SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum"

Transkripsi

1 Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum 1. Para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di laut terikat oleh prinsip dan ketentuan hukum humaniter internasional yang berlaku sejak kekuatan bersenjata mulai digunakan. 2. Dalam hal tidak diatur dalam dokumen ini atau oleh perjanjian internasional lainnya, penduduk sipil dan kombatan tetap dibawah perlindungan dan otoritas prinsip hukum internasional yang bersumber dari kebiasaan internasional, dari prinsip kemanusiaan dan dari nilai-nilai yang diterima masyarakat. Bagian II Konflik Bersenjata dan Hukum Pembelaan Diri. 3. Pelaksanaan hak pembelaan diri individu atau kelompok yang diakui dalam pasal 51 Piagam PBB tunduk pada persyaratan dan batasan yang termuat dalam Piagam PBB dan dalam hukum internasional umum khususnya prinsip kepentingan dan prinsip proporsional. 4. Prinsip kepentingan dan prinsip proporsional berlaku sama untuk semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di laut dan mensyaratkan bahwa tindakan perlawanan yang dilakukan suatu negara tidak boleh berlebihan dalam tingkat dan jenis kekuatan yang digunakan untuk menghalau serangan bersenjata terhadapnya dan untuk mengembalikan keamanan negara, meskipun tidak dilarang oleh hukum konflik bersenjata. 5. Seberapa jauh suatu negara dibenarkan melakukan aksi militernya melawan musuh akan bergantung pada intensitas dan skala serangan bersenjata yang dapat dipertanggungjawabkan kepada musuh dan bergantung pada intensitas dan skala ancaman yang ada. 6. Aturan yang tercantum dalam dokumen ini dan dalam aturan hukum humaniter internasional lainnya harus diterapkan sama bagi pihak-pihak yang bersengketa. Penerapan yang sama atas ketentuan ini terhadap pihak yang bersengketa tidak boleh dipengaruhi oleh tanggung jawab internasional yang dipikul oleh salah satu pihak karena memulai sengketa. Bagian III Konflik Bersenjata Yang Telah Ditangani Dewan Keamanan PBB 7. Terlepas dari ketentuan dalam dokumen ini atau lainnya tentang hukum netralitas, bila Dewan Keamanan PBB bertindak sesuai kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB telah menyatakan satu atau lebih pihak yang berkonflik bersenjata sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum internasional, maka negara-negara netral : a. Terikat untuk tidak memberikan bantuan selain bantuan kemanusiaan kepada negara yang berkonflik senjata tersebut, dan b. Dapat memberikan bantuan ke negara manapun yang telah menjadi korban dari pelanggaran perdamaian atau korban tindakan agresi oleh negara yang berkonflik bersenjata tersebut. 1

2 8. Dalam hal penanganan suatu konflik bersenjata internasional, apabila Dewan Keamanan PBB telah mengambil tindakan pencegahan atau penegakan dengan menerapkan tindakan ekonomi berdasarkan Bab VII Piagam PBB, negara-negara anggota PBB tidak dapat mendasarkan hukum netralitas untuk membenarkan tindakan yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Piagam PBB atau berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB. 9. Dengan tunduk kepada ketentuan paragraf 7, di mana Dewan Keamanan PBB telah mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan bersenjata, atau memberikan wewenang penggunaan kekuatan bersenjata kepada negara tertentu atau kelompok negara tertentu, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam dokumen ini dan ketentuan-ketentuan lain dari Hukum Humaniter Internasional yang berlaku pada konflik bersenjata di laut harus diberlakukan kepada pihak-pihak yang bersengketa terhadap berbagai konflik yang mungkin terjadi. Bagian IV Daerah Peperangan Laut 10. Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain hukum sengketa bersenjata yang berlaku di laut yang termuat dalam dokumen ini atau dokumen lainnya, aksi tempur oleh kekuatan Angkatan Laut dapat dilaksanakan di laut dan atau udara di atasnya : a. Laut teritorial, perairan pedalaman, wilayah daratan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, serta bila ada, perairan kepulauan dari negara-negara yang berperang. b. Laut lepas, dan c. Zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen negara-negara netral sebagai mana diatur pada paragraf 34 dan Para pihak yang bersengketa harus berusaha saling sepakat bahwa tidak ada aksi tempur yang dilakukan di daerah-daerah laut yang terdiri : a. Ekosistem yang rawan atau langka, atau b. Habitat yang dilindungi, species atau bentuk lainnya kehidupan lingkungan laut yang dalam bahaya atau yang terancam. 12. Dalam melaksanakan operasi di daerah-daerah dimana negara-negara netral mempunyai hak berdaulat, yurisdiksi, atau hak-hak lainnya berdasarkan hukum internasional umum, maka pihak yang berperang harus tetap menghormati hak dan kewajiban yang sah dari negara-negara netral tersebut. 13. Untuk maksud dalam dokumen ini : Bagian V Definisi a. Hukum Humaniter Internasional berarti ketentuan internasional, ditetapkan melalui traktat atau kebiasaan yang membatasi hak pihak yang berkonflik dalam menggunakan sarana atau metoda peperangan yang mereka pilih, atau untuk melindungi negara-negara yang tidak terlibat konflik atau orang-orang atau obyek-obyek yang akan atau mungkin terkena akibat karena adanya konflik. b. Serangan berarti tindakan kekerasan dalam menyerang atau bertahan. c. Korban ikutan atau Kerusakan ikutan berarti hilangnya kehidupan, atau terlukanya penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi lainnya, dan rusak atau hancurnya lingkungan alam atau obyek-obyek yang bukan merupakan sasaran militer. d. Netral berarti negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik. 2

