BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL D. Sejarah Penerbangan Sipil Internasional 1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari Negara-negara sekutu, beberapa Republik di Amerika Latin dan Negara-negara lainnya. Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 mengikat sebanyak 29 negara. Selain itu, sebagian besar Negara-negara di benua Amerika tidak ikut dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri Konvensi udara dengan nama Konvensi Pan Amerika, Havana pada tanggal 20 Februari Namun, Konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan hanya diratifikasi oleh 11 negara di kawasan. Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris tersebut merupakan upaya pertama pengatur an internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di samping itu, Negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral di antara mereka dengan syarat memetuhi prinsip=prinsipyang dimuat dalam Konvensi. Namun, Konvensi tersebut kelihatannya hanya merupakan suatu instrument hukum yang pelaksanaannya terbatas pada hubungan antara Negaranegara yang menang perang dunia 1, karena keikutsertaan Negara-negara bekas musuh ditundukkan pada syarat=syarat yang cukup ketat. Terhadap Negara- 22

2 23 negara bekas musuh, Pasal 42 Konvensi Paris memberikan persyaratan bahwa Negara-negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada liga Bangsa-Bangsa {LBB} atau paling tidak atas keputusan dari 3/4 Negara-negara pihak pada Konvensi. Pada tahun 1929, Setelah direvisi dengan protocol 15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris 1919 betul-betul menjadi Konvensi yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya Protokol tersebut tahun 1933,53 negara telah menjadi pihak. a. Rezim Udara Konvensi 1919 dengan jelas menerima prinsip kedaulatan nasional. Pasal 1 Konvensi menegaskan kedaulatan penuh dan eksklusif Negara-negara peserta terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Jadi prinsip utama Konvensi adalah ruang udara mengikuti status yuruduk dari bumi yang berada dibawahnya. Ruang udara tunduk pada kedaulatannegara-negara dimana saja udara tersebut membawahi daratan dan laut wilayah, tetapi sebaliknya udara itu bebeas bila membawahi laut lepas. Namun, terhadap prinsip yang ketat ini, Konvensi memberikan serangkaian keringanana yang di rasa perlu dan kalau keringanan ini tidak ada maka tidak mungkin untuk melaksanakan lalu lintas udara. Keringanan tersebut adalah kebebasan lintas sesuai Pasal 2 Koncensi. Tiap-tiap negara pihak pada Konvensi berjanji, di masa damai untuk mengizinkan hak lintas damai pesawat-pesawat udara negara negara pihak lainnya di atas wilayahnya sesuai syarat-syarat yang dimuat dalam Konvensi. Selanjutnya, hak lintas terbang ini dapat di batasi oleh negara dibawahnya atas alasan militer atau kepentingan

3 24 keamanan publik. Sehubungan dengan itu, Pasal 3 Konvensi mengizinkan kepada setiap negara pihak untuk melarang penerbangan di zona-zona tertentu dari wilayahnya terhadap pesawat-pesawat asing ataupun nasional. Penjelasan ini kiranya merupakan jaminan yang perlu bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan. Bersamaan dengan kebebasan lintas, persamaan perlakuan juga dijamin terhadap semua diskriminasi yang didasarkan atas motif politik seperti kebangsaan dari pesawat (Pasal 2 ayat 2 Konvensi). Konvensi 1919 hanya berlaku di waktu damai (Pasal 2 dan 38), sementara pada waktu perang, Konvensi membatasi diri dengan hanya menyatakan kebebasan bertindak bagi Negara-negara yang berperang dengan memperhitungkan hak dari negara-negara netral. Selanjutnya, Konvensi membentuk suatu organ permanen untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya, yaitu Komisi Internasional Navigasi Udara yang berada di bawah kekuasaan Liga Bangsa- Bangsa. b. Rezim Pesawat Udara Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan internasional harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Penentuan kebangsaan ini mempunyai kepentingan rangkap. 1) Kepentingan dari segi tanggung jawab, yaitu negara yang mempunyai pengawasan terhadap pesawat udara dapat memberikan dokumendokumen teknik yang diperlukan seperti sertifikat penerbangan, brevet kecakapan dll.

