EARLY WARNING SYSTEM KRISIS UTANG DI INDONESIA : PENDEKATAN BUSINESS CYCLE THEORY OLEH: ILLINIA AYUDHIA RIYADI H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EARLY WARNING SYSTEM KRISIS UTANG DI INDONESIA : PENDEKATAN BUSINESS CYCLE THEORY OLEH: ILLINIA AYUDHIA RIYADI H"

Transkripsi

1 EARLY WARNING SYSTEM KRISIS UTANG DI INDONESIA : PENDEKATAN BUSINESS CYCLE THEORY OLEH: ILLINIA AYUDHIA RIYADI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 RINGKASAN ILLINIA AYUDHIA RIYADI. Early Warning System Krisis Utang di Indonesia: Pendekatan Business Cycle Theory (dibimbing oleh DENIEY ADI PURWANTO). Sejak tahun 1998 hingga 2009, kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) Indonesia selalu mengalami budget deficit dalam rangka membiayai program pembangunan. Untuk menutupi defisit anggaran tersebut, pemerintah mengandalkan berbagai sumber pembiayaan sumber yang berasal dari perbankan dalam negeri, privatisasi, penjualan aset program restrukturisasi, dana penerbitan obligasi negara, dan pinjaman luar negeri. Dari beberapa sumber pembiayaan yang ada, porsi terbesar untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi berasal dari obligasi negara. Proporsi pembiayaan defisit anggaran yang sebagian besar berasal dari dana penerbitan obligasi pada akhirnya menyebabkan pemerintah memutuskan untuk meningkatkan penawaran obligasi di pasar sekuritas secara terus menerus. Selama periode Agustus 2004 hingga Agustus 2010, kepemilikan asing terhadap SBN menunjukkan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pemerintah semakin kuat terhadap pihak asing dalam hal memperoleh pendanaan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Dengan demikian, akumulasi utang luar negeri Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara substansi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan uang digunakan untuk menutupi kebutuhan investasi di suatu negara. Pembiayaan yang bersumber dari utang luar negeri ini harus dikelola dengan baik dan dialokasikan untuk kegiatan investasi sektor riil yang produktif sehingga dapat memberikan rate of return yang tinggi di kemudian hari. Alokasi penggunaan utang luar negeri untuk kegiatan yang tidak produktif tanpa pengawasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya krisis utang seperti yang saat ini melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa (European Union/EU). Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh negara-negara di kawasan Uni Eropa, maka sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dalam jumlah yang besar perlu diwaspadai sedini mungkin. Suatu sistem deteksi dini perlu untuk dibangun agar pemerintah dapat memperkirakan periode waktu kemungkinan terjadinya krisis utang secara tepat. Hal ini penting bagi pemerintah sehingga dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang bersifat antisipastif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi Coincident, Leading, dan Lagging Indicators dalam rangka menyusun instrumen deteksi dini terjadinya krisis utang di Indonesia. Selain itu, akan diidentifikasi sistem bekerjanya faktor-faktor tersebut sebagai instrument sistem suatu deteksi dini.

3 Pada penelitian ini, pembangunan early warning system krisis utang di Indonesia dilakukan dengan menggunakan pendekatan business cycle theory. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan periode bulanan dari bulan Januari 1998 hingga Desember Adapun jumlah variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 111 variabel. Dalam rangka memperoleh kandidat Coincident, Leading, dan Lagging Indicators, maka dilakukan tiga tahap seleksi terhadap 111 variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan. Adapun tiga tahap seleksi tersebut adalah uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang (cross correlation test), dan uji granger causality (granger causality test). Dari tahap seleksi tersebut, diperoleh hasil bahwa terdapat 8 variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator, yakni suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran, suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum, laju inflasi Indonesia, ekspor barang Amerika Serikat (free on board price), harga komoditi mentah pertanian dunia, SBI 1 bulan, interest rate spread, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sementara itu, kandidat Leading Indicator yang diperoleh sebanyak 6 variabel, yaitu suku bunga LIBOR 6 bulan, laju inflasi Jepang, M2/Cadangan Devisa, Loan to GDP, LQ 45, dan Nominal Effective Exchange Rate. Adapun kandidat Lagging Indicators terdiri dari suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero, suku bunga pinjaman berjangka 24 bulan (rupiah) di Bank Umum, Import Merchandise Constant (US$ Dollar), dan Local Equity Market Index. Melalui proses trial and error, maka diperoleh kombinasi variabel terbaik dalam penyusunan Coincident Debt Index, Leading Debt Index, dan Lagging Debt Index. Komponen penyusun Coincident Debt Index terbaik adalah interest rate spread (59 persen), suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum (23 persen), suku bunga pinjaman untuk modal kerja (rupiah) berjangka 6 bulan di Bank Umum(10 persen) dan SBI 1 bulan (8 persen). Komponen penyusunan Leading Debt Index yang dianggap terbaik adalah variabel suku bunga LIBOR 6 bulan (54 persen), laju inflasi Jepang (42 persen), dan variabel M2/Cadangan Devisa (2 persen) serta Nominal Effective Exchange Rate (2 persen). Adapun komponen penyusun Lagging Debt Index adalah dari suku bunga pinjaman modal kerja rupiah yang diberikan Bank Persero (42 persen), suku bunga pinjaman rupiah berjangka 24 bulandi Bank Umum (50 persen), Import Merchandise Constant (4 persen), dan Local Equity Market Index (3 persen). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada periode waktu mendatang sangatlah dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suku bunga LIBOR 6 bulan dan laju inflasi Jepang. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbuka kecil (small open economy) yang masih rentan terhadap goncangan makroekonomi global. Model early warning system yang terbentuk dari penelitian ini dapat bekerja dengan cukup baik dalam memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia meskipun proses kaliberasi terhadap variabel-variabel penyusunnya masih perlu dilakukan secara berkala.

4 EARLY WARNING SYSTEM KRISIS UTANG DI INDONESIA : PENDEKATAN BUSINESS CYCLE Oleh ILLINIA AYUDHIA RIYADI H Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

5 Judul Skripsi : EARLY WARNING SYSTEM KRISIS UTANG DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE Nama : Illinia Ayudhia Riyadi NIM : H Menyetujui, Dosen Pembimbing Deniey Adi Purwanto, MSE NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP Tanggal Kelulusan :

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Mei 2012 Illinia Ayudhia Riyadi H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Illinia Ayudhia Riyadi lahir pada tanggal 9 Februari 1991 di Jakarta. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Ir. Slamet Riyadi, M.Sc, dan Dra. Ani Widiastuti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Islam Panglima Besar Jenderal Soedirman, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 103 Jakarta dan lulus tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 39 Jakarta dan lulus pada tahun Pada tahun 2008 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga bisa menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan Kota Jakarta tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi sebagai staf pelaksana divisi DNA (Discussion and Analysis) Himpunan Profesi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) IPB. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten dosen di Departemen Ilmu Ekonomi IPB dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan responsi mata kuliah Ekonomi Umum, Teori Mikroekonomi I, dan Teori Makroekonomi dari tahun 2010 hingga sekarang.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Early Warning System Krisis Utang di Indonesia: Pendekatan Business Cycle Theory. Krisis utang merupakan topik yang sangat menarik dan hangat menjadi perbincangan karena saat ini tengah terjadi krisis utang yang melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa sehingga menimbulkan guncangan bagi perekonomian secara global, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini sebagai upaya menghindari kemungkinan terjadinya krisis utang melalui pembangunan early warning system di Indonesia. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Bapak Deniey Adi Purwanto, MSE, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Penulis juga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari para peserta pada Seminar Hasil Penelitian Skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orangtua penulis, yaitu Bapak Ir. Slamet Riyadi, M.Sc, dan Ibu Dra. Ani Widiastuti atas dukungan material maupun spiritual yang diberikan kepada penulis selama ini. Penulis juga berterimakasih kepada kakak dan adik penulis, yaitu Arief Nugroho Riyadi, SH, dan Gliddheo Algifariyano Riyadi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan sejawat mahasiswa IE 45 atas dukungan moral yang diberikan kepada penulis selama ini, khususnya teman-teman dalam satu kelompok bimbingan skripsi, yaitu Ayu Budiarti, Oktya Setya Pratidina, Dhany Subangun, dan Teuku Arif Pahlevi. Tak lupa, ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada para

9 sahabat mahasiswa IE 45 yang selalu menemani penulis selama empat tahun menuntut ilmu bersama di IPB, yaitu Fiona Rebecca Hutagaol, Lusiana Manik, Shanty Nathalia, Henny Prischilia, Hairul, Diyah Nugraheni dan Masyitha Mutiara. Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Mei 2012 Illinia Ayudhia Riyadi H

10 DAFTAR ISI Halaman I. PENDAHULUAN...1 II. III. IV. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup...14 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Konsep dan Teori Teori Siklus Bisnis Model Early Warning System Definisi Business Cycle Tahapan Business Cycle Business Cycle Indicators Leading Economic Indicators dan Peramalan Aktivitas Ekonomi Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran...38 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Tahapan Penyusunan Leading Economic Indicator Metode Penyusunan Early Warning Indicators Definisi Operasional..56 HASIL DAN PEMBAHAHASAN 4.1 Gambaran Umum Utang Luar Negeri Indonesia Penyusunan Early Warning System Identifikasi Variabel-variabel yang menjadi Leading, Lagging, dan Coincident Indicator...66

11 4.2.2 Penyusunan Composite Coincident, Leading dan Lagging Debt Index Pembahasan Hasil Penyusunan Early Warning System Analisis Hasil Early Warning System Secara Empiris Operasionalisasi dan Pengelolaan Early Warning System di Indonesia Implikasi Kebijakan Pengelolaan Utang Luar Negeri Indonesia V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA.131 LAMPIRAN...134

12 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Kelebihan Masing-masing Model Early Warning System Kekurangan Masing-masing Model Early Warning System Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Periode Waktu Pelaksanaan Debt Rescheduling Atas Pembayaran Utang Luar Negeri Indonesia Nilai Net Resource Flow Indonesia Periode Tahun Kombinasi Terbaik Penyusun Coincident Debt Index Beserta Bobotnya Kombinasi Terbaik Penyusun Leading Debt Index Beserta Bobotnya Perhitungan Selang Waktu Perbedaan Pergerakan LDI Mendahului CDI Kombinasi Terbaik Penyusun Lagging Debt Index Beserta Bobotnya Perhitungan Selang Waktu Perbedaan Pergerakan Lagging Debt Index Mengikuti Coincident Debt Index...117

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Besarnya Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode 1998 hingga 2009 (dalam miliar rupiah) Proporsi Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode Tahun Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Domestikyang Dimiliki Bukan Penduduk (Asing) Periode Tahun 2006 Hingga 2011 (dalam Juta Dollar) Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Pemerintah Per Triwulan Keempat Periode 1999 Hingga 2010 (dalam juta USD) Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Sektor Swasta Per Kuartal Keempat Periode 1999 hingga 2010 (dalam juta USD) Bagan Kerangka Pemikiran Alur Penyusunan Komponen Early Warning System Debt To Export Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga Debt Service Ratio Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga Pergerakan Coincident Debt Index (CDI) Seiring Dengan Variabel Debt to GDP Pergerakan Leading Debt Index (LDI) Mendahului Coincident Debt Index (CDI) Pergerakan Lagging Debt Index Mengikuti Coincident Debt Index Perbandingan Pergerakan Coincident Debt Index (CDI) Dengan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Skematik Penggunaan Instrumen Leading Debt Index Dalam Operasionalisasi Early Warning System Krisis Utang Skematik Penggunaan Instrumen Lagging Debt Index Dalam Operasionalisasi Early Warning System Krisis Utang...124

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Variabel yang digunakan dalam penelitian Hasil Cross Correlation Test Kandidat Coincident Indicator Hasil Cross Correlation Test Kandidat Leading Indicator Hasil Cross Correlation Test Kandidat Lagging Indicator Hasil Pengujian Granger Causality Test Kandidat Coincident Indicator Hasil Pengujian Granger Causality Test Kandidat Leading Indicator Hasil Pengujian Granger Causality Test Kandidat Lagging Indicator Perbandingan Grafik Variabel Kandidat Coincident Indicator Sebelum dan Sesudah Melalui X-12 ARIMA Perhitungan Composite Coincident Debt Index Perbandingan Grafik Variabel Kandidat Leading Indicator Sebelum dan Sesudah Melalui X-12 ARIMA Perhitungan Composite Leading Debt Index Perbandingan Grafik Variabel Kandidat Lagging Indicator Sebelum dan Sesudah Melalui X-12 ARIMA Perhitungan Composite Lagging Debt Index...183

15 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program pembangunan yang direncanakan. Oleh karena itu, kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget deficit, yakni kondisi dimana jumlah anggaran belanja lebih besar daripada pendapatannya. Adapun besarnya defisit anggaran yang dialami Indonesia selama kurun waktu 13 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1. Sumber: Bank Indonesia, 2011 diolah Gambar 1.1. Besarnya Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode 1998 hingga 2009 (dalam miliar rupiah) Gambar 1.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1998 hingga 2011, besarnya defisit anggaran yang terjadi menunjukkan trend yang terus meningkat. Pada periode tahun 1999, besarnya defisit anggaran sempat mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 1998, kemudian terus mengalami kenaikan

16 2 hingga mencapai angka defisit anggaran sebesar miliar rupiah pada tahun Defisit anggaran yang begitu besar di tahun 2001 tersebut merupakan dampak akibat krisis moneter yang terjadi di tahun Pada periode tahun 2002 hingga 2008, besarnya defisit anggaran berfluktuasi hingga mencapai angka tertinggi di tahun Defisit anggaran pada tahun tersebut mencapai angka miliar rupiah. Besarnya defisit anggaran yang terjadi ditutupi baik dari pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri dengan proporsi tertentu. Adapun besarnya porsi pembiayaan dalam maupun luar negeri untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut. Sumber : Bank Indonesia Indonesia, 2011, diolah Gambar 1.2 Proporsi Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode Tahun 2011 Gambar 1.2 menunjukkan bahwa untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi selama periode tahun 2005 hingga 2010, pemerintah mengandalkan sumber pembiayaan yang berasal dari perbankan dalam negeri, privatisasi, penjualan aset

17 3 program restrukturisasi, dana penerbitan obligasi negara, dan pinjaman luar negeri. Dari beberapa sumber pembiayaan yang ada, porsi terbesar untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi berasal dari obligasi negara yakni sebesar 74 persen. Dana penerbitan obligasi baru digunakan secara efektif dan menjadi instrumen utama pembiayaan APBN sejak tahun Hal ini menunjukan betapa pentingnya dana penerbitan obligasi pemerintah sebagai andalan demi terlaksananya kebijakan ekspansi fiskal dengan pola deficit budget yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia selama ini. Proporsi pembiayaan defisit anggaran yang sebagian besar berasal dari dana penerbitan obligasi pada akhirnya menyebabkan pemerintah memutuskan untuk meningkatkan penawaran obligasi di pasar sekuritas secara terus menerus. Dana dari penerbitan obligasi ini kemudian digunakan untuk beberapa hal, di antaranya adalah refinancing utang lama yang jatuh tempo dan refinancing dilakukan dengan utang baru yang mempunyai term dan condition yang lebih baik. Ditinjau dari kepemilikannya, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dapat dibedakan menjadi tiga, yakni obligasi yang dimiliki oleh pihak bank, non-bank, dan asing. Adapun data mengenai posisi kepemilikan asing atas obligasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.3.

18 4 Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah Gambar 1.3 Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Domestik yang Dimiliki Bukan Penduduk (Asing) Periode Tahun 2006 Hingga 2011 (dalam Juta Dollar) Gambar 1.3 menunjukkan bahwa kepemilikan asing terhadap SBN menunjukkan trend yang terus meningkat selama periode Agustus 2004 hingga Agustus Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pemerintah semakin kuat terhadap pihak asing dalam hal memperoleh pendanaan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Porsi kepemilikan asing terhadap SBN yang terus meningkat perlu diwaspadai sebab hal tersebut berdampak pada jumlah utang luar negeri pemerintah yang semakin besar. Apabila penerbitan SBN dan kepemilikan asing terhadap SBN tersebut tidak dibatasi, maka kondisi ini akan memicu semakin besarnya jumlah utang luar negeri pemerintah sehingga tidak menutup kemungkinan, di masa mendatang, pemerintah akan terjerat krisis utang yang akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Defisit APBN yang terjadi menuntut adanya sumber pembiayaan untuk menutupinya, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Pembiayaan yang

19 5 berasal dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral maupun SBN yang dimiliki oleh asing. Pembiayaan dari luar negeri yang semakin meningkat berdampak pula semakin besarnya posisi utang luar negeri pemerintah. Secara keseluruhan, posisi utang luar negeri pemerintah juga mengindikasikan adanya potensi krisis utang yang mungkin melanda Indonesia di waktu mendatang. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1.4. Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah Gambar 1.4 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Pemerintah Per Triwulan Keempat Periode 1999 Hingga 2010 (dalam juta USD) Gambar 1.4 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1999 hingga 2010, posisi utang luar negeri pemerintah menunjukkan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi keuangan pemerintah semakin menunjukkan ketergantungan yang semakin besar terhadap pembiayaan dari pihak asing, berupa pinjaman bilateral atau multilateral maupun dari dana hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang kemudian dimiliki oleh pihak asing. Kondisi ketergantungan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kesehatan

20 6 keuangan pemerintah apabila terjadi guncangan (shock) sebagai dampak ketidakpastian lingkungan perekonomian global yang terjadi saat ini. Jika ketergantungan yang semakin kuat tersebut terus terjadi dalam periode waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan bila di masa yang akan datang pemerintah akan terjerat krisis utang seperti yang dialami negara-negara Uni Eropa saat ini. Utang luar negeri Indonesia selain dimiliki oleh sektor publik, juga dimiliki oleh sektor swasta. Sektor swasta yang memiliki utang luar negeri ini mencakup sektor lembaga keuangan (bank dan nonbank) serta sektor bukan lembaga keuangan. Adapun posisi utang luar sektor swasta dapat dilihat pada Gambar 1.5. Sumber : Bank Indonesia, 2011,diolah Gambar 1.5 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Sektor Swasta Per Kuartal Keempat Periode 1999 hingga 2010 (dalam juta USD) Gambar 1.5 menunjukkan bahwa posisi utang luar negeri pihak swasta menunjukkan trend yang terus meningkat selama periode tahun 1999 hingga Posisi utang luar negeri sektor swasta mencapai nilai tertinggi pada periode tahun 2011 yakni mencapai juta USD. Utang luar negeri tersebut

21 7 mencakup pinjaman, utang dagang, serta surat utang yang diterbitkan luar negeri dan dalam negeri yang dimiliki bukan oleh penduduk. Apabila jumlah utang luar negeri sektor swasta terus meningkat dari waktu ke waktu tanpa diiringi peningkatan produktivitas sektor riil dalam negeri, maka pada jangka panjang sektor swasta akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran kembali utangutang tersebut yang akan berdampak pada terjadinya guncangan perekonomian. Secara substansi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan uang digunakan untuk menutupi kebutuhan investasi di suatu negara. Kegiatan investasi sangat penting untuk dilakukan di suatu negara demi menggiatkan perekonomian sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Kegiatan tersebut membutuhkan dana dalam jumlah yang cukup besar, sehingga di beberapa negara tertentu sumber pembiayaan dalam negeri yang tersedia, misalnya dari tabungan domestik, tidak mampu mencukupi kebutuhan dana investasi yang akan dilakukan. Untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan tersebut, maka utang luar negeri dilakukan. Adanya utang luar negeri ini menimbulkan kewajiban bagi negara debitur untuk mengembalikan utang tersebut beserta bunganya di masa mendatang. Oleh karena itu, pembiayaan yang bersumber dari utang luar negeri ini harus dikelola dengan baik dan dialokasikan untuk kegiatan investasi sektor riil yang produktif sehingga dapat memberikan rate of return yang tinggi di kemudian hari. Hal ini penting untuk mendukung kemampuan likuiditas negara debitur dalam melakukan pembayaran kembali atas jumlah pokok dan bunga dari utang luar negeri tersebut, sehingga negara debitur akan terhindar dari jeratan krisis utang seperti yang melanda Uni Eropa saat ini.

22 8 Penggunaaan utang luar negeri yang dialokasikan untuk kegiatan yang tidak produktif tanpa pengawasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya krisis utang seperti yang saat ini melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa (European Union/EU). Krisis utang yang berdampak sistemik tersebut diawali dengan kondisi gagal bayar yang dialami negara Yunani. Hal ini disebabkan karena ketiadaan pengawasan yang ketat dalam alokasi penggunaan utang luar negeri di negara tersebut. Defisit APBN Yunani mencapai 13,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam Maastricht Treaty (Undang-Undang Dasar anggota Uni Eropa), yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN maksimum 3 persen dari PDB nya. Defisit APBN yang dialami Yunani tersebut selanjutnya dibiayai dari dari dana yang bersumber dari penerbitan obligasi oleh pemerintah sehingga menyebabkan utang luar negeri Yunani terus terakumulasi mencapai 172 persen dari PDB per Juni Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam Maastricht Treaty yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki total utang luar negeri maksimum 60 persen dari PDB nya (Quéré, Bénassy dan Boone, 2010). Dana yang bersumber dari penerbitan obligasi pemerintah sebagian besar digunakan untuk berbagai program yang sifatnya konsumtif dan pembiayaan sosial bagi masyarakat Yunani. Dana tersebut tidak digunakan untuk membiayai kegiatan investasi produktif, sehingga tidak memberikan dampak multiplier effect yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Yunani sehingga tidak memberikan rate of return bagi pemerintah. Akibatnya, pada saat sebagian besar obligasi pemerintah

23 9 mengalami jatuh tempo pada periode bulan Mei tahun 2010, pemerintah Yunani mengalami kesulitan likuiditas sehingga terjadi kondisi gagal bayar yang dialami negara tersebut. Kondisi krisis utang yang dialami Yunani tersebut memicu terjadinya krisis perbankan di kawasan Uni Eropa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pemegang obligasi Yunani adalah bank-bank di negara-negara Uni Eropa. Dengan demikian, krisis utang Yunani berdampak luas dan sistemik terhadap perekonomian negara-negara lain di kawasan Uni Eropa. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memutuskan melakukan bail out dengan menggelontorkan dana sebesar 14.5 miliar Euro dalam rangka melakukan pembayaran atas obligasi-obligasi pemerintah Yunani yang jatuh tempo tersebut. Jumlah itu masih akan ditambah dengan komitmen dari IMF dan tambahan dana talangan dari Uni Eropa untuk membayar utang-utang jatuh tempo lainnya (Arghyrou dan Tsoukalas, 2010). Selain Yunani, bank-bank di negara kawasan Uni Eropa juga banyak yang memegang obligasi-obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah negara Irlandia, Italia, Portugal, dan Spanyol. Meskipun hanya Yunani yang mengalami gagal bayar dan membutuhkan restrukturisasi untuk pembayaran obligasi-obligasi yang telah jatuh tempo tersebut, namun kondisi gagal bayar dan restrukturisasi meluas terjadi pada beberapa negara lainnya. Hal ini memicu terjadinya krisis perbankan dengan dampak lebih besar. Kondisi ini berakibat buruk pada perekonomian negara-negara Uni Eropa sehingga secara keseluruhan, kawasan tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2009 hingga saat ini.

24 10 Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh negara-negara di kawasan Uni Eropa, maka sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dalam jumlah yang besar perlu diantisipasi sedini mungkin. Suatu sistem deteksi dini perlu untuk dibangun agar pemerintah dapat memperkirakan periode waktu kemungkinan terjadinya krisis utang secara tepat. Hal ini penting bagi pemerintah sehingga dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang bersifat antisipatif. Dengan adanya impelementasi kebijakan-kebijakan ekonomi secara tepat, maka diharapkan krisis utang dapat diantisipasi dengan baik sehingga mengurangi kemungkinan dampak sistemik yang terjadi secara meluas akibat krisis utang tersebut. Berdasarkan data yang telah ditunjukkan sebelumnya, terlihat bahwa komposisi utang luar negeri pemerintah dan swasta menunjukkan trend yang terus meningkat pada tiap periodenya. Hal ini mengakibatkan akumulasi utang luar negeri Indonesia dalam jumlah yang besar. Kondisi tersebut dapat meningkatkan eksposur bagi perekonomi Indonesia apabila terjadi guncangan ekonomi yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal perekonomian global. Guncangan tersebut dapat mengarahkan perekonomian Indonesia pada kondisi krisis utang luar negeri. Hal ini disebabkan karena adanya guncangan eksternal dapat meningkatkan eksposur utang luar negeri. Eksposur utang luar negeri yang berlebihan dapat memberikan tekanan depresiatif terutama karena faktor sentimen negatif. Utang luar negeri yang tidak terkendali dan bermasalah secara berkepanjangan (misalnya harus melalui proses rescheduling berulang-ulang) akan meningkatkan premi risiko dan biaya pinjaman yang pada akhirnya akan menurunkan credit rating dan

25 11 memberi tekanan pada nilai tukar. Depresiasi rupiah akan memberikan tekanan terhadap inflasi melalui pass through effect, sehingga akan mengurangi dampak positif depresiasi rupiah terhadap transaksi berjalan (current account). Padahal, peningkatan surplus transaksi berjalan sangat diperlukan untuk menutupi kewajiban pembayaran utang luar negeri. Dengan demikian, jelas bahwa risiko yang ditimbulkan akibat ketidakmampuan pembayaran utang luar negeri akan berimplikasi negatif pada aspek moneter berupa tekanan terhadap nilai tukar dan mengancam stabilitas makroekonomi secara keseluruhan yang bahkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang dapat terjadi akibat krisis utang luar negeri, maka perlu adanya suatu sistem deteksi dini yang dapat menandai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Terdapat dua fungsi utama dalam suatu sistem deteksi dini. Pertama adalah mengantisipasi terjadinya krisis utang luar negeri dan yang kedua adalah mengantisipasi dampak akibat krisis utang luar negeri. Fungsi pertama berperan sebagai pertimbangan pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan antisipatif agar krisis yang diprediksi akan terjadi, dapat dihindari. Fungsi kedua adalah jika kemudian krisis utang luar negeri tidak terhindarkan, maka sistem deteksi dini ini berperan sebagai dasar pertimbangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penanggulangan serta antisipasi penyebaran dampak krisis. Dengan demikian, pembangunan sistem deteksi dini ini menjadi sangat penting sebagai peringatan kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia.

26 Permasalahan Kondisi APBN Indonesia selalu mengalami defisit sehingga membutuhkan pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut. Sejak tahun 2005, sumber utama pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut berasal dari penerbitan obligasi. Dari waktu ke waktu, porsi kepemilikan obligasi semakin besar dikuasai oleh pihak asing. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa salah satu sumber pembiayaan APBN utama adalah utang luar negeri. Bila kondisi ini terus berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, maka utang luar negeri pemerintah akan terakumulasi dalam jumlah yang besar. Utang luar negeri pihak swasta juga menunjukkan trend yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan eksposur juga terjadi seiring dengan semakin kurangnya pengawasan terhadap alokasi penggunaan utang luar negeri sektor swasta tersebut. Berbagai kegiatan perekonomian yang digerakkan sektor swasta sebagian besar didanai dari pembiayaan utang luar negeri. Kondisi tersebut semakin menguatkan indikasi adanya ketergantungan Indonesia terhadap sumber pembiayaan dari pihak asing dalam bentuk utang luar negeri. Hal ini akan menyebabkan perekonomian Indonesia semakin rentan terhadap perubahan eksternal yang terjadi. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bila di masa mendatang Indonesia bisa mengalami krisis utang luar negeri. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengembangkan suatu mekanisme deteksi kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar langkah-langkah preventif dan antisipatif dapat segera diimplementasikan untuk membenahi perekonomian secara keseluruhan supaya terhindar dari krisis utang yang mungkin melanda Indonesia.

27 13 Berdasarkan uraian di atas, maka penting artinya bagi Indonesia untuk memiliki suatu sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Apa saja indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia? 2. Bagaimana rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning system krisis utang di Indonesia? 3. Apa saja kebijakan yang diperlukan dalam rangka menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis utang di Indonesia? 1.3 Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah : 1. Untuk menentukan indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia 2. Untuk menentukan rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning system krisis utang di Indonesia 3. Untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam rangka menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis utang di Indonesia

28 Manfaat Secara khusus, manfaat yang dapat diperoleh melalui skripsi yang membahas penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Manfaat bagi penulis, yakni dapat mengembangkan pemahaman dan kemampuan dalam menganalisis fenomena ekonomi, khususnya dalam hal ini krisis utang yang mungkin melanda Indonesia pada periode waktu mendatang. 2. Manfaat bagi pengambil kebijakan, yakni dapat dengan segera merancang dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang tepat dalam rangka memperkuat perekonomian dari sisi fiskal. Pemerintah diharapkan secara tepat dapat menggunakan sistem deteksi dini ini untuk memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang di masa mendatang. Langkah kebijakan pemerintah yang tepat waktu dan sasaran sangat penting untuk dilakukan untuk mengantisipasi krisis utang di Indonesia. 1.5 Ruang Lingkup Dalam penelitian ini, dilakukan proses seleksi terhadap berbagai macam variabel ekonomi dalam rangka penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Variabel ekonomi yang diseleksi mencakup variabel makroekonomi domestik dan variabel makroekonomi global selama periode bulan Januari 1990 hingga Desember 2011.

29 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Konsep dan Teori Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada waktu mendatang dengan didasarkan pada berbagai teori dan konsep ekonomi yang berkaitan satu sama lain. Teori dan konsep yang mendasari penelitian ini sangat terkait dengan variabel utang pemerintah dan variabel-variabel makroekonomi lainnya yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemahaman terhadap berbagai konsep dan teori terkait dengan utang pemerintah merupakan hal yang penting karena menjadi dasar dalam penetapan masalah yang dibahas dalam penelitian. Selain itu, penggunaan konsep dan teori yang tepat juga sangat berperan dalam upaya memperoleh validitas dan reabilitas data yang tinggi dalam penelitian yang dilakukan. Adapun teori dan konsep ekonomi terkait dengan utang luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada sub bab selanjutnya berikut ini Teori Siklus Bisnis Teori Siklus Bisnis menyatakan bahwa fluktuasi dalam perekonomian dapat terjadi akibat adanya guncangan pada salah satu variabel makroekonomi tertentu. Misalnya saja bila terjadi guncangan terhadap kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa, maka hal tersebut dapat mengubah tingkat output dan kesempatan kerja alamiah. Guncangan ini tidak diinginkan, namun tidak dapat

30 16 dihindari. Begitu guncangan terjadi, GDP, kesempatan kerja, dan variabelvariabel makroekonomi lain akan berfluktuasi. Guncangan yang terjadi pada suatu variabel makroekonomi tertentu berdampak pula pada terjadinya perubahan dalam defisit anggaran pemerintah. Hal tersebut terjadi secara otomatis untuk menanggapi perekonomian yang berfluktuasi. Sebagai ilustrasi, ketika perekonomian mengalami resesi, pendapatan akan turun, sehingga kemampuan seseorang untuk membayar pajak menjadi berkurang. Tingkat laba yang diperoleh juga menurun, sehingga perusahaan membayar lebih sedikit pajak pendapatan. Kondisi resesi ini juga berdampak pada semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang bergantung pada bantuan pemerintah, sehingga pengeluaran pemerintah juga mengalami peningkatan secara signifikan Model Early Warning System (EWS) Model Early Warning System (EWS) merupakan suatu model yang digunakan untuk mengantisipasi apakah dan kapan suatu negara dipengaruhi oleh krisis dan ketidakstabilan ekonomi. Model ini dibangun terkait dengan siklus perekonomian khususnya pada saat krisis keuangan yang terjadi seperti di Eropa ( ), Turki (1994), Amerika Latin ( ) dan Asia ( ). EWS pada siklus perekonomian sangat penting bagi pemerintah serta sektor riil dalam kerangka perencanaan dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan. Menurut Nasution (2007), pendekatan metode untuk model EWS dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1. Macroeconometric model dan time series analysis

31 17 2. Business cycle analysis Kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, di antaranya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1. Kelebihan Masing-Masing Model Early Warning System Macroeconometric Model &Time Series Business cycle analysis (Composite Model Pembentukan model didasarkan pada teori ekonomi dan diestimasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonometrika Leading & Coincident Indicators) Data tersedia lebih cepat (timeliness) dan high frequency (monthly basis). Berdasarkan model dapat dilakukan simulasi dengan berbagai skenario Tidak ada hubungan fungsional antara leading dengan coincident index maupun reference series, sehingga tidak diperlukan proyeksi atau pengasumsian nilai variable bebas. Model dapat menjelaskan hubungan antar variabel secara kuantitatif Sumber : InterCafe (2007) Leading index dapat memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara gregat baik level maupun laju pertumbuhannya. Dengan kata lain, metode ini dapat memberikn signal tentang kemungkinan terjadinya turningpoint dalam beberapa periode mendatang.

32 18 Tabel 2.2. Kekurangan Masing-Masing Model Early Warning System Macroeconometric Model &Time Series Business cycle analysis (Composite Model Pembentukan model dengan frekuensi tinggi seringkali sulit karena keterbatasan data Untuk membuat proyeksi nilai-nilai variabel eksogen harus terlebih dahulu diprediksi/diasumsikan. Kesalahan dalam prediksi ini akan terbawa secara kumulatif dalam proyeksi nilai variabel endogen. Sumber : InterCafe (2007) Leading & Coincident Indicators) Komponen pembentuk indeks dipilih berdasarkan judgment, studi literatur serta statistical test. Sehingga, beberapa ahli mengatakan metode ini atheoritical. Tidak dapat digunakan untuk mebuat simulasi dengan berbagai skenario serta tidak dapat menunjukkan variabel ekonomi dalam bentuk persamaan matematika Definisi Business Cycle Burns dan W. Mitchel dalam bukunya Business Cycle Analysis yang terbit tahun 1946 berpendapat bahwa business cycle terjadi pada orientasi pasar ekonomi dan terlibat sepanjang waktu, tapi tidak berakibat secara berkala dari ekspansi dan kontraksi dalam sebagian besar kegiatan ekonomi. Business cyle adalah suatu jenis fluktuasi ekonomi yang terjadi pada suatu kegiatan ekonomi agregat di suatu negara. Suatu siklus terdiri dari ekspansi yang terjadi pada waktu bersamaan dalam berbagai kegiatan ekonomi, demikian pula resesi dan kontraksi yang muncul ke dalam fase ekspansi pada siklus selanjutnya. Perubahan urutan ini terjadi secara berulang tetapi tidak pada waktu-waktu tertentu. Durasi dari suatu siklus bisnis bisa bervariasi, mulai lebih dari satu tahun hingga sepuluh atau dua belas tahun. Siklus bisnis ini tidak bisa dibagi ke dalam siklus-siklus dengan karakter serupa yang lebih pendek (Zhang dan Zhuang, 2002).

33 19 Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), siklus bisnis mengacu pada kegiatan ekonomi secara agregat yang titik utamanya yaitu menyatukan pergerakan dari banyak variabel ekonomi atau proses pada banyak siklusnya tersebut. Beberapa ada yang menjadi lead dan ada yang menjadi lag. Mereka cenderung untuk selalu bergerak bersama sehingga tidak bisa dihilangkan menjadi single aggregate Tahapan Business Cycle Definisi klasik business cycle oleh NBER memiliki dua fase, yaitu ekspansi dan kontraksi. Berakhirnya ekspansi dan dimulainya kontraksi dalam titik puncak (peak) sebagai waktu yang menandai tingkat yang tertinggi (kulminasi) dari penurunan secara umum kegiatan perekonomian. Berakhirnya kontraksi dan dimulainya ekspansi dalam titik trough (lembah) sebagai waktu yang menandai tingkat tertinggi dari peningkatannya. Dalam siklus perekonomian, terdapat empat tahapan business cycle, yaitu : 1. Masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat yang cepat dan diiringi rendahnya tingkat output dan pengangguran yang tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah 2. Masa pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang diiringi peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran 3. Masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output yang terus menerus (PDB Potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat pengangguran tenaga kerja penuh

34 20 dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi) 4. Masa resesi (recession), yaitu suatu masa dimana permintaan agregat menurun yang mengakibatkan penurunan kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal.seiring dengan hal ini, maka akan muncul masa depresi Business Cycle Indicators Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Indikator ekonomi mempunyai dampak besar terhadap pasar, bagaimana mengetahui, menginterpretasi dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi. Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga kategori timing indicator yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu coincident, leading, dan lagging. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem dan kondisi ekonomi yang dianut suatu negara, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing negara, dan lain sebagainya.

35 21 Coincident, Leading dan Lagging Indicators yang dihasilkan dari pendekatan business cycle memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing. Adapun penjelasan mengenai ketiga indikator tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Coincident Indicators Coincident Indicators memiliki ketepatan waktu dengan variabel reference yang menunjukkan business cycle-nya. Bila dilihat dari pergerakan siklusnya, Coincident Indicators bergerak seiring dengan variabel reference. Keduanya secara grafis bergerak bersamaan, bila siklus variabel reference berada di titik puncak, maka siklus dari Coincident Indicators berada di titik puncak pula, begitu juga sebaliknya. 2. Leading Indicators Time series yang dipilih cenderung bergerak lebih dulu dari variabel reference dan Leading Indicators-nya juga mencapai perputaran pergantian poin terlebih dahulu terhadap posisi business cycle (puncak dan lembah). Oleh karena itu, Leading Indicators ini cikal bakal dari early warning system. Series-nya lebih sensitif dan volatile daripada Coincident Indicators, serta banyak dari mereka yang memiliki trend yang sangat lemah. Leading Indicators jarang kehilangan banyak resesi tapi indikator tersebur memiliki lebih banyak fluktuasi daripada Coincident Indicators. 3. Lagging Indicators Lagging Indicators menguatkan pergerakan dari Coincident dan Leading Indicators. Indikator ini dapat memeratakan dari kedua indikator lainnya. Bila dilihat dari siklus pergerakannya, Lagging Indicators bergerak mengikuti variabel

36 22 reference. Oleh karena itu, Lagging Indicators kurang berpengaruh dalam pembagunan early warning system. Hal ini disebabkan karena pergerakan indikator ini hanya memprediksi dampak penyebaran akibat terjadinya suatu fenoma ekonomi yang menjadi fokus penelitian. Coincident, Leading dan Lagging Indicators merupakan instrumen yang penting dalam pembangunan suatu early warning system. Dalam upaya mendapatkan kemungkinan sinyal-sinyal yang benar dan lebih kuat dalam mengurangi kesalahan, maka perlu disusun suatu indeks gabungan. Composite Index lebih baik daripada Individual Index, karena dalam business cycle tidak ada pembuktian dari rantai tunggal dalam menjawab permasalahan yang terjadi, yaitu gejala-gejala resesi atau ekspansi. Dengan adanya Composite Index, maka kemampuan prediksi potensial dalam Leading Indicators akan semakin optimal Leading Economic Indicators dan Peramalan Aktivitas Ekonomi Penyusunan Leading Economic Indicators (LEI) pertama kali dirintis pada tahun 1920-an oleh Badan Statistik Amerika, yang dikenal dengan Bureau of Economic Research (NBER). Pada saat itu, ilmu ekonometrika masih belum berkembang, sehingga metode penyusunan LEI pun lebih bersifat analisis deskriptif. Selain itu, karena keterbatasan dalam penyusunannya, LEI hanya disajikan dalam bentuk tabel angka-angka statistik. Pada masa itu, terdapat LEI saja dan belum memiliki composite index. Pada perkembangan selanjutnya, LEI mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai penelitian yang dilakukan. Indikator ini mulai dikaitkan dengan

37 23 berbagai teori ekonomi yang relevan untuk menyusun suatu EWS yang lebih akurat. Salah satu teori ekonomi yang kini mulai banyak dikaitkan dengan LEI untuk keperluan pembangunan EWS adalah teori siklus bisnis (business cycle). Pembentukan LEI dengan pendekatan siklus bisnis mulai banyak dikembangkan didasarkan atas perhatian pada shock yang banyak terjadi berasal dari faktor internal maupun eksternal. Shock tersebut menyebabkan terjadinya fluktuasi (volatilitas) dalam perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan mengakibatkan naik atau turunnya aktivitas perekonomian. Perilaku naik turunnya (rebounds dan declines, atau recoveries dan recessions) perekonomian seringkali berulang pada masa-masa sesudahnya dan membentuk suatu siklus. Karena sifatnya yang terus berulang, maka adanya deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah mapupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan di bidang ekonomi serta pengambilan keputusan bisnis. Dalam analisis business cycle, dikenal tiga indikator komposit, yaitu Leading, Coincident, dan Lagging Indicators. Selain ketiga indikator komposit tersebut, dalam analisis business cycle terdapat pula reference series yang merupakan variabel untuk menggambarkan kondisi perekonomian secara keseluruhan seperti Debt to GDP, PDB, inflasi, nilai tukar, saham, indeks produksi industri, dan sebagainya. Coincident Indicators merupakan variabel yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini dan bergerak seiring dengan reference series. Leading Indicators merupakan variabel yang menggambarkan keadaan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan dan bergerak mendahului coincident indicators

38 24 maupun reference series. Lagging Indicators adalah variabel yang mengikuti (lag) pergerakan Coincident maupun Leading Indicators. Dari ketiga indikator tersebut, Leading Indicators mendapatkan perhatian khusus karena fungsinya yang mampu memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara keseluruhan. Sejak awal perkembangannya, analisis business cycle ini terutama penyusunan Leading Indicators sangat populer dalam mendeteksi siklus perekonomian. Penyusunan Leading Indicators memerlukan data dengan frekuensi yang tinggi, umumnya berupa data bulanan dengan frekuensi dan time series yang panjang. Oleh karena itu, penggunaannya masih sangat terbatas untuk penelitian yang dilakukan di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data di negara berkembang pada umumnya masih belum terdokumentasi dengan baik. 2.2 Penelitian Terdahulu Terdapat begitu banyak penelitian yang dilakukan dari waktu ke waktu untuk memberikan penilaian terhadap suatu negara mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang. Lembaga pemeringkat utang internasional menilai kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara tertentu melalui kemampuannya dalam membayar kembali obligasi. Namun, dalam studi-studi selanjutnya, penilaian terhadap kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara dapat dikaitkan dengan GDP per kapita, inflasi, utang eksternal,

39 25 pembangunan ekonomi dan sejarah negara tersebut (Cantor& Packer, 1996; Lee, 1993). Pada penelitian lebih lanjut, mulai dikembangkan early warning system (EWS) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sinyal yang dapat mendeteksi kesulitan pembayaran kembali utang suatu negara (debt repayment). Hampir semua literatur studi menyatakan bahwa EWS yang dibentuk pada suatu penelitian tertentu dapat digunakan untuk mendeteksi krisis utang pada suatu negara dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Waktu yang lebih panjang memang berdampak pada lebih sedikit kegagalan, karena semakin panjang waktu signaling, semakin panjang pula waktu untuk mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya krisis utang (Berg & Pattillo 1999; Kamin, 1999; Kumar et al., 2003). Bussière and Fratzscher (2002) menunjukkan metode penentuan panjang waktu yang optimal dalam sinyal peringatan dini. Dalam upaya untuk menaksir kecukupan dari suatu EWS, kemungkinan prakiraan biasanya ditransformasikan ke dalam peramalan dan dibandingkan denan indikator EWS y it. Untuk tujuan tersebut, pembuat keputusan harus menggunakan suatu cut-off atau probabilitas threshold λ yang konsisten dengan besarnya kehilangan fungsi yang terjadi. A.-M. Fuertes, E. Kalotychou (2007) berupaya menyusun suatu model EWS yang optimal dalam upaya mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis utang di negara-negara OECD dengan cara mengeksplorasi hubungan antara EWS dengan fungsi objektif pembuat keputusan. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan tersebut memiliki dua komponen utama. Pertama, adanya unsur preferensi

40 26 pembuat keputusan (dirumuskan dalam bentuk loss function dan risk-aversion parameter) yang digabungkan ke dalam pengujian optimal dari classifier dan penilaian dari peramalan sampel. Kedua, penelitian ini berupaya menginvestigasi kombinasi peramalan yang dilakukan. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah logit M dan logit R, K-Clustering, serta pendekatan ketiga menggunakan kombinasi keduanya (menginvestigasi tentang forecast combining). Pokok permasalahan pada fungsi objektif dan kombinasi peramalan masih kurang dibahas dalam berbagai literatur, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada kedua hal tersebut. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi pembuat keputusan mempengaruhi pemilihan dari metodologi peramalan dan pengujian optimalnya. LOGIT-M menunjukkan non-parametric (clustering) dan judgmental (LOGIT-R) classifier dengan menghasilkan false alarms yang lebih sedikit. Lebih lanjut, ditemukan bahwa dua classifier menguasai LOGIT-M dalam kehilangan kegagalan yang lebih sedikit. Untuk keperluan pembentukan early warning system yang akurat, maka dalam penelitian ini dilakukan pemilihan variabel-variabel yang dianggap sesuai. Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan pada pendekatan LOGIT-M dan K-clustering sehingga diperoleh sepuluh variabel terpilih. Adapun variabel yang terpilih tersebut adalah sebagai berikut. 1. volatilitas pertumbuhan ekspor dan rasio neraca perdagangan terhadap GDP (menjadi sinyal bagi aktivitas ekonomi eksternal);

41 27 2. rasio total utang luar negeri terhadap GDP, rasio official debt terhadap total debt, dan rasio kredit IMF terhadap ekspor (menjadi sinyal bagi aktivitas external credit exposure) 3. credit to private sector/gdp, pertumbuhan GDP, volatilitas pertumbuhan GDP, dan nilai tukar riil (menjadi sinyal untuk menggambarkan kondisi domestik) 4. trade/gdp (menjadi sinyal mata rantai perekonomian global) Goldstein, Kaminsky, dan Reinhart (2000) juga telah mengupayakan pembentukan suatu early warning system dengan pendekatan leading indicators. Adapun perbedaannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tersebut dilakukan untuk membangun alat deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis nilai tukar. Dalam penelitian tersebut, telah ditetapkan beberapa leading indicator baku yang digunakan sebagai acuan utama dalam pembuatan model EWS sebagaimana terlihat pada Tabel 2.3.

42 28 Tabel 2.3 Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi Leading Indicators NERACA PERDAGANGAN Keseimbangan neraca perdagangan / Investasi lokal kotor -Ekspor -Impor Nilai tukar efektif riil Nilai tukar terhadap US Dollar Keseimbangan Neraca Perdagangan/ Pendapatan Regional Bruto NERACA KEUANGAN Simpanan di BIS/cadangan devisa Perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dengan Amerika Kewajiban asing atau harta pihak asing di sektor perbankan Cadangan Devisa -M2/cadangan devisa -Aliran modal jangka pendek/gdp -Hutang luar negeri jangka pendek/cadangan devisa SEKTOR KEUANGAN -Deposito/M2 -Kredit dalam negeri/gdp -Perbedaan tingkat suku bunga deposito -Pinjaman/deposito -M1/PDB -Pengganda M2 -Deposito di bank-bank komersial -Tingkat suku bunga domestik SEKTOR RIIL -Indeks Harga Konsumen -Indeks Pembangunan Industri Alasan Ekonomi Ekspor yang melemah dan pertumbuhan impor yang berlebihan dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat memperburuk neraca perdagangan, dan dalam sejarah sangat berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan dibanyak negara. Kelemahan eksternal dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat juga menyebabkan kerawanan sektor perbankan seperti kehilangan daya kompetisi di pasar eksternal yang dapat menimbulkan krisis keuangan, kegagalan bisnis, dan penurunan kualitas pinjaman. Akhirnya, krisis perbankan dapat menyebabkan krisis keuangan. Dengan terjadinya globalisasi dan integrasi sektor keuangan, masalah neraca keuangan dapat membuat suatu negara menjadi mudah terkena guncangan. Perwujudan masalah neraca keuangan dapat berupa penurunan cadangan devisa, hutang luar negeri jangka pendek yang berlebihan, jatuh tempo pinjaman dan keridakseimbangan nilai tukar, pelarian modal ke luar negeri Krisis keuangan dan perbankan berkaitan erat dengan terjadinya pertumbuhan kredit yang sangat cepat terkait dengan kebijakan ekspansi moneter di banyak negara, sementara terjadinya penyusutan deposito perbankan, tingginya tingkat suku bunga dalam negeri, dan besarnya tingkat suku bunga deposito sering merupakan suatu gambaran terjadinya kesulitan dan masalah di sektor perbankan Terjadinya resesi dan kenaikan harga yang drastis sering mendahului terjadinya krisis perbankan dan krisis

43 29 -Indeks Harga Saham Gabungan SEKTOR FISKAL -Kredit BI kepada sektor pemerintahan -APBN terhadap PDB -Pengeluaran pemerintah/gdp -Kredit bersih ke sektor publik/gdp EKONOMI GLOBAL -Harga minyak dunia -Nilai tukar riil antara US Dollar $ dengan Yen Jepang -Tigkat suku bunga federal -Pertumbuhan ekonomi Amerika Sumber : Juzhong Zhuang. keuangan. Terjadinya defisit yang besar pada APBN, dapat memicu memburuknya posisi neraca keuangan yang akhirnya dapat menekan nilai tukar. Krisis ekonomi yang terjadi di luar negeri dapat menyebar pada perekonomian dalam negeri. Tingginya harga minyak dunia merupakan suatu pertanda bahaya bagi neraca keuangan dan dapat menyebabkan terjadinya krisis di dalam negeri. Tingginya tingkat suku bunga dunia sering menjadi penyebab terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk beberapa negara Asia Timur, terjadinya penurunan nilai tukar Yen Jepang terhadap Dollar Amerika dapat menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terhadap Dollar Amerika juga tertekan. BIS= Bank International Settlement M2=Broad Mone GDI=Gross Domestic Investment M1=Narrow Money CPI=Consumer Price Index GDP=Gross Domestic Product Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan untuk menganalisis indikator-indikator variabel makroekonomi yang mungkin dapat menjadi sinyal kemungkinan terjadinya krisis finansial. Dalam berbagai penelitian tersebut, pengukuran kemungkinan terjadinya krisis finansial didasarkan pada analisis terhadap krisis nilai tukar, krisis perbankan, dan krisis utang. Adapun hasil dari penelitian tersebut disajikan pada dalam Tabel 2.4.

44 30 Tabel 2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Indikator Interpretasi CC BC DC Referensi External Sector (Current Account) Nilai tukar riil Ukuran untuk perubahan daya saing internasional dan proksi untuk lebih dari (bawah) penilaian.nilai tukar riil yang overvalued adalah diduga dapat memperbesar probabilitas terjadinya krisis financial. + + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Edison (2003); Dermirg uc - Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Pertumbuhan ekspor Pertumbuhan Impor Indikator yang menunjukkan terjadinya kehilangan daya saing pada pasar dunia internasional market. pasar. Penurunan pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh terlalu tinggi mata uang domestik dan karenanya indicator ini menjadi proxy untuk terjadinya mata uang yang overvalue. Di sisi lain, jika pertumbuhan ekspor melambat karena alasan yang tidak terkait untuk nilai tukar, ini dapat menyebabkan tekanan devaluasi. Lemahnya sektor eksternal adalah bagian dari krisis mata uang. Besar pertumbuhan impor dapat mengakibatkan memburuknya transaksi berjalan sudah sering berhubungan dengan krisis mata uang - - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Marchesi (2003) + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003)

45 31 Terms of Trade Rasio Current Account terhadap GDP External Sector (Capital Account) Peningkatan dalam Terms of Trade (ToT) harus memperkuat posisi dari neraca pembayaran suatu negara dan karenanya menurunkan probabilitas krisis. Kemunduran dari ToT dapat mendahului terjadinya krisis mata uang. Kenaikan rasio ini umumnya dikaitkan dengan aliran modal masuk secara besar-besaran yang diintermediasi oleh sistem finansial domestik dan dapat memfasilitasi harga asset dan credit boom. Peningkatan surplus pada current diperkirakan akan menunjukkan kemampuan untuk mendevaluasi dan dengan demikian untuk menurunkan kemungkinan krisis Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Dermirg uc -Kunt and Detragiache (2000); Lanoie and Lemarbre (1996) Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) Rasio M2 terhadap cadangan devisa Menangkap sejauh mana kewajiban sistem perbankan didukung oleh cadangan devisa. Dalam hal krisis mata uang, tiap individu mungkin terburu-buru untuk mengkonversi deposito mereka dari mata uang domestik ke mata uang asing, sehingga rasio ini menangkap kemampuan pusat bank untuk memenuhi tuntutan mereka. + + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Edison (2003); Dermirg uc - Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000)

46 32 Pertumbuhan Cadangan Devisa Penurunan cadangan devisa merupakan indikator yang handal sebuah mata uang di bawah tekanan devaluasi. Penurunan cadangan belum tentu diikuti oleh devaluasi, bank sentral mungkin bisa berhasil dalam mempertahankanpasak, menghabiskan jumlah besar cadangan dalam proses. Pada sisi lain, runtuh mata uang yang paling didahului oleh periode meningkatkan upayaupaya untuk mempertahankan nilai tukar, yang ditandai dengan penurunan cadangan devisa. Total nilai cadangan devisa juga digunakan sebagai indikator kesulitan keuangan negara berurusan dengan pembayaran kembali utang - - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Marchesi (2003) Financial Sector Pertumbuhan M1 dan M2 M2 money multiplier Indikator-indikator ini merupakan ukuran likuiditas. Tingginya tingkat pertumbuhan ini mungkin menunjukkan kelebihan likuiditas yang mungkin menjadi alasan untuk melakukan serangan spekulatif terhadap mata uang sehingga mengarah ke krisis mata uang. Sebuah indikator yang terkait dengan liberalisasi finansial. Peningkatan yang besar pada money multiplier dapat dijelaskan oleh adanya penurunan besarnya persyaratan cadangan. + Kamin et al. (2001) + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003)

47 33 Rasio utang domestik terhadap GDP Excess real M1 Balance Tingkat bunga riil dalam negeri (domestik) Lending and deposit rate spread Simpanan Bank Komersial Pertumbuhan kredit domestik yang sangat tinggi dapat berfungsi sebagai indikator kasar dari kerapuhan sistem perbankan. Rasio ini biasanya terbit di tahap awal krisis perbankan. Ini mungkin bahwa krisis terungkap, bank sentral dapat menyuntik uang ke bank untuk memperbaiki situasi keuangan mereka. Kebijakan moneter yang longgar dapat menyebabkan krisis mata uang. Tingkat bunga riil dapat dianggap sebagai proksi dari liberalisasi keuangan di mana proses liberalisasi itu sendiri cenderung mengarah pada tingginya tingkat bunga riil domestik. Tingginya suku bunga menandakan bahwa likuiditas ditingkatkan untuk mengantisipasi terjadinya serangan spekulatif. Kenaikan indikator ini atas beberapa tingkat ambang mungkin mencerminkan penurunan risiko kredit Penurunan dalam hal kualitas kredit Bank domestik melakukan tindakan pengambilan uang simpanannya secara bersamasama dan pelarian modal terjadi sebagai awal terjadinya krisis + + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Dermirg uc - Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) + + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Dermirg uc - Kunt and Detragiache (2000) + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003)

48 34 Rasio Cadangan Bank terhadap Aset Bank Domestic real and public sector Guncangan makroekonomi yang merugikan kemungkinan besar sedikit mengarah pada terjadinya krisis di negara dimana system perbankan nya bersifat likuid. - Dermirg uc -Kunt and Detragiache (1997) Rasio Keseimbangan Fiskal Terhadap GDP Rasio Utang Publik Terhadap GDP Pertumbuhan Produksi Industri Perubahan Dalam Harga Saham Tingkat Inflasi Defisit yang lebih tinggi diprediksi dapat meningkatkan probabilitas krisis, karena terjadinya defisit meningkatkan kerentanan terhadap guncangan dan kepercayaan investor Tingginya utang diprediksi dapat meningkatkan kerentanan terhadap pembalikan dalam arus masuk modal dan maka untuk meningkatkan kemungkinan krisis. Resesi sering mendahului terjadinya krisis keuangan Ledakan harga aset yang gelembung sering mendahului krisis keuangan. Tingkat inflasi mungkin terkait dengan tingkat bunga nominal yang tinggi dan mungkin menjadi sautu proksi terhadap terjadinya kesalahahan penanganan ekonomi sehingga berpengaruh negative terhadap ekonomi dan sistem perbankan + Dermirg uc -Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Kamin et al., (2001); Lanoie and Lemarbre (1996); Eichengreen and Arteta (2000) - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) + + Dermirg uc -Kunt and Detragiache (1997); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003)

49 35 GDP Per Kapita Negara berpendapatan tinggi kemungkinannya kecil untuk melakukan penjadwalan ulang utang mereka dibandingkan dengan negara-negara miskin karena biaya penjadwalan ulang akan cenderung lebih berat bagi ekonomi yang lebih maju. Kemerosotan kegiatan ekonomi domestik diprediksi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan. - - Dermirg uc -Kunt and Detragiache (1997); Eichengreen and Arteta (2000); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) Pertumbuhan Tabungan Nasional Tabungan nasional yang tinggi diprediksi dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya penjadwalan hutang - Lanoie and Lemarbre (1996) Global Economy Pertumbuhan Harga Minyak Dunia Tingkat Bunga Amerika Serikat Pertumbuhan PDB OECD Harga minyak yang tinggi terkait dengan terjadinya resesi Peningkatan suku bunga Internasional sering dikaitkan dengan terjadinya aliran modal keluar Pertumbuhan output yang lebih tinggi asing harus memperkuat ekspor dan dengan demikian mengurangi kemungkinan krisis. + Edison (2003) + + Edison (2003); Kamin et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000) - - Edison (2003); Kamin et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000) Catatan: CC, BC dan DC merupakan krisis mata uang, krisis perbankan, dan krisis utang, masingmasing. Positif (negatif) diharapkan tanda berarti bahwa nilai (rendah) yang tinggi indikator menyebabkan probabilitas yang lebih tinggi dari krisis.

50 36 Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan berbagai pendefinisian berbeda atas interpretasi kondisi krisis utang yang melanda suatu negara. Secara khusus, suatu negara dikategorikan sedang mengalami krisis utang bila negara tersebut melakukan perjanjan penjadwalan ulang pembayaran utang atau negosiasi (debt rescheduling agreement or negotiation). Ada beberapa penelitian yang menggunakan kombinasi dari beberapa definisi krisis utang, dan ada juga penelitian yang menggunakan suatu peristiwa atau pengukuran tertentu dari debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Berg and Sachs (1988), Lee (1991), Balkan (1992), Lanoie and Lemarbre (1996), and Marchesi (2003), mendefinisikan krisis utang hanya menggunakan konsep debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Penggunaan konsep debt rescheduling ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi secara tepat kapan periode waktu suatu negara tertentu melakukan penjadwalan ulang atas pembayaran utang luar negerinya. Dengan menggunakan klasifikasi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa Indonesia pernah mengalami krisis utang. Hal ini didasarkan pada terjadinya debt rescheduling yang dilakukan Indonesia pada periode waktu tertentu sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.5.

51 37 Tabel 2.5 Periode Waktu Pelaksanaan Debt Rescheduling Atas Pembayaran Utang Luar Negeri Indonesia Periode Waktu Debt Rescheduling Desember 1966 Oktober 1967 Oktober 1968 April 1970 Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Juni 1998 Kerangka kesepakatan untuk melakukan restrukturisasi atas utang swasta sebesar 80,23 miliar USD. September 1998 Jatuh Tempo Utang dari 6Agustus 1998 hingga 31 Maret 2000 April 2000 Pembayaran utang non-publik dan publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai April 2002 Pembayaran utang non-publik dan publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai Sumber : Marcheisie, 2003

52 Kerangka Pemikiran Berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia menimbulkan adanya kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut di antaranya adalah adanya kecenderungan Penelitian ini menekankan pada upaya pembentukan suatu sistem deteksi dini yang dapat mengukur kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia secara tepat. Dalam upaya pembentukan alat deteksi dini tersebut, digunakan pendekatan leading economic indicators (LEI). Pendekatan tersebut digunakan berdasarkan suatu pemikiran bahwa pada suatu perekonomian global, variabel-variabel ekonomi saling trekait satu sama lain. Dengan demikian, bila terjadi suatu shock (guncangan) pada salah satu variabel, maka hal tersebut akan berpengaruh pada variabel lain. Shock tersebut dapat berupa guncangan internal maupun eksternal.yang berdampak pada fluktuasi ekonomi. Adanya fluktuasi yang terjadi kemungkinan memiliki pola berulang sehingga dapat membentuk suatu siklus yang disebut dengan siklus bisnis (business cycle). Berdasarkan alur pemikiran seperti yang diuraikan sebelumnya, maka kerangka pemikiran dalam pelaksanaan penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.

53 39 Fenomena yang terjadi : Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan eksternal (utang luar negeri) untuk menutupi defisit anggaran Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor publik (pemerintah) Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor swasta MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN TERJADINYA KRISIS UTANG DI INDONESIA PADA PERIODE WAKTU MENDATANG Pembangunan early warning system (EWS) dengan pendekatan business cycle analysis Teori Siklus Bisnis trade/gdp nilai tukar tingkat inflasi cadangan devisa dan lain-lain Teori Ricardian Tentang Utang Konsumsi Rumah Tangga Teori Keynesian Tabungan Masyarakat Tabungan Nasional Dapat dibentuk Coincident Debt Index, Leading Debt Index dan Lagging Debt Index Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran

54 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan deret waktu bulanan. Data tersebut akan dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, IMF dan sumber-sumber publikasi lainnya. Adapun jumlah variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 111 variabel, sebagaimana yang terlampir pada Lampiran Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis siklus bisnis (business cycle analysis). Dalam prosesnya, pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan Eviews 6. Penyusunan leading indicator merupakan adopsi dari analisis business cycle yang dibangun untuk mendeteksi siklus perekonomian. Hal yang mendasari analisis business cycle adalah bahwa shock (guncangan) yang berasal dari internal maupun eksternal menyebabkan volatilitas (fluktuasi) aktifitas perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan membentuk suatu siklus (business cycle) perekonomian dimana pergerakan naik dan turunnya aktivitas perekonomian tersebut berada dalam level absolut. Untuk menjelaskan turning point dari terjadinya fenomena krisis utang di Indonesia, maka penelitian ini menggunakan variabel ekonomi rasio utang luar

55 41 negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (debt to GDP ratio). Varibel ekonomi ini digunakan sebagai reference series karena mampu memberikan penilaian tepat atas tingkat solvabilitas suatu negara, sehingga dapat menggambarkan tingkat indebtness suatu negara. Adapun nilai threshold variabel ekonomi debt to GDP ratio yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya krisis utang mengacu pada ketentuan dari salah satu lembaga keuangan internasional, yaitu IMF (International Monetary Fund). IMF menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan menghadapi beban utang yang tinggi bila variabel ekonomi debt to GDP ratio mencapai nilai yang lebih tinggi dari 60 persen. Dengan mengamati pergerakan variabel makroekonomi terhadap reference series, maka dapat ditentukan apakah variabel tersebut termasuk Coincident, Leading atau Lagging Indicators. Suatu variabel makroekonomi dikategorikan sebagai Leading Indicator bila memiliki pergerakan yang mendahului reference series, sehingga variabel tersebut dapat menggambarkan kondisi perekonomian apakah berpotensi mengalami krisis utang dalam beberapa bulan ke depan. Sementara itu, suatu variabel dikategorikan sebagai Lagging Indicator apabila pergerakannya (lag) mengikuti reference series. Apabila suatu variabel makroekonomi bergerak seiring dengan reference series sehingga mampu menggambarkan kondisi perekonomian saat ini, maka variabel tersebut dikategorikan sebagai Coincident Indicator.

56 Tahapan Penyusunan Leading Economic Indicators Secara umum, tahapan-tahapan untuk membangun Leading Indicators dengan analisis business cycle adalah sebagai berikut. 1. Pengumpulan Data Sekunder Adapun tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan datadata sekunder yang dipelukan dari berbagai sumber. Idealnya, jumlah data yang diperlukan dapat mencapai ratusan variabel. Variabel-variabel tersebut diperkirakan dapat menjadi kandidat komponen leading, coincident dan lagging index. Data yang dikumpulkan sebaiknya memiliki periode yang panjang dengan frekuensi tinggi (data bulanan) agar dapat diperoleh hasil yang baik. Kriteria pemilihan variabel harus dilihat dari aspek ekonomi dan perilaku data secara statistika. 2. Disagregasi Data Tahap kedua adalah melakukan disagregasi data dengan menggunakan metode Qubic Splines atau dapat pula digunakan metode interpolasi lainnya. Hal ini dilakukan apabila data yang tersedia memiliki frekuensi observasi tahunan atau kuartalan untuk disesuaikan menjadi data bulanan. 3. Mengisolir Pengaruh Musiman Tahap ketiga adalah membersihkan data dengan mengisolir pengaruh musim sehingga tidak menyebabkan misleading dan indeks yang diperoleh tidak volatile. Pada banyak negara, faktor musim biasanya bersifat fix (tetap) seperti pada peristiwa hari raya (lebaran, natal, tahun baru atau lainnya) maupun musim yang ekstrem (musim hujan, kemarau, dingin, dan panas). Untuk kasus Indonesia,

57 43 selain faktor musim yang tetap, juga ada faktor yang bergerak seperti Idul Fitri dan Tahun Baru Imlek. 4. Pemilihan Kandidat Variabel Coincident, Leading dan Lagging Indicators Tahap keempat adalah pemilihan kandidat variabel Coincident, Leading dan Lagging Indicators. Ada beberapa metode yang digunakan untuk memilih suat variabel menjadi kandidat Leading Indicators, yaitu dengan pendekatan grafis, uji granger causality, dan uji cross-correlation. Oleh karena Leading Indicators bergerak mendahului reference series, maka kandidat Leading Indicators secara visual melalui grafis seharusnya bergerak mendahului reference series. Adapun kriteria penentuan Leading Indicators berdasarkan uji cross correlation dapat dilihat dari adanya korelasi yang cukup tinggi dengan lag yang cukup jauh. Pada uji granger causality, dapat dilihat dari adanya hubungan kausalitas yang sifatnya satu arah pada lag yang cukup jauh pula. Pengujian koefisien korelasi antara reference series dengan variabel-variabel yang diperkirakan akan menjadi Leading Indicators dilakukan secara terpisah-pisah untuk masing-masing periode leading yang ingin kita bentuk. Untuk mencari kandidat Leading Indicators 3 bulan maka kita harus mencari korelasi antara reference series dengan seluruh variabel pada tiga bulan berikutnya. Begitu pula halnya jika kita ingin mencari kandidat Leading Indicators 6 dan 12 bulan. Sebaliknya, karena sifatnya yang bergerak sejalan kandidat Coincident Indicators secara grafis haruslah berjalan sejalan dengan variabel reference dengan korelasi tinggi di sekitar lag nol. Causality antara Coincident Indicators dan variabel reference haruslah bersifat dua arah dengan lag yang pendek.

58 44 5. Penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) Tahap kelima adalah penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) dengan basis indicators yang diperoleh dari tahap keempat dengan cara menggabungkan (compose) variabel-variabel kandidat. Akan tetapi, karena amplitudo dari masing-masing variabel atau series bisa jadi berbeda-beda, maka penyusunan indeks tanpa terlebih dahulu dilakukan standardisasi data bisa mengakibatkan terjadinya distorsi pada index yang terbentuk. Untuk menghindari distorsi tersebut, perlu dilakukan normalisasi terhadap semua komponen siklikal yang diturunkan dari variabel-variabel kandidat serta reference series. Pada prinsipnya, proses standardisasi diarahkan agar semua variabel kandidat memiliki mean 100 serta varian yang sama. Proses penggabungan (compose) variabel-variabel kandidat untuk mendapatkan Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) terbaik dilakukan dengan cara trial-error. Indikator baiknya Coincident Debt Index didasarkan pada persamaan pergerakannya dengan variabel reference, sementara untuk LDI didasarkan pada kemampuannya untuk memprediksi CI dan Reference Series. Setiap indikator atau variabel untuk pembentuk CDI dan LDI terbaik tersebut memilki bobot tertentu yang mencerminkan tingkat kemiripan pola antara variabel tersebut dengan indeks yang terbentuk. Dari ketiga indeks tersebut, Leading Debt Index lebih menarik perhatian, karena dapat memberikan deteksi dini (early warning system) tentang kemungkinan terjadinya krisis utang di

59 45 Indonesia secara agregat. Sementara Coincident Debt Index dapat memberikan gambaran tentang kondisi beban utang Indonesia yang terjadi saat ini Metode Penyusunan Early Warning Indicators Metode-metode yang digunakan dalam proses penyusunan Early Warning Indicators dapat dijelaskan seperti berikut ini. 1. Metode Cubic-Spline Data sekunder yang dipublikasi umumnya memiliki frekuensi release yang tahunan. Dalam penyusunan Leading Indicator, data yang digunakan umumnya berupa data bulanan. Apabila data yang tersedia memiliki frekuensi kuartalan, maka perlu dilakukan disagregasi menjadi bulanan, sehingga diperlukan metode khusus yang dapat memberikan hasil optimal, salah satunya adalah metode Cubic- Spline. 2. X12-ARIMA Fluktuasi data yang bersifat musiman dan periodik sepanjang waktu seringkali mengganggu pergerakan siklikal. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dihilangkan terlebih dahulu. Metode X-12 ARIMA adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk de-seasonality data. Penelitian ini menggunakan X-12 ARIMA karena sifatnya yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Menurut pandangan Jackson dan Leonard (2001), penyesuaian musiman (seasonal adjustment) dari sebuah series didasarkan pada asumsi bahwa fluktuasifluktuasi musiman dapat diukur dari series awal (x t, t=1,2,...,n) dan dipisahkan dari trend cycle component (C t ), trading day component(d t ), dan flukutuasi

60 46 irregular (I t ). Komponen musiman atau seasonal (S t ) dapat didefinisikan sebagai variasi dalam setahun yang berulang secara konstan dari tahun ke tahun. C t mengukur variasi variabel menuju faktor siklus jangka panjang, siklus bisnis, dan faktor-faktor jangka panjang lainnya. D t adalah variasi yang ditunjukkan pada komposisi dari kalender. Sebagai tambahan, I t adalah variasi residual. Banyak variabel makroekonomi yang time series mempunyai bentuk hubungn multiplicative (x t =C t D t S t ) dan lainnya berbentuk additivr (x t =C t +D t +S t +I t ). Sebuah time series yang disesuaikan secara musiman hanya terdiri atas trend cycle dan komposisi irregular. X-12 ARIMA merupakan sebuah model yang dapat digunakan untuk mendekomposisi sebuah time series baik dengan asumsi additive ataupun multiplicative untuk memperoleh komponen-komponen C t, D t, S t, ataupun I t. Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) umumnya digunakan untuk seasonal time series. Model ARIMA dengan asumsi multiplicative seasonal times series, x t dapat dituliskan menjadi : ø(b)φ(b s )(1-B) d (1-B s ) D x t = θ (B)Ө (B s )a t (3.1) dimana : B adalah operator lag (Bx t =x t-1 ) s adalah periode musiman, ø(b) = (1 - ø 1 B ø p B p ) adalah operator non seasonal autoregressive (AR), Φ(B) = (1 - Φ 1 B s Φ P B Ps ) adalah operator seasonal AR, θ(b) = (1 - ø 1 B ø q B q ) adalah operator non seasonal moving average (MA), Φ(B s ) = (1 - Φ 1 B s Φ Q B Qs ) adalah opeartor seasonal moving average

61 47 a t s i.i.d dengan rata-rata nol dan varian σ 2.(1 B) d (1 B s ) D mengimplikasikan perbedaan non seasonal orde ke-d dan perbedaan seasonal orde ke-d. Jika d=d=0 (tidak ada perbedaan), maka pada umunya dilakukan perhitungan kembali x t pada persamaan di atas dengan mengurangkannya terhadap rata-ratanya, yaitu : dengan x t -μ dimana μ = E[x t ]. 3. Cross Correlation Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menentukan apakah variabelvariabel ekonomi dan keuangan lainnya, jika dikorelasi silangkan dengan reference series akan menjadi Leading Indicators, Coincident Indicators, atau Lagging Indicators. Jika ternyata ada beberapa variabel yang dapat dijadikan Leading Indicators, maka bisa dibentuk Composite Leading Indicators (CLI). Korelasi silang (cross correlation) antara dua variabel, katakan x dan y dapat dihitung : dan.. (3.2) (3.3) Periode waktu yang digunakan untuk menguji korelasi adalah 12 periode atau selama satu tahun dengan data bulanan. Untuk dapat dijadikan sebagai indicators

62 48 maka nilai r xy yang dicari adalah nilai yang paling tinggi selama periode pengujian. Kriteria pemilihan kandidat leading pada uji cross correlation (korelasi silang) adalah dengan melihat korelasi tinggi pada lag yang cukup jauh. Pemilihan kandidat lagging berdasarkan korelasi tertinggi pada lead yang cukup jauh. Sementara itu, penetuan kandidat coincident dilakukan dengan melihat korelasi tertinggi pada lead dan lag nol. 4. Granger Causality Test Salah satu tahap dalam analisis siklus bisnis adalah penggunanaan metode ekonometrik dalam pemilihan kandidat leading indicators. Langkah pertama dalam pemilihan komponen LEI adalah uji kointegrasi setiap calon komponen LEI dengan reference series untuk melihat ada tidaknya hubungan jangka panjang. Kemudian, dilakukan pengujian Granger Causality Test antara calon komponen LEI (dengan berbagai spesifikasi lag) dengan reference series. Uji granger yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan 4 spesifikasi lag, yaitu 1, 3, 6, dan 12. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penentuan lag tersebut diasumsikan telah mampu memberikan hasil yang cukup akurat dan mewakili keseluruhan lag. Penggunaan 4 spesifikasi lag tersebut dilakukan untuk mengetahui perbandingan tingkat spesifikasi pada lag yang semakin jauh. Dengan pengujian ini, dapat diperoleh variable-variabel yang tergolong sebagai leading indicators. Granger Causality Test dilakukan untuk melihat adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) dan arah kausalitas di antara variabel-variabel yang digunakan dalam analisis. Uji kausalitas dilakukan karena terdapat tiga

63 49 kemungkinan arah kausalitas yang terjadi antara dua variabel, yakni variabel reference dan variabel tertentu yang diuji (misalnya variabel X), yaitu : 1.) Variabel reference menyebabkan (granger cause) variabel X 2.) Variabel X menyebabkan (granger cause) variabel reference 3.) Variabel reference dan variabel X memiliki hubungan timbal balik yang terjadi apabila variabel reference menyebabkan variabel X dan pada saat yang bersamaan variabel X juga menyebabkan variabel reference. Dengan menggunakan Granger Causality Test, maka dapat diketahui apakah antara X dan Y memiliki hubungan kausalitas dan bagaimana arah kausalitas di antara kedua variabel tersebut. Nilai probabilitas (P value) yang dihasilkan menentukan signifikansi arah hubungan kausalitas antar variabel. Ketentuan yang secara konvensional disepakati adalah jika probabilitas lebih kecil dari 5 persen, maka dikatakan terjadi kausalitas yang signifikan. Kriteria kandidat leading pada granger causality ini adalah adanya hubungan kausalitas satu arah pada lag cukup jauh yang menunjukkan bahwa variabel X menyebabkan (granger cause) variabel reference. Sementara itu, kriteria kandidat lagging didasarkan pada adanya hubugan kausalitas satu arah pada lag cukup jauh yang menunjukkan bahwa variabel reference menyebabkan (granger cause) variabel X. Adapun pemilihan kandidat Coincident Indicators dilihat dari adanya hubungan kausalitas dua arah dengan lag di sekitar nol. 5. Metode Penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) Setelah berbagai data variabel makroekonomi yang tersedia dikelompokkan ke dalam kandidat Coincident Indicator, Leading Indicator dan Lagging Indicator,

64 50 langkah selanjutnya adalah menyusun composite CI dan LI dengan prosedur sebagai berikut : Untuk setiap variabel, lakukan perhitungan : 1. Hitung perubahan persentase simetris month-on-month (MoM) untuk setiap variabel atau komponen dengan rumus : x t = 200* (X t -X t-1 )/(X t -X t-1 )...(3.4) dimana X t adalah nilai observasi komponen X pada waktu t. Jika satuan pengukuran untuk komponen X berupa presentasi (seperti suku bunga), maka month-on-month dihitung dengan formula : x t = (X t -X t-1 )...(3.5) 2. Lakukan adjustement terhadap MoM change dari setiap komponen. Hal ini dimaksudkan untuk menyamakan volatilitas MoM change dari semua komponen. Adjustement tersebut dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : a) Hitung standard deviation MoM change dari setiap komponen (misalkan = σ x ) b) Hitung inverse dari σx (misalkan w x = 1/σ x ) c) Jumlahkan semua w x (misalkan = k) d) Hitung faktor standarisasi (weight) untuk setiap komponen dengan rumus: r x = (1/k)*w x...(3.6) Adjustment terhadap MoM change dari setiap komponen dihitung dengan rumus : m t = r x *x t...(3.7)

65 51 3. Jumlahkan MoM change yang telah di-adjust (langkah 2); misalkan = i t 4. Lakukan adjustment terhadap i t untuk menyamakan volatilitas dengan reference series; untuk Coincident Economic Indicator (CEI) menggunakan reference series yakni debt to GDP, serta untuk Leading Economic Indicator (LEI) dan Lagging Economic Indicator menggunakan reference series CEI atau reference series debt to GDP. 5. Hitung angka preliminary leading dan Coincident Debt Index dengan menetapkan nilai indeks awal sama dengan 100. Nilai indeks berikutnya dihitung dengan menggunakan rumus : I t = I t -1 * (200 + i t ) / (200-i t )...(3.8) Kombinasi variabel yang menghasilkan composite CI dan LI terbaik diperoleh dengan cara trial and error. Ukuran kebaikan CI didasarkan pada kesamaan pergerakannya dengan debt to GDP (reference series), sementara untuk LI didasarkan pada kemampuannya memprediksi pergerakan CI. 6. Penentuan Turning Point Coincident, Leading dan Lagging Debt Index dengan Metode Bry Boschan Procedure Setelah proses seleksi selesai dilakukan, maka selanjutnya variabel-variabel yang menjadi kandidat Coincident, Leading dan Lagging Indicators akan melalui suatu proses perhitungan sehingga dihasilkan suatu indeks bagi masing-masing indikator tersebut. Pada tahap selanjutnya, dilakukan penentuan turning point pada ketiga indeks yang dihasilkan, yakni Coincident Debt Index, Leading Debt Index dan Lagging Debt Index. Penentuan turning points dimaksudkan untuk menetapkan waktu (bulan dan tahun) dimana ketiga indeks tersebut mengalami pembalikan dari fase

66 52 ekspansi ke kontraksi atau sebaliknya. Penentuan turning points ini penting untuk menyusun kronologi siklus bisnis di Indonesia. Adapun metode yang digunakan untuk melakukan penentuan turning point tersebut adalah metode Bry Boschan Procedure. Metode ini telah dikembangkan sejak lama oleh NBER dan masih digunakan secara luas hingga saat ini. Secara visual, grafik Leading Debt Index bergerak mendahului Coincident Debt Index dengan selang waktu tertentu. Selang waktu Leading Debt Index bergerak mendahului Coincident Debt Index tersebut dapat ditentukan secara akurat dengan menghitung rata-rata perbedaan antar titik puncak dan lembah dari kedua indeks tersebut. Perbedaan rata-rata selang waktu Leading Debt Index mendahului Coincident Debt Index selanjutnya ditetapkan sebagai jangka waktu kemungkinan terjadinya krisis utang setelah munculnya sinyal pada system deteksi dini yang telah dibuat. Dengan demikian, pihak pengambil kebijakan memiliki waktu dalam periode tertentu untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang penting dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya krisis utang. Adapun Lagging Debt Index secara visual pergerakan grafiknya mengikuti Coincident Debt Index. Selang waktu Lagging Debt Index bergerak mengikuti Coincident Debt Index tersebut dapat ditentukan secara akurat dengan menghitung rata-rata perbedaan antar titik puncak dan lembah dari kedua indeks tersebut. Perbedaan rata-rata selang waktu Lagging Debt Index mendahului Coincident Debt Index selanjutnya ditetapkan sebagai jangka waktu dampak penyebaran (contagion effect) akibat terjadinya krisis utang setelah munculnya sinyal. Dengan

67 53 demikian, pihak pengambil kebijakan memiliki waktu dalam periode tertentu untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang penting dalam rangka menghindari dampak penyebaran secara luas terhadap perekonomian secara agregat akibat terjadinya krisis utang yang tidak dapat terhindarkan lagi. Pengujian secara grafis dengan metode Bry Boschan Procedure ini diawali dengan penentuan titik puncak (peak) dan lembah (trough) pada grafik dari masing-masing indeks yang telah dihasilkan. Penentuan titik puncak (peak) dan lembah (trough) tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat langkah ini akan memudahkan penentuan selang waktu perbedaan antara Coincident Debt Index dengan Leading Debt Index dan Lagging Debt Index. Titik puncak suatu indeks ditentukan pada periode tertentu dimana indeks tersebut mencapai nilai tertinggi, sedangkan titik lembah suatu indeks ditentukan pada periode tertentu dimana indeks tersebut mencapai nilai terendah. Suatu indeks tertentu dikatakan memiliki satu siklus bila pada rentang periode tertentu memiliki satu titik puncak dan satu titik lembah. Metode Bry Boschan Procedure menetapkan bahwa jarak perbedaan waktu antara titik puncak terhadap lembah (peak to trough) atau titik lembah terhadap puncak (trough to peak) dalam satu siklus minimal enam bulan. Bila suatu variabel memiliki lebih dari satu siklus dalam rentang periode tertentu, ditetapkan pula bahwa jarak antar titik puncak (peak to peak) atau antar titik lembah (trough to trough) minimal lima belas bulan.

68 54 Setelah menetapkan peak dan trough dari masing-masing indeks, maka selang waktu perbedaan pergerakan Leading Debt Index dan Lagging Debt Index terhadap Coincident Debt Index dapat dihitung secara tepat.

69 55 Kompilasi Data Pengumpulan variabel/data sekunder 1. Berdasarkan ketersediaan data 2. Kriteria ekonomi 3. Kriteria statistik Data hasil seleksi Generating Data Metode : 1. Disagregasi data (Cubic Splines) Data siap digunakan Seleksi Kandidat Composite Index Metode : 1. Cross-Correlation Test 2. Granger Causality Test Kandidat Coincident Indicators Kandidat Leading Indicators Kandidat LaggingIndicators Metode X-12 ARIMA Metode X-12 ARIMA Metode X-12 ARIMA Penyusunan Composite Index Metode Indeksasi Coincident Debt Index Leading Debt Index Lagging Debt Index Metode Bry Boschan Procedure Metode Bry Boschan Procedure Metode Bry Boschan Procedure Penentuan Turning Point dan Perbedaan Selang Waktu Antara Coincident Debt Index dengan Leading Debt Index dan Lagging Debt Index Gambar 3.1 Alur Penyusunan Komponen Early Warning System

70 Definisi Operasional Adapun beberapa definisi operasional yang penting untuk dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Utang luar negeri Indonesia adalah posisi kewajiban aktual penduduk Indonesia kepada bukan penduduk pada suatu waktu, tidak termasuk kontinjen, yang membutuhkan pembayaran kembali bunga dan/atau pokok pada waktu yang akan datang. 2. Utang luar negeri pemerintah adalah utang yang dimiliki oleh pemerintah pusat, terdiri dari utang bilateral atau multilateral, fasilitas kredit ekspor (FKE), utang komersial, dan leasing, termasuk pula Surat Berharga Negara (SBN) (yang diterbitkan di luar maupun di dalam negeri) yang dimiliki oleh bukan penduduk. SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SUN terdiri dari Obligasi Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka waktu sampai dengan 12 bulan. SBSN terdiri SBSN jangka panjang (Ijarah Fixed Rate/IFR) dan Global Sukuk. 3. Utang luar negeri bank sentral adalah utang yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka mendukung neraca pembayran dan cadangan devisa. Termasuk dalam utang luar negeri Bank Indonesia adalah kewajiban dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki oleh bukan penduduk serta simpanan (deposits) bukan penduduk di Bank Indonesia. 4. Pendapatan Negara dan Hibah adalah seluruh penerimaan negara yang terdiri dari Penerimaan Dalan Negeri dan Hibah.

71 57 5. Belanja Negara adalah seluruh pengeluaran negara berupa belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. 6. Surplus adalah selisih yang dihasilkan dari pendapatan negara dan hibah yang lebih besar dari belanja negara. 7. Defisit adalah selisih yang dihasilkan dari pendapatan negara dan hibah yang lebih rendah dari belanja negara. 8. Total Pembiayaan adalah pembiayaan yang dapat diterima/dibentuk untuk menutupi defisit yang terjadi/membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pembiayaan mencakup transaksi penjualan asset negara, penerimaan pinjaman pemerintah dari luar negeri dan dalam negeri, dan rekening-rekening pemerintah. 9. Balance of Payment (BoP) atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) adalah catatan transaksi ekonomu yang terjadi antara penduduk dengan bukan penduduk Indonesia pada suatu periode waktu tertentu. 10. Transaksi berjalan mencakup ekspor dan impor barang, jasa, pendapatan, serta transfer berjalan. Transaksi finansial meliputi investasi langsung, investasi portofolio, derivatif finansial, dan investasi lainnya di luar cadangan devisa dan kredit/pinjaman IMF yang disajikan sebagai komponen sendiri. 11. Transaksi ekspor dan impor barang masing-masing dikelompokkan atsa ransaksi ekspor dan impor migas dan nonmigas. 12. Cadangan devisa resmi Indonesia (Indonesian official reserve assets) merupakan aset eksternal yang dapat langsung tersedua bagi dan berada di bawah kontrol Bank Indonesia selaku otoritas moneter untuk membiayai

72 58 ketidakseimbangan neraca pembayaran, melakukan intervensi pasar, dalam rangka memelihara kestabilan nilai tukar, dan/atau tujuan lainnya (antara lain menjaga ketahan perekonomian daan nilai tukar serta sebagai bantalan terhadap net kewajiban Indonesia). 13. Hak Tarik Khusus (Special Drawing Rights SDR) merupakan cadangan devisa internasional yang diciptakan oleh IMF untuk menambah cadangan devisa negara anggota dan secara periodik dialokasikan kepada anggota secara proporsional sesuai dengan kuotanya. Walaupun tidak memiliki jangka waktu jatuh tempo, anggota IMF yang menerima alokasi SDR tersebut memiliki kewajiban untuk embayar kembali saat keluar dari keanggotaan IMF. 14. Debt Service Payment adalah jumlah pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri, termasuk fee. 15. Debt Service Ratio adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara. 16. Debt to Export Ratio adalah rasio total utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara. 17. Debt to GDP Ratio adalah rasio total utang luar negeri terhadap Produk Domestik (PDB) suatu negara.

73 59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Utang Luar Negeri Indonesia Dilihat dari sisi komposisi dan distribusinya, posisi utang luar negeri Indonesia secara nominal terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini perlu diwaspadai karena pertumbuhan utang luar negeri yang tidak terkendali dapat berdampak buruk dan memicu terjadinya krisis utang di Indonesia. Sejauh ini, mulai tahun 2001 hingga kini, kemampuan dalam melakukan pembayaran utang luar negeri (solvabilitas) Indonesia menunjukkan kondisi yang terus membaik. Hal ini dapat dilihat dari indikator debt to GDP yang menunjukkan trend terus menurun dari tahun 2001 hingga kini. Selain mengacu kepada debt to GDP, penilaian solvabilitas Indonesia juga dapat dilihat dari indikator debt to export. Ukuran ini dihitung dari rasio posisi utang luar negeri secara keseluruhan terhadap penerimaan ekspor yang diperoleh suatu negara. Dari tahun 2006 hingga 2011 saat ini, debt to export Indonesia menunjukkan trend yang mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.

74 60 Sumber : Bank Indonesia, 2011 Gambar 4.1 Debt To Export Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga 2011 Gambar 4.1 menunjukkan bahwa indikator debt to export Indonesia menunjukkan trend yang terus menurun selama periode waktu tersebut. Debt to export merupakan indikator yang merefleksikan kapasitas pembayaran kembali utang luar negeri (debt repayment capacity) suatu negara. Nilai debt to export Indonesia yang masih berada pada kisaran di bawah 200 persen menunjukkan bahwa profil utang luar negeri Indonesia dari tahun 2006 hingga 2011 masih dinilai aman. Meskipun demikian, nilai debt to export Indonesia sempat mencapai angka tertinggi yakni 121,8 persen pada tahun Namun, kondisi itu terjadi lebih disebabkan karena penurunan penerimaan ekspor Indonesia sebagai dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika pada tahun 2008, bukan karena terjadi peningkatan utang luar negeri Indonesia secara signifikan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sejauh ini kondisi beban utang luar negeri Indonesia masih dinilai aman dan tidak berpotensi mengalami masalah

75 61 solvabilitas sehingga mampu menyelesaikan berbagai kewajiban terkait pembayaran kembali utang luar negeri Indonesia sesuai tenggat waktu (grace period) yang disepakati sebelumnya. Meskipun solvabilitas Indonesia dinilai baik dan tidak berpotensi mengalami krisis utang yang ditandai dengan kondisi gagal bayar, namun posisi utang luar negeri yang terus meningkat tetap saja menimbulkan beban tersendiri bagi negara akibat beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunganya dari tahun ke tahun. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai beban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan bunga yang harus ditanggung suatu negara adalah nilai debt service ratio (DSR). Nilai ini merupakan rasio besarnya pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor suatu negara. Adapun nilai DSR Indonesia selama periode tahun 2006 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 4.2. Sumber : Bank Indonesia, 2011 Gambar 4.2 Debt Service Ratio Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga 2011

76 62 Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai DSR Indonesia memiliki trend yang cenderung menurun selama periode tahun 2006 hingga 2011, meskipun nilai DSR ini sempat mengalami kenaikan di tahun 2009 menjadi 23,2 persen. Nilai DSR merefleksikan beban penerimaan ekspor yang harus dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Suatu negara dianggap memiliki profil utang luar negeri yang aman apabila nilai DSR nya berada di bawah 25 persen. Dengan demikian, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri sempat memberikan beban yang besar terhadap penerimaan ekspor Indonesia pada tahun 2006 karena DSR di tahun tersebut mencapai 25 persen. Kondisi DSR Indonesiadapat dikatakan cukup rawan karena nilainya yang hampir mendekati batas aman 25 persen. Hal ini terjadi sebagai dampak akumulasi total utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga memberikan tekanan yang besar terhadap penerimaan ekspor Indonesia. Padahal, jika posisi utang luar negeri Indonesia terkendali, maka potensi penerimaan ekspor Indonesia dapat dialokasikan untuk mendukung pembangunan ekonomi di dalam negeri demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara luas. Terjadinya peningkatan posisi utang luar negeri Indonesia tidak terlepas dari dilakukannya penarikan utang luar negeri baru secara terus menerus dari tahun ke tahun. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur aliran utang luar negeri (debt flow) adalah Net Resource Flow (NRF). Nilai NRF diperoleh dengan cara menghitung selisih besarnya penarikan terhadap pembayaran utang luar negeri. Adapun nilai NRF Indonesia dapat dilihat pada

77 63 Tabel 4.1 Nilai Net Resource Flow Indonesia Periode Tahun Tahun Total Penarikan ULN Baru (Dollar) Pembayaran Pokok & Bunga ULN Indonesia (Dollar) Net Resource Flow (Dollar) Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2006 hingga 2011, nilai NRF Indonesia bervariasi. Pada tahun 2008, 2009, 2011, NRF Indonesia menunjukkan nilai yang positif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa total penarikan utang luar negeri baru lebih besar dibandingkan pembayaran cicilan pokok dan bunganya sehingga likuiditas dalam perekonomian dalam negeri cenderung positif. Hal inilah yang menyebabkan pada periode tersebut posisi utang luar negeri Indonesia mengalami trend yang terus meningkat. Sementara itu, pada periode tahun 2006, 2007, dan 2010, NRF Indonesia menunjukkan nilai yang negatif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa total pembayaran cicilan pokok dan bunga lebih besar dibandingkan penarikan utang luar negeri baru. Secara teoritis, nilai NRF yang negatif akan berdampak pada penurunan akumulasi utang luar negeri Indonesia. Namun, fakta dan data yang ada menunjukkan bahwa pada periode tersebut, posisi utang luar negeri Indonesia terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa utang luar negeri baru yang ditarik Indonesia tidak digunakan untuk pembiayaan aktivitas produktif sehingga tidak memberikan rate of return yang tinggi. Nilai

78 64 NRF yang negatif akibat pembayaran cicilan pokok dan bunga yang lebih besar dibandingkan penarikan utang luar negeri baru hanya menyebabkan likuiditas dalam perekonomian menjadi negatif. Hal ini perlu diwaspadai karena kurangnya likuiditas dalam negeri akan berpengaruh buruk terhadap prospek investasi sehingga penciptaan output nasional akan mengalami penurunan. Pengelolaan utang luar negeri Indonesia saat ini masih begitu buruk. Hal ini disebabkan karena pengelolaan tersebut masih belum dilakukan secara terpusat. Institusi yang mencatat pelaporan penerimaan utang luar negeri tersebut adalah Bank Indonesia. Sementara itu, alokasi penggunaan utang luar negeri tersebut direncanakan dan dilaksanakan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Adapun institusi yang bertanggung jawab dalam melakukan pembayaran kembali cicilan pokok dan bunga utang luar negeri tersebut adalah Kementerian Keuangan. Pengelolaan utang luar negeri yang dilakukan secara tidak terpusat ini menyebabkan penilaian efisiensi atas alokasi penggunaannya tidak dapat terukur dengan baik. Besarnya imbal hasil (rate of return) yang diperoleh dari penggunaan sumber pembiayaan utang luar negeri iu tidak dapat diketahui secara akurat. Oleh karena itu, penyelewengan penggunaan utang luar negeri tersebut sangat berpotensi untuk terjadi sehingga hanya menimbulkan kerugian dan menambah beban pembayarannya. Pengelolaan utang luar negeri yang masih dilakukan secara terpisah menyebabkan alokasi penggunaannya tidak tercatat secara sistematis. Dalam laporan APBN, tidak terdapat rincian mengenai bidang, program, kegiatan dan jenis pengeluaran apa yang sumber pembiayaannya bersumber dari utang luar

79 65 negeri. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya penilaian untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan utang luar negeri dalam mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Dari uraian di atas, diketahui bahwa sejauh ini profil utang luar negeri Indonesia masih menunjukkan kondisi yang aman. Namun, seiring dengan semakin besarnya beban pembayaran cicilan pokok dan bunganya, maka utang luar negeri tersebut berpotensi menimbulkan polemik bagi perekonomian Indonesia secara agregat. Dengan demikian, pada periode mendatang potensi terjadinya krisis utang di Indonesia sangatlah besar sehingga perlu dibangun suatu early warning system yang mampu memprediksi kemungkinan terjadinya krisis tersebut secara akurat. 4.2 Penyusunan Early Warning System Penyusunan suatu sistem deteksi dini yang baik sangatlah ditentukan oleh ketepatan dalam menentukan variabel-variabel makroekonomi yang menjadi kandidat leading, lagging, dan coincident indicators. Penentuan kandidat tersebut diperoleh dari hasil seleksi terhadap 111 variabel makroekonomi dengan periode bulanan yang telah berhasil dikumpulkan. Proses seleksi tersebut dilakukan berdasarkan tiga uji yang ditetapkan, yakni uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, cross correlation test, dan granger causality test. Dari hasil yang diperoleh berdasarkan ketiga uji tersebut, maka selanjutnya suatu variabel makroekonomi tertentu dapat ditentukan apakah termasuk sebagai kandidat, atau Coincident, Leading, dan Lagging indicators.

80 Identifikasi Variabel-variabel yang Menjadi Kandidat Coincident, Leading, dan Lagging Indicator Leading Debt Index merupakan instrumen terpenting dalam pembangunan early warning system krisis utang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pergerakan indeks ini memiliki kemampuan dalam memprediksi kondisi beban utang luar negeri yang dialami oleh Indonesia pada periode waktu mendatang. Oleh karena itu, dalam pembangunan early warning system ini, penyusunan Leading Debt Index menjadi salah satu perhatian utama di samping coincident dan Lagging Debt Index. Dalam rangka menyusun Coincident, Leading dan Lagging Debt Index, maka penentuan variabel-variabel yang menjadi kandidat Coincident, Leading, dan Lagging Indicator menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena Coincident, Leading dan Lagging Debt Index yang terbentuk disusun oleh kandidat-kandidat tersebut dengan bobot tertentu.oleh karena itu, proses seleksi untuk memperoleh variabel-variabel yang menjadi kandidat tersebut perlu dilakukan secara cermat dan akurat. Proses seleksi dilakukan berdasarkan dua uji statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Dari hasil yang diperoleh berdasarkan ketiga uji tersebut, maka selanjutnya suatu variabel makroekonomi tertentu dapat ditentukan apakah termasuk sebagai kandidat Coincident, Leading, atau Lagging Indicators.

81 Identifikasi Variabel-variabel yang Menjadi Kandidat Coincident Indicator Coincident Indicator (CI) adalah indikator siklus bisnis yang pergerakannya seiring dengan variabel yang menjadi acuan (reference series). Indikator ini dapat memberikan gambaran tentang situasi ekonomi saat ini (current economic situation). Kandidat CI diperoleh dengan bantuan peralatan statistik berupa analisis korelasi silang (cross correlation) dan granger causality. Berdasarkan analisis korelasi silang, kandidat CI diperoleh dengan melihat korelasi paling tinggi pada lag dan lead nol. Meskipun demikian, suatu variabel dapat dipertimbangkan untuk diklasifikasikan sebagai kandidat Coincident Indicator jika hasil uji korelasi silang yang dilakukan menunjukkan adanya nilai korelasi tertinggi pada lead atau lag dengan ukuran kurang dari enam. Adapun kriteria Coincident Indicators berdasarkan uji granger causality adalah dengan melihat hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dari variabel-variabel yang diuji dengan variabel acuan debt to GDP pada lag yang cukup jauh. Tingkat signifikansi yang disepakati adalah nilai probabilitasnya harus lebih kecil dari 0,05 (alpha = 5 persen). Uji secara statistika dengan cross correlation test dan granger causality test merupakan hal yang juga penting dilakukan dalam melakukan penyeleksian variabel-variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicators. Berdasarkan seleksi yang dilakukan dengan menggunakan kedua uji statistik tersebut, pada akhirnya diperoleh hasil berupa enam variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicators. Adapun keenam variabel tersebut disertai dengan hasil ujinya masingmasing dapat disimak sebagai berikut.

82 68 1. Variabel Suku Bunga Pinjaman Modal Kerja (Rupiah) Dari Bank Asing dan Campuran (Kode : Var38) Variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui ketiga tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 1 terhadap reference variabel debt to GDP dimana ukuran lag tersebut kurang dari 6. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel suku bunga suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran bergerak sebulan lebih awal mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Meskipun demikian, karena nilai korelasi tertingginya berada pada ukuran lag yang kurang dari 6, maka variabel ini dapat tetap dipertimbangkan sebagai kandidat Coincident

83 69 Indicator. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian Granger Causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada Lampiran 5. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati.

84 70 Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3,6, dan 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dengan variabel debt to GDP sebagai variabel reference. Hasil ini menyatakan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran merupakan kandidat Coincident Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Merujuk pada hasil seleksi yang diperoleh dari kedua uji statistik yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran sebagai kandidat Coincident Indicators yang bergerak seiring dengan variabel debt to GDP. 2. Suku Bunga Simpanan Rupiah Berjangka 6 Bulan di Bank Umum (Kode: Var62) Variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik dilakukan terhadap variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum. Berdasarkan hasil uji korelasi

85 71 silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lead dan lag 0 terhadap reference variabel debt to GDP. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead dan lag 0. Hal ini menunjukkan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum bergerak seiring dengan variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk

86 72 domestik bruto (debt to GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak Lampiran 5. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3,6, dan 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel suku bunga simpanan Rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum dengan variabel debt to GDP sebagai reference series. Hasil ini menyatakan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum merupakan kandidat Coincident Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari kedua uji statistik yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 6 bulan di Bank Umum sebagai kandidat Coincident Indicators yang bergerak seiring dengan variabel debt to GDP.

87 73 3. Variabel Laju Inflasi Indonesia (Kode : Var76) Variabel laju inflasi Indonesia merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel laju inflasi Indonesia. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 1 terhadap reference variabel debt to GDP dimana ukuran lag tersebut kurang dari 6. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel laju inflasi Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran bergerak sebulan lebih awal mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Meskipun demikian, karena nilai korelasi tertingginya berada pada ukuran lag yang kurang dari 6, maka variabel ini dapat tetap dipertimbangkan sebagai kandidat Coincident Indicator. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel laju inflasi Indonesia dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia.

88 74 b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel laju inflasi Indonesia. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel laju inflasi Indonesia dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian Granger Causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada Lampiran 5. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Sementara itu, pengujian dengan spesifikasi lag 6 menyatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah dimana variabel debt to GDP mengakibatkan variabel laju inflasi Indonesia, tetapi tidak sebaliknya. Adapun hasil pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3 dan 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas

89 75 dua arah yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel laju inflasi Indonesia dengan variabel debt to GDP sebagai variabel reference. Hasil ini menyatakan bahwa variabel laju inflasi Indonesia merupakan kandidat Coincident Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel laju inflasi Indonesia sebagai kandidat Coincident Indicator yang bergerak seiring dengan variabel debt to GDP. 4. Variabel Harga Komoditi Mentah Pertanian Dunia (Kode : Var 94) Variabel harga komoditi mentah pertanian dunia merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel harga komoditi mentah pertanian dunia. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicator karena memiliki korelasi paling tinggi pada lead 5 terhadap reference variabel debt to GDP dimana ukuran lead tersebut kurang dari 6. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel harga komoditi mentah pertanian dunia dapat dilihat pada output e-views berikut.

90 76 Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead 5. Tanda negatif yang muncul pada hasil cross correlation test tersebut mengindikasikan bahwa variabel harga komoditi mentah pertanian dunia dengan variabel debt to GDP berkorelasi negatif atau berbanding terbalik. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel harga komoditi mentah pertanian dunia memiliki pergerakan yang mengikuti variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP) dengan selang waktu 5 bulan. Meskipun begitu, variabel ini masih dapat dipertimbangkan sebagai kandidat Coincident Indicator karena nilai korelasi tertingginya berada pada lead yang kurang dari 6. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel harga komoditi mentah pertanian dunia dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel harga komoditi mentah pertanian dunia. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel harga komoditi mentah pertanian dunia dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian Granger Causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag,

91 77 yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada Lampiran 5. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 6 dan 12, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah. Adapun pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel harga komoditi mentah pertanian dunia dengan variabel debt to GDP. Hasil ini menyatakan bahwa variabel harga komoditi mentah pertanian dunia merupakan kandidat Coincident Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel harga komoditi mentah pertanian dunia sebagai kandidat Coincident Indicators yang bergerak seiring dengan variabel debt to GDP.

92 78 5. Variabel SBI 1 Bulan Variabel SBI 1 bulan merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Selain melakukan uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel SBI 1 bulan. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 2 terhadap variabel reference yaitu debt to GDP dimana ukuran lag tersebut kurang dari 6. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference (debt to GDP) dengan variabel SBI 1 bulan dapat dilihat pada output e-views berikut. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 2. Hal ini menunjukkan bahwa variabel SBI 1 bulan bergerak dua bulan lebih awal mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Meskipun demikian, karena nilai korelasi tertingginya berada pada ukuran lag yang kurang dari 6, maka variabel ini dapat tetap dipertimbangkan sebagai kandidat Coincident Indicator. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel SBI 1 bulan

93 79 dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel SBI 1 bulan. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel SBI 1 bulan dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian Granger Causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada Lampiran 5. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 dan 6, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah antara kedua variabel yang diuji. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3 dan 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara

94 80 variabel SBI 1 bulan dengan variabel debt to GDP sebagai variabel reference. Hasil ini menyatakan bahwa variabel SBI 1 bulan merupakan kandidat Coincident Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel SBI 1 bulan sebagai kandidat Coincident Indicators yang bergerak seiring dengan variabel debt to GDP. 6. Interest Rate Spread (Lending Rate Minus Deposit Rate) (Kode : Var102) Variabel interest rate spread merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Selain melakukan uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel interest rate spread. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicator karena memiliki korelasi paling tinggi pada lead dan lag 0 terhadap reference variabel debt to GDP. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel debt to GDP dengan variabel interest rate spread dapat dilihat pada output e-views yang terdapat di Lampiran 5. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead dan lag 0. Tanda negatif

95 81 yang muncul pada hasil cross correlation test tersebut mengindikasikan bahwa variabel interest rate spread dengan variabel debt to GDP berkorelasi negatif atau berbanding terbalik. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel ini memiliki pergerakan yang seiring dengan debt to GDP. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel interest rate spread dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel interest rate spread. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel interest rate spread dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian Granger Causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 5. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan

96 82 penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1, tidak terdapat hubungan kausalitas antara kedua variabel yang diuji. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah antara kedua variabel yang diuji. Adapun pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3 dan 6 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel interest rate spread dengan variabel debt to GDP. Hasil ini menyatakan bahwa variabel interest rate spread merupakan kandidat Coincident Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel interest rate spread sebagai kandidat Coincident Indicator yang bergerak seiring dengan variabel debt to GDP Identifikasi Variabel-variabel yang Menjadi Kandidat Leading Indicators Leading Indicators (LI) merupakan indikator business cycle analysis yang pergerakannya mendahului variabe acuan (reference series). Indikator ini merupakan indikator komposit yang paling banyak mendapatkan perhatian, karena kemampuannya sebagai early warning indicators untuk melakukan peramalan kondisi perekonomian ke depan. Dengan kata lain, Leading Indicators memiliki kemampuan dalam melakukan peramalan tentang perubahan yang

97 83 terjadi pada periode mendatang serta dapat memprediksi siklus perekonomian. Siklus perekonomian yang dimaksud yakni terkait dengan kapan periode terjadinya kondisi perekonomian yang mencapai puncak (peak), masih berlanjut (steady), mulai menurun (contraction), sampai titik terendah (trough), dan kembali naik (expansion). Early Warning System (EWS) pada siklus perekonomian sangat penting bagi pemerintah serta sektor riil dalam kerangka perencanaan dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan. Dalam pembangunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia, penyusunan Leading Indicators menjadi suatu bagian yang sangat penting karena indikator ini akan mampu memberikan prakiraan secara akurat mengenai bagaimana kondisi beban utang Indonesia pada periode waktu mendatang. Leading indicators tersebut akan mampu melakukan peramalan tentang perubahan beban utang yang dialami Indonesia yang terjadi sehingga dapat membantu untuk memprediksi secara dini kemungkinan Indonesia menghadapi krisis utang pada periode waktu ke depan. Menurut Nasution (2007), kandidat LI diperoleh dengan bantuan peralatan statistika yakni analisis korelasi silang (cross correlation), dan uji granger causality. Berdasarkan analisis korelasi silang, kandidat LI diperoleh dengan melihat korelasi yang paling tinggi pada lag yang cukup jauh. Kriteria leading indicators berdasarkan uji granger causality adalah dengan melihat hubungan kausalitas satu arah signifikan pada lag yang cukup jauh yang mengindikasikan bahwa variabel yang diuji mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Tingkat

98 84 signifikansi yang disepakati adalah nilai probabilitasny harus lebih kecil dari 0,05 (alpha=5 persen). Dalam rangka melakukan seleksi untuk memperoleh variabel-variabel yang menjadi kandidat Leading Indicators, maka dilakukan ketiga tahap pengujian terhadap 111 variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan, yakni uji korelasi silang dan granger causality. Dari tahap seleksi tersebut, pada akhirnya diperoleh enam variabel yang ditetapkan sebagai kandidat Leading Indicators. Adapun keenam variabel tersebut beserta hasil pengujiannya dapat disimak pada uraian berikut ini. 1. Suku Bunga LIBOR 6 Bulan Variabel suku bunga LIBOR 6 bulan merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel suku bunga LIBOR 6 bulan. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 8 terhadap reference variabel debt to GDP. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel suku bunga LIBOR 6 bulan dapat dilihat pada output e- views di Lampiran 3.

99 85 Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 8. Hal ini menunjukkan bahwa variabel suku bunga LIBOR 6 bulan bergerak mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel suku bunga LIBOR 6 bulan dapat dikategorikan sebagai kandidat Leading Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel suku bunga LIBOR 6 bulan. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel suku bunga LIBOR 6 bulan mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada Lampiran 6. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati.

100 86 Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3 dan 6, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah dimana variabel debt to GDP mengakibatkan variabel suku bunga LIBOR 6 bulan. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel suku bunga LIBOR 6 bulan mengakibatkan variabel debt to GDP sebagai reference series. Hasil ini menyatakan bahwa variabel suku bunga LIBOR 6 bulan merupakan kandidat Leading Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan pada hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel suku bunga LIBOR 6 bulan sebagai kandidat Leading Indicators yang bergerak mendahului variabel debt to GDP. 2. Variabel Laju Inflasi Jepang (Kode : Var66) Variabel laju inflasi Jepang merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini.

101 87 a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabellaju inflais Jepang. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 11 terhadap reference variabel debt to GDP. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel laju inflasi Jepang dapat dilihat pada output e-views yang terdapat di Lampiran 3. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 11. Hal ini menunjukkan bahwa variabel laju inflasi Indonesia bergerak mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel laju inflasi Jepang dapat dikategorikan sebagai kandidat Leading Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel laju inflasi Jepang. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel laju inflasi Jepang mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to

102 88 GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 6. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3,6 dan 12, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel laju inflasi Jepang mengakibatkan variabel debt to GDP sebagai reference series. Hasil ini menyatakan bahwa variabel laju inflasi Jepang merupakan kandidat Leading Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel laju inflasi Jepang sebagai kandidat Leading Indicators yang bergerak mendahului variabel debt to GDP.

103 89 3. Variabel M2/Cadangan Devisa Variabel M2/Cadangan Devisa merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel M2/Cadangan Devisa. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 12 terhadap reference variabel debt to GDP. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel M2/Cadangan Devisa dapat dilihat pada output e- views di Lampiran 3. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 12. Hal ini menunjukkan bahwa variabel M2/Cadangan Devisa bergerak mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel M2/Cadangan Devisa dapat dikategorikan sebagai kandidat Leading Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test)

104 90 Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel M2/Cadangan Devisa. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel M2/Cadanan Devisa mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 6. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3 dan 6, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji memiliki hubungan kausalitas dua arah. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 12 menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah dimana varaibel debt to GDP signifikan mengakibatkan variabel M2/Cadangan Devisa. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel M2/Cadangan Devisa mengakibatkan variabel debt to

105 91 GDP sebagai reference series. Hasil ini menyatakan bahwa variabel M2/Cadangan Devisa merupakan kandidat Leading Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel M2/Cadangan Devisa sebagai kandidat Leading Indicators yang bergerak mendahului variabel debt to GDP. 4. Loan to GDP (Kode : Var105) Variabel Loan to GDP merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik dilakukan terhadap variabel Loan to GDP. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 12 terhadap reference variabel debt to GDP. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel Loan to GDP dapat dilihat pada output e-views di Lampiran 3. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 12. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Loan to GDP bergerak mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian,

106 92 berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel Loan to GDP dapat dikategorikan sebagai kandidat Leading Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel Loan to GDP. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel Loan to GDP mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 6. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas baik searah maupun dua arah. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua

107 93 arah di antara kedua variabel yang diuji. Sementara itu, pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 dan 6 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel Loan to GDP mengakibatkan variabel debt to GDP sebagai variabel reference. Hasil ini menyatakan bahwa variabel Loan to GDP merupakan kandidat Leading Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Loan to GDP sebagai kandidat Leading Indicators yang bergerak mendahului variabel debt to GDP. 5. Variabel LQ 45 (Kode : Var107) Variabel LQ 45 merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik dilakukan terhadap variabel LQ 45. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel LQ 45 dapat dilihat pada output e-views sebagaimana yang tercantum di Lampiran 3. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead 6. Tanda negatif yang muncul

108 94 ini mengindikasikan bahwa kedua variabel yang diuji saling berkorelasi negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel LQ 45 bergerak mengikuti variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel LQ 45 tidak dapat dikategorikan sebagai kandidat Leading Indicator krisis utang di Indonesia. Namun, variabel ini dapat tetap dipertimbangkan sebagai kandidat Leading Indicator berdasarkan hasil yang diperoleh dari kedua uji lainnya. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel LQ 45. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel LQ 45 mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 6. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan

109 95 penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1, 3, 6 dan 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel LQ 45 mengakibatkan variabel debt to GDP sebagai variabel reference. Hasil ini menyatakan bahwa variabel LQ 45 merupakan kandidat Leading Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel LQ 45 sebagai kandidat Leading Indicators yang bergerak mendahului variabel debt to GDP. 6. Nominal Effective Exchange Rate (Kode : Var111) Variabel Nominal Effective Exchange Rate merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Selain melakukan uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel Nominal Effective Exchange Rate. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 12 terhadap reference variabel debt to GDP.

110 96 Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel Nominal Effective Exchange Rate dapat dilihat pada output e- views di Lampiran 3. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lag 12. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Nominal Effective Exchange Rate bergerak mendahului variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel Nominal Effective Exchange Rate dapat dikategorikan sebagai kandidat Leading Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel Nominal Effective Exchange Rate. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Leading Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel Loan to GDP mengakibatkan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 6. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu

111 97 lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3, 6, dan 12, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji memiliki hubungan kausalitas dua arah. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel Nominal Effective Exchange Rate mengakibatkan variabel debt to GDP sebagai variabel reference. Hasil ini menyatakan bahwa variabel Nominal Effective Exchange Rate merupakan kandidat Leading Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Nominal Effective Exchange Rate sebagai kandidat Leading Indicators yang bergerak mendahului variabel debt to GDP. Dari hasil seleksi yang dilakukan dengan menggunakan ketiga uji sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka pada akhirnya diperoleh enam variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicators. Pada tahap selanjutnya, keenam variabel tersebut akan mengalami proses pembobotan dalam rangka pembentukan Leading Debt Index yang merupakan instrument terpenting dalam pembangunan early warning system karena pergerakannya yang mampu memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia.

112 Identifikasi Variabel-variabel yang Menjadi Kandidat Lagging Indicators Lagging Indicators adalah variabel yang mengikuti (lag) pergerakan Coincident maupun Leading Indicators. Sama halnya dengan Leading dan Coincident Indicators, kandidat Lagging diperoleh dengan bantuan peralatan statistik berupa grafik, analisis korelasi silang (cross correlation), dan granger causality. Berdasarkan analisis korelasi silang, kandidat Lagging Indicators diperoleh dengan melihat korelasi paling tinggi pada lead yang cukup jauh. Kriteria coincident indicators berdasarkan uji granger causality yakni dengan melihat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan bahwa variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP), mengakibatkan variabel yang diuji. Tingkat signifikansi yang disepakati adalah nilai probabilitasnya harus lebih kecil dari 0,05 (alpha=5 persen). Dalam rangka melakukan seleksi untuk memperoleh variabel-variabel yang menjadi kandidat Lagging Indicators, maka dilakukan dua tahap pengujian statistic terhadap 111 variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan, yakni uji korelasi silang dan granger causality. Dari tahap seleksi tersebut, pada akhirnya diperoleh empat variabel yang ditetapkan sebagai kandidat Lagging Indicators. Adapun keempat variabel tersebut beserta hasil pengujiannya dapat disimak pada uraian berikut ini.

113 99 1. Suku Bunga Pinjaman (Modal Kerja) Rupiah Yang Diberikan Bank Persero (Kode : Var 34) Variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Lagging Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yaitu uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Uji korelasi silang secara statistik dilakukan terhadap variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero dapat dilihat pada output e-views di Lampiran 4. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead 2. Hal ini menunjukkan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero bergerak mengikuti variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero dapat dikategorikan sebagai kandidat Lagging Indicator krisis utang di Indonesia.

114 100 b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Lagging Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP), mengakibatkan variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero. Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran 7. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji memiliki hubungan kausalitas dua arah. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3, 6, dan 12 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel debt to GDP sebagai variabel reference

115 101 mengakibatkan variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero. Hasil ini menyatakan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero merupakan kandidat Lagging Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero sebagai kandidat Lagging Indicators yang bergerak mengikuti variabel debt to GDP 2. Variabel Suku Bunga Simpanan Rupiah Berjangka 24 Bulan di Bank Umum (Kode : Var 64) Variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Lagging Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistic yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Selain melakukan uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum dapat dilihat pada output e-views di Lampiran 4.

116 102 Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead 4. Hal ini menunjukkan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum bergerak mengikuti variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum dapat dikategorikan sebagai kandidat Lagging Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Lagging Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP), mengakibatkan variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum. Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 7. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan

117 103 penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 6 dan 12, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 dan 3 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel debt to GDP sebagai variabel reference mengakibatkan variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum. Hasil ini menyatakan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum merupakan kandidat Lagging Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum sebagai kandidat Lagging Indicators yang bergerak mengikuti variabel debt to GDP. 3. Imports Merchandise Constant (US$, millions) (Kode : Var97) Variabel import merchandise constant merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Lagging Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistic yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini.

118 104 a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Selain melakukan uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel import merchandise constant. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel import merchandise constant dapat dilihat pada output e- views di Lampiran 4. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead 6. Tanda negatif yang muncul ini mengindikasikan bahwa kedua variabel yan diuji berkorelasi negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel import merchandise constant bergerak mengikuti variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel import merchandise constant dapat dikategorikan sebagai kandidat Lagging Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel import merchandise constant. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Lagging Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP), mengakibatkan variabel import merchandise constant. Pengujian granger causality dilakukan dengan

119 105 menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 7. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 3, 6 dan 12, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji tidak memiliki hubungan kausalitas. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah. Hasil dari uji granger causality ini menyatakan bahwa variabel import merchandise constant bukan merupakan kandidat Lagging Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel import merchandise constant sebagai kandidat Lagging Indicators yang bergerak mengikuti variabel debt to GDP. 4. Local Equity Market Index (US$) Variabel Local Equity Market Index merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Lagging Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui kedua tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini. a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test) Selain melakukan uji secara grafis dengan prosedur Bry Boschan, uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel Local Equity Market Index. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to

120 106 GDP) dengan variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero dapat dilihat pada output e-views di Lampiran 4. Berdasarkan tampilan output e-views tersebut, dapat dilihat bahwa korelasi yang paling tinggi adalah sebesar pada lead 6. Tanda negatif ini menunjukkan bahwa kedua variabel yang diuji berkorelasi negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel Local Equity Market Index bergerak mengikuti variabel reference yakni rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel Local Equity Market Index dapat dikategorikan sebagai kandidat Lagging Indicator krisis utang di Indonesia. b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test) Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap Local Equity Market Index. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Lagging Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP), mengakibatkan variabel Local Equity Market Index. Pengujian granger causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada output e-views di Lampiran 7. Tampilan granger causality tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan kausalitas satu arah yang signifikan dengan signifikansi yang disepakati yaitu

121 107 lebih kecil dari Tampak pada contoh di atas terdapat pola yang menunjukkan penolakan hipotesis nol yang ditandai dengan nilai probabilitas yang besarnya kurang dari tingkat signifikansi yang disepakati. Berdasarkan pengujian granger causality yang dilakukan dengan spesifikasi lag 1 dan 6, diperoleh hasil bahwa kedua variabel yang diuji memiliki hubungan kausalitas dua arah. Adapun pengujian yang dilakukan dengan spesifikasi 3 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas satu arah signifikan yang mengindikasikan variabel debt to GDP sebagai variabel reference mengakibatkan variabel Local Equity Market Index. Hasil ini menyatakan bahwa variabel Local Equity Market Index merupakan kandidat Lagging Indicator bagi penyusunan sistem deteksi dini kemungkinan terjaidnya krisis utang di Indonesia. Berdasarkan hasil seleksi yang diperoleh dari ketiga uji yang telah dilakukan, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Local Equity Market Index sebagai kandidat Lagging Indicators yang bergerak mengikuti variabel debt to GDP. Dari tahap seleksi yang dilakukan dengan menggunakan uji secara grafis maupun statisik, maka diperoleh empat variabel kandidat Lagging Indicator, yaitu variabel suku bunga pinjaman rupiah untuk modal kerja yang diberikan Bank Persero, suku bunga simpanan rupiah berjangkan 24 bulan di Bank Umum, import merchandise constant dan Local Equity Market. Pada tahap selanjutnya, keempat variabel tersebut akan melalui proses pembobotan dalam rangka pembentukan Lagging Debt Index.

122 Penyusunan Composite Coincident, Leading dan Lagging Debt Index Dari langkah sebelumnya, telah diperoleh enam variabel yang menjadi kandidat Leading Indicator dan enam variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Selanjutnya, akan disusun suatu composite index yang merupakan penggabungan dari variabel-variabel kandidat tersebut. Proses penggabungan (compose) variabel-variabel kandidat untuk mendapatkan Coincident Debt Index (CI) dan Leading Debt Index (LI) terbaik dilakukan dengan cara trial-error. Indikator baiknya Coincident Debt Index didasarkan pada persamaan pergerakannya dengan Reference Series, sementara untuk LI didasarkan pada kemampuannya untuk memprediksi CI dan Reference Series. Sebelum melalui proses perhitungan dalam rangka memperoleh Coincident Debt Index, keenam variabel yang terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators perlu mengalami proses penyesuaian dari faktor musiman (seasonal adjustmen). Hal ini dilakukan agar variabel tersebut merepresentasikan nilai yang tidak dipengaruhi oleh kondisi musiman seperti Tahun Baru China ataupun Hari Raya Idul Fitri. Dengan demikian, pergerakan variabel-variabel tersebut tidak akan menimbulkan missleading dalam mendeskribsikan kondisi beban utang luar negeri Indonesia. Adapun hasil seasonal adjustment yang dilakukan terhadap keenam variabel yang telah terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators dapat disimak pada Lampiran Penyusunan Coincident Debt Index (CDI) Beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menyusun CDI tersebut adalah sebagai berikut :

123 Perhitungan Month-on-Month (MoM) Symmetric Percent Change 2. Adjustment MoM 3. Penjumlahan Adjustment MoM (i t ) 4. Adjustment i t 5. Perhitungan Prelimanary Leading (perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9) Composite CDI terbaik diperoleh secara trial-error dengan mengombinasikan berbagai kemungkinan variabel kandidat coincident indicator sampai terbentuk grafik CI terbaik. Setelah melalui proses trial-error, maka diperoleh kombinasi CDI terbaik berikut ukuran bobotnya sebagaimana terlihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Kombinasi Terbaik Penyusun Coincident Debt Index Beserta Bobotnya Kode Nama Variabel Bobot Var38 Suku Bunga Pinjaman Rupiah (Modal Kerja) Yang Diberikan Bank Asing dan Campuran 9,65% Var62 Suku Bunga Simpanan Rupiah Berjangka 6 Bulan di Bank Umum 23,78% Var103 SBI 1 Bulan 7,76% Var102 Interest rate spread (lending rate minus deposit rate) 58,81% Total 100,00% Kombinasi penyusunan CDI sebagaimana yang terlihat di Tabel 4.2 merupakan kombinasi yang terbaik. Hal ini didasarkan pada penilaian secara visual melalui grafik yang memperlihatkan bahwa grafik CDI tersebut bergerak seiring variabel reference yaitu debt to GDP sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.3.

124 110 Debt to GDP CDI Persentase Debt To GDP Coincident Debt Index Gambar 4.3 Pergerakan Coincident Debt Index (CDI) Seiring Dengan Variabel Debt to GDP Gambar 4.3 menunjukkan grafik CDI yang memiliki beberapa titik lembah dan puncak. Pergerakan grafik CDI tersebut merefleksikan kondisi beban utang luar negeri yang dihadapi oleh Indonesi selama periode waktu pengamatan dimana pergerakannya seiring dengan variabel reference debt to GDP Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa variabel interest rate spread (selisih suku bunga pinjaman dengan suku bunga simpanan) memberikan kontribusi sebesar 58,81 persen terhadap penyusunan Coincident Debt Index. Hasil ini menunjukkan bahwa grafik interest rate spread memiliki pola kemiripan yang besar terhadap grafik CDI yang terbentuk. Hasil ini mengindikasikan pergerakan grafik variabel interest rate spread dapat merefleksikan kondisi beban utang luar negeri yang ditanggung oleh Indonesia Penyusunan Leading Debt Index (LDI) Dari hasil seleksi yang dilakukan terhadap 111 variabel makroekonomi, diperoleh hasil bahwa terdapat enam variabel yang dapat dijadikan sebagai

125 111 kandidat Leading Indicator. Keenam variabel tersebut selanjutnya mengalami seasonal adjustment dengan X-12 ARIMA untuk menghilangkan faktor musiman yang ada. Adapun hasil dari X-12 ARIMA tersebut dapat dilihat pada Lampiran 10. Selanjutnya, dilakukan penyusunan composite Leading Debt Index melalui proses penggabungan dengan beberapa tahapan tertentu. Adapun beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menyusun LDI tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan Month-on-Month (MoM) Symmetric Percent Change 2. Adjustment MoM 3. Penjumlahan Adjustment MoM (i t ) 4. Adjustment i t 5. Perhitungan Prelimanary Leading (Perhitungan Leading Debt Index secara lengkap dapat disimak pada Lampiran 11) Composite LDI terbaik diperoleh secara trial-error dengan mengombinasikan berbagai kemungkinan variabel kandidat leading indicator sampai terbentuk grafik LDI terbaik. Setelah melalui proses trial-error, maka diperoleh kombinasi LDI terbaik berikut ukuran bobotnya sebagaimana terlihat pada Tabel 4.3.

126 112 Tabel 4.3 Kombinasi Terbaik Penyusun Leading Debt Index Beserta Bobotnya Kode Nama Variabel Bobot Var07 LIBOR 6 bulan 54% Var66 Laju Inflasi Jepang 42% Var96 M2/Cadangan Devisa 2% Var111 Nominal Effective Exchange Rate 2% Total 100% Kombinasi penyusunan Leading Debt Index sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.3 merupakan kombinasi yang terbaik. Hal ini didasarkan pada penilaian secara visual melalui grafik yang memperlihatkan bahwa grafik Leading Debt Index tersebut bergerak lebih awal mendahului Coincident Debt Index sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.4. CDI LDI Coincident Debt Index Leading Debt Index Gambar 4.4 Pergerakan Leading Debt Index (LDI) Mendahului Coincident Debt Index (CDI)

127 113 Gambar 4.4 menunjukkan bahwa grafik LDI memiliki 3 titik lembah dan 3 titik puncak yang mendahului titik-titik lembah maupun puncak yang dimiliki grafik CDI. Penentuan titik puncak dan lembah dilakukan terhadap LDI maupun CDI berdasarkan metode Bry Boschan Procedure. Pergerakan grafik LDI yang mendahului CDI mengindikasikan bahwa LDI memiliki kemampuan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang yang dihadapi Indonesia di periode waktu mendatang. Berdasarkan penentuan titik peak dan trough yang dilakukan baik terhadap CDI maupun LDI, maka selang waktu pergerakan LDI mendahului CDI dapat dihitung secara akurat, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Perhitungan Selang Waktu Perbedaan Pergerakan LDI Mendahului CDI Nama Variabel Trough Peak Trough Peak Trough Peak Leading Debt Index Apr-93 Jan-95 Feb-96 Jun-97 Jun-98 Mar-00 Coindicent Debt Index Apr-94 Jul-95 Aug-96 Sep-98 Aug-99 Apr-01 Selang Waktu 12 bulan 6 bulan 6 bulan 15 bulan 14 bulan 13 bulan Berdasarkan perhitungan peak dan trough grafik CDI dan LDI, maka diperoleh hasil bahwa grafik LDI bergerak mengikuti CDI dengan selang waktu rata-rata 11 bulan. Dengan demikian, melalui pengamatan terhadap pergerakan grafik LDI ini, maka kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia dapat diprediksi pada kurun waktu 11 bulan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bukti empiris bahwa beban utang Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh besarnya suku bunga LIBOR 6 bulan dan laju inflasi negara Jepang. Hasil ini menunjukkan bahwa grafik dari kedua

128 114 variabel tersebut memiliki pola kemiripan yang besar terhadap grafik LDI yang terbentuk. Hal ini mengindikasikan pergerakan grafik dari kedua variabel tersebut memiliki kemampuan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi beban utang luar negeri yang ditanggung oleh Indonesia pada periode waktu mendatang Penyusunan Lagging Debt Index Dari hasil seleksi yang dilakukan terhadap 111 variabel makroekonomi, diperoleh hasil bahwa terdapat empat variabel yang dapat dijadikan sebagai kandidat Lagging Indicators. Kempat variabel tersebut selanjutnya mengalami seasonal adjustment dengan X-12 ARIMA untuk menghilangkan faktor musiman yang ada. Adapun hasil dari X-12 ARIMA tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12. Selanjutnya, dilakukan penyusunan composite Lagging Debt Index melalui proses penggabungan dengan beberapa tahapan tertentu. Adapun beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menyusun Lagging Debt Index tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan Month-on-Month (MoM) Symmetric Percent Change 2. Adjustment MoM 3. Penjumlahan Adjustment MoM (i t ) 4. Adjustment i t 5. Perhitungan Prelimanary Leading (Perhitungan Lagging Debt Index secara lengkap dapat disimak pada Lampiran 13).

129 115 Composite Lagging Debt Index terbaik diperoleh secara trial-error dengan mengombinasikan berbagai kemungkinan variabel kandidat lagging indicator sampai terbentuk grafik Lagging Debt Index terbaik. Setelah melalui proses trialerror, maka diperoleh kombinasi Lagging Debt Index terbaik berikut ukuran bobotnya sebagaimana terlihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Kombinasi Terbaik Penyusun Lagging Debt Index Beserta Bobotnya Kode Nama Variabel Bobot Var34 Suku Bunga Pinjaman Rupiah (Modal Kerja) Rupiah Yang Diberikan Bank Persero 42% Var64 Suku Bunga Simpanan Berjangka (Rupiah) Di Bank Umum- 24 Bulan 50% Var97 Imports Merchandise, constant US$, millions 4% Var81 Local equity market index valued in US$ terms 3% Total 100% Kombinasi penyusunan Lagging Debt Index sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.5 merupakan kombinasi yang terbaik. Hal ini didasarkan pada penilaian secara visual melalui grafik yang memperlihatkan bahwa grafik Lagging Debt Index tersebut bergerak mengikuti Coincident Debt Index sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.5.

130 116 Coincident Debt Index Lagging Debt Index Coincident Debt Index Lagging Debt Index Gambar 4.5 Pergerakan Lagging Debt Index Mengikuti Coincident Debt Index Gambar 4.5 terlihat bahwa grafik Lagging Debt Index memiliki 3 titik lembah dan 3 titik puncak yang mengikuti titik-titik lembah maupun puncak yang dimiliki grafik Coincident Debt Index. Penentuan titik puncak dan lembah dilakukan terhadap Lagging Debt Index berdasarkan metode Bry Boschan Procedure Pergerakan grafik Lagging Debt Index yang mengikuti Coincident Debt Index mengindikasikan bahwa Lagging Debt Index memiliki kemampuan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya penyebaran dampak secara meluas akibat kondis krisis utang yang dihadapi Indonesia terhadap variabel-variabel makroekonomi lainnya secara keseluruhan. Berdasarkan penentuan titik peak dan trough yang dilakukan baik terhadap Coincident Debt Index maupun Lagging Debt Index, maka selang waktu pergerakan Lagging Debt Index mengikuti Coincident Debt Index dapat dihitung secara akurat, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.6.

131 117 Tabel 4.6 Perhitungan Selang Waktu Perbedaan Pergerakan Lagging Debt Index Mengikuti Coincident Debt Index Nama Variabel Trough Peak Trough Peak Trough Peak Coindicent Index Apr-94 Jul-95 Aug-96 Sep-98 Aug-99 Apr-01 Lagging Index Nov-94 May-96 Jan-98 May-99 Apr-01 Jun-02 Selang Waktu 7 bulan 10 bulan 17 bulan 8 bulan 20 bulan 14 bulan Berdasarkan perhitungan peak dan trough grafik Coincident Debt Index dan Lagging Debt Index, maka diperoleh hasil bahwa grafik Lagging Debt Index bergerak mengikuti Coincident Debt Index dengan selang waktu rata-rata 13 bulan. Dengan demikian, melalui pengamatan terhadap pergerakan grafik LDI ini, maka dampak penyebaran (contagion effect) terhadap variabel-variabel makeroekonomi lain akibat terjadinya krisis utang di Indonesia dapat dicegah pada kurun waktu 13 bulan sebelumnya. Berdasarkan perhitungan, diperoleh hasil bahwa variabel suku bunga simpanan rupiah berjangka 24 bulan di Bank Umum dan suku bunga pinjamanmodal kerja (rupiah) yang diberikan Bank Persero memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan Lagging Debt Index. Hal ini menunjukkan bahwa pola grafik kedua variabel tersebut memiliki kemiripan yang besar terhadap pergerakan grafik Lagging Debt Index. Dengan demikian, pergerakan kedua variabel itu dapat merefleksikan periode waktu kemungkinan terjadinya contagion effect akibat terjadinya krisis utang di Indonesia.

132 Pembahasan Hasil Penyusunan Early Warning System Analisis Hasil Early Warning System Secara Empiris Penyusunan hasil early warning sytem menghasilkan tiga instrumen penting, yakni Coincident, Leading, dan Lagging Debt Index. Adapun instrumen yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi beban utang luar negeri Indonesia adalah Coincident Debt Index. Sebagaimana yang terlihat pada gambar 4.58, salah satu titik puncak Coincident Debt Index tercapai pada periode bulan September Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari pengaruh krisis nilai tukar yang melanda negara-negara di Asia secara luas, termasuk Indonesia. Hal ini sebagaimana digambarkan pada Gambar 4.6. Coincident Debt Index Kurs Rupiah Terhadap Dollar Coincident Debt Index Kurs Rupiah Terhadap Dollar Gambar 4.6 Perbandingan Pergerakan Grafik Coincident Debt Index dengan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Gambar 4.6 bahwa rupiah mengalami depresiasi yang begitu hebat sejak periode bulan Juni Kepercayaan terhadap mata uang rupiah semakin menurun, sehingga terjadi capital outflow secara besar-besaran pada periode waktu tersebut.

133 119 Hal ini berdampak pada beban utang luar negeri Indonesia semakin besar yang digambarkan dari titik puncak grafik Coincident Debt Index pada periode bulan September Kondisi ini semakin parah sehingga menyebabkan kurangnya likuiditas dalam perekonomian dan berakibat pada kenaikan suku bunga dalam negeri secara signifikan. Terjadinya capital outflow dalam jumlah besar pada akhirnya berdampak pada kurangnya likuiditas dalam perekonomian secara signifikan. Kondisi ini menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan suku bunga SBI 3 bulan sehingga berdampak pada suku bunga simpanan dalam negeri yang juga mengalami kenaikan. Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk menarik minat investor luar negeri agar tetap menginvestasikan dana mereka di Indonesia sehingga likuiditas dalam negeri akan terjaga dan nilai rupiah tidak akan mengalami depresiasi lebih buruk lagi. Hal ini penting bagi pemerintah agar solvabilitas Indonesia tetap dalam kondisi baik sehingga mampu membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pada periode tersebut. Kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menaikkan suku bunga dalam negeri juga memiliki tujuan lainnya yakni untuk meredam tingginya lonjakan inflasi yang terjadi pada periode krisis tersebut. Meskipun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut pada akhirnya kurang efektif dan tidak berhasil menahan capital flight yang terjadi sehingga hanya menambah beban biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah yang menaikkan suku bunga SBI 3 bulan berdampak pada tingginya suku bunga simpanan dalam negeri melebihi suku bunga

134 120 pinjamannya. Hal ini menyebabkan interest rate spread Indonesia menunjukkan nilai negatif dan mencapai titik trough pada periode November 1998 dimana periode tersebut bertepatan dengan tercapainya titik peak variabel reference debt to GDP yang menandakan terjadinya masalah solvabilitas Indonesia. Dengan demikian, karena variabel interest rate spread, suku bunga simpanan, suku bunga pinjaman, dan suku bunga SBI 3 bulan merupakan komponen penyusun Coincident Debt Index dengan bobot yang cukup besar, maka peningkatan variabel-variabel tersebut menyebabkan nilai Coincident Debt Index mencapai puncaknya pada periode bulan September Titik puncak Coincident Debt Index pada bulan September 1998 selain dipengaruhi oleh krisis nilai tukar yang melanda Asia, juga disebabkan karena pada periode tersebut hampir sebagian besar utang luar negeri Indonesia mencapai jatuh tempo secara bersamaan. Kondisi ini semakin menambah beban utang luar negeri Indonesia yang semakin diperparah dengan kesulitan likuiditas perekonomian dalam negeri akibat capital flight yang terjadi secara besar-besaran. Selain Coincident Debt Index, penyusunan early warning system ini juga menghasilkan instrumen Leading Debt Index. Indeks ini merupakan instrumen yang penting karena pergerakannya mampu memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia secara akurat. Berdasarkan gambar 4.59, diketahui bahwa Leading Debt Index ini memiliki beberapa titik puncak dan lembah. Salah satu titik puncaknya terjadi pada periode bulan Juni Pergerakan Leading Debt Index yang mencapai titik puncaknya pada periode tersebut telah memberikan sinyal yang kuat bahwa akan terjadi krisis

135 121 utang di pada selang waktu 15 bulan kemudian (ditandai dengan Coincident Debt Index yang mencapai titik puncak). Tercapainya titik puncak Leading Debt Index pada periode bulan Juni 1997 banyak dipengaruhi oleh dinamika pergerakan variabel suku bunga LIBOR 6 Bulan dan laju inflasi Jepang. Hal ini disebabkan karena kedua variabel tersebut merupakan komponen penyusun Leading Debt Index dengan bobot yang cukup besar. Variabel suku bunga LIBOR 6 Bulan memiliki beberapa titik puncak dan lembah. Salah satu titik puncak variabel ini tercapai pada periode bulan April Titik puncak yang terjadi pada periode tersebut menjadi sinyal kuat terjadinya beban utang luar negeri Indonesia yang semakin besar pada selang waktu 19 bulan kemudian. Suku bunga LIBOR 6 Bulan yang mencapai titik puncak di bulan April 1997 mengindikasikan terjadinya penurunan likuiditas sumber pendanaan di pasar uang internasional pada periode waktu tersebut. Oleh karena suku bunga LIBOR banyak digunakan sebagai acuan dalam penentuan suku bunga utang luar negeri, maka peningkatan suku bunga LIBOR akan berdampak pada semakin besarnya devisa yang harus dialokasikan untuk melakukan pembayaran bunga utang. Pergerakan suku bunga LIBOR memberikan pengaruh yang besar terhadap kondisi beban utang luar negeri yang harus ditanggung oleh Indonesia. Hal ini disebabkan karena cukup besar jumlah utang luar negeri Indonesia yang pembayaran bunganya ditetapkan berdasarkan floating interest rate. Semakin tinggi suku bunga LIBOR, maka semakin besar pula beban pembayaran utang luar

136 122 negeri Indonesia, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, peningkatan suku bunga LIBOR 6 bulan yang mencapai titik puncaknya pada periode April 1997 berdampak pada semakin besarnya beban utang luar negeri Indonesia pada kurun waktu 19 bulan kemudian, tepatnya bulan November Selain variabel suku bunga LIBOR 6 Bulan, pergerakan Leading Debt Index yang mencapai titik puncak di periode Juni 1997 juga dipengaruhi oleh variabel laju inflasi Jepang. Variabel ini mencapai titik puncaknya pada periode bulan Agustus 1997 akibat krisis nilai tukar yang melanda Asia, termasuk Jepang. Pada periode tersebut, mata uang yen juga mengalami depresiasi yang hebat sehingga berdampak pada kemunduran perekonomian di negara tersebut. Hal ini ditandai dengan inflasi yang terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, pergerakan laju inflasi Jepang telah memberikan sinyal yang kuat dalam memprediksi kondisi beban utang luar negeri yang harus ditanggung Indonesia Operasionalisasi dan Pengelolaan Early Warning System Krisis Utang di Indonesia Dengan menggunakan instrumen Leading Debt Index yang dihasilkan dari penyusunan early warning system ini, maka kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia dapat diprediksi pada periode 11 bulan sebelumnya. Prediksi tersebut dapat dilakukan dengan mengobservasi pergerakan Leading Debt Index yang dihasilkan. Adapun skematik operasionalisasi early warning system krisis utang di Indonesia dapat dijelaskan pada Gambar 4.7.

137 123 Gambar 4.7 Skematik Penggunaan Instrumen Leading Debt Index Dalam Operasionalisasi Early Warning System Krisis Utang Pada Gambar 4.7, dimisalkan bahwa krisis utang di Indonesia akan terjadi pada periode waktu t yang ditunjukkan dengan tercapainya titik puncak pada grafik CDI. Terjadinya krisis utang di periode t tersebut telah dapat diprediksi 11 bulan sebelumnya. Ketika grafik LDI menunjukkan tanda-tanda pergerakan yang mengalami peningkatan, maka saat itu sinyal peringatan kemungkinan terjadinya krisis utang perlu diwaspadai. Sebelum LDI ini mencapai titik puncaknya pada periode 11 bulan sebelum terjadinya krisis utang, maka kebijakan yang bersifat preventif dan antisipatif harus segera diimplementasikan untuk mengendalikan beban utang luar negeri Indonesia. Hal ini perlu dilakukan secara cermat dan akurat untuk menghindari kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Selain dengan instrumen LDI, operasionalisasi early warning system krisis utang di Indonesia juga dilakukan dengan menggunakan instrumen Lagging Debt Index. Dengan menggunakan instrumen Lagging Debt Index yang dihasilkan dari penyusunan early warning system ini, maka kemungkinan terjadinya contagion effect akibat krisis utang di Indonesia dapat dicegah pada periode 13 bulan setelah

138 124 terjadinya krisis utang. Prediksi tersebut dapat dilakukan dengan mengobservasi pergerakan Lagging Debt Index yang dihasilkan. Adapun skematik operasionalisasi early warning system krisis utang di Indonesia dapat dijelaskan pada Gambar 4.8. Gambar 4.8 Skematik Penggunaan Instrumen Lagging Debt Index Dalam Operasionalisasi Early Warning System Krisis Utang Pada Gambar 4.8, dimisalkan bahwa krisis utang di Indonesia akan terjadi pada periode waktu t yang ditunjukkan dengan tercapainya titik puncak pada grafik CDI. Dampak dari terjadinya krisis utang di periode t tersebut akan menyebar secara luas ke variabel-variabel makroekonomi lainnya dalam kurun waktu 13 bulan. Hal ini direfleksikan dengan tercapainya titik puncak grafik Lagging Debt Index pada periode 13 bulan setelah terjadinya krisis. Oleh karena itu, selama periode 13 bulan setelah terjadinya krisis, perlu dilakukan sejumlah kebijakan tertentu yang diimplementasikan dalam rangka mencegah penyebaran contagion effect secara meluas akibat terjadinya krisis utang.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi pada arus modal eksternal, prospek pertumbuhan yang tidak pasti. Krisis

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi pada arus modal eksternal, prospek pertumbuhan yang tidak pasti. Krisis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama beberapa dekade terakhir, banyak negara di dunia ini mengalami krisis yang didorong oleh sistem keuangan mereka yang kurang dikembangkan, votalitas kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara masih menjadi acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi perekonomian negara dimana pertumbuhan

Lebih terperinci

barang dan jasa, maka hal tersebut dapat mengubah tingkat output dan

barang dan jasa, maka hal tersebut dapat mengubah tingkat output dan 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Konsep dan Teori Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada waktu mendatang dengan didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang fokus terhadap pembangunan nasional. Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal

BAB I PENDAHULUAN. kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi

Lebih terperinci

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI 0810512077 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS Mahasiswa Strata 1 Jurusan Ilmu Ekonomi Diajukan

Lebih terperinci

Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3%

Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3% 1 Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3% Prediksi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan tahun 2016 adalah sebesar 6,3% dengan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi internal maupun eksternal. Data yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin lama semakin tak terkendali. Setelah krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ekonomi dunia dewasa ini berimplikasi pada eratnya hubungan satu negara dengan negara yang lain. Arus globalisasi ekonomi ditandai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pasar modal memiliki peranan yang penting terhadap perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Menurut Fahmi dan Hadi (2009:41), pasar modal

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Menurut Fahmi dan Hadi (2009:41), pasar modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran aktif lembaga pasar modal merupakan sarana untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara optimal dengan mempertemukan kepentingan investor selaku pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian global yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses perdagangan internasional. Indonesia yang ikut serta dalam Perdagangan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surat Berharga Negara (SBN) dipandang oleh pemerintah sebagai instrumen pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan agreement). Kondisi APBN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahkan untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil harus selalu digerakan

BAB I PENDAHULUAN. Bahkan untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil harus selalu digerakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masalah pendanaan menjadi tombak dalam dunia usaha dan perekonomian. Bahkan untuk keluar dari krisis ekonomi ini, sektor riil harus selalu digerakan untuk

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu di antara beberapa variabel ekonomi makro yang paling diperhatikan oleh para ekonom. Alasannya, karena PDB merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDUHULUAN. Index PDB Bulan

I. PENDUHULUAN. Index PDB Bulan I. PENDUHULUAN I.1. Latar Belakang Penerimaan pajak merupakan dampak akumulasi agregat ekonomi yang tercermin dari aktifitas bisnis, meskipun fluktuasinya tidak tergambar secara jelas, dengan demikian

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemicu kenaikan jumlah nominal utang pemerintah Indonesia (DJPU,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemicu kenaikan jumlah nominal utang pemerintah Indonesia (DJPU, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pasar keuangan global yang sangat cepat dan semakin terintegrasi telah mengakibatkan pasar obligasi memainkan peranan penting sebagai alternatif sumber

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA OLEH SINTA AGUSTINA H

ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA OLEH SINTA AGUSTINA H ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA OLEH SINTA AGUSTINA H14104030 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN SINTA AGUSTINA. H14104030.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pembangunan suatu negara memerlukan dana investasi dalam jumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pembangunan suatu negara memerlukan dana investasi dalam jumlah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu negara memerlukan dana investasi dalam jumlah yang tidak sedikit. Sumber dari luar tidak mungkin selamanya diandalkan untuk pembangunan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia) dalam dunia ekonomi

I. PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia) dalam dunia ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim yaitu sebesar 85 persen dari penduduk Indonesia, merupakan pasar yang sangat besar untuk pengembangan industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H

MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H14104048 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN ERY

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH VARIABEL-VARIABEL MAKROEKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN OBLIGASI PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH NOVIE ILLYA SASANTI H

ANALISIS PENGARUH VARIABEL-VARIABEL MAKROEKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN OBLIGASI PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH NOVIE ILLYA SASANTI H ANALISIS PENGARUH VARIABEL-VARIABEL MAKROEKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN OBLIGASI PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH NOVIE ILLYA SASANTI H14104095 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ekonomi dunia kini menjadi salah satu isu utama dalam perkembangan dunia memasuki abad ke-21. Krisis ekonomi yang kembali melanda negara-negara di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang berintegrasi dengan banyak negara lain baik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang orang saat ini adalah melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang orang saat ini adalah melakukan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang orang saat ini adalah melakukan peralaman (forecasting) akan apa yang terjadi dimasa akan datang dan membuat rencana

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H

ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H14104073 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nilai tukar atau kurs merupakan indikator ekonomi yang sangat penting karena pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap aspek perekonomian suatu negara. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggerakan dana guna menunjang pembiayaan pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggerakan dana guna menunjang pembiayaan pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar modal memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena pasar modal merupakan sarana pembentuk modal dan akumulasi dana jangka panjang yang diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US dollar, ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US dollar, ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating system) di Indonesia pada tahun 1997, telah menyebabkan posisi nilai tukar rupiah terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang. dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang. dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Indonesia dewasa ini makin berkembang. Peran Indonesia dalam perekonomian global makin besar dimana Indonesia mampu mencapai 17 besar perekonomian dunia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan pesat pasar keuangan global di masa sekarang semakin cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi direspon oleh pelaku

Lebih terperinci

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA Siaran Pers No. 16/104 International Monetary Fund UNTUK SEGERA 700 19 th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C. 20431 USA Dewan Eksekutif IMF Menyimpulkan Konsultasi Pasal IV 2015 dengan Indonesia

Lebih terperinci

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011 Mekanisme transmisi Angelina Ika Rahutami 2011 the transmission mechanism Seluruh model makroekonometrik mengandung penjelasan kuantitatif yang menunjukkan bagaimana perubahan variabel nominal membawa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pasar modal memiliki peranan penting dalam perkembangan perekonomian suatu negara. Menurut Usman dkk (1997), pasar modal didefinisikan sebagai perdagangan instrumen keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Utang luar negeri yang selama ini menjadi beban utang yang menumpuk yang dalam waktu relatif singkat selama 2 tahun terakhir sejak terjadinya krisis adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurunnya nilai indeks bursa saham global dan krisis finansial di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di seluruh media massa dan dibahas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian masih sangat bergantung pada negara lain. Teori David Ricardo menerangkan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompleksitas sistem pembayaran dalam perdagangan internasional semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang berkembang akhir-akhir ini.

Lebih terperinci

Monthly Market Update

Monthly Market Update Monthly Market Update RESEARCH TEAM RINGKASAN Ekonomi Indonesia tumbuh 4,94% yoy pada kuartal keempat 2016. Angka ini lebih rendah dibandingkan PDB pada kuartal sebelumnya yaitu sebesar 5,02% (yoy). Pada

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang sangat penting dalam perekonomian setiap negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Krisis ekonomi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang dilakukan oleh Purwanti (2005) dengan obyek penelitian Indeks LQ45. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian. Inflasi merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh penghasilan saat ini, maka dia dihadapkan pada keputusan investasi.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh penghasilan saat ini, maka dia dihadapkan pada keputusan investasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang dihadapkan pada berbagai pilihan dalam menentukan proporsi dana atau sumber daya yang mereka miliki untuk konsumsi saat ini dan di masa mendatang. Kapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 12,94% meskipun relatif tertinggal bila dibandingkan dengan kinerja bursa

BAB I PENDAHULUAN. 12,94% meskipun relatif tertinggal bila dibandingkan dengan kinerja bursa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Beragam isu membayangi, indeks Pasar Modal Indonesia sukses melewati semua ujian. Sepanjang 2012, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencerminkan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadi pemicu yang kuat bagi manajemen perusahaan untuk. membutuhkan pendanaan dalam jumlah yang sangat besar.

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadi pemicu yang kuat bagi manajemen perusahaan untuk. membutuhkan pendanaan dalam jumlah yang sangat besar. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya persaingan dalam dunia bisnis dan ekonomi yang terjadi saat ini menjadi pemicu yang kuat bagi manajemen perusahaan untuk meningkatkan performa terbaiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan dana untuk membiayai berbagai proyeknya. Dalam hal ini, pasar

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan dana untuk membiayai berbagai proyeknya. Dalam hal ini, pasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar modal merupakan sarana untuk menghubungkan investor (pemodal) dengan perusahaan atau institusi pemerintah. Investor merupakan pihak yang mempunyai kelebihan dana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita. sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita. sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya perekonomian, karena dalam

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat krisis keuangan global beberapa tahun belakan ini kurs, inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar seolah tidak lepas dari masalah perekonomian di Indonesia.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri Judul : Pengaruh Kurs dan Impor Terhadap Produk Domestik Bruto Melalui Utang Luar Negeri di Indonesia Tahun 1996-2015 Nama : Nur Hamimah Nim : 1306105143 ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan deret waktu bulanan. Data tersebut akan dikumpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur perekonomian bercorak agraris yang rentan terhadap goncangan kestabilan kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. perusahaan dan dapat digunakan untuk pembuatan keputusan investasi yang tepat.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. perusahaan dan dapat digunakan untuk pembuatan keputusan investasi yang tepat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketatnya persaingan dalam dunia bisnis dan ekonomi yang terjadi saat ini menjadi pemicu yang kuat bagi manajemen perusahaan untuk meningkatkan performa terbaiknya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu negara. Nilai tukar mata uang memegang peranan penting dalam perdagangan antar negara, dimana

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kinerja ekonomi Indonesia yang mengesankan dalam 30 tahun terakhir sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan dan kerentanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peranan penting dalam perekonomian di setiap negara, merupakan sebuah alat yang dapat mempengaruhi suatu pergerakan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berusaha dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik BAB I PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik maupun global.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. institution) sendiri mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. institution) sendiri mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediately institution) sendiri mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan perekonomian. Sebagai lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbuka. Hal ini mengakibatkan arus keluar masuk barang, jasa dan modal

BAB I PENDAHULUAN. terbuka. Hal ini mengakibatkan arus keluar masuk barang, jasa dan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan perekonomian dunia pada era sekarang ini semakin bebas dan terbuka. Hal ini mengakibatkan arus keluar masuk barang, jasa dan modal menjadi semakin mudah menembus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan Orde Lama,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan Orde Lama, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan Orde Lama, ekonomi Indonesia yang bercorak agraris terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan atau terjerat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sebagai negara small open economy yang menganut sistem devisa bebas dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap serangan krisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Konsep penelitian ini dilakukan untuk membangun sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Tujuannya untuk mencegah kemungkinan terjadinya krisis utang yang

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ekonomi dalam suatu negara tidak terlepas dengan peran perbankan yang mempengaruhi perekonomian negara. Segala aktivitas perbankan yang ada di suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam pasar modal tidaklah terpisah dari stabilitas perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam pasar modal tidaklah terpisah dari stabilitas perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Investasi dalam pasar modal tidaklah terpisah dari stabilitas perekonomian suatu negara, sehingga dalam melakukan investasi seorang investor memerlukan suatu analisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah krisis nilai tukar di Indonesia periode Januari 1995 sampai dengan Desember 2015. Pemilihan periode yang digunakan didasarkan

Lebih terperinci