3 e. Kapal rumah sakit, perahu penyelamat pantai, dan transportasi medis lainnya berarti kendaraan air yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa II tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun f. Pesawat udara medis berarti pesawat udara yang dilindungi oleh Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun g. Kapal perang berarti kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus karakter dan kebangsaan kapal tersebut, dibawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintahan negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa yang sesuai dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler. h. Kendaraan air serba guna berarti kendaraan air selain kapal perang yang dimiliki atau dibawah kendali resmi angkatan bersenjata suatu negara dan sedang digunakan dalam kegiatan non komersial pemerintah. i. Kendaraan air niaga berarti kendaraan air selain kapal perang, selain kendaraan air serba guna, atau kendaraan air pemerintah seperti kapal bea cukai atau kapal kepolisian, yang dilibatkan untuk kegiatan komersial atau pribadi. j. Pesawat udara militer berarti pesawat udara yang dioperasikan oleh kesatuan resmi angkatan bersenjata suatu negara dengan memiliki tanda-tanda militer negara yang bersangkutan, dikomandani oleh anggota angkatan bersenjata dan diawaki oleh anak buah yang tunduk pada aturan disiplin angkatan bersenjata. k. Pesawat udara serba guna berarti kapal udara selain pesawat udara militer yang dimiliki atau dibawah kendali angkatan bersenjata Negara tersebut dan digunakan pada kegiatan pemerintah diluar kegiatan niaga. m. Pesawat udara sipil berarti pesawat udara selain pesawat udara militer, pesawat udara serba guna, atau pesawat uadar pemerintah seperti pesawat udara bea cukai atau pesawat udara kepolisian, yang dilibatkan untuk kegiatan komersial atau pribadi. n. Penerbangan sipil berarti pesawat udara sipil yang mempunyai tanda jelas dan dilibatkan untuk pengangkutan penumpang sipil secara terjadwal atau yang tidak terjadwal sesuai rute dari dinas pengaturan lalu lintas udara. BAB II KAWASAN OPERASI Bagian I Perairan Pedalaman, Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan. 14. Perairan netral terdiri dari perairan pedalaman, laut teritorial dan, bila ada, perairan kepulauan negara-negara netral. Ruang udara netral terdiri dari ruang di atas perairan netral dan wilayah daratan negara-negara netral. 15. Didalam dan diatas perairan netral, termasuk perairan netral yang didalamnya terdapat selat internasional dan perairan dimana hak lintas laut alur kepulauan dapat dilaksanakan, aksi-aksi tempur oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang adalah dilarang. Suatu negara netral harus mengambil beberapa tindakan yang konsisten dengan bagian II pada bab ini, termasuk melaksanakan pengamatan, sebagai sarana yang diijinkan, untuk mencegah adanya pelanggaran tentang kenetralannya oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang. 3

4 16. Aksi-aksi tempur yang dimaksud pada paragraf 15 antara lain : a. Menyerang atau menangkap orang atau obyek yang berlokasi di laut dan atau udara di atas perairan atau daerah netral. b. Menggunakan untuk pangkalan operasi, termasuk menyerang atau menangkap orang atau obyek yang berlokasi di luar perairan netral, bila penyerangan atau penyitaan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang berlokasi di laut dan atau udara di atas perairan netral. c. Menyebarkan ranjau, atau d. Memeriksa, mencari keterangan, membelokkan arah atau menangkap. 17. Kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang tidak boleh menggunakan perairan netral sebagai tempat perlindungan. 18. Pesawat udara militer dan pesawat udara serba guna pihak yang berperang tidak boleh memasuki wilayah udara netral. Jika mereka melakukannya, maka negara netral harus menggunakan sarana yang ada padanya untuk meminta pesawat udara tersebut mendarat dalam wilayah negara netral dan harus menahan pesawat udara bersama awaknya selama konflik bersenjata berlangsung. Jika pesawat udara tersebut menolak perintah untuk mendarat, dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan khusus yang berkaitan dengan pesawat udara medis sebagaimana tercantum pada paragraf , maka pesawat udara tersebut dapat diserang. 19. Dengan tunduk pada ketentuan paragraf 29 dan 33, negara netral berdasarkan prinsip nondiskiriminasi dapat memberikan persyaratan, pembatasan atau pelarangan memasuki atau melintasi perairan netralnya yang dilakukan oleh kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang. 20. Dengan tunduk pada kewajiban ketidak-berpihakan, dan ketentuan paragraf 21 dan 23-33, dan berdasar pada ketentuan-ketentuan demikian yang dapat ditetapkan, tanpa membahayakan kenetralan yang dimiliki, negara netral dapat mengijinkan tindakan-tindakan berikut di dalam perairan netralnya : a. Melintasi laut wilayahnya, dan bila ada melalui perairan kepulauannya, bagi kapal perang, kendaraan-kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan negara yang berperang. Kapal perang, kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan boleh menggunakan pandu dari negara netral selama melintas. b. Bekal ulang yang dilakukan oleh kapal perang atau kendaraan air serba guna negara-negara yang berperang berupa makanan, air tawar, dan bahan bakar secukupnya untuk mampu mencapai suatu pelabuhan di wilayahnya sendiri, dan c. Perbaikan seperlunya bagi kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang dilakukan oleh negara netral hanya untuk membuat mampu berlayar kembali, perbaikan demikian tidak diperbolehkan untuk mengembalikan atau meningkatkan kekuatan tempurnya. 21. Kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang tidak diperbolehkan memperpanjang waktu melintasi perairan netral, atau keberadaannya di perairan tersebut untuk bekal ulang atau untuk perbaikan melebihi 24 jam kecuali adanya sesuatu hal yang tidak dapat dihindari karena kerusakan atau gangguan cuaca. Ketentuan diatas tidak berlaku di selat internasional dan di perairan dimana hak lintas hak lintas alur kepulauan dapat dilaksanakan. 22. Jika pihak yang berperang melakukan pelanggaran rezim perairan netral, seperti yang tercantum dalam dokumen ini, negara netral berkewajiban mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Bila negara netral gagal dalam menghentikan pelanggaran yang terjadi di wilayahnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperang, maka pihak berperang yang lain harus memperingatkan pada negara netral dan memberikan waktu yang cukup kepada 4

5 negara netral tersebut untuk terus menghentikan pelanggaran-pelanggaran kenetralan yang dilakukan oleh pihak yang berperang. Bila pelanggaran terhadap netralitas suatu negara yang dilakukan oleh pihak yang berperang menimbulkan ancaman mendadak dan serius bagi keamanan musuh pihak yang berperang dan pelanggaran tersebut tidak dihentikan, maka musuh pihak yang berperang, tanpa diketahui dan sesegera mungkin, dapat menggunakan beberapa kekuatannya yang diperlukan langsung untuk merespon ancaman yang timbul dari pelanggaran tersebut. Bagian II Selat Internasional dan Alur Laut Kepulauan Ketentuan Umum 23. Kapal perang dan kendaraan air serbaguna dan pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna pihak yang berperang dapat melaksanakan hak lintas melalui di bawah atau di atas selat internasional netral dan alur laut kepulauan yang ditetapkan oleh hukum internasional umum. 24. Kenetralan dari suatu negara yang berbatasan dengan selat internasional harus tidak terancam oleh lintas transit kapal perang, kendaraan air serbaguna atau pesawat udara militer atau pesawat udara serbaguna pihak yang berperang. Juga tidak terancam oleh lintas damai kapal perang atau kendaraan air serbaguna pihak yang berperang setelah melalui selat tersebut. 25. Kenetralan dari negara kepulauan harus tidak terancam oleh pelaksanaan lintas laut alur kepulauan oleh kapal perang, kendaraan air serbaguna atau pesawat udara militer atau pesawat udara serbaguna pihak yang berperang. 26. Kapal perang, kendaraan air serbaguna dan pesawat udara serbaguna netral dapat melaksanakan hak melintas seperti apa yang tercantum dalam hukum internasional umum melalui, di bawah dan di atas selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang. Sebagai tindakan pencegahan, negara netral harus selalu memberitahu pelaksanaan hak lintasnya kepada pihak yang berperang. Lintas transit dan lintas alur laut kepulauan 27. Hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang berlaku di selat internasional dan perairan kepulauan pada masa damai tetap berlaku pada masa konflik bersenjata. Hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbatasan dengan selat dan negara kepulauan yang berkaitan dengan lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan berdasar hukum internasional umum tetap diberlakukan. 28. Kapal perang atas air, kapal selam, dan pesawat udara pihak yang berperang dan netral memiliki hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan melalui, dibawah, dan di atas semua selat dan perairan kepulauan dimana hak ini berlaku secara umum. 29. Negara netral tidak diperbolehkan menangguhkan, mempersulit, atau dengan kata lain menghalangi hak lintas transit atau hak lintas alur laut kepulauan. 30. Pihak yang berperang selama lintas transit melalui, di bawah dan di atas suatu selat internasional netral, atau selama lintas alur laut kepulauan di bawah dan di atas peraian kepulauan netral, dipersyaratkan lewat tanpa menunda untuk menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata terhadap intergritas wilayah atau kebebasan berpolitik negara pantai atau negara kepulauan netral atau segala tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB, atau dengan kata lain menahan diri dari setiap aksi tempur atau kegiatan lain yang tidak sesuai dengan perlintasannya. Pihak yang berperang yang melintas melalui, dibawah dan diatas selat netral atau perairan netral dimana berlaku hak lintas alur laut kepulauan diijinkan untuk mengambil tindakan defensif sesuai dengan situasi keamanan mereka, termasuk menerbangkan dan mendaratkan pesawat udara, berlayar dalam formasi tabir dan pengamatan akustik dan elektronik. Pihak yang berperang selama lintas transit dan lintas alur kepulauan, bagaimanapun juga, tidak dapat 5

6 melaksanakan operasi ofensif terhadap kekuatan bersenjata musuh atau menggunakan perairan netral tersebut sebagai tempat perlindungan atau sebagai pangkalan operasi. Lintas damai 31. Sebagai tambahan pada pelaksanaan hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan, kendaraan air dan kendaraan air serbaguna pihak yang berperang, dengan tunduk pada ketentuan paragraf 19 dan 21, dapat melaksanakan tindakan hak lintas damai di selat internasional netral dan perairan kepulauan sesuai dengan hukum internasional umum. 32. Kendaraan air netral dapat melaksanakan tindakan yang menyerupai hak lintas damai di selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang. 33. Hak lintas damai tanpa penangguhan di selat internasional tertentu yang diakui oleh hukum internasional, tidak dapat ditunda selama berlangsung konflik bersenjata. Bagian III Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen 34. Bila aksi tempur dilaksanakan dalam zona ekonomi eksklusif atau pada landas kontinen negara netral, sebagai tambahan adanya ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam hukum konflik bersenjata, pihak yang berperang harus menghormati sebagaimana mestinya hak dan kewajiban negara pantai, antara lain dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber ekonomi di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut. Mereka secara khusus, harus menghormati sebagaimana mestinya pulau-pulau buatan, instalasi bangunan serta kawasan aman yang ditetapkan negara netral di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen. 35. Bila pihak yang berperang menganggap perlu untuk menyebar ranjau di zona ekonomi eksklusif atau dilandas kontinen suatu negara netral, pihak yang berperang harus memberitahu kepada negara tersebut, dan harus menjamin antara lain bahwa luas daerah sebaran ranjau dan jenis ranjau yang digunakan tidak akan membahayakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan atau tidak akan mengganggu akses ke tempat tersebut dan harus menghindari sejauh mungkin gangguan yang timbul terhadap eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut yang dilakukan negara netral. Harus juga memperhatikan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Bagian IV Laut Lepas dan Dasar Laut Diluar Yurisdiksi Nasional 36. Aksi-aksi tempur dilaut lepas harus dilaksanakan dengan memperhatikan sebagaimana mestinya pelaksanaan hak ekplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam dasar laut, dan dasar samudera, dan tanah di bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional suatu negara netral. 37. Pihak yang berperang harus hati-hati untuk menghindari kerusakan kabel dan jaringan pipa dasar laut yang tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan pihak yang berperang. BAB III ATURAN DASAR DAN PEMBEDAAN SASARAN Bagian I Aturan Dasar 38. Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak yang bersengketa untuk memilih sarana atau metode peperangan adalah tidak tak terbatas. 6

7 39. Para pihak yang berkonflik setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi dengan kombatan dan antara obyek sipil atau obyek yang dikecualikan dengan sasaran militer. 40. Sejauh mengenai obyek, sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang karena sifat, tempat, peruntukan, atau penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap aksi militer dan obyek yang penghancuran seluruh atau sebagian serta penguasaan atau netralisasinya pada situasi yang berlaku pada saat itu, memberikan keuntungan militer yang berarti. 41. Serangan harus dibatasi hanya terhadap sasaran militer. Kendaraan air niaga dan pesawat udara sipil merupakan obyek sipil kecuali mereka merupakan sasaran militer menurut prinsip dan aturan yang tercantum dalam dokumen ini. 42. Sebagai tambahan dari berbagai larangan tertentu yang mengikat pihak yang berkonflik, dilarang menggunakan sarana atau metode peperangan yang : a. Karena sifatnya dapat menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau b. Secara membabibuta, yaitu : 1) Yang tidak, atau tidak dapat ditujukan terhadap sasaran militer tertentu; atau 2) Akibat yang ditimbulkannya tidak dapat dibatasi sebagaimana yang disyaratkan hukum internasional yang tercermin dalam dokumen ini. 43. Dilarang memberikan perintah yang bersifat pemusnahan, memberikan ancaman terhadap berbagai hal atau melakukan permusuhan dengan mendasarkan hal tersebut. 44. Sarana dan metode peperangan harus dipergunakan dengan memperhatikan sebagaimana mestinya lingkungan alam sesuai yang diatur pada aturan hukum internasional. Pengrusakan atau penghancuran lingkungan alam yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan sengaja adalah dilarang. 45. Kapal atas air, kapal selam dan pesawat udara terikat oleh prinsip dan aturan yang sama. Bagian II Tindakan Pencegahan Dalam Penyerangan 46. Berkenaan dengan penyerangan, tindakan pencegahan berikut ini harus dilaksanakan : a. Mereka yang merencanakan, membuat keputusan atau yang melaksanakan suatu serangan harus mengambil tindakan-tindakan yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi yang akan membantu dalam menentukan ada atau tidaknya obyek-obyek yang bukan sasaran militer di daerah penyerangan. b. Bila informasi yang dimaksud ada padanya, mereka yang merencanakan, membuat keputusan atau melaksanakan suatu serangan harus melakukan segala tindakan yang mungkin untuk menjamin bahwa serangan yang dilakukan, hanya ditujukan terhadap sasaran militer. c. Mereka selanjutnya harus melaksanakan tindakan pencegahan yang memungkinkan dalam pemilihan sarana dan metode untuk menghindari atau meminimalkan korban atau kerusakan ikutan, dan d. Suatu serangan harus tidak dilakukan jika diperkirakan dapat menimbulkan korban atau kerusakan ikutan yang berlebihan dalam kaitannya dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang diantisipasi dari serangan secara keseluruhan. Suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda segera setelah nyata timbul korban atau kerusakan ikutan yang berlebihan. 7

8 Bagian VI bab ini akan memberikan tambahan tindakan pencegahan yang berkenaan dengan pesawat udara sipil. Bagian III Kendaraan Air dan Pesawat Udara Musuh Yang Dikecualikan dari Serangan Kelompok kendaraan air yang dikecualikan dari serangan 47. Kelompok kendaraan air musuh berikut ini dikecualikan dari serangan : a. Kapal rumah sakit. b. Perahu kecil yang digunakan untuk operasi penyelamatan di pantai dan transportasi medis lainnya. c. Kendaraan air yang dijamin aman berdasarkan perjanjian antar pihak yang berperang, meliputi : 1) Kendaraan air cartel seperti kendaraan air yang ditunjuk dan dilibatkan dalam pengangkutan tawanan perang. 2) Kendaraan air yang dilibatkan dalam tugas kemanusiaan, termasuk kendaraan air yang mengangkut barang-barang kebutuhan demi kelangsungan hidup masyarakat sipil, dan kendaraan air yang dilibatkan untuk aksi bantuan bencana dan operasi penyelamatan. d. Kendaraan air yang dilibatkan untuk transportasi benda budaya dibawah perlindungan khusus. e. Kendaraan air penumpang yang dilibatkan hanya untuk mengangkut penumpang sipil. f. Kendaraan air yang disewa oleh misi keagamaan, tugas-tugas ilmiah non militer dan misi kemanusiaan. Kendaraan air pengumpul data ilmiah untuk kepentingan militer tidak dilindungi. g. Perahu kecil nelayan pantai dan perahu kecil yang dilibatkan dalam perdagangan pantai setempat, tetapi mereka tunduk kepada peraturan-peraturan dan pengawasan Komandan Angkatan Laut pihak yang berperang yang beroperasi didaerah tersebut. h. Kendaraan air yang dirancang atau disesuaikan sedemikian rupa untuk menanggulangi pencemaran lingkungan laut. i. Kendaraan air yang menyerah. j. Alat apung dan perahu penyelamat. Syarat-syarat dikecualikan dari serangan 48. Kendaraan air yang tercantum dalam paragraf 47 dikecualikan dari serangan, hanya bila mereka : a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya. b. Sanggup diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan c. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta. 8

9 Hilangnya pengecualian dari serangan Kapal rumah sakit 49. Pengecualian dari serangan pada kapal rumah sakit akan hilang hanya karena terdapat alasan telah melanggar persyaratan pengecualian pada paragraf 48 dan, dalam hal demikian, hanya setelah diberi peringatan sebagaimana mestinya tentang pelanggaran yang ada dengan waktu yang cukup untuk menghindarkan diri dari hal yang membahayakan pengecualiannya, dan setelah peringatan demikian tetap tidak diindahkan. 50. Bila setelah diberi peringatan sebagaimana mestinya kapal rumah sakit tetap melanggar persyaratan tentang pengecualiannya, maka dia dapat ditangkap atau dilakukan tindakan lain yang perlu untuk memaksa kepatuhannya. 51. Kapal rumah sakit hanya dapat diserang sebagai jalan akhir bila : a. Penghadangan atau penangkapan tidak mungkin dilaksanakan. b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer. c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan. Kategori kendaraan air lainnya yang dikecualikan dari serangan 52. Bila kelompok kendaraan air lainnya yang dikecualikan dari serangan melanggar syarat pengecualian pada paragraf 48, dapat diserang hanya bila: a. Penghadangan atau penangkapan tidak mungkin dilaksanakan. b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer. c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan. Kelompok pesawat udara yang dikecualikan dari serangan 53. Berikut adalah kelompok pesawat udara musuh yang dikecualikan dari serangan : a. Pesawat udara medis b. Pesawat udara yang dijamin aman berdasarkan perjanjian antara para pihak yang bersengketa, dan c. Penerbangan sipil. Persyaratan pengecualian dari serangan bagi pesawat udara medis 54. Pesawat udara medis dikecualikan dari serangan hanya bila mereka : a. Telah diakui demikian. 9

10 b. Bertindak sesuai dengan suatu perjanjian seperti yang diatur pada paragraf 177. c. Terbang di daerah kendali kekuatan militer sendiri atau kekuatan militer kawan, atau d. Terbang di luar daerah konflik bersenjata. Dalam hal lain, pesawat udara medis beroperasi atas risiko mereka sendiri. Persyaratan dikecualikan dari serangan bagi pesawat udara yang dijamin aman 55. Pesawat udara yang dijamin aman dikecualikan dari serangan hanya bila mereka : a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya, dan b. Tidak dengan sengaja menghambat gerakan kombatan, dan c. Mematuhi ketentuan perjanjian, termasuk kesediaan untuk diperiksa. Persyaratan dikecualikan serangan bagi penerbangan sipil 56. Penerbangan sipil dikecualikan dari serangan hanya bila mereka : a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya, dan b. Tidak dengan sengaja menghambat gerakan kombatan. Hilangnya pengecualian 57. Bila pesawat udara yang dikecualikan dari serangan melanggar persyaratan pengecualiannya seperti yang tercantum pada paragraf 54-56, mereka dapat diserang hanya bila : a. Tidak memungkinkan dibelokkan arah untuk mendarat, dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan, dan kemungkinan dilakukan penangkapan. b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer. c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan. 58. Dalam hal timbul keragu-raguan apakah kendaraan air atau pesawat udara yang masuk kategori yang dikecualikan dari serangan sedang digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada suatu aksi militer, hal ini harus dianggap sedang tidak digunakan. Bagian IV Kendaraan Air dan Pesawat Udara Musuh Lainnya Kendaraan air niaga musuh 59. Kendaraan air niaga musuh hanya dapat diserang bila mereka termasuk dalam definisi sasaran militer pada paragraf