4 25 2) Kepentingan perlindungan, yaitu suatu pesawat udara dapat menyatakan diri berasal dari suatu negara tertentu dan sewaktu-waktu dapat meminta bantuan kepada perwakilan diplomatiknya di luar negeri. Menurut Konvensi, system kebangsaan pesawat udara adalah bahwa semua pesawat udara harus mempunyai satu kebangsaan. Pelaksanaan prinsip ini berdasar pada dua ketentuan. (1) Kebangsaan suatu pesawat udara ditentukan oleh pendaftarannya di satu negara tertentu. (2) Suatu negara hanya dapat menerima pendaftaran dari suatu pesawat udara yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negaranya. Jadi, kebangsaan suatu pesawat udara akan ditentukan oleh kewwarganegaraan pemiliknya. Dalam hal ini Konvensi menolak kriteria Anglo- Saxon tentang domisili yang juga ditinggalkan oleh Inggris tahun 1918 sebagai akibat pengalaman perang. Dapat disimpulkan bahwa system ini sesuai dengan logika Konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan Negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar Konvensional yang pada hakekatnya bersifat restriktif. 2. Perkembangan Konvensi Paris 1919 Apabila Konvensi inii diteruskan sebagaimana adanya maka diperkirakan tidak akan bertahan lama. Sejak semula, Konvensi ini menimbulkan kritik pedas dari negara-negara Eropa yang netral selama Perang Dunia I seperti Switzerland dan Belanda yang juga ikut serta dalam Konvensi tidak mau melarang penerbangan pesawat-pesawat bekas Negara musuh seperti Jerman diatas

5 26 wilayahnya. Dengan demikian, perubaha-perubahan terhadap Konvensi akhirnya tidak dapat dihindarkan. Perubahan tersebut berlangsung dalam tiga tahap ; mulai dengan protocol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, Kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir dengan diterimanya protocol 15 Juni Revisi Konvensi 1919 tidak dapt dihindarkan di saat munculnya persoalan keanggotaan Jerman dalam Konvensi. Untuk menjadi pijak dalam Konvensi, Jerman mengajukan perubahan mendalam terhadap ketentuan-ketentuanyang ada. Perubahan tersebut dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam Sidangnya di Paris tanggal Juni Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Negara-negara bukan pihak pada Konvensi 1919 dapat di terima tanpa syarat pakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam Perang Dunia I. (2) Tiap-tiap negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan negara-negara yang bukan merupakan pihak pada Konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Konvensi. (3) Protokol 1929 meletakkan prinsip kesamaan yang absolute bagi semua negara dalam komisi Internasional. Masing-masing negara pihak tidak boleh mempunyai lebih dari dua wakil dalm komisi dan hanya memiliki satu suara. Dengan demikian dihapuskanlah ketentuan-ketentuan khusus Pasal 34 mengenai komposisi mayoritas yang memberikan hak-hak

6 27 istimewa yang kurang dapat dibenarkan kepada Negara-negara sekutu. Protokol tahun 1929 tersebut akhirnya ditandatangani oleh 53 negara dan mulai berlaku tanggal 17 Mei Konvensi Chicago 1944 a. Asal Usul Konvensi Sebelum meletusnya Perang Dunia II sebagaimana diketahui status yuridik navigasi udara diatur oleh Konvensi Paris 13 Oktober 1919 yang kemudian direvisi oleh Protokol 15 Juni Namun, sistem yang terdapat dalam Konvensi tersebut tidak berjalan lancer. Kebeasan navigasi udara kenyataannya bukan merupakan pengakuan atas suatu rezim yang objektif akan tetapi sebagai hasil suatu konsesi konvensional yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada negara-negara penandatanganan Konvensi. Di samping itu, kemajuan yang mengagumkan dari lalu lintas udara sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyeberangan Samudera Atlantik Utara tanpa berhenti oleh Linberg pada tahun 1927, dan bahkan jauh sebelum Perang Dunia Ii telah mengharuskan diadakannya revisi baru terjadap Konvensi Paris Walaupun peperangan telah memperlambat upaya untuk mengadakan revisi tersebut, beberapa negara yang berkepentingan tidak menunggu berakhirnya perang untuk memulai kegiatannya. Menjawab undangan Amerika Serikat, 53 negara tanpa Uni Soviet, ikut menghadiri suatu konferensi internasional di Chicago yang di selenggarakan dari tanggal 1 November sampai 7 Desember tahun Konferensi Chicago membahas tiga konsep yang salimg berbeda yaitu:

7 28 (1) Konsep internasionalisasi yang di sarankan Australia dan Selandia Baru. (2) Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise. (3) Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris di terima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang menerima tiga instrument yaitu: 1) Konvebsi mengenai Penerbangan Sipil internasional; 2) Persetujuan mengenai Transit Jasa-jasa Udara Internasional; 3) Persetujuan Mengenai alat Angkutan Udara Internasional. Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun Konvensi ini membatalkan Konvensi Paris 1919 demikian juga Konvensi Inter Amerika Havana Seperti Konvensi Paris 1919, konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka b. Isi Pengaturan Yang Diterima Konvensi Chicago kelihatannya diilhami oleh proyek Amerika Serikat yang menyarankan pengakuan terhadap lima kebebasan udara seperti berikut:

8 29 (1) Dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai (innocent passage) dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasi/perbaikan (technical stop). (2) Tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial yaitu (a) hak untuk menurunkan di semua Negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang di muat di wilayah Negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut, (b) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan Negara tersebut, (c) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua wilayah Negara pihak dan menurunkannya di wilayah Negara-negara pihak lainnya. Ciri-ciri yang mendasari rezim Chicago ini adalah pemisahan kelima kebebasan tersebut. Bila kedua kebebasan dasar di atas diberikan de plano kepada semua pesawat udara sipil Negara pihak tanpa otorisasi khusus dan hanya atas dasar ketentuan Konvensi, ktiga kebebasan kpmersial hanya diterima untuk pesawat-pesawat udara pengangkut yang melakukan pelayanan udara internasional yang teratur atas dasarkonvensi tamabahan yang biasanya dinamakan traffic convention. c. Pembentukan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) Konvensi Chicago juga mendirikan suatu organisasi dengan nama International Civil Aviation Organization (ICAO), suatu organisasi teknik yang bertujuan untuk menyeragamkan ketentuan navigasi udara. Markas Besar

9 30 Organisasi tersebut berada di Montreal, Kanada. Menurut Pasal 44 Konvensi, fungsi ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembanganpenerbangan sipil internasional secara teratur dan aman. Mengenai struktur, organisasi tersebut terdiri dari wakil-wakil Negara anggota. Dewan yang merupakanbadan eksekutif Organisasi dipilih oleh siding biasa Majelis sekali tiga tahun. Dewan memilih presidennya sendiri. Organisasi juga mempunyai berbagai komite dan komisi atara lain : The Air Navigation Commision, Air Transport Committee, Legal Committee, Committee on joint Support of Air Navigation, Finance Committee, Sekretariat yang dikepalai oleh Sekretaris Jendral mengangkat staf dan memimpin kegiatan Organ tersebut. Majelis yang merupakan Organ berdaulat dari Organisasi mengadakan siding paling tidak sekali dalam tiga tahun untuk meninjau kegiatan-kegiatannya dan membuat garis-garis besar mengenai kegiatan masa depan. Dewan terdiri dari 33 negara pihak. Dalam memilih anggota-anggotanya, Dewan memberikan tempat yang wajar kepada: 1) Negara-negara yang mempunyai alat angkutan udara yang penting. 2) Negara-negara yang mempunyai kontribusi terbesar dalam menyeiakan fasilitas penerbangan sipil internasional 3) Negara-negara yang penunjukkannya mewakili semua wilayah-wilayah geografi dunia. Pada akhir tahun 1998 jumlah anggota Organisasi telah mencapai angka 185 sama seperti jumlah anggota PBB. 4 )

10 31 4) Fungsi dan realisasi. Disamping perannya yang cukup penting di bidangbantuanteknik seperti pembnagunan pelabuhan-pelabuhan udara dan pengawasan pendirian dinas-dinas khusus, ICAO dengan perantaraan Dewan melakukan fungsi pengaturan pentingdan penyelesaian sengketasengketa. a) Sesuai Pasal 37 Konvensi Chicago, ICAO menerima, mengubah sesuai kebutuhan, norma-norma, praktik-praktik yang telah direkomendasikan dan prosedur-prosedur internasional yang berlaku terhadap lalu lintas udara internasional dalam bentuk annex pada Konvensi. Diantara annex ini harus dibedakan antara standards yang dianggap perlu dan metode-metode yang berstatus sekadar disarankan. Naskah-naskah ini diterima oleh mayoritas dua pertiga anggota-anggota Dewan dan mengikat tiga bulan setelah diumumkan kepada Negara-negara anggota kecuali kalau dalam tenggang waktu tersebut ditolak oleh mayoritas Negara-negara anggota. Hal ini belum pernah terjadi dalam sejarah Organisasi. Melalui prosedur yang dinamakan notifikasi perbedaan pandangan, suatu negara dapat memberitahu Dewan dalam kurun waktu 60 hari setelah penerimaan atau perubahan dari annex mengenai keberatan-keberatannya dan tindakan-tindakan berbeda yang diambil sesuai Pasal 38 Konvensi. Dalam praktiknya perbedaan-perbedaan pandangan pandangan tersebut sangat terbatas dan jarang terjadi.

11 32 b) Konvensi Chicago juga memuat mekanisme yang orisinil mengenai penyelesaian sengketa, yang melengkapi Dewan dengan wewenang yuridiksional bila terjadi sengketa antara negara-negara pihak mengenai implementasi atau pelaksanaan Konvensi. Naik banding dari keputusan Dewan selalu mungkin baik kepada suatu tribunal arbitrasi ad hoc atau Mahkamah internasional. Sebagai contoh dan sesuai dengan prosedur diatas, Pakistan dalam sengketa dengan India mengajukan pengaduan kepada Dewan atas larangan terbang diatas wilayah India. India lalu membawa sengketa tersebut ke Mahkamah yang akhirnya menyatakan bahwa Dewan mempunyai wewenang untuk menangani sengketa tersebut. 5 ) Walaupun terdapat interprestasi yang ekstensif atas wewenang yuridiksional Dewan dari ICAO, pada umumnya Negara-negara lebih suka menyelesaikan sengketa-sengketa bilateral mereka melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang biasa seperti ke Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbitral. Selama Perang Dingin banyak Negara yang mengajukan pengaduannya ke Mahkamah Internasional yang menyangkut keamanan penerbangan sipil. Sebagai contoh insiden udara yang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat pada tanggal 3 Juli Dalam hal ini Dewan menolak tuntutan Iran untuk mengecam tindakan Amerika Serikat yang dianggap bertentangan dengan Konvensi Montreal 1971 dan karena itu masalahnya diajukan ke mahkamah. 6 ) Demikian juga insiden udara Lockerbie antara Libya dan Amerika Serikat di mana

12 33 ordonansi Mahkamah tanggal 14 April 1992 menolak permintaan pengambilan tindakan-tindakan konservatoar. E. Perlindungan Hukum dalam Penerbangan Sipil Penyelenggaraan penerbangan sipil Internasional mengacu pada konvensikonvensi internasional untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut, dan penanggulangan pembajakan pesawat udara. Pesawat udara merupakan sasaran pelaku kejahatan untuk melarikan diri ke negara yang berbeda ideologi dan politik dalam menghindarkan diri dari hukuman setelah melakukan kejahatan, atau menuntut pembebasan rekan-rekan yang dipenjara, minta suaka politik kepada negara lain, bahkan untuk menghimpun harta benda bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang pengaturan penerbangan sipil internasional, keterkaitan konvensi-konvensi internasional dengan pembajakan udara, serta perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara berdasarkan konvensi internasional. Dalam hukum udara internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944 yang merupakan konsitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk penyelenggaraan penerbangan sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Warsawa 1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta protokolnya, konvensi

13 34 mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut di atas. Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani di Chicago pada tahun Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat. F. Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 yang berbunyi The high contracting States recognize that ever power has complete and exclusive over the airspace above its territory yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan

14 35 kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat Konvensi Paris 1919 ditandatangani. Setelah Perang Dunia Pertama berakhir disepakati bahwa tiap Negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaima diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang diambil kembali dalam Pasal 1 Konvensi Chicago Dalam hubungan ini, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago Hal ini jelas dengan adanya istilah every state. Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan Konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah batas wilayah Negara (state territory). Dengan demikian, secara tegas bahwa berlaku juga terhadap bukan negara anggota. Lebih lanjut walaupun tidak secara tegas disebutkan semua Negara mengakui bahwa tidak ada negara manapun yang berdaulat di laut lepas (high seas). Lebih lanjut Konvensi Chicago 1944 juga tidak membuat pengertian apa yang dimaksudkan dengan wilayah udara (airspace), namun demikian, pengertian tersebut dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice) dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan The natural meaning of the term is its geographical meaning, yaitu ruang dimana terdapat udara (air). Lingkup yurisdiksi teritorial suatu Negara diakui dan diterima oleh negara

15 36 anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi sepanjang dapat dieksploitasi Hak Prerogatif Hak prerogatif negara anggota dilakukan untuk menghindari konsekuensi prinsip kedaulatan di udara sebagaimana diuraikan di atas. Sepanjang menyangkut hak penerbangan (traffic right), Konvensi Chicago 1944 membedakan antara penerbangan internasional tidak berjadwal dengan penerbangan initernasional berjadwal. Kepada penerbangan internasional tidak berjadwal diberi sedikit kelonggaran, sedangkan untuk penerbangan internasional berjadwal tetap harus memperoleh izin lebih dahulu. Mengenai penerbangan internasional berjadwal, pesawat udara asing diberi hak yang sama dengan perusahaan penerbangan nasional dalam penggunaan fasilitas bandar udara dan navigasi penerbangan, sedangkan daerah terlarang (prohibited area) berlaku terhadap pesawat udara nasional, pesawat udara asing baik berjadwal maupun tidak berjadwal Angkutan Udara Internasional Sepanjang menyangkut teknis dan operasional penerbangan, pembahasan di dalam konferensi penerbangan sipil internasional berjalan dengan lancar, kecuali pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara. Sepanjang pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara, mengalami banyak kesulitan dibandingkan dengan pembahasan di bidang teknis dan operasi penerbangan internasional. 14 K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal Ibid., hal 20

16 37 Sepanjang menyangkut ekonomi angkatan udara, pendapat di dalam sidang terpecaya menjadi empat kelompok masing-masing pendapat Amerika Serikat serta pendukungnya pendapat lnggris beserta pendukungnya Pendapat Kanada dan usul gabungan (joint proposal) antara Australia dengan Selandia Baru. Sepanjang menyangkut angkutan udara internasional khususnya mengenai pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, pemerintah jangan mencampuri. Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, dan tarif angkutan udara diatur sendiri oieh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply and demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya. Posisi Amerika Serikat demikian, di samping memang filosofi liberal di Amerika Serikat, didukung dengan adanya kesepakatan tidak tertulis antara Amerika Serikat dengan Inggris pada saat Perang Dunia Kedua. Semasa Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dengan Inggris mempunyai kesepakatan bahwa Amerika Serikat menyediakan pesawat udara transport jarak jauh, sementara Inggris menyediakan pesawat udara tempur (fighter). Akibat perjanjian tidak tertulis tersebut, sesudah Perang Dunia Kedua berakhir armada Inggris lumpuh (cipple) sementara itu armada Amerika Serikat dengan mudah diubah menjadi

17 38 pesawat udara komersial sehingga Amerika Serikat tidak takut dan khawatir menghadapi armada nasional Inggris. Sebaliknya Inggris tidak memiliki jalan lain, kecuali harus melindungi armada nasionalnya untuk bersaing dengan armada Amerika Serikat. 16 Sepanjang menyangkut ekonomi angkutan udara internasional, posisi Inggris dalam konferensi penerbangan sipil di Chicago tahun 1944 mengenai rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, maupun tarif angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan dari pemerintah Inggris. Posisi demikian memang disadari oleh Inggris. Tidak ada jalan lain selain harus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada negara lain, terutama Amerika Serikat. 17 Posisi Kanada yang berkaitan dengan angkutan udara internasional adalah mengusulkan dibentuk International Air Authority yang akan menentukan pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara internasional. Menurut Kanada, rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh perusahaan penerbangan seperti usul Amerika Serikat, tetapi diatur oleh International Air Authority. Demikian pula Kanada juga berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan 16 Ibid., hal Ibid., hal 22

18 39 udara tidak ditentukan oleh pemerintah seperti usul Inggris, tetapi diatur oleh International Air Authority. 18 Usul gabungan (joint proposal) yang disampaikan oleh Australia dan Selandia Baru dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamnya dimiliki oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dibentuk dan perusahaan penerbangan internasional tersebut melakukan rute-rute penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di daerah bersangkutan. Usul gabungan yang diajukan oleh Australia dengan Selandia Baru rersebut ditolak oleh konferensi, tetapi usul tersebut mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago Di dalam pasal tersebut dikatakan tidak ada larangan pembentukan perusahaan penerbangan internasional yang dioperasikan bersama (international joint operation agency). 19 Semua usul yang dikemukakan oleh Amerika Serikat, Inggris, Kanada maupun usul gabungan Australia dengan Selandia Baru ditoiak oleh konferensi penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago Menurut Pasal tersebut tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan ke negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbale balik. Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan tersebut secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, oleh 18 Ibid 19 Ibid., hal 23

19 40 karena itu, konferensi penerbangan sipil internasional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan International Air Services Transit Agreement dan International Air Transport Agreement yang telah dibahas di atas. Di samping itu, konferensi penerbangan sipil internasional juga mengesahkan dokumen tentang International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, Interim Agreement on International Civil Aviation yang melahirkan Provisional International Civil Aviation Organization dan Chicago Standard Form Agreement yang akan digunakan sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal balik. 4. Operasi Penerbangan Sebagaimana disebutkan di atas, sepanjang menyangkut keselamatan penerbangan, khususnya ketentuan yang berkenaan dengan operasi penerbangan, konferensi penerbangan sipil internasional sepakat hampir semua ketentuan yang pernah diatur dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Havana 1928 disetujui untuk diatur kembali dalam Konvensi Chicago Ketentuanketentuan operasi penerbangan tersebut antara lain penerbangan tanpa penerbang (pilotless), terbang di daerah terlarang, pendaratan di bandara yang ditetapkan, peraturan yang berlaku untuk operasional, lalu lintas udara, pencegahan wabah kolera, tipes, cacar air, penyakit kuning, dan lain-lain, pencarian dan pertolongan pada kecelakaan pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, pesawat udara dalam bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara, dokumen

20 41 penerbangan, sertifikasi awak pesawat udara dan pesawat udara, peralatan, dan lain-lain Daerah Terlarang (Prohibited Area) Pesawat udara nasional maupun asing dilarang terbang di atas daerah terlarang (prohibited area) atau daerah terbatas (restricted area) untuk menjamin keselamatan penerbangan (aviation safety), ekonomi nasional (national prosperity), maupun keamanan nasional (national security). Larangan tersebut berlaku umum terhadap pesawat udara mana pun juga, tidak boleh diskriminasi. Bila pesawat udara asing dilarang terbang di daerah tersebut, pesawat udara nasional juga harus dilarang. Penentuan daerah terlarang hanya didasari atas pertimbangan keamanan nasional (national security), keselamatan penerbangan (aviation safety) maupun kemakmuran nasional (national prosperity. Tidak boleh penentuan daerah terlarang atas pertimbangan politik seperti pernah dilakukan oleh India, di mana pesawat udara milik Pakistan dilarang terbang dari Pakistan Barat ke Pakistan Timur (sekarang bernama Bangladesh), melalui rute penerbangan yang biasanya digunakan, tetapi pesawat udara tersebut diperintahkan terbang melalui jalur penerbangan yang sangat jauh sehingga memakan biaya operasi yang sangat besar. Bila pesawat udara asing maupun nasional terlanjur berada di daerah terlarang, pesawat udara tersebut segera diinformasikan agar pesawat udara segera meninggalkan daerah terlarang. Namun demikian, bila mereka tidak menyadari posisinya, pesawat udara tersebut dikejar dan dipaksa untuk mendarat di bandar 20 Ibid., hal 24

21 42 udara (airport) atau pangkalan udara (airbase) yang berdekatan. Pesawat udara tersebut tidak boleh ditembak, karena penembakan pesawat udara sipil bertentangan dengan semangat keselamatan yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, bertentangan dengan ajaran hukum (doctrine) tentang bela diri maupun bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Semangat konvensi Chicago 1944 adalah keselamatan penerbangan (safety first), sedangkan ajaran hukum tentang bela diri mengatakan bahwa tindakan penembakan pesawat udara terhadap pesawat udara sipil, tidak seimbang dengan kesalahan yang dilakukan oleh pesawat udara sipil yang terlanjur terbang di daerah larangan terbang. Pesawat udara sipil yang ditembak jelas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia karena pesawat udara sipil tidak dipersenjatai, padahal pesawat udara yang menembak dipersenjatai Hukum dan Regulasi Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, baik untuk operasi penerbangan nasional maupun internasional yang berasal atau ke Negara tersebut. Namun demikian, peraturan tersebut harus berlaku terhadap semua pesawat udara nasional maupun internasional. Bila negara tersebut mengeluarkan peraturan harus mempertimbangkan keselamatan penerbangan sipil. Hukum dan regulasi penerbangan yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut, kecuali pesawat udara yang terbang di atas laut lepas akan 21 Ibid., hal 25

22 43 berlaku hukum internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan pelaksanaannya Customs Immigration Quarantine, dan Wabah Penyakit Pesawat udara nasional maupun asing, kecuali melakukan, pendaratan darurat hanya dapat diizinkan melakukan pendaratan pada bandar udara yang dilengkapi dengan petugas bea cukai (customs), imigrasi (immigration) dan karantina (quarantine) baik karantina tumbuh-tumbuhan hewan maupun kesehatan. Semua penumpang maupun barang yang diterima maupun yang akan dikirim harus mematuhi hukum dan regulasi negara tersebut. 23 Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional, khususnya harus bebas dari wabah penyakit kolera, tipus, cacar air, penyakit kuning, dan flu burung. 24 Oleh karena negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional harus bekerjasama erat, saling menjamin terselenggaranya penerbangan internasional yang bebas dari wabah penyakit tersebut. Konsultasi terus menerus berlangsung tanpa ada kecurigaan yang tidak baik terhadap negara anggota lainnya. Dalam hal-hal tertentu di suatu negara melarang penumpang turun dari pesawat udara sebelum diadakan disinsektisasi oleh negara tersebut. 8. Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara Di dalam hukum internasional setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran 22 Ibid., hal Pasal 13 Konvensi Chicago Pasal 14 Konvensi Chicago 1944.

23 44 dan kebangsaan (nationality and registration mark). 25 Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip pendaftaran tunggal. Tidak ada pesawat udara secara resmi diakui mempunyai pendaftaran ganda (dual registration), 26 Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang telah sehingga pesawat udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus menampilkan (display) tanda pendaftaran dan kebangsaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris Menurut konvensi Chicago 1944 prosedur dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat terjadi perbedaan persyaratan pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara yang lain. Persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 25 Pasal 20 Konvensi Chicago Pasal 18 Konvensi Chicago 1944

24 45 Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang telah memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan bila melakukan penerbangan dalam negeri maupun penerbangan internasional. Sebaliknya pesawat udara tersebut mempunyai kewajiban mematuhi semua hukum dan regulasi penerbangan nasional maupun internasional. Sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, pesawat udara juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pesawat udara melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut dapat disita oleh negara yang bersangkutan. Pesawat udara harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Demikian pula pesawat angkasa maupun kapal laut. Hal ini berbeda dengan kendaraan darat. Kendaraan darat tidak wajib mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Dahulu sebelum tahun 1926 ada konvensi internasional yang mengharuskan pendaftaran dan kebangsaan kendaraan darat, tetapi sesudah tahun 1926, tidak ada konvensi yang mengharuskan kendaraan darat mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Pendaftaran kendaraan darat yang sekarang ada bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan, tetapi untuk

25 46 keperluan statistik kriminal, dan administrasi bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan. 27 Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat udara didaftarkan di negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara lain, negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga mempunyai kewajiban untuk memberi tahu pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan international harus dilengkapi sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration mark). Dalam hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi dengan sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, merupakan pelanggaran hukum nasional maupun hukum internasional Pencarian dan Pertolongan Kecelakaan Pcsawat Udara Dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara, negara tempat kecelakaan pesawat udara terjadi mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk memberi pertolongan pesawat udara yang menghadapi bahaya atau mengalami kecelakaan. Negara tempat pesawat udara menghadapi bahaya wajib mengizinkan pemilik pesawat udara atau pejabat negara tempat pesawat udara didaftarkan untuk memberi bantuan atau langkah-langkah yang mungkin diperlukan oleh pesawat udara yang menghadapi bahaya. Dalam hal pesawat udara hilang, perlu ada kerja sama dalam pencarian dan pertolongan terhadap 27 Ibid., hal Ibid., hal 30

26 47 pesawat udara yang menghadapi bahaya. Pelaksanaan pencarian dan pertolongan tersebut diatur lebih lanjut dalam Annex 12 Konvensi Chicago Pencarian dan pertolongan pesawat udara dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pada tataran regional telah diatur dalam perjanjian secara multilateral di antara Negaranegara Asean. 10. Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara Investigasi kecelakaan pesawat udara diatur dalam Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara di wilayah negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil internasional, negara tersebut mempunyai kewajiban untuk mengadakan investigasi penyebab kecelakaan pesawat udara. Sepanjang hukum nasional mengizinkan, prosedur dan tata cara investigasi kecelakaan pesawat udara mengacu kepada rekomendasi yang diberikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti kedudukan hukum nasional lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan hukum internasional negara tempat pesawat udara didaftarkan (negara pendaftar) diberi kesempatan untuk mengirim perwakilan resmi guna menyaksikan proses investigasi kecelakaan pesawat udara. Hal ini diperlukan karena sebagian besar catatan mengenai dokumentasi pesawat udara yang bersangkutan ada di negara tempat pesawat udara didaftarkan. Sebagai implementasi ketentuan pasal tersebut telah dikeluarkan Annex 13 Konvensi Chicago 1944 tentang Aircraft Accident Investigation sebagai panduan bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara.

27 48 Dalam hukum nasional Indonesia, investigasi kecelakaan pesawat udara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun demikian perlu dicatat di sini bahwa tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan pesawat udara dengan sebab yang sama, bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. 11. Dokumen Penerbangan Setiap penerbangan internasional harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum internasional, dalam hal ini Konvensi Chicago Menurut Pasal 29 Konvensi Chicago 1944 setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dokumen penerbangan yang terdiri dari; (a) sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration) pesawat udara; (a) sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness); (b) sertifikat kecakapan (certificate of competency) semua awak pesawat udara; (c) buku perjalanan penerbangan (log book); (d) bila pesawat udara tersebut dilengkapi dengan peralatan radio, harus dilengkapi dengan sertifikat stasiun radionya; (e) bila pesawat udara mengangkut penumpang harus dilengkapi dengan daftar penumpang (passenger s manifest), baik nama dan tempat keberangkatannya;

28 49 (f) bila pesawat udara mengangkut kargo, harus dilengkapi dengan daftar barang (cargo manifest) beserta perinciannya; (g) deklarasi umum (general declaration) Amunisi Kecuali atas persetujuan dari negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan, tidak ada pesawat udara yang mengangkut amunisi atau bahanbahan yang digunakan untuk perang, diangkut melalui ruang udara negara anggotaorganisasi Penerbangan Sipil Internasional Iainnya. Setiap negara berhak mengatur pengangkutan amunisi atau barang-barang yang digunakan untuk perang melewati wilayah udara mereka. Pengaturan tersebut bersifat seragam sesuai dengan rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. Dalam hukum internasional pengaturan bahan-bahan berbahaya tersebut direkomendasikan dalam Annex 18 Konvensi Chicago Setiap negara berhak untuk menolak pengangkutan tersebut atas pertimbangan keselamatan (aviation safety) dan keamanan nasional (national security). Larangan pengangkutan tersebut berlaku baik untuk penerbangan pesawat udara nasional maupun pesawat udara asing (nondiscrimination treatment). 13. Sertifikasi Pesawat Udara dan Awak Pesawat Udara Semua pesawat udara yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) Sertifikat kelaikan udara tersebut dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Dalam hal pesawat udara dioperasikan bersama secara 29 Ibid., hal 32

29 50 internasional (joint international operation), salah satu negara harus ditunjuk sebagai Negara pendaftar pesawat udara yang berhak mengeluarkan sertifikat kelaikan udara. Sertifikat kelaikan udara tersebut dapat diakui sah oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan (over flown state), bilamana persyaratan untuk memperoleh sentifikat kelaikan udara tersebut minimum sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pensyaratan yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Dalam hal sewa guna usaha (leasing) pesawat udara tanpa diikuti dengan awak pesawat udara (dry lease), negara pendaftar sebagai negara lessor dapat mendelegasikan kepada negara perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara (lessee state) untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) awak pesawat udara. Misalnya Garuda Indonesia menyewa pesawat udara Martin Air registrasi PH (Belanda). Maka pemerintah Belanda mendelegasikan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara tempat perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara tanpa awak pesawat udara untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara. Pendelegasian wewenang untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia tersebut tidak berlaku terhadap negara ketiga karena pendelegasian tersebut hanya bersifat bilateral antara Belanda dengan Indonesia, kecuali Belanda dan Indonesia meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago Bila Belanda maupun Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944,

30 51 pendelegasian tersebut dapat diakui oleh negara selain Belanda dan Indonesia, sepanjang negara tersebut juga meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago Setiap sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang secara sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan wajib diakui sah oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lainnya. Pengakuan tersebut dapat dilakukan bila persyaratan untuk memperoleh sertifikat kecakapan tersebut sama atau di atas persyaratan minimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagaima disebutkan di atas, yang secara terus menerus ditumbuhkembangkan. Setiap kapten penerbang atau awak pesawat udara lainnya yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Namun demikian, negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan internasional tersebut berhak untuk tidak mengakui sertifikat yang dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Semua sertifikat pendaftaran pesawat udara (aircraft registration), sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness), sertifikat kecakapan semua awak pesawat udara (certificate of competency) harus dibawa dalam penerbangan internasional. Disamping itu, selama penerbangan internasional juga harus dilengkapi dengan buku harian perjalanan (log book) yang berisikan terutama pesawat udara beserta 30 Ibid., hal 34

31 52 awak pesawat udara dalam formulasi yang terus menerus ditumbuhkembangkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. 31 Tidak ada sertifikat kelaikan udara atau sertifikat kecakapan awak pesawat udara yang ditandatangani (endorsed) otomatis dapat berlaku untuk penerbangan internasional kecuali telah memperoleh persetujuan dari negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan Pasal 33 Konvensi Chicago Pasal 40 Konvensi Chicago 1944.

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin

Lebih terperinci

PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINTASI ANTAR NEGARA JURNAL

PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINTASI ANTAR NEGARA JURNAL PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL YANG MELINTASI ANTAR NEGARA JURNAL Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN MULTILATERAL ASEAN TENTANG JASA ANGKUTAN UDARA

PERSETUJUAN MULTILATERAL ASEAN TENTANG JASA ANGKUTAN UDARA PERSETUJUAN MULTILATERAL ASEAN TENTANG JASA ANGKUTAN UDARA Pemerintah pemerintah dari Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos (selanjutnya disebut Laos),

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL. D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional

BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL. D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional Sejarah penerbangan sipil internasional dapat dilihat dari perkembangan lintas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Udara Internasional Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 34 TAHUN 1994 (34/1994) TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997)

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 6/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRATIK SRI LANKA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 99, 2004 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 83, 2004 () KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 14/1999, PENGESAHAN AMENDED CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION (KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH)

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 21, 1999 PERJANJIAN. RATIFIKASI. INMARSAT. SATELIT. KONVENSI. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14

Lebih terperinci

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Pasal 2 (3) dari Piagam PBB Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa

Lebih terperinci

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention This translation was kindly prepared by Dr. Afifah Kusumadara, Vannia Nur Isyrofi, and Hary Stiawan (lecturer and students at the Faculty of

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003

K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003 K185 PERUBAHAN DOKUMEN IDENTITAS PELAUT, 2003 1 K-185 Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 2003 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di IMPLEMENTASI KONVENSI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL DALAM PENGATURAN ASPEK KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENERBANGAN DI INDONESIA Daisy Puji Gayatri, Agus Pramono, Joko Setiyono Hukum Internasional, Fakultas

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli. NEGARA DAN INDIVIDU NASIONALITAS Merupakan status hukum keanggotaan kolektivitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya dijamin melalui konsep hukum negara yang

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.118, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Penyelenggaraan. Pengusahaan. Angkutan Multimoda. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 8 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci