BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG"

Transkripsi

1 BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang udara. Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia I, sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, negara negara di dunia ini berhadapan dengan kenyataan kenyataan yang mendorong mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman sejak Perang Dunia I tersebut telah membuktikan kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap ruang udara nasional di atas territorial negaranya perlu ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional suatu negara perlu dipertimbangkan dan ditegaskan. Pada dasarnya wilayah udara suatu negara adalah tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu, setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara oleh pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Pesawat terbang mempunyai kemampuan dan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga berpotensi untuk digunakan dalam kegiatan kemiliteran. Selain itu, pesawat terbang merupakan suatu media yang berpotensi untuk melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh negara kolong. Prinsip yang menyatakan bahwa wilayah udara nasional suatu negara tertutup bagi penerbangan asing, diimplementasikan oleh setiap negara yang memiliki kemampuan serta kekuasaan udara, yang kemudian menetapkan bagian bagian

2 wilayah udaranya yang tertentu dan khusus berdasarkan pertimbangan keamanan dan pertahanan yang perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu, tersebutlah istilah zona udara terlarang atau zona larangan terbang, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan asing. Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip Hukum Udara Internasional, luas dan lokasi zona tersebut harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara. 10 Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919, yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris Pada Pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona larangan terbang yang terdiri dari dua bentuk 11, yaitu : 1. Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan dari negara yang bersangkutan. 2. Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat terbang asing, karena keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali. 10 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Buku Kedua, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal Enna Nurhaina Burhan, Konsep Zona Larangan Terbang dan Hukum Udara Internasional, Waspada, 26 Februari 1999

3 Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur dalam Pasal 3 Protokol Paris 1929 tersebut, pembentukan zona larangan terbang harus memenuhi persyaratan secara internasional. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Larangan terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi pesawat negara awak. Pada syarat ini, prinsip atau asas tanpa perbedaan harus dipegang teguh karena zona yang ditetapkan bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan dan keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lainnya yaitu pengumuman mengenai penetapan zona harus dilakukan lebih dahulu untuk diketahui oleh negara negara yang berkepentingan. Hal ini juga termasuk ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut. 2. Penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara kolong, disyaratkan bahwa penutupan harus berlaku dengan setara dan benar benar bersifat sementara dan berlaku untuk semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan. Penetapan syarat pada zona ini, berkewajiban untuk memberitahukan kepada semua negara peserta atau anggota Konvensi atau Komisi Internasional untuk Navigasi Udara. Istilah zona larangan terbang digunakan untuk menggambarkan suatu daerah atau wilayah sebuah negara yang dijaga dan diawasi dengan menggunakan kekuatan udara oleh suatu negara berdaulat lainnya atau suatu koalisi. 12 Hak kekuasaan atau legitimasi dari patrol penjagaan dan pengawasan negara tersebut oleh suatu negara yang berdaulat bersumber dari fakta bahwa zona larangan terbang diimplementasikan dalam konteks 12 Bernard, Alexander., Lessons from Iraqn and Bosnia on the Theory and Practice of No Fly Zones, The Journal of Strategic Studies, 2004, page 455.

4 koalisi International Peace Support Operations (IPSOs) atau operasi pendukung perdamaian internasioal. Bentuk dari patrol penjagaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui patrol biasa dengan menggunakan pesawat udara, operasi ini dilakukan dengan tidak mengganggu jadwal pelaksanaannya, misalnya beberapa kali dalam sehari sesuai perputaran jadwal, atau hanya pada hari hari tertentu saja dalam seminggu. Dalam pelaksanaannya, patrol ini harus dilakukan secara tiba- tiba tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Tujuannya agar patroli penjagaan dan pengawasan ini menjadi lebih efektif sebab dilaksanakan secara mendadak tanpa adanya suatu pengumuman terlebih dahulu.pelaksanaan zona larangan terbang saat ini, mempunyai dua pendahulu atau pelopor terdahulu. 1. Pertama, patroli penjagaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Inggris yang dilaksanakan setelah terjadinya Perang Dunia I dari tahun 1919 sampai dengan tahun Kedua, ada yang disebut dengan zona pelarangan terbang, dilaksanakan pertama kali oleh Amerika Serikat di Korea pada tahun Pemberlakuan zona larangan terbang tidak diberlakukan kembali sampai pada saat Perang Teluk di Persia pada tahun Pemberlakuan zona larangan terbang seperti yang telah disebutkan di atas menghasilkan pendekatan pendekatan dari penerbangan militer tersebut, antara lain agar negara yang terkena zona pelarangan tersebut untuk tidak menggunakan pesawat udara dan yang kedua untuk menjadikan property atau asset musuh di daratan sebagai target. Zona larangan terbang mempunyai beberapa tujuan. Pertama, untuk meniadakan atau tidak memperbolehkan negara musuh untuk menggunakan ruang udaranya.

5 Akibatnya, setiap pesawat udara yang hendak memasuki wilayah atau zona yang diberlakukan zona larangan terbang tersebut, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak pemberlaku. Apabila pesawat atau helicopter musuh memasuki wilayah dari zona larangan terbang tersebut tanpa izin si pemberlaku ataupun tidak segera meninggalkan wilayah tersebut setelah diminta untuk pergi, maka musuh itu akan dilawan oleh si pemberlaku zona larangan terbang. Tujuan kedua dari diberlakukannya zona larangan terbang adalah untuk mengawasi atau memonitor posisi ataupun pergerakan dari musuh di daratan, baik di wilayah zona larangan terbang ataupun di bagian luar dari zona tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk saling bekerjasama atau menjalin kebersamaan atau menjalin kerjasama dengan pasukan atau teman sepasukan yang ada di darat serta bertindak secara serentak melawan setiap ancaman yang timbul. Hal ini juga untuk mencegah musuh melakukan perlawanan dari udara dengan menembaki pasukan dalam jumlah besar di darat. 13 Kadangkala, mengawasi atau memonitor posisi musuh di darat menjadi lebih penting dari aspek larangan terbang yang sesungguhnya. Penggunaan teknologi menjamin pengurangan yang relatif dalam mengadakan perlawanan terhadap pesawat udara musuh yang melakukan pelanggaran terhadap aturan larangan terbang tersebut. Kegiatan kegiatan di darat cenderung menjadi suatu ancaman yang besar terhadap kesuksesan misi dari International Peace Support Operations (IPSOs) atau operasi pendukung perdamaian internasional. Ada banyak cara untuk menggunakan instrument kemiliteran yang dapat menciptakan suatu zona atau wilayah yang bebas dari pesawat udara musuh, dimana 13 Ibid, hal 456.

6 secara bersamaan dapat mengawasi pergerakan pasukan musuh di darat. Situasi dan kondisi yang berbeda beda juga berpengaruh pada jenis jenis dan tingkatan tingkatan pemberlakuan zona larangan terbang.ada tiga bentuk zona larangan terbang Pertama, zona larangan terbang dapat digunakan untuk menyediakan pertolongan ataupun bantuan kepada pasukan penjaga perdamaian pada saat situasi situasi yang berubah ubah dimana diharuskan untuk berada di daratan. Zona larangan terbang jenis ini dapat disebut sebagai air cover atau perlindungan oleh udara yang didapatkan dari pemberlakuan zona larangan terbang. Zona larangan terbang sebagai air cover atau perlindungan oleh udara adalah ide atau gagasan yang muncul sebagai dampak dari teknologi teknologi canggih kekuatan dan penguasaan udara pihak Barat. Pihak kemiliteran menggunakan kekuatan udara sebagai penghubung dengan pasukan di darat dimulai sejak awal Perang Dunia I. Namun, sampai saat ini hanya beberapa negara saja yang menggunakan kekuatan udara untuk mencegah terbangnya pesawat udara musuh di daerah yang sudah ditentukan dan juga untuk menyediakan bantuan taktis yang serempak kepada pasukan di darat. 15 Meskipun ada keadaan dimana suatu pihak memiliki kekuatan udara untuk menciptakan sebuah zona yang bebas dari kegiatan udara musuh, akan tetapi pasukan International Peace Support Operations (IPSOs) atau pasukan operasi pendukung perdamaian internasional di daratan memiliki kebebasan yang jauh lebih besar untuk mengambil tindakan. Pasukan bersenjata di darat juga mendapatkan manfaat dari pertolongan atau bantuan yang disediakan oleh kekuatan udara, yaitu dalam menjadikan aset aset atau 14 Ibid. 15 Ibid, hal 457.

7 properti musuh di darat sebagai sasaran dan juga menyediakan pesawat pengintai dari udara. Hal ini memerlukan mekanisme koordinasi yang efisien antara pelaksanaan yang dilakukan oleh komponen komponen pasukan di udara dan di darat. Pasukan / kekuatan udara juga dapat memberikan bantuan atau pertolongan terhadap daerah daerah yang telah ditentukan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi para nonkombatan (penduduk sipil). Hal ini sangat membantu terutama dalam keadaan-keadaan dimana apabila terjadi perang atau konflik antar kelompok-kelompok atau faksi-faksi, ternyata bahwa tidak mudah untuk membedakan antara anggota-anggota dari kelompokkelompok tersebut satu sama lain, ataupun dengan beberapa alas an tertentu, keadaan di tempat berlangsungnya perang menjadi terlalu samara tau tidak jelas untuk dilakukan intervensi secara langsung. Air cover atau perlindungan oleh udara dapat digunakan untuk memberikan bantuan atau pertolongan untuk misi misi menjaga perdamaian ataupun melaksanakan perdamaian dan dapat juga mengangkat sebagian beban pasukan darat dari lingkungan yang penuh tekanan dan situasi-situasi yang sering berubah sewaktu-waktu. 16 Kombinasi antara zona larangan terbang dan keikutsertaan dari pasukan di darat diberlakukan pada saat-saat yang sangat genting, dimana baik pasukan udara ataupun pasukan darat tidak dapat secara tersendiri memberikan bantuan ataupun pertolongan yang dibutuhkan sebagai perlindungan. 2. Kedua, yaitu apabila perang atau konflik di darat tidak memerlukan hadirnya pasukan penjaga perdamaian di darat atau apabila pemerintah tidak setuju untuk mengerahkan pasukan darat karena mengkhawatirkan resiko yang kemudian akan terjadi pada situasi semacam itu, maka zona larangan terbang dapat dijadikan 16 Ibid.

8 sebagai alternative daripada melakukan intervensi perlawanan di darat. Zona larangan terbang jenis ini dapat disebut sebagai air occupation 17 atau pendudukan oleh udara yang didapatkan dari pemberlakuan zona larangan terbang. Dalam beberapa keadaan, pasukan darat ataupun negara-negara tidak memberikan perizinan untuk menyediakan pasukan bagi International Peace Support Operations (IPSOs) atau operasi pendukung perdamaian internasional. Dalam beberapa kasus, pemberlakuan zona larangan terbang dapat menjadi alternatif dalam menjaga perdamaian. Air occupation atau pendudukan oleh udara memiliki resiko yang lebih kecil dibandingkan mempertahankan pasukan di darat. Pasukan udara dapat menyelesaikan banyak hal yang sama dengan pasukan darat, misalnya dengan pemakaian amunisi, kemampuan untuk menghancurkan sasaran dalam jumlah yang besar secara lebih mudah, ataupun sekedar untuk memberikan efek tekanan ataupun terintimidasi oleh kehadiran mereka sebagai pasukan udara. Sesungguhnya, cara inilah yang dijadikan sebagai dasar filosofi daripada air policing atau patrol/pengawasan di udara yang dilakukan oleh Inggris pada pertengahan abad ke duapuluh. Sejak saat itu, perkembangan teknologi yang semakin canggih secara nyata menaikkan kemampuan dari kekuatan pesawat udara. Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok militer Barat telah meningkatkan ketelitian dalam penyimpanan alat senjata, sehingga menurunkan resiko untuk para pilot. Sebagai tambahan dari resiko yang lebih kecil dalam keikutsertaannya, keuntungan lainnya terdapat dalam kenyataan simbolis bahwa pasukan di darat kadang- 17 Ibid.

9 kadang memberi kesan bahwa mereka mempunyai maksud untuk menguasai tempat tersebut secara permanen. Kadangkala, hal ini tidak diinginkan, atau dengan kata lain, bukan hal seperti ini yang akan dilakukan atau diinginkan, sementara pendudukan oleh udara tidak mengalami masalah seperti itu. Pada kenyataannya, tidak semua hal yang berhasil dilaksanakan pasukan darat dapat pula dilaksanakan oleh kekuatan udara/pasukan udara. Misalnya, kekuatan udara tetap tidak dapat secara efektif melawan infantry atau pasukan dalam jumlah yang besar di daerah pegunungan ataupun di daerah hutan yang lebat ataupun untuk menjadikan musuh yang melakukan perlawanan secara bergerilya sebagai sasaran. Namun apabila kelompok-kelompok atau faksi yang terlibat dalam perang tersebut dapat diidentifikasi dan daerah tempat perang tersebut tidak terlalu sulit dijangkau, maka air occupation atau pendudukan oleh udara dapat membuat keadaan menjadi lebih stabil di daerah konflik tersebut. Dalam rangka pemberlakuan air occupation atau pendudukan oleh udara, maka perangkat udara harus diluncurkan secara virtual atau tampak secara nyata. Keberadaan pesawat-pesawat udara ini bukan hanya secara simbolis saja, melainkan benar-benar melakukan penyerangan dengan ancaman ataupun tindakan yang sesungguhnya. 18 Situasi yang cocok untuk diberlakukannya air occupation atau pendudukan oleh udara adalah pada saat-saat atau keadaan yang sering mendadak berganti, berubah sewaktu-waktu ataupun keadaan yang tidak biasa, yang memerlukan pengawasan secara konstan atau terus-menerus terhadap daerah tersebut dan adanya kesiapan untuk mengambil tindakan secara cepat. Sebagai tambahan dari tindakan militer tersebut, pesawat udara yang melakukan air occupation atau pendudukan 18 Ibid, hal 458.

10 oleh udara dapat pula menyediakan bantuan ataupun pertolongan humaniter dalam hal menjatuhkan persediaan makanan ataupun obat-obatan kepada kelompok-kelompok yang dilindungi, misalnya penduduk sipil dalam daerah yang dilindungi. 3. Ketiga, pemberlakuan zona larangan terbang dapat dijadikan sebagai penahan atau penyangga antara negara-negara ataupun kelompok-kelompok yang bermusuhan untuk menghalangi invasi, agresi ataupun jenis penyerangan lainnya. Zona larangan terbang jenis ini dapat disebut sebagai air deterrent atau pencegahan oleh udara yang didapatkan dari pemberlakuan zona larangan terbang. 19 Pencegahan ini sudah lama menjadi komponen yang strategis dalam politik/ketentuan asing. Idealnya, jenis ketentuan seperti ini menghindarkan sebuah negara menggunakan kekerasan. Logikanya, ancaman yang terpercaya dari angkatan militer akan mencegah lawan untuk kemungkinan mengambil suatu tindakan tertentu. Pada masa Perang Dingin, pihak yang sangat cocok untuk diberlakukan pencegahan adalah negara-negara kecil yang melakukan perlawanan dalam konflik yang sifatnya kecil atau sebatas di local tertentu. Dalam konflik-konflik jenis ini, kemungkinan gagalnya sistem pencegahan ini cukup besar, karena seringkali dialami kesulitan untuk membawa kepercayaan pada para lawan. Untuk itu negara-negara kadangkala boleh memilih untuk mencegah agresi atau perlawanan dengan menyediakan keberadaan pasukan secara fisik. Bagaimanapun juga, hal ini tidak diinginkan oleh para pembuat peraturan. Pertama, negara maju sekalipun tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan pasukan yang diperlukan untuk banyak daerah secara bersamaan. Kedua, pemerintah dan penduduk Barat tidak ingin untuk membahayakan diri hanya demi pencegahan. 19 Ibid.

11 Zona larangan terbang sebagai air deterrent menyatukan elemen positif dari pencegahan dan ancaman. B. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG Berbeda dengan moda transportasi laut yang telah lahir jauh sebelumnya, kelahiran moda transportasi udara, baru lahir ssejak permulaan abad ke-17. Pada saat itu Francisco de Lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer kemudian diikuti oleh Pater de Gusman di Lisabon yang berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskan, 20 sedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavallo pada Black terbang juga degan balon yang diisi dengan gas. Percobaan penerbangan tersebut dilanjutkan oleh Montgolfier bersaudara di Prancis dengan balon yang diisi dengan udara panas. Setelah berhasil percobaan percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil terbang melintasi Selat Calais dengan menggunakan balon bebas pada 1785 yang pernah digunakan untuk Perang Franco Prusia tahun untuk mengungsikan para pejabat negara. Sebenarnya jauh sebelum Perang Franco Prusia, pada 1852 Giffard telah berhasil terbang dengan balon yang diberi mesin uap, kemudian pada 1884 Renard bersama Krebbs juga berhasil menciptakan sebuah balon dengan baling baling bermesin listrik yang digerakkan dengan tenaga baterai, dan terakhir Von Zepplin pada 1889 berhasil membuat balon bebas bermotor yang dapat dikemudikan dan berhasil 1972). 20 Priyatna A., Kedaulatan Negara di Ruang Udara, (Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa,

12 terbang melintasi Danau Constance di Swiss pada Tahun berikutnya Santos Dumont berhasil terbang di sekitar kota Paris. Sejak Francisco de Lana pada 1870 sampai dengan 1889, Von Zepplin terbang dengan pesawat udara yang dikembangkan lebih ringan dari udara, sedangkan sejak akhir abad ke-19 Santos-Dummont mulai mengembangkan teknik pembuatan pesawat udara yang lebih berat dari udara, walaupun sebenarnya pemikiran demikian telah diimpikan sekitar abad ke-15. Pada awal abad ke-15 Sir George Cayley juga menciptakan model pesawat udara seperti pesawat terbang laying. 21 Penerbangan balon udara dikembangkan lebih lanjut sehingga tercipta pesawat udara yang lebih berat dari udara yang untuk pertama kalinya Wright bersaudara berhasil terbang dengan menggunakan pesawat udara yang lebih berat dari udara di Kota Kitty Hawk Amerika Serikat. Sejak penerbangan Wright bersaudara pada 1903 tersebut, telah terbukti bahwa penerbangan dapat dilakukan dengan pesawat udara yang lebih ringan dari udara maupun pesawat udara lebih berat dari udara. Penerbangan tersebut hanya mungkin dapat dilakukan pada ruang udara yang terdapat gas gas udara. 22 Dalam perkembangannya, pesawat udara yang lebih ringan dari udara maupun pesawat udara yang lebih berat dari udara dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti transportasi udara, keperluan komersial, keperluan militer bahkan dapat digunakan sebagai mata-mata, sehingga semakin menarik perhatian para ahli hukum udara internasional untuk meletakkan dasar hukum internasional. Dikarenakan banyaknya keperluan keperluan yang dilakukan di udara yang melintasi batas 21 Martono, K, H, Prof, Dr., SH., LLM.; Sudiro, Ahmad, Dr., SH., MH., MM., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal Ibid.

13 kedaulatan suatu negara terhadap negara lain tanpa memperhatikan hak hak negara di bawahnya, sehingga menimbulkan masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar dasar pengaturan navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internasional karena terpukau pada masalah kedaulatan negara di wilayah udara di atasnya serta hak hak negara kolong. 23 Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive sovereignity) di wilayah udara di atasnya dan mengumumkan Aerial Navigation Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam karena adanya penerbangan pesawat udara asing. Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan pelanggaran yang dapat diancam dengan hukuman. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang melintasi zona udara terlarang tersebut. Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara negara lain sehingga tindakan tersebut dibenarkan oleh hukum kebiasaan internasional. Masing masing negara 23 Ibid, hal. 17

14 mengumumkan bahwa negaranyan berdaulat penuh dan utuh di ruang udara di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan penerbangan internasional hanya dapat dilakukan pada jalur jalur udara tertentu yang menghubungkan tempat tempat tertentu setelah memperoleh izin. Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan menghadapi kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur, memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah kedaulatan negara dan keamanan nasional harus dipikirkan pula. Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang berjudul Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation. Konvensi tersebut pada prinsipnya mengatur prinsip prinsip dasar penerbangan internasional, kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelayakan udara, dan sertifikat kecakapan, izin navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan internasional, larangan mengangkat barang barang berbahaya, zona udara terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional. Sepanjang menyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris melakukan tindakan sepihak tahun Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi: Para Pengagung anggota konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai

15 kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya. 24 Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara sebagaimana diatur dalam pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau keamanan umum. Namun demikian, larangan tersebut harus diumumkan dan diberitahukan sebelumnya kepada negara anggota maupun Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut, semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawat udara sipil asing dilarang terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most Favourable Nation Treatment dalam pergaulan internasional. Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilamana hal ini dilakukan juga, maka harus memberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing yang berada pada zona udara terlarang, begitu sadar posisinya berada pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya dan segera mendarat di Bandar 24 The High Contracting Parties recognize that every power has complete and exclusive souvereignity over the airspace above its territory.

16 udara terdekat di luar zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris 1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan. Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda dengan dasar pertimbangan Konvensi Paris Menurut Konvensi Chicago 1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dan mempererat persahabatan yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia, oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan dasar dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara secara selamat, lancer, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional. Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud dan tujuan utama bukan terletak pada keamanan nasional sebagaimana Konvensi Paris 1919, melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walaupun dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak hak penerbangan secara multilateral yang mempunyai nilai komersial. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur dalam Konvensi Paris Konvensi

17 Chicago 1944 berisikan penegakan kembali prinsip prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip prinsip dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya penggunaan fasilitas navigasi penerbangan, kebangsaan pesawat udara, fasilitas penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat terbang, dan sertifikat kecakapan. Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago 1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan. Sepanjang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal 9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak berjadwal. Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO beserta anggotanya. Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan komersial. Dalam hal pesawat udara sadart tersasar dalam zona udara larangan terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilamana pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang tersebut, maka pesawat tersebut akan di intercept oleh pesawat udara militer. Secara teknis, tata cara intercept telah diatur

18 dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang Rules of The Air. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di intercept harus mengikuti perintah, untuk menghindari resiko yang lebih besar. Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS). 25 Berdasarkan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur jalur penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang dipergunakan untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar jalur yang ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota protes melalui saluran diplomatik. Sesuai dengan pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi : a. Each contracting State may, for reasons of military necessity or public safety, restrict or prohibit uniformity the aircraft of other States from flying over certain areas of its territory, provided that no distinction in this respect is made between the aircraft of the States whose territory is involved, engaged in international scheduled airlines services, and the aircraft of the other contracting States likewise engaged. Such prohibited areas shall be of reasonable extent and location so as not to interfere unnecessarily with air navigation. Descriptions of such prohibited areas in the territory of a contracting State, as well as any subsequent alterations 25 Lihat United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS).

19 there in, shall be communicated as soon as possible to the other contracting States and to the International Civil Aviation Organization. b. Each contracting State reverse also the right, in exceptional circumstances or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with immediate effect, temporarily to restrict or prohibit flying over the whole or any part of its territory, on condition that such restriction or prohibition shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other States. c. Each contracting State, under such regulations as it may prescribe, may require any aircraft entering the areas contemplated in subparagraphs (a) or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some designated airport within its territory. Menurut pasal ini, setiap negara berhak menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum. Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang melakukan penerbangan pada jalur tersebut. Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919, kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah hukum internasional. Kenyataan ini ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil maupun militer. Meskipun beberapa prinsip tetap berlaku, tetapi banyak terdapat perubahan dan penciptaan kaidah

20 hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua. Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan internasional. Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan antara lain oleh tingkat kekuatan negara di wilayah udaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan udara (air power) suatu negara adalah kemampuan negara tersebut untuk memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan atau angkutan sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada pesawat pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan gempuran udara. Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka negara negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan. Ketiga, mengingat cita cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan usaha penerbangan sipil internasional yang mantap telah mendorong mereka untuk melakukan upaya peningkatan kerjasama internasional. Dan kesadaran untuk membina kerjasama internasional inipun menentukan sifat dan penetapan konsep zona udara terlarang dalam Konvensi Chicago 1944.

21 PELANGGARAN WILAYAH UDARA 1. KOREAN AIRLINES Pada 1 September 1983, Korean Airlines, nomor penerbangan KL007 ditembak jatuh oleh pesawat udara penyergap militer Uni Soviet yang menelan korban 269 orang termasuk awak pesawat udranya meninggal dunia. Kasus penembakan ini menimbulkan gelombang kemarahan masyarakat internasional. Berbagai pendapat dalam forum internasional baik dari sisi hukum, ekonomi, maupun kemanusiaan dikemukakan sebagai argumentasi. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga segera melakukan langkah langkah yang diperlukan untuk mencegah terulangnya penembakan tersebut dan merekomendasikan negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk menahan diri dari penggunaan senjata terhadap pesawat udara sipil. Penyergapan pesawat udara sipil tetap harus memperhatikan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, barang barang yang diangkut, dan pesawat udaranya. 26 Sebagai negara berdaulat yang wilayah udaranya dilanggar oleh pesawat udara tanpa izin atau persetujuan lebih dahulu, negara tersebut wajib memberi peringatan adanya pelanggaran pesawat udara tersebut, memerintahkan agar pesawat udara kembali atau meninggalkan wilayah udara tersebut atau memerintahkan untuk mendarat. Bilamana terjadi pelanggaran wilayah, negara tersebut dapat melakukan protes melalui saluran resmi, supaya negara pendaftar pesawat udara minta maaf dan bilamana menimbulkan kerugian dapat menuntut kompensasi atas kerugian yang diderita oleh warga negaranya, tetapi bilaman negara tersebut menggunakan senjata untuk memaksa pesawat udara yang melakukan pelanggaran wilayah, tanpa memberi kesempatan 26 Martono, K, H, Prof, Dr., SH., LLM., Sudiro, Ahmad, Dr., SH., MH., MM., Op.Cit., hal. 72

22 kepada pesawat udara kembali ke jalur seharusnya atau untuk mendarat, jelas tindakan negara tersebut melanggar hukum internasional. Menurut ajaran hukum (doctrine) tentang bela diri, yang mengajarkan bahwa penggunaan senjata untuk memaksa pesawat udara yang melakukan pelanggaran wilayah adalah berlebihan dan tidak seimbang dengan ancamana yang dihadapi. Lebih lanjut tindakan negara tersebut dapat dikatakan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) sehingga negara tersebut dapat dituntut oleh negara pendaftar pesawat udara, untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang untuk dan atas nama korban. Dalam kasus demikian, tindakan negara yang menembak pesawat udara sipil, juga bertentangan dengan hukum internasional, khususnya hak hak asasi manusia, karena penumpang yang tidak bersalah menjadi korban. Di samping itu, penggunaan senjata untuk memaksa pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan prinsip hukum udara internasional safety first yang tersirat 27 maupun tersurat ddi dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago Negara pendaftar pesawat udara dapat menuntut kerugian yang diderita oleh korban kepada negara yang menyergap dan menembak pesawat udara. Sebenarnya tata cara penyergapan pesawat sipil telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago 29 tanpa menggunakan senjata, tetapi dalam pelaksanaannya sering pesawat udara yang melanggar wilayah sering ditembak oleh pesawat udara militer di udara maupun di darat. Korea saat itu tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan Uni Soviet, karena itu Korea menuntut melalui Dewan Kemanan PBB agar Uni Soviet mengadakan 27 Therefore, the undersigned governments having agreed on certain principles in a safe and orderly manner and that international air transport services may be established on the basis of equality of opportunity and operated soundly and economically. 28 The aims and objectives of the organization are to develop the principles and techniques of international air navigation and to foster the planning and development of international air transport so as to (a) insure the safe and orderly growth of international civil aviation throughout the world. 29 Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang Rules of the Air.

23 investigasi penembakan pesawat udara Boeing 747 nomor penerbangan KL007, Uni Soviet meminta maaf kepada Korea, Uni Soviet wajib memberi ganti kerugian, pelaku penembakan harus dipidana dan harus dicegah jangan sampai terulang. Jepang juga menuntut Uni Soviet untuk dan atas nama 25 warga negara Jepang yang menjadi korban, mengirim surat kepada Uni Soviet yang isinya mengatakan tindakan penembakan pesawat udara KL007 merupakan tindakan agresi bersenjata tanpa perikemanusiaan, karena itu Uni Soviet harus bertanggung jawab, pemerintah Uni Soviet harus minta maaf kepada Jepang, melarang warga negara Jepang terbang ke Uni Soviet. Gelombang protes juga datang dari negara negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) seperti Jerman, Belgia, Luxemburg, Spanyol, Denmark membatalkan hubungan udara dengan Uni Soviet dan melarang pesawat udara Aeroflot terbang melalui wilayah udara mereka, namun demikian Uni Soviet tutup telinga, bahkan Uni Soviet mengatakan bahwa tindakannya sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang dijamin dalam Konvensi Chicago 1944, karena itu berhak mempertahankan wilayahnya terhadap pelanggaran tanpa izi atau persetujuan terlebih dahulu, bilamana menuntut ganti rugi silahkan minta kepada Korea dan Amerika Serikat karena kedua negara tersebut sengaja melakukan mata mata di atas wilayah udara Uni Soviet AIR FRANCE, EL AL CONSTELLATION Masalah pesawat udara yang melanggar wilayah kemudian ditembak oleh pesawat udara militer Uni Soviet seperti KL007, bukanlah satu satunya kasus 30 Masukane Mukai, The Use of Force Against Civil Aircraft : The Legal Aspects of Joint International Action, dalam Michael Milde, Annals of Air and Space Law, Vol.XIX-1994 Part II, pages (Toronto : The Carswell Company Limited, 1994)

24 pelanggaran wilayah udara. Pada 1952, pesawat udara milik Air France dalam penerbangannya dari Frankfurt ke Berlin, Jerman dituduh oleh Uni Soviet menyimpang dari rutenya dan melanggar wilayah Jerman Timur dan pada 1955 pesawat udara EL AL Constellation dalam penerbangannya dari London ke Israel melanggar wilayah Bulgaria dan ditembak jatuh oleh pesawat militer MIG-15 Bulgaria. Pada 1962 telah terjadi empat kali penembakan pesawat udara sipil oleh pesawat udara militer seiring dengan perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Pada Juni 1969 pesawat udara palang merah (Red Cross) DC-7 dalam penerbangannya dari Pulau Fernando ke Biafra, juga ditembak jatuh oleh pesawat udara militer, dalam tahun berikutnya pesawat udara Alitalia DC-8 ditembak dengan peluru kendali dekat Damaskus, tetapi pesawat udara dapat mendarat dengan selamat. Pada Februari 1973, pesawat udara Libya Boeing 727 dipaksa mendarat oleh pesawat udara militer Israel karena tidak mematuhi pesawat udara yang menyergap. Penembakan pesawat udara KL007 tersebut bukan pertama kali, sebab dalam bulan April 1978 pesawat udara Boeing 707 ditembak ole Uni Soviet dan terpaksa mendarat di Murmanks dan dua penumpang meninggal dunia. Penembakan pesawat udara sipil yang melanggar wilayah juga dapat dilakukan dari darat seperti terjadi pada dua pesawat udara jenis Viscount dan HS 748 ditembak oleh gerilya di darat, dan semua penumpangnya meninggal dunia. Di samping kasus kasus tersebut selama 21 tahun telah terjadi 12 penembakan pesawat udara dari darat ke udara seperti pernah terjadi di Congo, Kuba, Angola, Vietnam, Kamboja, Muzambique, dan Chad Ghislaine Richard, KAL007 : The Legal Fall out, dalam Nicolas Mateesco Matte, Annals of Air and Space Law. Vol.IX-194. Toronto: The Carswell Company Limited, 1984, pages

25 Sebenarnya Konvensi Chicago 1944 hanya mengatur pesawat udara sipil (civil aircraft), tetapi dalam Pasal 3 huruf (d), dikatakan bilamana negara anggota mengeluarkan peraturan mengenai pesawat udara negara (state aircraft) 32 harus memperhatikan keselamatan pesawat udara sipil. Dalam Annex 2 Konvensi Chicago diatur tata cara penyergapan. Sebagai akibat penembakan pesawat udara KL007, Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 disempurnakan dengan Pasal 3 bis, yang antara lain mengatakan bahwa negara anggota agar menahan diri dalam penggunaan senjata untuk memaksa pesawat udara sipil mendarat; dalam hal pengejaran pesawat udara yang melanggar wilayah tetap harus memperhatikan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang barang yang diangkut. Ketenatuan ketentuan tersebut tidak boleh ditafsirkan menyimpang dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UN Charter, semua negara mengakui bahwa pesawat udara sipil tidak boleh digunakan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan Konvensi Chicago 1944, tetapi semua pesawat udara sipil harus mematuhi pesawat udara yang mengejar, karena itu semua negara harus membuat aturan nasional koordinasi antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) untuk menjamin keselamatan penerbangan, semua negara berhak menetapkan daerah larangan terbang (prohibited area) dengan memerhatikan norma norma hukum internasional yang berlaku. 32 Aircraft used in military, customs and police services shall be deemed to be state aircraft. 33 Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang Rules of the Air.

26 C. PENGATURAN ZONA LARANGAN TERBANG BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip hukum udara internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara. Pengaturan mengenai zona larangan terbang ini sendiri terdapat pada Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929 dan pada Konvensi Chicago KONVENSI PARIS 1919 Zona larangan terbang diatur dalam Pasal 3 34 dan 4 35 Konvensi Paris Menurut kedua pasal tersebut setiap negara berhak untuk menetapkan zona larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional dengan ancaman hukuman bilaman terdapat pelanggaran. Ketentuan ini sesuai dengan usul yang disampaikan oleh delegasi Prancis pada saat Konferensi Paris Pada saat Konferensi Paris 1910 Prancis mengusulkan negara kolong berhak melarang setiap penerbangan pesawat udara militer melalui ruang udara di atas wilayah 34 Pasal 3 Konvensi Paris 1919 : Each contracting state is entitled for military reasons or interest of public safety to prohibit the aircraft of other contracting state, under penalties provided each private aircraft and those of the other contracting state from flying offer certain areas of its territory. In that case the locality and the extent of the prohibited areas shall be published and notified beforehand to the other contracting state. 35 Pasal 4 Konvensi Paris 1919 : Every aircraft finds itself above a prohibited area shall, as aware of the fact give the signal of distress provided in paragraph 17 of Annex D and land as soon as possible outside the prohibited area at one of the nearest aerodromes of the state unlawfully flown over.

27 udaranya (right of the subjacent state of deny passanger of foreign military and police aircraft trough such airspace), namun demikian zona larangan terbang tersebut tidak boleh diskriminasi anatar pesawat udara sipil nasional dengan atau pesawat udara sipil asing satu terhadap yang lain. Dalam hal terjadi pesawat udara sipil masuk zona larangan terbang, begitu menyadari berada dalam zona larangan terbang secepatnya meninggalkan zona larangan terbang tersebut sebelumnya harus dipublikasikan kepada negara anggota lainnya. Zona larangan terbang yang telah diatur dalam pasal 3 dan pasal 4 Konvensi Paris 1919 kemudian diubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengizinkan pesawat udara sipil nasional terbang di zona larangan terbang dalam hal sangat penting dan darurat. Demikian pula dikatakan dalam masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona larangan terbang seluruh atau sebagian wilayahnya. Semua bentuk penerbangan dilarang terbang di zona larangan terbang. Bilamana hal ini dilakukan juga harus memberitahun CHINA dan negara anggota Konvensi Paris 1919 lainnya. Menurut pasal 4 Konvensi Paris 1919, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing berada di zona larangan terbang, segera mengirim tanda bahaya (distress) sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat diluar zona larangan terbang tempat pesawat udara tersebut terbang. 2. KONVENSI CHICAGO 1940 Zona larangan terbang, di samping diatur dalam Konvensi Paris 1919, juga diatur dalam Konvensi Chicago Berdasarkan pasal 1 jo pasal 9 Konvensi Chicago

28 setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang atas pertimbangan keamanan umum, pertimbangan militer, asalkan tidak ada perlakuan yang bersifat diskriminatif antara pesawat negara nasional dengan negara asing atau pesawat udara asing satu terhadap yang lain. Penetapan zona larangan terbang atau pembatasan tersebut harus wajar dan tidak mengganggu penerbangan internasional. Rincian zona larangan terbang maupun pembatasan tersebut harus segara diberitahukan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional serta negara anggota lainnya. Dalam keadaan yang sangat mendesak atau darurat atau kepentingan keselamatan umum negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga berhak melarang seluruh maupun sebagian wilayah asalkan tidak bersifat diskriminatif. Bilamana pesawat udara menyadari di zona larangan terbang, segera meninggalkan zona larangan tersebut dan mendarat di Bandar udara atau pangkalan udara terdekat. Di Amerika Serikat, berdasarkan ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944, juga menetapkan zona larangan terbang sejauh 200 mil dari perbatasan Amerika Serikat yang dikenal sebagai Air Defence Identification Zone (ADIZ). Dalam jarak 200 mil terhitung sejak perbatasan Amerika Serikat, pesawat udara yang tidak dikenal harus 36 Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 : (a) Each Contracting state may, for reason of military necessity or publich safety, restrict or prohibit uniformly the aircraft of other state from flying over certain areas of its territory, provided that no distinction in this respect is made between the aircraft of the state whose territory is involved, engaged in international scheduled airlines service, and the aircraft of the other contracting states likewise engaged. Such prohibited area shall reasonable extent and location so as not to interference unnecessarily with navigation, description of such prohibited areas in the teritory of contracting states, as well as any subsequent alteration therein, shall be communicated as soon as possible to the other contracting states and to international civil aviation organization;(b) Each contracting states reserves also the right, in exceptional circumstances or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with immediate effect, temporary to ristrict or to prohibit flying over the whole or any part of its territory, on conditions that such ristriction or prohibition shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other states;(c) Each contracting state, under such regulations as it may prescribe, may require any aircraft entering the areas contemplated in the subparagraphs (a) or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some designted airport within its territory.

29 menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan terbang (Canadian Air Defence Identification Zone-CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri. Pesawat udara negara (State Aircraft) yang mengejar tidak boleh menggunakan kekerasan, apalagi menembak pesawat udara sipil yang kesasar di zona larangan terbang, karena penembakan pesawat udara sipil tersebut bertentangan dengan hukum internasional, tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri, dan tidak sesuai dengan semangat yang tersirat dalam konvensi Chicago Menurut hukum internasional, pesawat udara sipil yang ditembak oleh pesawat udara negara (State Aircraft) merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), karena pesawat udara sipil tidak di persenjatai. Disamping itu, penembakan pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri (Self Defend) yang mengajarkan bahwa perbuatan penembakan tersebut tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi, ajaran hukum bela diri (Self Defend) mengatakan bahwa kalau seseorang akan memukul dengan rotan, kemudian di dahului dipukul dengan kayu dapat disebut membela diri (Self Defend). Penembakan pesawat udara sipil oleh pesawat udara negara tidak sesuai dengan semangat keselamatan penerbangan (Safety First) yang tersirat dalam pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944 : The aims and objective of the Organization is to develop the planning and techniques of international air navigation and to foster the planning and development of international air transportation so as to insure the safe and orderly growth of international civil aviation through out the world.

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau krisis Suriah adalah konflik senjata berkelanjutan di Suriah antara pasukan pendukung pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang memiliki unsur manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan hukum

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN KEDAULATAN Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVERSI PARIS wilayah yang dimaksud. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek

BAB III PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVERSI PARIS wilayah yang dimaksud. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek 49 BAB III PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVERSI PARIS 1919 A. Air Defence Identification Zone (ADIZ) Air Defence Identification Zone (ADIZ) adalah suatu ruang udara tertentu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Udara merupakan hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sebagai unsur yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH 1 PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : DITA

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jepang merupakan negara yang unik karena konsep pasifis dan anti militer yang dimilikinya walaupun memiliki potensi besar untuk memiliki militer yang kuat. Keunikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Abstract. Keywords ; Military Attack, NATO, Libya, Civilian

Abstract. Keywords ; Military Attack, NATO, Libya, Civilian JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER PAKTA PERTAHANAN ATLANTIK UTARA (THE NORTH ATLANTIC TREATY ORGANIZATION/NATO) TERHADAP LIBYA Oleh: Veronika Puteri Kangagung I Dewa Gede Palguna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan udara baik internasional maupun domestik mempunyai peranan dan fungsi yang makin lama makin penting dalam kehidupan umat manusia. Khusus bagi Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Isi Perjanjian DCA RI Singapura

Isi Perjanjian DCA RI Singapura 105 Lampiran 1 Isi Perjanjian DCA RI Singapura Pasal 1, Tujuan Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk membentuk suatu kerangka kerjasama strategis yang komprehensif guna meningkatkan kerjasama bilateral

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penerbangan MH-17 Malaysia Airlines merupakan penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang dari berbagai negara, pesawat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE USE, STOCKPILING, PRODUCTION AND TRANSFER OF ANTI-PERSONNEL MINES AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL D. Sejarah Penerbangan Sipil Internasional 1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent No.689, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Sistem Tanpa Awak. Pesawat Udara. Pengendalian. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam 10 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam rangka memperlancar perekonomian, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta mempererat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang melaksanakan pembangunan nasional dalam segala aspek. Sarana yang menjadi sasaran pembangunan nasional adalah bidang ekonomi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian pengangkut. Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara merupakan suatu pilihan yang tidak dapat dielakkan, Indonesia adalah negara yang terdiri atas

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.156, 2013 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5448) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika Perang Dunia Pertama terjadi, tren utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua terjadi Amerika

Lebih terperinci