11 60. Kegiatan berikut ini dapat menyebabkan kendaraan air niaga musuh sebagai sasaran militer : a. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh, seperti menyebar ranjau, menyapu ranjau, memutus kabel dan jalur pipa bawah laut, terlibat dalam pemeriksaan dan pencarian keterangan kendaraan air niaga netral atau dalam penyerangan terhadap kendaraan air niaga lainnya. b. Bertindak sebagai kendaraan air serbaguna angkatan bersenjata musuh, seperti mengangkut pasukan atau memberi bekal ulang kepada kapal perang. c. Bekerjasama atau memberi bantuan pada sistem pengumpulan data intelijen musuh seperti terlibat dalam pendeteksian, peringatan dini, pengamatan atau tugas-tugas untuk komando, kendali dan komunikasi. d. Berlayar dalam konvoi kapal perang atau pesawat udara militer musuh. e. Menolak perintah untuk berhenti atau secara aktif menolak dari pemeriksaan, pencarian keterangan atau penangkapan. f. Dipersenjatai sedemikian rupa sehingga dapat merusak kapal perang, tidak termasuk senjata ringan perorangan untuk beladiri seperti melawan bajak laut, dan dilengkapi dengan sistem pengacau seperti chaff, atau g. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer seperti mengangkut material militer. 61. Setiap serangan terhadap kendaraan air ini tunduk kepada aturan dasar yang tercantum pada paragraf Pesawat udara sipil musuh 62. Pesawat udara sipil musuh hanya boleh diserang bila mereka termasuk dalam definisi sasaran militer pada paragraf Kegiatan-kegiatan berikut ini dapat menyebabkan pesawat udara sipil musuh sebagai sasaransasaran militer : a. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh seperti menyebar ranjau, menyapu ranjau, meletakkan atau memonitor sensor akustik, terlibat dalam peperangan elektronik, mengintersep atau menyerang pesawat udara sipil lainnya atau memberikan informasi sasaran kepada kekuatan militer musuh. b. Bertindak sebagai pesawat udara serbaguna dalam angkatan bersenjata musuh, seperti mengangkut pasukan atau barang militer atau melakukan pengisian ulang bahan bakar ke pesawat udara militer. c. Bekerjasama atau memberi bantuan pada sistem pengumpulan data intelijen musuh seperti terlibat dalam pendeteksian, peringatan dini, pengamatan atau tugas untuk komando, kendali dan komunikasi. d. Terbang dibawah perlindungan kapal perang musuh atau pesawat udara militer musuh yang menyertainya. e. Menolak perintah identifikasi diri, belok arah keluar dari jalurnya, atau bergerak guna pemeriksaan dan pencarian keterangan menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu, atau mengoperasikan peralatan kendali tembakan yang merupakan bagian dari sistem senjata pesawat udara, atau saat diintersep secara jelas bermanuver menyerang pesawat udara militer pihak yang berperang yang mengintersepnya. 11

12 f. Dipersenjatai dengan senjata udara ke udara atau udara ke permukaan, atau g. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer. 64. Setiap serangan terhadap pesawat udara ini tunduk kepada aturan dasar yang diatur pada paragraf Kapal perang dan pesawat udara militer musuh 65. Kecuali mereka yang termasuk dalam katagori dikecualikan dari serangan sesuai paragraf 47 atau 53, kapal perang dan pesawat udara militer musuh serta kendaraan air serbaguna dan pesawat udara musuh merupakan sasaran militer sesuai pengertian pada paragraf Mereka dapat diserang sesuai aturan dasar pada paragraf Bagian V Kendaraan Air Niaga dan Pesawat Udara Sipil Netral Kendaraan Air Niaga netral 67. Kendaraan air niaga berbendera negara netral tidak boleh diserang kecuali mereka: a. Diyakini dengan alasan yang dapat diterima, mengangkut barang larangan/kontrabande atau melanggar blokade, dan setelah secara dini diperingatkan mereka nyata-nyata menolak untuk berhenti, atau nyata-nyata menolak dilakukan pemeriksaan, pencarian keterangan atau penangkapan, b. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh, c. Bertindak sebagai kendaraan air serbaguna pada kekuatan angkatan bersenjata musuh, d. Bekerjasama atau membantu sistem intelijen musuh, e. Berlayar dalam konvoi kapal perang atau pesawat udara militer musuh, atau f. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer musuh seperti mengangkut material militer dan bagi pasukan penyerang tidak memungkinkan terlebih dahulu memindahkan penumpang dan awak kapal ke tempat yang aman. Apabila keadaan tidak memungkinkan untuk diserang, mereka diberi peringatan agar dapat merubah halu, bongkar muat atau berbuat hal yang harus diindahkan lainnya. 68. Setiap serangan terhadap kendaraan air niaga ini tunduk kepada aturan dasar pada paragraf Kenyataan bahwa kendaraan air niaga netral yang memiliki senjata, tidak menjadikan alasan untuk dilakukan penyerangan terhadapnya. Pesawat udara sipil netral 70. Pesawat udara sipil negara netral tidak boleh diserang kecuali : a. Diyakini dengan alasan yang kuat mengangkut barang larangan/kontrabande, dan setelah secara dini diperingatkan atau diintersep mereka nyata-nyata menolak merubah arah tujuan, atau nyata-nyata menolak bergerak menuju ke lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan. b. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh, 12

13 c. Bertindak sebagai pesawat serbaguna pada kekuatan angkatan bersenjata musuh, d. Bekerjasama atau membantu sistem intelijen musuh, e. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer seperti mengangkut barang militer, dan setelah secara dini diperingatkan atau diintersep, mereka nyata-nyata menolak merubah arah tujuan, atau nyata-nyata menolak bergerak menuju ke lapangan terbang pihak yang bersengketa yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan. 71. Setiap serangan terhadap pesawat udara ini tunduk kepada aturan dasar pada paragraf Bagian VI Tindakan Pencegahan Berkenaan Dengan Pesawat Udara Sipil 72. Pesawat udara sipil harus menghindari daerah-daerah yang potensial berbahaya karena adanya kegiatan militer. 73. Di sekitar daerah operasi Angkatan Laut, pesawat udara sipil harus mengikuti perintah dari pihak yang berperang tentang arah dan ketinggian. 74. Pihak yang berperang dan negara netral yang berkepentingan, dan otorita pengatur lalu lintas udara, harus menetapkan prosedur dimana komandan kapal perang dan pilot pesawat udara militer harus selalu waspada terhadap rute yang dirancang atau rencana penerbangan yang dibuat pesawat udara sipil di daerah operasi militer, termasuk didalamnya informasi saluran komunikasi, mode dan kode identifikasi, tempat tujuan, para penumpang dan muatan. 75. Pihak yang berperang dan negara netral harus menjamin bahwa Peringatan Penerbangan (NOTAM = Notice to Airmen) dipublikasikan untuk pemberian informasi adanya kegiatan militer di daerah yang potensial berbahaya bagi pesawat udara sipil, termasuk kegiatan yang berbahaya atau pembatasan ruang udara secara temporer. Peringatan ini harus meliputi informasi mengenai : a. Frekuensi radio yang harus selalu dipantau pesawat udara. b. Pengoperasian radar cuaca serta mode dan kode identifikasi yang terus menerus. c. Batasan ketinggian, arah dan kecepatan, d. Prosedur menjawab panggilan radio oleh pasukan militer dan prosedur komunikasi dua arah, dan e. Kemungkinan tindakan dari pasukan militer bila Peringatan Penerbangan (NOTAM) tidak diindahkan dan pesawat udara sipil dianggap oleh pasukan militer tersebut sebagai ancaman. 76. Pesawat udara sipil harus menyampaikan rencana penerbangan yang dibutuhkan dengan diketahui oleh dinas pengatur lalu lintas udara, dilengkapi dengan keterangan seperti administrasi pendaftaran, tujuan, penumpang, muatan, saluran komunikasi darurat, mode dan kode identifikasi, perubahan jalur penerbangan dan membawa sertifikat seperti pendaftaran, keselamatan penerbangan, para penumpang dan muatan. Mereka tidak dapat menyimpang dari jalur yang ditetapkan dinas pengatur lalu lintas udara atau menyimpang dari rencana penerbangan tanpa pengesahan dari dinas pengendali lalu lintas udara kecuali muncul kondisi yang tidak diinginkan seperti dalam situasi penyelamatan diri atau dalam situasi bahaya, dalam hal demikian maka harus segera dibuat pemberitahuan yang layak. 77. Bila pesawat udara sipil memasuki daerah potensi berbahaya karena adanya kegiatan militer, harus dilengkapi dengan Peringatan Penerbangan (NOTAM) yang sesuai. Pasukan militer harus menggunakan peralatan yang memadai untuk mengidentifikasi dan memperingatkan kepada penerbangan sipil dengan menggunakan, antara lain, mode dan kode radar pengamat sekunder, 13

14 komunikasi, hal-hal yang berkaitan dengan informasi penerbangan, intersepsi pesawat udara militer, dan bila memungkinkan menghubungi fasilitas pengendali lalu lintas udara yang ada. BAB IV SARANA DAN METODE PEPERANGAN DI LAUT Bagian I Sarana Peperangan Peluru kendali dan proyektil lainnya 78. Peluru kendali dan proyektil lainnya, termasuk juga yang mempunyai kemampuan melampaui cakrawala, harus digunakan sesuai dengan prinsip pembedaan sasaran yang tersebut pada paragraf Torpedo 79. Dilarang menggunakan torpedo yang tidak tenggelam atau jika tidak tenggelam harus menjadi tidak aktif setelah luncurannya berakhir. Ranjau 80. Ranjau hanya dapat digunakan untuk maksud militer yang sah termasuk pencegahan penggunaan wilayah laut oleh musuh. 81. Tanpa mengesampingkan aturan yang tercantum pada paragraf 82, pihak yang bersengketa tidak boleh menyebar ranjau kecuali mampu menetralisirnya secara efektif ketika di lepas, atau jika tidak demikian maka kontrol terhadapnya menjadi hilang. 82. Dilarang menggunakan ranjau apung kecuali : a. Ditujukan untuk sasaran militer, dan b. Menjadi tidak berbahaya dalam jangka waktu satu jam setelah hilangnya kendali terhadap ranjau tersebut. 83. Penyebaran ranjau aktif atau ranjau aktif yang siap sebar harus diumumkan kecuali ranjau tersebut diyakini akan mengenai kendaraan air yang merupakan sasaran militer. 84. Pihak yang berperang harus mencatat lokasi ranjau yang disebar. 85. Operasi penyebaran ranjau di perairan pedalaman, laut wilayah atau perairan kepulauan negara yang berperang harus memberikan jalan keluar bagi kapal negara netral ketika operasi penyebaran ranjau tersebut mulai dilaksanakan. 86. Melaksanakan penyebaran ranjau di perairan netral oleh pihak yang berperang adalah dilarang. 87. Penyebaran ranjau tidak boleh berakibat mencegah lintas laut antara perairan netral dengan perairan internasional. 88. Negara penyebar ranjau harus menghormati sebagaimana mestinya penggunaan yang sah atas laut lepas dengan cara antara lain memberikan rute alternatif yang aman bagi pelayaran negara netral. 89. Lintas transit melalui selat internasional dan lintas laut melalui perairan yang tunduk kepada aturan hak lintas alur laut kepulauan tidak boleh terputus kecuali diberikan rute alternatif yang aman dan meyakinkan. 14

15 90. Setelah gencatan senjata, pihak yang bersengketa harus berusaha sedapat mungkin memindahkan atau menonaktifkan ranjau yang telah disebar, setiap pihak yang bersengketa memindahkan ranjau miliknya sendiri. Berkenaan dengan ranjau yang disebar di laut teritorial musuh, setiap pihak harus mengumumkan posisinya dan harus berusaha sesegera mungkin memindahkan ranjau di laut teritorialnya atau dengan kata lain memberikan jaminan keselamatan navigasi di laut teritorial. 91. Sebagai tambahan kewajiban mereka sesuai paragraf 90, pihak yang bersengketa harus berusaha mencapai kesepakatan diantara keduanya dan apabila mungkin dengan negara lain dan dengan organisasi internasional, tentang ketentuan asistensi informasi, teknis dan material, termasuk operasi bersama tentang hal-hal yang dibutuhkan guna membersihkan daerah ranjau, dengan kata lain menjadikannya tidak berbahaya. 92. Negara netral tidak melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan hukum netralitas dengan tetap melakukan pembersihan ranjau yang penyebarannya melanggar hukum internasional. Bagian II Metode Peperangan Blokade 93. Suatu blokade harus dinyatakan dan diumumkan kepada seluruh pihak yang berperang dan kepada negara netral. (penjelasan Paragraf 83) 94. Pernyataan blokade harus mencantumkan kapan dimulainya, lamanya, tempat, dan perluasan daerah blokade dan periode kapan kapal negara netral dapat meninggalkan garis pantai blokade. 95. Suatu blokade harus efektif. Pertanyaan apakah suatu blokade efektif atau tidak efektif merupakan persoalan fakta. 96. Kekuatan militer yang melaksanakan blokade dapat ditempatkan pada jarak tertentu sesuai kebutuhan militer. 97. Suatu blokade dapat ditegakkan dan dipertahankan melalui kombinasi sarana dan metode peperangan yang sah, penentuan kombinasi ini tidak boleh mengakibatkan tindakan tidak konsisten dengan aturan yang tercantum dalam dokumen ini. 98. Kapal niaga yang diyakini dengan alasan yang kuat telah melanggar blokade, boleh ditangkap. Kapal niaga yang setelah secara dini diberi peringatan, tetap menolak untuk ditangkap, boleh diserang. 99. Suatu blokade harus tidak menghalangi akses menuju ke pelabuhan dan pantai negara netral Suatu blokade harus diterapkan sama untuk kendaraan air semua negara Penghentian, berhenti sementara waktu, penetapan ulang, perluasan atau perubahan lain suatu blokade harus dinyatakan dan diumumkan seperti yang dimaksud pada paragraf 93 dan Pernyataan atau penetapan blokade adalah dilarang bila : a. Hal tersebut hanya dimaksudkan untuk membuat penduduk sipil kelaparan atau menghalangi masuknya barang-barang yang sangat diperlukan untuk mempertahankan hidup, atau b. Menimbulkan atau dapat diperkirakan menimbulkan kerugian terhadap penduduk sipil, yang berlebihan jika dikaitkan dengan keuntungan militer konkrit dan langsung yang diharapkan dari blokade tersebut Jika penduduk sipil di wilayah yang diblokade tidak memperoleh makanan yang cukup dan barang-barang yang sangat diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, maka pihak yang 15

16 memblokade harus menyediakan alur bebas bagi bahan makanan dan barang-barang yang sangat diperlukan, dengan tunduk kepada : a. Hak untuk menentukan persyaratan teknis, termasuk menentukan perlintasan yang diijinkan, dan b. Syarat bahwa penyaluran barang-barang tersebut harus dilakukan di bawah pengawasan setempat dari Negara Pelindung atau organisasi kemanusiaan yang memberikan jaminan ketidakberpihakannya, seperti Komite Internasional Palang Merah Pihak yang berperang yang memblokade harus mengijinkan lintas bagi penyaluran barang medis kepada penduduk sipil atau kepada anggota tentara yang terluka dan sakit, dengan tunduk kepada hak untuk menentukan persyaratan teknis, termasuk menentukan perlintasan yang diijinkan. Zona-zona 105. Pihak yang berperang tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban hukum humaniter internasional dengan menetapkan zona-zona yang dapat bertentangan dengan penggunaan yang sah dari zona-zona tersebut Jika suatu pihak yang berperang, sebagai tindakan pengecualian, menetapkan suatu zona yang demikian, maka : a. Hukum yang sama berlaku baik di dalam maupun di luar zona. b. Perluasan, tempat dan lamanya penetapan zona tersebut serta tindakan yang diambil tidak boleh melebihi apa yang benar-benar diperlukan bagi kepentingan militer dan prinsip proporsional. c. Penghormatan sebagaimana mestinya harus diberikan terhadap hak negara netral atas penggunaan laut yang sah. d. Lintas aman melalui zona yang diperlukan bagi kendaraan air dan pesawat udara netral harus diberikan : 1) Bila perluasan geografis dari zona secara jelas menghambat akses yang aman dan bebas menuju ke pelabuhan dan pantai negara netral, 2) Pada kasus lain dimana jalur pelayaran normal terganggu, kecuali jika kepentingan militer tidak mengijinkan, dan e. Dimulainya, lamanya, tempat, dan perluasan zona, dan juga pembatasan yang ditetapkan, harus dinyatakan secara umum dan diberitahukan sebagaimana mestinya Kepatuhan-kepatuhan terhadap tindakan yang diambil oleh salah satu pihak yang berperang di suatu zona, tidak seharusnya dianggap sebagai suatu tindakan yang membahayakan bagi pihak berperang yang lainnya Tidak satupun dalam Bagian ini yang dianggap mengurangi, hak pihak yang berperang yang bersumber dari hukum kebiasaan untuk mengawasi kendaraan air dan pesawat udara netral di sekitar wilayah operasi Angkatan Laut. Bagian III Pengelabuan, Siasat Perang dan Perbuatan Curang 109. Pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna setiap saat dilarang berpura-pura berstatus sebagai yang dikecualikan dari serangan, sebagai pesawat sipil atau sebagai pesawat negara netral. 16

17 110. Siasat perang diperbolehkan. Kapal perang dan kapal serbaguna, bagaimanapun juga dilarang melakukan serangan sambil mengibarkan bendera palsu, dan setiap saat dilarang dengan sengaja meniru status dari : a. Kapal rumah sakit, perahu kecil penyelamat pantai, atau transportasi medis. b. Kendaraan air misi kemanusiaan. c. Kendaraan air penumpang yang membawa penumpang sipil. d. Kendaraan air di bawah perlindungan bendera PBB. e. Kendaraan air yang dijamin keselamatannya oleh perjanjian sebelumnya antar pihak, termasuk kendaraan air cartel. f. Kendaraan air yang berhak menggunakan lambang palang merah atau bulan sabit merah, atau g. Kendaraan air yang digunakan untuk pengangkutan benda budaya dibawah perlindungan khusus Perbuatan curang dilarang. Tindakan yang mengundang keyakinan lawan sehingga pihak lawan tersebut percaya bahwa ia mempunyai hak, atau wajib mendapat perlindungan dibawah aturan hukum internasional yang berlaku dalam sengketa bersenjata, dengan maksud untuk mengkhianati keyakinan tersebut berarti melakukan perbuatan curang. Tindakan-tindakan perbuatan curang termasuk melakukan serangan sambil berpura-pura : a. Bersatus dikecualikan dari serangan, penduduk sipil, berstatus netral atau dilindungi oleh PBB. b. Menyerah atau berpura-pura dalam kondisi bahaya, seperti mengirim tanda mara bahaya, atau menempatkan awak kapal dalam suatu perahu penyelamat. BAB V TINDAKAN-TINDAKAN PENGGUNAAN KEKERASAN : INTERSEPSI, PEMERIKSAAN, PENCARIAN KETERANGAN, PEMBELOKAN ARAH DAN PENANGKAPAN Bagian I Penentuan ciri-ciri musuh pada Kendaraan Air dan Pesawat Udara 112. Kenyataan bahwa suatu kendaraan air niaga yang mengibarkan bendera negara musuh atau suatu pesawat udara sipil yang memperlihatkan tanda negara musuh adalah menunjukkan ciri-ciri musuh Kenyataan bahwa suatu kendaraan air niaga yang mengibarkan bendera netral atau suatu pesawat udara sipil memperlihatkan tanda negara netral adalah menunjukkan ciri-ciri netral Bila Komandan Kapal perang mencurigai bahwa kendaraan air niaga berbendera netral pada kenyataannya menunjukkan ciri-ciri musuh, komandan tersebut berwenang untuk melaksanakan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan termasuk hak membelokkan arah untuk pencarian keterangan sesuai paragraf

18 115. Bila pilot pesawat udara militer mencurigai bahwa pesawat udara sipil dengan tanda netral pada kenyataannya menunjukkan ciri-ciri musuh, pilot tersebut berwenang melaksanakan hak intersepsi dan bila keadaan mengharuskan demikian, berwenang membelokkan arah untuk tujuan pemeriksaan dan pencarian keterangan Bila setelah pemeriksaan dan pencarian keterangan terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa kendaraan air niaga berbendera netral atau pesawat udara sipil dengan tanda netral memiliki ciri-ciri musuh, maka kendaraan air atau pesawat udara tersebut boleh ditangkap untuk diproses secara hukum Ciri-ciri musuh dapat ditentukan dari dokumen pendaftaran, kepemilikan kapal, penyewa atau kriteria lainnya. Bagian II Pemeriksaan dan Pencarian Keterangan Kendaraan Air Niaga. Aturan Dasar 118. Dalam melaksanakan hak mereka yang sah dalam suatu konflik bersenjata internasional di laut, kapal perang dan pesawat udara militer pihak yang berperang mempunyai hak memeriksa dan mencari keterangan kendaraan air niaga di luar perairan netral apabila ada alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa kendaraan air tersebut dapat ditangkap Sebagai alternatif untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan, kendaraan air niaga netral atas persetujuannya boleh dirubah arahnya dari tujuan semula. Kendaraan air niaga dalam konvoi bersama kapal perang netral 120. Kendaraan air niaga netral dikecualikan dari pelaksanaan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan bila memenuhi persyaratan berikut : a. Berlayar menuju pelabuhan netral. b. Dalam konvoi bersama dengan kapal perang netral berkebangsaan yang sama atau kapal perang netral suatu negara dimana negara bendera kendaraan air niaga telah ada kesepakatan perjanjian tentang konvoi tersebut. c. Negara Bendera kapal perang netral menjamin bahwa kendaraan air niaga tersebut tidak mengangkut barang larangan/kontrabande atau jika tidak terlibat dalam kegiatan yang tidak konsisten dengan status kenetralannya, dan d. Komandan kapal perang negara netral, bila diminta oleh komandan kapal perang pihak yang berperang atau pesawat udara militer yang mengintersepnya, memberikan semua informasi tentang ciri-ciri kendaraan air niaga dan muatannya, jika tidak demikian akan diperoleh melalui pemeriksaan dan pencarian keterangan. Pembelokan arah untuk tujuan pemeriksaan dan pencarian keterangan 121. Bila pemeriksaan dan pencarian keterangan tidak memungkinkan dilakukan atau tidak aman, kapal perang pihak yang berperang boleh membelokkan arah kendaraan air niaga ke arah yang memungkinkan atau kepelabuhan dalam rangka melaksanakan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan. 18

19 Tindakan Supervisi 122. Dalam rangka menghindari adanya pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara yang berperang boleh melakukan tindakan yang beralasan untuk pemeriksaan muatan kendaraan air niaga dan membuat pernyataan hasil pemeriksaan bahwa suatu kendaraan air tidak mengangkut barang larangan/kontrabande Kenyataan bahwa kendaraan air niaga netral yang telah dikenakan tindakan pengawasan seperti pemeriksaan muatan dan adanya pernyataan hasil pemeriksaan yang menyatakan tidak memuat muatan larangan/kontrabande oleh salah satu pihak yang berperang, bukanlah merupakan tindakan yang tidak netral terhadap pihak yang berperang lainnya Untuk menghindari pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara netral didorong untuk menegakkan tindakan pengawasan yang beralasan dan prosedur sertifikasi untuk meyakinkan bahwa kendaraan air niaga mereka tidak mengangkut barang larangan/kontrabande. Bagian III Intersepsi, Pemeriksaan, Pencarian Keterangan Pesawat Udara Sipil Aturan Dasar 125. Dalam melaksanakan hak sah mereka dalam konflik bersenjata internasional di laut, pesawat udara militer pihak yang berperang memiliki hak mengintersep pesawat udara sipil di luar ruang udara netral dimana terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa pesawat udara sipil itu boleh ditangkap. Bila setelah intersepsi masih terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa pesawat udara sipil dapat ditangkap, pesawat udara militer pihak yang berperang memiliki hak memerintahkan pesawat udara sipil tersebut menuju ke lapangan udara pihak yang berperang yang aman dan terdapat akses untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan. Bila tidak ada lapangan terbang pihak yang berperang yang aman dan terdapat akses untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan, pesawat udara sipil boleh dibelokkan arah dari tujuan semula Sebagai alternatif dari pemeriksaan dan pencarian keterangan : a. Pesawat udara musuh dapat dibelokkan arah dari tujuan semula. b. Pesawat udara netral atas persetujuannya dapat dibelokkan arah dari tujuan semula. Pesawat udara sipil dibawah kendali operasi bersama-sama pesawat udara militer atau kapal perang netral 127. Pesawat udara sipil netral dikecualikan dari pelaksanaan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Menuju ke pelabuhan udara netral b. Dibawah kendali operasi bersama : 1) Pesawat udara militer atau kapal perang netral berkebangsaan sama 2) Pesawat udara militer atau kapal perang negara netral dimana bendera negara pesawat udara sipil telah ada perjanjian untuk pengendalian demikian. c. Negara bendera dari pesawat udara militer atau kapal perang netrall menjamin bahwa pesawat udara sipil netral tersebut tidak mengangkut barang larangan/kontrabande atau jika tidak terlibat dalam kegiatan yang tidak konsisten dengan status kenetralannya, dan 19

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut PEMBUKAAN Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI 1.1 "Wajib" digunakan dalam Lampiran untuk menunjukkan suatu ketentuan, penerapan yang seragam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

Isi Perjanjian DCA RI Singapura

Isi Perjanjian DCA RI Singapura 105 Lampiran 1 Isi Perjanjian DCA RI Singapura Pasal 1, Tujuan Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk membentuk suatu kerangka kerjasama strategis yang komprehensif guna meningkatkan kerjasama bilateral

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 36 TAHUN 2002 (36/2002) TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH ROMANIA TENTANG KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL, TERORISME DAN JENIS KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah

Lebih terperinci

REGULASI NO. 2000/09

REGULASI NO. 2000/09 UNITED NATIONS United Nations Transitional Administration in East Timor NATIONS UNIES Administrasion Transitoire des Nations Unies in au Timor Oriental UNTAET UNTAET/REG/2000/9 25 February 2000 REGULASI

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi telah dicabut dan diganti terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te No.1133, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Penggunaan Senjata Api Dinas. Ditjen Bea dan Cukai. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA. No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a perlu diatur lebih lanjut mengenai perkapalan dengan Peraturan Pemerintah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a perlu diatur lebih lanjut mengenai perkapalan dengan Peraturan Pemerintah; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2002 TENTANG P E R K A P A L A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran terdapat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1974 TENTANG PENGAWASAN PELAKSANAAN EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI MINYAK DAN GAS BUMI DI DAERAH LEPAS PANTAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1983 (5/1983) Tanggal: 18 OKTOBER 1983 (JAKARTA) Sumber: LN 1983/44; TLN NO. 3260 Tentang: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Indeks:

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP DIREKTORAT PELABUHAN PERIKANAN PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN SYAHBANDAR DI PELABUHAN PERIKANAN Memiliki kompetensi

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] Untuk keperluan kutipan versi AS, teks bahasa Inggris bersertifikasi PBB dipublikasikan dalam 52

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai) Pendahuluan Dengan semakin majunya dunia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN UMUM Kegiatan kenavigasian mempunyai peranan penting dalam mengupayakan keselamatan berlayar guna mendukung

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1983 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG REJIM HUKUM NEGARA NUSANTARA DAN HAK-HAK MALAYSIA DI LAUT TERITORIAL DAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA API DINAS DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar No.386, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kesyahbandaran. Pelabuhan Perikanan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nom

2017, No Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nom LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.108, 2017 EKONOMI. Pelanggaran HKI. Impor. Ekspor. Pengendalian. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6059) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK POLANDIA TENTANG KERJASAMA PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL DAN KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 160, 2000 Perhubungan.Kelautan.Pelayaran.Kapal.Kenavigasian. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci