BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari"

Transkripsi

1 BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN KEDAULATAN Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan berasal dari bahasa Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari bahasa Latin, yaitu supranus, yang mempunyai pengertian yang teratas. Tiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Bila dikatak suatu negara berdaulat, maka makna yang terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai suatu kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai. 1 Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu: 1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. 2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional, maupun mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu. 2 1 E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 4. 2 I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 294.

2 Ruang berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas batas wilayah negara tersebut, artinya suatu negara hanya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam batasan wilayah negaranya saja. Adapun di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki kedaulatan sedemikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu : (1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah negara yang memnpunyai kedaulatan tersebut, dan (2) kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusif ke luar wilayah negara tersebut, yang dapat menggangu kedaulatan wilayah negara lain. Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif dan penuh hanya di dalam wilayahnya saja. Kedaulatan wilayah atau teritorial ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif yang dimaksud adalah berkaitan dengan sifat hak eksklusif kompetensi suatu negara terhadap wilayahnya. Sedangkan aspek negatif kedaulatan teritorial ini adalah adanya kewajiban untuk tidak menggangu hak negara negara lain. Huala Adolf berpendapat, kedaulatan teritorial berarti kedaulatan yang dimilki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusifnya. 3 Sedangkan JG Starke, munculnya konsep kedaulatan teritorial menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh 3 H. Bachtiar Hamzah, SH Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, hal 36.

3 negara terhadap orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan negaranegara lain. 4 Hukum Internasional mengkaui kedaulatan tiap-tiap negara di dalam wilayahnya masing-masing. Kedaulatan tertinggi yang dijalankan suatu negara terhadap wilayahnya menunjukkan bahwa pada satu wilayah hanya ada satu negara berdaulat dan tidak mungkin ada atau lebih negara berdaulat pada satu wilayah yang sama. Salah satu unsur yang terpenting dari suatu negara adalah adanya wilayah. dalam wilayah inilah suatu negara menjalankan segala aktivitasnya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tidak mungkin ada negara tanpa adanya pemilikan atas suatu wilayah. Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pengertian wilayah adalah : State territory is that definited portion of the surface of the globe which is subjected to the souvereignity of a state. 5 Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya, sehingga sebuah negara tidak mungkin ada, tanpa adanya wilayah, meskipun wilayah itu mungkin kecil dan dalam wilayah itulah negara menjalankan yurisdiksi eksklusifnya secara penuh. Pentingnya wilayah bagi suatu negara dapat dilihat pada kenyataan bahwa dalam ruang lingkup wilayah itulah negara menjalankan kekuasaan tertingginya. Wilayah suatu negara merupakan objek hukum internasional. 4 JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, hal Op.Cit. hal 36.

4 Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan tanah tersebut, laut dan udara. Persoalan yang menyangkut tentang maslah kedaulatan dari berbagai negara atas ruang udara di atas wilayah mereka, juga menimbulkan permasalahan tertentu, yaitu mengenai penetapan batas antara ruang angkasa dan ruang udara. Hal ini terjadi karena sampai saat ini beum ada batas yang tegas antara ruang angkasa dan runag angkasa. Penetapan batas antar ruang tersebut sangat penting, karena penentuan kedaulatan suatu negara terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya ditentukan oleh adanya ketegasan dari batas antara kedua ruang tersebut. Selain itu penetapan batas antara ruang udara dengan ruang angkasa tersebut juga demi menghindari konflik antar negara negara kolong atau subjacent state. Adapun ruang udara menurut pasal 1 angaka 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, disebut juga wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia. Sedangkan menurut pasal 1 Konvensi Chicago 1944, ruang udara adalah merupakan suatu jalur udara di atmosfer yang berisikan cukup udara di mana pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat gaya angkat (lift). Dalam pada pasal ini juga ditegaskan bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara di atas wilayahnya. Pesawat terbang negara lain, baik pesawat militer ataupun sipil

5 tidak akan mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau mendarat di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan ruang yang dapat dimafaatkan atau semua ruang yang dapat dicapai manusia. 6 Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya adalah : suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi terdapat gas gas udara atau atmosfer yang di dalamnya terdapat benda benda ruang angkasa 7 seperti bulan dan benda benda langit lainnya. Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space Treaty Dari pengertian-pengertian di atas, maka terasa tidaklah mungkin suatu negara tertentu dapat melaksanakan hak dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik bumi, yang diperkirakan berada pada jarak sekitar kilometer dari permukaan laut, diukur secara tegak lurus. 8 Adapun pendapat ini bersumber kepada suatu doktrik klasik yang menyatakan bahwa : adalah menjadi hak dan kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara tersebut 9 mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari wilayahnya. B. KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS RUANG UDARA WILAYAHNYA Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan suatu masalah yang selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum Romawi mengatakan cujus est solum, ejus est usque coelum, yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah, 6 Loc. Cit 7 Op. Cit, hal Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14 9 Ibid, hal 15

6 dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut. 10 Pengaruh dari asas tersebut menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan universal. Dari asas ini terlihat bahwa sejak dahulu negara telah mengakui dan melindungi adanya hakhak dari pemilik penduduk negara. Hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang udara yang berada di atasnya tanpa abats apapun dan pendirian ini telah dianut di negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti yang tercantum dala pasal 571 KUHPerdata yang berbunyi : Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.... Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku mutlak lagi, karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara yang khusus demi kepentingan-kepentingan umum. 11 Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat diteliti melalui doktrin mengenai lautan yang telah dikembangkan oleh seorang ahli hukum internasional, Yaitu Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku Mare Liberum yang menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh siapapun serta tidak menjadi milik siapapun. 12 Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda untuk melayari lautan. Sedangkan alasan yang diajukannya adalah karena lautan itu 10 Prof. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972 hal UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967) 12 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992 hal 12

7 sendiri merupakan benda milik bersama, disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri, akan tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden, seorang Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup. Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori yang dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan untuk membenarkan politik Inggris pada waktu iti mengenai lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan tersebut dapat menjadi milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas menentang pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan. Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19 atau awal abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah menjelma menjad soal bebas atau tidaknya angkasa yang berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang udara itu ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak. Paul Fauchille, seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan menerapkan doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan ruang udara tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana Inggris berpendapat bahwa :... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal udara. Sedangkan kondisi lautan dan udara tersebut sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya dengan udara yang merupakan syarat mutlak bagi kehidupan di dunia Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal 55

8 Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas mendapat dukungan dadri para sarjana Inggris lainnya seperti Westlake dan Lycklama, yang mengatakan pula, bahwasanya ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada kenyataannya pendirian merekalah yang sampai saat ini dianut oleh dunia internasional. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu itu mendapat dua kelompok besar, yaitu : 1. Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu bebas. Para penganut ini dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas, yang terbagi atas : a. kebebasan ruang udara tanpa batas. b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong. c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan. 2. Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas : a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap ketinggian tertentu di ruang angkasa. b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas damai bagi navigasi pesawat udara asing. c. negara kolong berdaulat penuh tanpa batas (up to the sky, ad infintum).

9 Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas. Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara negara netral. Teori tersebut dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, di mana ara peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi pesawat pesawat asing. Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Bagi pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal, dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki oleh negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat kebebasan lintas damai melalui ruang udara di atas wilayah negara peserta lain, tunduk pada penataan syaratsyarat yang ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi Paris.

10 Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak mendarat bagi pesawat udara asing tetap berada di dalam lingkup kebijaksanaan negara yang bersangkutan. Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi sebagai berikut : The Contracting State, recognize that every, state has complete and exclusive souvereignity in the airspace above its territory. Jadi, hal pokok pada konvensi-konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa negara-negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang di atas wilayahnya. Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut, namun khusus dalam masalah kedaulatan negara di ruang udara, negara-negara telah bersepakat bahwa hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang masalah kedaulatan negara di ruang angkasa dipertegas dalam konvensi internasional, sehingga mengenai prinsip kedaulatan ini tidak mengalami kendala apa-apa. 14 Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi perundang-undangan nasional, demikian juga dengan konvensi-konvensi penerbangan internasional yang kemudian diadopsi ke dalam perundangundangan nasional. Untuk pertama kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada Undang Undang Nomor 83 tahun Namun demikian pada Undang Undang 14 Ibid. Hal 97

11 tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia terhadap ruang udara, kecuali dikatakan bahwa : Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah. Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1960 dapat dijadikan sebagai pegangan yang dalam penjelasan undang undang tersebut dikatakn bahwa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan teritorial menjadi hak kedaulatan Indonesia. Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang baru, yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas dikatakan dalam pasal 5 bahwa : Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula : Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan udara. Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun Dengan demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan menyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya, sehingga dengan

12 demikian ruang udara tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi. 15 C. PENGERTIAN DAN BATAS-BATAS TERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara-negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang uadara. Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman selama Perang Dunia Pertama tersebut telah membuktikan kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional sesuatu negara perlu dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi lain perlu diperketat sistem pengamanan dan pengawasan kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru yang memanfaatkan ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya, sesungguhnya bersifat internasional dan mempinyai karakteristik khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat dan di laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas geografis, di mana kemampuan melewati dan menembus batas-batas wilayah udara nasional suatu negara dapat dikatakan dengan sangat indah. 15 Ibid. Hl 158

13 Pada dasarnya wilayah udara sesuatu negara adalah tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara oleh negara pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Begitu lepas landas, pesawat terbang akan mempunyai kemampuan dan kecepatan dan kebebasan yang sangat luas, sehingga alat transportasi yang ditemukan oleh Wright bersaudara pada awal abad kedua puluh tersebut mempunyai potensi penggunaan secara militer yang sangat luar biasa. Merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa ruang udara sebagai sarana lalu lintas pesawat terbang merupakan pula media yang berpotensi untuk melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh negara kolong. Dengan demikian, sejalan dengan prinsip bahwa wilayah udara nasional sesuatu negara tertutup bagi penerbangan asing, maka setiap warga negara yang memiliki kemampuan serta kekuasaan udara kemudian menetapkan bagian-bagian wilayah udaranya yang tertentu dan khusus yang berdasarkan pertimbangan kemamanan dan pertahanan perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu tersebutlah yang dinamakan Zona udara terlaran atau Zona larangan terbang, di mana dinyatakan secara tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan asing. Kesadaran untuk menetapkan bahwa sesuatu negara kolong mempunyai kedaulatan yang penuh terhadap ruang udara di atasnya, adalah sebagai akibat pesatnya kemajuan perkembangan teknologi transportasi udara. Kesadaran negara-negara telah mendahului suatu kaidah hukum internasional yang baru belakangan muncul yakni pada Konvensi Paris 1919.

14 Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara-negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas-batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip Hukum Udara Internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara. Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris Pada pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk : 1) Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan dari negara yang bersangkutan. 2) Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat asing, karena keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali. Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur di dalam Pasal 3 Konvensi Paris 1919 tersebut, pembentukan zona larangan terbang harus memenuhi persyaratan secara internasional. Persyaratan untuk zona larangan terbang bentuk 1) adalah bahwa larangan terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi pesawat negara awak. Pada syarat ini, prinsip atau asas tanpa perbedaan harus dipegang teguh karena zona yang

15 ditetakan bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan dan keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lain dari zona bentuk pertama ini adalah bahwa pengumuman mengenai penetapan zona harus dilakukan lebih dahulu untuk diketahui oleh negara-negara yang berkepentingan. Hal ini juga termasuk ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut. Persyaratan untuk zona larangan terbang bentu 2) yang menetapkan penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara kolong, disyaratkan bahwa penutupan harus berlaku dengan setara dan benar-benar bersifat sementara dan berlaku untuk semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan. Penetapan syarat pada zona bentuk kedua ini juga diwajibkan untuk memberitahukan kepada semua negara peserta atau anggota Konvensi atau Komisi Internasional untuk Navigasi Udara. Ketentuan mengenai kedua persyaratan itu yang mewajibkan seluruh pesawat sipil asing maupun pesawat sipil nasional negara awak dilarang melintasi zona larangan terbang yang telah ditetapkan, dirubah menjadi ketentuan bahwa pesawat sipil nasional negara kolong diizinkan terbang di zona larangan tersebut. Hal ini diatur dalam Protokol Paris 1929 sebagai perbaikan dari Konvensi Paris Pada pasal 4 Konvensi Paris 1919 ini mewajibkan agar setiap pesawat yang menyadari telah melanggar zona larangan terbang yang telah ditetapkan, harus segera memberitahukan kepada pangkalan udara negara kolong bahwa ia berada dalam kesulitan dan terpaksa harus mendarat di lapangan terdekat di luar zona larangan tersebut.

16 Seiring dengan kemajuan teknologi penerbangan dan semakin banyaknya negara-negara maju yang menyatakan kawasan ruang udaranya sebagai zona udara terlarang, maka peraturan yang ditetapkan melalui Konvensi Paris 1919 dan Protokol Paris 1929 tidaklah dapat menampung semua kondisi di atas. Maka Konvensi Paris 1919 dan Protokol Paris 1929 yang mempunyai kekuatan hukum sebagai kaidah Hukum Internasional digantikan oleh Konvensi Chicago 1944, yaitu Konvensi mengenai Penerbangan sipil internasional. Kenyataan ini ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan internasional sekitar Perang Dunia Kedua baik penerbangan sipil maupun penerbangan militer. Meskipun beberapa prinsip telah tetap berlaku tetapi bnayak terdapat perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara, yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir Perang Dunia Kedua. Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang mnegatur tentang area terlarang, merupakan modifikasi dari Protokol Paris Prinsip tidak ada perbedaan pada Konvensi Chicago 1944 diteguhkan kembali dan ada keistimewaan bagi pesawat terbang sipil negara awak yang diterima pada Protokol Paris 1929 kini ditegakkan kembali. Jadi, Konvensi Chicago kembali mutlak menetapkan bahwa tidak ada perbedaan lagi pesawat mana yang boleh memasuki kawasan zona larangan terbang. Pada perkembangan selanjutnya mengenai penetapan zona larangan terbang yang diatur dalam Konvensi Chicago adalah bahwa justeru negara awaklah yang memerintahkan kepada pesawat yang melanggar zona untuk mendarat dan diperiksa. Hal ini berbeda dari ketentuan yang diatur dalam

17 Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona, setelah pelaku pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan negara kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk mendarat dan diperiksa, sangat memungkinkan mengingat kondisi semacam ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang dimiliki negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut. D. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG Pada awal kelahiran dunia penerbangan, pesawat udara dipakai sebagai alat transportasi yang melintasi batas kedaulatan suatu negara terhadap negara lain tanpa memperhatikan hak-hak negara di bawahnya., sehingga menimbulkan masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internsional karena terpukau pada masalah kedaulatan negara di wilayah uadara di atasnya serta hak-hak negara kolong. Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive sovereignity) di wilayah udara di atasnya dan mengumumkan Aerial Navigation

18 Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam karena adanya penerbangan pesawat udara asing. Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan pelanggaran yang dapat diancema dengan hukuam. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang melintasi zona udara terlarang tersebut. Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara-negara lain sehingga tindakan tersebut dibenarkan oleh huku kebiasaan internasional. Masing-masing negara mengumumkan bahwa negaranya berdaulat penuh dan utuh di ruang udara di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan penerbangan internsional hanya dapat dilakukanh pada jalur-jalur udara tertentu yang menghubungkan tempat-tempat tertentu setelah memperoleh izin. Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan mengahdapi kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur, memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah kedaulatan negara dan keamanan nasional harus dipikirkan pula.

19 Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang brjudul Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation. Konvensi tersebut pada prinsipnya mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan internsional, kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikan udara, dan sertifikat kecakapan, izin navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan internsional, larangan mengangkut barang-barang berbahaya, zona uadara terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional. Sepanjang manyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris melakukan tindakan sepihak tahun Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi : The High Cntracting Parties recognize that every Power has complete and exclusive souvereignity over the air space above its territory. Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara sebgaimana diatur dalam Pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau keamanan umum. Namun demikina, larangan tersebut harusdiumumkan dan diberitahukan sebelumnya kepada kepada negara anggota maupun Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut, semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawatudara sipil asing dilarang terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most Favourable Nation Treatment dalam pergaulan internasional.

20 Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilaman hal ini dilakukan juga, maka harus meberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing yang berada pada zona uadara terlarang, begitu sadar posisinya berada pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat di luar zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris 1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan. Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda dengan dasar pertimbangan Konvensi Paris Menurut Konvensi Chicago

21 1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dam mempererat persahabatn yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia, oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan dasardasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara secara selamat, lancar, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional. Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud tujuan utama bukan terletak pada keamanan nasional sebaimana Konvensi Paris 1919, melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walapun dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak-hak penerbangan secara multilateral yamng mempunyai nilai komersial. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur dalam Konvensi Paris Konvensi Chicago 1944 berisikan penegakan kembali prinsi-prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip-prinsip dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya penggunaan fasilitas navigasi penerbangan, kebangsaan pesawat udara, fasilitas

22 penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat terbang, sertifikat kecakapan. Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago 1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan. Sepanjuang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal 9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak berjadwal.larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO beserta anggotanya. Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan komersial. Dalam hal pesawat udara sadar tersasar dalam zona udara larangan terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilaman pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang tersebut, maka pesawat tersebut akan di intercept oleh peswat udara militer. Secara teknis, tata cara intercept telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang Rules of The Air. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di intercept harus mengikuti perintah, untuk menghindari resiko yang lebih besar.

23 Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Berdasarkan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur-jalur penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang yang dipergunakan untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar jalur yang telah ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota protes melalui saluran diplomatik. Menurut pasal 9 Konvensi Chicago 1944, setiap negara berhak menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum. Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang melakukan penerbangan pada jalur tersebut. Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919, kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah Hukum Internasional. Kenyataan ini ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil maupun militer. Meskipun beberapa prinsip tetap berlaku, tetapi banyak terdapat

24 perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua. Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan internsional. Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan abtara lain oleh tingkat kekuatan negara di wilayah uafaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan udara (air power) suatu negara adalah kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan/angkutan sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada pesawat-pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan dan gempuran udara. Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka negaranegara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan. Ketiga, mengingat cita-cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan usaha penerbangan sipil internsional yang mantap telah mendorong mereka untuk melakukan upaya peningkatan kerjasama internasional. Dan kesadaran untuk

25 membina kerjasama internsional ini pun menentuka sifat dan penetapan konsep zona udara terlarang dalam konvensi Chicago 1944.

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1983 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG REJIM HUKUM NEGARA NUSANTARA DAN HAK-HAK MALAYSIA DI LAUT TERITORIAL DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Udara Internasional Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1962 TENTANG LALU LINTAS LAUT DAMAI KENDARAAN AIR ASING DALAM PERAIRAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1962 TENTANG LALU LINTAS LAUT DAMAI KENDARAAN AIR ASING DALAM PERAIRAN INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1962 TENTANG LALU LINTAS LAUT DAMAI KENDARAAN AIR ASING DALAM PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Perlu mengadakan ketetapan-ketetapan

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau krisis Suriah adalah konflik senjata berkelanjutan di Suriah antara pasukan pendukung pemerintah

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian dan Fungsi Pengangkutan Istilah pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1 Abstrak Masalah kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan merupakan masalah yang asasi, dan menyangkut perlindungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL Pembukaan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Denmark

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai) Pendahuluan Dengan semakin majunya dunia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan-peraturan penerbangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut PEMBUKAAN Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H DAMPAK DARI PENERAPAN PASAL 73 UNCLOS DAN PASAL 102 UU PERIKANAN (UU NOMOR 31 TAHUN 2004 DAN UU NOMOR 45 TAHUN 2009) BERUPA LARANGAN IMPRISONMENT DAN CORPORAL PUNISHMENT TERHADAP PROSES PENEGAKAN HUKUM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Isi Perjanjian DCA RI Singapura

Isi Perjanjian DCA RI Singapura 105 Lampiran 1 Isi Perjanjian DCA RI Singapura Pasal 1, Tujuan Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk membentuk suatu kerangka kerjasama strategis yang komprehensif guna meningkatkan kerjasama bilateral

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci