BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan peyakit autoimun kronis, multisistem, dengan periode peningkatan aktivitas penyakit akibat peradangan di pembuluh darah dan jaringan ikat. SLE memiliki karakteristik klinis yang bersifat periodik, saat remisi tanpa gejala, saat periode flare (kambuh) pasien dapat mengalami berbagai morbiditas yang berat. Onset SLE terjadi pada 2 dekade awal kehidupan. SLE anak umumnya muncul pada wanita postpubertas, sekitar 16 tahun, tetapi bervariasi antara 14 sampai 20 tahun 1,2. Anak-anak dan remaja mencakup 15% dari jumlah keseluruhan pasien SLE. Data registri SLE dari berbagai pusat pelayanan kesehatan/pendidikan di Indonesia hingga tahun 2015 adalah sebanyak 205 anak dengan 90.2% perempuan dan 9.8% laki-laki 3. Di RSUP Dr. Sardjito, data pasien SLE anak pada Januari 2009 sampai dengan Juni 2015 sebanyak 72 anak 4. SLE anak memiliki perjalanan penyakit yang lebih berat dibandingkan penderita dewasa karena keterlibatan organ lebih banyak dan perjalanan penyakit yang lebih berat. Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. P asien SLE anak lebih sering memerlukan kortikosteroid dosis tinggi dan agen imunosupresan untuk mengontrol penyakit 2,5. Dalam 2 dekade terakhir ini, prognosis pasien SLE anak lebih baik dibanding sebelumnya, karena diagnosis yang lebih awal dan pendekatan terapi yang lebih baik. Survival rate SLE untuk 3 tahun mencapai 88-91%, 5 tahun sebesar 76-84%, bahkan ada yang menyatakan mencapai lebih dari 90% 1. Hal ini menyebabkan anak-anak dan remaja penderita SLE bisa memasuki periode kehidupan dewasa tetapi dengan morbiditas dari efek sekunder aktivitas penyakit, efek samping medikasi, maupun komorbid lain. Morbiditas ini akan mempengaruhi kualitas hidup pasien terkait adapatasi fisik dan psikologis pasien 1

2 dalam menghadapi penyakit kronis. Mengingat manifestasi klinis perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan risiko timbulnya sekuel pada SLE anak cukup tinggi, maka diperlukan pemantauan rutin untuk mengetahui aktivitas penyakit, respon pengobatan, efek samping pengobatan pada pasien SLE anak untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 2. Deskripsi kasus singkat IDENTITAS PASIEN Nama : F.S. Nama ayah : Tn. Mugiono Umur/Tanggal lahir : 15 tahun/ 27 Februari 1998 Umur : 50 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SLTP Alamat : Mangunegara, Purbalingga Pekerjaan : Pedagang Masuk RS : 2 Juni 2013 Nama ibu : Ny. Suryati No CM : Umur : 41 tahun Tanggal diperiksa : 17 November 2013 Pendidikan: SLTP Usia saat ini : 16 tahun Pekerjaan: Ibu Rumah tangga Pasien terdiagnosis SLE sejak Juni 2013, keluhan utama saat pasien datang adalah pucat, dirujuk dari RSU Purbalingga dengan kecurigaan anemia aplastik. Sebulan sebelum mulai dirawat anak sering mengalami demam, tidak tinggi, naik turun, nyeri sendi, bengkak pada jari-jari tangan, diperiksakan ke bidan tetapi tidak ada perbaikan. Anak kemudian diperiksakan ke RSU Purbalingga, dirawat 3 hari dengan diagnosis demam tifoid. Sesudah diijinkan pulang, di rumah anak masih demam, saat kontrol ke RSU Purbalingga dilakukan USG abdomen dengan hasil sistitis, mendapat terapi Amoksisilin-klavulanat. Karena respon terapi belum menunjukkan perbaikan, orang tua membawa anak berobat alternatif. Sekitar 5 hari sebelum masuk RS, anak demam tinggi, muntah, tampak pucat, dibawa ke RSU Purbalingga dan dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil angka lekosit 2815/μl, kadar hemoglobin 9.2 g/dl, SGOT 42 U/L, SGPT 34 U/L, 2

3 tes malaria negatif, morfologi darah tepi (MDT) kesan pansitopenia curiga anemia aplastik. Anak mendapat terapi Ceftriaxone 1 g per hari, Ranitidin 50 mg tiap 12 jam, dan Paracetamol 10mg/kgBB/kali. Evaluasi USG abdomen menunjukkan tidak ada kelainan, begitu pula hasil rontgen thorax tidak didapati kelainan pada jantung dan paru. Karena pemeriksaan darah ulang setelah perawatan selama 4 hari menunjukkan penurunan kadar hemoglobin menjadi 7.4 g/dl, dengan hasil cross match positif, anak kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito. Anak tampak pucat disertai adanya hepatomegali. Diagnosis awal pasien ini adalah prolonged fever curiga penyakit keganasan, anemia normositik dan normokromik. Hasil pemeriksaan MDT mengarahkan ke anemia akibat defisiensi besi disertai gambaran proses inflamasi atau infeksi suspek bakterial. Anak mendapat antibiotik karena secara klinis didapati adanya demam yang mengarah ke infeksi bakterial, hal ini didukung dengan hasil Tubex TF 6 sesuai untuk demam tifoid dan hasil urin rutin menunjukkan proteinuria ±, darah ±, leukosit esterase 250/μL sesuai untuk infeksi saluran kemih. Penanganan untuk anemia dilakukan dengan transfusi PRC dan rencana pemberian suplementasi besi sesuai terapi anemia defisiensi besi (ADB) sesuai pemeriksan MDT. Selama perawatan, demam tidak kunjung membaik, meskipun antibiotik telah dievaluasi, awalnya melanjutkan Amoksisilin-klavulanat dari RS sebelumnya, diganti Ceftriaxone intravena (IV) selama 5 hari, Ciprofloxacin IV selama 7 hari, kemudian Cefixime per oral. Evaluasi urin rutin menunjukkan perbaikan infeksi, leukosit esterase negatif, proteinuria masih 2+, dan darah 1+, tetapi anak masih demam. Dalam perawatan anak mengeluh sesak napas dan napas cepat, rontgen thorax menunjukkan efusi pleura bilateral minimal. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan SLE. Dari 11 kriteria SLE oleh ACR 1997, didapati adanya ulserasi mukosa oral, serositis berupa efusi pleura bilateral minimal, nefritis, gangguan hematologi berupa pansitopenia, didukung hasil lab dsdna dan ANA test positif. Diagnosis SLE ditegakkan dan mulai diberikan pengobatan sesuai protokol SLE berat karena adanya nefritis lupus. Anak juga dikonsulkan ke bagian kulit dan kelamin untuk 3

4 pemberian proteksi dari sinar UV. Protokol SLE berat mencakup pemberian Metilprednisolon IV 30 mg/kgbb/hari selama 3 hari, dilanjutkan Metilprednisolon peroral dengan dosis lebih rendah mg/kgbb/hari, Siklofosfamid mg/m 2 dan Hidrosikloroquin 6 mg/kgbb/hari. Demam dan sesak napas mengalami perbaikan. Masalah selanjutnya ditemukan dari kondisi psikologis anak yang mengalami perubahan, anak tampak sedih, pemeriksaan dari psikolog menemukan adanya gangguan penyesuaian dengan keadaan jiwa terdepresi sehingga memerlukan pendampingan dari psikolog. Ekokardiografi yang semula dilakukan untuk melihat ada tidaknya perikarditis menunjukkan adanya kelainan jantung berupa Atrial septal defect (ASD), kondisi ini tidak menyebabkan adanya gangguan fungsi jantung sehingga direncanakan evaluasi sesudah 6 bulan. Anak diijinkan pulang sesudah menjalani protokol bulan pertama, kondisi saat itu tidak lagi didapati demam ataupun sesak napas, diagnosis pulang SLE, infeksi saluran kemih (ISK) dd nefritis, anemia normositik normokromik, ASD secundum besar. Anak mendapatkan obat Metilprednisolon 1 mg/kgbb/hari per oral, Hidrosikloroquin 6 mg/kgbb/hari per oral, Cefixime 5 mg/kgbb/12 jam per oral hingga 7 hari, dan Ranitidin 2 mg/kgbb/12 jam per oral. Sejak bulan Juni 2013 anak menjalani protokol pengobatan SLE berat fase intensif dengan rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, berupa pemberian Metilprednisolon IV selama 3 hari dilanjutkan Siklofosfamid IV. Selama terapi tersebut, anak mengalami ISK berulang, dengan hasil USG sistitis. Pada bulan Juli 2013, klinis anak baik, hasil pemeriksaan darah tidak menunjukkan kelainan, tetapi dari evaluasi urin didapati proteinuria 2+ dan leukosit esterase 75/μL. Anak mendapat Amoksisilin per oral selama 5 hari, USG saluran kemih normal, evaluasi lanjutan menunjukkan perbaikan, proteinuria 1+ dan leukosit esterase negatif. Bulan Agustus 2013 anak kembali dirawat inap untuk terapi sesuai protokol SLE berat. Selama perawatan didapati adanya sistitis akibat Acinetobacter baumannii. Evaluasi urin rutin menunjukkan perbaikan dari leukosit esterase semula 500/μL menjadi 75/μL dengan pemberian antibiotik 4

5 sesuai hasil kultur dan sensitivitas dengan Ampisilin-sulbaktam 100 mg/kgbb/hari selama 5 hari dilanjutkan Cefixime 5 mg/kgbb/kali secara per oral, meskipun secara klinis membaik tetapi proteinuria menetap. Anak juga mengalami menorrhagia yang membaik setelah pemberian asam traneksamat IV dari bagian Obsgin. Terapi suportif mulai diberikan untuk mengurangi kehilangan protein dari kebocoran ginjal dengan Captopril 0.3 mg/kgbb/12 jam dan suplemen untuk menurunkan risiko osteoporosis dengan Kalk 1x500 mg dan vitamin D per oral. Kontrol bulan September, anak secara klinis baik, tetapi hasil urin rutin menunjukkan protein 2+, darah 3+, dan leukosit esterase 250/μL. Anak mendapat Amoksisilin per oral, kultur urin menunjukkan hasil negatif, tetapi evaluasi urin rutin sesudah pemberian antibiotik 5 hari menunjukkan protein, darah, dan leukosit esterase negatif. Evaluasi ekokardiografi menunjukkan hasil ASD secundum besar dengan pirau dari kiri ke kanan, Mitral Insufficiency (MI) dan Tricuspid Insufficiency (TI) trivia, direncanakan ekokardiografi transesofageal bila kondisi memungkinkan, jadwal evaluasi ekokardiografi 6 bulan ke depan. Pada bulan Oktober, anak didiagnosis mengalami infeksi pada kedua ibu jari kaki, paronichia dan mendapat anti nyeri Ibuprofen serta antibiotik Amoksisilin per oral. Hasil evaluasi laboratorium berupa darah rutin normal dan proteinuria 1+. Anak dikonsulkan ke bagian dermatologi akibat adanya erupsi acneiformis, selain krim sun block ditambahkan lotio Kummerfeldi. Saat terapi bulan keenam, anak kembali mengeluhkan paronichia pada ibu jari kaki selain kecurigaan ISK dari hasil evaluasi urin rutin proteinuria 1+ dan leukosit esterase 250/μL. Amoksisilin diberikan secara intravena untuk penanganan paronichia dan ISK. Luka di ibu jari kaki mengalami perbaikan. Untuk evaluasi urin rutin, proteinuria menetap tetapi leukosit esterase menurun menjadi 25/μL kemudian negatif, kultur urin menunjukkan hasil negatif. Hasil USG saluran kemih tidak didapati adanya kelainan. Evaluasi mata dilakukan terkait pemberian hidrosikloroquin jangka panjang, hasilnya tidak didapati adanya retinopati. 5

6 Bulan Desember 2013 anak mulai mendapat terapi maintenance. Kondisi anak baik, tetapi evaluasi urin rutin menunjukkan hasil proteinuria 2+ dan leukosit esterase 75/μL. Dilakukan kultur urin dan pemberian antibiotik Amoksisilinklavulanat. Pasien merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara, ayah bekerja sebagai pedagang dengan penghasilan ± Rp ,-/bulan, dengan latar belakang sosioekonomi menengah ke bawah. Sejak didiagnosis SLE anak tidak bersekolah, dan jarang melakukan aktivitas di luar rumah. Dari segi ekonomi orang tua mengalami kemunduran produktivitas kerja. Biaya pengobatan ditanggung jaminan kesehatan daerah. Pada pasien ini kepatuhan terapi dan dukungan dari keluarga merupakan faktor yang mendukung kesembuhan, tetapi adanya infeksi berulang dan proteinuria menetap merupakan salah satu prediktor prognosis yang buruk. 3. Tujuan Untuk memperdalam pengetahuan tentang SLE, ASD, sistitis berulang, permasalahan yang mungkin timbul terkait perjalanan penyakit, manajemen penyakit, efek samping terapi, dan memberikan intervensi agar dapat memperbaiki kondisi fisik, mental, dan fungsi sosial serta pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup pasien. 4. Manfaat SLE adalah suatu penyakit kronik dengan morbiditas yang cukup tinggi baik dari penyakit itu sendiri maupun efek samping terapi. Penderita SLE memerlukan pengobatan jangka waktu yang cukup panjang. Manfaat pemantauan berkala terhadap pasien SLE adalah deteksi dini permasalahan yang mungkin terjadi dan pemberian intervensi sedini mungkin agar dapat menurunkan morbiditas dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Bagi keluarga, pemantauan ini diharapkan dapat memudahkan keluarga memahami kondisi pasien dari sisi penyakit, perjalanan penyakit, tata laksana, prognosis, dan komplikasi yang mungkin terjadi sehingga keluarga bisa ikut berperan aktif dalam manajemen penyakit pasien. Dengan mengikuti perjalanan penyakit pasien secara komprehensif, residen dapat mempelajari secara mendalam 6

7 mengenai penyakit dan tata laksananya, menyelaraskan antara teori dengan kondisi aktual pasien dari sisi medis dan fungsi sosial pasien. 7