BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lupus adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat (Mansjoer, 2001). Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun) (Oktaria, 2010). Ikatan Reumatologi Indonesia (IRA) tahun 2015 menyatakan bahwa prevalensi lupus mencapai 5 penderita tiap penduduk Indonesia, sedangkan menurut Data Klinik Penyakit Dalam dan Rematik Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito Yogyakarta tahun 2015 jumlah penderita penyakit Lupus yang terdeteksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai orang. Terapi SLE mencakup pemberian obat-obat anti radang nonsteroid (NSAID), kortikosteroid, antimalaria, dan imunosupresan. Pemilihan obat yang sesuai tergantung pada manifestasi klinis yang dialami oleh pasien. Obat-obat NSAID digunakan untuk mengatasi artritis dan artralgia. Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila NSAID tidak dapat mengendalikan gejalagejala SLE. Pemberian imunosupresan (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Sedangkan, kortikosteroid oral dosis tinggi digunakan ketika terjadi serangan akut SLE (Carter, 2006). 1

2 2 SLE merupakan penyakit yang dikategorikan kronis atau menahun. Oleh sebab itu tentunya penggunaan obat untuk terapi lupus seringkali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan bagi Odapus. Menurut Australian Rheumatology Association, efek samping yang paling sering terjadi karena penggunaan NSAID dalam jangka panjang ialah gastritis yang meliputi penurunan nafsu makan, mual, muntah, diare, konstipasi, heartburn, serta rasa sakit dan kram pada perut. Masih menurut Australian Rheumatology Association, NSAID juga dapat memperburuk kondisi liver serta gagal ginjal, meningkatkan tekanan darah, memicu terjadinya stroke, serta menyebabkan pendarahan. Menurut Yayasan Lupus Indonesia penggunaan antimalaria pada Odapus seringkali menimbulkan efek samping, antara lain rambut akan menjadi rontok, kulit kering, keluhan di perut (perut kembung), hilang selera makan, kram, mual, muntah, diare, sakit kepala, sakit otot dan berasa lemas. Sedangkan, penggunaan imunosupresan dapat menyebabkan rasa mual dan muntah-muntah, rambut rontok, komplikasi pada kandung kemih, anemia (jumlah darah sel putih rendah). Yang lebih parahnya lagi, penggunaan imunosupresan cenderung meningkatkan risiko bagi pasien terhadap berkembangnya kanker (Anonim, 2011). Secara umum risiko penggunaan obat kortikosteroid dapat menyebabkan perubahan pada penampilan fisik seperti kelebihan berat badan, pipi sembab (moonface), kulit menipis, rambut rontok serta mudah terjadi pendarahan. Rasa tidak nyaman di perut seperti dispepsia atau rasa terbakar sering terjadi dan dapat dikurangi dengan meminum obat pada saat makan atau bersama-sama dengan obat yang dapat mencegah kerusakan lambung. Selama menggunakan obat

3 3 kortikosteroid (pasien secara psikologi) dapat mengalami perubahan suasana hati (mood), berupa depresi ataupun emosi yang tidak stabil. Obat kortikosteroid ini juga dapat menyebabkan diabetes, meningkatnya risiko infeksi dan kerusakan pada tulang seperti sendi pinggul, lutut atau sendi lainnya. Penggunaan obat ini dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan katarak dan osteoporosis (Anonim, 2011). Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa cukup banyak efek samping yang dapat ditimbulkan dari pengobatan SLE dan belum adanya penelitian tentang gambaran efek samping dari pengobatan SLE sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran efek samping pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada odapus di RSUP Dr. SardjitoYogyakarta. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Bagaimana gambaran efek samping dari pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

4 4 2. Untuk mengetahui gambaran efek samping dari pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta : penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efek samping yang terjadi pada Odapus dan dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat maupun penanganan efek samping dari penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) sehingga terapi menjadi lebih tepat dan dicapai outcome terapi yang lebih baik 2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran efek samping pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

5 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Lupus Eritematosus Sistemik a. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio et al., 2009). b. Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia tahun selama masa reproduktif. Wallace (2007) merangkum beberapa penelitian berkaitan dengan jenis kelamin dan kejadian SLE sebagaimana berikut: Tabel I. Perbandingan Jenis Kelamin Berdasar Usia Terjangkit SLE Umur Perempuan:Laki-laki 0-4 1,4: ,3: ,8: ,4: ,5: ,1: ,2: ,9: ,2:1 Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi antara 2,9/ / SLE lebih sering

6 6 ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin saja Filipina (Bartels et al., 2011). c. Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) SLE mungkin timbul akibat interaksi antara gen kerentanan dan lingkungan. Interaksi ini menyebabkan respon imun abnormal disertai hiperreaktivitas limfosit T dan B yang tidak terkendali oleh proses imunoregulatorik yang lazim. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE umumnya tidak diketahui, kecuali sinar UV-B (dan kadangkadang UV-A). Faktor lain yang diduga berperan antara lain adalah memakan wijen (alfalfa sprout) dan zat kimia, seperti hidrazin dan pewarna rambut. Sekarang sedang dilakukan penelitian untuk mencari virus atau retrovirus sebagai penginduksi tetapi hasilnya belum dapat disimpulkan. Walaupun beberapa obat dapat menginduksi penyakit mirip lupus, lupus spontan dan lupus akibat obat memiliki perbedaan klinis maupun antibodi. Jenis kelamin perempuan jelas merupakan faktor kerentanan, karena prevalensi pada perempuan berusia subur adalah tujuh sampai sembilan kali lebih tinggi daripada laki-laki (Hahn et al., 1994). d. Patofisiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) SLE merepresentasikan gejala klinis yang unik dan berbeda dari penyakit lainnya. SLE memiliki spektrum gejala yang luas dan mencakup banyak sistem organ. Walaupun gejalanya tidak dapat dikenali secara spesifik, namun yang paling sering terjadi pada SLE adalah diproduksinya autoantibodi secara abnormal dan berlebihan serta terjadinya pembentukan

7 7 imun kompleks. Produksi autoantibodi yang berlebihan merupakan akibat dari terjadinya hiperaktivitas pada limfosit B. Hiperaktivitas sel B ini dapat dipicu oleh hilangnya immune self tolerance, tingginya kadar zat zat yang bersifat antigenik baik yang bersumber dari lingkungan ataupun self antigen yang dipresentasikan oleh sel B ke sel B lain melalui spesifik antigen presenting cell, tejadinya perubahan sel T helper tipe 1 menjadi sel T helper tipe 2 yang mendorong sel B untuk memproduksi antibodi, serta terjadinya kerusakan pada supresor sel B. Selain itu, kerusakan yang terjadi pada proses regulatori imun juga dapat menyebabkan SLE yang meliputi limfosit T (suppressor T cells), sitokin (e.g., interleukins, interferon-γ tumor necrosis factor-α, transforming growth factor-β), dan natural killer cells (Dipiro et al., 2008). Secara lebih jelas patofisiologi SLE tersaji dalam bagan berikut ini: Agen pemicu Regulasi imun abnormal Sel T APCs Kerusakan clearance Kerusakan supresor sel B Sel B Sel apoptosis; nuclear rusak Pembentukan autoantibodi Kerusakan clearance Pembentukan imun kompleks Aktivasi komplemen Kerusakan jaringan Gambar 1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

8 8 Faktor lingkungan, seperti mikroba yang bersifat infektif, obat, dan zat kimia, merupakan agen pemicu yang secara genetik dan hormonal dapat mempengaruhi disregulasi sistem imun seseorang. Respon imun yang abnormal ini diakibatkan oleh hiperaktivitas T helper tipe 2 dan fungsi sel B limfosit. Fungsi dari supresor T limfosit, produksi sitokin, mekanisme clearance, serta mekanisme regulatori imun lainnya juga bersifat abnormal sehingga gagal untuk menekan pembentukan autoantibodi yang disebabkan hiperaktivitas B limfosit. Autoantibodi yang terbentuk akibat disregulasi imun ini menimbulkan sifat patogenik, membentuk imun kompleks, dan mengaktivasi komplemen yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan induk (APCs, antigen-presenting cells; TH2,T-helper type 2) (Dipiro et al., 2008). e. Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE (Utomo, 2012). Berikut merupakan tanda dan gejala yang sering terjadi pada Odapus: Tabel II. Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Dipiro et al., 2008). Tanda dan Gejala Insidensi (%) 1. Muskuloskeletal a. Arthritis dan arthralgia Konstitusional

9 9 Tabel II. Lanjutan Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Dipiro et al., 2008). a. Kelelahan b. Demam c. Penurunan berat badan 3. Mukokutan a. Ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash) b. Fotosensitivitas c. Fenomena Raynaud s d. SLE berbentuk cakram (diskoid) 4. Sistem Syaraf Pusat a. Psikosis b. Kejang 5. Paru-paru a. Pleuritis b. Efusi Paru 6. Kardiovaskular a. Perikarditis b. Myokarditis c. Aritmia d. Hipertensi Renal Gastrointestinal a. Mual b. Nyeri abdominal c. Perdarahan usus (vaskulitis) 9. Hematologi a. Anemia b. Leukopenia c. Thrombositopenia Limpadenopati f. Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Batasan operasional diagnosis SLE diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi (Kasjmir et al., 2011).

10 10 Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting (Kasjmir et al., 2011). Tabel III. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Kasjmir et al., 2011) Kriteria Batasan 1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial. 2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik. 3. Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa. 4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. 5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia. 6. Serositis a. Pleuritis b. Perikarditis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura. atau b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium. 7. Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,tubular atau campuran. 8. Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obatobatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).

11 11 Tabel III. Lanjutan Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Kasjmir et al, 2011) 9. Gangguan hematologik 10. Gangguan imunologik 11. Antibodi antinuklear positif (ANA) atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obatobatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit). a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau b. Lekopenia <4.000/mm 3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia <1.500/mm 3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia < /mm 3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponemapallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema. Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis

12 12 bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (Kasjmir et al., 2011). g. Prognosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Hari ini, sebagai hasil dari pengobatan dan teknik diagnosa yang lebih maju, tingkat keberlangsungan hidup 5 tahun melebihi 96%, dan tingkat keberlangsungan hidup 20 tahun mendekati 70%. Keparahan penyakit SLE juga berubah drastis bukan hanya karena terapi yang telah lebih baik namun juga peningkatan kemampuan untuk merawat pasien dengan penyakit ginjal (misal, dialisis), infeksi, dan CAD (coronary artery disease) (Delafuente et al., 2008). 2. Penatalaksanaan Terapi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Menurut Rekomendasi Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik yang disusun oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2011, tujuan khusus pengobatan SLE antara lain: 1. Mendapatkan masa remisi yang panjang, 2. menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, 3. mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. Ada tiga pilar pengobatan menurut rekomendasi tersebut yang seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Tiga pilar tersebut ialah:

13 13 a. Edukasi dan Konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultraviolet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. b. Program rehabilitasi Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a. Istirahat b. Terapi fisik c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. Lain-lain

14 14 c. Program medikamentosa Pasien dengan SLE diobati menggunakan obat-obat antiinflamasi nonsteroid, agen antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat imunosupresan, termasuk siklofosfamid, azatioprine, metroteksat, dan mofetil mikofenolat. Pilihan obat ditentukan oleh derajat keparahan penyakit dan fungsi-fungsi organ yang terlibat (Tsokos dan George, 2011). 1) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) NSAID memiliki sifat analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik. NSAID merupakan inhibitor enzim siklo-oksigenase, sehingga secara langsung menghambat biosintesis prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Terdapat 2 bentuk siklooksigenase (COX), COX-1, yang merupakan bentuk konstitutif enzim, dan COX-2, merupakan bentuk yang dipengaruhi oleh suatu keadaan inflamasi. Penghambatan COX-2 memberikan efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik dari NSAID sementara penghambatan COX-1 diperkirakan menimbulkan beberapa efek toksik, terutama pada saluran gastrointestinal. Kebanyakan NSAID tersedia untuk penggunaan klinis menghambat baik COX-1 dan COX-2, meskipun inhibitor COX-2 yang selektif seperti selekoksib telah tersedia sekarang (Sweetman, 2009). Tanda dan gejala seperti demam, artritis, dan serositis sering dialami pasien dengan derajat penyakit ringan, terapi inisial dengan

15 15 suatu obat antiinflamasi merupakan pilihan yang logis. Pilihan NSAID yang digunakan bersifat empiris (Delafuente et al., 2008). 2) Obat antimalaria Obat-obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin telah sukses digunakan dalam penanganan lupus diskoid dan SLE. Secara luas, manifestasi SLE yang ditangani dengan obat antimalaria adalah manifestasi pada kulit, arthralgia, pleuritis, inflamasi perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia. Obat-obat golongan ini paling baik digunakan dalam terapi pemeliharaan jangka panjang karena efeknya tidak langsung tampak. Hidroklorokuin kemungkinan lebih aman dibandingkan klorokuin dan dianggap sebagai antimalaria pilihan pertama. Mekanisme aksi obat-obat antimalaria masih belum pasti. Mekanisme yang telah diajukan adalah obat antimalaria menghambat aktivasi limfosit sel T. Efek lain obat antimalaria yang bermanfaat bagi pasien SLE adalah penghambatan sitokin, penurunan sensitivitas terhadap sinar ultraviolet, aktivitas antiinflamasi, efek antiplatelet, dan aktivitas antihiperlipidemik (Delafuente et al., 2008). 3) Kortikosteroid Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak

16 16 dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi (Kasjmir et al., 2011). Tujuan terapi dengan kortikosteroid pada SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan supresi terhadap penyakit yang aktif dengan dosis yang serendah-rendahnya (Delafuente et al., 2008). Pasien dengan diagnosa SLE tidak langsung membutuhkan terapi kortikosteroid. Penyakit derajat ringan dengan manifestasi seperti demam, artralgia, pleuritis, atau manifestasi pada kulit dapat memberikan respon yang cukup dengan NSAID atau agen antimalaria, namun pasien dengan manifestasi yang lebih serius atau tidak berespon terhadap obat lain biasanya membutuhkan kortikosteroid (Delafuente et al., 2008). Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, lupus nefritis, lupus serebral (Kasjmir et al., 2011). 4) Obat Sitostatika Obat sitostatika biasanya dikombinasi dengan kortikosteroid sebagai terapi penekan sistem imun tubuh (imunosupresan) pada pasien SLE. Meskipun kedua golongan obat ini diketahui dapat menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit di luar ginjal, sebagian besar pemanfaatan obat-obatan ini terfokus pada lupus

17 17 nefritis, salah satu faktor terbesar penyebab morbiditas dan mortalitas SLE (Delafuente et al., 2008). Menurut Rekomendasi Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik yang disusun oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2011, pengobatan SLE berdasarkan aktivitas penyakitnya, yaitu: 1) Pengobatan SLE ringan Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu: a) Obat-obatan (1) Penghilang nyeri seperti paracetamol 3x500 mg, bila diperlukan. (2) Obat anti inflamasi non steroidal (NSAID), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi. (3) Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan). (4) Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari ( mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa). Catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kg BB/hari ( mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.

18 18 (5) Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg/hari atau yang setara. b) Tabir surya Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurangkurangnya 15 (SPF 15). 2) Pengobatan SLE sedang Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa regimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serositis yang refrakter: 20 mg/hari prednison atau yang setara. 3) Pengobatan SLE berat atau mengancam nyawa Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum dibawah ini: a) Glukokortikoid Dosis Tinggi Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: mg/hari (1 mg/kgbb) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500 mg sampai 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut.

19 19 Derajat Beratnya SLE Ringan Manifestasi kulit Artritis Terapi Hidroksiklorokuin/ klorokuin/ MTX + KS dosis rendah NSAID Keterangan: TR (Tidak Respon) RS (Respon Sebagian) RP (Respon Penuh) KS (Kortikosteroid setara prednison) MP (Metilprednisolon) AZA (Azatioprin) NSAID (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) CYC (siklofosfamid) Sedang Nefritis ringan sampai sedang Trombositopenia (trombosit 20-50x10 3 /mm 3 ) Serositis mayor Terapi induksi MP iv (0,5-1 gr/hari selama 3 hari) diikuti oleh: AZA (2 mg/kgbb/hari) atau MMF (2-3 g/hari) + KS (0,5-0,6 mg/kg/hari selama 4-6 minggu lalu diturunkan secara bertahap). TR Terapi pemeliharaan AZA (1-2 mg/kgbb/hari) atau MMF (1-2 g/hari) + KS (KS diturunkan sampai dosis 0,125 mg/kg/hari selang sehari). Berat Nefritis berat (kelas IV, III + V, IV + V, atau III-V dengan gangguan fungsi ginjal) Trombositopenia refrakter berat (trombosit < 20x10 3 /mm 3 ) Anemia hemolitik refrakter berat Keterlibatan paru-paru (hemorhagik) NPSLE (serebritis, mielitis) Vaskulitis abdomen Terapi induksi MP iv (0,5-1 g/hari selama 3 hari) + CYC iv (0,5-0,75 g/mm 2 /bulan x 7 dosis) RS TR RP Terapi Tambah Rituximab pemeliharaan Inhibitor calcineurin CYC iv (0,5- (siklosporin) 0,75 g/mm 2 /3 IVIg bulan selama 1 (imunoglobulin tahun) intravena) Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Kasjmir et al., 2011)

20 20 b) Obat Imunosupresan atau Sitotoksik Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat pada Gambar Efek Samping Terapi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat diprediksikan dalam pemberian obat, yaitu kemungkinan terjadinya masalah terkait dengan obat yang tidak diharapkan, salah satunya adalah efek samping dari pemberian suatu obat (Kurniawan, 2014). Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping obat (ESO), karena seperti halnya efek farmakologi, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi antara molekul obat dengan sistem biologik tubuh. Risiko efek samping obat tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat ditekan dan dikurangi seminimal mungkin dengan mengetahui kondisi

21 21 yang mendorong terjadinya efek samping, mengetahui sifat obat, serta mengetahui cara pemakaian yang tepat (Kurniawan, 2014). Faktor risiko yang mendorong terjadinya efek samping dapat berasal dari individu pasien, misalnya fisiologik (umur, konstitusi tubuh, jenis kelamin, faktor patologi, faktor alergik, faktor genetik). Faktor risiko juga dapat berasal dari obat, misalnya obat, formulasi, kemurnian, dosis, dan frekuensi pemberian. Di samping itu faktor risiko juga dapat berasal dari obat, misalnya pemakaian obat kombinasi. Banyak diketahui bahwa semakin banyak pemakaian obat, semakin sering frekuensi timbulnya efek samping obat (Suryawati, 1995). Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya: 1) Kegagalan pengobatan. 2) Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug induced disease), yang semula tidak diderita oleh pasien. 3) Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru (dampak ekonomi). 4) Efek psikologi terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat (Kurniawan, 2014).

22 22 Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis (Kurniawan, 2014). Efek samping dalam pengobatan SLE, antara lain: 1. NSAID (Obat Antiinflamasi Non Steroid) Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID), obat ini dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan pembengkakan pada sendi dan otot. Biasanya hanya digunakan pada lupus ringan dan organ vital tidak mengalami gangguan. Perlu kehati-hatian dalam penggunaannya karena dapat menyebabkan gangguan pada lambung, sakit kepala, penimbunan cairan di dalam tubuh, gangguan pada hati, darah, dan ginjal. Obat ini juga dihindari penggunaannya pada wanita hamil setelah tiga bulan pertama kehamilan. Demikian juga perlu kehati-hatian pada wanita menyusui (Akil, 2012). 2. Antimalaria Obat antimalaria, obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, tetapi juga mempunyai efek yang baik dalam mengatasi gejala lupus. Efektivitas obat ini terlihat baik pada lupus dengan keterlibatan kulit dan muskuloskeletal, juga baik untuk mengatasi gejala kelelahan dan inflamasi pada paru. Ada dua obat yang sering digunakan yaitu klorokuin dan hidroksiklorokuin. Efek samping yang utama akibat penggunaan obat ini adalah

23 23 gangguan pada penglihatan. Sebelum penggunaan obat antimalaria penderita disarankan untuk memeriksakan matanya ke dokter mata (Akil, 2012). 3. Kortikosteroid Kortikosteroid atau steroid, obat ini digunakan untuk mengatasi pembengkakan dan nyeri pada berbagai organ tubuh. Pada dosis besar, obat ini dapat menekan kerja sistem imun. Gejala lupus memberi respon perbaikan yang cepat dengan pemberian obat ini. Begitu gejala membaik, maka dosis obat ini perlu diturunkan perlahan-lahan sampai dengan dosis yang paling kecil yang masih dapat mengontrol aktivitas penyakit. Selain efeknya yang kuat dalam mengatasi gejala lupus, obat ini juga mempunyai banyak efek samping yang harus menjadi bahan pertimbangan di dalam penggunaannya. Efek samping jangka pendek meliputi bengkak pada muka (moonface), timbul jerawat, nyeri ulu hati (heartburn), nafsu makan meningkat, berat badan bertambah, dan perubahan suasana hati. Efek samping ini biasanya menghilang setelah obat dihentikan. Efek samping mengalami memar, kulit dan jangka panjang meliputi mudah rambut menipis, tulang keropos, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah, kelemahan pada otot, infeksi, dan katarak. Beberapa penderita mungkin menderita luka, depresi, ataupun gagal jantung. Kortikosteroid dapat digunakan selama kehamilan (Akil, 2012).

24 24 Secara lebih lengkap efek samping dari penggunaan kortikosteroid disajikan dalam tabel berikut: Skeletal Gastrointestinal Immunologi Kardiovaskular Ocular Kutaneous Endokrin Tabel IV. Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian kortikosteroid (Kasjmir et al, 2011) Tingkah laku Sistem Efek Samping Osteoporosis, osteonekrosis, miopati Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan NSAID), pankreatis, perlemakan hati Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas tipe lambat Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia Glaukoma, katarak Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump, hirsutism Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi hormon gonad Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif 4. Sitotoksik/imunosupresan Obat imunosupresan, obat ini bertujuan menekan sistem imun pada penderita lupus, terutama digunakan pada lupus yang berat. Obat-obatannya antara lain azatioprin, siklofosfamid, mofetil mikofenolat, dan metotreksat. Efek samping yang dapat terjadi dengan penggunaan obat ini, antara lain, mual, muntah, rambut

25 25 rontok, gangguan pada kandung kemih, penurunan kesuburan, kanker, dan infeksi (Akil, 2012). F. Keterangan Empiris Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun yang angka kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masa terapi Lupus Eritematosus Sistemik yang memakan waktu lama diketahui meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat. Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran efek samping pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada pengobatan Odapus di Instalasi Rawat Jalan Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TINJAUAN TEORI A. Pengertian SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal juga dengan Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar

Lebih terperinci

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA REUMATIK DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA REUMATIK DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010 POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA REUMATIK DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010 Totok Hardiyanto, Sutaryono, Muchson Arrosyid INTISARI Reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan lupus merupakan penyakit kronis yang kurang populer di masyarakat Indonesia dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rheumatoid arthtritis 1. Definisi Kata arthtritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthtron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan peradangan pada sinovium, terutama sendi sendi kecil dan seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah suatu respon dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau infeksi yang dilakukan oleh pembuluh darah dan jaringan ikat. Tanda-tanda

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lupus Eritematosus Sistemik 2.1.1 Definisi LES Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018

MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018 MEDIA BRIEFING KEMENTERIAN KESEHATAN RI PERINGATAN HARI LUPUS SEDUNIA TAHUN 2018 MEMAHAMI PROGRAM PROMOTIF DAN PREVENTIF PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) dr. Asjikin Iman Hidayat Dachlan, MHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar proposal karya tulis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. antara variasi genetik dimana faktor ini berperanan penting dalam predisposisi

BAB 1 PENDAHULUAN. antara variasi genetik dimana faktor ini berperanan penting dalam predisposisi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik, menyerang organ tubuh secara luas, yang menimbulkan manifestasi klinik, perjalanan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dengan efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik yang digunakan secara luas pada

Lebih terperinci

Reumatoid Arthritis. Hercegovina

Reumatoid Arthritis. Hercegovina Reumatoid Arthritis Hercegovina 1011013063 Reumatoid Athritis Keadaan kronis yang meupakan kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum di ketahui. Karkterisasi : -sendi poliartikular - Manifestasi

Lebih terperinci

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki. Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki. Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berat pada laki-laki Deske Muhadi Rangkuti, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah, Firman S W Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Systemic

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1 Definisi Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. OSTEOARTHRITIS 1. Definisi Osteoartritis disebut juga penyakit sendi degeneratif atau artritis hipertrofi. Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di

Lebih terperinci

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh MONITORING EFEKTIVITAS TERAPI DAN EFEK-EFEK TIDAK DIINGINKAN DARI PENGGUNAAN DIURETIK DAN KOMBINASINYA PADA PASIEN HIPERTENSI POLIKLINIK KHUSUS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh YUANITA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Henoch-Schonlein Purpura (HSP) merupakan suatu mikrovaskular vaskulitis sistemik dengan karakteristik adanya deposisi kompleks imun dan keterlibatan immunoglobulin A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Artritis gout merupakan suatu penyakit peradangan pada persendian yang dapat diakibatkan oleh gangguan metabolisme (peningkatan produksi) maupun gangguan ekskresi dari

Lebih terperinci

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik. Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad. Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik. Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad. Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan Anemia Aplastik Zuhrial Zubir, Fadli Arsyad Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran ABSTRAK Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lebih terperinci

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway). I. Memahami dan menjelaskan gout arthritis 1.1.Memahami dan menjelaskan definisi gout arthritis Arthritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi Kristal asam urat pada jaringan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll Manfaat Terapi Ozon Sebagai Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer untuk berbagai penyakit. Penyakit yang banyak diderita seperti diabetes, kanker, stroke, dll. Keterangan Rinci tentang manfaat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit

Lebih terperinci

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor tersebut adalah:

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor tersebut adalah: TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Setiap tahun sekitar 500.000 penderita kanker serviks baru di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan peyakit autoimun kronis, multisistem, dengan periode peningkatan aktivitas penyakit akibat peradangan di pembuluh darah

Lebih terperinci

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Apakah diabetes tipe 1 itu? Pada orang dengan diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat membuat insulin. Hormon ini penting membantu sel-sel tubuh mengubah

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Obat ini digunakan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara gejala klinis OA lutut dengan derajat OA lutut dilakukan pada bulan Oktober November 2016 di RSUD Tidar kota

Lebih terperinci

REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo Disusun oleh : Arby Shafara Sekundaputra 20090310177

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar memaksa sebagian orang tak bisa menjaga keseimbangan hidupnya, padahal

BAB I PENDAHULUAN. besar memaksa sebagian orang tak bisa menjaga keseimbangan hidupnya, padahal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat di era globalisasi ini khususnya di kota-kota besar semakin menurun. Kerasnya kehidupan di kota besar memaksa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena seringkali pasien depresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Natrium diklofenak merupakan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) dengan efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. NSAID adalah salah satu obat yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan virus dengue. Penyakit DBD tidak ditularkan secara langsung dari orang ke orang, tetapi ditularkan kepada manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kanker payudara seperti dapat melakukan sadari (periksa payudara

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kanker payudara seperti dapat melakukan sadari (periksa payudara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan salah satu penyakit kronik yang paling banyak ditemukan pada wanita dan ditakuti karena sering menyebabkan kematian. Angka kematian akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendir yang terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Systemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ dengan manifestasi gejala yang bervariatif (Nasution & Kasjmir, 1995).

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom nefrotik (SN, Nephrotic Syndrome) merupakan salah satu penyakit ginjal terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL KTI

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL KTI HUBUNGAN ANTARA KARATERISTIK KLINIK DENGAN MANIFESTASI GINJAL PADA PASIEN LES DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar proposal karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemfigus vulgaris 2.1.1 Definisi Pemfigus merupakan kelompok penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan terjadinya

Lebih terperinci

Lampiran materi MYALGIA (NYERI OTOT) 1. Pengertian myalgia 2. Jenis Myalgia Fibromyalgia

Lampiran materi MYALGIA (NYERI OTOT) 1. Pengertian myalgia 2. Jenis Myalgia Fibromyalgia Lampiran materi MYALGIA (NYERI OTOT) 1. Pengertian Myalgia adalah nyeri otot yang merupakan gejala dari banyak penyakit dan gangguan pada tubuh. Penyebab umum myalgia adalah penggunaan otot yang salah

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak Artikel Asli Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak * Ni Putu Sudewi, Nia Kurniati**, EM Dadi Suyoko**, Zakiudin Munasir**, Arwin AP Akib** *Peserta Program Fellowship Divisi Alergi-Imunologi

Lebih terperinci

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : Departemen : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : Departemen : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar Nama : Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : 19720826 200212 1 002 Departemen : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar Mata Kuliah : Kep. Medikal Bedah Topik : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Leukemia Mieloid Akut (LMA) adalah salah satu kanker darah yang ditandai dengan transformasi ganas dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan negara dari berbagai aspek tentunya dipengaruhi oleh para penggerak yang produktif. Namun hal ini sedikit terganggu dengan munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik

Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik Kelainan darah pada Lupus eritematosus sistemik Amaylia Oehadian Sub Bagian Hematologi Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Kelainan darah pada lupus Komponen darah Kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Swamedikasi 1. Definisi Swamedikasi Pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu sumber kesehatan masyarakat yang utama di dalam sistem pelayanan kesehatan. Termasuk di dalam

Lebih terperinci

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Hipertensi dalam kehamilan Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi DEFINISI Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmhg sistolik atau 90 mmhg diastolik pada dua kali

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan oleh adanya penyempitan pembuluh darah koroner.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Glukokortikoid merupakan salah satu kortikosteroid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat dan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat dan akan memberikan beban mortalitas, morbiditas dan beban sosial ekonomi bagi keluarga penderita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian bidang Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri yang mensuplai darah untuk dinding

Lebih terperinci

Hasil. Kesimpulan. Kata kunci : Obat-obatan kausatif, kortikosteroid, India, SCORTEN Skor, Stevens - Johnson sindrom, Nekrolisis epidermal

Hasil. Kesimpulan. Kata kunci : Obat-obatan kausatif, kortikosteroid, India, SCORTEN Skor, Stevens - Johnson sindrom, Nekrolisis epidermal LATAR BELAKANG Stevens - Johnson sindrom (SJS) dan Nekrolisis epidermal (TEN) adalah reaksi obat kulit parah yang langka. Tidak ada data epidemiologi skala besar tersedia untuk penyakit ini di India. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional, nasional maupun lokal.

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci