Anak perempuan etnis Afro-Amerika juga mengalami peningkatan setelah usia pubertas dari 3,72 menjadi 19,86 per , sedangkan pada anak perempuan dari etnis Asia terjadi peningkatan 6,16 menjadi 31,14 per anak. 4 Data di 5

21 6 Departemen IKA RSCM, selama periode terdapat 36 kasus dan 29 di antaranya adalah anak perempuan dengan rasio anak perempuan dibandingkan laki-laki adalah 3,6:1. Kasus LES lebih sering ditemukan pada perempuan umumnya di atas usia 10 tahun dan sangat jarang terjadi pada usia kurang dari 5 tahun Etiologi dan Patogenesis Etiologi LES belum diketahui secara pasti, namun diduga merupakan kombinasi antara faktor genetik, lingkungan, dan faktor hormonal. 5,15 Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang ditandai oleh peningkatan aktivitas limfosit B dan T. 1,4 Keluarga dari anak-anak yang mengalami LES banyak memiliki kelainan serologis, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau herediter berperan dalam patogenesis penyakit ini. 4 Penyakit LES disertai dengan kelainan berupa defisiensi herediter komplemen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) dan imunoglobulin A (IgA), serta kecenderungan timbul pada genotip HLA tertentu (DR2 dan DR3). 1 Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain: sinar matahari yang menyebabkan eksaserbasi penyakit, radiasi ultra violet (UV) B yang menginduksi apoptosis, serta infeksi Epstein-Barr virus. 1-4 Beberapa obat tertentu (seperti: alfa metil dopa, klorpromazin, hidralazin, isoniazid, dan fenitoin) dapat menginduksi terjadinya LES karena obat tersebut dapat bertindak sebagai mediator yang berinterferensi dengan mekanisme homeostasis populasi limfosit. Faktor hormonal yang diduga berperan adalah defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen. 1 Patogenesis LES juga belum diketahui dengan jelas. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai antigen jaringan. 5 Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah autoantibodi terhadap inti sel yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa antidsdna dan antisingle stranded DNA (antissdna). Jenis antibodi lain yang banyak ditemukan terhadap inti sel adalah antiasam ribonukleat (antirna), antismith, antiro/ss-a, antila/ss-b, antihiston, dan antifosfolipid. 5 Limfosit B memegang peran penting dalam patogenesis LES, peningkatannya pada pasien LES menghasilkan

22 7 peningkatan kadar antibodi hingga hipergamaglobulinemia, serta mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel T helper. Pada LES cenderung terjadi anergi atau apoptosis sel T regulator (sel T CD4+ CD25+) dan sel T supresor (sel T CD8+) yang berfungsi untuk menekan hiperaktivitas sel B. 1,4 Autoantibodi yang terbentuk akan memicu pembentukan kompleks imun baik disirkulasi yang kemudian mengendap di jaringan, maupun kompleks imun yang terbentuk insitu di dalam jaringan. Kompleks imun akan memicu aktivasi komplemen dan proses inflamasi sehingga terjadi kerusakan jaringan. 3 Persistensi kompleks imun ini disebabkan oleh banyaknya komponen autoantibodi yang terbentuk, serta kelelahan sistem retikuloendotelial dalam melakukan pembersihan terhadap kompleks imun Manifestasi Klinis Manifestasi klinis LES sangat bervariasi seperti demam, kelelahan, nyeri persendian, ruam kemerahan (terutama di daerah wajah), fotosensitivitas, hingga penurunan berat badan. 5,15 Gejala yang paling sering muncul pada anak adalah demam, kelelahan, artralgia atau artritis dan ruam kulit. Gejala dapat berlangsung secara intermiten ataupun persisten. 2 Gejala kelainan LES ditentukan oleh organ yang terkena, gejala pada berbagai organ dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Manifestasi klinis LES pada berbagai organ 1,2 Organ Konstitusional Muskuloskeletal Kulit Renal Vaskular Jantung Paru Gastrointestinal Hati, limpa, kelenjar Neurologi Mata Manifestasi Kelelahan, anoreksia, penurunan berat badan, demam yang berkepanjangan. Poliartralgia dan artritis, tenosinovitis, miopati, nekrosis aseptik Ruam malar, lesi diskoid, eritema periungual, fotosensitivitas, alopesia, ulserasi mukosa Glomerulonefritis, sindrom nefrotik, hipertensi, gagal ginjal Fenomena Raynaud, retikularis livedo, trombosis, lupus profundus Perikarditis dan efusi, miokarditis, endokarditis Libman-Sacks Pleuritis, pneumonitis basilar, atelektasis, perdarahan Peritonitis, disfungsi esofagus, kolitis Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati Kejang, psikosis, polineuritis, neuropati perifer, stroke, trombosis vena serebralis, pseudotumor serebri, meningitis aseptik, chorea, defisiensi kognitif global, gangguan mood Eksudat, papiledema, retinopati

23 8 Kriteria diagnosis LES mengacu pada klasifikasi yang ditetapkan oleh The American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982, yang kemudian direvisi pada tahun 1997 (Tabel 2.2). 19 Kriteria diagnosis tersebut memiliki sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%, bila dapat terpenuhi 4 dari 11 kriteria. 1,19,20 Tabel 2.2. Kriteria klasifikasi LES menurut ACR revisi Ruam kupu-kupu di wajah (malar rash) 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulkus di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri 5. Artritis nonerosif dengan karakteristik nyeri, bengkak atau efusi 6. Serositis : a. Pleuritis (nyeri pleuritik, rub, atau efusi pleura) ATAU b. Perikarditis (EKG, rub, atau efusi perikardium) 7. Manifestasi ginjal : a. Proteinuria persisten (>0,5 g atau >+3) ATAU b. Silinder selular 8. Manifestasi neurologis : a. Kejang (tanpa adanya penyebab lain) ATAU b. Psikosis (tanpa adanya penyebab lain) 9. Manifestasi hematologi : a. Anemia hemolitik ATAU b. Leukopenia (<4.000/µL pada 2x/lebih pemeriksaan) ATAU c. Limfopenia (<1.500/µL pada 2x/lebih pemeriksaan) ATAU d. Trombositopenia (< /µL dengan menyingkirkan efek obat) 10. Manifestasi imunologis : a. AntidsDNA positif ATAU b. AntiSm ATAU c. Antifosfolipid positif (kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin abnormal ATAU antikoagulan lupus positif ATAU uji serologik sifilis positif palsu) 11. Antinuclear antibody (ANA) positif 2.5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan indikator inflamasi, uji autoantibodi, pemeriksaan keterlibatan organ dan pemantauan efek samping terapi. 1 Pemeriksaan serologi untuk mencari autoantibodi (terutama ANA), merupakan salah satu penanda utama LES. Hasil ANA positif terdapat pada sebagian besar serum anak dengan LES aktif. 3 Namun positivitas serum ANA tidak cukup untuk mendiagnosis LES maupun untuk memantau perkembangan

24 9 penyakit. 1 Serum ANA yang positif dapat ditemukan pula pada 5 20% populasi normal. 2,3 AntidsDNA merupakan kriteria patognomonik pada LES, terdapat pada hampir semua anak dengan LES aktif. 2-4 Antibodi terhadap antigen nuklear yang lain adalah: antibodi antism yang ditemukan pada penderita LES dengan frekuensi 30 40%, 3 antibodi antiro/ssa yang bekerja dengan mengganggu translasi RNA atau transpor dan berkaitan dengan penyakit ginjal, serta antibodi antila/ssb yang mengganggu enzim RNA polimerase III. 1,3 Antibodi antifosfolipid dapat ditemukan pada 50% penderita, dan dapat menyebabkan trombosis arteri atau vena. Autoantibodi ini akan menyebabkan pembentukan kompleks imun yang akan mengaktivasi komplemen, sehingga akan didapatkan kadar komplemen darah yang rendah terutama C3, C4 dan C50. 3 Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia yang mencerminkan inflamasi kronis, gangguan ginjal, selain itu dapat terjadi anemia hemolitik yang disebabkan oleh autoantibodi terhadap sel darah merah (Coombs positivity). Leukopenia dan trombositopenia juga sering ditemukan pada pasien SLE, hal ini diduga disebabkan sekunder akibat antibodi terhadap cell surface antigens. 3 Indikator inflamasi akan meningkat pada fase akut penyakit antara lain: peningkatan laju endap darah (LED), hipergamaglubolinemia poliklonal dan alfa- 2 globulin serum, sedangkan C-reactiveprotein (CRP) masih dalam batas normal. Kadar CRP akan meningkat bila LES disertai dengan infeksi sistemik seperti serositis dan artritis. 1-3 Keterlibatan ginjal pada LES ditunjukkan dengan adanya abnormalitas dalam sedimen urin, antara lain: proteinuria, hematuria, silinder sel darah merah, dapat pula ditemukan silinder lemak atau badan lemak pada sindrom nefrotik. Adanya kadar antidsdna yang tinggi, kadar komplemen yang rendah, khususnya C4 dan abnormalitas urinalisis menunjukkan nefritis lupus yang aktif. 1,2

25 10 Tabel 2.3. Daftar pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk LES Analisis darah tepi lengkap* 2. LED* 3. ANA 4. AntidsDNA* 5. Antibodi antifosfolipid 6. Antibodi lain : antiro, antila 7. Titer komplemen C3,C4, dan C50 8. Titer IgM, IgG, IgA 9. Uji Coombs 10. Elektroferesis protein 11. Kreatinin dan ureum darah* 12. Protein urin (total protein dalam 24 jam) 13. Urinalisis* 14. Pencitraan : Foto Rontgen toraks, USG ginjal 2.6. Tata laksana Prinsip tatalaksana LES pada pasien anak dan dewasa sama, namun pada anak aspek psikososial dan masalah khusus lainnya harus lebih diperhatikan. 4,17 Dasar pengobatan penyakit lupus yang utama adalah profilaksis, tata laksana infeksi, pemberian obat salisilat, obat antimalaria, pengobatan kortikosteroid, pengobatan imunosupresan atau sitostatika dan penggunaan tabir surya yang ditujukan untuk mencegah induksi gejala LES pada kulit. 4 Tujuan utama terapi adalah untuk menghindari faktor pencetus terjadinya eksaserbasi dan mengendalikan produksi autoantibodi dengan menggunakan imunosupresan. 17 Secara umum, tata laksana meliputi konseling dan edukasi tentang penyakit untuk keluarga, pasien dianjurkan untuk istirahat cukup, dan mendapat nutrisi yang tepat. Pengendalian infeksi juga tidak boleh diabaikan, karena infeksi merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah gagal ginjal, antara lain dengan imunisasi dan tata laksana infeksi yang tepat 1,2,4 Pada pasien dengan manifestasi ringan, seperti artralgia dan mialgia, obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (AINS) dapat digunakan sebagai terapi simtomatik. Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin digunakan untuk manifestasi lupus diskoid dan kulit, pemberian obat ini harus hati-hati karena terdapat kecenderungan untuk terjadi toksisitas pada retina sehingga disarankan untuk pemeriksaan oftalmologi setiap 4 6 bulan. Kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk menekan proses kemerahan atau ruam pada wajah. 4

26 11 Penggunaan kortikosteroid dengan dosis yang sesuai diperlukan pada hampir semua kasus dengan LES untuk menekan gejala. Kortikosteroid dosis rendah (kurang dari 0,5 mg/kgbb/hari) digunakan untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, dan artritis. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi (1 2 mg/kgbb/hari) bertujuan untuk mengatasi manifestasi LES yang lebih berat seperti krisis lupus, gejala neurologis, anemia hemolitik akut, atau beberapa bentuk nefritis tertentu. Pada keadaan tertentu harus dipertimbangkan pemberian sitostatika, yaitu apabila terdapat gangguan neurologi, nefritis tipe proliferasi difus atau membranosa, anemia hemolitik akut dan kasus-kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid. Obat sitostatika yang diberikan biasanya adalah azatioprin dan siklofosfamid. 4 Penurunan densitas tulang dapat dicegah dengan penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid atau pemberian dosis tinggi namun intermiten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium. 21 Terdapat beberapa terapi yang masih dikembangkan dalam tatalaksana LES antara lain: imunoglobulin intravena, plasmaferesis untuk mengurangi kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi, dan terapi sel punca. 1,4 Tabel 2.4. Tata laksana LES pada anak 1,4 Umum: edukasi dan nutrisi yang tepat Penggunaan tabir surya Pencegahan dan tatalaksana infeksi yang tepat AINS untuk keluhan muskuloskeletal Antikoagulan jika terdapat antibodi antikardiolipin dalam kadar yang bermakna Hidroksiklorokuin untuk penyakit kulit dan tambahan glukokortikoid jika ada manifestasi sistemik Glukokortikoid (prednison oral 1-2 mg/kgbb/hari) Inisial metilprednisolon iv dengan interval setiap bulan untuk manifestasi yang berat Imunosupresan (azatioprin dan siklofosfamid) pada penyakit yang berat Tindak Lanjut Penyakit LES berevolusi secara spontan, ditandai dengan fase remisi dan flare. Fase flare diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan terapi, sedangkan remisi merupakan bentuk

27 12 penyakit yang kurang ganas. Pada penyakit LES tidak ada satu jenis pemeriksaan atau parameter tunggal yang dapat mengklasifikasikan aktivitas penyakit LES pada suatu waktu, sedangkan tata laksana LES sangat tergantung dengan tingkat aktivitas penyakit. Pada pemantauan aktivitas penyakit LES dibuat berbagai sistem skor yang dapat menggambarkan perjalanan aktivitas penyakit. 1 Secara umum terdapat 3 macam sistem skor yaitu sistem skor untuk menilai aktivitas penyakit, sistem skor untuk menilai kerusakan organ, dan sistem skor yang menggambarkan persepsi pasien tentang kesehatannya (kuesioner kualitas hidup). 3,4 Terdapat dua jenis sistem skor yang digunakan untuk menilai aktivitas penyakit LES. Jenis pertama merupakan sistem skor yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum yang sederhana mengenai aktivitas penyakit yaitu SLAM, SLEDAI, dan ECLAM. 9,22 Jenis kedua adalah sistem skor rinci yang menggambarkan keadaan berbagai sistem organ secara terpisah, yaitu BILAG. 10,11 Secara keseluruhan sistem skor ini akurat dan reliable, serta dapat digunakan baik pada anak maupun dewasa. 4 Penelitian yang dilakukan oleh Brunner dkk. 11 pada 35 orang anak penderita SLE membuktikan bahwa sistem penilaian SLEDAI, SLAM, dan BILAG sensitif dalam menilai perubahan aktivitas penyakit sehingga dapat digunakan dalam tata laksana LES pada anak. Dalam penelitian ini dilakukan penilaian skor sebanyak 4 kali, yaitu saat diagnosis awal, 6 bulan setelah diagnosis, saat flare (yang ditandai dengan perburukan gejala klinis, perburukan nilai laboratorium, atau peningkatan dosis kortikosteroid atau obat lini kedua) dan 6 bulan setelah flare. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ketiga sistem skor tersebut sensitif untuk menilai perubahan aktivitas penyakit pada anak dengan LES. 11 Sepanjang tahun 1950-an hingga 1980-an terdapat sekitar 60 jenis sistem skor yang dikembangkan untuk menilai aktivitas LES, namun tidak satupun dari sistem skor ini divalidasi sehingga tidak dapat digunakan secara luas. Sejak 15 tahun terakhir muncul berbagai usaha untuk melakukan validasi terhadap berbagai sistem skor. Secara umum sistem skor yang baik harus memiliki komponen sebagai berikut: 12,22

28 13 1. Terdapat pengelompokan variabel yang dapat diterima secara umum. 2. Jumlah variabel yang digunakan dalam sistem skor mencukupi. 3. Terdapat kesesuaian dengan sistem skor lain yang telah divalidasi. 4. Terdapat korelasi yang baik antara klinis dengan laboratorium yang menunjukkan aktivitas penyakit. 5. Dapat membedakan kelompok pasien dengan aktivitas penyakit yang berbeda-beda. Systemic lupus activity measure (SLAM) Sistem skor SLAM dikembangkan di Boston oleh anggota Lupus Council of the American College of Rheumatology. Skor ini terdiri dari 32 variabel yang menggambarkan 11 sistem organ, skala penilaian dibagi menurut tingkat keparahan, yaitu dari skala 1 sampai 3 dengan skor maksimal atau total 86. Pada SLAM modifikasi (SLAM-R) terdapat 31 variabel dari 10 sistem organ (variabel pneumonitis dihilangkan), namun terdapat variabel yang bergantung pada subjektivitas pasien yaitu artralgia dan kelelahan. Skor SLAM tidak terdapat variabel kelainan imunologi serologi. 4,11,22 European consensus lupus activity measurement (ECLAM) Sistem skor ECLAM dikembangkan pada tahun 1992 dari hasil penelitian kohort 704 pasien SLE di Eropa. Sistem skor ini berbeda dengan sistem skor lainnya karena disusun langsung dari suatu studi dengan jumlah pasien yang relatif banyak. Skor ini terdiri dari 15 variabel yang masing-masing diberi nilai sesuai koefisien regresinya pada uji multivariat. Skor ECLAM sensitif terhadap perubahan aktivitas penyakit dan berkorelasi baik dengan SLEDAI. 4,11,22 British isles lupus assessment group (BILAG) Sistem skor BILAG dirumuskan melalui diskusi mendalam ahli-ahli reumatologi dan sistem skor ini didasarkan pada intention to treat, digunakan untuk

29 14 menentukan terapi yang akan diberikan. Skor BILAG lebih komprehensif dibandingkan dengan SLEDAI, terdiri dari 86 variabel yang mengevaluasi 8 sistem organ. Penilaian setiap variabel diukur secara kualitatif melalui observasi klinis dan akan mendapatkan suatu skor alfabetik: A (paling aktif), B (aktif moderat), C (aktivitas minimal), D (stabil), E (tidak pernah bermanifestasi). Umumnya skor total tidak dihitung, namun untuk kepentingan studi skor alfabetik tersebut dapat dikonversi A = 9, B = 3, C = 1, D = 0, E = 0, sehingga nilai maksimumnya adalah ,22 Skor BILAG merupakan sistem skor yang paling komprehensif sehingga disarankan untuk menggunakan software khusus dalam melakukan perhitungan, karena rinci BILAG cocok digunakan dalam penelitian klinis, namun tidak praktis digunakan untuk klinis sehari-hari. Walaupun rinci ternyata ada beberapa sistem yang tidak dimunculkan secara jelas dalam BILAG, yaitu sistem okular dan gastrointestinal. Pemantauan kedua sistem organ ini dimasukkan ke dalam pemantauan sistem organ lain. Skor BILAG juga tidak memonitor kelainan serologi imunologi. 4 Systemic lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI) Sistem skor yang paling sering digunakan adalah SLEDAI, dihitung setiap 3 6 bulan, atau ketika ada perubahan aktivitas penyakit. 1 Skor SLEDAI dikembangkan di Toronto pada tahun Pada sistem skor ini terdapat 24 variabel yang menggambarkan 8 sistem organ. Skor ini mencatat manifestasi penyakit dalam waktu 10 hari sebelum waktu pengukuran. Masing-masing variabel diberi bobot nilai yang bervariasi, tergantung dari beratnya manifestasi klinik yang terjadi bila organ tersebut terganggu. Pada gangguan ginjal, gangguan neurologi dan vaskulitis memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan gangguan pada kulit. Skor maksimum SLEDAI adalah 105.

30 15 Tabel 2.5. Skor SLEDAI 23 Nilai Deskripsi Definisi 8 Kejang Awitan baru, telah disingkirkan penyebab metabolik infeksi atau obat 8 Psikosis Kemampuan hidup normal berubah akibat gangguan persepsi yang berat terhadap realitas. Termasuk halusinasi, inkoheren, asosiasi longgar, impoverished thought content, berfikir tidak logis, bingung, disorganized atau perilaku katatonik. Telah disingkirkan penyebab uremia dan obat 8 Organic brain syndrome Fungsi mental berubah dengan gangguan fungsi orientasi dan memori atau fungsi intelektual dengan manifestasi klinis yang berfluktuasi dan awitan cepat. Termasuk kesadaran berkabut dengan penurunan kapasitas untuk memfokuskan perhatian dan ketidakmampuan mempertahankan perhatian terhadap lingkungan, ditambah minimal 2 dari: gangguan persepsi, berbicara inkoheren, insomnia atau mengantuk siang hari, atau / aktivitas psikomotor. Telah disingkirkan penyebab metabolik, infeksi, atau obat 8 Gangguan visual Perubahan retina, termasuk cytoid bodies, perdarahan retina, eksudat serosa atau berdarah pada koroid, atau neuritis optik. Telah disingkirkan penyebab hipertensi, infeksi atau obat 8 Gangguan sistem Awitan baru neuropati sensoris dan motorik saraf pusat (SSP) 8 Lupus headache Berat, sakit kepala persisten, migren yang tidak responsif terhadap obat analgesik narkotik 8 Cerebrovascular Awitan baru. Tidak termasuk arteriosklerosis. accident (CVA) 8 Vaskulitis Ulkus, gangren, nodul jari yang keras, infark periungual, perdarahan splinter, atau bukti adanya vaskulitis pada hasil biopsi atau angiogram 4 Artritis Artritis >2 sendi, nyeri, dan ada tanda inflamasi (nyeri tekan, bengkak, efusi) 4 Miositis Otot proksimal nyeri/lemah, karena kreatin fosfokinase/aldolase meningkat atau perubahan elektromiogram, atau pada biopsi terbukti miositis 4 Silinder urin Heme, granular atau silinder eritrosit 4 Hematuria >5 eritrosit/lpb. Telah disingkirkan penyebab batu, infeksi, atau penyebab lain 4 Proteinuria >0,5 g/24 jam. Awitan baru atau peningkatan terakhir >0,5 g/24 jam 4 Piuria >5 leukosit/lpb. Telah disingkirkan penyebab infeksi 2 Rash baru Rash inflamasi awitan baru atau rekurens 2 Alopesia Hilangnya rambut abnormal yang difus, atau patchy awitan baru atau rekurens 2 Ulkus mukosa Ulkus oral dan awitan nasal baru atau rekurens 2 Pleuritis Nyeri dada pada pleuritis dengan pleural rub atau efusi, atau penebalan pleura 2 Perikarditis Nyeri perikardial dengan konfirmasi 1 : rub, efusi, bukti EKG atau bukti ekokardiogram 2 Kadar komplemen Kadar C50, C3 atau C4 di bawah normal. darah rendah 2 dsdna meningkat dsdna meningkat >25% dari sebelumnya 1 Demam >38 0 C. Telah disingkirkan penyebab infeksi 1 Trombositopenia < /µL 1 Leukopenia <3.000/µL Telah disingkirkan penyebab obat

31 16 Terdapat beberapa cara interpretasi sistem skor SLEDAI, menurut Mosca dkk. 13 interpretasi skor SLEDAI adalah sebagai berikut: no activity (SLEDAI = 0), mild activity (SLEDAI = 1 5), moderate activity (SLEDAI = 6 10), high activity (SLEDAI = 11 19), dan very high activity (SLEDAI = 20). Interpretasi skor SLEDAI menurut Soepriadi dan Setiawan sebagai berikut: 1. Mild/moderate flare adalah bila terdapat salah satu dari keadaan berikut: perubahan nilai SLEDAI lebih dari 3, timbulnya ruam diskoid, fotosensitivitas, vaskulitis kutaneus, lupus bulosa, ulkus nasofarings, pleurisi, perikarditis, artritis, demam, peningkatan dosis prednison tetapi tidak melebihi 0,5 mg/kgbb/hari, peningkatan penggunaan AINS. 2. Severe flare adalah bila terdapat salah satu dari keadaan berikut: perubahan nilai SLEDAI lebih dari 12, timbul atau memburuknya gejala SSP, vaskulitis, nefritis, miositis, phosphokinase (Pk) kurang dari , Hb kurang dari 7 g/dl (atau Hb turun lebih dari 3 g/dl), memerlukan peningkatan dosis prednison sampai 2 kali lipat, dosis prednison lebih dari 0,5 mg/kgbb/hari, membutuhkan sitoksan baru (azatioprin, MTX), dan rawat inap karena LES. 1 Skor SLEDAI mudah digunakan dan reliable bahkan pada pemantau pemula. Sistem skor ini juga sensitif dalam menilai perubahan aktivitas penyakit, seperti yang dikemukakan oleh Brunner dkk. 11 pada penelitiannya dilakukan penilaian skor SLEDAI pada saat diagnosis awal (dx), 6 bulan pasca diagnosis (dx6), saat flare pertama kali terjadi (ff), dan 6 bulan pasca flare (f6). Diharapkan terjadi penurunan skor pada perbandingan dx/dx6 dan ff/f6, serta terjadi peningkatan skor pada dx6/ff. Dalam studi tersebut, diukur effect size index (ESI) yang merupakan salah satu pendekatan statistik untuk menilai sensitivitas terhadap suatu perubahan. Dilaporkan angka ESI untuk perbandingan skor SLEDAI pada dx/dx6, ff/f6, dan dx/ff ialah 2,31, 2,24, dan -1,00. Masing-masing bernilai lebih dari 0.8 yang berarti menunjukkan respon yang tinggi terhadap perubahan aktivitas penyakit.

32 17 Komparasi Bila dilakukan perbandingan antara berbagai sistem skor yang ada maka SLEDAI adalah sistem skor yang paling mudah digunakan dalam aplikasi klinis sehari-hari, karena memiliki variabel yang relatif sedikit sehingga dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 2 menit. Variabel dalam SLEDAI sudah didefinisikan dengan jelas sehingga perbedaan persepsi pengisi formulir menjadi minimal. 9,11 Skor SLAM cukup mudah digunakan, namun karena jumlah variabelnya lebih banyak menjadikan pengisian formulir SLAM lebih lama dari SLEDAI. 11 Skor ECLAM memiliki variabel yang paling sedikit (15 variabel), namun terdapat 34 subvariabel sehingga membutuhkan waktu pengisian lebih lama. Pada ECLAM terdapat pembulatan bilangan yang tidak sederhana dan berpotensi menimbulkan kesalahan penilaian skor akhir. 9 Skor BILAG adalah sistem skor yang paling banyak jumlah variabelnya sehingga membutuhkan waktu yang lama, bahkan disarankan untuk menggunakan software tertentu dalam pengisiannya, namun skor ini dapat memberikan gambaran yang rinci tentang berbagai sistem organ. 10,11 Sistem skor SLEDAI, BILAG, dan ECLAM lebih responsif terhadap perubahan aktivitas penyakit dibandingkan dengan SLAM, sensitivitas terhadap perubahan aktivitas penyakit ini dihitung dengan membandingkan perubahan jumlah skor terhadap peningkatan atau penurunan dosis kortikosteroid Skor SLEDAI lebih sensitif daripada SLAM karena pada anak dengan kondisi LES yang sedang aktif sering terjadi perburukan pada organ ginjal. Skor untuk organ ginjal pada SLEDAI berjumlah 16 sedangkan SLAM hanya 8. Skor BILAG dan ECLAM lebih sensitif dalam menilai perubahan aktivitas penyakit daripada SLEDAI, hal ini karena kedua sistem skor ini lebih sensitif dalam mendeteksi kebutuhan pasien terhadap peningkatan terapi. Skor BILAG dan ECLAM memiliki lebih banyak variabel dibanding SLEDAI, serta pada BILAG variabel lebih rinci (terdapat 4 macam skor pada BILAG: improving, same, worse, new), sehingga tingkat keparahan masing-masing sistem organ dapat ditentukan, sedangkan pada SLEDAI hanya bisa ditentukan ada atau tidaknya suatu manifestasi gejala. 9-11

33 18 Ketiga sistem skor SLEDAI, SLAM, dan ECLAM menilai aktivitas penyakit secara keseluruhan sehingga pada akhirnya didapatkan skor total yang merepresentasikan tingkat aktivitas penyakit. Sistem skor ini memudahkan klinisi untuk mendapatkan gambaran secara langsung perbandingan aktivitas penyakit dari waktu ke waktu, walaupun kekurangannya adalah lebih sulit untuk melakukan follow-up per organ. 9,11 Skor SLEDAI, BILAG, dan ECLAM sensitif dalam memprediksi tingkat kerusakan organ yang terjadi akibat SLE. Hal ini diketahui dengan membandingkan ketiga sistem skor tersebut dangan Systemic Lupus International Collaborating Clinics/American College of Rheumatology (SLICC/ACR) damage index. Didapatkan hasil bahwa peningkatan skor berkorelasi dengan peningkatan damage index. 13 Tabel 2.6. Tabel ringkasan karakteristik masing masing sistem skor 9-13 No BILAG ECLAM SLAM SLEDAI 1. Penilaian Masingmasing Penilaian Penilaian umum Penilaian umum sistem organ dinilai secara individual umum 2. Durasi waktu 28 Tidak jelas pengamatan (hari) 3. Jumlah variabel Variabel imunologi Tidak ada Ada Tidak ada Ada 5. Pembobotan dalam Ya Ya Tidak Ya variabel 6. Analisis keparahan Ya Tidak Ya Tidak gejala 7. Variabel terapi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 8. Penjumlahan nilai Penjumlahan Penjumlahan akhir sederhana sederhana 9. Dapat digunakan pada anak dan dewasa 10. Lamanya pengisian formulir 11. Responsifitas terhadap aktivitas penyakit 12. Kemampuan untuk memprediksi kerusakan organ Umumnya tidak dijumlahkan (kecuali pada penelitian klinis) Penjumlahan dengan pembulatan bilangan pecahan Ya Ya Ya Ya Paling lama Cepat Cepat Paling cepat Sangat baik Sangat baik Kurang Baik Baik Baik Tidak diketahui Baik

34 Prognosis Prognosis LES dipengaruhi sejumlah faktor, yaitu usia saat diagnosis ditegakkan, jarak antara awitan penyakit sampai diagnosis ditegakkan, manifestasi penyakit, aktivitas penyakit pada saat menjalani perawatan, serta terapi yang diperoleh. 23 Pada pasien anak, biasanya LES melibatkan lebih banyak organ dibanding orang dewasa, sehingga pada masa lampau kasus LES pada anak memberikan prognosis yang jauh lebih buruk. 23 Beberapa prediktor yang menunjukkan prognosis kurang baik, yaitu adanya anemia persisten (Hb kurang dari 10 g/dl selama lebih dari 6 bulan), hipertensi persisten (tekanan diastolik lebih dari 90 mmhg selama lebih dari 6 bulan), hematuria persisten (eritrosit urin lebih dari 20/LPB selama lebih dari 6 bulan), hipertensi pulmonal, dan adanya kegawatan berulang yang membuat pasien harus menjalani perawatan di RS. 4 Saat ini dengan terapi yang lebih agresif disertai pesatnya kemajuan di bidang kedokteran diagnostik, maka angka kesintasan 10 tahun pada anak yang mendapat terapi optimal telah meningkat menjadi 85%. 21 Pemberian informasi yang memadai tentang penyakit ini pada keluarga merupakan faktor penting dalam tata laksana LES yang akan menentukan keberhasilan terapi. 4

35 BAB 3 KERANGKA KONSEP Lingkungan : - Infeksi - obat- obatan - sinar UV Predisposisi : - Genetik - Ketidakseimbangan hormonal - Defisiensi komplemen Proses autoimun Manifestasi klinis dan laboratorium Kriteria LES menurut ACR 1997 Terapi Penilaian aktivitas penyakit LES dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun Bulan ke-0 Bulan ke-3 Bulan ke-6 Bulan ke-9 Bulan ke-12 No activity Mild activity Moderate activity High activity Very high activity : ruang lingkup penelitian 20

36 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini adalah studi deskriptif retrospektif yang memantau aktivitas penyakit LES anak dengan penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun di Departemen IKA RSCM Jakarta. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Departemen IKA RSCM Jakarta Waktu Penelitian Pengambilan data dilakukan pada tanggal 15 Juli sampai 15 Agustus 2013 secara retrospektif dari rekam medik tanggal 01 Juli 2005 sampai dengan 31 Juli Populasi dan Sampel Populasi Target Semua pasien yang baru didiagnosis LES Populasi Terjangkau Semua pasien yang baru didiagnosis LES dan tercatat di Departemen IKA RSCM selama kurun waktu penelitian Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah semua rekam medik pasien pada populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. a. Kriteria Inklusi 1. Usia 0 18 tahun. 2. Telah didiagnosis sebagai LES berdasarkan kriteria ACR 1997 yaitu memiliki 4 dari 11 kriteria sesuai Tabel 4.1. b. Kriteria eksklusi 1. Rekam medik tidak lengkap. 2. Tidak kontrol lebih dari 3 bulan selama satu tahun pengamatan. 21

37 22 Tabel 4.1. Kriteria klasifikasi LES menurut ACR revisi Ruam kupu-kupu di wajah (malar rash) 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulkus di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri 5. Artritis nonerosif dengan karakteristik nyeri, bengkak atau efusi 6. Serositis : a. Pleuritis (nyeri pleuritik, rub, atau efusi pleura) ATAU b. Perikarditis (EKG, rub, atau efusi perikardium) 7. Manifestasi ginjal : a. Proteinuria persisten (>0,5 g atau >+3) ATAU b. Silinder selular 8. Manifestasi neurologis : a. Kejang (tanpa adanya penyebab lain) ATAU b. Psikosis (tanpa adanya penyebab lain) 9. Manifestasi hematologi : a. Anemia hemolitik ATAU b. Leukopenia (<4.000/µL pada 2x/lebih pemeriksaan) ATAU c. Limfopenia (<1.500/µL pada 2x/lebih pemeriksaan) ATAU d. Trombositopenia (< /µL dengan menyingkirkan efek obat) 10. Manifestasi imunologis : a. AntidsDNA positif ATAU b. AntiSm ATAU c. Antifosfolipid positif (kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin abnormal ATAU antikoagulan lupus positif ATAU uji serologik sifilis positif palsu) 11. Antinuclear antibody (ANA) positif Metode Pengambilan Sampel Pemilihan sampel dilakukan dengan metode total population sampling, yaitu memasukkan seluruh rekam medik pasien yang terdapat di Departemen IKA RSCM dari bulan Juli 2005 sampai dengan Juli 2013 yang memenuhi kriteria penelitian. 4.4 Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengukuran data berupa lembar penilaian yang berisi deskripsi aktivitas penyakit LES berdasarkan skor SLEDAI (Lampiran 2). Data diambil dari rekam medik dan dicatat aktivitas penyakit sesuai sistem skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. antara variasi genetik dimana faktor ini berperanan penting dalam predisposisi

BAB 1 PENDAHULUAN. antara variasi genetik dimana faktor ini berperanan penting dalam predisposisi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik, menyerang organ tubuh secara luas, yang menimbulkan manifestasi klinik, perjalanan

Lebih terperinci

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak Artikel Asli Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak * Ni Putu Sudewi, Nia Kurniati**, EM Dadi Suyoko**, Zakiudin Munasir**, Arwin AP Akib** *Peserta Program Fellowship Divisi Alergi-Imunologi

Lebih terperinci

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TINJAUAN TEORI A. Pengertian SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik

Lebih terperinci

Penilaian Aktivitas Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik dengan Skor SLEDAI di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Penilaian Aktivitas Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik dengan Skor SLEDAI di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Artikel Asli Penilaian Aktivitas Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik dengan Skor SLEDAI di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Anisah M. Saleh, Nia Kurniati, Badriul Hegar Syarif Departemen Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Henoch-Schonlein Purpura (HSP) merupakan suatu mikrovaskular vaskulitis sistemik dengan karakteristik adanya deposisi kompleks imun dan keterlibatan immunoglobulin A

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUP dr. Kariadi,

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUP dr. Kariadi, 36 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup Ilmu Penyakit Dalam subbagian Reumatologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT AKTIFITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN TINGKAT AKTIFITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT AKTIFITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT AKTIFITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG

HUBUNGAN TINGKAT AKTIFITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG HUBUNGAN TINGKAT AKTIFITAS PENYAKIT DAN KERUSAKAN ORGAN PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir Karya Tulis Ilmiah mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar proposal karya tulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom nefrotik (SN, Nephrotic Syndrome) merupakan salah satu penyakit ginjal terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lupus Eritematosus Sistemik 2.1.1 Definisi LES Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan peyakit autoimun kronis, multisistem, dengan periode peningkatan aktivitas penyakit akibat peradangan di pembuluh darah

Lebih terperinci

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki. Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki. Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Systemic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam, dengan fokus untuk mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. Kariadi

Lebih terperinci

ABSTRAK. GAMBARAN IgM, IgG, DAN NS-1 SEBAGAI PENANDA SEROLOGIS DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS DENGUE DI RS IMMANUEL BANDUNG

ABSTRAK. GAMBARAN IgM, IgG, DAN NS-1 SEBAGAI PENANDA SEROLOGIS DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS DENGUE DI RS IMMANUEL BANDUNG ABSTRAK GAMBARAN IgM, IgG, DAN NS-1 SEBAGAI PENANDA SEROLOGIS DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS DENGUE DI RS IMMANUEL BANDUNG Listiyani Halim, 2010, Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr., M.Kes Pembimbing II : Indahwaty,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lupus adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat (Mansjoer, 2001). Penderita

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori. digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Setelah dilakukan penelitian di RSUD Dr. Moewardi telah didapatkan data-data penelitian yang disajikan dalam tabel pada Bab IV. Pada penelitian ini didapatkan sampel

Lebih terperinci

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE) LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE) DEFINISI: suatu penyakit autoimun yg ditandai oleh produksi Ab terhadap komponen2 inti sel dgn manifestasi klinis yg luas. dan peny. spesifik Perjalan penyakit akut &

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik. Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad. Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik. Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad. Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran ABSTRAK Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 4, Vol. No. 4, 1, No. Juni 1, 2002: Juni 20022-6 Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan Partini P Trihono, Eva Miranda Marwali,

Lebih terperinci

MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018

MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018 MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018 MEMAHAMI PROGRAM PROMOTIF DAN PREVENTIF PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) dr. Asjikin Iman Hidayat Dachlan, MHA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. SLE, menimbulkan gejala yang berbeda sesuai dengan spesifik organ yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. SLE, menimbulkan gejala yang berbeda sesuai dengan spesifik organ yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE) SLE adalah penyakit rematik autoimun dengan karakteristik berupa perandangan yang tersebar luas, dapat menyerang semua organ atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk

Lebih terperinci

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL KTI

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL KTI HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar proposal karya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS PENYAKIT DENGAN STATUS KESEHATAN PADA PASIEN LES ( LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ) DI RSUP dr.

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS PENYAKIT DENGAN STATUS KESEHATAN PADA PASIEN LES ( LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ) DI RSUP dr. HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS PENYAKIT DENGAN STATUS KESEHATAN PADA PASIEN LES ( LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ) DI RSUP dr. KARIADI, SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr. 36 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal juga dengan Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lupus Eritematosus Sistemik 2.1.1 Definisi LES Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan

Lebih terperinci

REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo Disusun oleh : Arby Shafara Sekundaputra 20090310177

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Systemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ dengan manifestasi gejala yang bervariatif (Nasution & Kasjmir, 1995).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya populasi kematian usia produktif di banyak

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan merupakan penyumbang tertinggi angka kematian perinatal dan neonatal. Kematian neonatus

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor tersebut adalah:

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor tersebut adalah: TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempoh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1 Definisi Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ARTRITIS GOUT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ARTRITIS GOUT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL PERIODE ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA ARTRITIS GOUT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL PERIODE 2012-2014 Darrel Ash - Shadiq Putra, 2015. Pembimbing I : Budi Liem, dr., M.Med dan Pembimbing II : July Ivone, dr.,mkk.,mpd.ked

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih menjadi masalah karena merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi baru lahir. Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (STUDI KASUS DI RSUP DR. KARIADI, SEMARANG)

HUBUNGAN TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (STUDI KASUS DI RSUP DR. KARIADI, SEMARANG) Volume 5, Nomor 4, Oktober 6 Online : http://ejournal-s.undip.ac.id/index.php/medico ISSN Online : 54-8844 HUBUNGAN TINGKAT AKTIVITAS PENYAKIT DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 2 BAB II : LAPORAN KASUS 3. Identifikasi Masalah 4. Pemeriksaan Fisik 5. Pemeriksaan Laboratorium 5.

DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 2 BAB II : LAPORAN KASUS 3. Identifikasi Masalah 4. Pemeriksaan Fisik 5. Pemeriksaan Laboratorium 5. DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 2 BAB II : LAPORAN KASUS 3 BAB III : PEMBAHASAN Identifikasi Masalah 4 Pemeriksaan Fisik 5 Pemeriksaan Laboratorium 5 Diagnosis 6 Diagnosis Banding 7 Penatalaksanaan 7 Prognosis

Lebih terperinci

GAMBARAN GEJALA KLINIK, HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, TROMBOSIT DAN WIDAL PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DENGAN

GAMBARAN GEJALA KLINIK, HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, TROMBOSIT DAN WIDAL PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DENGAN ABSTRAK GAMBARAN GEJALA KLINIK, HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, TROMBOSIT DAN WIDAL PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DENGAN IgM ANTI Salmonella typhi (+) DI DUA RUMAH SAKIT SUBANG TAHUN 2013 Rinda Harpania Pritanandi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... i ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... xi ABSTRAK...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara gejala klinis OA lutut dengan derajat OA lutut dilakukan pada bulan Oktober November 2016 di RSUD Tidar kota

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut:

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut: PENDAHULUAN Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut: 1. Etiologi GGK yang dapat dikoreksi misal: - Tuberkulosis saluran kemih dan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN DHF DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD DR. SOEBANDI JEMBER SKRIPSI

ANALISIS MANFAAT PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN DHF DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD DR. SOEBANDI JEMBER SKRIPSI //digilib.unej.a //digilib.unej.ac. //digilib.unej.a //digilib.unej.ac. //digilib.unej.a //digilib.unej.ac. //digilib.unej.a //digilib.unej.ac. //digilib.unej.a //digilib.unej.ac. //d //d //d ANALISIS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Poliklin ik Saraf RSUD Dr. Moewardi pada

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Poliklin ik Saraf RSUD Dr. Moewardi pada digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Billy Lesmana, 2009; Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr, M.Kes Pembimbing II : Fanny Rahardja, dr, M.Si

ABSTRAK. Billy Lesmana, 2009; Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr, M.Kes Pembimbing II : Fanny Rahardja, dr, M.Si ABSTRAK Gambaran Leukosit dan Hitung Jenis pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid dengan Gall Culture Positif di RS Immanuel periode Januari 2007 Juni 2008 Billy Lesmana, 2009; Pembimbing I : Lisawati Sadeli,

Lebih terperinci

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007 50 BAB 3 METODA PENELITIAN 3.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian akan dilakukan di Bangsal Rawat Inap UPF Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah ke otak secara tiba-tiba, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini bertempat di Instalasi Rekam Medik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular adalah sistem organ pertama yang berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez. Author : Liza Novita, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.tk GLOMERULONEFRITIS AKUT DEFINISI Glomerulonefritis Akut (Glomerulonefritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

3.5. Cara Pengumpulan Data Instrumen Penelitian Tahap Penelitian Rencana Analisis Data BAB IV.

3.5. Cara Pengumpulan Data Instrumen Penelitian Tahap Penelitian Rencana Analisis Data BAB IV. DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Daftar Isi... iii Daftar Tabel... v Daftar Gambar... vii Halaman Pernyataan... viii Kata Pengantar... ix Intisari... xi BAB I. Pendahuluan 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit (Saharso dan Hidayati, 2000). Inflamasi yang terjadi pada sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat

Lebih terperinci

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 SKRIPSI Oleh Siska Yuni Fitria NIM 042010101027 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara berkembang maupun negara maju. 1 Infeksi ini merupakan penyebab

Lebih terperinci

TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 TINJAUAN PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007 SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

4.10 Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Manajemen Data Analiasis Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.

4.10 Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Manajemen Data Analiasis Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi RINGKASAN... vii SUMMARY... vii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR

Lebih terperinci

HUBUNGAN CRP (C-REACTIVE PROTEIN) DENGAN KULTUR URIN PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK DI RSUP. HAJI ADAM MALIK TAHUN 2014.

HUBUNGAN CRP (C-REACTIVE PROTEIN) DENGAN KULTUR URIN PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK DI RSUP. HAJI ADAM MALIK TAHUN 2014. HUBUNGAN CRP (C-REACTIVE PROTEIN) DENGAN KULTUR URIN PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK DI RSUP. HAJI ADAM MALIK TAHUN 2014 Oleh : PUTRI YUNITA SIREGAR 120100359 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit heterogen yang serius yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000). Risiko kematian penderita

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 1.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam, Sub Bagian Infeksi Tropik. 1.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendir yang terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013 Bram Adhitama, 2014 Pembimbing I : July Ivone, dr, MKK.MPd.Ked Pembimbing II : Cherry Azaria,dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inflamatory bowel disease (IBD) adalah suatu kondisi penyakit kronik pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks dan multifaktorial.

Lebih terperinci

Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik

Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik Amaylia Oehadian Sub Bagian Hematologi Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manifestasi klinik yang luas meliputi hampir semua organ dan jaringan. 11 Penyebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manifestasi klinik yang luas meliputi hampir semua organ dan jaringan. 11 Penyebab BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lupus Eritematosus Sistemik (LES) 2.1.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronis dengan manifestasi klinik yang luas meliputi hampir semua

Lebih terperinci

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia Hemolitik Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia hemolitik didefinisikan : kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.bila tingkat kerusakan lebih cepat dan kapasitas sumsum tulang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Rekam Medik RSUP Dr. Kariadi

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL TAHUN 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL TAHUN 2011 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUMAH SAKIT IMMANUEL TAHUN 2011 Rinaldy Alexander, 2014. Pembimbing : July Ivone, dr, MKK, MPd.Ked Prof. Dr dr. Susy Tjahjani, M.Kes Latar belakang

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci