(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN"

Transkripsi

1 PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM ISNTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN. Penyerapan Radiasi Matahari oleh Kanopi Hutan Alam : Korelasi Antara Pengukuran dan Indeks Vegetasi (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh TANIA JUNE dan LILIK BUDI PRASETYO Hutan merupakan suatu permukaan bervegetasi dengan variasi ketinggian dan kerapatan serta memiliki sistem ekologi yang kompleks. Faktor utama dalam menentukan produktivitas permukaan bervegetasi adalah banyaknya radiasi matahari yang datang. Matahari memancarkan radiasi pada berbagai spektrum panjang gelombang. PAR (Photosynthetically Active Radiation) merupakan bagian dari spektrum sinar tampak (0,4 sampai 0,7 µm) yang diserap oleh klorofil tanaman. Fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation (fapar) merupakan bagian dari PAR, yaitu PAR yang diserap oleh tanaman. Terdapat hubungan antara fapar dengan spektral indeks vegetasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara fapar dengan suatu indeks vegetasi (NDVI) menggunakan satelit Quickbird. Korelasi ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui penyerapan radiasi oleh kanopi hutan sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai penelitian dan analisis lebih lanjut. Unsur iklim mikro pembentuk iklim mikro hutan meliputi suhu, kelembaban, angin, curah hujan dan radiasi surya. Nilai rata-rata fraksi PAR adalah pada 50 % dari total radiasi matahari yang datang. Penyerapan PAR semakin tinggi dengan semakin terbukanya tutupan kanopi. Pendugaan LAI dari data satelit mnunjukkan LAI tertinggi adalah 4,8 dan terendah adalah 1,9. Nilai NDVI tertinggi adalah 0,45 pada kanopi tertutup pada ketinggian 1409 m dan nilai terkecil adalah 0,20 pada kanopi terbuka pada ketinggian 1449 m. Nilai NDVI sebanding dengan kerapatan kanopi. Makin rapat tutupan kanopinya (LAI tinggi) maka makin tinggi nilai NDVI. Hubungan antara fapar dengan NDVI adalah fapar = - 0, ,339 NDVI. Hubungan fapar dengan NDVI pada semua tutupan dengan tidak memperhatikan tipe tutupan menunjukkan nilai R Hal ini berarti nilai fapar dan NDVI berhubungan secara linier sehingga nilai fapar dapat diduga dari NDVI. Kata kunci : radiasi, PAR, fapar, NDVI

3 PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM ISNTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

4 Judul Skripsi : Penyerapan Radiasi Matahari oleh Kanopi Hutan Alam : Korelasi Antara Pengukuran dan Indeks Vegetasi (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) Nama : Mochammad Taufiqurrochman Abdul Aziz Zein NIM : G Disetujui Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Tania June, M.Sc Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP NIP Diketahui Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Dr. Drh. Hasim, DEA NIP Tanggal Lulus :

5 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasullullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman. Penulis berterimakasih kepada Allah SWT dan semua pihak sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2008 ini adalah agrometeorologi bidang iklim mikro hutan, dengan judul Penyerapan Radiasi Matahari oleh Kanopi Hutan Alam : Korelasi Antara Pengukuran dan Indeks Vegetasi (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah). Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada berbagai pihak, diantaranya Dr. Tania June, M.Sc dan Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai dosen pembimbing. Kedua orang tua dan saudara-saudara atas doa dan motivasinya. Lab. Agrometeorologi members, dan Lab. PPLH. Teman-teman angkatan 41, kakak tingkat, dan adik-adik tingkat di Departemen Geofisika dan Meteorologi. Seluruh karyawan dan staff departemen Geofisika dan Meteorologi. Orenz community (Kiki, Dika, Abi, Bama, Bumen, Faisal, Hendi, Okoy, Casnan serta tak lupa Hamdan, Imam dan Nana). Terima kasih juga kepada teman-teman di kostan Lamin dentist, Awang, Bogie, Farid dan Yadi. Terima kasih juga untuk Nini Sriani atas bantuan semangat, kepercayaan dan bahan tulisannya serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis meyakini bahwa ketidaksempurnaan adalah wujud kesempurnaan manusia dalam berusaha. Penulis menerima dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang menjadikan karya tulis ini lebih baik. Semoga karya ini dapat digunakan dan bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Terima kasih Bogor, Oktober 2009 Penulis i

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 25 September 1986 dari ayah Mochamad Charimi dan ibu Mudrikah. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Penulis tinggal dan dibesarkan di dua kabupaten yaitu di kabupaten Cilacap dan kemudian pindah ke kabupaten Banyumas tepatnya di Kota Purwokerto. Tahun 2004 Penulis lulus dari SMAN 4 Purwokerto dan pada tahun yang sama juga diundang oleh Institut Pertanian Bogor untuk studi menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Undangann Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama masa studi, penulis ikut berperan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan serta organisasi kemahasiswaan. Beberapa diantaranya adalah menjadi anggota Kerohanian Islam HIMAGRETO, ketua Dept. Kerohanian HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi), Divisi Wirausaha SERUM-G (Serambi Ruhyah Mahasiswa G/FMIPA) dan mengikuti kepanitian dalam berbagai kegiatan. Penulis pernah mengikuti kegiatan praktik lapang di deputi Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta Pusat selama bulan Juni-Agustus Penulis melakukan penelitian sebagai peneliti di STORMA (Stability of Rain Forest Margins) pada bulan Mei ii

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 1 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Iklim Mikro Hutan... 2 Interaksi Cahaya (Radiasi Matahari) dengan Kanopi Tanaman... 3 Hubungan Antara Penyerapan Radiasi dengan Indeks Vegetasi... 5 Leaf Area Index (LAI)... 5 Dasar Penginderaan Jauh... 6 Tinjauan Pustaka Wilayah Penelitian... 7 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat... 8 Alat dan Bahan... 8 Metode Penelitian... 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Iklim Mikro Hutan Albedo Photosyntetic Active Radiation (PAR) LAI dan NDVI fapar dan NDVI KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

8 DAFTAR TABEL Halaman 1. Penggolongan radiasi matahari menurut panjang gelombang Karakteristik satelit Quickbird Deskripsi band citra Quickbird Tutupan kanopi titik pengamatan Radiasi global pada periode pengamatan Nilai maksimum Radiasi Global di berbagai tempat Nilai NDVI dan dugaan LAI berdasarkan tipe tutupan kanopi hutan Nilai fapar pada berbagai titik pengamatan iv

9 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan antara LAI dengan NDVI Menara Bariri Peta Lokasi studi kasus Li-Cor Quantum sensor sebagai sensor PAR GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui koordinat penelitian Instrumen pengukuran radiasi di bawah kanopi Sketsa formasi titik pengukuran Posisi peralatan terhadap kanopi hutan pada saat pengukuran Diagram alir Penelitian Profil Suhu pada puncak kanopi Profil Suhu dari dalam Kanopi Profil Suhu dari Atmosfer Profil kelembaban relatif (RH) pada periode pengamatan Profil kecepatan angin pada periode pengamatan Profil Radiasi Global pada periode pengamatan Profil Albedo pada periode pengamatan Profil PAR dan rpar di Puncak Kanopi pada periode pengamatan Profil PAR di bawah kanopi tertutup Profil PAR di bawah kanopi terbuka Profil PAR di bawah kanopi menengah Perbandingan nilai PAR berdasarkan tipe tutupan kanopi terhadap radiasi PAR yang datang pada puncak kanopi Persentase jumlah PAR yang terukur terhadap radiasi global (Rs) Penyerapan PAR pada tiap tutupan kanopi Peta sebaran NDVI di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, hutan Babahaleka dan sekitarnya Peta sebaran titik pengamatan Hubungan fapar dengan NDVI v

10 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta sebaran NDVI hutan Babahaleka dan sekitarnya Lampiran 2. Peta sebaran NDVI pada lokasi penelitian Lampiran 3. Persentase penyerapan PAR pada tiap tipe tutupan kanopi Lampiran 4. Data Pengukuran di Menara Bariri Lampiran 5. Pengukuran PAR dan Radiasi di bawah kanopi Lampiran 6. Taman Nasional Lore-Lindu dan Dokumentasi Penelitian vi

11 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu permukaan bervegetasi dengan variasi ketinggian dan kerapatan serta memiliki sistem ekologi yang kompleks. Salah satu jenis hutan adalah hutan alam atau hutan primer. Menurut Sudarmadi (1981) diacu dalam Fujiyanto (1996) hutan primer merupakan istilah yang digunakan untuk kawasan hutan yang belum tereksploitasi. Kondisi hutan primer sangat stabil jika dilihat dari segi ekologi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada hutan primer telah terjadi keseimbangan ekologi yang mencerminkan kondisi tanah, iklim serta geografis wilayah. Produktivitas suatu permukaan bervegetasi (misal : hutan), berhubungan dengan banyak faktor. Faktor utama dalam menentukan produktivitas itu adalah energi radiasi matahari. Menurut Kondratyev (1969), energi radiasi matahari pada dasarnya merupakan satu-satunya sumber energi utama yang mempengaruhi proses di atmosfer dan proses lainnya di permukaan bumi. Matahari memancarkan radiasi pada berbagai spektrum panjang gelombang. Spektrum panjang gelombang radiasi matahari yang dimanfaatkan oleh tumbuhan adalah spektrum sinar tampak. PAR (Photosynthetically Active Radiation) merupakan bagian dari spektrum sinar tampak (400 sampai 700 nm) yang diserap oleh klorofil tanaman. Penyerapan cahaya oleh klorofil berdimensi sangat luas dengan selang panjang gelombang yang sempit yaitu antara 480 nm dan 700 nm. Spektrum cahaya hijau (~550 nm) merupakan bagian dari PAR. spektrum ini mendapat proporsi pemantulan lebih besar dibandingkan spektrum panjang gelombang PAR lain. Hal ini menyebabkan tanaman tampak berwarna hijau. fapar merupakan bagian dari PAR, yaitu PAR yang diserap oleh tanaman. Penyerapan PAR oleh kanopi tanaman pada kawasan hutan merupakan proses sesaat atau proses yang berlangsung cepat dengan variasi yang sangat tinggi bergantung pada hari dan musim serta bersifat tahunan. Untuk mengetahui jumlah cahaya yang diserap oleh kanopi tanaman diperlukan pengamatan fapar secara kontinu. Pada umumnya, sensor satelit tidak dapat mengumpulkan data secara kontinu pada semua titik dan hanya mengukur pada area dan waktu tertentu. Namun, dengan menentukan variasi fapar pada hari dan kanopi tertentu, maka rata-rata nilai fapar dapat diperkirakan. fapar ditentukan menggunakan penginderaan jauh berdasarkan struktur permukaan dan sifat optis yang berpengaruh terhadap spektral pantulan permukaan (Tucker 1979 diacu dalam Myneni and Williams 1994). Pengukuran fapar menggunakan suatu nilai indeks vegetasi berasal dari persamaan empiris substansial. Beberapa penelitian yang menyatakan hubungan antara fapar dan NDVI diantaranya adalah penelitian pendugaan NPP hutan di negara-negara Asia Timur diperoleh hubungan fapar = -0, ,25 NDVI (Ruimy et al dalam Churniawan 2009). Selain itu, penelitian mengenai pendugaan NPP hutan di India menghasilkan hubungan fapar = - 0,31 + 1,9 NDVI (Dye & Hooda 1996 dalam Churniawan 2009). Kemudian penelitian produksi hutan di Australia menggunakan hubungan fapar = - 0,08 + 1,67 NDVI (Prince & Goward 1996 dalam Churniawan 2009). Terakhir, penelitian mengenai NPP semua tipe vegetasi di Asia mendapatkan hubungan fapar = - 0,08 + 1,075 NDVI (Ochi & Shibasaki 1999). Persamaan ini telah membuktikan hubungan fapar dengan spektral indeks vegetasi. Terdapat minimal empat hal yang diperlukan untuk mengubah data satelit yang berupa spektral permukaan menjadi nilai fapar permukaan. Hal tersebut adalah heterogenitas piksel, latar belakang, atmosfer dan efek dua arah objek (Myneni and Williams 1994). Hubungan antara fapar dan indeks vegetasi tersebut belum dilakukan di Indonesia, sehingga penelitian sejenis seperti ini dilaksanakan. Twele et al. (2006) memperoleh hubungan eksponensial antara NDVI dengan LAI untuk tanaman hutan tropis (Tropical Forest) pada Taman Nasional Lore-lindu. Dengan adanya penelitian tersebut, dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan bahwa fapar berhubungan dengan indeks vegetasi daerah tersebut sehingga penelitian ini dilakasanakan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation (fapar) dengan suatu indeks vegetasi (NDVI) berdasarkan data citra menggunakan satelit Quickbird. Korelasi ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui penyerapan radiasi oleh kanopi hutan atau hutan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai penelitian dan analisis lebih lanjut. 1

12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Iklim Mikro Hutan Pengamatan terhadap karakterisitk iklim mikro meliputi pengukuran terhadap unsur atau variabel pembentuk iklim mikro hutan. Faktor iklim dalam kanopi sangat dipengaruhi oleh karakteristik kanopi itu sendiri. Keadaan iklim mikro kanopi terdiri dari radiasi surya, curah hujan, suhu udara, kelembaban nisbi dan gerak angin Radiasi Surya Permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 K akan memancarkan radiasi sebesar 73,5 juta W/m 2. Radiasi yang sampai di puncak atmosfer rata-rata 1360 W/m 2, hanya sekitar 50 % saja yang diserap oleh permukaan bumi, 20 % diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30 % dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer (Handoko 1993). Energi matahari yang jatuh pada permukaan bumi berbentuk gelombang elektromagnetik yang merambat dengan kecepatan cahaya. Panjang gelombang radiasi matahari berbentuk spektrum elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang mulai dari satuan Angstrom sampai ratusan meter. Spektrum matahari biasanya dibagi menjadi beberapa nilai panjang gelombang seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Penggolongan radiasi matahari menurut panjang gelombang. Panjang gelombang < µm µm µm µm µm µm µm µm µm µm µm 1.5 µm µm 5.6 µm µm > 1000 µm Sumber : Tjasyono hlm 59 Jenis radiasi Sinar x dan γ Ultraviolet jauh Ultraviolet menengah Ultraviolet dekat Cahaya tampak Inframerah dekat Inframerah menengah Inframerah jauh Gel. Mikro dan radio Energi matahari disebarkan dan disimpan dalam bentuk termal, mekanikal atau kimia, energi gelombang pendek (matahari) dan energi gelombang panjang (terestrial/bumi). Beberapa faktor yang menentukan besarnya radiasi yang datang adalah tingkat keawanan, tinggi matahari dan kondisi atmosfer. Tingkat keawanan dan tinggi matahari (atau sudut datang matahari) merupakan faktor utama yang menentukan variasi besarnya radiasi yang datang di bumi (Kondratyev 1969) Radiasi Netto Radiasi netto merupakan selisih antara energi radiasi yang diserap (diabsopsi) dan yang dipancarkan oleh permukaan bawah, oleh atmosfer atau oleh sistem bumi-atmosfer (Kondratyev 1969). Pemanasan atmosfer terjadi terutama ditentukan oleh jumlah radiasi yang diterima oleh permukaan dan respon permukaan terhadap radiasi yang diterima. Radiasi netto dari suatu permukaan terdiri dari radiasi langsung (direct) dan radiasi baur (diffuse) serta dari pancaran atmosfer yang diserap dan ditahan oleh suatu permukaan setelah kehilangan panas akibat emisi termal dari permukaan itu. Persamaan neraca energi bumi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut. R n = R s - R s + R l - R l... (1) dengan : R n : Radiasi netto R s : Radiasi gelombang pendek yang datang R s : Radiasi gelombang pendek yang meninggalkan bumi R l : Radiasi gelombang panjang yang datang R l : Radiasi gelombang panjang yang meninggalkan bumi Curah Hujan Presipitasi didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi (Tjasyono 1999). Dalam kanopi hutan, hujan akan mengalami penyerapan hujan yang disebut intersepsi. Intersepsi sangat dipengaruhi oleh karakteristik kanopi hutan. Pengukuran curah hujan untuk hutan alam dilakukan dengan menghitung curah hujan sebelum terjadinya intersepsi oleh kanopi hutan Suhu Suhu merupakan energi kinetik rata-rata molekul-molekul udara suatu sistem tertentu. Pengukuran suhu diperlukan untuk mengetahui hubungan antara sumber energi dan pengaruhnya terhadap sistem tersebut. Profil suhu sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi secara diurnal pada suatu permukaan. Pengukuran suhu dalam pengamatan iklim mikro hutan adalah pengukuran suhu udara dan suhu tanah. Suhu udara yang terukur merupakan suhu puncak kanopi, suhu dari atmosfer dan suhu dari dalam kanopi. 2

13 2.1.5 Angin Angin ialah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi. Angin disebabkan oleh perbedaan tekanan atmosfer antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Udara bergerak dari tempat yang mempunyai tekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah. Angin merupakan besaran vektor sehingga dinyatakan dalam arah dan laju. Kecepatan angin dinyatakan dalam satuan m/detik, km/jam, mil/jam atau knot. Pengukuran terhadap parameter angin meliputi pengukuran kecepatan angin dan arah angin Kelembaban Udaraa Udara merupakan campuran antara udara kering dan uap air. Salah satu caraa untuk menyatakann jumlah air di udara adalah dengan menentukann kelembaban. Kelembaban nisbi (RH) merupakan perbandingan antaraa nisbah percampuran (r) dengann nilai jenuhnya (rs) dan dinyatakan dalam persen (%).... (2) Dengan : r : Nisbah percampuran (mixing ratio) rs : Nisbah percampuran jenuh e : Tekanan uap parsial es : Tekanan uap jenuh 2.2 Interaksi Cahaya (Radiasi Matahari) dengann Kanopi Tanaman Cahayaa matahari atau radiasi gelombang pendek merupakan sumber energi utama untuk tumbuh-tumbuhan. Radiasi gelombang panjang juga merupakan faktor penting dalam keseimbangan energi di siang hari. Radiasi gelombang panjang merupakan komponen utama keseimbangan energi di malam hari. Di dalam kanopi tanaman, radiasi mempunyai peran penting dalam pemanasann dan fotosintesis. Selain itu, radiasi juga berperan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Transfer radiasi dalam kanopi tanaman merupakan hal yang sangat rumit. Terdapat sejumlah besar penyerapan, pemantulan, transmisi dan emisi radiasi internal di dalam kanopi Cahaya dan PAR Cahayaa matahari memiliki spektrum yang sangat luas. PAR atau Photosynthetically Active Radiation adalah salah satu bagian dari spektrum radiasi matahari yang termasuk dalam cahaya tampak ( nm ). Dengan adanya PAR ini tanaman tampak berwarna hijau bagi manusia karena pemantulan terbesar padaa spektrum sinar berwarna hijau (550 nm). a. Cahayaa Cahaya merupakan faktor yang sangat penting bagi tanaman. Cahaya tampak (visible light) penting bagi tanaman karena sangat berkaitan erat dengan fluks fotosintesiss ( nm). Cahaya dengan panjang gelombang selain fluks fotosintesis juga penting untuk tanaman. Misalnya cahaya inframerah jauh (far-red light, nm) mempengaruhi morfogenesis. Selain itu, sinar ultraviolet dapat membahayakan tanaman (Tang 1997 diacu dalam Prasad 1997). b. Incident PAR Incident PAR adalah sejumlah PAR yang datang pada puncak atmosfer. Jumlah PAR yang berada di puncak kanopi bervariasi tergantung letak lintang dan topografi, variasi diurnal akibat perbedaan sudut datang matahari, variasi penutupan awan dan gangguan atmosfer. c. Intercepted PAR (IPAR), absorbed PAR (APAR), dan Fractional PAR (fpar) Intercepted PAR (IPAR) adalah sejumlah PAR yang ditangkap oleh lapisan kanopi sebagai incident PAR pada kanopi yang terus menembus lapisan kanopi hingga ke tanah. Absorbed PAR (APAR) adalah jumlah PAR yang diserap kanopi sesungguhnya setelah dikurangi Reflected PAR. Fractional PAR (fpar) membagi incident PAR ke dalam intercepted (fipar) atau absorbed (fapar) d. Instantaneous fapar, average daily fapar dan integrated APAR Penyerapan PAR oleh kanopi tanaman yang terjadi pada proses sesaat atau proses yang berlangsung cepat dengan variasi bergantung hari dan secara musiman bergantung tahun Emisi Setiap permukaan di permukaan bumi akan mengemisikan atau memantulkan radiasi yang diterimanya. Berdasarkan Hukum Planck, setiap objek akan mengemisikan radiasi elektromagnet jika permukaannya memiliki suhuu diatas suhu absolut yaitu 0 K Distribusi cahaya dalam kanopi Cahaya dalam kanopi tanamann akan mengalami penyerapan (absorpsi), penerusan (transmisi) dan pemantulan (refleksi). Pola penyerapan, penerusan dan pemantulan cahaya untuk kebanyakann suatu permukaan 3

14 daun hijau dibedakan dalam tiga wilayah panjang gelombang, yaitu tampak ( nm), Inframerah dekat ( nm) dan inframerah menengah (> 1500) (Lihat Tabel 2.1). Pembagian energi cahaya dalam penyerapan, penerusan dan pemantulan tergantung pada: 1. Struktur bagian dalam daun (kanopi) 2. Sifat permukaan daun (kanopi), termasuk didalamnya adalah kekasaran permukaan daun dan sifat daun. 3. Morfologi dan fisiologi daun. Sifat optis daun sangat diperlukan khususnya dalam interpretasi pemrosesan data penginderaan jauh (Nilson 1991;Vogelmann 1994 dalam Tang 1997 diacu dalam Prasad 1997) Intersepsi Radiasi Incident PAR yang terjadi pada puncak kanopi dapat ditentukan dengan menentukan profil radiasi di dalam kanopi tanaman yang terpengaruh oleh struktur kanopi. Karakteristik radiasi ini bergantung pada berbagai macam sifat kanopi dan permukaan dasarnya. Pada level tertentu di dalam sebuah kanopi, radiasi matahari yang datang (radiasi langsung dan radiasi baur) sangat bergantung pada sifat horizontal. Hal ini disebabkan karena adanya sunfleck (bintik cahaya) dan bayangan pada wilayah peralihan yang disebut dengan penumbra antara dua lapisan kanopi. a. Absorpsi Tanaman melakukan proses absorpsi atau penyerapan dan perubahan energi pada pigmen-pigmen khusus yang kompleks. Pigmen-pigmen ini berada di daerah hydrophobic pada membran fotosintesis (Boardman et al ; Thomber et al diacu dalam Foyer 1984). Penyerapan cahaya oleh daun sangat bervariasi bergantung pada karakteristik daun. Pada umumnya, sebuah daun dapat menyerap % cahaya yang datang. Hampir semua UV diserap oleh kulit terluar dari lapisan epidermis pada daun. Penyerapan cahaya dilakukan oleh klorofil tanaman pada membran fotosintesis dibantu dengan pigmen klorofil-a dan pigmen klorofil-b. Setiap organisme yang melakukan fotosintesis, minimal memiliki satu jenis molekul klorofil. Tumbuhan tingkat tinggi mengandung klorofil-a dan klorofil-b. Klorofil ini mengandung membran fotosintesis yang mengabsorpsi dan mendorong penyaluran energi ke tempat berlangsungnya proses photochemistry (proses kimia dalam fotosintesis yang memerlukan cahaya). Kegiatan ini disebut sebagai pemanenan energi cahaya Pemanenan cahaya ini melibatkan suatu sistem kompleks yang disebut antenna system. Sistem ini memiliki beberapa tipe pigmen pengabsorpsi cahaya. Setiap pigmen ini memiliki kemampuan mengabsorpsi cahaya secara maksimal pada panjang gelombang tertentu sehingga sistem ini mampu untuk menyerap semua jenis panjang gelombang yang dibutuhkan (Foyer 1984). Pada beberapa kondisi, fotosintesis tanaman dibatasi oleh kapasitas proses difusi, karena selang transisi cover memiliki selang yang besar dari intensitas radiasi dan karena beberapa daun dibuka untuk penjenuhan intensitas radiasi sepanjang hari. Jumlah dari pembuangan radiasi oleh pembukaan daun sampai penjenuhan intensitas cahaya adalah fungsi dari penyusunan daun, sudut surya dan intensitas radiasi. Menurut hukum Beer-Lambert penyerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh spesies-spesies tertentu dapat ditentukan menggunakan koefisien penyerapan yang disebut k. Koefisien k ini juga disebut sebagai koefisien pemadaman. Ketika kita menganggap sebuah cahaya monokromatik (cahaya dengan panjang gelombang tertentu) melewati suatu larutan yang berisi sebaran substansi pada sebuah larutan yang tidak terlarut, maka kuantitas dari cahaya (A λ ) akan terserap oleh substansi tersebut. Substansi ini memiliki kemampuan menyerap kuantitas cahaya bergantung pada kerapatannya (c). Selain substansi larutan, panjang bagian cahaya yang melewati larutan (b) tersebut juga akan mempengaruhi penyerapan kuantitas cahaya.... (3) Dengan I o adalah kerapatan cahaya dari cahaya yang datang dan I adalah kerapatan cahaya setelah melewati suatu halangan (larutan). Persamaan ini dikenal sebagai hukum Beer dan juga digunakan sebagai dasar hukum Beer-Lambert. Ketika sebuah sinar monokromatik I o melewati medium yang homogen, dapat diketahui nilai I berdasarkan persamaan sebelumnya yaitu :... (4) Penyerapan cahaya dalam kanopi tanaman terjadi secara eksponensial, bergantung pada jumlah total daun. Berdasarkan Monsi dan Saeki (1953) dalam 4

15 Tang diacu dalam Prasad (1997) terhadap modifikasi Hukum Beer-Lambert, rata-rata perubahan kerapatan energi cahaya (I) pada sebuah permukaan horizontal dibawah lapisan daun tertentu dapat diterangkan dengan :... (5) I o merupakan kerapatan cahaya pada lapisan puncak kanopi. k merupakan koefisien pemadaman yaitu parameter dari sifat daun. LAI (Leaf Area Index/Indeks Luas Daun) merupakan perbandingan antara luasan tajuk dengan luas pernukaan tanah. b. Refleksi dan Transmisi Sinar tampak umumnya sedikit dipantulkan oleh daun, yaitu sekitar 6 hingga 10 % dari cahaya yang datang (Walter-shea dan Norman 1991 dalam Tang 1997 diacu dalam Prasad 1997). Beberapa jenis daun di daerah beriklim hangat dan pada hutan hujan tropis, pemantulan dapat terjadi mencapai 15 % pada sinar tampak. Terdapat nilai reflektansi tinggi pada panjang gelombang hijau (hingga %). Sedangkan sinar UV sedikit dipantulkan oleh daun (3%). Pemantulan sinar inframerah (kira-kira sebesar 70 %) memberikan informasi penting terhadap keadaan dari daun atau kanopi tersebut. Transmisi pada daun tunggal sangat bervariasi dari < 3 % hingga mencapai 40 % dari cahaya yang datang. Daun yang lunak, lentur dan tipis memiliki transmisivitas yang lebih tinggi dibandingkan daun yang keras, kasar dan tebal. Namun, secara relatif sinar tampak sedikit ditransmisikan oleh daun hijau. Transmisi cahaya oleh daun mempunyai nilai yang kecil pada spektrum panjang gelombang hijau karena sebagian besar cahaya ini dipantulkan oleh daun. 2.3 Hubungan antara Penyerapan Radiasi dengan Indeks Vegetasi Fraksi penyerapan PAR oleh jaringan tanaman dalam suatu kanopi (fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiotion/fAPAR) tergantung dari luasan incident radiasi, struktur dan sifat optik kanopi, serta nilai reflektansi dari sifat latar belakang tanah (Myneni and Williams 1994). Perkiraan perhitungan fapar membutuhkan gabungan dari penyerapan spectral pada interval panjang gelombang µm (Myneni et al diacu dalam Myneni and Williams 1994). Masih menurut Myneni dan Williams (1994), pada kenyataannya minimal terdapat lima band dalam interval µm pada penyerapan oleh atmosfer kurang dari 10%. Rata-rata 90 % PAR yang diterima langsung oleh tanaman memilki tiga band µm, µm dan µm (dengan masing-masing berturutturut adalah 38%, 20% dan 32%). Kontribusi band-band ini pada fapar rata-rata adalah 0.35, 0.15 dan Dengan tersedianya band ini, fapar yang terukur dapat merepresentasikan nilai 90% pada tanaman aslinya. Lebih lanjut ditambahkan oleh Myneni dan Williams (1994) bahwa fapar dapat mencapai 95 % sesuai aslinya apabila terdapat band µm. Menurut mereka, hasil ini merupakan pengukuran terbaik pada perkiraan total fapar yang diserap oleh tanaman. Berdasarkan hubungan tersebut dapat diketahui bahwa penyerapan radiasi (fapar) dapat diukur berdasarkan nilai panjang gelombang yang dipancarkan oleh tanaman yaitu melalui suatu indeks vegetasi. Namun Myneni dan Williams (1994) menambahkan bahwa meskipun fapar secara fungsional berhubungan dengan nilai total indeks luas daun yang direpresentasikan melalui NDVI, untuk berbagai parameter (misal : nilai reflektansi tanah) pengaruhnya sangat berbeda. 2.4 Leaf Area Index (LAI) Pendugaan LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert juga dikenal sebagai pendekatan optik. Pendekatan Beer-Lambert membandingkan intensitas radiasi surya pada dua ketinggian yang berbeda dan menunjukkan penetrasi di dalam tajuk tumbuhan yang merupakan fungsi ketinggian tajuk dan dinyatakan dalam akumulasi indeks luas daun. Menurut Monsi dan Saeki (1953) diacu dalam Rosenberg et al. (1983) Hukum Beer- Lambert mengasumsikan bahwa tajuk tumbuhan adalah homogen, semua radiasi yang datang langsung mengenai permukaan daun, langit dalam kondisi isotropik dan nilai koefisien pemadaman (k) adalah konstan. Asumsi tersebut memang sukar dipenuhi karena adanya sifat tajuk tumbuhan secara alamiah yang bersifat heterogen. Selain pendekatan secara optik menggunakan hukum Beer-Lambert, LAI dapat diduga dengan menggunakan citra satelit. Pendugaan LAI didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi yaitu daun, substrat dan bayangan. 5

16 Gambar 2.1. Hubungan antara LAI dengan NDVI (Sumber : Twele et al. 2006) Daun memantulkan secara lemah panjang gelombang biru dan merah. Namun, memantulkan secara kuat panjang gelombang inframerah dekat. LAI daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tetapi berhubungan positif dengan pantulan inframerah dekat. Rasio pantulan merah dengan inframerah dekat selanjutnya menunjukkan kenaikan LAI (Lo 1995). Twele et al. (2006) mendapatkan hubungan eksponensial antara NDVI dengan LAI untuk tanaman hutan tropis (Tropical Forest) pada Taman Nasional Lore-Lindu seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1. Persamaan dari Twele et al. (2006) adalah LAI = -0, ,543NDVI dan LAI 0,1812, NDVI dengan nilai R Hubungan ini dapat digunakan karena hasil interpolasi antara NDVI dengan LAI yang telah dilakukan oleh Twele et al. (2006) tersebut menunjukkan korelasi yang sangat baik. Persamaan ini telah digunakan oleh June et al. (2006) untuk menghitung besarnya penyerapan radiasi dan CO 2 di Taman Nasional Lore-Lindu. 2.5 Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh mempunyai kemampuan untuk menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan bumi dalam jumlah yang banyak dan waktu yang cepat Satelit Quickbird Quickbird merupakan satelit pertama dari digital globe yang memberikan perekaman dengan resolusi yang tinggi. Quickbird dirancang dan dibangun oleh beberapa kontraktor ternama seperti Ball Aerospace and Technologies corp, Kodak dan Fokker space ( Tabel 2.2 Karakteristik satelit Quickbird Karakteristik Keterangan Tanggal 18 Oktober 2001 Peluncuran Wahana Boeing Delta II Lokasi Vandenberg Air Force Base, California Ketinggian 450 km Orbit Inklinasi 97.2 derajat, sunsynchronous Kecepatan 7.1 km/second Ekuator 10:30 a.m. (descending node) Waktu edar 93.5 menit Waktu kembali days depending on latitude (30 o off-nadir) Lebar 16.5 km at nadir Akurasi metrik 23-meter horizontal (CE 90%) Digitization 11 bits Sumber : QuickBird Imagery Products, product Guide (2006) Satelit Quickbird didesain untuk pengamatan secara efisien dan akurat dalam skala yang luas. Satelit Quickbird mampu memperoleh 75 juta kubik kilometer data pencitraan setiap hari. Karakteristik pencitraan dari Quickbird terlihat pada rentang panjang gelombang dengan resolusi tertentu. Tabel 2.3 Deskripsi band citra Quickbird Wavelength Region Resolusi Band Pan chromatic (µm) (blue) (green) (red) (near-ir) (PAN) (m) Sumber : Peluncuran satelit Quickbird pertama diawali pada bulan November 2000 dan gagal diluncurkan. Kemudian Quickbird 2 berhasil diluncurkan pada 18 Oktober 2001 yang dibawa oleh Delta II di Vandenberg Air Force Base, California. Sensor yang dimiliki satelit ini adalah sensor panchromatic dan multispectral. Quickbird 2 mempunyai mempunyai orbit sepanjang 600 km, sebuah kutub dan berbentuk sirkular serta lebar cakupannya seluas 22 km. Satelit ini mempunyai orbit sinkronis terhadap matahari (sun-synchronous). Lihat Tabel

17 2.5.2 Indeks Vegetasi Normalized Difference Vegetative Index (NDVI) memberikan sebuah perhitungan berdasarkan beberapa pita spektral dari produk fotosintesis (jumlah bahan hijau) dalam sebuah piksel dari citra satelit. NDVI merupakan metode yang sering digunakan untuk memanfaatkan data spektral indeks vegetasi (Spectral Vegetation Index (SVI)) dari penginderaan jauh. Pengukuran ini menilai tingkat kehijauan vegetasi pada suatu area. Dibutuhkan dua band untuk menghitung indeks ini. Pertama adalah nilai pantulan untuk spektrum merah (red) dan yang kedua adalah nilai pantulann untuk spektrum inframerah dekat (NIR). Perhitungann NDVI menurut Rouse et.al (1974) adalah :... (6) NDVI bernilai antara -1 hingga 1, dengan nilai -1 berarti menunjukkan ketidakberadaan vegetasi yang aktif melakukan fotosintesiss dan nilai 1 menunjukkan tingkat vegetasi yang sangat aktif melakukan fotosintesis. NDVI memperlihatkan pola pertumbuhan vegetatif dari hijau mantap sampai berhenti dengan menunjukkan jumlah biomassa fotosintesis yang aktif pada sebuah permukaan. Citra seperti ini dapat menunjukkan peta yang menunjukkan tingkat kehijauan visual dan bisa sangat berharga untuk manajemen lahan dan penelitian untuk menentukan perubahan vegetasi seiring dengan waktu. NDVI adalah perbedaan nilai-nilai inframerah (NIR) dan red (R) yang dapat dilihat, dinormalisasikan sejalan pantulan (Burgan 1993). Nilai NDVI positif (+) terjadi apabila vegetasi lebih banyak memantulkan radiasi pada panjang gelombang inframerah dekat dibanding pada cahaya tampak. Nilaii NDVI nol (0) terjadi apabila pemantulan energi yang direkam oleh panjang gelombang cahaya tampak sama dengan gelombang inframerah dekat. Hal ini sering terjadi pada daerah permukiman, tanah bera, darat non vegetasi, awan dan permukaan air. Sedangkan nilai NDVI negatif (-) terjadi apabila permukaan awan, air dan salju lebih banyak memantulkan energi pada panjang gelombang cahaya tampak dibandingkan pada inframerah dekat. Perhitungan nilai NDVI sangat dipengaruhi oleh beberapa gangguan, termasuk : 1. Efek atmosfer, komposisi atmosfer (terutama yang berhubungan dengan uap air dan aerosol). 2. keawanan, berpengaruh terhadap penerimaan citra yang diperoleh. 3. Efek tanah, kondisi tanah yang lebih gelap ketika basah, nilai pantulannya terpengaruh oleh kandungan air. 4. Efek anisotropik, semua permukaan (alami maupun buatan manusia) memantulkan cahaya yang berbeda pada arah yang berbeda. 5. Efek spektral, setiap sensor dari satelit mempunyai karakteristik dan performa yang berbeda terhadap pengukuran fapar dan NDVI Menurut Myneni dan Williams (1994), nilai fapar meningkat sesuai dengan utupan permukaan, nilai total indeks luas daun, nilai reflektansi dan sudut puncak matahari. Sedangkan nilai fapar menurun dengan peningkatan nilai reflektansi dan nilai transmisi daun, sudut jatuh rata-rata daun dan kedalaman sifat fisis atmosfer. Dalam hubungannya, fapar dan NDVI untuk puncak kanopi memiliki nilai yang hampir sama untuk kanopi homogen maupun kanopi heterogen. Hal ini juga menggambarkan bahwa hubungan fapar dan NDVI bergantung pada heterogenitas piksel. Terdapat kesesuaian antara NDVI puncak kanopi dengan fapar tanpa memperhatikan distribusi spasial luas daun dalam sebuah piksel. 2.6 Tinjauan Pustaka Wilayah Penelitian Wilayah pengamatann dalam penelitian ini berada dalam kawasan Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah. Wilayah pengamatan ini termasuk dalam wilayah studi STORMA. STORMA (Stabilityy of Rain Forest Margins) merupakan kerjasama antara beberapa universitas di Indonesia yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Tadulako (UNTAD) dengan Georg-August- of University of Göttingen dan University Kassel. Selain universitas tersebut, juga mendapat dukungan Balai Taman Nasional Lore-Lindu dan pihak Jerman yang terdiri dari Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG), Federal Ministry of Education and Research (BMBF), serta Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ) Taman Nasional Lore-Lindu Taman Nasional Lore-Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan terletak antara di sebelah timur dan di sebelah selatan. Taman Nasional Lore-Lindu, ditunjuk sebagai 7

18 taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1993 dengan luas kurang lebih mencapai ha. Secara administratif pemerintahan berada pada Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso, Propinsi dati I Sulawesi Tengah ( Taman Nasional Lore-Lindu merupakan kawasan datar, bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung dengan kisaran ketinggian antara mdpl. Puncak gunung tertinggi adalah Gn. Rorekatimbu dengan ketinggian kurang lebih m dpl ( mempunyai iklim tropika basah dengan ratarata curah hujan kawasan ini adalah mm/bulan dan curah hujan tahunan sekitar 2000 mm/tahun. Suhu udara rata-rata berkisar antara 17 o - 22 o C dengan kelembaban udara rata-rata %. Rata-rata radiasi global (Rs) yang datang pada hutan adalah 17,7 MJ/m 2 /hari dengan albedo sekitar 10,7 % (Rauf 2009). III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian berlangsung pada bulan Mei 2008 di kawasan Taman Nasional Lore-Lindu, tepatnya di hutan Babahaleka, Desa Bariri Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dan Laboratorium PPLH- IPB serta Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA - IPB untuk analisis data. Gambar 2.2 Menara Bariri Sumber : Dokumen pribadi Penelitian dilakukan secara spesifik di hutan Babahaleka, Desa Bariri, Kecamatan Lore tengah, Kabupaten Poso. Kawasan ini berada pada elevasi sekitar 1400 m diatas permukaan laut. Sesuai dengan klasifikasi hutan berdasarkan elevasi (ENEP-CMC, 2004), hutan Babahaleka termasuk dalam kawasan lower montane forest ( mdpl) (June et al. 2007). Lokasi ini memiliki menara bariri sebagai acuan untuk pengamatan. Menara bariri terletak pada daerah yang dapat mewakili lintang 1 o 39-1 o 42 S dan bujur 120 o o 12 E. Karakteristik vegetasi pada hutan Babahaleka oleh Dietz J, Twele A dan Grote A (data tidak dipublikasikan) terdiri dari 88 spesies pohon per hektar. Diantaranya didominasi oleh spesies Castanopsis BL (29%), Canarium vulgare Leenh (18%) dan Ficus spec (9.5%). Lebih dari 550 pohon berdiameter setinggi dada (DBH) > 0.1 m ditemukan per hektar dalam jumlah yang lebih 10 kali lipat dibandingkan pohon kecil. Luas jangkauan wilayah 50 m 2 per hektar. Pohon dengan BDH > 0.1 m, memiliki tinggi antara 12 sampai 36 m dengan rata-rata 21 m (June et al. 2007) Karakteristik Iklim Hutan Babahaleka, Taman Nasional Lore-Lindu sebagai tempat penelitian Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Sumber : Storma SubProject D6, Alat dan Bahan Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian dan analisis data adalah data dari satelit dan data pengukuran. Gambar 3.2 Li-Cor Quantum sensor sebagai sensor PAR Sumber : Gambar 3.3 GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui koordinat penelitian Sumber : Dokumen Pribadi 8

19 [a] [c] Gambar 3.4 Instrumen pengukuran radiasi di bawah kanopi, yaitu Data Logger/Combilog 1020 [a]; Pyranometer Kipp & Zonen [b]; dan Pyranometer [c] Sumber : Dokumen Pribadi Data tersebut meliputi Citra satelit Quickbird tahun 2004 area Bariri, data dari menara Bariri meliputi data Radiasi dan data PAR serta data iklim penunjang, Mini-Mobile AWS dengan beberapa perangkat pengukuran di dalamnya yaitu Sensor PAR (Li-Cor Quantum Sensor) untuk pengukuran PAR, Logger (Combilog 1020) sebagai input storage atau penyimapanan data, Digital Thermometer untuk pengukuran suhu, Sensor Radiasi (Pyranometer Kipp & Zonen) untuk pengukuran radiasi yang datang dan pantulannya, Pyranometer untuk mengukur radiasi netto kemudian GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi koordinat, kamera digital serta seperangkat [b] komputer dengan aplikasi software Adobe Photoshop, ERDAS IMAGINE 8.5, Arc View 3.3 dan Microsoft Office. 3.3 Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode pengamatan langsung yang dianalisis menggunakan data pembanding. Data hasil pengamatan langsung kemudian dibandingkan dengan data dari satelit sehingga dapat diperoleh hasil koreksi serta hubungan antara pengamatan langsung dan GIS (Lihat Gambar 3.7) Sampling dan pengambilan data Data yang dikumpulkan dilapangan diperoleh berdasarkan titik sampling yang telah ditentukan. Titik sampling ini merupakan titik acuan yang dipakai sebagai nilai sebaran untuk wilayah pengamatan. Data yang diambil untuk penentuan penyerapan radiasi oleh kanopi hutan alam berupa data iklim terutama data radiasi. Data radiasi berupa data radiasi yang langsung dari atmosfer atau matahari (incident radiation) dan data radiasi yang dipantulkan baik oleh dasar hutan maupun oleh lapisan dalam kanopi hutan tersebut (reflected radiation). Data tersebut diantaranya data radiasi global di puncak kanopi, radiasi global pada titik pengamatan, PAR, pantulan radiasi global di puncak kanopi dan titik pengamatan, pantulan PAR dan data iklim pendukung seperti suhu, kelembaban dan angin. Selain data pada titik pengamatan, data pada menara bariri juga dipakai sebagai pembanding. ± 900 m Luas sampel ± m 2 Gambar 3.5 Sketsa Formasi Titik Pengukuran 9

20 Keterangan : Base Camp Menara 48 m Menara utama Bariri (± 70 m) Sebaran titik pengamatan Sungai kecil Pemberian kode pada tiap titik pengamatan hanya digunakan untuk mempermudah analisis. Wilayah titik pengamatan menggunakan menara bariri sebagai pusat acuan pengamatan Penentuan Titik Sampling Sebaran data yang digunakan merupakan data yang mewakili tutupan kanopi tertentu. Terdapat 24 titik pengamatan acak yang tersebar yang dibagi menurut 3 kategori utama. Berikut merupakan kategori titik pengukuran : a. Tutupan kanopi 90 % hingga 100 % yang dibagi menjadi 2, pada altitude tinggi dan altitude yang rendah. b. Tutupan kanopi 70 % hingga 80 % c. Tutupan kanopi 50 % hingga 60 % Penentuan % tutupan kanopi dilakukan dengan cara visual yaitu menggunakan kamera digital yang dibidikkan ke atas pada titik pengamatan. Foto yang dihasilkan dari pemotretan itu kemudian dilihat secara visual dengan bantuan software seperti Adobe Photoshop untuk melihat persen tutupan kanopi. Kamera digital digunakan sebagai pengganti kamera hemiview karena adanya keterbatasan alat dan fasilitas. Tabel 3.1 Tutupan kanopi titik pengamatan Tipe tutupan kanopi Titik lokasi Tertutup, altitude tinggi SE7, SW5, NW5, NE12, SE6, SE8 Tertutup, altitude rendah NW7,SE9, SE10, NE11, NW6, NW4 Menengah NE7, NW3, SE2, NW1, NW2, SW1 Terbuka NE9, SE1, SW4, SE4, NE3, SW3 Titik lokasi pengamatan diberi kode sesuai dengan arah angin. SE adalah Southeast (Tenggara), SW adalah South-west (Barat Daya), NE adalah North-east (Timur Laut) dan NW adalah North-West (Barat Laut). Pemberian nomor setelah huruf arah mata angin menunjukkan jarak pengukuran terhadap titik acuan. Setiap angka dalam memiliki selang jarak 20 m. Misalnya, NE 12 berarti North-east 12 atau Timur Laut dengan jarak 240 m dari titik acuan menara bariri Pengolahan Awal Citra Satelit a. Penggabungan Citra Penggabungan citra merupakan salah satu cara yang dipakai untuk perbaikan spektral (spectral enhancement). Citra satelit Quickbird terdiri dari multispektral (2,6 x 2,6 m) dan pankromatik (0,6 x 0,6 m). Kedua jenis data dari dua jenis sensor ini memiliki resolusi spasial yang berbeda. Untuk dapat digunakan sebagai citra komposit yang padu maka kedua jenis citra ini digabungkan sehingga diperoleh resolusi yang lebih baik (0,6 x 0,6 m). b. Koreksi geometrik dan radiometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk menjadikan citra yang semula hanya bernilai semantik dapat mempunyai arti geografis. Pemberian arti geografis ini dilakukan untuk dapat menentukan lokasi kenampakan obyek pada citra dengan tepat di bumi. Koreksi dilakukan dengan mengambil beberapa titik kontrol tanah (GCP, Ground Control Point) yang digunakan sebagai titik acuan. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan error (kesalahan nilai spektral) citra satelit yang disebabkan oleh proses penyerapan, penghamburan dan pemantulan di atmosfer selama proses akuisisi citra satelit. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode Histogram Manually Adjustment Technique, karena metode ini termasuk sederhana dengan hanya melihat histogram setiap band secara bebas. Citra dengan resolusi tinggi seperti pada citra Quickbird, koreksi geometrik tidak harus dilakukan karena citra dengan resolusi tinggi relatif memiliki posisi geografis yang lebih baik. c. Resampling Teknik resampling merupakan upaya untuk mengubah resolusi citra spasial dengan merata-ratakan beberapa piksel untuk menghasilkan citra satelit dengan keluaran resolusi yang diinginkan. Resampling ini dilakukan karena adanya error dari posisi koordinat GPS yang meleset. Penelitian ini menggunakan teknik resampling metode nearest neighbor dengan menghitung rataan tiap piksel citra Quickbird (0,6 x 0.6 m) sehingga diperoleh resolusi spasial 20 x 20 m untuk satu piksel. 10

21 3.3.4 Perhitungan NDVI Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetative Index) diperoleh dengan menggunakan persamaan :... (7) Band 4 pada satelit quickbird merupakan pita Near Infra Red (N IR) dan band 3 merupakan pita pada panjang gelombang Red. (Lihat Tabel 2.3) Pendugaan LAI Berdasarkan prinsip kerja hukum Beer- Lambert dapat dilakukan suatu analogi bahwa pancaran yang sampai pada suatu kanopi tumbuhan yang homogen (hutan alam dianggap homogen) diserap (absorbed) dan diteruskan (transmitted). Asumsi yang digunakan pada perhitungan LAI dengan menggunakan hukum Beer-Lambert adalah bahwa tajuk hutan atau tumbuhan bersifat homogen, semua radiasi yang datang langsung mengenai permukaan daun, langit dalam kondisi isotropik dan nilai koefisien pemadaman (k) adalah konstan terhadap perubahan kedalaman serta terhadap tiap asumsi kanopi tertentu. Besarnya LAI dapat diketahui dengan mengetahui besarnya radiasi di permukaan kanopi dan radiasi pada lapisan dengan ketinggian tertentu pada kanopi serta nilai dari suatu koefisien pemadaman.... (8) ln.... (9) dengan : I k LAI... (10) : Radiasi yang ditransmisikan oleh suatu kanopi : Radiasi di permukaan kanopi : Koefisien pemadaman : Leaf Area Index (Indeks Luas Daun) Nilai diasumsikan sebagai nilai radiasi yang datang ke permukaan kanopi dan nilai I diperoleh berdasarkan pengukuran radiasi yang ditransmisikan oleh kanopi tumbuhan. Nilai koefisien pemadaman berkisar antara 0,3 0,5 untuk daun vertikal serta 0,7 1,0 untuk daun horizontal (June 1993). Nilai LAI juga dapat diperoleh dengan menurunkan data citra Quickbird dengan menggunakan persamaan dari Twele et al. (2006) yaitu : LAI 0,1812, NDVI... (11) LAI = -0, ,543NDVI... (12) Persamaan ini kemudian digunakan untuk mencari LAI berdasarkan nilai NDVI yang diketahui fapar dan NDVI fapar atau fraksi absorpsi dari PAR merupakan bagian dari PAR yang diserap dan digunakan oleh tanaman. Perhitungan Nilai fapar dilakukan dengan pengukuran terhadap radiasi. 11

22 a b puncak kanopi ±48 m c d bawah kanopi Gambar 3.6 Posisi peralatan terhadap kanopi hutan pada saat pengukuran Keterangan a : pengukuran PAR dan Radiasi global pada puncak kanopi b : pengukuran pantulan dari PAR dan Radiasi global pada puncak kanopi c : pengukuran PAR dan Radiasi pada titik pengamatann d : pengukuran pantulan dari PAR dan Radiasi titik pengamatan Pengukuran terhadap radiasi terdiri dari pengukuran radiasi gelombang panjang dan radiasi gelombang pendek. Masing-masinpengukuran terhadap pengukuran merupakan titik acuan lainnya. Pada pengamatan di puncak kanopi, pengukuran radiasi adalah radiasi yang datang (short wave dan long wave radiation) dan radiasi yang dipantulkan dari bawah (short and long wave radiation). Pengukuran photosyntetically active radiation (PAR) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut, PAR yang datang (PAR inc ) diukur menggunakan Li-Coke langit dan ditempatkan pada Quantum sensor menghadap menara bariri dengan ketinggian 48 m (a). Pantulan PAR (reflected PAR) oleh kanopi dan permukaan tanah/dasar hutan (PAR out ) diukur menggunakan Li-Cor Quantum sensor menghadap ke bawah dan ditempatkan di menara bariri dengan ketinggian 48 m (b). PAR yang ditransmisikan melalui kanopi (PAR transm ) diukur menggunakan Li-Cor Quantum sensor ditempatkan pada titik pengamatan kira-kira 1,5 m diatas permukaan tanah menghadap ke atas (c). PAR yang dipantulkan oleh permukaan tanah/dasar hutan (PAR soil ) diukur menggunakann Li-Cor quantum sensor ditempatkan kira-kira 1,2 m menghadap ke bawah (d) (Vi a dan Gitelson 2005). APAR = PAR inc PAR out PAR tr ransm + PAR soil... (13) atau dapat dituliskan sebagai : APAR = a b c + d... (14) fapar dihitung sebagai APAR/PAR inc Berdasarkan sketsa pengukuran pada gambar 3.7 dapat diketahui bahwa fapar dapat dibentuk dari pengukuran PAR dan Radiasi padaa a, b, c dan d dengan asumsi bahwa semua PAR yang dipantulkann oleh tanah (nilai pada d) akan diserap seluruhnya oleh kanopi. Pengukurann dilakukan pada radiasi dan PAR yang datang serta nilai pantulannya. Nilai fapar merupakan perbandingann antara PAR yang diserap oleh tanaman terhadap PAR yang datang pada tanaman itu, dalam hal ini adalah kanopi hutan. Setelah diketahui perhitungan fapar maka dapat dibuat persamaan regresi ў = a + bx atau fapar = a + b NDVI 12

23 Alur Penelitian Pengukuran Unsur Iklim Data Radiasi Data Iklim Penunjang Data Quickbird PAR dan rpar Koreksi Atmosferik dan radiometrik Resampling 20 x 20 m NIR VIS fapar Ekstraksi nilai NDVI Pemetaan NDVI Hubungan fapar dan NDVI Nilai NDVI pada titik sampling Penyerapan Radiasi oleh Kanopi Keterangan : Analisis data satelit Hubungan antar faktor Gambar 3.7 Diagram Alir Penelitian 13

24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Iklim Mikro Hutan Pengukuran terhadap beberapa variabel iklim mikro menghasilkan data profil pada titik pengamatan. Berikut adalah profil beberapa unsur iklim pada wilayah kajian. Pengamatann dilakukan terhadap hasil pengukuran di menara bariri dan pengukuran pada titik pengamatan Suhu Suhu yang terukur merupakan data hasil pengukuran di menara bariri dengan ketinggian sensor 48 m. Profil suhuu pada puncak kanopi disajikan pada Gambar 4.1 Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk iklim mikro hutan. Berdasarkan pengukuran di Taman Nasional Lore-Lindu, diperoleh profil suhu diurnal mulai tanggal 22 Mei 2008 hingga 26 Mei Pengukuran suhuu yang dilakukan merupakan pengukuran suhu pada ketinggian 48 m di menara bariri dengan jenis pengukuran terhadap suhu kanopi, suhu atmosfer diatas kanopi dan suhu yang berasal dari dalam kanopi. Gambar 4.1 Profil Suhu pada puncak kanopi Gambar 4.2 Profil Suhu dari dalam Kanopi Gambar 4.3 Profil Suhu dari Atmosfer 14

25 Suhu maksimum pada puncak kanopi tercatat pukul dengan suhu 24,35 o C. Suhu dari atmosfer mencapai maksimum sebesar 24,,68 o C pukul Sedangkan suhu dari dalam kanopi dengan nilai tertinggi tercatat padaa 26,80 o C pukul Berdasarkan grafik profil suhu puncak kanopi dapat diketahui bahwa suhu rata-rata tertinggi dicapai pada pukul ± dengan suhu sekitar 23 o C. Sedangkan padaa profil suhu dari dalam kanopi terlihat bahwa suhu tertinggi dicapai pada pukul ± dengan suhu sekitar 24 o C. Suhu tertinggi dari atmosfer terukur pada pukul ± dengan suhu sebesar 23 o C. Profil Suhu tersebut menunjukkan bahwa rata-rata suhu dari dalam kanopi lebih tinggi dibandingkan dengan suhu puncak kanopi dan suhu dari Atmosfer. Suhu maksimum pada kanopi sebesar 24, 35 o C lebih rendah dibandingkann dengan suhu dari atmosfer yang memiliki suhu sebesar 24,68 o C. Suhu dari dalam kanopi lebih tinggi dari suhu atmosfer maupun suhu puncak kanopi yaitu sebesar 26,8 o C. Hal ini disebabkan karena adanyaa radiasi gelombang panjang yang terjebak di dalam kanopi menyebabkann suhu meningkat. Selain itu, adanya angin di puncak kanopi serta di atmosfer mendorong udara panas akibat pengaruh tekanan, sehingga udara menjadi lebih rendah dibandingkan di dalam kanopi. Gambar 4.4 Profil kelembaban relatif (RH) pada periode pengamatan Kelembaban Relatif (RH) Pengukuran terhadap kelembaban relatif menghasilkan data kelembaban (RH dalam persen) selama selang waktu pukul hingga pukul Kelembaban relatif yang terukur merupakan data pada ketinggian 48 m (diatas kanopi) di menara bariri. Pengamatan yang terukur tercatat mulai tanggal 24 Mei Berdasarkan profil kelembaban udara terlihat bahwa kelembaban sangat tinggi di pagi hari dengan penurunan hingga mencapai titik terendah pada sekitar pukul setiap harinya. Kelembaban tertinggi rata-rataa 98 % dan terendah rata-rata 70 %. Rata-rata kelembaban udara tertinggi terjadi pada pagi hari dan mencapai titik terendah pada pukul dengann kelembaban rata-rata 70 %. Gambar 4.5 Profil kecepatan anginn pada periode pengamatan 15

26 4.1.3 Angin Pengamatan terhadap angin dilakukan berdasarkan data dari sensor di menara bariri dengan ketinggian sensor lebih dari 48 m (diatas kanopi). Angin berpengaruh terhadap kondisi kelembaban udara dan juga berpengaruh terhadap suhu udara. Profil angin pada waktu pengamatan dengan selang waktu pukul hingga selama penelitian berlangsung adalah sebagai berikut. Kecepatan angin cenderung meningkat seiring dengan waktu. Dalam hal ini, kecepatan angin lebih tinggi pada siang hari. Berdasarkan profil kecepatan anginn dapat terlihat bahwa secara mum kecepatan angin berkisar antara 0 m/s hingga 5 m/s. Kondisi ini tercatat pada pengamatan di siang hari dengan tidak adanya kejadian hujan. Pengamatan keadaan angin pada tanggal 16 hingga 18 mei 2008 menunjukkann bahwa Radiasi Global (Rs) Gambar diatas merupakan profil radiasi global yang datang pada puncak kanopi di daerah penelitian. Data radiasi global yang datang padaa kanopi diperoleh dari menara pengamatann bariri dengan ketinggiann sensor 48 m. Ketinggian 48 m merupakan batas pohon tertinggi atau disebut sebagai batas puncak kanopi. Menurut Monteith (1976), radiasi yang mencapai permukaan tropik pada tengah hari diperkirakan berkisar antara Watt/m 2. Pada periode penelitian, rata-rata radiasi global di puncak kanopi adalah 26,1 MJ/m 2 /hari dengan radiasi maksimumm rata- rata sebesar 751,8 Watt/m 2. kecepatan angin berada pada kecepatan 0 sampai 2 m/s hingga menjelang waktu siang. Variasi kecepatan anginn pada siang hari hingga sore hari cukup tinggi dengan selang kecepatan dari 2 m/s hingga 5 m/s. Pengamatan kondisii kecepatan angin pada tanggal 22 Mei hingga 26 Mei menunjukkann bahwa kecepatan angin sangat bervariasi terhadap waktu. Kecepatan angin rata-rata yang terukur berada pada selang 0 hingga 5 m/s. Kecepatan angin di sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan di pagi hari. Kecepatan angin tertinggi tercatat padaa pukul dengann kecepatan mencapai 5,96 m/s. Sedangkan kecepatan angin terendah pada 0 m/s. Terlihat bahwa kecepatan angin meningkat seiring dengan waktu dan kembali turun pada sore hari pada keadaan cuaca normal tanpaa adanya gangguan seperti hujan maupun badai. Gambar 4.6 Profil Radiasi Globall pada periode pengamatan; Periode Pengamatan tanggal 16 hingga 26 Mei 2008 Tabel 4.1 Tanggal 22/05/ /05/ /05/ /05/2008 Radiasi global pada periode pengamatan Radiasi Global Keterangan* (MJ/m 2 hari) 23,0 Cerah 23,4 Cerah 29,1 Cerah 28,7 Cerah *dilihat berdasarkan kondisi langit secara visual Pada khatulistiwa dengan matahari tengah hari yang tidak pernah jauh dari dari zenith dan matahari berada di horison selama 12 jam setiap hari, radiasi total rata-rataa yang terukur memiliki nilai paling tinggi sekitar 38 MJ/m 2 hari dalam bulan Maret dan nilai terendah 32 MJ/m 2 hari dalam bulan Juni. 16

27 Pada garis 45 o letak lintang, radiasi total yang datang ke bumi berkisar dari sekitar 12 MJ/m 2 hari hingga 41 MJ/m 2 hari pada titik balik musim panas. Sedangkan pada kutub selatan memiliki jumlah total radiasi tertinggi yaitu 48 MJ/m 2 hari pada bulan Desember. Pada kutub utara nilai tertinggi adalah 45 MJ/m 2 hari pada bulan Juni (Neiburger 1982). Neiburger (1982) menambahkan bahwa perkiraan transmisi radiasi matahari terhadap hambatan atmosfer (± 20%) sering terlampaui dan radiasi di angkasa ditambahkan pada radiasi global, sehingga jumlah total radiasi global harian yang lebih dari 30 MJ/m 2 hari (720 ly) tidak jarang terjadi bahkan pada stasiun pengamatan di tempat rendah sekalipun. Apabila matahari berada di balik awan, radiasi global hanya terdiri dari radiasi angkasa yang membaur dan pada hari mendung jumlah radiasi global jauh lebih kecil dari hari yang cerah. Namun, jika terdapat awan kumulus yang tersebar, pantulan sinar matahari ke tanah dari sisi-sisi awan menambah radiasi yang langsung ke bumi sehingga radiasi global untuk sebagaian waktu dapat melebihi radiasi global pada langit cerah. Pada suatu waktu dengan keadaan tersebut, radiasi matahari yang terukur untuk sesaat dapat lebih besar dari radiasi matahari yang mencapai puncak atmosfer. Hal ini terjadi jika matahari berada di dekat zenit, udara bebas debu dan sangat kering kecuali dipermukaan atau dekat tanah, sehingga radiasi langsung menembus dengan pengurangan sangat kecil dan terdapat beberapa awan kumulus. Jika tidak dibayangi dengan awan, tanah menerima radiasi langsung yang dipantulkan oleh sisi awan. Radiasi pantulan itu ditambahkan dengan radiasi yang langsung ke permukaan bumi dan telah diperkuat oleh cerahnya udara dab radiasi yang terhamburkan dari langit biru. Dengan demikian, jumlah radiasi yang datang pada waktu yang relatif pendek dapat lebih tinggi dari radiasi yang masuk di atmosfer. Nilai maksimum radiasi di beberapa permukaan dan pengukuran di berbagai tempat dapat dilihat pada tabel di samping. Tabel 4.2 Nilai maksimum Radiasi Global di berbagai tempat Maksimum Radiasi Global Watt/m 2 Sumber Hoyt and Schatten (1997) dalam Stephen R. (2004) Oke (1987) after 700 Watt/m 2 Ripley and Redmann (1976) dalam Arya (2001) Oke (1987) after 800 Watt/m 2 Davies et.al (1970) dalam Arya (2001) 650 Watt/m 2, 17 MJ/m 2 hari Abdul Rauf (2009) 725 Watt/m 2 Fujiyanto (1996) 850 Watt/m 2 Rudi S. (2006) 1000 Watt/m 2 24,6 MJ/m 2 hari Jones (1993);Percy (1989) dalam Tang dalam Prasad (1997) Sri L. (2006) Keterangan Various forest measurement Stand of native grass at Matador, Saskatchewan on 30 July 1971 Lake Ontario, 28 August 1969 Hutan Babahaleka, Rataan bulan Juni 2005 hingga Mei 2006 Hutan Produksi Pasir Mayang, Jambi Hutan alam, Kab. Bungo, Jambi Light measurement Citeko *Disadur dari berbagai sumber Fluktuasi nilai intensitas radiasi yang diterima oleh sensor pada puncak kanopi dapat disebabkan karena keberadaan awan yang cukup tebal dan menyelimuti sebagian besar troposfer. Awan-awan ini akan menghalangi radiasi matahari langsung datang ke bumi atau dalam hal ini puncak kanopi. Selain itu, variasi yang terjadi secara annual atau seasonal akan berbeda dengan yang terjadi pada variasi diurnal. Pada variasi diurnal, keadaan cuaca akan sangat menentukan intensitas radiasi yang diterima pada saat pengukuran. Pada variasi seasonal atau annual, faktor iklim yaitu musim serta letak lintang akan menjadi penentu seberapa banyak radiasi matahari yang diterima. Ketinggian tempat juga berperan dalam menentukan besarnya radiasi matahari yang diterima oleh suatu permukaan. 17

28 Gambar 4.7. Profil Albedo pada periode pengamatan (tanggal Mei 2008) 4.2 Albedo Albedo (α) merupakan nisbah antara energi radiasi yang dipantulkan dan energi radiasi yang datang. Berikut merupakan profil albedo padaa permukaan hutan alam di hutan Babahaleka, Taman Nasional Lore-Lindu. Profil albedo diperoleh dari perbandingan radiasi langsung yang datang di puncak kanopi dengan pantulan radiasi yang berasal dari bawah kanopi menggunakan dua sensor yang diletakkan pada posisi yang berlawanan. Albedo permukaan beragam sesuai dengan panjang gelombang dan sudut datang radiasi. Kebanyakan jenis tanah dan tumbuh- sangat tumbuhan mempunyai albedo yang kecil di daerah radiasi ultraviolet dan makin besar di daerah radiasi sinar tampak dan inframerah. Albedo yang terukurr berada padaa nilai 0,1 hingga 0,16 dengann albedo rata-rata adalah 0,11. Nilai albedo ini dipengaruhi oleh radiasi matahari yang diterima dan diserap oleh kanopi hutan. Gambar 4.8 Profil PAR dan rpar di Puncak Kanopi pada periode pengamatan 4.3 PAR Photosynthetically Active Radiation Profil PAR PAR yang terukur pada menara Bariri (PAR) yang terukur merupakan hasil dapat dilihat pada Gambar 4.8. Grafik PAR pengamatann pada titik pengamatan di bawah dan rpar memperlihatkan bahwa PAR kanopi dan di menara pengamatan Bariri. meningkat seiring dengan jumlah radiasi yang diterima. PAR akan memiliki nilai cukup 18

29 tinggi dan cenderung stabil pada saat matahari telah bersinar terang setelah pukul Pengukuran PAR di puncak kanopi menunjukkan variasi yang cukup kecil. Nilai PAR tertinggi berada pada 1702,21 µmol m -2 s -1 pukul dan terendah pada 49,28 µmol m -2 s -1 pukul dengann selang pengamatann pada pukul sampai Nilai PAR akan menurun secaraa drastis pada pukul hingga terbenamnya matahari dikarenakan sudut datang cahaya matahari sangat kecil sehingga radiasi yang diterima juga sangat kecil. Selang waktu penurunan nilai PAR sangat pendek, terlihat pada grafik bahwa dalam rentang waktu satu jam yaitu pada pukul hingga pukul terjadi penurunan dari 1350 µmol m -2 s -1 menjadi kurang dari 225 µmol m -2 s -1. Begitu juga nilai PAR pada pagi hari yang meningkat cukup tinggi dengan selang waktu yang sempit. Pengukuran rpar atau radiasi pantul dari PAR memperlihatkan nilai yang sangat bervariasi. Nilai rpar menunjukkan jumlah PAR yang diserap oleh kanopi hutan. Selisih antara PAR dan rpar merupakan penyerapan PAR oleh tanaman. Berdasarkan profil tersebut terlihat bahwa terdapat nilai rpar yang rendah pada pukul hingga Nilai rpar ini berada pada kisaran 5000 µmol m 2 s -1 pada pukul sedangkan secara umum seharusnya pada kisaran 1000 µmol m 2 s -1. Nilai rpar naik secara lebih lambat dibandingkann dengan hari lainnya dan juga semakin menurun lebih cepat dikarenakan keberadaan awan tinggi dan juga penyinaran matahari yang tidak maksimal. Hal inii dapat ditunjukkan pada gambar 4.6 Profil radiasi global. Dari profil radiasi global tersebut dapat diketahui bahwa radiasi matahari yang datang terhambat oleh suatu penghalang sehingga mempengaruhi nilai pantulan dari PAR. Selain profil PAR dan rpar pada puncak kanopi, profil PAR dan rparr pada pengukuran di bawah kanopi dengan beberapa tipe tutupan kanopi ditunjukkan pada Gambar 4.9 hingga Gambar Gambar 4.9 Profil PAR di bawah kanopi tetutup Gambar 4.10 menunjukkan profil PAR di bawah kanopi dengan tipe tutupan kanopi tertutup. Nilai PAR tertinggi adalah pada sekitar pukul dengan nilai 1400 µmol m 2 s -1 dan nilai rpar tertinggi juga pada sekitar pukul dengan nilai 90 µmol m 2 s -1. Nilai PAR dan rpar mencapai maksimum pada waktu yang bersamaan, namun jumlah PAR yang datang pada pagi hari hingga siang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PAR yang datang dari siang hingga sore hari. Hal ini ditunjukkan pada persentase PAR yang datang pada Gambar Profil PAR dan rpar di bawah kanopi dengan tipe kanopi terbuka ditunjukkann pada gambar 4.9. Nilai PAR tertinggi pada selang pengukuran pukul hingga adalah pada pukul dengann nilai sekitar 1400 µmol m 2 s -1. Nilai rpar yang tertinggi pada selang waktu pengukuran tersebut adalah 300 µmol m 2 s -1. PAR menurun secara perlahan dengan penurunan cukup besar pada pukul hingga yaitu dari 1000 µmol m 2 s -1 menjadi sekitar 100 µmol m 2 s -1. Sedangkan rpar mencapai titik nol pada pukul

30 Gambar 4.10 Profil PAR di bawah kanopi terbuka Pengukuran terhadap PAR yang datang pada tipe utupan kanopi terbuka memberikan hasil bahwaa nilai PAR yang terukur lebih tinggi dibandingkan dengan PAR pada tipe kanopi tertutup. Variasi nilai PAR dan profil PAR pada tipe tutupan kanopi terbuka menyerupai dengan Profil PAR di puncak kanopi (Lihatt Gambar 4.8). Gambar 4.11 Profil PAR di bawah kanopi menengah Profil PAR di bawah tutupan kanopi dengan tipe tutupan kanopi menengah menunjukkan viariasi yang cukup tinggi. Nilai maksimum PAR di bawah kanopi dengan tipe tutupan kanopi menengah adalah sekitar 1500 µmol m 2 s -1 serta dengan nilai PAR pada pagi hari hingga siang hari berada pada selang 200 hingga 9000 µmol m 2 s -1. Nilai maksimum rpar padaa tipe tutupan kanopi menengah adalah 450 µmol m 2 s -1 dengan nilai rpar pada pagi hari hingga siang hari beradaa pada selang 0 hingga 50 µmol m 2 s -1. Nilai maksimum PAR dan rparr pada tipe tutupan kanopi tertutup dan menengah berada padaa waktu yang sama. Nilai maksimum dicapai pada sekitar pukul sesaat setelah radiasi matahari mencapai puncaknya (Lihat Gambar 4.6). 20

31 Gambar 4.12 Perbandingan Nilai PAR berdasarkan tipe tutupan kanopi terhadap PAR yang datang pada puncak kanopi Pengukuran PAR di bawah kanopi memperlihatkan nilai yang berbeda-beda. Pada Gambar 4.13 yaitu grafik hasil pengamatann PAR padaa beberapa tutupan kanopi, terlihat bahwa pada tipe tutupan kanopi tertutup dan sedang, peningkatan nilai PAR bervariasi. Nilai maksimum PAR dicapai pada sekitar pukul hingga Nilai PAR maksimum pada kanopi tertutup berada pada nilai 173,6 µmol m -2 s -1 pukul dan nilai terendah pada 0,46 µmol m -2 s -1 pukul Padaa kanopi terbuka, nilai tertinggi pada 307,7 µmol m -2 s -1 pukul dan nilai terendah pada 8,4 µmol m -2 s -1 pukul Sedangkan pada kanopi menengah nilai tertinggi pada 324,5 µmol m -2 s -1 pukul dan nilai terendah padaa 0,92 µmol m -2 s -1 pukul Berdasarkan Gambar 4.12 dapat diketahui perbandingan PAR yang datang pada tiap tipe tutupan kanopi. Profil PAR pada kanopi terbuka memiliki profil yang menyerupai profil PAR pada puncak kanopi. hal ini dapat dilihat pada grafik scatterplot warna merah yang dibandingkan dengan grafik scatterplot warnaa ungu. Profil PAR pada tipe tutupan kanopi menengah dan tertutup hampir memiliki profil yang sama. Pada gambar tersebut ditunjukkan dengan grafik scatterplot warnaa hijau untuk profil PAR pada tipe tutupan kanopi menengah dan grafik scatterplot warna biru untuk profil PAR pada tipe utupan kanopi terbuka. Dari grafik tersebut terlihat bahwa nilai PAR terkecil dialami oleh tutupan kanopi tipe tertutup. Jumlah PAR yang datang di puncak kanopi ini kemudian dapat digunakan sebagai sejumlah PAR yang diserap oleh tiap tipe masing-masing tutupan kanopi Persentase PAR terhadap Radiasi Global Persentase PAR dihitung berdasarkan pengukuran radiasi global dan pengukuran PAR di puncak serta di bawah kanopi. persentase PAR di puncak kanopi ditentukan dengan metode berikut. Penentuan persentase PAR di bawah kanopi dihitung berdasarkan perbandingan nilai PAR yang terukur di bawah kanopi dengan radiasi global.... (15) (16) Persentase PAR pada tipe utupan Terbuka ditunjukkan pada Gambar 4.14 bagian [b]. Berdasarkan grafik tersebutt dapat diketahui bahwa PAR berkisar antara % dari total radiasi matahari yang datang pada permukaan tersebut. Pada pengamatan PAR di puncak kanopi, persentase PAR terhadap radiasi global atau radiasi matahari yang datang berada padaa selang 35 55% dengan persentase PAR mencapai minimumm pada tengah hari pukul dan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu menjelang sore hari yaitu mencapai 55 % pada pukul Pada pagi hari jumlah persentase PAR pada puncak kanopi lebih tinggi dibandingkan dengan siang hari. Persentase PAR padaa pukul sekitar 55% dan terus menurun seiring dengan bertambahnya waktu hingga mencapai titik minimum. Persentase PAR padaa tipe tutupan kanopi menengah (Gambar 4.13 bagian [c] ) 21

32 memeperlihatkan persen tase PAR dari 10 % hingga 60 %. Persentase PAR terendah terjadi pada pukul hingga pukul dan kemudian mencapai puncaknya pada pukul hingga persentase PAR pada pagi hari bervariasi dari %. [a] [b] [c] [d] Gambar 4.13 Persentase Jumlah PAR yang terukur terhadap radiasi global (Rs); Puncak Kanopi [a]; Kanopi Terbuka [b]; Kanopi Menengah [c]; Kanopi Tertutup [d] 22

33 4.3.3 Penyerapan PAR Penyerapan PAR dapat diketahui dengan melihat besarnya proporsi atau persentase PAR terhadap radiasi global (Rs) yang datang pada tiap tipe tutupan kanopi. PAR dan pantullan PAR yang terukur di puncak kanopi disebut sebagai PAR 1 dan rpar 1 kemudian, PAR dan rpar yang terukur di bawah kanopi selanjutnya disebut sebagai PAR 2 dan rpar 2 x 100%. (17) Pada tipe tutupan kanopi tertutup (Gambar bagian [a] ) persentase PAR dari total radiasi yang datang pada saat tersebut adalah PAR mencapai maksimum pada sekitar pukul yaitu jumlah PAR mencapai hingga lebih dari 50 % dari total radiasi yang datang. Kemudian saat radiasi matahari mencapai maksimum yaitu pada pukul hingga pukul 13.30, persentase PAR dari total radiasi matahari yang datang berkisar antara 7 15 % kemudian meningkat kembali pada pukul hingga yaitu mencapai 40 % dari total radiasi matahari yang datang. Banyaknya PAR yang terukur di dalam kanopi dipengaruhi oleh banyaknya radiasi matahari yang dapat menembus ke dalam kanopi sebelum diserap oleh tanaman atau kanopi hutan. Kanopi hutan memanfaatkan PAR sebagai energi yang dibutuhkan dalam melakukan fotosintesis. Penyerapan PAR oleh kanopi hutan ditunjukkan oleh Gambar 4.15 sebagai berikut. Penyerapan PAR pada kanopi tertutup dapat dilihat pada Gambar 4.15 bagian [a]. dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa PAR yang diserap oleh kanopi hutan berada pada selang 10 60%. Penyerapan maksimum dicapai padaa pukul Pada pagi hari penyerapan PAR mencapai titik tertinggi pada pukul sebesar 30 %. Pada tipe utupan kanopi terbuka yaitu Gambar 4.14 bagian [b], persentase penyerapan PAR berada pada selang 20 60%. Penyerapan tertinggi terjadi pada hingga yaitu mencapai 60 %. Nilai terendah pada selang pengukuran pukul sampai pukul adalah pada pukul yaitu sebesar 20 %. Penyerapan PAR pada tipe utupan kanopi menengah sangat bervariasi dibandingkann dengan persentase pada tipe tutupan kanopi tertutup maupun tipe kanopi terbuka. Penyerapan PAR pada tipe utupan kanopi menengah berada pada selang %. Pada pagi hari dari pukul hingga pukul diketahui bahwa persentase penyerapan PAR berkisar antara 10 % hingga 35 %. Persentase penyerapan PAR mencapai maksimum pada sekitar pukul dengan persentase penyerapan PAR sebesar 60 %. [a] [b] 23

34 Penyerapan PAR pada tiap tutupan kanopi dapat terlihat pada Gambar Tutupan kanopi tertutup dan menengah cenderung memiliki profil penyerapan dengan nilai penyerapan tertinggi pada saat radiasi juga tinggi (Lihat Gambar 4.6). Penyerapan PAR sebanding dengann banyaknya radiasi matahari yang datang. datang memiliki nilai Saat radiasi yang yang tinggi, maka persentase PAR dari radiasi global akan rendah, namun persentase penyerapan terhadap PAR akan semakin tinggi dan mencapai maksimum setelah radiasi telah melewati nilai maksimumm 4.4 LAI dan NDVI Ekstraksi nilai NDVI dilakukan pada hutan alam dengan satu jenis tutupan yaitu hutan. Tabel 4.1 adalah nilai ekstraksi NDVI dan dugaan LAI berdasarkan persamaan dari Twele et al. (2006) untuk kawasan Taman Nasional Lore-Lindu. [c] Gambar 4.14 Penyerapan PAR pada tiap tutupan kanopi; Kanopi Tertutup [a]; Kanopi Terbuka [b]; Kanopi Menengah [c] Tabel 4.1 menunjukkan nilai NDVI dan dugaan LAI pada lokasi pengamatan di taman Nasional Lore-Lindu. Nilai NDVI tertinggi adalah 0,446 pada kanopi tertutup dengan ketinggian 1409 m dan nilai terkecil adalah 0,202 pada kanopi terbuka dengan ketinggian 1449 m. LAI tertinggii adalah 4,76 dan terendah adalah 1,20. Berdasarkan nilai NDVI ini diketahui bahwa LAI sesuai dengan kerapatan kanopi. Kerapatan kanopi yang tinggi ditunjukkan dengan LAI yang lebih besar. Dari tabel diketahui bahwa kanopi tertutup padaa altititude yang tinggi maupun rendah memiliki LAI yang lebih besar dibandingkann LAI pada kanopi menengah maupun kanopi terbuka. Nilai NDVI pada kawasan Taman Nasional Lore-Lindu tepatnya pada hutan Babahaleka dan sekitarnya berdasarkan data citra satelit Quickbird terlihat pada gambar di bawah ini. Gambar 4.15 Peta sebaran NDVI di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Hutan babhaleka dan sekitarnya 24

35 Pengukuran dugaan NDVI dilakukan pada batas koordinat 120 o E ; 1 o S dan 120 o E ; 1 o S yaitu dengan batas Upper left X : ; Upper left Y : dan Lower right X : ; Lower right Y : pada tahun akuisisi Pengukuran NDVI menggunakan metode unsupervised Classification untuk mengetahui nilai selang NDVI. NDVI yang diduga berdasarkan citra quickbird tersebut menunjukkan daerah kajian serta kawasan di sekitar taman nasional. NDVI pada kawasan hutan berada pada 0,26 hingga lebih dari 0,5. Sebaran NDVI pada lokasi penelitian dapat lebih terlihat jelas pada gambar berikut. Gambar 4.16 menunjukkan sebaran NDVI pada titik pengamatan serta kawasan hutan yang dapat diwakili dengan menara pengukuran bariri. Dari gambar dapat diketahui bahwa titik pengamatan berada pada selang NDVI 0,26-0,38 hingga selang 0,46-0,5. Tipe tutupan pada tempat pengamatan adalah tipe tutupan hutan alam dengan tingkat persentase tutupan kanopi yang berbeda. Hasil dugaan NDVI pada titik pengamatan dapat dilihat pada tabel 4.1. Penentuan titik pengamatan berasal dari tutupan kanopi hutan yang berbeda. Namun, nilai NDVI yang terlihat menunjukkan perbedaan kurang terperinci dikarenakan citra satelit yang digunakan sebagai penduga NDVI memiliki resolusi 20 m. Tingkat perincian ini dinilai mencukupi karena adanya koreksi nilai dari GPS yang memiliki kesalahan 5 m hingga 15 m. Dari gambar diatas terlihat bahwa titik pengamatan berada pada sekitar menara bariri yang terletak di tengah titik pengamatan. Menurut Atkinson dan Tate (1999) diacu dalam Prasatya (2006), sehubungan dengan semakin tingginya resolusi spasial, biasanya akan semakin tinggi noise pada citra. Hal ini berpengaruh terhadap nilai yang diperoleh. Gambar 4.16 Peta sebaran titik pengamatan Akurasi dan juga koreksi sangat diperlukan untuk memperbaiki dan mengurangi noise serta kesalahan yang ditimbulkan akibat noise ini. Nilai NDVI yang diduga berdasarkan satelit Quickbird yang digunakan dalam penelitian menunjukkan nilai yang lebih kecil diduga akibat dari pengaruh topografi. Pengaruh topografi didefinisikan sebagai variasi dalam radiasi dari permukaan yang melereng, dibandingkan dengan radiasi dari permukaan yang horizontal sebagai fungsi dari orientasi permukaan relatif terhadap sumber cahaya radiasi dan posisi sensor (Holben and Justice 1980 diacu dalam Franklin 2001). Pengaruh topografi memberikan efek terhadap iluminasi. Iluminasi berpengaruh terhadap posisi lereng yang memantulkan radiasi yang akan diterima oleh sensor satelit. Sensor ini akan menerima radiasi dengan posisi yang berbeda dengan horizontal sehingga nilai sesungguhnya juga akan berbeda. Perhitungan untuk koreksi topografi terbukti hanya sedikit berhasil. Kebanyakan dapat berhasil dengan baik pada area terbatas dengan kompleksitas dan zonasi ketinggian dari tinggi ke rendah (Allen 2000 diacu dalam Franklin 2001). 25

36 Tabel 4.1 Nilai NDVI dan dugaan LAI berdasarkan tipe tutupan kanopi hutan Tipe Posisi Altitude No. NDVI LAI * tutupan Lintang Bujur (m) 1 S 01 o 39' 54,2" E 120 o 10' 38,6" ,392 4,13 2 S 01 o 39' 31,5" E 120 o 10' 38,6" ,387 4,08 3 Tertutup, S 01 o 39' 42,8" E 120 o 10' 38,6" ,367 3,84 Altitude 4 tinggi S 01 o 39' 39,5" E 120 o 10' 51,2" ,347 3,61 5 S 01 o 39' 53,5" E 120 o 10' 44,9" - 0,408 4,32 6 S 01 o 39' 54,7" E 120 o 10' 46,4" ,436 4,64 7 S 01 o 39' 41,9" E 120 o 10' 35,7" ,356 3,72 8 S 01 o 39' 48,2" E 120 o 10' 49,1" ,446 4,76 9 Terbuka, S 01 o 39' 35,2" E 120 o 10' 38,6" ,388 4,09 Altitude 10 rendah S 01 o 39' 40,3" E 120 o 10' 50,2" ,346 3,60 11 S 01 o 39' 41,7" E 120 o 10' 36,7" ,363 3,80 12 S 01 o 39' 43,1" E 120 o 10' 39,3" ,383 4,03 13 S 01 o 39' 43,2" E 120 o 10' 47,3" ,342 3,56 14 S 01 o 39' 45,2" E 120 o 10' 38,8" ,333 3,45 15 S 01 o 39' 49,8" E 120 o 10' 42,1" ,32 3,30 Menengah 16 S 01 o 39' 49,6" E 120 o 10' 41,7" ,32 3,30 17 S 01 o 39' 45,6" E 120 o 10' 39,5" ,326 3,37 18 S 01 o 39' 48,7" E 120 o 10' 40,2" ,34 3,53 19 S 01 o 39' 41,5" E 120 o 10' 49,0" ,258 2,59 20 S 01 o 39' 47,7" E 120 o 10' 41,9" ,207 2,00 21 S 01 o 39' 50,9" E 120 o 10' 37,4" ,202 1,94 Terbuka 22 S 01 o 39' 79,2" E 120 o 10' 08,9" - 0,414 4,39 23 S 01 o 39' 45,9" E 120 o 10' 44,8" ,254 2,54 24 S 01 o 39' 50,2" E 120 o 10' 38,6" ,311 3,20 *Pendugaan LAI berdasarkan Persamaan Twele et al. (2006) 4.5 fapar dan NDVI Persamaan NDVI dengan fapar dihasilkan dari beberapa titik pengamatan PAR yang diseleksi berdasarkan pemilihan data secara acak. Hal ini dilakukan karena beberapa data pada titik pengamatan memiliki kesalahan dalam pengukuran sehingga menyebabkan hasil pengukuran tidak tepat. Kesalahan dalam pengukuran itu merupakan kesalahan teknis seperti : 1. Error atas GPS yang menyebabkan titik pengukuran berubah pada peta sehingga hasil NDVI dan dugaan NDVI meleset dari titik koordinat yang seharusnya. 2. Kesalahan pada pengukuran PAR akibat adanya pengaruh topografi, misalnya adanya permukaan yang sangat melereng. 3. Data hasil pengukuran PAR dan rpar yang meleset akibat adanya kendala teknis alat seperti adanya nilai yang melebihi standar deviasi dari alat sehingga memerlukan adanya kalibrasi alat. 4. Tidak adanya data PAR pada hari tertentu pada menara Bariri sebagai acuan pengukuran akibat adanya kerusakan alat 26

37 Tabel 4.2 Nilai fapar pada berbagai titik pengamatan Tanggal Waktu Posisi fapar 18/5/08 10:40 S 1 o 39`31,5 E 120 o 10`31,7 0,052 17/5/08 11:00 S 1 o 39`42,8 E 120 o 10`38,6 0,095 16/5/08 12:10 S 1 o 39`53,5 E 120 o 10`44,9 0,069 16/5/08 10:50 S 1 o 39`54,7 E 120 o 10`46,4 0,259 17/5/08 9: 30 S 1 o 39`41,9 E 120 o 10`35,7 0,210 16/5/08 9: 30 S 1 o 39`35,2 E 120 o 10`38,6 0,167 17/5/08 10:20 S 1 o 39`41,7 E 120 o 10`36,7 0,182 16/5/ S 1 o 39`49,8 E 120 o 10`42,1 0,151 16/5/08 13:20 S 1 o 39`47,7 E 120 o 10`41,9-0,085 18/5/08 12:00 S 1 o 39`45,9 E 120 o 10`44,8-0,114 Berdarkan sudut pandang secara empiris, Myneni et al. (1994) menyebutkan bahwa akurasi nilai fapar bergantung kepada pita spektral dari sensor dan ketersediaan pengukuran terhadap radiasi yang datang pada permukaan yang berbarengan dengan pengamatann dari sensor. Myneni menyatakann dan bahwa Williams terdapat (1994) persamaan substansial empiris yang menunjukkan fapar berhubungan dengan indeks vegetasi dari suatu puncak kanopi. Beberapa penelitian telah menyertakan hubungan ini dengann nilai yang cukup baik. Gambar berikut menunjukkan hubungan fapar dengan NDVI pada pengukuran di tiap tipe tutupan kanopi. Dari hasil perhitungan pada penelitian ini didapat hubungan fapar dengan NDVI adalah fapar = - 0, ,339 NDVI pada semua tipe tutupan kanopi dengan nilai R 2 sebesar 0,594. Hubungan secara linier padaa skala tertentu muncul antara fraksi absorbsi dari PAR dalam suatu kanopi vegetasi dalam hal ini kanopi hutan alam (fapar) dengan nilai indeks vegetasi (NDVI). V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Unsur iklim mikro pembentuk iklim mikro hutan meliputi berbagai unsur iklim diantaranya suhu, kelembaban, angin, curah Gambar 4.17 Hubungan fapar dengan NDVI hujan dan juga radiasi surya. Radiasi surya merupakan faktor yang sangat penting yang menentukan hutan. keberlangsungan ekosistem Penyerapan radiasii oleh tanaman dilakukan berupa fraksi dari PAR yang memiliki jumlah penyerapan tertentu. Nilai rata-rata persen PAR adalah pada 50 % dari total radiasi matahari yang datang. Tutupan kanopi tertutup dan menengah cenderung memiliki profil penyerapan dengan nilai penyerapan tertinggi padaa saat radiasii yang datang tinggi. LAI pada Taman Nasional Lore Lindu berdasarkan data Radiasi matahari yang terukur di menara Bariri dan lokasi pengamatan bersada pada nilai 3,5 hingga 4. 27

38 Pendugaan LAI dari data satelit mnunjukkan LAI tertinggi adalah 4,8 dan terendah adalah 1,9. Nilai NDVI tertinggi adalah 0,446 pada kanopi tertutup dengan ketinggian 1409 m dan nilai terkecil adalah 0,202 pada kanopi terbuka dengan ketinggian 1449 m Berdasarkan nilai NDVI ini diketahui bahwa LAI sesuai dengan kerapatan kanopi. Dari hasil perhitungan pada penelitian ini didapat hubungan fapar dengan NDVI adalah fapar = - 0, ,339 NDVI. Hubungan fapar dengan NDVI pada semua tutupan dengan tidak memperhatikan tipe tutupan kanopi menunjukkan nilai R Hal ini berarti nilai fapar dan NDVI berhubungan secara linier sehingga nilai fapar dapat diduga dari NDVI. 5.2 Saran a. Citra satelit yang lebih baru dan lebih lengkap pada Taman Nasional Lore Lindu diperlukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek perubahan sehingga hasilnya dapat mewakili seluruh taman nasional b. Penggunaan letak posisi geografis misalnya GPS perlu dipertimbangkan dan dicermati lebih lanjut dengan melihat aspek error dan ketelitian alat. c. Titik pengambilan contoh yang lebih banyak sebagai sebaran yang merata pada Taman Nasional Lore Lindu perlu dilakukan agar hasilnya lebih akurat d. Pengukuran LAI menggunakan kamera Hemiview untuk melihat tutupan kanopi diperlukan sebagai koreksi nilai LAI dengan NDVI dari citra satelit e. Penggunaan sensor pengukuran memerlukan adanya kalibrasi dan konversi yang tepat dalam interpretasi data yang dikumpulkan DAFTAR PUSTAKA Arya SP Introduction to Micrometeorlogy. Second Editon. Di dalam : Renata Dmowska, James R. Holton. And H. Thomas Rossby. Editor. International Geophysics Series. Volume 79. San Diego : Academic Press. Burgan RE dan Hartford RA, Monotoring Vegetation greenness with satellite data. Gen. Tech. Rep. INT Ogden, UT : Department of Agriculture, Forest service,intermountain Research Station. 13pp. Churniawan, TH Pendugaan NPP (Net Primary Production) Menggunakan NetPro V1.1 (Studi Kasus Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah Tahun 2001 dan 2005) [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Foyer CH Photosynthesis. Researh Institute for Photosynthesis Sheffield University. Canada : John Wiley & Sons, Inc. Franklin, SE Remote Sensing for Sustainable Forest Management. ISBN (alk. paper). CRC Press LLC. USA : Lewis Publishers Fujiyanto, DH Koefisien Penyirnaan pada Lapisan Tajuk Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Handoko Radiasi Surya. Di dalam : Handoko, editor. Klimatologi Dasar. Bogor : Pustaka Jaya. hlm : Ibrom A, June T, Alexander O, Thomas R, Heiner K, Ulrike F, Johanes M, Twele A, Golam R, Stefan G, Rauf A dan Gravenhorst G Large Net CO 2 Uptake by a Tropical Upland Rain Forest in Central Sulawesi, Indonesia x / [Mei 2008]. June T Ekofisiologi Tanaman. Pelatihan dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor. 26 Juli- 7 Agustus June T., Ibrom A dan Gravenhorst G Integration of NPP Semi Mechanistic- Modelling, Remote Sensing and GIS in Estimating CO 2 Absorption of Forest 28

39 Vegetation in Lore Lindu National Park. Journal Biotropia Vol.13, No.1 June 2006 (ISSN ). Bogor : SEAMEO BIOTROP. Kondratyev KY Radiation in the Atmosphere. New York : Academic Press Kulandaivelu G, Lingkakumar K dan Premkumar A. UV-B Radiation. Di dalam: Prasad MNV, editor. Plant Ecophysiology. New York : John Wiley & Sons, Inc; Hlm Lo CP Penginderaan Jauh Terapan. Bambang Purbowaseso. Penerjemah. Jakarta : UI Press Monteith JL Vegetation and the Atmosphere. Volume-2, Case Studies. New York : Academic Press. Myneni RB and Williams DL On the Relationship between FAPAR and NDVI. Remote Sens. Environ. 49: Neiburger M, James GE, William DB Memahami Lingkungan Aymosfer kita. Ardina Purbo. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Understanding Our Atmospheric Environment. Ochi S dan Shibasaki R Estimation of NPP based Agricultural Production for Asian Countries Using Remote Sensing Data and GIS. Institute of Industrial Science. University of Tokyo. Japan Rauf, A Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya Terhadap Perpindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah. Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Prtanian Bogor. Rosenberg NJ, Blad BL, Verma SB Microclimate :The Biological Environment. New York : John Wiley & Son. Tjasjono B Radiasi matahari dan bumi. Dalam : Klimatologi umum. Bandung : Penerbit ITB. hlm : Twele A, Erasmi S dan Martin K Estimation of Leaf Area Indexunder Dense Canopy Conditionsusing Hemispherical Photographyand Optical Earth Observation Data : Prediction Capabilities of Spectral Indices and Artificial Neural Networks. Gottingen : Workshop STORMA. Vi a A dan Anatoly AG New developments in the Remote Estimation of the Fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation in Crops. Geophysical Research Letters, Vol 32, L American Geophysical Union /05/2005GL Nebraska. USA Yanhong T Light. Di dalam : Prasad MNV, editor. Plant Ecophysiology. New York : John Wiley & Sons, Inc; Hlm Lore_Lindu [November 2008] ] [November 2008] [Desember 2008] d/.jsp [Desember 2008] 29

40 LAMPIRAN 30

41 Lampiran 1. Peta sebaran NDVI Hutan Babahaleka dan sekitarnya 31

42 Lampiran 2. Peta sebaran NDVI pada lokasi penelitian 32

43 Lampiran 3. Persentase penyerapan PAR pada tiap tipe tutupan kanopi Waktu Tipe Tutupan Kanopi Tertutup (%) Terbuka (%) Menengah (%) 6: ,21 6: ,47 6: ,65 6: ,82 6: ,76 6:50 2,15-0,78 7:00 2,93-0,91 7:10 3,42-1,54 7:20 3,60-1,94 7:30 3,78-3,53 7:40 4,79-4,38 7:50 4,90-8,99 8:00 6,89-9,80 8:10 6,06-9,60 8:20 6,88-11,95 8:30 9,02-14,18 8:40 10,93-15,62 8:50 8,80-17,30 9:00 8,74-12,94 9:10 9,91-10,81 9:20 15,44-15,23 9:30 12,28-18,56 9:40 15,62-18,92 9:50 11,34-17,43 10:00 15,75-14,47 10:10 9,76-36,12 10:20 21,08-22,57 10:30 18,10-16,04 10:40 22,31-15,43 10:50 30,32-18,12 11:00 17,75-22,98 11:10 15,35 40,87 14,42 11:20 18,37 50,23 14,22 11:30 18,32 50,24 24,37 11:40 11,02 49,29 27,69 11:50 10,86 48,77 26,26 12:00 13,65 50,09 19,06 12:10 14,65 58,56 19,78 12:20 17,21 51,51 31,52 12:30 10,20 41,80 23,66 12:40 9,82 40,72 15,88 33

44 Lanjutan Waktu Tertutup (%) Terbuka (%) Menengah (%) 12:50 9,61 37,07 18,09 13:00 10,20 35,44 16,43 13:10 10,31 33,23 18,83 13:20 24,98 32,26 17,98 13:30 10,04 34,20 13,17 13:40 9,86 31,75 27,35 13:50 30,89 36,59 51,38 14:00 26,21 31,21 18,39 14:10 59,32 23,15 8,79 14:20 52,28 23,51 48,07 14:30 18,82 20,92 58,51 14:40 8,48 21,02 29,48 14:50 3,19 23,06 13,26 15:00 5,24 21,77 24,42 15:10 7,94 21,92 17,74 15:20 8,01 21,76 24,57 15:30 4,33 23,96 39,07 15:40 4,17 20,07 7,46 15:50 6,12 17,47 5,89 16:00 5,48 19,08 5,44 16:10 4,89 17,71 4,91 16:20 3,65 13,24 1,69 16:30 2,39 12,79 1,21 16:40 2,91 15,23 1,11 16:50 3,19 9,96 1,29 17:00 2,97 7,99 1,40 17:10 1,98 3,90 1,17 17:20 1,62 2,57 0,86 17:30 1,36 3,23 1,01 17:40 0,76 3,90 1,00 17:50 0,41 2,56 0,87 18:00 0,37 4,01 0,84 34

45 Lampiran 4. Data Pengukuran di Menara Bariri Tanggal Waktu Suhu ( o C) PAR puncak kanopi (µmol m 2 s -1 ) Radiasi Global (Watt/m 2 ) Puncak Kanopi Atmosfer PAR-48m rpar-48m G-48m rg-48m 22/05/2008 6:00 17,10 16,23 16, ,7 1,4 22/05/2008 6:10 16,88 16,10 16, ,1 1,6 22/05/2008 6:20 16,75 16,11 16, ,8 1,8 22/05/2008 6:30 16,85 16,07 16,39 1, ,1 5,0 22/05/2008 6:40 17,08 16,18 16,78 1, ,9 19,3 22/05/2008 6:50 17,90 17,00 18,17 1, ,9 24,7 22/05/2008 7:00 18,91 17,89 19,53 1, ,4 33,1 22/05/2008 7:10 19,34 18,91 21,02 1, ,4 33,2 22/05/2008 7:20 18,89 19,54 21,53 1, ,8 43,7 22/05/2008 7:30 18,79 19,85 21,54 1, ,2 49,6 22/05/2008 7:40 18,27 19,66 20,66 1, ,6 25,3 22/05/2008 7:50 17,53 18,50 18,76 1, ,5 15,8 22/05/2008 8:00 17,29 17,81 17,77 1, ,1 14,7 22/05/2008 8:10 17,36 17,60 17,48 1, ,3 13,7 22/05/2008 8:20 17,60 17,68 17,53 1, ,5 17,6 22/05/2008 8:30 18,21 18,17 18,00 1, ,8 26,6 22/05/2008 8:40 19,28 19,37 19,10 1, ,5 44,6 22/05/2008 8:50 19,47 20,50 20,09 1, ,8 47,1 22/05/2008 9:00 20,75 21,90 21,56 1, , ,4 71,2 22/05/2008 9:10 20,48 22,55 22,37 1, ,1 61,8 22/05/2008 9:20 21,21 23,44 23,11 1, , ,0 78,9 22/05/2008 9:30 21,34 24,06 23,53 1, , ,6 87,7 22/05/2008 9:40 21,18 24,06 23,45 1, , ,9 83,2 22/05/2008 9:50 21,35 24,21 23,44 1, , ,5 85,7 22/05/ :00 21,96 24,63 23,65 1, , ,5 89,0 22/05/ :10 22,30 25,31 24,08 1, , ,1 82,3 22/05/ :20 21,92 24,63 23,57 1, , ,5 73,8 22/05/ :30 22,17 24,89 23,60 1, , ,1 83,2 22/05/ :40 21,72 24,17 23,06 1, ,8 60,7 22/05/ :50 22,04 23,75 22,90 1, ,6 58,0 22/05/ :00 21,76 23,61 22,90 1, ,9 55,1 22/05/ :10 21,37 23,21 22,57 1, ,5 56,3 22/05/ :20 21,68 23,29 22,60 1, , ,1 64,9 22/05/ :30 22,04 23,60 22,87 1, , ,7 68,1 22/05/ :40 21,97 23,66 22,95 1, , ,2 67,5 22/05/ :50 22,01 23,74 23,04 1, , ,5 67,6 22/05/ :00 22,21 23,85 23,15 1, , ,5 67,3 22/05/ :10 22,57 24,36 23,48 1, , ,1 84,7 22/05/ :20 23,16 25,31 24,15 1, , ,2 73,5 22/05/ :30 22,57 24,63 23,71 1, ,6 58,9 22/05/ :40 22,42 23,95 23,26 1, ,0 55,2 35

46 22/05/ :50 22,43 23,79 23,18 1, ,8 50,1 22/05/ :00 22,53 23,77 23,24 1, ,8 45,0 22/05/ :10 22,82 24,01 23,52 1, ,2 41,4 22/05/ :20 22,76 24,15 23,69 1, ,8 38,4 22/05/ :30 22,91 24,51 23,90 1, ,8 40,4 22/05/ :40 22,71 24,68 23,94 1, ,5 38,4 22/05/ :50 22,27 24,33 23,25 1, ,1 48,7 22/05/ :00 22,49 24,17 22,96 1, ,1 42,8 22/05/ :10 22,08 23,74 22,65 1, ,0 28,7 22/05/ :20 21,68 23,07 22,09 1, ,0 29,6 22/05/ :30 21,40 22,44 21,62 1, ,6 26,0 22/05/ :40 21,18 21,82 21,17 1, ,3 23,3 22/05/ :50 21,11 21,55 21,03 1, ,8 24,1 22/05/ :00 21,04 21,40 20,93 1, ,6 23,7 22/05/ :10 21,00 21,22 20,83 1, ,6 21,2 22/05/ :20 21,12 21,21 20,89 1, ,6 21,2 22/05/ :30 21,19 21,31 21,01 1, ,4 24,3 22/05/ :40 21,12 21,40 21,06 1, ,7 21,1 22/05/ :50 20,86 21,17 20,81 1, ,7 16,8 22/05/ :00 20,66 20,91 20,56 1, ,1 16,1 22/05/ :10 20,66 20,80 20,50 1, ,6 16,4 22/05/ :20 20,60 20,71 20,45 1, ,5 13,5 22/05/ :30 20,60 20,62 20,37 1, ,9 12,0 22/05/ :40 20,53 20,52 20,29 1, ,3 12,4 22/05/ :50 20,50 20,44 20,24 1, ,0 11,5 22/05/ :00 20,57 20,39 20,23 1, ,1 8,0 22/05/ :10 20,54 20,35 20,22 1, ,7 6,1 22/05/ :20 20,34 20,22 20, ,2 4,8 22/05/ :30 20,04 19,95 19, ,5 4,1 22/05/ :40 19,83 19,63 19, ,1 3,9 22/05/ :50 19,64 19,29 19, ,2 3,1 22/05/ :00 19,41 18,99 19, ,4 2,7 24/05/2008 6:00 16,60 15,94 16, ,1 1,6 24/05/2008 6:10 16,66 16,00 16, ,1 1,8 24/05/2008 6:20 16,67 16,06 16, ,0 3,3 24/05/2008 6:30 16,74 16,16 16,32 1, ,2 7,4 24/05/2008 6:40 17,08 16,42 17,01 1, ,1 32,8 24/05/2008 6:50 17,51 17,00 18,24 1, ,9 33,9 24/05/2008 7:00 17,76 17,55 19,12 1, ,6 47,7 24/05/2008 7:10 19,06 18,74 20,73 1, ,6 44,4 24/05/2008 7:20 19,19 19,57 21,56 1, ,3 47,2 24/05/2008 7:30 18,97 19,80 21,55 1, ,0 58,3 24/05/2008 7:40 18,71 19,35 20,51 1, ,3 42,6 24/05/2008 7:50 18,79 19,54 20,39 1, ,4 47,0 36

47 24/05/2008 8:00 18,37 19,49 20,03 1, ,5 40,3 24/05/2008 8:10 18,44 19,31 19,76 1, ,5 42,6 24/05/2008 8:20 18,75 19,56 20,05 1, ,8 39,4 24/05/2008 8:30 18,79 19,80 20,24 1, ,6 50,9 24/05/2008 8:40 19,37 20,40 20,77 1, ,0 48,7 24/05/2008 8:50 19,32 20,45 20,83 1, ,4 39,4 24/05/2008 9:00 19,25 20,39 20,71 1, ,8 47,5 24/05/2008 9:10 20,18 21,76 21,72 1, , ,6 99,4 24/05/2008 9:20 20,16 22,49 22,17 1, , ,2 90,1 24/05/2008 9:30 20,23 22,63 22,20 1, , ,3 87,7 24/05/2008 9:40 19,93 22,15 21,82 1, ,5 41,3 24/05/2008 9:50 20,04 21,50 21,28 1, ,8 48,4 24/05/ :00 20,48 22,03 21,67 1, ,0 60,9 24/05/ :10 20,89 22,28 21,87 1, ,3 52,9 24/05/ :20 20,92 22,53 22,09 1, ,3 57,4 24/05/ :30 21,30 23,10 22,45 1, , ,5 72,9 24/05/ :40 21,59 23,73 22,86 1, , ,2 70,9 24/05/ :50 21,45 23,62 22,92 1, ,5 56,2 24/05/ :00 21,34 23,54 22,75 1, , ,5 77,1 24/05/ :10 22,24 24,19 23,28 1, , ,2 66,5 24/05/ :20 21,82 24,21 23,31 1, , ,6 77,4 24/05/ :30 22,16 24,52 23,42 1, , ,8 88,5 24/05/ :40 22,39 24,67 23,43 1, , ,4 92,3 24/05/ :50 23,08 25,70 23,95 1, , ,0 115,7 24/05/ :00 22,97 25,70 23,77 1, , ,6 112,8 24/05/ :10 23,06 25,96 23,88 1, , ,3 103,5 24/05/ :20 23,01 25,57 23,65 1, , ,9 93,4 24/05/ :30 23,21 25,68 23,75 1, , ,7 96,8 24/05/ :40 23,49 25,88 23,97 1, , ,5 93,1 24/05/ :50 23,56 25,84 23,99 1, , ,7 91,3 24/05/ :00 23,96 26,34 24,35 1, , ,9 90,4 24/05/ :10 24,15 26,64 24,66 1, , ,0 87,5 24/05/ :20 24,31 27,04 24,97 1, , ,3 94,6 24/05/ :30 24,35 27,29 25,23 1, ,9 67,2 24/05/ :40 23,77 25,85 24,61 1, ,3 37,1 24/05/ :50 23,55 24,79 24,10 1, ,4 31,1 24/05/ :00 23,53 24,26 23,86 1, ,0 29,6 24/05/ :10 23,64 24,29 23,97 1, ,7 28,8 24/05/ :20 22,77 23,78 23,50 1, ,5 37,2 24/05/ :30 22,95 24,11 23,51 1, , ,0 70,2 24/05/ :40 22,62 23,94 23,25 1, ,2 37,9 24/05/ :50 22,26 23,56 22,95 1, ,9 36,2 24/05/ :00 22,29 23,06 22,58 1, ,0 28,2 24/05/ :10 22,47 22,81 22,59 1, ,7 15,6 37

48 24/05/ :20 21,92 22,38 22,35 1, ,7 15,8 24/05/ :30 21,64 22,14 22,01 1, ,9 17,6 24/05/ :40 21,62 21,70 21,71 1, ,0 11,1 24/05/ :50 20,73 20,21 21,01 1, ,6 14,6 24/05/ :00 20,12 19,78 20,34 1, ,3 12,5 24/05/ :10 20,14 19,62 20,05 1, ,6 6,8 24/05/ :20 20,56 19,67 20,09 1, ,1 6,6 24/05/ :30 19,95 19,59 19,95 1, ,1 5,9 24/05/ :40 19,78 19,33 19,68 1, ,5 6,1 24/05/ :50 20,02 19,18 19,63 1, ,8 6,3 24/05/ :00 20,12 19,11 19,63 1, ,2 6,1 24/05/ :10 19,89 18,98 19,57 1, ,3 5,1 24/05/ :20 19,88 18,92 19,48 1, ,6 4,3 24/05/ :30 20,30 19,07 19, ,6 4,4 24/05/ :40 20,08 19,22 19, ,7 3,2 24/05/ :50 20,13 19,32 19, ,3 2,4 24/05/ :00 19,88 19,29 19, ,4 2,2 25/05/2008 6:00 17,31 16,25 16, ,0 1,6 25/05/2008 6:10 17,15 16,28 16, ,0 1,6 25/05/2008 6:20 17,08 16,40 16, ,5 1,7 25/05/2008 6:30 16,64 16,33 16, ,7 1,4 25/05/2008 6:40 16,61 16,26 16, ,8 1,5 25/05/2008 6:50 16,63 16,25 16,32 1, ,6 2,3 25/05/2008 7:00 16,75 16,29 16,35 1, ,6 2,8 25/05/2008 7:10 16,83 16,38 16,44 1, ,2 4,1 25/05/2008 7:20 16,86 16,52 16,59 1, ,2 8,2 25/05/2008 7:30 17,23 16,93 17,06 1, ,5 15,0 25/05/2008 7:40 17,69 17,48 17,75 1, ,4 21,8 25/05/2008 7:50 18,17 18,43 18,86 1, ,0 31,8 25/05/2008 8:00 18,07 19,11 19,64 1, ,3 37,4 25/05/2008 8:10 18,54 19,52 19,94 1, ,7 31,4 25/05/2008 8:20 19,09 19,97 20,14 1, ,3 28,4 25/05/2008 8:30 18,81 19,82 19,72 1, ,1 33,4 25/05/2008 8:40 18,78 19,66 19,53 1, ,0 41,7 25/05/2008 8:50 18,93 19,79 19,60 1, ,2 42,8 25/05/2008 9:00 19,30 20,11 19,90 1, ,0 36,7 25/05/2008 9:10 19,26 20,16 19,94 1, ,8 33,2 25/05/2008 9:20 19,40 20,18 19,93 1, ,4 37,0 25/05/2008 9:30 19,59 20,56 20,21 1, ,7 41,5 25/05/2008 9:40 19,70 20,77 20,41 1, ,3 45,1 25/05/2008 9:50 19,85 20,89 20,57 1, ,5 40,2 25/05/ :00 19,57 20,77 20,42 1, ,6 41,5 25/05/ :10 20,31 21,61 20,95 1, , ,5 87,6 25/05/ :20 20,68 22,67 21,76 1, ,9 60,2 38

49 25/05/ :30 20,04 21,81 21,17 1, ,9 37,8 25/05/ :40 19,88 21,16 20,74 1, ,9 37,1 25/05/ :50 19,85 20,88 20,54 1, ,3 44,7 25/05/ :00 19,52 21,06 20,55 1, , ,8 74,2 25/05/ :10 20,09 21,45 20,80 1, ,1 42,1 25/05/ :20 20,42 21,22 20,86 1, ,5 42,9 25/05/ :30 21,02 22,03 21,44 1, , ,4 72,3 25/05/ :40 21,05 22,30 21,69 1, ,1 66,3 25/05/ :50 21,28 22,74 21,82 1, , ,4 81,3 25/05/ :00 21,58 23,14 22,11 1, , ,3 88,6 25/05/ :10 21,79 23,63 22,38 1, , ,5 94,6 25/05/ :20 22,28 24,16 22,84 1, , ,9 95,4 25/05/ :30 22,21 24,54 23,02 1, , ,3 96,5 25/05/ :40 22,23 24,35 22,78 1, , ,5 99,6 25/05/ :50 22,57 24,82 23,11 1, , ,8 96,5 25/05/ :00 22,50 24,61 23,03 1, , ,6 94,9 25/05/ :10 22,82 24,78 23,20 1, , ,3 93,4 25/05/ :20 23,06 25,24 23,62 1, ,3 75,7 25/05/ :30 23,04 24,91 23,56 1, ,8 62,9 25/05/ :40 22,99 24,80 23,56 1, , ,0 84,8 25/05/ :50 23,32 25,37 23,85 1, , ,6 101,3 25/05/ :00 23,07 25,07 23,77 1, ,8 43,2 25/05/ :10 22,28 23,32 22,84 1, ,0 29,9 25/05/ :20 23,27 24,24 23,31 1, , ,3 82,9 25/05/ :30 23,80 25,64 24,20 1, , ,4 85,3 25/05/ :40 23,18 25,36 24,09 1, ,3 46,0 25/05/ :50 22,50 23,96 23,34 1, ,9 27,1 25/05/ :00 22,54 23,58 22,97 1, ,2 59,8 25/05/ :10 22,33 23,31 22,74 1, ,9 56,0 25/05/ :20 22,28 23,04 22,50 1, ,3 64,5 25/05/ :30 22,02 22,78 22,21 1, , ,0 65,3 25/05/ :40 21,85 22,49 21,96 1, ,3 55,2 25/05/ :50 21,52 22,08 21,66 1, ,5 49,8 25/05/ :00 21,43 21,84 21,45 1, ,1 52,0 25/05/ :10 21,22 21,60 21,26 1, ,6 52,6 25/05/ :20 20,80 20,92 20,87 1, ,8 11,7 25/05/ :30 20,36 20,23 20,36 1, ,9 8,4 25/05/ :40 20,12 19,80 20,00 1, ,9 6,7 25/05/ :50 20,02 19,55 19,78 1, ,9 6,3 25/05/ :00 19,98 19,44 19,68 1, ,3 5,7 25/05/ :10 19,87 19,36 19,62 1, ,9 4,8 25/05/ :20 19,79 19,27 19,52 1, ,9 3,9 25/05/ :30 19,71 19,22 19, ,6 3,6 25/05/ :40 19,72 19,18 19, ,8 2,9 39

50 25/05/ :50 19,91 19,29 19, ,6 2,9 25/05/ :00 19,39 19,11 19, ,7 2,5 26/05/2008 6:00 15,67 14,47 15, ,2 2,7 26/05/2008 6:10 15,91 14,69 15, ,6 19,1 26/05/2008 6:20 16,09 15,11 16,01 1, ,9 20,2 26/05/2008 6:30 16,40 15,73 16,98 1, ,4 35,2 26/05/2008 6:40 16,34 16,05 17,40 1, ,6 18,9 26/05/2008 6:50 16,17 16,09 17,44 1, ,2 27,1 26/05/2008 7:00 16,59 16,49 18,21 1, ,4 37,0 26/05/2008 7:10 17,41 17,28 19,53 1, ,2 42,2 26/05/2008 7:20 17,84 18,19 20,73 1, ,3 45,4 26/05/2008 7:30 17,79 18,71 21,10 1, ,0 53,8 26/05/2008 7:40 17,66 18,63 20,27 1, ,2 60,7 26/05/2008 7:50 18,05 18,87 20,17 1, ,6 62,9 26/05/2008 8:00 18,30 19,15 20,19 1, , ,8 64,6 26/05/2008 8:10 18,39 19,42 20,28 1, , ,1 65,7 26/05/2008 8:20 18,38 19,43 20,05 1, , ,9 67,2 26/05/2008 8:30 18,53 19,60 20,12 1, , ,3 68,1 26/05/2008 8:40 19,10 20,18 20,63 1, , ,9 68,4 26/05/2008 8:50 19,37 20,73 21,05 1, , ,7 70,6 26/05/2008 9:00 19,78 21,18 21,36 1, , ,9 71,3 26/05/2008 9:10 20,01 21,63 21,60 1, , ,8 73,5 26/05/2008 9:20 19,85 21,53 21,32 1, , ,8 76,4 26/05/2008 9:30 20,24 21,55 21,22 1, , ,6 77,5 26/05/2008 9:40 20,67 22,16 21,67 1, , ,8 81,0 26/05/2008 9:50 20,18 21,66 21,29 1, ,9 51,1 26/05/ :00 20,13 21,00 20,85 1, ,7 42,4 26/05/ :10 20,30 21,06 20,93 1, ,9 47,7 26/05/ :20 20,31 21,17 20,98 1, ,6 45,9 26/05/ :30 20,26 20,97 20,80 1, ,6 38,2 26/05/ :40 20,30 20,82 20,63 1, ,2 45,7 26/05/ :50 20,58 21,35 21,02 1, , ,1 68,0 26/05/ :00 20,70 21,66 21,24 1, ,0 61,1 26/05/ :10 20,98 22,02 21,36 1, , ,6 85,7 26/05/ :20 21,25 22,74 21,86 1, , ,6 75,2 26/05/ :30 20,98 22,15 21,53 1, ,1 63,8 26/05/ :40 21,09 22,12 21,41 1, , ,0 85,3 26/05/ :50 21,93 23,47 22,20 1, , ,0 105,3 26/05/ :00 21,85 23,78 22,59 1, ,6 71,4 26/05/ :10 21,31 22,31 21,81 1, ,6 51,7 26/05/ :20 21,69 22,63 22,13 1, ,7 59,0 26/05/ :30 21,47 22,43 21,98 1, ,4 50,5 26/05/ :40 21,81 23,02 22,08 1, , ,9 86,5 26/05/ :50 21,95 23,36 22,34 1, , ,0 92,1 40

51 26/05/ :00 21,73 23,15 22,19 1, ,1 74,4 26/05/ :10 22,22 23,95 22,59 1, , ,1 97,6 26/05/ :20 22,00 23,56 22,45 1, , ,7 84,0 26/05/ :30 21,99 23,54 22,38 1, , ,9 91,9 26/05/ :40 22,16 23,57 22,40 1, , ,3 88,4 26/05/ :50 22,34 23,76 22,57 1, , ,2 85,6 26/05/ :00 22,23 23,55 22,50 1, , ,9 82,1 26/05/ :10 22,34 23,51 22,53 1, ,1 66,3 26/05/ :20 22,46 23,44 22,55 1, , ,9 70,3 26/05/ :30 22,76 24,00 22,95 1, , ,9 79,4 26/05/ :40 22,66 23,99 22,93 1, , ,3 74,8 26/05/ :50 22,45 23,59 22,71 1, , ,7 75,6 26/05/ :00 22,38 23,26 22,53 1, , ,8 71,9 26/05/ :10 22,18 22,98 22,31 1, , ,7 69,1 26/05/ :20 22,25 23,00 22,34 1, ,0 65,8 26/05/ :30 21,81 22,49 21,94 1, ,6 63,1 26/05/ :40 21,69 22,19 21,73 1, ,2 57,0 26/05/ :50 21,69 22,00 21,62 1, ,0 56,6 26/05/ :00 21,67 21,93 21,61 1, ,8 55,5 26/05/ :10 21,70 21,90 21,61 1, ,1 55,9 26/05/ :20 21,50 21,75 21,51 1, ,8 56,2 26/05/ :30 21,23 21,37 21,20 1, ,5 52,9 26/05/ :40 20,97 21,05 20,98 1, ,5 47,2 26/05/ :50 20,79 20,79 20,84 1, ,2 43,5 26/05/ :00 20,52 20,46 20,61 1, ,1 34,3 26/05/ :10 20,17 19,93 20,13 1, ,5 10,8 26/05/ :20 19,89 19,48 19,74 1, ,3 7,0 26/05/ :30 19,68 19,15 19,45 1, ,6 5,5 26/05/ :40 19,43 18,87 19, ,1 4,6 26/05/ :50 19,16 18,58 18, ,8 3,9 26/05/ :00 18,89 18,29 18, ,8 3,3 41

52 Lampiran 5. Pengukuran PAR dan Radiasi di bawah kanopi Kanopi % (Kanopi tertutup) Altitude Rendah Lokasi Tanggal Waktu PAR rpar G rg PAR SE 7 16/05/ :30 198,17 61,69 115,11 15,81 44,04 SW 5 18/05/ :40 109,58 5,97 20,18 2,56 24,35 NW5 17/05/ :00 105,64 26,79 38,28 13,38 23,48 SE6 16/05/ :10 121,61 27,28 48,11 13,92 27,02 SE 8 16/05/ :50 22,57 1,94 12,14 3,36 5,016 Kanopi % (Kanopi tertutup) Altitude tinggi Lokasi Tanggal Waktu PAR rpar G rg PAR NW 7 17/05/2008 9:30 36,88 2,35 16,01 3,17 8,19 SE 10 16/05/2008 9:30 51,69 2,55 13,41 1,85 11,49 NE 11 18/05/ :10 277,46 26,91 202,42 6,33 61,66 NW 6 17/05/ :20 46,25 4,29 24,17 6,52 10,28 NW 4 17/05/ :30 267,62 65,86 146,55 13,89 59,47 Kanopi % (Kanopi menengah) Lokasi Tanggal Waktu PAR rpar G rg PAR NE 7 18/05/ :40 213,56 53,21 68,03 20,16 47,46 NW 3 17/05/ :10 53,50 10,25 30,37 9,89 11,89 SE 2 16/05/ :50 67,47 5,15 30,07 5,28 14,99 NW 1 17/05/ :10 176,66 22,56 108,35 7,86 39,26 NW 2 17/05/ :40 195,84 42,63 73,02 19,39 43,53 SW 1 16/05/ :00 150,99 39,15 105,19 15,81 33,56 kanopi % (Kanopi terbuka) Lokasi Tanggal Waktu PAR rpar G rg PAR NE 9 18/05/ :30 38,59 2,96 21,99 3,92 8,58 SE 1 16/05/ :20 160,10 9,42 35,24 5,21 35,58 NE 3 18/05/ :00 173,38 25,49 114,49 8,69 38,53 SW 3 17/05/ :40 55,29 9,22 20,86 5,16 12,29 42

53 Lampiran 6. Tam man Nasional Lore-L Lindu dan Dokumentasi Penelitian Menara Utama Bariri (± 70 7 m) Tutupaan Kanopi pada titikk Pengamatan Pen ngukuran Radiasi di Bawah Kanopi Batas Hutan dengan Padaang Rumput Menara Pengam matan Fluks CO2 gukuran Radiasi di P Puncak Kanopi Sensor Peng 43

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1993 dengan luas kurang lebih mencapai 229.000 ha. Secara administratif pemerintahan berada pada Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso, Propinsi dati I Sulawesi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. meninggalkan bumi R l : Radiasi gelombang panjang yang datang. meninggalkan bumi

II. TINJAUAN PUSTAKA. meninggalkan bumi R l : Radiasi gelombang panjang yang datang. meninggalkan bumi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Iklim Mikro Hutan Pengamatan terhadap karakterisitk iklim mikro meliputi pengukuran terhadap unsur atau variabel pembentuk iklim mikro hutan. Faktor iklim dalam kanopi

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 1

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 1 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat di Indonesia sangat mempengaruhi emisi karbon di atmosfer. Semakin meningkatnya jumlah penduduk maka konversi vegetasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni. Atmosfer Bumi Meteorologi Pendahuluan Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni. Dengan keberadaan atmosfer, suhu Bumi tidak turun secara

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi BAB 1 ATMOSFER BUMI A tmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni. Dengan keberadaan atmosfer, suhu Bumi tidak turun secara drastis di malam hari dan tidak memanas dengan cepat di siang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Unsur-unsur Iklim 1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran - 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Puncak Atmosfer ( 100 km ) Tekanan Udara

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Awan berpengaruh terhadap terhadap keseimbangan energi di atmosfer melalui proses penyerapan, pemantulan, dan pemancaran energi matahari. Awan memiliki ciri tertentu

Lebih terperinci

Radiasi Elektromagnetik

Radiasi Elektromagnetik Radiasi Elektrmagnetik 3. Radiasi Elektrmagnetik Berangkat dari bahasan kita di atas mengenai kmpnen sistem PJ, energi elektrmagnetik adalah sebuah kmpnen utama dari kebanyakan sistem PJ untuk lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1 BAB I PENDAHULUAN Klimatologi berasal dari bahasa Yunani di mana klima dan logos. Klima berarti kemiringan (slope) yang diarahkan ke lintang tempat, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi definisi klimatologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE Oleh: Dini Janiariska C64104059 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci