KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya bahtera itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-nya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. Dan apabila mereka dihantam gelombang yang besar sebesar gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah orang-orang yang tidak setia lagi ingkar QS.LUKMAN (31-32).

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera Barat adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2013 Tomi Ramadona NRP. H

4 ABSTRACT TOMI RAMADONA. The Policy Development of Tuna Longline Fishery Economy Based on Disaster Mitigation Perspective in Padang, West Sumatra. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACHMAD FAHRUDIN. This research aimed to determine 1) fisheries sector macro economic conditions, 2) the potential for sustainability and management of fisheries resources, 3) the potential and priorities for mitigation of disasters, 4) the fisheries development and the feasibility investment of disaster mitigation perspective, 5) institutions in fisheries development of disaster mitigation perspective and 6) formulate policy direction of tuna fisheries economy development based on disaster mitigation perspective. The analysis methods was conducted by Shift Share, Location Quotient, Minimum Requirement Approach, Bioeconomic Model, Exponential Comparison method (MPE), Investment feasibility analysis, stakeholder analysis, descriptive analysis and AHP techniques. The result showed that fisheries provide high contribution in macro economic analysis as the leading sectors of regional economic development. The analysis of bioeconomy, especially Tuna was bellow the optimal level, with the optimal management based on MEY management regimes showed that effort can be increase by 133 trip or equal as 33 tuna longliners and a production of tons. The highest potential disaster on fisheries was earthquakes, tsunamis, strong winds, and waves. Strategies for mitigation priorities were (1) provision of GPS, APS, disaster information applications for fisherman, (2) provision of early warning and integrated information systems, also (3) establishment of building fishing ports and other infrastructure disaster mitigation perspective. Investment feasibility analysis showed longliner tuna productivity remains high as well as the addition of mitigation facilities, so the development of the business was feasible. Stakeholders involved in this policy were KKP, DKP and local government. This research concluded that appropriate policy strategies could be implemented in Padang city was optimization the production of sustainable fisheries resources through the provision of facilities for fisheries and mitigation perspective, also increase participation and synergy stakeholder to prosperity. Keywords : tuna, longliner, policy analysis, fishery resources, bioeconomic, sustainability, disaster mitigation, Padang City, West Sumatera

5 RINGKASAN TOMI RAMADONA. Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACHMAD FAHRUDIN Kota Padang memiliki perairan laut seluas 720 km² dengan panjang pantai 68,126 km. Kontribusi yang dihasilkan subsektor perikanan terhadap perekonomian daerah sebagian besar berasal dari perikanan tangkap. Perikanan tangkap menghasilkan nilai sebesar Rp , atau sekitar 83 persen dari total nilai produksi perikanan Kota Padang secara keseluruhan (DKP Sumbar, 2011). Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna. Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang. Jenis tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares). Spesies yang menjadi sumberdaya ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika ini merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp (tahun 2010) atau sekitar 24 persen dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan. Pada sisi yang lain, Kota Padang termasuk dalam kawasan rawan bencana gempa dan tsunami, selain gempa dan tsunami masih terdapat potensi bencana pesisir lain di wilayah ini yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pengembangan sumberdaya perikanan. Kota Padang merupakan wilayah dengan karakteristik perikanan yang kompleks, pada satu sisi mempunyai potensi perikanan laut yang potensial dan di sisi lain dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana. Karakteristik ini menuntut suatu kebijakan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam hal pengembangan sumberdaya perikanan baik oleh faktor internal maupun eksternal. Potensi perikanan mendorong pengembangan ekonomi, sementara potensi bencana menuntut adanya tindakan mitigasi. Aktifitas pengembangan dan mitigasi ini membutuhkan investasi, sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang, menganalisis potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi, menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi dalam rangka pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang, menganalisis pengembangan perikanan dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang, menganalisis bentuk kelembagaan terkait pengembangan sumberdaya perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang serta merumuskan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus dan menggunakan metode pengambilan contoh purposive sampling. Tahapan analisis data pada penelitian ini yaitu menganalisis kondisi makro ekonomi dengan analisis Shift Share, Location Quotient dan Minimum Requirement Approach, menganalisis potensi sumberdaya serta pengelolaan

6 perikanan dengan bioekonomi, menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terkait pengambangan sumberdaya perikanan dengan studi literatur, analisis deskriptif dan MPE, menganalisis bentuk kelembagaan dengan analisis stakeholder dan analisis deskriptif serta analisis prioritas, strategi, rumusan arahan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dengan teknik AHP. Pada tahap analisis makro ekonomi,diperoleh gambaran bahwa perikanan merupakan sektor basis yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Kota Padang, sehingga dapat dijadikan sebagai prioritas kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Berdasarkan analisis bioekonomi, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Padang khususnya tuna masih berada di bawah titik optimalnya, pada penelitian ini juga diperoleh hasil pengelolaan yang optimal adalah menggunakan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner dengan discount rate sebesar 16% yaitu dengan meningkatkan effort sebesar 133 trip dan produksi sebesar 418,53 ton. Analisis ini juga menyimpulkan perlu adanya penambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit.hasil analisis MPE mengungkapkan potensi bencana terbesar di Padang yang berdampak kuat terhadap perikanan adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut. Arahan prioritas bentuk mitigasi adalah (1) Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan, (2) Penyediaan sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, dan (3) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut yang terdiri atas penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. berupa penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. Hasil analisis kelayakan investasi pada pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana, nilai NPV sebesar Rp , nilai B/C 2,40 dan IRR sebesar 54,73%. Hasil kelayakan investasi ini menyimpulkan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan prasarana dan sarana mitigasi layak dan menguntungkan, sehingga program ini memiliki prospek untuk dikembangkan. Stakeholder yang memberi pengaruh dan terkait dalam kebijakan ini adalah KKP, DKP dan Pemerintah Daerah Kota Padang. Analisis AHP menghasilkan kesimpulan bahwa perikanan merupakan sektor prioritas yang potensial dikembangkan pada bidang kelautan Kota Padang. Analisis ini juga menguraikan bahwa prioritas kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang adalah penyediaan prasarana dan sarana perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan nilai 0,203. Hasil dari serangkaian analisis menyimpulkan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Kota Padang yaitu optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder untuk mencapai kesejahteraan. Kata Kunci : ikan tuna, longline, analisis kebijakan, sumberdaya perikanan, bioekonomi, keberlanjutan, mitigasi bencana, Kota Padang, Sumatera Barat

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Diniah, M.Si

10 Judul Tesis : Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Di Padang, Sumatera Barat Nama : Tomi Ramadona NRP : H Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. Ketua Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr, Tanggal Ujian : 30 November 2012 Tanggal Lulus :

11 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis aturkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat. Sebagian isi dari karya ilmiah ini sedang menunggu penerbitan di Jurnal Kebijakan dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan BBPSEKP KKP RI Volume 2 Tahun Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof.Dr. Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS dan Dr.Ir.Achmad Fahrudin,M.Si yang telah membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menempuh studi di institusi ini. Penulis juga menyampaikan apresiasi kepada Prof.Dr.Ir.Ahmad Fauzi,M.Sc, Prof.Dr.Ir.Marimin,M.Sc, Dr.Ir.Sugeng Budiharsono, Dr.Ir.Luky Adrianto,M.Sc, Dr.Ir.Aceng Hidayat,MT, Dr.Ir.Luki Abdullah,M.Sc, Dr.Ir.Diniah,M.Si, Ir.Sobari,M.Si, Yudi Wahyudin,M.Si, Kastana Sapanli,M.Si serta kepada guru-guru penulis lainnya yang telah memberikan masukan, arahan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala PPS Bungus beserta staf, LPSDKP, DKP Padang,DKP Sumbar, BPSPL, Bappeda Padang, BPS Sumbar dan BPS Pusat, BPBD Padang, segenap tenaga pengajar dan pegawai Program Studi ESK dan Dept. ESL IPB, Keluarga Besar Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Riau, Rekan-rekan ESK 2010 dan SPs IPB, UR, UPI, Undip, Unand, dan UBH serta semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam berbagai hal. Penulis menyampaikan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Ibunda, Ayahanda, Adinda serta seluruh keluarga besar atas doa, pengorbanan, pengertian dan dukungan yang tidak ternilai selama ini. Kepada keluarga di Bekasi, Vitcom, IKMP Palito dan pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, civitas akademika, peneliti, pemerintah dan semua pihak yang terkait, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan serta pengembangan ekonomi sumberdaya kelautan yang dapat mensejahterakan masyarakat. Penulis

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pulutan, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat pada 11 Mei 1987, sebagai putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Eldanetri dan Ilham Asmaradan. Tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 1 Harau Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Riau melalui jalur PBUD pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan melalui institusi ini pada tahun Bulan September 2009 sampai Juni 2010 penulis bekerja di PTC-SIT Fajar Hidayah sebagai tenaga pengajar. Penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada tahun 2010 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Selama mengikuti perkuliahan, penulis diamanahkan sebagai koordinator tingkat mahasiswa Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Selama perkuliahan ini penulis juga beraktifitas sebagai staf pengajar pada lembaga pelatihan komputer Vitcom Bogor.

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xxiii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xxvii xxix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor Karakteristik Perikanan Laut Sumberdaya Perikanan Tuna Tuna Longline Pengembangan Sumberdaya Perikanan Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Laut Mitigasi Bencana Kelayakan Investasi Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat Analisis kebijakan Kebijakan Kelautan dan Perikanan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana Studi Terdahulu III. KERANGKA PEMIKIRAN IV. METODE PENELITIAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengambilan Contoh Metode Analisis Data Analisis Shift Share (SS) Analisis Location Quotient (LQ) Analisis Minimum Requirement Approach (MRA) Analisis Bioekonomi... 42

14 Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Analisis Kelayakan Investasi Net Present Value (NPV) Benefit Cost (B/C) Internal Rate of Return (IRR) Analisis Kelembagaan Analisis Deskriptif Analisis Proses Berjenjang (AHP) Batasan Penelitian V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Kondisi Fisik Dasar dan Kebencanaan Topografi Oseanografi Hidrologi Klimatologi Geologi Litologi Geomorfologi Kondisi Kependudukan Jumlah dan Perkembangan Penduduk Komposisi Penduduk Ketenagakerjaan Tingkat Kesejahteraan Penduduk Kondisi Sosial Budaya Kondisi Perekonomian Potensi Perikanan dan Kelautan Potensi dan Karakteristik Subsektor Perikanan Potensi dan Karakteristik Bidang Kelautan Prasarana Pendukung VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan Analisis Kontribusi Analisis Basis Ekonomi Analisis Makro Perikanan antar Wilayah Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Estimasi Parameter Biologi Estimasi Parameter Ekonomi Estimasi Produksi Lestari Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Analisis Optimasi Dinamik Analisis Kebencanaan Analisis Potensi Bencana Gempa Bumi Tsunami

15 Angin Kencang/Badai Intrusi Air Laut Gelombang Laut Banjir Gerakan Tanah Analisis Mitigasi Bencana Mitigasi Bencana Prioritas Bentuk Mitigasi Mitigasi Bencana untuk Pengembangan Perikanan Tuna Longline Analisis Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline dan Kelayakan Investasi Berperspektif Mitigasi Bencana Perencanaan Pengembangan Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Analisis Kelembagaan Kelembagaan Usaha Perikanan Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana Analisis Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan Berperspektif Mitigasi Bencana Analisis Kebijakan Analisis Kebijakan Pengembangan Sektor Prioritas Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Implikasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan Sumber Data Parameter Bioekonomi dan Sumber Data Matrik Metode Perbandingan Eksponensial Administrasi Wilayah Kota Padang Nama Kecamatan dan Kelurahan Pesisir di Kota Padang Klasifikasi Kemiringan Wilayah Kota Padang Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Kota Padang Klasifikasi Ketinggian Wilayah Kota Padang Karakteristik Pulau-Pulau di Wilayah Kota Padang Karakteristik Pantai di Kota Padang Jenis Batuan dan Daya Dukungnya Sebaran dan Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1999 dan Tahun Persentase Penduduk 5 Tahun Keatas menurut Tingkat Pendidikan di Kota Padang Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Jenis Kegiatan dan Jenis Kelamin Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha di Kota Padang Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kota Padang Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang Perkembangan Laju Inflasi di Kota Padang Nilai Produksi menurut Jenis Usaha Perikanan di Sumatera Barat Potensi Perikanan Tangkap laut Potensi Budidaya laut... 86

17 22. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir di Kota Padang Jumlah Nelayan Laut menurut Kecamatan Jumlah Perahu dan Kapal menurut Kecamatan Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan Perhitungan LQ Subsektor Perikanan Kota Padang Share Tenaga Kerja Subsektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun Perhitungan MRA Subsektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji Statistik pada Sumberdaya Ikan Tuna Keluaran Regresi Model CYP Parameter Biologi Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan Tuna Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP pada Pengelolaan Sumberdaya Tuna Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE Kejadian Tsunami di Sumatera Barat Bahaya Tsunami Kota Padang Nilai Total Alternatif Prioritas Mitigasi Analisis MPE Investasi Tuna Longliner

18 44. Biaya Operasional Per-trip Tuna Longline Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit Longline) Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun Biaya Perawatan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan Total Biaya/Outflow Asumsi Penerimaan Perikanan Tuna Longline Nilai NPV, B/C dan IRR Analisis Stakeholder Pengembangan Sumberdaya Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang Rangkuman Hasil Analisis Penelitian Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Tuna Mata Besar (Bigeye) Konstruksi Armada Tuna Longline Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001) Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001) Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka Operasional Penelitian Sebagian Bentuk Topografi Kota Padang Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang Peta Kecamatan Pesisir Kota Padang Perkembangan Produksi dan Nilai Perikanan Kota Padang Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate Kurva Pengelolaan Optimal (i=16%)

20 23. Potensi Bencana Pesisir Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Di Kota Padang Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang Peta Prakiraan Tinggi Gelombang Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang Peta Risiko Bencana Longsor Kota Padang Peta Risiko Bencana Abrasi Kota Padang Prioritas Bentuk Mitigasi Bencana Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang Diagram Hierarki Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengelolaan Perikanan Diagram Hierarki Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengelolaan Perikanan Diagram Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Kesimpulan Komprehensif Penelitian Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera Barat

21 1 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar Responden Primer Peta Administrasi Kota Padang Peta Topografi Kota Padang Peta Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang Peta Hidrologi dan Tata Air Kota Padang Peta Geologi Kota Padang PDRB Kota Padang Atas Dasar Harga Konstan PDRB Provinsi Sumatera Barat atas Dasar Harga Konstan Kondisi dan Potensi Pemanfaatan Ruang Pesisir Kota Padang Fasilitas Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus Perhitungan LQ Antar Sektor di Kota Padang Perhitungan Effort dan CPUE Analisis Bioekonomi Hasil Estimasi Harga Sumberdaya Ikan Tuna dengan IHK Tahun Dasar Perhitungan Parameter Biologi Ikan Tuna Hasil Regresi Perhitungan Bioekonomi dengan Aplikasi Maple Cashflow Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Prosedur Perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP prioritas Pengembangan Bidang Kelautan Kota Padang Prosedur perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan Berperspektif Mitigasi Bencana

22 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari pulau, serta garis pantai terpanjang ke-empat di dunia yaitu km (World Resources Institute, 2001). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia memiliki wilayah perairan pedalaman dan kepulauan seluas 2,3 juta km 2, laut territorial seluas 0,8 km 2 dan Zona Ekonomi Ekslusif seluas 2,7 juta km 2. Sebagai bagian dari potensi bidang kelautan, sektor perikanan memberikan kontribusi yang penting bagi perekonomian Indonesia, yaitu penghasil protein, tenaga kerja dan pendapatan (Kusumastanto and Jolly, 1997). Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Fakta ini membuat Indonesia sangat berpotensi dilanda gempa bumi dan tsunami. Kondisi ini juga diperparah dengan posisi Indonesia yang berada di jalur cincin api pasifik yang terkenal sebagai jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia. Tidak kurang dari 240 buah gunung berapi berada di Indonesia dimana 70 diantaranya dikategorikan aktif (Budiman, 2010). Wilayah pesisir Sumatera bagian barat merupakan daerah rawan gempa bumi yang mempunyai titik-titik gempa berada di dasar laut. Kondisi ini dapat mengakibatkan patahan yang akan menimbulkan gelombang yang sangat besar. Kota Padang termasuk dalam kawasan yang rawan dilanda bencana gempa dan tsunami yang pada dasarnya adalah kawasan pantai. Selain gempa dan tsunami masih terdapat potensi bencana pesisir lain di wilayah ini, dimana secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pengembangan sumberdaya perikanan. Kota Padang terletak di kawasan pesisir pantai barat Sumatera yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia, wilayah ini memiliki perairan laut seluas 720 km² dengan panjang pantai 68,126 km. Potensi sektor perikanan tangkap merupakan lapangan usaha yang mempunyai prospek sangat bagus untuk dikembangkan, hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi yang cenderung naik. Perikanan tangkap pada tahun 2010 menghasilkan nilai sebesar Rp , atau sekitar 83 persen dari total nilai produksi perikanan Kota

23 2 Padang secara keseluruhan. Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna. Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang, jenis tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/Bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/Yellowfin (Thunus albacares). Spesies ini merupakan produk ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Padang tahun 2010, tuna merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp atau sekitar 24 persen dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan sehingga perlu diatur kebijakan yang tepat untuk pengembangan sumberdaya ini. Dalam rangka meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan pada pembangunan nasional, maka pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menggagas suatu visi dan arah kebijakan strategis yang bernama Revolusi Biru yang berbasis pada wilayah dengan konsep minapolitan. Kawasan minapolitan diartikan sebagai suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya. Sumatera Barat memiliki empat lokasi kawasan minapolitan yaitu Kota Padang untuk perikanan tangkap, Pesisir Selatan sebagai basis budidaya laut, Darmasraya untuk budidaya air tawar dan Maninjau sebagai kawasan minapolitan budidaya perairan umum. Kota Padang sebagai sentra perikanan tangkap menempatkan PPS Bungus sebagai kawasan inti minapolitan. Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley, 2007), sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai. Kajian terhadap berbagai bencana alam di Indonesia telah mengemukakan kesimpulan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan dan ketidaksiapan pemerintah serta masyarakat mengakibatkan kerugian yang sangat besar dan menghambat kegiatan ekonomi. Kondisi Kota Padang dengan potensi sumberdaya perikanan tuna yang besar,

24 3 namun dihadapkan pada permasalahan lokasi yang rawan bencana serta kebijakan pengelolaan perikanan yang diterapkan pemerintah dengan orientasi optimalisasi produksi, membutuhkan sebuah arahan kebijakan yang efektif guna mengembangkan sumberdaya perikanan tuna yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana Perumusan Masalah Kota Padang merupakan wilayah dengan karakteristik perikanan yang kompleks, pada satu sisi memiliki potensi perikanan laut yang potensial dan di sisi lain dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana. Kondisi ini menuntut suatu kebijakan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam hal pengembangan sumberdaya perikanan khususnya tuna longline, baik oleh faktor internal maupun eksternal. Potensi perikanan dapat mendorong program pengelolaan dan pengembangan, sementara potensi bencana menuntut adanya tindakan mitigasi. Aktivitas pengembangan dan mitigasi ini membutuhkan investasi, sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif dengan mempertimbangkan faktor pemerintah dan masyarakat (kelembagaan). Perumusan masalah dalam kegiatan penelitian ini terkait dengan potensi perikanan, potensi bencana alam dan upaya mitigasi, kelayakan investasi, kelembagaan serta kebijakan, yaitu: 1) Bagaimana kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang? 2) Bagaimana potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi? 3) Potensi bencana apa saja yang terdapat di pesisir serta prioritas bentuk mitigasi terkait pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang? 4) Bagaimana pengembangan perikanan tuna dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang? 5) Bagaimana bentuk kelembagaan dalam pengembangan perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang? 6) Bagaimana rumusan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang?

25 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pemaparan perumusan masalah tersebut, yaitu: 1) Menganalisis kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang. 2) Menganalisis potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi. 3) Menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terhadap pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang. 4) Menganalisis pengembangan perikanan tuna dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. 5) Menganalisis bentuk kelembagaan terkait pengembangan sumberdaya perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. 6) Merumuskan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kota Padang beserta institusi terkait dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan di daerah tersebut. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pengembangan sumberdaya perikanan dan penanggulangan bencana, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan serta pengembangan ekonomi sumberdaya kelautan yang dapat mensejahterakan masyarakat Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji bentuk pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan tuna yang ditangkap dengan tuna longline dan beroperasi pada sebagian Perairan Samudera Hindia (WPP 572). Hasil tangkapan ikan tuna tersebut sebagian besar didaratkan di Padang, Provinsi Sumatera Barat. Objek yang diteliti adalah perikanan tuna (tuna sirip kuning dan mata besar) dengan alat tangkap jenis tuna longline. Data yang digunakan merupakan data time series tahun Mitigasi bencana pada penelitian ini pada penyediaan prasarana

26 5 mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi bagi armada penangkapan. Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus dan menggunakan metode pengambilan contoh purposive sampling. Beberapa alat analisis yang digunakan yaitu; menganalisis kondisi ekonomi makro dengan analisis Shift Share, Location Quotient dan Minimum Requirement Approach, menganalisis potensi sumberdaya serta pengelolaan perikanan dengan metode analisis bioekonomi, menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terhadap sumberdaya perikanan dengan studi literatur, analisis deskriptif dan Metode Perbandingan Eksponensial, menganalisis pengembangan perikanan dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana dengan analisis NPV, B/C dan IRR, mengidentifikasi bentuk kelembagaan dengan analisis stakeholder dan deskriptif, serta merumuskan arahan kebijakaan dengan teknik AHP dan deskriptif.

27 6 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor Teori basis ekonomi memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basislah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Tarigan, 2005). Teori basis ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dapat memberikan peramalan jangka pendek pertumbuhan suatu wilayah (Glasson, 1990). Sjafrizal (2008) menyatakan bahwa sektor basis merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Sektor non basis menurut sjafrizal merupakan sektor-sektor selain sektor basis yang kurang potensial, tetapi sektor ini berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau disebut juga service basis atau service industries. Sektor non basis kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (daerah setempat) serta permintaannya dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat setempat. Sektor basic terdiri dari usaha-usaha lokal yang aktivitasnya bergantung pada faktor-faktor eksternal. Kehidupan usaha sektor ini banyak tergantung dari usaha-usaha nonlokal. Perikanan misalnya dapat dikategorikan sebagai sektor basic karena sebagian besar produk ini dikonsumsi di luar misalnya untuk restoran, pabrik pengalengan dan berbagai industri lainnya yang berada di wilayah lain. Sektor non basic di sisi lain, terdiri dari usaha-usaha yang secara keseluruhan tergantung dari kondisi usaha lokal, misalnya usaha warung makan yang menjual makanannya pada konsumen lokal sehingga produknya sebagian besar dikonsumsi lokal (Fauzi, 2010).

28 7 Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Menurut Stevens dan Moore (1980), Keunggulan analisis shift share antara lain; (1). Memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. (2). Memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat. (3). Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat. Location Quotient (LQ) merupakan indeks yang membandingkan sumbangan dalam persen aktivitas tertentu dengan sumbangannya dalam persen beberapa agregasi dasar. Pada tahap awal LQ dapat sangat bermanfaat bagi analisis ekspor dan impor regional. Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu sektor ekonomi termasuk dalam sektor basis atau sektor non basis di suatu daerah dalam periode tertentu. Sektor basis dikatakan telah mampu berswasembada di wilayahnya dan dapat mengirim atau menyumbangkan sebagian produksinya ke wilayah lain, sedangkan kebalikannya termasuk dalam sektor non basis (Tarigan, 2005). Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi perikanan adalah melalui pendekatan Minimum Requirement Approach atau MRA. Meskipun penggunaan MRA biasanya digunakan untuk menggambarkan ekonomi wilayah secara keseluruhan, pendekatan ini dapat juga digunakan untuk melihat potret spesifik sektor perikanan relatif terhadap sektor ekonomi lainnya dalam suatu wilayah. Pendekatan ini pertama kali dikenalkan oleh Ullman dan Dacey pada tahun 1960 yang kemudian masih banyak digunakan untuk melihat keragaman ekonomi sektoral di suatu wilayah sampai saat ini. Minimum Requirement Approach mengasumsikan bahwa suatu wilayah tidak akan memenuhi permintaan dari luar sampai kebutuhan wilayahnya dipenuhi terlebih dahulu. Minimum Requirement Approach membutuhkan pendugaan variable yang dianalisis terlebih dahulu (produksi, tenaga kerja, atau yang lainnya) untuk kebutuhan lokal (Fauzi, 2010).

29 Karakteristik Perikanan Laut Pada pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap, terdapat hal yang paling kritis karena sumberdaya perikanan adalah barang publik (public goods), yaitu rezim kepemilikan yang bersifat common property (kepemilikan bersama) dan rezim akses yang bersifat open access (siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa izin dari siapapun). Setiap orang tidak dapat dibatasi dalam penggunaan manfaat yang diberikan barang publik dan tidak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, sehingga eksploitasi atau pemanfaatan terus berjalan tanpa pemeliharaan (Zulbainarni, 2012). Pemanfaatan sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya pengelolaan yang seksama agar produksi optimum dapat terjaga. Perikanan tangkap di Indonesia berdasarkan lokasi pemanfaatannya, diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (overfishing) dan degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan (Dahuri et.al., 2001). Komoditi unggulan perikanan tangkap berasal dari habitat tertentu, bisa dari wilayah yang luas bisa juga merupakan wilayah yang sempit. Masing-masing wilayah mempunyai karakteristik sendiri. Jenis ikan karang tentunya hidup di perairan karang, ikan pelagis di perairan permukaan dan ikan demersal cenderung hidup di dasar perairan. Beberapa jenis ikan ada yang beruaya sangat jauh, khususnya ikan oseanis yang hidupnya lebih banyak di perairan samudera (Diniah, 2008). Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (2001) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,41 juta ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis 4,77 juta ton, ikan demersal

30 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Tahun 2011, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2010 adalah sebesar ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 78.62%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan berada di Samudera Hindia. Komoditas perikanan tangkap unggulan Sumatera Barat adalah tuna Sumberdaya Perikanan Tuna Sumberdaya tuna merupakan salah satu dari beberapa sumberdaya potensial yang sudah terbukti besar sumbangannya bagi perekonomian perikanan nasional. Produksi tuna di perairan Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar ton yang terdiri dari Tunas, Skipjack tunas dan Eastern little tunas, walaupun secara nasional pemanfaatannya tidak merata diseluruh perairan Indonesia (KKP, 2011). Sumberdaya tuna menyebar di perairan Indonesia dari barat hingga ke timur dan lebih banyak menyebar diperairan bebas. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan tradisional yang turut memanfaatkan sumberdaya ini. Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang besar. Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, memiliki ciri fisik yaitu; tubuh seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar (yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna (tuna-like species), yaitu marlin, sailfish dan swordfish (KKP, 2005). Morfologi tuna dapat dilihat pada Gambar 3 (tuna sirip kuning) dan Gambar 4 (tuna mata besar).

31 10 Klasifikasi ikan tuna (Serdy 2004 dan FAO 2012) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Famili : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Albacore tuna (Thunnus alalunga) Bluefin tuna (Thunnus thynnus) Bigeye tuna (Thunnus obesus) Skipjack tuna(katsuwonus pelamis) Yellowfin tuna (Thunnus albacares) Blackfin tuna (Thunnus atlanticus) Little tuna (Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis) Southern bluefin tuna(thunnus maccoyii) Frigate mackerel (Auxis thazard; Auxis rochei) Tuna merupakan jenis pelagic yang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan sub-tropis. Di Samudera Hindia dan Samudera Atantik, tuna menyebar diantara 40 LU dan 40 LS (Collete dan Naven 1983 diacu dalam Julianingsih 2004). Tuna merupakan jenis ikan pelagis besar yang memiliki kekhasan sebagai perenang cepat dan peruaya jauh. Bentuknya menyerupai cerutu dan memanjang. Ikan tuna tergolong jenis ikan yang aktif dan umumnya menyebar di perairan oceanik hingga perairan dekat pantai. Pada kawasan perairan Samudera Hindia bagian barat Sumatera, jenis tuna besar yang ada hanya tiga jenis yaitu; madidihang (Yellowfin tuna), tuna mata besar (Bigeye tuna) dan albakora (Albacore), sementara tuna jenis sirip biru selatan, ekor panjang, sirip biru utara dan sirip hitam tidak dijumpai (Uktolseja et al., 1998). Kota Padang merupakan penghasil tuna jenis yellowfin (Gambar 3) dan bigeye (Gambar 4). Wilayah penyebaran tuna ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

32 11 Gambar 1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : Barto dalam FAO (2012) Gambar 2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : Barto dalam FAO (2012) Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata

33 12 besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003). Gambar 3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : WWF Indonesia, 2011 Gambar 4. Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : WWF Indonesia, 2011 Pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) dapat mencakup seleksi penggunaan teknologi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1998) dapat dilakukan melalui pengkajian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Teknologi yang dikembangkan ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya dan dapat digunakan secara efektif dari segi teknis, dapat diterima masyarakat dari segi sosial serta secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan.aspek lain yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakan pemerintah. Pada penelitian ini teknologi pengembangan perikanan tuna mencakup teknologi prasarana dan sarana perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana.

34 Tuna Longline Ikan tuna di PPS Bungus Padang ditangkap menggunakan armada tuna longline. Novita dalam Kosasih (2007) mengatakan bahwa konstruksi kapal ikan harus sekuat mungkin, tetapi tubuhnya tidak terlalu berat, karena perlu olah gerak selincah mungkin serta tahan terhadap gelombang. Seperti halnya setiap kapal ikan, kapal tuna longline dibangun dengan konstruksi yang disesuaikan dengan bentuk, cara penggunaan alat tangkap dan daerah penangkapannya. Tuna longline menggunakan pancing dengan panjang dapat mencapai km dan untaian ribuan mata pancing yang umumnya dikhususkan untuk menangkap jenis bigeye dan yellowfin. Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan jumlah dan hasil tangkapan, juga sebagai sarana untuk menunjang operasional penangkapan ikan secara efesien dan efektif, yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Ketersediaan armada penangkapan dalam ukuran tertentu akan sangat menentukan jumlah dan hasil tangkapan. Desain armada tangkap tuna longline skala 30 GT ditampilkan pada Gambar 5. Gambar 5. Konstruksi Armada Tuna Longline Sumber: LP Unpatti, 2012 Armada tangkap tuna longline secara khusus dirancang dan digunakan untuk mengoperasikan pancing (longline) yang dilengkapi dengan satu atau beberapa perlengkapan penangkapan ikan. Perlengkapan tuna longline berupa penarik/penggulung tali (linehauler), pengatur tali, pelempar tali, bangku umpan, ban berjalan, bak umpan hidup atau mati dan alat penyemprot air kapal. Armada tangkap tuna longline selain untuk penangkapan juga sekaligus menampung, menyimpan mendinginkan, dan mengangkutnya. (LP Unpatti, 2012).

35 Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tiga komponen sustainable fishery system menurut Charles (2001), yaitu natural system, management system, dan human system. Natural system terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca-panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri atas perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan serta penelitian di bidang perikanan. Hubungan antara ketiga komponen dalam keberlanjutan sistem perikanan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001)

36 15 Natural system merupakan faktor utama keberlanjutan (sustainability). Sistem alam ini tidak akan terpengaruh tanpa adanya campur tangan manusia. Oleh karenanya, peran manusia sangat penting dalam keberlanjutan. Interaksi antara ketiga komponen akan menyebabkan keseimbangan yang baru pada natural system. Pada daerah tropis, tekanan sumberdaya (natural system) lebih besar karena jumlah masing-masing spesies yang sedikit. Dalam rangka mencapai keseimbangan semua sistem, maka diperlukan pengelolaan yang terpadu oleh segenap stakeholder. Sebagaimana yang dikemukakan Aldon et al., (2011) bahwa sebuah kemitraan yang kuat dan terorganisir antara masyarakat, nelayan dan pengambil kebijakan dengan saling melengkapi satu sama lain akan mendukung faktor lingkungan (sumberdaya) Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley. 2007). Sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai, tsunami di Asia dan badai katrina hanya dua contoh terakhir. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah infrastruktur yang dibangun di wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan. Berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, defenisi wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Sedangkan defenisi perairan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai serta yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. Pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, selain kaya akan sumberdaya alam juga sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et al. 2001). Menurut Ruswandi (2009), terdapat enam elemen penyebab bencana alam di daerah pesisir yaitu; angin kencang/puting-beliung, gempa bumi, tsunami,

37 16 gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat elemen sebagai akibat bencana yaitu; abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut. Elemen potensi bencana alam yang terdapat di wilayah pesisir tersebut adalah sebagai berikut: a. Angin Kencang Angin kencang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan udara yang sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis, angin kencang berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit. Dampak angin kencang pada wilayah pesisir sulit dikurangi sekalipun dengan populasi mangrove yang padat,hal ini disebabkan arah datangnya angin tersebut berasal dari atas (Fritz dan Blount, 2006). b. Gelombang Laut Gelombang badai pasang (storm tide) adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras (BNPB, 2009). Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara garis besar dikelompokkan dalam tiga jenis (Macmillan, 1966; Mihardja dalam Latief, 2008), yaitu: Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan oleh angin. Gelombang pasang surut atau gelombang pasang (tidal wave) sering disebut pasang surut (tide) disingkat pasut yang terlihat secara kasat mata sebagai pasang naik (flood tide) dan pasang surut (ebb tide). Keadaan pasang surut ini di laut sangat ditentukan oleh posisi bumi bulan matahari. Pada waktu bulan purnama dimana posisi bumi bulan matahari dalam satu garis lurus, maka muka laut saat pasang sangat tinggi dan sewaktu surut sangat rendah.

38 17 Bila posisi bumi bulan matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah. Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik (landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosfer yang dingin dan basah, sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer. Jika gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih dahsyat. c. Tsunami Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut (BNPB, 2009). Adapun pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar. Berdasarkan jarak bangkitnya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km yang terjadi kurang dari 30 menit, tsunami jarak menengah sejauh km (terjadi 30 menit 2 jam setelah gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km yang terjadi lebih dari 2 jam setelah gempa (Diposaptono dan Budiman, 2006). Menurut Sonak, Pangam and Giriyan (2008), tsunami adalah fenomena yang sangat tak terduga dan negara-negara yang terkena dampak di wilayah ini sama sekali tidak siap untuk menghadapi peristiwa bencana semacam ini. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami berdampak sangat parah bagi manusia dan alam. Oleh karena itu, mitigasi bencana menjadi solusi dalam mengurangi dampak bencana yang terjadi.

39 18 d. Abrasi Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi (BNPB, 2009). e. Erosi Erosi terdiri atas tiga jenis yaitu; erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada tebing sungai-sungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008). f. Longsor Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau bebatuan, ataupun pencampuran keduanya menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2009). Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan, maka kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/ perosokan (settlement/land subsidence). g. Gempa Bumi Menurut BNPB (2009), gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi yang diakibatkan oleh pergeseran/pergerakan pada bagian dalam bumi (kerak bumi) secara tiba-tiba. Tipe gempa yang umum ada dua, yaitu gempa tektonik dan gempa vulkanik. Dampak dari gempa bumi pada banyak kasus menimbulkan kerugian harta benda bahkan korban jiwa. h. Banjir Banjir merupakan limpasan air yang melebihi tinggi muka air normal, sehingga melimpas dari palung sungai yang menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di sisi sungai. Pada umumnya banjir terjadi akibat curah hujan yang tinggi di atas normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan

40 19 anak sungai alamiah serta sistem drainase dangkal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu akumulasi air hujan tersebut sehingga akibatnya meluap (BNPB, 2009). i. Akresi Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal tangkapan air dan sekitar bendungan (Ruswandi 2009). j. Intrusi Air Laut Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap (Ruswandi 2009) Mitigasi Bencana Alam Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Regulasi terkait penanggulangan bencana alam di Indonesia terdapat pada pasal 1 ayat 5 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Undang-undang ini menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Mitigasi bencana

41 20 sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU Nomor 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana. Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural), kategori mitigasi ini antara lain : Mitigasi Pasif (Non Struktural) - Penyusunan peraturan perundang-undangan. - Pembuatan pedoman/standar/prosedur. - Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah. - Pembuatan brosur/poster. - Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan). - Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana - Internalisasi Penanggulangan Bencana (PB) dalam muatan lokal pendidikan. - Pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit sosial masyarakat. - Pengutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi. Mitigasi Aktif (Struktural) - Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya. - Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman. - Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi. - Pembuatan bangunan struktur seperti: pengaman lereng (slope protection/seawalls), pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne), dan pengaman gisik (beach protective). Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), upaya mitigasi bencana secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya struktur/fisik (hard/soft solution) yang sering disebut hardware dan upaya non struktur/non fisik yang disebut juga dengan software.

42 21 Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua metode, yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sanddune, pengisian gisik (beach nourishment) dan lainnya, serta metode perlindungan buatan seperti peredam abrasi (bank revetment), pemecah ombak (breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dan lainlain. Upaya non struktur yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait, norma standar prosedur manual (NSPM) dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2009). Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Mengurangi jumlah bencana adalah suatu hal yang tidak akan mungkin terjadi, tetapi mengurangi risiko bencana yang terjadi merupakan suatu keharusan. Langkah penting yang harus segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat-Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005, menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana (three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu: Menyediakan informasi bahaya/bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan. Memahami proses alamiah gejala/tanda bahaya.

43 22 Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai hurikane, gunung api, longsor dan amblesan Kelayakan Investasi Studi kelayakan investasi menurut Husnan dan Suwarsono (1997) adalah penelitian tentang dapat tidaknya usaha investasi dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sebuah studi kelayakan dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan mengenai peluang usaha cukup ekonomis dan menjanjikan keuntungan yang layak apabila dilaksanakan. Semakin sederhana usaha yang akan dilaksanakan, maka semakin sederhana pula lingkup penelitian yang akan dilakukan. Pada tahapan studi kelayakan perlu diperhatikan ruang lingkup kegiatan usaha, cara kegiatan usaha dilakukan, evaluasi terhadap aspek-aspek yang menentukan berhasilnya seluruh usaha, sarana yang diperlukan serta hasil kegiatan usaha tersebut. Jika dipandang dari sudut perusahaan saja, minimal ada tiga penyebab mengapa kegiatan studi kelayakan investasi yang dilaksanakan menjadi faktor pertimbangan yang cukup penting dalam pengambilan keputusan (Anggoro, 2004), yaitu: Investasi umumnya menyangkut pengeluaran modal yang besar. Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Salah satu contoh yang mudah dilihat adalah apabila sebagian besar modal investasi didapatkan dari pinjaman bank konvensional, maka pihak pengusaha harus tetap mengembalikan modal yang dipinjam berikut bunganya baik itu investasi sukses maupun tidak. Komitmen pengeluaran modal adalah keputusan yang sulit untuk diubah, karena jika dipertengahan dirasa usaha tidak akan berjalan lancar maka modal yang telah ditanamkan sulit ditarik kembali. Studi kelayakan investasi tujuannya adalah agar modal yang ditanamkan dapat dimanfaatkan dan menghindari penanaman modal yang terlalu besar untuk bagian yang ternyata tidak menguntungkan. Studi kelayakan proyek memerlukan biaya, tetapi biaya yang dibutuhkan relatif lebih kecil apabila dibandingkan

44 23 dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah yang besar (Anggoro, 2004). Tahapan dalam melakukan proyek investasi umumnya adalah identifikasi untuk memperkirakan kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut, perumusan untuk menerjemahkan kesempatan investasi kedalam suatu rencana proyek yang konkret, penilaian untuk menganalisis dan menilai aspek pasar, teknik, keuangan dan perekonomian, pemilihan untuk mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang akan dicapai serta tahap implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang pada anggaran. Langkah awal sebelum melakukan studi kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek -aspek yang akan dipelajari yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek hukum, aspek manajerial, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta aspek finansial (Kadariah et al., 1999) Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002). Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa kelembagaan adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal. Menurut Jentoft (2004) kelembagaan memiliki peran yang penting bagi sektor perikanan, baik bagi sumberdaya ikan itu sendiri ataupun untuk kelangsungan hidup nelayan. Perikanan, seperti praktek sosial-ekonomi, tidak bisa ada tanpa mereka, pengguna (user) tidak akan tahu bagaimana harus bersikap. Kelembagaan memungkinkan orang di industri untuk melakukan apapun tugas

45 24 mereka, baik itu pengolahan ikan, pemasaran ataupun konsumsi. Kelembagaan juga sangat diperlukan ketika mengorganisir, mengkomunikasikan, mewakili, negosiasi, pengelolaan, pengaturan ataupun dalam melakukan suatu penelitian. Menurut Nikijuluw (2002) ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan, (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata analisa digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak awal penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai (Quandun dalam Dunn, 2003). Dunn (2003) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada. Ruang lingkup dan metodemetode analisis sebagian bersifat deskriptif, dan informasi/fakta mengenai sebab akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan. Menurut Parsons (1994), analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan, pengetahuan untuk

46 25 (for) proses kebijakan, dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, serta analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan dan advokasi terhadap kebijakan. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester dalam Dunn (2003), bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu setiap alternatif yang akan menjadi prioritas dalam pengembilan kebijakan. Dalam rangka merumuskan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan, harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomibudaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani, 2000) Kebijakan Kelautan dan Perikanan Dalam rangka merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, maka kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri melainkan merupakan paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan

47 26 yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu; Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi aset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Menurut Kusumastanto (2003), agar bidang kelautan menjadi sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi payung dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan kebijakan ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua lembaga dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung-jawab bersama. Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sekarang mengalami perubahan nomenklatur menjadi kementerian melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Keputusan politik ini diharapkan tidak hanya sampai pada pembentukan kementerian saja, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara dalam menjadikan bidang kelautan sebagai mainstream pembangunan bangsa (Kusumastanto, 2003). Otonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan

48 27 mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir. Daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama pesisir dan kelautan seharusnya memiliki kesempatan dalam memanfaatkan seoptimal mungkin potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi adalah akan berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social welfare) (Kusumastanto 2003). Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi dan di sisi lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainaibility) sehingga akan mencapai kesejateraan. Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik sebab bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai tujuan, holistik karena konteks ini melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta stakeholder dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi (Ruswandi, 2009).

49 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU Nomor 23, tahun 1997). Melalui definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi keberlanjutan (Triple-P), yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain sehingga ketiganya harus diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Segitiga pembangunan berkelanjutan ditampilkan pada Gambar 7. Ecological Sustainability Institutional Sustainability Socioeconomic Sustainability Community Sustainability Gambar 7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001) Gambar 7 menunjukkan segitiga pembangunan yang membentuk dasar kerangka kerja untuk evaluasi keberlanjutan berdasarkan pada tiga komponen penting yaitu ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi dan sosial/masyarakat.

50 29 Komponen keempat yaitu keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan dan mendasari kegiatan dari tiga komponen lainnya (Charles, 2001). Semakin terkonsentrasinya sebagian besar kegiatan masyarakat di pesisir, hilangnya hutan mangrove, hancurnya terumbu karang, meningkatnya penambangan pasir pantai dan semakin banyaknya industri membuang limbahnya ke wilayah pesisir, maka sudah sewajarnyalah jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim, 1980). Konsep ini sebagaimana juga dijelaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PBBL) adalah konsep untuk mengelola pengembangan wilayah pesisir agar lebih tertata dan tidak bertambah kacau dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (Peng et al. 2006). Sementara itu, Pengembangan Wilayah Pesisir (PWP) adalah pendekatan pengelolaan wilayah dengan ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis dan memiliki kerentanan tinggi, karena memiliki kekayaan sumberdaya alam yang multiple use dan berpotensi menimbulkan konflik serta masih berlakunya penguasaan ruang terbuka oleh kelompok tertentu. Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (PMB) atau the sustainable livelihood approach (SLA) sebagai suatu integrasi kerangka kerja konseptual dengan prinsip operasional untuk menyiapkan pedoman formulasi kebijakan dan praktek pembangunan, sudah banyak diterapkan dalam penelitian pengembangan wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah dilaksanakan di 25 negara pesisir Benua Afrika bagian barat telah berhasil menyusun kebijakan inisiatif pengurangan kemiskinan (poverty reduction iniative policy), dan mengidentifikasi bahwa kemiskinan secara tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources).

51 Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiap-siagaan (Carter, 1991). Mitigasi bencana dalam pengembangan perikanan adalah upaya pengurangan risiko bencana yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir terhadap pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan. Pemanfaatan sumberdaya yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas tidak terlampaui sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh karena itu laju pemanfaatannya tidak lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi (profit) saja, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial (people) dan ekologi (planet) sehingga terjadi keseimbangan, karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi kualitas lingkungan. Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan dan berpedoman pada ketiga aspek tersebut, yakni pengembangan sumberdaya perikanan, aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana. Kajian ini diharapkan dapat menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan perikanan di pesisir saat ini, sehingga dapat diterapkan di pesisir Indonesia yang wilayahnya merupakan rawan bencana. Selain itu dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan diperlukan pendekatan berbasis ekosistem dimana konsep ini sangat penting dalam kegiatan eksploitasi spesies dan keberlanjutan jangka panjang (Haputhantri, Villanueva and Moreau, 2008) Studi Terdahulu Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: Muzakkir (2008) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, menjelaskan bahwa rekmendasi kebijakan yang tepat agar tercapainya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal dan berkelanjutan serta mampu memberi nilai manfaat terhadap kesejahteraan nelayan adalah dengan membuat kebijakan tingkat upaya (effort)

52 31 penangkapan ikan pada level optimal. Bentuk kebijakan yang dapat diambil antaranya adalah; (a) menunda penerbitan izin baru penambahan armada tangkap kecuali payang masih dapat ditambah untuk 2 unit lagi, (b) mendorong investasi pada industri perikanan tangkap skala menengah ke atas untuk beroperasi di zona lepas pantai dan ZEEI. Selain itu pemerintah (policy maker) juga membuat kebijakan pengelolaan perikanan tangkap terutama dalam hal zonasi pemanfaatan dan alokasi optimum pemanfaatan sumberdaya perikanan bagan, payang dan tonda di Perairan Tanjung Mutiara. Luthfi (2005) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Strategi pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) yang berbasis di Kota Padang: implikasi pembangunan Bandar Udara Internasional Minangkabau menjelaskan bahwa PPS Bungus dan Bandar Udara Internasional Minangkabau sudah siap untuk mendukung pengembangan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang. Hal ini diindikasikan dengan telah tersedianya fasilitas yang lengkap di PPS Bungus serta telah tersedianya gedung untuk proses pengolahan dan pengepakan tuna ekspor. Kesiapan Bandar Udara Internasional Minangkabau dalam mendukung pengembangan tuna ekspor adalah dapat melayani penerbangan langsung ke negara tujuan ekspor dengan pesawat terbang berbadan lebar dan pesawat khusus kargo serta tersedianya fasilitas cold storage di terminal kargo dengan kapasitas 300 ton. Dalam rangka merumuskan strategi pengembangan tuna (Thunnus sp) ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai aset daerah yang dapat dijadikan sektor pertumbuhan ekonomi baru dan andalan untuk peningkatan perekonomian masyarakat di Kota Padang dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT menghasilkan lima prioritas utama strategi pengembangan perikanan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai berikut; 1) peningkatan produksi hasil tangkapan tuna di kawasan perairan Sumatera Barat; 2) meningkatkan teknologi penangkapan tuna dengan modernisasi alat tangkap; 3) peningkatan kualitas SDM nelayan; 4) kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan, pengawasan dan kemudahan pemasaran untuk ekspor; 5) perluasan pangsa pasar ekspor tuna. Ruswandi (2009) dalam disertasinya yang berjudul Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam mengemukakan bahwa kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam

53 32 minyak dan gas bumi sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand). Selain itu kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk wilayah pesisir Indramayu dan Ciamis, hendaknya mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi. Ruswandi juga menyatakan Kebijakan pengembangan wilayah pesisir hendaknya sudah memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan lebih bersifat pro-aktif yang menekankan pada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan.

54 33 II. KERANGKA PEMIKIRAN Perikanan sebagai sektor yang berbasis sumberdaya, pemanfaatan dan pengembangannya tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Kota Padang dengan potensi yang dimiliki khususnya sumberdaya perikanan tuna, serta ditetapkannya sebagai kawasan inti minapolitan memiliki permasalahan dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan karena posisinya yang termasuk daerah rawan bencana. Tahapan awal dalam penelitian ini adalah melakukan identifikasi potensi dan pengelolaan sumberdaya perikanan di pesisir Kota Padang. Identifikasi ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sumberdaya perikanan. Karakteristik sumberdaya yang digambarkan mencakup tiga sistem yaitu sistem sumberdaya itu sendiri (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan (management system). Karena menurut Garcia dan Charles (2008), semua sistem perikanan merupakan bagian dari tingkatan yang lebih tinggi dari sistem alam dan manusia, dimana semuanya saling berhubungan melalui sistem air, ekonomi dan sosial/masyarakat tempat mereka ada. Dalam rangka menyusun arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap berperspektif mitigasi bencana, diperlukan gambaran kondisi makro ekonomi Kota Padang khususnya mengenai sektor perikanan. Tahapan analisis menggunakan teknik Shift Share, Location Quotient dan Minimum Requirement Approach. Selanjutnya setelah gambaran makro ekonomi diperoleh, maka dilakukan analisis bioekonomi untuk melihat potensi perikanan dan kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di Kota Padang. Analisis bioekonomi ini juga menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan terkait kelayakan investasi pengembangan perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana. Pada tahap analisis potensi bencana dan upaya mitigasi digunakan studi literatur, analisis deskriptif dan MPE. Analisis berikutnya setelah potensi pengembangan dan mitigasi diketahui adalah analisis kelayakan investasi yang digunakan untuk menilai pengembangan ekonomi perikanan tuna dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana. Dalam rangka mengkaji karakteristik kelembagaan yang terdapat pada komunitas nelayan perikanan tangkap dan

55 34 mitigasi bencana dilakukan analisis kelembagaan dengan teknik analisis stakeholder. Selanjutnya, tahapan akhir sebelum merumuskan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana adalah mengidentifikasi prioritas kebijakan dengan menggunakan AHP dan analisis deskriptif. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan dijelaskan dalam kerangka operasional penelitian pada Gambar 9. Potensi Perikanan Potensi Bencana Pengembangan Mitigasi Investasi Kebijakan Masyarakat Pemerintah Kebijakan Pengembangan perikanan dan mitigasi bencana Kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Padang Sumatera Barat Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian

56 35 Gambar 9. Kerangka Operasional Penelitian

57 36 III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Menurut Maxfield dalam Nazir (2009), penelitian studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Sementara tujuan dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Pada penelitian ini, satuan studi kasusnya adalah Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Pertimbangan dalam pemilihan PPS Bungus sebagai lokasi penelitian adalah karena PPS Bungus merupakan salah satu pusat perekonomian penting Kota Padang yang berfungsi sebagai pintu gerbang kegiatan ekspor perikanan khususnya tuna ke negara lain. PPS Bungus juga ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai sentra tuna Indonesia bagian barat. Peranan dan potensi yang dimiliki PPS Bungus ini juga dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana, sehingga memerlukan arahan kebijakan pengembangan yang komprehensif untuk dapat mensejahterakan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu Bulan April sampai Mei Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan pada penelitian Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera Barat ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pakar, nelayan/pelaku usaha serta stakeholder lain yang kemudian diformulasikan kedalam analisis kuntitatif dan kualitatif. Data sekunder

58 37 diperoleh dari beberapa instansi terkait. Adapun jenis dan sumber data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan Sumber Data No. Kegiatan Penelitian 1 Identifikasi kondisi makro subsektor perikanan 2 Analisis parameter biologi dan ekonomi sumberdaya perikanan 3 Identifikasi potensi bencana terkait pengelolaan sumberdaya perikanan 4 Identifikasi upaya mitigasi dan prioritas bentuk mitigasi terhadap pengembangan sumberdaya perikanan 5 Analisis kelayakan investasi 6 Identifikasi dan analisis bentuk kelembagaan perikanan tangkap 7 Identifikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan 8 Penyusunan arahan kebijakan Jenis Data Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Primer Sekunder Bentuk Data Laporan statistik tahunan daerah Hasil wawancara dengan nelayan Laporan statistik perikanan Hasil wawancara dengan pakar Hasil kajian kebencanaan, Laporan kronologis bencana Hasil wawancara dengan pakar Hasil kajian kebencanaan, Laporan kronologis bencana Hasil wawancara dengan nelayan Laporan statistik perikanan Hasil wawancara dengan nelayan Laporan statistik perikanan Hasil wawancara dengan pakar Laporan peraturan/ perundangan Hasil wawancara dengan pakar Laporan kronologis bencana, Laporan statistik perikanan Sumber Data BPS Sumbar BPS Pusat PPS Bungus DKP Padang DKP Sumbar LPSDKP BPBD BMKG BPSPL Padang Bappeda LPSDKP KKP BNPB PPS Bungus DKP Padang DKP Sumbar BBP Sosek KKP DKP Padang DKP Sumbar Bappeda Pemda KKP DKP Padang Bappeda DKP Padang BPBD Padang KKP Pengolahan Data Analisis LQ Analisis Bioekono mi Studi Literatur Analisis Deskriptif Analisis AHP Studi Literatur Analisis Deskriptif Analisis AHP NPV B/C IRR Analisis Kelembag aan Analisis Deskriptif Studi Literatur Analisis deskriptif Analisis AHP Instansi-instansi dalam penelusuran data sekunder antara lain; Badan Pusat Statistik Pusat dan Provinsi (BPS), Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus (PPSB), Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir Bungus (LPSDKP), Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang (BPBD), Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Padang (BPSPL), Dinas Kelautan dan Perikanan

59 38 Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat (DKP), Badan Perencanaan Daerah Kota Padang (Bappeda), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Maritim Teluk Bayur (BMKG) dan Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (BBPSEKP). Informasi yang diperoleh dalam bentuk peraturan perundangan, data statistik perikanan, data statistik ekonomi regional, kajian kebencanaan, hasil penelitian dan data perikanan lainnya. Melalui data yang ada di lapangan, diharapkan memperoleh informasi dan gambaran rinci terkait pengelolaan sumberdaya perikanan di Kota Padang Sumatera Barat. Dengan demikian, arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana dapat dianalisis melalui data tersebut. Pada tahapan analisis bioekonomi, parameter dan sumber data disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Parameter Bioekonomi dan Sumber Data No. Jenis Data Parameter Satuan Sumber 1 Primer Hasil tangkapan Ton/trip Hasil wawancara dengan Penerimaan (p) Rp/ton nelayan Biaya operasional (c) Biaya Investasi Biaya perawatan Rp/trip Rp/tahun Rp/trip 2 Sekunder Produksi (h) ton Pelabuhan Perikanan Samudera Effort (E) trip (PPS) Bungus, DKP Kota Padang, DKP Provinsi Sumatera CPUE ton/trip Barat Laju pertumbuhan (r) ton/th Koefisien daya tangkap (q) Kapasitas daya dukung (k) ton/unit ton Data untuk kebutuhan parameter bioekonomi ini diperoleh pada lokasi penelitian yang terdiri atas data primer dan sekunder.data primer diperoleh melalui wawancara dengan pemilik kapal (armada) dan nelayan tuna longline. Informasi melalui penelusuran data primer ini juga diperoleh melalui stakeholder terkait. Data sekunder diambil dari statistik Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus serta data tambahan dari DKP Provinsi Sumbar dan DKP Kota Padang. Nilai parameter yang diperoleh diharapkan mampu untuk dianalisis lebih lanjut dalam penyusunan arahan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan.

60 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Pengambilan data primer meliputi stuktur biaya dari usaha penangkapan ikan serta pola usaha perikanan dan wilayah tangkapan yang diperoleh dengan metode wawancara kepada nelayan untuk kebutuhan analisis bioekonomi. Data untuk analisis deskriptif mencakup telaah proses kebijakan, program kebijakan dan manfaatnya bagi nelayan, biaya dan hasil tangkapan sebelum dan sesudah kebijakan, serta informasi terkait bencana dan mitigasi. Pada tahap analisis AHP, data primer diperoleh melalui wawancara dengan pakar dipandu kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini berupa data urut waktu (time series) yang meliputi data produksi (landing) dan input yang digunakan (effort), harga per unit yaitu data yang diperoleh dari pengamatan pihak lain, yaitu harga ikan per kilogram per-tahun dan Indek Harga Konsumen/consumers price index (IHK), perkembangan jumlah nelayan serta armada dan alat tangkap, biaya dari masingmasing alat tangkap, serta data pendukung lainnya yang diperoleh dari PPS Bungus Kota Padang. Data lainnya dalam penelitian ini berupa data kisaran biaya dan komponen investasi terkait prioritas bentuk mitigasi bencana dan usaha tuna longline. Tahapan identifikasi kondisi bencana dibutuhkan data peta bencana, kesesuaian lahan, data mitigasi bencana serta data kebijakan atau Undang-undang terkait kebencanaan di Kota Padang yang diperoleh dari LPSDKP Bungus, BPBD Kota Padang, Bappeda Kota Padang, BMKG Maritim Teluk Bayur dan BPSPL Kota Padang. Dalam rangka mengetahui kondisi perekonomian terkait kontribusi sektor perikanan dibutuhkan data sekunder yang meliputi; perkembangan PDRB Kota Padang, perkembangan PDRB Provinsi Sumatera Barat, perkembangan tenaga kerja Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat serta data time series dari sektor perikanan selama 10 tahun terakhir. Data yang yang dikumpulkan untuk merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yaitu; masterplan program minapolitan dan program pengembangan perikanan lainnya yang ditetapkan pemerintah, unsur-unsur dan pihak terkait di dalamnya serta data-data pendukung yang diperoleh melalui BPS Provinsi Sumatera Barat dan BPS Pusat Jakarta.

61 Metode Pengambilan Contoh Metoda pengambilan contoh yang digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah purposive sampling. Pada penelitian ini, nelayan yang menjadi responden adalah kelompok nelayan yang mendaratkan ikan di PPS Bungus dengan hasil tangkapan ikan dari jenis pelagis besar yaitu tuna. Penentuan jenis spesies ini karena pertimbangan tuna merupakan komoditas unggulan dan produk ekspor Kota Padang. Selain itu ikan tuna memberikan sumbangsih terbesar bagi produksi perikanan tangkap laut Kota Padang, yakni hampir 30 persen dari total jumlah produksi (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Padang, 2011). Teknik pengambilan contoh pada nelayan tuna (longline) adalah seluruh nelayan kapal longline yang mendaratkan ikan pada waktu penelitian dijadikan sampel. Selama periode penelitian tercatat 9 kapal longline mendaratkan ikan di PPS Bungus. Jumlah responden terhitung sebanyak 9 orang yang merupakan pimpinan usaha atau kapten kapal. Informasi ditambah dari responden yang diperoleh berdasarkan data kuesioner KKP Ditjen Perikanan Tangkap PPS Bungus selama tahun 2011 sebanyak 22 armada longline (22 orang). Penentuan sampel untuk analisis AHP menggunakan teknik purposive sampling. Responden diberikan informasi yang rinci oleh peneliti dalam tahap pengumpulan data. Responden adalah orang yang memiliki kapasitas berdasarkan kepakaran terkait pengembangan perikanan Kota Padang dan mitigasi bencana di daerah ini. Metode purposive sampling ini menentukan para pakar yang dijadikan responden dalam menentukan bobot nilai dari kriteria kebijakan. Pada penelitian ini jumlah responden pakar adalah sebanyak 9 orang yang terdiri dari kalangan akademisi, peneliti, birokrat pemerintahan maupun pemangku kepentingan lainnya (rincian responden dimuat pada Lampiran 1) Metode Analisis Data Analisis Shift Share Analisis Shift share bertujuan untuk mengetahui kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB dan tenaga kerja (Sawono dan Endang dalam Ramadona, 2009). Analisis Shift Share menggunakan persentase nilai produksi suatu sektor terhadap PDRB (persentase antara PDRB sektor perikanan pada

62 41 tahun i terhadap total PDRB seluruh sektor pada tahun i di Kota Padang). Model matematik analisis Shift Share sebagai berikut: Vi Ki = x100% Pi Dimana : Ki : Besarnya kontribusi sektor perikanan dalam tahun i Vi : PDRB sektor perikanan Kota Padang menurut harga konstan pada tahun i. Pi : Total PDRB seluruh sektor Kota Padang menurut harga konstan tahun i. Kriteria Shift share yaitu semakin besar nilai shift share, maka kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB semakin besar Analisis LQ (Location Quotient) Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat basis sektor perikanan dalam pembangunan wilayah berdasarkan indikator PDRB. Model matematik LQ (Tarigan, 2005) : LQ = keterangan : vi/ Vi vt/ Vt LQ : Location Quotient Vi : PDRB sektor perikanan Kota Padang menurut harga konstan. Vi : Total PDRB seluruh sektor Kota Padang menurut harga konstan. vt : PDRB sektor perikanan Provinsi Sumatera Barat menurut harga konstan. Vt : Total PDRB seluruh sektor Provinsi Sumatera Barat menurut harga konstan. Kriteria penentuan sektor basis yaitu nilai LQ < 1, maka sektor perikanan merupakan sektor non basis, sedangkan jika LQ > 1, maka sektor perikanan merupakan sektor basis. Asumsi yang mendasari model di atas adalah bahwa demand wilayah terhadap barang dan jasa mula-mula dipenuhi oleh produksi wilayah dan jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi itu, maka kekurangannya diimpor dari luar wilayah (Kadariah,1985).

63 Analisis Minimum Requirement Approach (MRA) Pendekatan MRA dapat mengukur seberapa besar kekuatan sektor basic dengan mengukur base multiplier-nya. Teknik MRA mengandalkan wilayah yang memiliki karakteristik yang sama yang dapat digunakan sebagai acuan atau peer. Karakteristik ini dapat berupa kesamaan potensi, posisi ataupun kondisi lainnya. Formula MRA secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi, 2010): ( ) Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variable tenaga kerja (E=employment) sebagai salah satu indikator. Formula di atas menyatakan bahwa basic employment sektor i (dalam hal ini perikanan) di wilayah a adalah merupakan perkalian dari total tenaga kerja sektor i di wilayah a dengan selisih share sektor perikanan dengan share minimum sektor yang terdekat (peer). Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variabel tenaga kerja (E=employment) sebagai indikator Analisis Bioekonomi Penilaian sumberdaya perikanan yang perlu diketahui adalah nilai estimasi tangkapan lestari dari stok ikan. Guna mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari dilakukan estimasi dengan model kuantitatif. Produksi stok ikan dipengaruhi oleh faktor endogenous seperti faktor biologi, pertumbuhan, kelahiran, rekruitmen, kematian dan ruaya, serta faktor exogenous seperti iklim, bencana, dan aktivitas manusia berupa penangkapan, pencemaran yang dapat menyebabkan turunnya kualitas perairan berdampak rusaknya ekosistem perairan. Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam pemodelan bioekonomi: Pertama, menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu (series), pada penelitian ini series data selama 10 tahun. Jika menyangkut multigear-multispecies, terlebih dahulu harus dipisahkan menurut jenis alat tangkap dan produksi. Selanjutnya melakukan standarisasi alat tangkap, langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap.

64 43 Aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah singlegear-singlespecies, yaitu sumberdaya ikan tuna dengan alat tangkap tuna longline. Estimasi stok ikan digunakan model surplus produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan:... (4-1) dimana f(x t ) laju pertumbuhan alami, atau laju penambahan asset biomass, sedangkan h t adalah laju upaya penangkapan. Penelitian ini menggunakan bentuk model fungsional guna menggambarkan stock biomass, yaitu bentuk logistik, sebagai berikut: Bentuk Logistik : ( ) = ( )... (4-2) Pada fungsi logistik r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Ketika stok sumberdaya perikanan tuna mulai dieksploitasi oleh nelayan, maka laju eksploitasi sumberdaya perikanan tuna dalam satuan waktu tertentu diasumsikan merupakan fungsi dari input (effort) yang digunakan dalam menangkap ikan dan stok sumberdaya yang tersedia. Bentuk fungsional hubungan itu dapat dituliskan sebagai berikut :... (4-3) Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort ditulis sebagai berikut :... (4-4) Pada formula di atas q adalah koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) dan Et adalah upaya penangkapan. Jika diasumsikan pada kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari fungsi tersebut dituliskan dalam persamaan (4-5). Logistik : ( )... (4-5) Estimasi parameter r, K, dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas (Logistik) melibatkan teknik non-linear, dengan menuliskan

65 44 U t =h t/ E t. Pada persamaan (4-6) dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear, sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Teknik untuk mengestimasi parameter biologi dari model surplus produksi adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto, dan Pooley (1992) yang dikenal dengan metode CYP. Persamaan CYP secara matematis ditulis sebagai berikut :. (4-6) Dengan meregresikan hasil tangkap per unit input (effort), yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input pada periode t dan t+1, akan diperoleh koefisien r, q, dan K secara terpisah. Setelah disederhanakan persamaan (4-6) dapat diestimasikan dengan OLS (Ordinary Least Square) melalui:... (4-7) sehingga nilai parameter r, q, dan K pada persamaan (4-6) dapat diperoleh melalui persamaan berikut :... (4-8) Nilai parameter r, q, dan K kemudian disubstitusikan ke dalam persamaan (4-5) fungsi logistik, untuk memperoleh tingkat pemanfaatan lestari antar waktu. Dengan mengetahui koefisien ini, manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya ikan tuna ditulis pada persamaan (4-9) : ( )... (4-9) Memaksimalkan persamaan (4-9) terhadap effort (E) akan menghasilkan : ( )... (4-10) Dengan tingkat panen optimal sebesar : ( ) ( )... (4-11)

66 45 Substitusi dari perhitungan optimasi (4-10) dan (4-11) ke dalam persamaan (4-9), akan diperoleh manfaat ekonomi optimal. Fauzi dan Anna (2005), menyatakan dalam melakukan estimasi parameter ekonomi berupa harga per kg atau per ton dan biaya memanen per trip atau per hari melaut sebaliknya diukur dalam ukuran riil (disesuaikan dengan indeks harga konsumen). Pada penelitian ini, parameter ekonomi yang diperoleh melalui data lapangan berupa harga per kg dan biaya per trip. Jadi harga nominal pada periode t (P nt ) misalnya, bisa di konversi dengan harga riil (prt) berdasarkan formula berikut : ( ) Biaya riil yang dikeluarkan diperoleh melalui penyesuaian dengan inflasi berdasarkan formula: ( ) Langkah terakhir berupa perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang sudah ditetapkan dilakukan dengan software Excell dan Maple 13 yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitifitas) maupun untuk keperluan pembuatan grafik. Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejauh mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai data riil yang ada Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) MPE (Metode Perbandingan Eksponensial) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak atau disebut juga sebagai model keputusan berbasis indeks kerja. Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Berbeda dengan teknik lainnya, MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras (Marimin, 2010). Menurut Marimin (2010), ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam penggunaan metode perbandingan eksponensial yaitu: menyusun alternatifalternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan

67 46 kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan darisetiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut : Keterangan : TN i = total nilai alternatif ke -i RK ij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i TKK j = derajat kepentingan kritera keputusan ke-j; TKKj> 0; bulat n = jumlah pilihan keputusan m = jumlah kriteria keputusan Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara penilaian dari pakar atau berdasarkan hasil perhitungan analisis sebelumnya. Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda ecara nyata karenaadanya fungsi eksponensial. Matrik MPE dapat dilihat secara jelas pada Tabel 3. Tabel 3. Matrik Metode Perbandingan Eksponensial Alternatif Kriteria Nilai Alternatif K 1 K 2 K m Alternatif 1 V 11 V 12 V 1m NK 1 Alternatif 2 V 21 V 22 V 2m NK 2 Alternatif 3 V 31 V 32 V 3m NK 3 Alternatif n V n1 V n2 V nm NK n Bobot B 1 B 2 B m Sumber: Marimin, 2010 Peringkat

68 47 Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisa. Nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini, mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. Pada penelitian ini metode perbandingan eksponensial digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu mengidentifikasi potensi bencana pesisir serta prioritas bentuk mitigasi terkait pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang Analisis Kelayakan Investasi Analisis kelayakan investasi diperhitungkan dengan membandingkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima dalam suatu kegiatan investasi untuk jangka waktu tertentu. Pada analisis kelayakan investasi terdapat beberapa kriteria investasi yang dilakukan yaitu: Net Present Value (NPV), Benefit Cost (B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). Pada penelitian ini, analisis kelayakan investasi digunakan untuk menilai kelayakan usaha tuna longline di Kota Padang dan investasi penggunaan sarana mitigasi terhadap usaha perikanan tangkap tersebut Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di masa yang akan datang pada tingkat bunga tertentu (Husnan dan Suwarsono, 2005). Menurut Gray et al.(1993), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut: Keterangan : B t : Penerimaan (benefit) pada tahun ke-t, i : Discount rate (%) C t : Biaya (cost) pada tahun ke-t, n : Umur ekonomis usaha (tahun) t : Periode investasi (t=0,1,2,3,,n)

69 48 Kriteria kelayakan investasi yaitu : NPV > 0 : maka kegiatan layak dan menguntungkan NPV = 0 : maka kegiatan impas NPV < 0 : maka kegiatan tidak layak Benefit-Cost (B/C) Benefit-Cost merupakan angka perbandingan antara nilai kini arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Rumus dari Benefit-Cost (Kadariah dkk, 1999): Net B/C = (Bt-Ct > (Bt-Ct < 0) Kriteria penilaian B/C : B/C > 1 : maka kegiatan layak dan menguntungkan B/C = 1 : maka kegiatan impas B/C < 1 ; maka kegiatan tidak layak Internal Rate of Return (IRR) Internal rate of return (IRR) adalah tingkat suku bunga pada saat NPV sama dengan nol dan dinyatakan dalam persen (Gray et al.,1993). IRR merupakan tingkat bunga yang bilamana dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Tujuan perhitungan IRR adalah mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadariah et al., (1999), rumus IRR adalah sebagai berikut. [ ] Keterangan : i (+) i (-) : Discount rate yang menghasilkan NPV positif : Discount rate yang menghasilkan NPV negatif

70 49 NPV (+) : NPV yang bernilai positif NPV (-) : NPV yang bernilai negatif Kriteria kelayakan : IRR > i, maka kegiatan layak IRR = i, maka kegiatan impas IRR < i, maka kegiatan tidak layak Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan ini bertujuan untuk memotret situasi kelembagaan yang sudah ada. Menurut Ostrom et al. (1994), kelembagaan sebagai alat untuk mengarahkan, mengharmonisasikan, mensinergikan atau membatasi perilaku manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri, opurtunis dan tidak mau bekerjasama. Fokus analisis adalah perilaku manusia yang ada dalam suatu arena aksi (masyarakat nelayan tangkap pesisir Kota Padang). Arena aksi ini meliputi situasi aksi (aktivitas masyarakat sehari-hari mencakup siapa saja yang berpartisipasi, posisinya dalam aktivitasnya, aksi/aktivitas yang dilakukannya, apa saja yang bisa dihasilkannya dari aktivitas tersebut, serta aktor/pelaku aksi (pemerintah, nelayan dan pengusaha). Selain proses pengumpulan data, analisis ini juga membahas hal-hal yang berkaitan dengan dimensi sosial ditinjau dari perspektif keberlanjutannya. Perspektif keberlanjutan dari dimensi sosial antara lain dengan melakukan analisis keadaan sosial serta atribut-atribut yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan dan mitigasi bencana dari sisi sosial. Objek yang diteliti khususnya adalah usaha perikanan tangkap tuna dan upaya mitigasi terkait pengembangan usaha tersebut di Kota Padang. Dalam rangka menentukan stakeholder yang benar-benar berkompeten dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana, digunakan stakeholder analysis yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi dan merujuk pihak (seseorang) yang tepat atau berpengaruh pada aktivitas suatu program. Analisis kualitatif ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) mengidentifikasi individu, kelompok atau lembaga yang berpengaruh pada suatu kegiatan, (2) mengantisipasi

71 50 sejumlah pengaruh positif atau negatif dari inisiatif suatu program dan (3) membangun suatu strategi untuk mencapai dukungan paling efektif terhadap suatu ide dan (4) mengurangi sejumlah kendala dalam penerapan suatu program. Sejumlah stakeholder yang terlibat dalam kegiatan pengembangan perikanan dan mitigasi bencana, masing-masing dipetakan berdasarkan penilaian atas tingkat kepentingan (importance) dengan pengambil keputusan dari substansi kebijakan yang akan diputuskan dan tingkat pengaruhnya (influence) pada proses penyusunan kebijakan. Penilaian ini dilakukan dengan cara pembobotan berdasarkan dua kriteria tersebut, yakni kedekatan kepentingan dan kekuatan atau daya pengaruhnya dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat signifikansi mengindikasikan kedekatan kepentingan (prioritas yang diberikan) oleh pengambil keputusan. Semakin dekat kebutuhan dan kepentingan stakeholder bersangkutan dengan prioritas pengambil keputusan maka makin besar signifikansinya. Sedangkan pengaruh stakeholder dapat dipahami dengan cara melihat besar kecilnya kemampuan stakeholder tertentu dalam mempersuasi pihak lain untuk mengikuti kemauannya. Sumber pengaruh dapat berasal dari peraturan, uang, opini, informasi, massa, kepemimpinan dan lainnya. Adapun langkahlangkah dalam melakukan analisis stakeholder, adalah: 1) Membuat tabel stakeholder, yang berisi informasi mengenai: Daftar semua stakeholder yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh program. Kepentingan stakeholder (yang tertutup maupun terbuka) dalam kaitannya dengan program dan tujuannya. Kepentingan mengacu pada motif dan perhatian mereka pada kebijakan atau program. Setidaknya terdapat dua kepentingan utama. Sikap stakeholder terhadap kebijakan atau program. Sikap mengacu pada reaksi utama dari berbagai stakeholder dalam memutuskan pandangan terhadap kebijakan. 2) Menilai sikap dari stakeholder terhadap kebijakan sebagai berikut: Penilaian sikap menggunakan skala likert dari 3 hingga -3. Nilai 3 artinya sangat mendukung, 2 adalah cukup mendukung, 1 adalah netral, -2 yaitu cukup menentang dan -3 adalah sangat menentang.

72 51 3) Membuat penilaian awal tentang tingkat kekuatan dan pengaruh dari masing-masing stakeholder. Kekuatan stakeholder mengacu pada kuantitas sumberdaya yang dimiliki stakeholder yaitu sumberdaya manusia (SDM), finansial dan politik. Penilaian tingkat kekuatan menggunakan skala likert 1 sampai lima (5=sangat kuat, 4=kuat, 3=ratarata, 2=lemah, dan 1=sangat lemah). 4) Menentukan tingkat pengaruh total yaitu jumlah dari tingkat kekuatan (SDM, finansial dan politik) dari masing-masing stakeholder. 5) Menentukan nilai total yaitu perkalian antara sikap dengan pengaruh untuk setiap stakeholder. 6) Memutuskan kebutuhan keterlibatan stakeholder dalam kebijakan atau program, dimana jika nilai pengaruh kurang dari 10 maka stakeholder dapat diabaikan dan jika lebih dari 10 maka stakeholder harus dilibatkan. 7) Menentukan tingkat keterlibatan stakeholder dalam pengambilan keputusan, dimana stakeholder dibagi dalam tiga grup, yaitu: Grup 1 dengan nilai total adalah pihak penerima informasi. Grup 2 dengan nilai total adalah pihak pemberi pertimbangan. Grup 3 dengan nilai total lebih dari 30 adalah pihak pengambil kebijakan. Setelah stakeholder analysis menghasilkan daftar stakeholder yang benarbenar berkompeten dalam merumuskan strategi pengelolaan dan pengembangan, maka langkah berikutnya adalah melakukan in depth interview diantara para pakar yang terpilih untuk merumuskan suatu kebijakan Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Menurut Surakhmad (2002) analisis deskriptif adalah dengan menuturkan dan menafsirkan data yang ada, permasalahannya adalah situasi yang dialami, suatu hubungan, suatu kegiatan dengan kegiatan lain, pandangan, sikap yang nampak, atau tentang suatu proses yang sedang berlangsung. Analisis deskriptif dalam hal ini akan lebih difokuskan

73 52 kepada analisis kebijakan terkait pengembangan perikanan dan mitigasi bencana. Analisis deskriptif ini bertujuan untuk mengambarkan atau melukiskan (to describe) secara cermat dan sistematis fakta, gejala, fenomena, opini atau pendapat dan sikap mengenai implementasi kebijakan. Responden dalam analisis ini berupa nelayan dan pakar yang terlibat secara langsung mengenai masalah ini. Desain atau format deskriptif survei dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi sebagai subyek penelitian. Pendapat subyek penelitian inilah yang akan dideskripsikan tentang variabel yang akan diteliti. Metode wawancara mendalam merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data dan informasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan, Pertama, dengan wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang. Pendekatan yang digunakan dalam menggali informasi yaitu berupa pendekatan interpretatif. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menyelesaikan beberapa tujuan penelitian yaitu; identifikasi potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terhadap pengembangan sumberdaya perikanan, analisis kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan serta penentuan arahan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Melalui analisis ini diharapkan terbangun keselarasan tujuan dari berbagai tahapan analisis yang dilakukan Analisis Proses Berjenjang (AHP) Proses Hierarki Analitik (Analysis Hierarchy process-ahp) yang dikembangkan oleh Dr. Thomas L.Saaty pada tahun 1970-an digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1983). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga

74 53 memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Prinsip dasar penyelesaian persoalan dengan metode AHP adalah decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. Pada analisis ini, kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Kemudian menurut Marimin (2004), untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen digunakan parameter Consistency Ratio (CR). Teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan pendapat (Marimin, 2004). Responden dalam penelitian ini adalah pakar dalam bidang pengembangan perikanan dan kebencanaan sebanyak 9 orang. Pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu responden ahli. Namun demikian dalam aplikasinya penilaian kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli multidisiplioner. Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat yang konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik Marimin (2004). Rumus perhitungan rata-rata geometrik adalah: _ X G = _ X G n X i = rata-rata geometrik = jumlah responden = penilaian oleh responden ke-i

75 54 Hasil penilaian gabungan ini yang kemudian diolah dengan prosedur AHP. Kemudian untuk penyelesaian analisis ini dilakukan menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010 dan Criterium Decision Plus (CDP) versi 30. Dalam rangka memeriksa apakah perbandingan berpasangan (pada metode pairwise comparisions) telah dilakukan dengan konsisten atau tidak digunakan parameter Consistency Ratio (CR). Langkah-langkah dalam perhitungan consistency ratio adalah; 1) Membuat matriks yang berisi kriteria dan alternatif sehingga diperoleh nilai faktor (nilai eigen) pada tiap kriteria. 2) Menghitung nilai Weighted Sum Vector dengan jalan mengalikan kedua matriks tersebut. 3) Menghitung Consistency Vector dengan jalan menentukan nilai rata-rata dari Weighted Sum Vector. 4) Menghitung nilai rata Consistency Vector (P) disebut juga λ maks. 5) Menghitung nilai Consistency Index (CI) dengan menggunakan rumus: CI=(p-n)/(n-1). n = banyaknya alternatif. 6) Menghitung nilai Consistency Ratio (CR) yaitu dengan rumus: CR=CI/RI. Nilai RI yaitu indeks random yang didapat dari tabel Oarkidge. Analysis Hierarchy process (AHP) dalam penelitian ini dilakukan untuk menentukan prioritas pengembangan sektor prioritas pada bidang kelautan serta prioritas kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan berperspektif mitigasi bencana dalam rangka menghasilkan rumusan arahan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Kota Padang Batasan Penelitian 1) Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (KBBI). 2) Perikanan adalah semua kegiatan yag berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mlai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem perikanan (UU Nomor 31 tahun 2004).

76 55 3) Jenis sumberdaya perikanan yang diteliti dalam analisis bioekonomi adalah Tuna Mata Besar/Bigeye Tuna (Thunnus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/Yellowfin Tuna (Thunnus albacares). 4) Lokasi penelitian dalam analisis bioekonomi yaitu usaha perikanan tuna yang mendaratkan ikan di PPS Bungus Kota Padang dengan alat tangkap tuna longline. 5) Daerah penangkapan ikan dalam studi ini meliputi wilayah operasi penangkapan kegiatan tuna longline yang berbasis operasi di Kota Padang (Bungus). 6) Stok ikan adalah sediaan (biomass) ikan tuna yang terdapat di WPP 572 pada periode tertentu. 7) Effort adalah upaya untuk menangkap ikan dengan menggunakan teknologi penangkapan tertentu yang dinyatakan dalam satuan trip atau hari melaut. 8) Catch per Unit Effort (CPUE) adalah hasil tangkapan per satuan unit upaya yang dinyatakan dalam satuan ton/trip atau ton/hari. 9) Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah hasil tangkapan maksimum yang melestarikan sumberdaya. 10) Maximum Economic Yield (MEY) adalah hasil tangkapan maksimum yang memberikan keuntungan ekonomi yang maksimum. 11) Open Access (OA) adalah kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat dalam memanfaatan atau melakukan perburuan ikan atau mengeksploitasi ikan tanpa adanya kontrol atau pembatasan. 12) Jenis alat tangkap yang digunakan sebagai parameter dalam analisis bioekonomi adalah tuna longline (rawai tuna). 13) Nilai rente adalah selisih total penerimaan dikurangi dengan total biaya penengkapan sumberdaya ikan. 14) Biaya penangkapan ikan (cost per-unit effort) adalah biaya total yang dikeluarkan untuk melakukan penengkapan ikan per tahun per-unit effort. 15) Alokasi optimal adalah kondisi dimana sumberdaya perikanan di perairan dapat dialokasi pada tingkat produksi yang optimal, tingkat upaya optimal, jumlah alat tangkap optimal dan jumlah nelayan optimal, sehingga pada

77 56 gilirannya rente optimal pemanfaatan sumberdaya ikan diperairan dapat teralokasi secara optimal per nelayan. 16) Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (UU Nomor 24 tahun 2007). 17) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam (BNPB, 2009). 18) Mitigasi bencana adalah Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU Nomor 24 tahun 2007). 19) Potensi bencana di kawasan pesisir terdiri atas angin kencang/putingbeliung, gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, gerakan tanah, abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut (Ruswandi, 2009). 20) Berperspektif mitigasi bencana adalah serangkaian upaya/kebijakan pengelolaan dan pengembangan yang berwawasan atau berpandangan mitigasi bencana.

78 57 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di pesisir pantai bagian barat Sumatera. Luas keseluruhan Kota Padang adalah 694,96 km², terletak pada 100º05 05 BT 100º34 09 BT dan 00º44 00 LS- 01º08 35 LS. Batas-batas administrasi wilayah Kota Padang, adalah : Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Selat Mentawai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980, luas wilayah Kota Padang secara administratif adalah 694,96 km². Wilayah Kota Padang yang sebelumnya terdiri dari 3 kecamatan dengan 15 kelurahan dikembangkan menjadi 11 kecamatan dengan 193 kelurahan, secara rinci diuraikan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Administrasi Wilayah Kota Padang Sebelum UU 22/1999 Setelah UU 22/1999 No. Kecamatan Luas (Km²) Jumlah Kelurahan Luas (Km²) Jumlah Kelurahan A Wilayah Darat 694,96 1 Bungus Teluk Kabung 100, , Lubuk Kilangan 85, , Lubuk Begalung 30, , Padang Selatan 10, , Padang Timur 8, , Padang Barat 7, , Padang Utara 8, , Nanggalo 8,07 7 8, Kuranji 57, , Pauh 146, , Koto Tangah 232, ,25 13 B Wilayah Laut ,00 - Total 694, , Sumber : Bappeda dan BPS Kota Padang, 2009 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti oleh Peraturan Pemerintah nomor 25 Tahun 2000 menyebabkan terjadi penambahan

79 58 luas administrasi Kota Padang menjadi 1.414,96 km² (720,00 km² di antaranya adalah wilayah laut) dan penggabungan beberapa kelurahan, sehingga menjadi 104 kelurahan (Bappeda Kota Padang, 2010). Total sebelas kecamatan yang ada di Kota Padang, enam diantaranya merupakan kecamatan yang memiliki wilayah pesisir dengan total luas wilayahnya mencapai ± 694,96 km 2 berdasarkan PP Nomor 17/1980. Total panjang garis pantai 68,126 km dan tidak termasuk panjang garis pantai pulau-pulau kecil. Nama kecamatan dan kelurahan pesisir di Kota Padang ditampilkan pada Tabel 5 (Peta administrasi lihat Lampiran 2). Tabel 5. Nama Kecamatan dan Kelurahan Pesisir di Kota Padang No. Kecamatan Kelurahan 1 Koto Tangah Padang Sarai, Pasie Nan Tigo, Parupuk Tabing 2 Padang Utara Air Tawar Barat, Ulak Karang Utara, Ulak Karang Selatan, Lolong Belanti 3 Padang Barat Rimbo Kaluang, Purus, Olo, Berok Nipah 4 Padang Selatan 5 Bungus 6 Lubuk Begalung Gates Nan Duapuluh Sumber : BPS Kota Padang, 2010 Batang Harau, Bukit Gado-gado, Air Manis, Teluk Bayur Selatan Bungus Barat, Bungus Selatan, Teluk Kabung Utara, Teluk Kabung Tengah, Teluk Kabung Selatan Wilayah pesisir Kota Padang yang sebagian besar memiliki topografi datar (dijelaskan pada Sub-bab 5.2.1) sangat mendukung perekonomian masyarakat di sektor perdagangan, perikanan dan pariwisata. Hal ini menyebabkan ketiga sektor tersebut menjadi sektor yang mendominasi kegiatan perekonomian di wilayah pesisir. Ketiga sektor tersebut bahkan akan dijadikan sebagai sumber devisa utama selain dari perpajakan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Barat Kondisi Fisik Dasar dan Kebencanaan Topografi Wilayah Kota Padang memiliki topografi yang bervariasi, perpaduan daratan yang landai dan perbukitan bergelombang yang curam. Sebagian besar topografi wilayah Kota Padang memiliki tingkat kelerengan lahan rata-rata lebih dari 40 persen. Ketinggian wilayah Kota Padang dari permukaan laut juga

80 59 bervariasi, mulai 0 meter dpl sampai lebih dari meter dpl. Peta topografi Kota Padang dimuat pada Lampiran 3. Kondisi topografi Kota Padang yang bervariasi menyebabkan kelerengan Kota Padang juga bervariasi dari yang datar dengan kemiringan 0 persen sampai dengan daerah yang mempunyai kemiringan lebih dari 40 persen. Secara garis besar wilayah Kota Padang dikelompokan dalam empat klasifikasi kemiringan dan luas masing-masing wilayah yang diuraikan pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Kemiringan Wilayah Kota Padang No. Klasifikasi Luas Wilayah Lereng Kemiringan (Km 2 ) Persentase 1 0 2% Datar sampai Landai 210,36 30,27% % Landai sampai Bergelombang 50,98 7,34% % Bergelombang sampal Berbukit 124,74 17,95% 4 >40 % Berbukit sampai Bergunung 308,88 44,45% Total 694,96 100,00% Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 Kawasan dengan kelerengan lahan antara 0 2 persen umumnya terdapat di Kecamatan Padang Barat, Padang Timur, Padang Utara, Nanggalo, sebagian Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan antara 2 15 persen tersebar di Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk Kilangan yakni berada pada bagian tengah Kota Padang. Kawasan dengan kelerengan lahan persen tersebar di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan Koto Tangah. Sedangkan kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen tersebar di bagian Timur Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian Selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan Lubuk Begalung serta sebagian besar Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen ini merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung (Bappeda Kota Padang, 2010). Selain dari perbedaan ketinggian bentuk topografi, Kota Padang juga memiliki bentuk pantai yang bervariasi. Bentuk pantai daerah ini adalah landai

81 60 dan curam serta dibeberapa lokasi pantainya memiliki teluk-teluk dan tanjung yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil. Pantai yang terjal (curam) dan dalam sebagian besar terdapat di daerah Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kota Padang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia dan sebahagian wilayahnya merupakan deretan pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari barat laut ke tenggara. Hal ini mengakibatkan topografi wilayah Kota Padang mempunyai kemiringan mulai dari yang landai sampai ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Topografi kawasan pesisir Kota Padang dapat dikelompokkan dalam enam kelompok yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Kota Padang No. Kawasan Pesisir Ketinggian (m) DPL Keterangan 1 Padang Sarai-Batang Arau 0-10 Pedataran pantai 2 Batang Arau-Labuhan Tarok m dari permukaan laut relatif kecil 3 Labuhan Tarok-Pasar Laban m dari permukaan laut relatif besar 4 Pasar Laban-Sungai Pisang Sungai Pisang sekitarnya m dari permukaan laut relatif sangat kecil 6 Sungai Pisang-Pesisir Selatan Sumber : Bappeda Kota Padang, Melalui Tabel 7 dapat dilihat bahwa wilayah Kota Padang secara umum pada bagian Utara mempunyai topografi yang landai. Pada bagian selatan Kota Padang sebagian besar mempunyai topografi yang berbukit. Wilayah yang mempunyai topografi relatif datar adalah Kecamatan Padang Utara, Padang Barat, Padang Timur, Nanggalo, dan sebagian Kecamatan Kuranji, Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan serta sebagian kecil Padang Selatan. Wilayah perbukitan di Kota Padang terdapat di sebagian besar Kecamatan Koto Tangah bagian timur, Kecamatan Pauh, Lubuk Kilangan dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Secara garis besar klasifikasi ketinggian Kota Padang dapat dikelompokan atas 5 kelas ketinggian seperti yang disajikan pada Tabel 8. Melalui data tersebut dapat diketahui persentase terbesar wilayah Kota Padang berada pada ketinggian meter dpl yakni hampir mencapai 30 persen dari total wilayah.

82 61 Tabel 8. Klasifikasi Ketinggian Wilayah Kota Padang No. Kelas Ketinggian Luas Wilayah (Km 2 ) Persentase meter dpl 149,50 21,51% meter dpl 63,69 9,16% meter dpl 205,30 29,54% meter dpl 164,22 23,63% 5 Lebih dari 1000 meter dpl 112,25 16,15% Total 694,96 100,00% Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa wilayah Kota Padang yang berada pada ketinggian meter dpl sebesar 30,67 persen dan wilayah dengan ketinggian di atas 250 meter mencapai 69,33 persen. Topografi wilayah yang beragam ini secara tidak langsung akan menyebabkan karakteristik SDM, pengelolaan SDA, penyebaran pemukiman serta berbagai kondisi kependudukan lainnya berkaitan erat dengan kondisi wilayah tersebut. Gambar 10. Sebagian Bentuk Topografi Kota Padang Sumber : DKP Kota Padang, 2010 Gambar 10 menunjukkan sebagian bentuk topografi Kota Padang yang terdiri atas pebukitan, pesisir pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Sedangkan topografi pada pulau-pulau kecil yang terdapat di Kota Padang sebagian besar berbentuk datar, berpasir dan berkarang. Pulau-pulau yang terdapat di Kota Padang sebagian besar pantainya agak landai sehingga seperti dataran dan sebagian kecil saja yang pantainya agak curam atau dalam. Pulau-pulau yang pantainya agak curam biasanya pantai berbatu seperti Pulau Ular, Pisang Gadang, Pasumpahan, dan Sironjong.

83 Oseanografi Kota Padang mempunyai garis pantai sepanjang ±84 km dan luas kewenangan pengelolaan perairan ± ha serta 19 pulau-pulau kecil. Secara fisik administratif ada 6 kecamatan yang bersentuhan langsung dengan pantai yaitu: Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil ini mempunyai potensi sumber daya alam yang dapat pulih (renewable) antara lain perikanan, hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dan pulau-pulau kecil. Peta Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang terdapat pada Lampiran 4. Pulau-pulau kecil di Kota Padang menyimpan potensi ekonomi yang tinggi. Hal ini didasari oleh karakteristik pulau yang unik serta pesona bahari yang tinggi. Kondisi pulau-pulau kecil di Kota Padang umumnya memiliki karakteristik landai, hanya beberapa pulau yang mempunyai ketinggian sampai 100 m dpl, yaitu; Pulau Pasumpahan, Pulau Sikuai, Pulau Sironjong. Karakteristik pantai pulau-pulau kecil secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik Pulau-Pulau di Wilayah Kota Padang No. Nama Pulau Kecamatan Luas Keliling Karakteristik (ha) (m) Pantai Jenis Pantai 1 Bintangur Bungus 56, ,80 Landai, curam Pasir, batu, cadas 2 Sikuai Bungus 48, ,11 Landai, curam Pasir, batu, cadas 3 Toran Padang Selatan 33, ,23 Landai Pasir, batu 4 Bindalang Padang Selatan 27, ,47 Landai Pasir, batu 5 Pisang Padang Selatan 26, ,05 Landai, curam Pasir, batu, cadas 6 Pandan Padang Selatan 24, ,77 Landai Pasir, batu 7 Sirandah Bungus 19, ,27 Landai Pasir, batu 8 Pasumpahan Bungus 16, ,02 Landai, curam Pasir, batu, cadas 9 Sibonta Bungus Kabung 13, ,56 Landai Pasir, batu 10 Sao Koto Tangah 12, ,79 Landai Pasir, batu 11 Sironjong Bungus 11, ,15 Curam Cadas, pasir 12 Sinyaru Bungus 7, ,06 Landai Pasir, batu 13 Setan Bungus 7, ,92 Landai, curam Batu, cadas 14 Air Koto Tangah 7,09 990,20 Landai Pasir, batu 15 Pasir Gadang Padang Selatan 4,91 891,71 Landai Pasir, batu 16 Setan Kecil Bungus 3,33 692,47 Landai, curam Batu, cadas 17 Pisang Ketek Padang Selatan 3,02 846,43 Landai, curam Batu, cadas 18 Kasik Bungus 1,73 483,82 Landai Pasir, batu 19 Ular Bungus 1,38 594,98 Curam Cadas Sumber : DKP Kota Padang 2011.

84 63 Kota Padang selain memiliki kekhasan bentuk pulau-pulau juga mempunyai bentuk pantai yang bervariasi dan indah. Pantai-pantai di Kota Padang memiliki karakteristik landai dan curam. Jenis pantai yang terdapat pada wilayah ini terdiri atas pantai berpasir, berbatu, cadas dan berlumpur. Kota Padang memiliki 16 pantai dengan karakteristik yang berbeda. Pengelompokan pantai menurut karakteristiknya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Pantai di Kota Padang No. Pantai Karakteristik Jenis Pantai 1 Padang Sarai Parupuk Tabing Landai Pasir 2 Parupuk Tabing - Muaro Padang Landai Pasir, batu/krip 3 Batang Arau - Air Manis Curam Cadas 4 Air Manis Landai Pasir, batu 5 Air Manis - Teluk Bayur Curam Batu, cadas 6 Teluk Bayur - Sungai Baremas Landai Pasir, batu 7 Sungai Baremas - Labuhan Tarok Curam Cadas 8 Labuhan Tarok - Teluk Kabung Landai Pasir, batu 9 Teluk Labuhan Cina Landai Lumpur, pasir, batu 10 Labuhan Cina - Teluk Kaluang Landai, dan curam Pasir, batu, cadas 11 Teluk Kaluang Landai Lumpur 12 Teluk Kaluang - Teluk Buo Landai curam Pasir, batu, cadas 13 Teluk Buo Landai Lumpur, pasir, batu 14 Teluk Buo - Sungai Pisang Landai, curam Pasir, batu, cadas 15 Sungai Pisang Landai Pasir, lumpur 16 Sungai Pisang - Pesisir Selatan Landai, curam, Pasir, batu, cadas Sumber : DKP Kota Padang, 2001 Kota Padang memiliki dua jenis bentuk pantai yaitu bentuk pantai landai dan curam/terjal. Bentuk landai tersebar di wilayah pesisir pantai mulai Purus sampai perbatasan Kabupaten Padang Pariaman (Batang Anai). Sedangkan bentuk pantai terjal dan perbukitan dicirikan dengan adanya tebing laut dengan dataran sempit dibawahnya sebagaimana ditemukan pada Batang Arau sampai wilayah Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Pantai berpasir (Sandy beach) adalah pantai berpasir di Pantai Padang (terdiri beberapa macam tipe antara lain; pasir coklat keabu-abuan, pasir putih kecoklatan dan pasir putih. Pasir coklat keabu-abuan merupakan materi pantai yang paling umum ditemukan, tersebar di sekitar Pantai Padang mulai dari Muara Jambak

85 64 sampai Pantai Gunung Padang. Pasirnya sebagian besar berbutir kasar dan terpilah sedang. Pasir putih kecoklatan adalah jenis yang tersebar di Pantai Bungus Teluk Kabung sekitar lokasi wisata Pantai Carlos dan Pantai Carolin. Di Pantai Carlos, vegetasi umumnya ditumbuhi oleh kelapa dan pohon waru, dengan kelerengan pantai tinggi. Sedangkan vegetasi Pantai Carolin didominasi oleh pohon waru dengan sedikit pohon kelapa. Pasir putih umumnya terdiri dari materi biogenik atau pecahan cangkang/ kerang yang terpilah sedang, tersebar di sekitar pantai-pantai pulau kecil yaitu; Pulau Sikuai, Pulau Sironjong (Kelurahan Sungai Pisang), Pulau Sawo, Pulau Air (bagian barat Muara Jambak). Pantai berbatu dan bertebing (rocky beach) dapat dibagi menjadi dua macam tipe yaitu : Pantai berbatu terdapat di selatan Kota Padang di Air Manis, Teluk Bayur (Tanjung Selatan), Selatan Teluk Bungus dan di sekitar Kelurahan Sungai Pisang. Pantai berbatu terjal/tebing bersusunan basal tersebar sekitar Gunung Padang Barat, Kelurahan Sungai Pisang, Teluk Buo, Ujung Nibung Ujung Sungai Brameh, Ujung Jungut Batupati (bagian selatan Teluk Bayur). Secara umum, pembentukan pantai ini berasal dari keadaan struktur geologi, geomorfologi turf vulkan, batuan andesit/basalt. Jenis batuan tersebut banyak mengandung deposit mineral, terutama dalam bentuk bahan galian golongan C seperti pasir, tanah liat, kerikil, koral, batu kali dan bebagai jenis batuan lainnya. Kerusakan lingkungan pantai di Kota Padang umumnya diakibatkan oleh abrasi, sedangkan sedimentasi dalam jumlah kecil terjadi pada muara-muara sungai di Teluk Bungus dan Perairan Sungai Pisang. Terjadinya abrasi juga disebabkan oleh arus yang melalui pulau kecil dan saat-saat tertentu terjadi gelombang besar dari Lautan Hindia serta semakin berkurangnya pohon-pohon pelindung di pinggir pantai seperti hutan mangrove sehingga hantaman ombak langsung ke pantai. Daerah-daerah yang sering terkena abrasi pantai adalah Ulak Karang, Purus, Air Tawar dan Tabing (Bappeda Kota Padang, 2010).

86 65 Proses abrasi Pantai Padang dimulai sejak 70an tahun yang lalu, yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan antara sedimen yang hanyut dan sedimen yang terendapkan. Pada awalnya sedimen yang terangkut sebagian berasal dari selatan Pantai Padang, pengangkutan sedimen tersebut sekarang ini tidak lagi terjadi disebabkan perubahan morfologi pantai bahagian selatan. Proses abrasi pantai di Kota Padang telah mulai berkurang, karena sepanjang pantai telah di bangun penahan abrasi berupa krib. Parameter Hidro Oseanografi Kota Padang (DKP Kota Padang, 2005) yaitu: a. Arus dan Angin Perairan Kota Padang dan sekitarnya memiliki pola arus permukaan yang umumnya sangat dipengaruhi oleh pola angin geostropik atau angin muson. Berdasarkan karakteristik iklim di belahan bumi selatan (southtern emisphere), maka kawasan sepanjang Pantai Padang dipengaruhi oleh angin musim barat yang bertiup Bulan November sampai Maret dan angin musim timur bertiup dari Bulan Mei sampai September. Angin musim barat dan timur di perairan Kota Padang berkekuatan rata-rata 9 11 knot bertiup ke arah tenggara (hampir sejajar dengan garis Pantai Padang) dan rata-rata 8 knot dengan pola berubah-ubah namun arah dominannya hampir tegak lurus garis pantai. Lemahnya kecepatan angin musin timur disebabkan karena arah angin musim timur telah mengalami pembelokan arah akibat gaya Coriolis pada saat ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) yang berada di bagian selatan khatulistiwa. Selain itu di perairan Kota Padang juga terjadi arus pantai yang diakibatkan oleh gelombang. Arus ini berpengaruh terhadap abrasi dan sedimentasi pantai, sehingga menjadikan tinggi gelombang laut yang terjadi berkisar antara 0,5 2,0 meter b. Pasang Surut (Pasut) Jenis pasang surut yang terdapat di perairan Kota Padang adalah tipe campuran condong ke harian ganda (mixed semi diurnal tide) yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Abrasi yang tergolong kuat dan merusak di perairan dan sekitarnya dipengaruhi arus pasang yang menimbulkan gelombang pasang dan mempengaruhi pola arus sejajar pantai

87 Hidrologi Wilayah Kota Padang dilalui oleh banyak aliran sungai besar dan kecil. Terdapat tidak kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total panjang mencapai 155,40 km (10 sungai besar dan 13 sungai kecil). Umumnya sungai-sungai besar dan kecil yang ada di wilayah Kota Padang ketinggiannya tidak jauh berbeda dengan tinggi permukaan laut. Kondisi ini mengakibatkan cukup banyak bagian wilayah Kota Padang yang rawan terhadap banjir/genangan (Bappeda Kota Padang, 2010). Wilayah pesisir Kota Padang tercakup dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Kandis, Kuranji dan Air Dingin (utara) serta DAS Batang Arau, Lubuk Paradu dan Timbulun (selatan). Beberapa sungai besar yang mendominasi daerah aliran sungai di sekitar Kota Padang membentuk pola aliran sungai tertentu berupa pedial, sub dendritik dan dendritik. Pola aliran sungai itu yaitu (dari utara ke selatan): Batang Anai bermuara di Kelurahan Pasia Nan Tigo. Air Dingin bermuara di Kelurahan Pasia Nan Tigo. Batang Kuranji bermuara di Kelurahan Ulak Karang Utara. Batang Arau termasuk Sungai Banjir Kanal (merupakan sungai yang dipecah dari Batang Arau) bermuara di Muaro Pantai Padang. Air Pinang bermuara di Muaro Bungus Teluk Kabung. Pola pengaliran yang berkembang di wilayah ini berkisar antara dendritik hingga sub-dendritik. Pola dendritik banyak berkembang pada bagian timur laut wilayah Kota Padang yang sekaligus mewakili wilayah dengan ketinggian lebih besar. Sementara pola sub-dendritik berkembang pada bagian barat daya wilayah Kota Padang terutama di sekitar wilayah pemukiman. Muka air tanah di wilayah Kota Padang yang tercermin dari aliran sungai, sumur gali maupun beberapa data pemboran teknik umumnya dangkal hingga sangat dangkal, hal ini dipengaruhi oleh faktor litologi yang melandasi paparan dataran Kota Padang yang berupa endapan aluvial dan dataran pantai Holosen. Arah aliran air tanah di dalam akifer di daerah ini umumnya terdiri dari material lapisan pasir halus hingga sangat kasar, lapisan lanau dan yang semipermeable yaitu lanau-lempung dengan jenis akifer bebas. Endapan sedimen kuarter tersebut

88 67 dengan distribusi muka air tanah yang dangkal dapat memungkinkan untuk terjadinya fenomena likuifaksi di beberapa lokasi tertentu (Bappeda Kota Padang, 2010). Peta Hidrologi dan Tata Air Kota Padang terdapat pada Lampiran Klimatologi Kota Padang termasuk daerah yang curah hujannya tinggi dengan rata-rata mm per tahun. Curah hujan rata-rata tahunan Kota Padang pada tahun 2008 sebesar mm, dengan curah hujan rata-rata 385 mm/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan 776 mm dan terendah pada Bulan Mei dengan curah hujan 167 mm. Suhu udara rata-rata Kota Padang sepanjang tahun 2008 berkisar antara 22,0ºC 31,7ºC dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara persen (Bappeda Kota Padang, 2010) Geologi Secara regional wilayah Kota Padang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Sesar Besar Sumatera (Sumatera Great Fault System). Sesar Semangko yang terdapat pada bagian tengah Pulau Sumatera dan palung laut di barat Pulau Sumatera mengapit wilayah Kota Padang dan sekaligus merupakan kontrol bagi terjadinya kegiatan tektonik di wilayah ini. Struktur geologi yang berkembang di Kota Padang umumnya berupa patahan/sesar mendatar dengan arah barat laut tenggara dan timur laut barat daya, beberapa diantaranya berarah hampir utara selatan dan barat timur. Struktur geologi di wilayah Kota Padang pada umumnya tertutupi oleh endapan kuarter. Banyaknya kekar-kekar pada litologi yang berumur pra-tersier menunjukkan terjadinya kegiatan tektonik yang intensif pasca terbentuknya batuan ini dan mengingat tidak adanya singkapan struktur geologi pada permukaan endapan kuarter, maka dapat dipastikan bahwa struktur geologi pratersier dan tersier tertutupi oleh endapan kuarter. namun demikian juga dijumpai adanya struktur geologi yang teramati pada litologi berumur kuarter. Kota Padang merupakan endapan kuarter berupa dataran pantai yang berumur holosen yang berhadapan dengan endapan laut terbuka yang dibagian timur dibatasi berupa patahan-patahan yang berarah hampir barat laut tenggara,

89 68 dicirikan oleh endapan kuarter yang terdiri dari endapan aluvial, rawa, dan pematang pantai. Dataran tersebut terpisah oleh laut terbuka dan pematang pantai yang bagian belakangnya terbentuk rawa-rawa pantai sebagai endapan swamp. Gambaran geologi pesisir ini dicirikan oleh endapan pasir lepas, kerikil dengan terputusnya lapisan lanau dan lempung. Peta geologi Kota Padang terdapat pada Lampiran 6. Indikasi terdapatnya struktur geologi di wilayah Kota Padang diperkirakaan berupa sesar-sesar yang berarah barat-timur pada skala yang lebih besar dan sesar-sesar relatif kecil dengan arah relatif utara. Struktur ini didapati pada satuan litologi tufa Kristal (QTt) yang terdapat pada wilayah timur Kota Padang. Hubungan antara aktivitas megastruktur geologi (Mandala Tektonik) dalam hal ini Sistem Sesar Besar Sumatera ataupun Palung Laut di Samudera Hindia dengan aktivitas unit struktur geologi segmentasi Sesar Sumatera di wilayah Kota Padang sangat jelas terlihat pada peristiwa-peristiwa gempa yang pernah terjadi (Bappeda Kota Padang, 2010) Litologi Litologi yang menutupi wilayah Kota Padang secara umum didominasi oleh endapan aluvium kuarter (Qal) terutama pada wilayah radius 5 sampai 10 kilometer dari garis pantai ke arah timur laut. Endapan ini terdiri dari material berupa lanau, pasir dan kerikil serta terdapat butiran-butiran batu apung. Bagian selatan Kota Padang sebagian berupa litologi lahar, konglomerat dan endapanendapan kolovium lain yang merupakan bagian dari satuan batuan aliran yang tak teruraikan (Qtau) menurut Peta Geologi lembar Padang. Satuan batuan berupa Tufa Kristal (QTt) yang keras juga terdapat di bagian selatan Kota Padang. Satuan batuan lain yang terdapat di wilayah pantai Kota Padang adalah andesit dan tufa yang terdapat berselingan (QTta). Di beberapa tempat pada satuan ini juga dijumpai andesit sebagai inklusi di dalam tufa. Satuan batuan kipas aluvium (Qf) terdapat pada beberapa tempat pada radius kurang lebih 10 kilometer arah timur laut garis pantai. Satuan ini merupakan hasil rombakan gunung api strato yang permukaannya ditutupi oleh bongkah-bongkah andesit (Bappeda Kota Padang, 2010).

90 69 Wilayah Kota Padang juga terdapat satuan batu gamping hablur (ptls) yang merupakan litologi berumur pra-tersier dan menempati bagian timur wilayah Kota Padang. Litologi ini memiliki ciri khas membentuk punggunganpunggungan tajam. Struktur geologi berupa kekar-kekar berkembang intensif pada satuan ini. Satuan berumur pra-tersier lain yang terdapat di wilayah timur Kota Padang adalah satuan batuan yang terdiri dari litologi berupa filit, batu lanau meta dan batu pasir meta (ptps). Litologi ini biasanya mendasari bukit-bukit atau punggungan yang relatif landai. Masing-masing satuan batuan yang terdapat di wilayah Kota Padang memiliki daya dukung yang bervariasi. Daya dukung masing-masing jenis batuan ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Jenis Batuan dan Daya Dukungnya No. Simbol Jenis Batuan Daya Dukung 1 Qtau Aliran yang tak teruraikan ; jenis batuan vulkanik rendah yang tak dipisah aliran lahar, konglomerat dan endapan koluvium 2 Qal Alluvium; terdiri dari lempung, pasir, kerikil, pasir rendah - sedang dan bongkahan 3 Q t Kipas alluvium; terdiri rombakan batuan andesit sedang - tinggi berupa bongkahan dari gunung api 4 QTt Tufa kristal; jenis batuan tufa basal, tufa abu, sedang - tinggi lapili, tufa basal berkaca, dan pecahan lava. 5 Qta dan Andesit dan Tufa sedang - tinggi QTp 6 PTls Batu gamping; dari lunak sampai keras sedang - tinggi 7 PTps Fillit, kwarsit, batu lanau meta. Lokasi terlihat pada singkapan sekitar Koto Lalang jalan ke arah Solok yang mendasari bukit-bukit dan pegunungan yang landai Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 sedang Geomorfologi Morfologi merupakan aspek yang sangat penting dalam pembahasan kebencanaan maupun dalam kaitannya dengan penataan ruang. Wilayah Kota Padang memiliki topografi yang bervariasi, perpaduan daratan yang landai dan perbukitan bergelombang yang curam. Sebagian besar topografi wilayah Kota Padang memiliki tingkat kelerengan lahan rata-rata lebih dari 40 persen.

91 70 Menurut data Bappeda Kota Padang (2010), sebagian wilayah Kecamatan Padang Barat merupakan daerah dengan morfologi berupa dataran pantai (M4) yang tersusun dari litologi dominan pasir dan lempung. Dataran pantai ini juga terdapat di pantai barat Kecamatan Padang Utara. Wilayah Kecamatan Padang Utara merupakan morfologi berupa rawa buri (F3) dan pematang pantai (M1). Sebagian besar wilayah Kecamatan Pauh, Padang Timur dan Kuranji merupakan morfologi kipas alluvial (F4) yang tersusun atas litologi berupa lanau, pasir, kerikil dan bongkah. Sebagian besar wilayah Kecamatan Koto Tangah memiliki morfologi berupa dataran alluvial (F1) yang tersusun dari litologi berupa lempung, lanau pasir dan kerikil. Ketinggian wilayah Kota Padang dari permukaan laut juga bervariasi, mulai 0 m dpl sampai lebih dari m dpl. Kawasan dengan kelerengan lahan antara 0 2 persen umumnya terdapat di Kecamatan Padang Barat, Padang Timur, Padang Utara, Nanggalo, sebagian Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan antara 2 15 persen tersebar di Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk Kilangan yakni berada pada bagian tengah Kota Padang dan kawasan dengan kelerengan lahan persen tersebar di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan Koto Tangah. Sedangkan kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen tersebar di bagian timur Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan Lubuk Begalung dan sebagian besar Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen ini merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung Kondisi Kependudukan Jumlah dan Perkembangan Penduduk Penduduk Kota Padang tahun 2009 berjumlah jiwa. Selama kurun waktu 10 tahun ( ), jumlah penduduk Kota Padang bertambah sebanyak jiwa atau 11,41 persen, atau rata-rata tumbuh sekitar 1,14 persen per tahun. Koto Tangah merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak

92 71 (18,96 persen) sedangkan Kecamatan Bungus Teluk Kabung merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil (2,79 persen). Tiga kecamatan memiliki pertumbuhan penduduk yang negatif, yakni Kecamatan Padang Barat, Padang Utara dan Nanggalo. Tabel 12. Sebaran dan Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1999 dan Tahun 2009 No. Kecamatan Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Luas (Jiwa) (Jiwa/Km²) (Km²) Bungus Teluk Kabung 100, Lubuk Kilangan 85, Lubuk Begalung 30, Padang Selatan 10, Padang Timur 8, Padang Barat 7, Padang Utara 8, Nanggalo 8, Kuranji 57, Pauh 146, Koto Tangah 232, Total 694, Sumber : Bappeda Kota Padang 2010 Perkembangan jumlah penduduk Kota Padang dalam 24 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan pertambahan yang tidak terlalu signifikan. Pada tahun 1986 penduduk Kota Padang tercatat sebanyak jiwa, dan pada tahun 2009 bertambah menjadi jiwa. Jadi dalam kurun waktu , jumlah penduduk Kota Padang bertambah sebanyak jiwa atau 55,15 persen, atau rata-rata tumbuh sekitar 2,30 persen per tahun Komposisi Penduduk Rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin, penduduk perempuan ( jiwa) lebih banyak dari penduduk laki-laki ( jiwa) dengan rasio (51,26:48,74). Komposisi penduduk Kota Padang menurut kelompok umur menunjukkan pola piramida yang menggambarkan penduduk berusia muda (<50 tahun) memiliki jumlah terbesar (96%), dan semakin tinggi kelompok umurnya semakin sedikit jumlahnya. Kelompok penduduk pada kelompok usia produktif

93 72 (15-44 tahun) mencapai 578,484 jiwa ( laki-laki dan perempuan), kelompok usia produktif ini mencapai 66,06 persen dari jumlah penduduk Kota Padang, terdiri dari laki-laki sebesar 32 persen dan perempuan 34 persen. Gempa yang terjadi di Kota Padang berdampak pula terhadap jumlah penduduk. Berdasarkan hasil evaluasi korban gempa yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang sebanyak 383 jiwa telah meninggal dunia akibat gempa. Kecamatan Padang Barat merupakan kecamatan yang mengalami korban meninggal terbanyak yaitu 81 jiwa sedangkan Kecamatan Lubuk Kilangan adalah yang paling sedikit yaitu sebanyak 5 jiwa meninggal. Melalui data penduduk Kota Padang yang berumur 5 tahun ke atas, persentase terbesar adalah tidak bersekolah lagi sebesar 67,99 persen, sedangkan yang masih bersekolah sebesar 29,31 persen. Penduduk yang masih sekolah, persentase terbesar adalah kelompok umur 7-12 tahun atau jenjang SD sebesar 11,92 persen, jenjang SLTP 6,24 persen dan jenjang SLTA sebesar 4,01 persen. Secara rinci presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kota Padang disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Persentase Penduduk 5 Tahun ke atas menurut Tingkat Pendidikan di Kota Padang No. Kelompok Umur (tahun) Jenjang Sekolah Tidak/Belum Pernah Sekolah (%) Masih Sekolah (%) Tidak Bersekolah Lagi (%) Total (%) TK 1,88 1,58 0,00 3, SD 0,06 11,92 0,03 12, SLTP 0,03 6,24 0,48 6, SLTA 0,06 4,01 1,24 5,31 5 > 18 PT 0,66 5,56 66,24 72,46 Jumlah 2,69 29,31 67,99 100,00 Sumber : BPS Kota Padang, Ketenagakerjaan Melalui data penduduk Kota Padang yang berumur 15 tahun ke atas tahun 2009 (630,919 jiwa), angkatan kerja mencapai 54,75 persen (345,428 jiwa). Sebesar 45,25 persen (285,491 jiwa) adalah bukan angkatan kerja, termasuk didalamnya adalah orang yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lain-lain.

94 73 Presentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut jenis kegiatan dan kelamin diuraikan pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas menurut Jenis Kegiatan dan Jenis Kelamin No. Jenis Kegiatan Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Angkatan Kerja 69,69% 39,80% 54,75% a. Bekerja 59,97% 32,11% 46,04% b. Mencari Pekerjaan 9,72% 7,68% 8,70% 2 Bukan Angkatan Kerja 30,31% 60,20% 45,26% a. Sekolah 18,89% 21,04% 19,97% b. Mengurus Rumahtangga 1,31% 35,13% 18,22% c. Lainnya 10,11% 4,04% 7,08% Total 100,00% 100,00% 100,00% Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 Persentase angkatan kerja penduduk Kota Padang berumur 10 tahun ke atas adalah sebanyak 54,75 persen, 46 persen didalamnya adalah dengan status bekerja. Sedangkan jumlah penduduk yang sedang mencari pekerjaan adalah 8,7 persen. Melalui Tabel 14, diketahui bahwa persentase terbesar penduduk Kota Padang bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 35,40 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 31,16 persen. Hal yang menarik pada dua sektor ini adalah penyumbang tenaga kerja terbesar berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang perikanan tangkap diuraikan pada Tabel 23. Tabel 15. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha di Kota Padang No. Lapangan Usaha Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Pertanian 7,55 % 1,54% 4,55% 2 Pertambangan dan Penggalian 1,48% 0,00% 0,74% 3 Industri 4,49% 4,37% 4,43% 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,22% 0,21% 0,72% 5 Konstruksi 8,54% 0,64% 4,59% 6 Perdagangan, Hotel & Restoran 24,31% 46,48% 35,40% 7 Komunikasi dan Transportasi 14,83% 1,01% 7,92% 8 Keuangan 3,20% 1,04% 2,12% 9 Jasa-jasa 25,89% 36,43% 31,16% 10 Lainnya 8,50% 8,28% 8,39% Total 100,00% 100,00% 100,00% Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010

95 Tingkat Kesejahteraan Penduduk Secara umum, kondisi tingkat kesejahteraan penduduk di Kota Padang dapat dikatakan sudah cukup baik. Hal ini terindikasi dari data kondisi tingkat kesejahteraan keluarga pada akhir tahun 2008, dari total keluarga, ternyata sebagai besar yaitu sekitar 92,05 persen ( keluarga) merupakan kelompok Keluarga Sejahtera (KS) dengan proporsi terbesar pada KS III sekitar 34,76 persen, disusul oleh KS II sekitar 33,46 persen, KS I sekitar 20,11 persen, dan KS Plus sekitar 8,84 persen, dan selebihnya yaitu sekitar 7,95 persen (4.759 keluarga) merupakan kelompok keluarga Pra Sejahtera. Tabel 16. Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kota Padang No. Kecamatan Tingkat Kesejahteraan (KK) PS KS I KS II KS III KS Plus Jumlah 1 Bungus Tl. Kabung Lubuk Kilangan Luhuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Jumlah ,95% 20,11% 33,46% 34,76% 8,84% 100,00% Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 Ekonomi yang tumbuh semakin kuat dan disertai kenaikan PDRB per kapita, belum diikuti oleh penyebaran kekayaan pada seluruh penduduk sehingga masih terdapat kesenjangan. Kesenjangan itu tercermin pada angka gini ratio, dimana semakin besar gini ratio semakin besar kesenjangan yang ada. Meski ekonomi Kota Padang terus tumbuh, tetapi belum dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk kota. Hal tersebut bisa dilihat dari angka gini ratio Kota Padang yakni sebesar 0,2637 pada tahun 2008 yang berarti masih terjadi ketimpangan distribusi pendapatan walaupun nilainya masih moderat. Kesenjangan pendapatan antara kelompok penduduk, salah-satunya merefleksikan masih banyaknya penduduk yang hidup dalam kemiskinan.

96 75 Dalam rangka pelaksanaan berbagai program pemerintah, khususnya penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), maka pendekatan yang digunakan adalah jumlah rumah tangga miskin dan bukan jumlah penduduk miskin. Pendataan yang dilakukan oleh BPS Kota Padang tahun 2006, jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kota Padang berjumlah RTM. Tahun 2007 jumlahnya tetap RTM, dan pada akhir tahun anggaran 2008 jumlah RTM telah berkurang menjadi RTM atau turun sebesar 22,19 persen. Namun pada tahun 2009 jumlah rumah tangga miskin kembali meningkat jumlahnya menjadi RTM Kondisi Sosial Budaya Salah satu ciri masyarakat Minangkabau adalah sistem kekerabatannya yang bersifat matrilineal. Sistem sosial atas kehidupan kekerabatan yang menganut sistem garis keturunan ibu ini menjadikan garis keturunan dan harga benda-benda diperhitungkan melalui garis ibu bukan garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita dan bukan suaminya. Pada sistem kekerabatan ini terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu (a) garis keturunan menurut garis ibu, (b) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang saat ini dikenal istilah eksogami matrilineal, dan (c) ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga. Aspek sosial budaya lainnya yang penting di Minangkabau adalah adanya kepala-kepala suku yang diangkat menjadi penghulu atau kepala kaum atau kepala suku. Kepala suku disebut penghulu suku dan berkuasa sepenuhnya secara adat terhadap kaumnya dan segala urusan sukunya tidak dapat dicampuri oleh orang atau kaum di luar sukunya. Sebagai masyarakat yang menganut paham kekeluargaan, orang Minangkabau dilingkupi oleh lembaga-lembaga yang dijiwai oleh sistem kekeluargaan tersebut dalam mengatur kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya. Kota Padang jika dilihat dari kultur sejarah Minangkabau, maka termasuk daerah rantau pesisir, sehingga budaya dan keseniannya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Pengaruh budaya daerah lain yang cukup kuat mewarnai

97 76 budaya dan kesenian di Kota Padang adalah budaya dan kesenian daerah Solok, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan sebagai kawasan yang berbatasan langsung dengan Kota Padang. Kota Padang sebenarnya masih memiliki budaya dan kesenian yang khas, namun saat ini gambaran nilai budaya dan kesenian ini hanya dapat dilihat di daerah pinggiran kota, seperti daerah Teluk Kabung, Kuranji, dan Koto Tangah. Minangkabau jika ditinjau dari sektor pendidikan, maka merupakan salahsatu daerah pertama yang mewadahi gerakan pembaruan pendidikan Islam. Hal ini dapat dibuktikan pada koreksi beberapa nilai adat yang tidak sesuai dengan nilainilai Islam. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas yang sangat kuat memegang teguh nilai-nilai adat, namun perlu diingat bahwa nilai-nilai adat merupakan buatan manusia yang dapat berubah sesuai dengan kondisi, maka perlu adanya penyesuaian nilai-nilai adat ketika nilai yang lama telah tidak relevan lagi. Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut akan menentukan masa depan suatu masyarakat sehingga pendidikan memegang peran yang sangat penting. Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai penentu masa depan, menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat, sekaligus melestarikan nilainilai dan warisan sosial-kultural tempat pendidikan tersebut dilaksanakan. Sumatera Barat pada umumnya dan Minangkabau khususnya dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama, hal ini dapat dilihat dari falsafah hidup yang telah menjadi cita-cita, dan pedoman dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai falsafah hidup Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Kota Padang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat melalui RPJP telah menyusun program kegiatan untuk mendukung terwujudnya cita-cita kembali ke nagari dan kembali ke surau dengan cara : Mendorong peningkatan peran dan fungsi lembaga Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai (tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan) dalam pembinaan anak kemenakan dan anak nagari khususnya, dan masyarakat dalam arti luas. Mengembangkan dan memberikan mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau) sejak dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi.

98 77 Mendorong aktivitas keagamaan dan perayaan hari besar agama. Untuk terlaksananya program kegiatan ini harus didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai, baik dari segi kelembagaan maupun mekanisme pelaksanaan. Nilai positif dari aspek sosial budaya yang merupakan kultur dari masyarakat Kota Padang yang juga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya adalah nilai kebersamaan, demokratis dan gotong-royong. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang, saciok bak ayam, sadantiang bak basi, duduak samo randah, tagak samo tinggi, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian Kota Padang dijelaskan melalui laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian dan inflasi yang diuraikan dalam sub bab sebagai berikut: a. Laju Pertumbuhan Ekonomi Selama 10 tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang dapat dibagi menjadi dua pola kecenderungan, yaitu sebelum tahun 2000 dan setelah tahun Sebelum tahun 2000, setelah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sampai tahun 1997, laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang mengalami koreksi sangat besar akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun Pada periode 1999 sampai 2009 laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang cukup stabil pada kisaran angka 5-6 persen per-tahun. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat dan laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang terlihat masih di bawah rata-rata provinsi dan nasional. Sebelum gempa pertumbuhan ekonomi Kota Padang tahun 2008 mencapai 6,21 persen, setelah gempa, tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Kota Padang turun menjadi 5,08 persen yang merupakan pertumbuhan terendah selama periode Pertumbuhan ekonomi Kota Padang ini jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat tahun

99 laju pertumbuhan (%) , maka kondisi Kota Padang jauh lebih baik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor bencana menjadi salah satu parameter penting dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 11. Tabel 17. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang No. T a h u n Laju Pertumbuhan Ekonomi Keterangan ,82% ,05% ,12% ,48% ,76% krisis ekonomi ,49% ,47% ,07% ,30% Mulai digunakan tahun dasar 2000 untuk ,55% menghitung PDRB atas dasar harga konstan ,89% ,29% ,12% ,14% ,21% ,08% Sumber : Padang Dalam Angka , Bappeda Kota Padang dan BPS Kota Padang. 12,0% 10,0% 8,82% 9,05% 9,12% 8,0% 6,0% 4,0% 2,0% 0,0% -2,0% -4,0% 6,48% 5,30% 5,55% 5,89% 6,14% 6,21% 5,29% 5,12% 5,08% 4,47% 4,07% 1,49% -6,0% -8,0% -7,76% -10,0% Gambar 11. Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang Sumber : Padang Dalam Angka , Bappeda Kota Padang dan BPS Kota Padang.

100 79 b. Struktur Perekonomian Struktur perekonomian Kota Padang pada tahun 2009 masih didominasi oleh sektor pengangkutan dan komunikasi dengan kontribusi sebesar 24,31 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan konstribusi sebesar 20,85 persen. Besaran nilai PDRB Kota Padang berdasarkan harga berlaku menunjukkan nilai PDRB yang meningkat dari Rp 20,14 triliun tahun 2008 meningkat menjadi Rp 21,84 triliun menjadi 2009, walaupun dengan kenaikan yang tidak sebesar dari tahun 2007 yang sebesar Rp 17,37 triliun. Nilai PDRB Kota Padang berdasarkan harga konstan tahun 2000 juga menunjukkan peningkatan dari Rp 10,80 triliun tahun 2008 meningkat menjadi Rp 11,35 triliun menjadi 2009, terjadi kenaikan yang cukup besar jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. (PDRB Kota Padang dan PDRB Provinsi Sumatera Barat atas harga konstan termuat dalam Lampiran 7 dan Lampiran 8). Struktur ekonomi Kota Padang pasca gempa pada tahun 2009 masih tetap didominasi oleh sektor pengangkutan dan komunikasi diikuti dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sektor jasa-jasa sebesar 16,99 persen dan sektor industri sebesar 14,97 persen. c. Inflasi Pasca gempa bumi 30 September 2009, Kota Padang mengalami deflasi selama 2 bulan berturut-turut. Satu bulan pasca gempa bumi terjadi, inflasi Kota Padang merupakan yang tertinggi dibandingkan kota lain di Indonesia yaitu sebesar 1,78 persen (m-t-m). Pada bulan selanjutnya, Kota Padang justru mengalami deflasi yang cukup dalam yaitu sebesar -0,53 persen (m-tm) di Bulan November dan persen (m-t-m) di Bulan Desember. Banyaknya obat-obatan dan bahan makanan yang masuk ke Kota Padang selama periode ini lebih bersifat bantuan sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya sebagian besar aktivitas ekonomi di Kota Padang masih terhenti. Selain itu, hancurnya beberapa pusat perdagangan serta terbatasnya kapasitas konsumsi masyarakat membuat tingkat inflasi juga tidak mengalami lonjakan seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak sebelumnya. Perkembangan laju inflasi Kota Padang dalam beberapa tahun terakhir ditampilkan pada Tabel 18.

101 80 Tabel 18. Perkembangan Laju Inflasi di Kota Padang Laju Inflasi ,99% 9,86% 10,22% 5,55% 6,98% 19,33% 8,05% 6,73% 13,09% 17,56% Sumber : BPS Kota Padang (Padang Dalam Angka ) 5.4. Potensi Perikanan dan Kelautan Potensi dan Karakteristik Sub Sektor Perikanan Kota Padang memiliki potensi perikanan yang besar, baik pada usaha perikanan laut maupun perairan umum. Potensi ini dinyatakan dalam kontribusi yang dihasilkan bagi perekonomian daerah. Hal ini ditandai dengan tingginya produksi dan nilai yang dihasilkan bagi peningkatan ekonomi daerah. Rincian nilai produksi menurut jenis usaha perikanan di Sumatera Barat ditampilkan pada Tabel 19 sebagai berikut: Tabel 19. Nilai Produksi menurut Jenis Usaha Perikanan di Sumatera Barat No. Kabupaten/Kota Total Penangkapan Laut Sektor Perikanan Budidaya Laut Penangkapan Perairan Umum 1 Kab. Kep.Mentawai Kab. Pesisir Selatan Kab. Padang Pariaman Kab. Pasaman Barat Kota Padang Kota Pariaman Sumber: DKP Provinsi Sumatera Barat, 2010 Usaha perikanan tangkap laut di Kota Padang memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian daerah. Kontribusi ini sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 19 menunjukkan usaha penangkapan di laut memberikan nilai sebesar Rp Nilai ini setara 86 persen dari total nilai produksi sektor perikanan di Kota Padang selama tahun 2010 sebesar Rp 293,31 milyar. Salah satu potensi perairan wilayah Kota Padang yang telah dimanfaatkan adalah sumberdaya perikanan. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kota

102 81 Padang (2010) potensi perikanan daerah ini terdiri dari kelompok sumberdaya sebagai berikut; Ikan Pelagis Besar seperti; tuna, albakora, setuhuk, ikan pedang, layaran, cakalang, tongkol dan tenggiri dengan potensi lestari ton. Ikan Pelagis Kecil meliputi; ikan-ikan yang hidup di daerah permukaan laut yang berukuran relatif kecil seperti ikan kembung, bentong, layang, selar, lemuru dan lain sebagainya dengan potensi lestari ton. Sumber daya ikan pelagis ini relatif telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan dengan alat tangkap yang sederhana. Ikan Demersal, adalah jemis ikan yang hidup di perairan dalam, meliputi; ikan kerapu, bambangan, bawal dan lainnya. Potensi lestari jenis ikan Demersal ini sebesar ton. Ikan Karang yang terdapat di sekitar terumbu karang, dimanfaatkan untuk dikonsumsi dan sebagai ikan hias. Udang, dengan daerah penangkapan sekitar perairan pantai Kota Padang dan perairan Kepulauan Mentawai. Kota Padang memiliki potensi pengembangan yang besar pada bidang perikanan, hal ini ditandai dengan adanya faktor penunjang baik perikanan tangkap laut maupun perikanan budidaya laut. Faktor penunjang tersebut dijabarkan dalam Tabel 20 dan Tabel 21. Tabel 20. Potensi Perikanan Tangkap Laut No. Lokasi Potensi Potensi Sarana Pelabuhan 1 Laut Kota Padang Ikan Pelagis, Demersal, Sarana Pelabuhan Perikanan, PPI Muaro Anai, TPI Gaung, TPI Pasie Nan Tigo 2 Pesisir Kota Padang Ikan Karang, Ikan Hias Batang Arau, Purus 3 ZEE Tuna (Bigeye, Yellowfin) PPS Bungus Sumber: DKP Padang, 2010 Wilayah desa pantai yang terdapat di Kota Padang memiliki keuntungan alamiah karena terletak pada kawasan geografis yang sangat sesuai dengan aktivitas perikanan laut. Selain itu, lokasi ini juga didukung oleh faktor kawasan pusat pengembangan perikanan karena berada di Ibukota Provinsi. Aktivitas perikanan laut telah turun temurun menjadi bagian yang integral bagi masyarakat

103 82 pesisir ini dimana telah menjadi karakteristik utama masyarakatnya. Potensi budidaya perikanan laut disajikan pada Tabel 21 berikut: Tabel 21. Potensi Budidaya Laut No. Lokasi Potensi Pemanfaatan Keuntungan Jenis budidaya 1 Bungus Teluk Budidaya laut Kabung 2 Sungai Pisang Budidaya laut 3 Pulau Pesumpahan Budidaya laut 4 Teluk Buo Budidaya laut Sumber: DKP Padang, 2010 Terlindung dari hempasan gelombang, Bebas Pencemaran, Kedalaman air lebih 5 meter pada saat surut, Terhindar dari pengaruh air tawar Marine fin fish, Echinodermata (Marine teat fish) Rumput laut (Sea weed), Kondisi biofisik lokasi di beberapa kawasan pesisir dan pantai Kota Padang memperlihatkan adanya peluang yang cukup potensial untuk pengembangan usaha budidaya perikanan, terutama budidaya kepiting bakau dan kerapu. Adapun kecamatan yang memenuhi persyaratan lokasi secara umum untuk budidaya laut adalah Kecamatan Teluk Kabung di daerah Teluk Buo dan Sungai Pisang. Karakteristik wilayah Kota Padang dengan sebagian besar kecamatan berada di pesisir menyebabkan komposisi penduduk menyebar di sepanjang garis pantai. Total sebelas kecamatan yang ada di Kota Padang, tercatat ada enam kecamatan yang berada di pesisir pantai dengan komposisi penduduk seperti yang disajikan pada Tabel 22. Komposisi penduduk ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pengembangan usaha perikanan. Tabel 22. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir di Kota Padang No. Kecamatan Jumlah Luas (km 2 Kepadatan Penduduk ) Penduduk (jiwa/km 2 ) 1 Koto Tangah , Padang Barat , Padang Utara Lubuk Begalung , Padang Selatan , Bungus T. Kabung , Jumlah , ,83 Sumber: DKP Padang, 2010

104 83 Koto Tangah merupakan kecamatan pesisir dengan jumlah penduduk terbesar yaitu jiwa. Posisi kedua jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Lubuk Begalung sebanyak jiwa. Bungus Teluk Kabung dengan luas wilayah kedua terluas setelah Koto Tangah hanya dihuni oleh jiwa, hal ini disebabkan oleh topografi wilayahnya berupa pebukitan sehingga kepadatan penduduk daerah ini kecil. Peta kecamatan pesisir Kota Padang ditampilkan pada Gambar 12 sebagai berikut: Gambar 12. Peta Kecamatan Pesisir Kota Padang Kota Padang memiliki enam kecamatan pesisir yang terbentang dari utara hingga selatan. Bagian barat kecamatan pesisir ini berhadapan dengan Samudera Hindia (Lautan Indonesia). Faktor posisi dan kondisi daerah ini menyebabkan adanya keterkaitan yang kuat dengan kebiasaan dan aktivitas masyarakat setempat. Keterkaitan ini berupa sistem mata pencaharian, kebudayaan/tradisi setempat serta berbagai aktivitas sosial lainnya. Aktivitas perikanan sebagian besar menjadi pola kehidupan masyarakat kecamatan pesisir Kota Padang. Kecamatan pesisir itu antara lain Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara, Padang Barat, Lubuk Begalung, Padang Selatan dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung.

105 84 Nelayan dapat dikelompokan menjadi nelayan penuh dan nelayan sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melaut sehingga status pekerjaannya sebagai nelayan merupakan pekerjaan pokok. Nelayan sambilan adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melaut sehingga status pekerjaannya sebagai nelayan merupakan pekerjaan sampingan (DKP Padang, 2010). Kota Padang memiliki jumlah nelayan yang cukup banyak, baik sebagai nelayan penuh maupun sambilan. Perkembangan jumlah nelayan di Kota Padang ditampilkan pada Tabel 23 di bawah ini: Tabel 23. Jumlah Nelayan Laut Menurut Kecamatan No. Kecamatan Penuh Sambilan Jumlah 1 Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Padang Sumber: DKP Padang, 2010 Melalui data jumlah nelayan laut Kota Padang tahun 2010 terlihat bahwa jumlah nelayan terbesar di Kota Padang terdapat di daerah Kota Tangah sebanyak orang, kemudian posisi kedua Kecamatan Bungus Teluk Kabung orang. Sedangkan tiga kecamatan tidak memiliki tenaga kerja nelayan karena lokasinya yang tidak memiliki perairan pantai yaitu Kecamatan Lubuk Kilangan, Kecamatan Kuranji dan Kecamatan Pauh.

106 85 Teknologi penangkapan ikan di Kota Padang terdiri dari berbagai macam alat tangkap dan berbagai macam armada tangkap mulai dari yang bersifat tradisional seperti pancing, colok, sampai yang menggunakan teknologi mesin bagan ukuran besar dan tonda. Masing-masing alat tangkap memiliki kapasitas yang berbeda-beda sehigga hasil tangkapannya juga berbeda-beda dan juga dipengaruhi oleh wilayah operasi penangkapan yang berbeda. Alat tangkap yang bersifat tradisional umumnya operasi penangkapannya masih dalam skala kecil. Usaha penangkapan ikan oleh nelayan di Kota Padang sebagian besar sudah menggunakan sarana atau armada penangkapan menggunakan mesin, namun di beberapa tempat masih ada yang menggunakan alat tangkap tanpa motor. Berdasarkan jenis armada yang digunakan, nelayan Kota Padang dibedakan atas nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor (PTM), menggunakan motor tempel (MT) dan kelompok nelayan yang menggunakan kapal motor (KM). Data rinci jumlah armada tangkap yang ada di enam kecamatan pesisir di Kota Padang dijabarkan pada Tabel 24 sebagai berikut: Tabel 24. Jumlah Perahu dan Kapal Menurut Kecamatan No. Kecamatan Perahu Tanpa Motor (PTM) Motor Tempel (MT) Kapal Motor (KM) Jumlah Total 1 Bungus TL. Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Padang Sumber: DKP Kota Padang, 2010

107 Produksi (Ton) Nilai (juta rupiah) 86 Tabel 24 menunjukkan bahwa persentase usaha nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor tahun 2010 sebanyak 22,57 persen dan motor tempel 71,49 persen, sementara jumlah nelayan yang menggunakan Kapal Motor sebesar 5,94 persen. Hal ini memperlihatkan aktivitas kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan sudah memasuki jalur I, II dan wilayah ZEEI. Perkembangan armada dari tahun ke tahun terlihat adanya tren kenaikan jumlah motor tempel, sementara Perahu Tanpa Motor (PTM) dan Kapal Motor (KM) cenderung mengalami penurunan. Hasil analisis data primer di lapangan mengungkapkan bahwa usaha penangkapan oleh nelayan yang sudah jauh dari pantai juga disebabkan karena sumberdaya ikan sejauh 4 mil dari pantai sudah mengalami degradasi, sehingga produksi penangkapan ikan di kawasan ini sangat minim. Perkembangan produksi dan nilai perikanan tangkap Kota Padang ditampilkan pada Gambar , , , , , , Produksi Nilai Gambar 13. Perkembangan Produksi dan Nilai Perikanan Kota Padang Sumber: DKP Kota Padang, 2011 Perkembangan produksi dan nilai perikanan tangkap Kota Padang sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 13 menunjukkan tren positif. Kontribusi terbesar sektor perikanan di Kota Padang adalah berasal dari produksi jenis ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan tongkol. Ketiga spesies pelagis ini menyumbang 66,33 persen dari total nilai kontribusi seluruh jenis ikan di Kota Padang tahun Tuna merupakan penyumbang kontribusi terbesar Kota Padang yakni mencapai Rp ,00. Hal ini dikarenakan selain

108 87 produksi yang cukup besar, tuna juga merupakan produk ekspor untuk tujuan Jepang, Singapura dan Amerika (DKP Kota Padang, 2011) Potensi dan Karakteristik Bidang Kelautan Kota Padang memiliki berbagai potensi kelautan yang penting untuk dikembangkan, baik renewable resource maupun non renewable resource. Kondisi dan potensi pemanfaatan ruang pesisir Kota Padang dijelaskan dalam Lampiran 9. Adapun potensi kelautan Kota Padang sebagaimana disajikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang (Bappeda Kota Padang, 2010) antara lain: a. Hutan Bakau (Mangrove) Potensi hutan bakau di wilayah Kota Padang relatif sedikit dibanding dengan kabupaten lainnya di Sumatera Barat yaitu seluas 64,45 ha. Hutan bakau umumnya terdapat di pulau-pulau kecil Kota Padang. Namun demikian, potensi ini masih bisa dikembangkan di beberapa pesisir Kota Padang sebagai sarana mitigasi alam dan juga untuk manfaat ekonomi lainnya. b. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting dalam menjaga ekosistem dan merupakan habitat tempat hidup ikan mencari makan dan tempat pemijahan. Luas terumbu karang yang ada di wilayah Kota Padang sekitar 400 ha. c. Padang Lamun dan Rumput Laut Padang Lamun terdapat di sepanjang pantai yang merupakan habitat, tempat makanan ikan, tempat pemijahan dan tempat berlindung larva ikan. Rumput laut merupakan salah-satu sumber daya alam laut yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Saat ini pengolahan rumput laut di Kota Padang masih dalam skala kecil rumah tangga untuk dijadikan bahan agar-agar. d. Estuaria Estuaria merupakan kawasan yang fungsinya sebagai salah satu sumber penyedia dan penyimpan zat hara bagi lautan. Estuaria terdiri dari estuaria

109 88 muara sungai, estuaria laguna dan estuaria dataran pasir. Fungsi estuaria di Kota Padang belum banyak mendukung kesuburan pantai kecuali yang ada di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, hal ini disebabkan kawasan estuaria telah tercemar oleh limbah permukiman dan industri di sekitarnya. Estuaria di kawasan Bungus Teluk Kabung perlu diantisipasi pengelolaannya agar tidak rusak karena berdekatan dengan Pelabuhan Pertamina. e. Pulau-pulau Kecil Pulau pulau kecil yang ada di wilayah Kota Padang berjumlah 19 pulau, 13 pulau terletak relatif dekat dengan daratan. Pulau terjauh terletak 13,15 mil dari daratan, yaitu Pulau Pandan. Pemanfaatan pulau-pulau kecil ini belum optimal, sebagian telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebun kelapa, dan beberapa pulau telah dikembangkan untuk kegiatan pariwisata. Kondisi pulau ini sebagian mengalami abrasi akibat terumbu karang yang mengelilinginya telah rusak, disebabkan oleh alam dan penangkapan ikan yang menggunakan bom dan potasium Prasarana Pendukung Prasarana dan sarana pendukung sektor perikanan dan kelautan Kota Padang adalah: a. Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Bandar udara ini berjarak lebih kurang 23 Km dari pusat Kota Padang. BIM menempati lahan seluas ± 427 hektar sebagai pintu gerbang utama Sumatera Barat. Bandara ini mulai dibangun tahun 2001 menggantikan Bandara Tabing yang telah beroperasi selama 34 tahun. BIM dapat menampung pesawat udara berbadan lebar seperti A 330 atau MD 11. Kelengkapan fasilitas yang jauh berbeda dengan Bandara Tabing dapat lebih menggairahkan aktivitas penerbangan di bandara ini. Bandara ini dibuka sejak Februari 2005 dan sudah dapat dimanfaatkan untuk melayani pesawat domestik dan internasional. Kondisi ini membuka peluang dan tersedianya Space Cargo ekspor tuna segar dan komoditi perikanan lainya langsung ke mancanegara.

110 89 b. Pelabuhan Teluk Bayur Kegiatan jasa dan perhubungan laut di Sumatera Barat secara umum lebih banyak dilakukan di Pelabuhan Teluk Bayur. Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah satu pelabuhan yang ramai dan terbesar yang dikunjungi kapal samudra dan kapal antar pulau sehingga mempunyai kedudukan yang strategis untuk Provinsi Sumatera Barat serta merupakan pintu gerbang perekonomian Sumatera Bagian Barat. Fungsi dari pelabuhan ini adalah: Fungsi utama sebagai pusat pelayanan transportasi laut skala regional dan internasional. Pintu gerbang Pantai Barat Sumatera melalui laut yang dapat melayani penumpang maupun cargo domestik serta internasional. c. Pelabuhan Muaro Pelabuhan Muaro diarahkan untuk pelayanan lingkup lokal dan antar pulaupulau (interinsuler). Kapal penumpang, kapal barang dan kapal pesiar (yacht) dengan kapasitas terbatas menggunakan pelabuhan ini sebagai tempat sandar dan pemberangkatan kapal. Kawasan sarana pendukung transportasi (Pelabuhan) Muaro seluas 5 Ha. d. Pelabuhan Batang Arau Pelabuhan Batang Arau berfungsi sebagai pelabuhan kapal-kapal mesin dan perahu motor tempel. Kapal-kapal tonda di Kota Padang sebagian besar mendarat di pelabuhan ini. Aktivitas perikanan di pelabuhan ini antara lain bongkar hasil tangkapan, pelelangan dan aktivitas perbaikan kapal. Beberapa tempat pendaratan dan pangkalan ikan di Kota Padang selain Batang Arau adalah PPI Muaro Anai, TPI Gaung, TPI Pasie Nan Tigo dan Purus. e. Pelabuhan Umum Bungus Pelabuhan Umum Bungus merupakan pelabuhan yang melayani penumpang umum (Ferri) dari Kepulauan Mentawai, Nias dan pulau-pulau lainnya. Pelabuhan ini terletak di utara Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus Kecamatan Teluk Kabung Padang. Pelabuhan ini hanya difungsikan sebagai sarana transportasi, sedangkan untuk kegiatan perikanan dioperasikan di PPS Bungus.

111 90 f. Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus (PPSB) Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus terletak di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, 16 km dari pusat Kota Padang dan ± 30 km dari Bandara Internasional Minangkabau dengan luas lahan 14 Ha. Secara geografis berada pada posisi koordinat dan BT. Keadaan cuaca secara umum sama dengan cuaca di sekeliling equator, angin beraturan, panas, curah hujan banyak. Kondisi perairan cukup tenang karena terlindung oleh gugusan pulau-pulau Kepulauan Mentawai. Pelabuhan ini lebih difokuskan sebagai pelabuhan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan pelabuhan untuk kapal-kapal yang membawa hasil pemanfaatan sumberdaya laut lainnya. Selain itu PPS Bungus juga difungsikan sebagai tempat perbaikan dan pembuatan kapal-kapal khususnya kapal nelayan dan kapal angkut barang interinsuler. PPS Bungus merupakan salah satu pusat perekonomian penting Kota Padang yang berfungsi sebagai pintu gerbang kegiatan ekspor perikanan khususnya tuna ke negara lain. Terhitung sejak tanggal 1 Mei 2001 Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus ditingkatkan statusnya menjadi eselon II/b dengan klasifikasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus (PPSB) berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.26.1/MEN/2001. Fasilitas yang tersedia pada pelabuhan PPS Bungus yaitu; kolam pelabuhan, dermaga, receiving hall, perbengkelan, perbekalan, pabrik es, dan fasilitas penunjang (Rincian fasilitas PPS Bungus disajikan dalam Lampiran 10). Di samping itu pada beberapa tempat terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) mini, antara lain di Pasir Jambak, Gaung, dan Batung. Potensi usaha dan investasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus tergolong masih besar, hal ini dipengaruhi antara lain; dukungan sumberdaya ikan masih cukup besar, usaha perikanan tuna longline dan purseseine, pembangunan pabrik es dan Cold Storage, unit pengolahan berupa pengalengan ikan, pengeringan tepung ikan, dan lain-lain. dock yard (slip way kapasitas 100 GT), dukungan perbankan, jasa keuangan non bank, penyaluran logistik (perbekalan melaut), toko alat-alat atau bahan perikanan serta waserba. PPS Bungus sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

112 91 Nomor 16 tahun 2006, memiliki potensi dan karakteristik yaitu; melayani kapal perikanan yang beroperasi di laut teritorial, ZEEI, dan laut lepas. Kapasitas tambat labuh 60 GT dan menampung 100 kapal perikanan (6.000 GT). Panjang dermaga sekitar 300 m, sarana ekspor ikan serta terdapat industri perikanan. Produksi hasil tangkapan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dari tahun sangat berfluktuasi. Fluktuasi hasil tangkapan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain perbedaan upaya penangkapan yang dilakukan, keadaan cuaca yang berbeda setiap bulannya, ketersediaan sumber makanan, peningkatan/penurunan jumlah armada longline, serta kondisi oseanografi yang mempengaruhi kehidupan dan keberadaan tuna pada fishing ground.

113 92 VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA 6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan Analisis Kontribusi Perikanan merupakan merupakan salah satu sub sektor pertanian di Kota Padang dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Hal ini berdasarkan atas hasil analisis deskriptif dan studi literatur pada bab penelitian ini sebelumnya. Nilai kontribusi yang dihasilkan bagi perekonomian daerah diperoleh berdasarkan indikator PDRB melalui analisis Shift Share dengan perbandingan persentase antara PDRB sub sektor perikanan pada tahun i terhadap total PDRB seluruh sektor pada tahun i di Kota Padang. Secara rinci hasil analisis Shift Share disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan No. SEKTOR KONTRIBUSI (%) Pertanian 5,25 5,31 5,26 5,22 5,16 5,14 5,16 5,13 5,12 5,14 5,10 Perikanan 2,84 2,89 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,89 2,89 2 Pertambangan dan Penggalian 1,68 1,67 1,61 1,55 1,52 1,52 1,53 1,54 1,53 1,53 1,54 3 Industri Pengolahan 18,10 17,98 17,98 17,42 17,05 16,99 16,97 16,77 16,55 16,34 16,12 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,50 1,64 1,72 1,75 1,69 1,67 1,67 1,73 1,77 1,79 1,79 5 Bangunan 4,17 4,15 4,11 4,07 4,06 4,12 4,22 4,24 4,25 4,24 4,30 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 22,37 22,31 22,32 22,06 21,81 21,94 22,30 22,12 21,78 21,44 21,17 7 Pengangkutan dan Komunikasi 22,45 22,31 22,71 23,84 24,83 24,59 23,63 23,87 24,30 24,73 25,20 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 7,31 7,37 7,25 7,23 7,39 7,58 7,82 7,93 8,00 8,07 8,13 9 Jasa-jasa 17,17 17,25 17,03 16,85 16,49 16,46 16,69 16,66 16,69 16,72 16,66 Total (%) Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data kontribusi antar sektor di Kota Padang selama 11 tahun terakhir menunjukkan terjadinya fluktuasi dan perbedaan kontribusi masing-masing sektor. Sektor yang secara umum memberikan peningkatan kontribusi antara lain; pertanian, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa. Peningkatan sektor ini pun tidak setiap tahun meningkat tapi beberapa kali mengalami fluktuasi. Sementara itu sektor lainnya mengalami penurunan.

114 Kontribusi (%) 93 Perbedaan kontribusi dan fluktuasi ini tidak lepas dari faktor karakteristik potensi daerah serta berbagai goncangan yang terjadi akibat krisis nasional maupun daerah. Secara umum terjadi peningkatan PDRB pada beberapa sektor di Kota Padang. Menggeliatnya ekonomi dan iklim investasi menjadi pemicu peningkatan pendapatan daerah ini. Kondisi ini juga berdampak pada sub sektor perikanan yang turut mengalami peningkatan. Perhitungan kontribusi ini dihitung melalui analisis Shift Share berdasarkan indikator PDRB harga konstan tahun Rekap perkembangan kontribusi ini secara jelas ditampilkan dalam Gambar 14. Kontribusi Sektor Perikanan 2,90 2,89 2,89 2,89 2,88 2,86 2,84 2,84 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,82 2,80 y = 0,0034x + 2,8393 R² = 0,2193 2,78 Gambar 14. Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Perkembangan kontribusi yang dihasilkan sub sektor perikanan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 14, memperlihatkan terjadinya peningkatan kontribusi selama sepuluh tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan nilai tuna sebagai komoditi ekspor dan juga dampak positif dari kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan Kota Padang (PPS Bungus) sebagai sentra perikanan tuna Indonesia Bagian Barat. Kontribusi utama perikanan di Padang adalah berasal dari perikanan tangkap, hal ini didukung oleh posisinya sebagai daerah pesisir yang menghadap ke Samudera Hindia. Trend peningkatan kontribusi ini perlu disikapi stakeholder terkait melalui kebijakan pengembangan yang akan berdampak bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

115 Analisis Basis Ekonomi Penilaian basis ekonomi Kota Padang dalam penelitian ini dihitung menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis basis ekonomi memuat sembilan sektor perekonomian yang ada di Kota Padang. Secara rinci perhitungan LQ antar sektor ditampilkan pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis Location Quotient, beberapa sektor di Kota Padang dapat dikategorikan sektor basis selama 10 tahun terakhir. Sektor basis tersebut yaitu; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi serta Keuangan, Persewaan; Jasa Perusahaan. Sektor-sektor ini menurut Sjafrizal (2008) merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Perkembangan sub sektor perikanan di Kota Padang yang tergolong ke dalam sektor pertanian mengalami tren peningkatan. Dari tahun 2000 sampai tahun 2010 perikanan dikategorikan sektor basis karena nilai LQ>1. Kenaikan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya karena peningkatan produksi perikanan laut khususnya nilai kontribusi yang dihasilkan tuna. Perhitungan nilai LQ sub sektor perikanan diuraikan dalam Tabel 26 dan Gambar 15. Tabel 26. Perhitungan LQ Sub Sektor Perikanan Kota Padang No. Tahun vi Vi vt Vt (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) LQ Ket , , , ,05 1,004 Basis , , , ,93 1,020 Basis , , , ,76 1,051 Basis , , , ,64 1,030 Basis , , , ,56 1,024 Basis , , , ,53 1,046 Basis , , , ,10 1,051 Basis , , , ,59 1,063 Basis , , , ,42 1,067 Basis , , , ,68 1,073 Basis , , , ,68 1,107 Basis Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

116 Nilai LQ 95 Nilai LQ Sektor Perikanan 1,12 1,10 1,08 1,06 1,04 1,02 1,00 0,98 0,96 0,94 1,00 1,02 1,05 1,03 1,02 1,05 1,05 1,06 1,07 1,07 y = 0,0079x + 1,0015 R² = 0,8221 1,11 Gambar 15. Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 26 dan Gambar 15 menunjukkan perikanan merupakan sektor basis di Kota Padang. Adanya tren kenaikan nilai LQ menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan pengembangan yang akan diambil. Sub sektor perikanan sudah seharusnya ditempatkan menjadi tulang punggung perekonomian daerah sehingga mendapat proporsi untuk dikembangkan dan memberikan keuntungan komparatif bagi daerah. Kebijakan pengembangan sektor basis ini juga akan memberikan dampak berganda bagi peningkatan kontribusi sektor lain. Perekonomian suatu daerah terdiri dari beberapa sektor dengan berbagai potensi ekonomi. Pertumbuhan atau penurunan salah satu sektor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Analisis pertumbuhan ekonomi dengan sektor wilayah tertentu membantu pembuat kebijakan (policy maker) dan stakeholder dalam pengambilan kebijakan yang lebih baik (Herath et al., 2012). Melalui hasil analisis shift share diperoleh kesimpulan bahwa sub sektor perikanan memiliki peluang dalam meningkatkan perekonomian daerah. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dalam penguatan sektor basis melalui investasi dan program pengembangan guna mencapai kesejahteraan.

117 Analisis Makro Perikanan antar Wilayah Menurut Fauzi (2010), pendekatan MRA (Minimum Requirement Approach) dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi makro sub sektor perikanan. Pendekatan ini dapat mengukur seberapa besar kekuatan sektor basis dengan mengukur base multiplier-nya. Melalui pendekatan ini diperoleh gambaran pengaruh sub sektor perikanan terhadap sektor lainnya di Kota Padang dengan membandingkannya pada daerah yang memiliki karakteristik potensi perikanan laut di Provinsi Sumatera Barat. Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variabel tenaga kerja (E=Employment) sebagai indikator. Pada kasus ini, teknik MRA mengandalkan wilayah yang memiliki karakteristik yang sama yang digunakan sebagai acuan atau peer. Daerah lain yang dipilih sebagai pembanding dalam indikator tenaga kerja adalah daerah pesisir yang menjadikan sub sektor perikanan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian. Daerah tersebut antara lain Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Perhitungan nilai share tenaga kerja antar wilayah dijelaskan dalam Tabel 27 berikut: Tabel 27. Share Tenaga Kerja Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010 No. Wilayah Total Tenaga Kerja Tenaga Kerja Perikanan Share Tenaga Kerja 1 Kota Padang ,023 2 Kota Pariaman ,037 3 Kab. Padang Pariaman ,028 4 Kab. Pesisir Selatan ,088 5 Kab. Pasaman Barat ,017 6 Kab. Kepulauan Mentawai ,088 Sumber. BPS Provinsi Sumbar, 2010 (Data diolah tahun 2012) Dari data nilai share yang diperoleh terlihat bahwa daerah yang memiliki nilai share tertinggi untuk perikanan adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Pesisir Selatan. Nilai ini merupakan perbandingan komposisi tenaga kerja keseluruhan dengan tenaga kerja yang khusus bekerja sebagai nelayan (perikanan tangkap). Sedangkan daerah dengan nilai share terendah adalah Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai 0,017. Kota Padang sebagai Ibu Kota Provinsi memiliki keunggulan komparatif pada sektor jasa, keuangan dan perdagangan,

118 97 sehingga jumlah tenaga kerja terbesar bergerak pada sektor-sektor tersebut. Nilai share Pasaman Barat dijadikan sebagai peer dalam tahap perhitungan selanjutnya karena merupakan nilai yang paling minimum dari sub sektor perikanan. Perhitungan MRA dijelaskan dalam Tabel 28 sebagai berikut: Tabel 28. Perhitungan MRA Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010 No. Wilayah Share Sektor Minimum Shares Peer Total Emp. Sektor Total Emp. Basic Emp. Basic Multiplier 1 Kota Padang 0,023 0, , ,6 2 Kota Pariaman 0,037 0, ,156 50,4 3 Kab. Padang Pariaman 0,028 0, ,246 95,0 4 Kab. Pesisir Selatan 0,088 0, ,298 14,1 5 Kab. Kepulauan Mentawai 0,088 0, ,299 14,0 6 Kab. Pasaman Barat 0,017 0, Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data hasil analis Tabel 28 dapat digunakan untuk menghitung pengganda basis (base multiplier) sub sektor perikanan. Pengganda basis ini dihitung berdasarkan rasio antara total tenaga kerja perikanan dibagi dengan basic employment. Kota Padang dalam analisis ini memiliki nilai basic multiplier sebesar 177,6 hal ini menunjukkan bahwa setiap 177 tenaga kerja yang diciptakan oleh sektor basis akan menghasilkan 0,6 tenaga kerja di sektor non basis. Daerah yang memberikan efek pengganda terbesar adalah Kota Pariaman, dimana dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah ini untuk setiap 50 tenaga kerja di sektor basis diharapkan akan tercipta 4 tenaga kerja di sektor non basis Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pada jenis ikan tuna. Tuna sebagai objek penelitian dipilih karena merupakan komoditi utama perikanan tangkap Kota Padang yang menghasilkan kontribusi terbesar dibandingkan jenis lain. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis bioekonomi dalam penelitian ini menggunakan satu jenis spesies (single species) yaitu tuna. Ikan tuna yang diteliti adalah jenis Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares).

119 98 Data sekunder sebagai rujukan analisis data pada tahap ini diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus Kota Padang yang juga merupakan sentra perikanan tuna Indonesia bagian barat. Jenis armada atau alat tangkap yang menjadi objek penelitian adalah tuna longline/rawai tuna. Data produksi dan effort yang diperoleh di lapangan yaitu selama 12 tahun. Data ini selanjutnya dianalisis melalui analisis bioekonomi dari tahun 2000 sampai tahun Jumlah produksi dan effort ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dengan alat tangkap longline ditampilkan dalam Tabel 29. Tabel 29. Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang No. Tahun Produksi (ton) Effort (trip) Produksi Total (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,35 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap PPS Bungus Hasil tangkapan per-upaya penangkapan (CPUE) tuna longline dari waktu ke waktu yang didaratkan di Kota Padang cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada Gambar 16. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indek kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa masih terdapat peluang penambahan produksi mengingat tersedianya stok ikan di lokasi penangkapan. Upaya meningkatkan produksi ini juga harus mempertimbangkan faktor keberlanjutan sumberdaya. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah terkait pengelolaan khususnya sumberdaya ikan tuna di Perairan Kota Padang dan WPP 572 Kawasan Samudera Hindia menjadi suatu keharusan guna mencapai optimalisasi dan keberlanjutan. Perkembangan Catch Per Unit Effort (CPUE) ditampilkan pada Gambar 16.

120 CPUE 99 Perkembangan CPUE ,43 5,86 6,19 5,75 9,33 7,99 7,94 7,80 6,73 8,62 8,19 7,83 y = 0,2646x + 5,5019 R² = 0,4495 CPUE Linear (CPUE) Gambar 16. Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Gambar 11 menunjukkan CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2004 (9,329 ton/trip) dan terendah terjadi pada tahun 2000 (4,429 ton/trip). CPUE rata-rata sebesar 7,222 ton/trip atau kg/trip. Nilai ini relatif cukup besar dibandingkan biaya operasional sekali melaut. Rendahnya tingkat effort yang secara langsung berdampak pada CPUE juga dipengaruhi oleh kondisi pelabuhan. Melalui data di lapangan, beberapa kendala usaha tuna longline di PPS Bungus Kota Padang adalah terkait kurangnya pasokan BBM, sumber air bersih dan keamanan Estimasi Parameter Biologi Estimasi Parameter biologi dilakukan dengan menggunakan beberapa model estimator yaitu, model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walter dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute. Adapun parameter yang diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Selain itu juga dilakukan uji statistik untuk validitas data serta membandingkan biomas (x), produksi (h) dan Effort (E) pemanfaatan aktual dan optimal sumberdaya ikan tuna dari tiap-tiap model.

121 100 Penelitian ini menggunakan hasil analisis model estimator Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP). Penggunaan model ini karena hasil analisis dari parameter estimasi menghasilkan nilai yang logis secara apriori teori dan didukung oleh uji statistik. R square dari model estimasi CYP dalam analisis penelitian ini juga cukup besar. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau R square lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Estimasi parameter biologi dan teknik pada sumberdaya ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 30. Tingkat pertumbuhan intrinsik (r) dan koefisien daya tangkap (q) yang paling tinggi dari keempat model estimasi tersebut adalah model estimasi W-H yaitu sebesar 2,76 ton per tahun dan 0,0066 ton per trip, sedangkan untuk daya dukung lingkungan perairan (K) yang tertinggi adalah model Algoritma Fox sebesar 4.119,23 ton per tahun. Berdasarkan uji statistik, model estimasi yang memiliki signifikansi uji F di bawah 0,05 dan nilai adjusted R 2 lebih tinggi dibandingkan model lain adalah model estimasi Walter-Hilborn. Tabel 30. Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji Statistik pada Sumberdaya Ikan Tuna Pemanfaatan Aktual Parameter Biologi Persentase Uji Statistik Aktual MSY terhadap R r q K Uji F Sig MSY Square Adjust ed R2 Algoritma Fox -1,325 0, ,23 7,437 0,023 0,452 0,392 Biomas (x) (ton) 2.059,62 Produksi (h) (ton) 672,97 (1.363,99) -50,3% Effort (E) (trip) 103,58 (319,05) -32,5% CYP 2,642 0, ,68 3,942 0,071 0,530 0,395 Biomas (x) (ton) 838,34 Produksi (h) (ton) 672, ,49 62,0% Effort (E) (trip) 103,58 248,14 41,7% Walter-Hibron 2,755 0, ,39 4,648 0,052 0,570 0,448 Biomas (x) (ton) 242,19 Produksi (h) (ton) 672,97 333,68 201,7% Effort (E) (trip) 103,27 207,26 49,8% Schnute 0,364 0, ,73 0,305 0,747 0,080-0,183 Biomas (x) (ton) (28.043,36) Produksi (h) (ton) 672,97 (5.106,58) -13,2% Effort (E) (trip) 103,27 (1.228,18) -8,4% Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

122 101 Berdasarkan perhitungan model CYP yang diuraikan pada Lampiran 12, Lampiran 13 dan Lampiran 14 diperoleh parameter biologi untuk ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus seperti yang diuraikan dalam Tabel 31 dan Tabel 32. Melalui perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa tingkat pertumbuhan instrinsik ikan tuna (r) adalah 2,64 ton per tahun dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,0053 ton per trip serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah 1.676,68 ton per tahun. Tabel 31. Keluaran Regresi Model CYP Parameter Regresi Coefficients Standard Error t Stat F β 0 2, , , β 1-0, , , β 2-0, , , Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 14) Multiple R 3, , Data pada Tabel 31 selanjutnya diolah untuk mengestimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tuna dengan alat tangkap longline. Tabel 32 menunjukkan hasil estimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tersebut berdasarkan estimator CYP dan fungsi pertumbuhan logistik. Parameter biologi yang ditunjukkan adalah laju pertumbuhan (r), koefisien daya tangkap (q), koefisien daya dukung (K). Tabel 32. Parameter Biologi Parameter r q K 2, , ,68 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data pada Tabel 32 menunjukkan parameter biologi dari sumberdaya ikan tuna hasil estimasi menggunakan metode CYP. Tingkat pertumbuhan alami atau laju pertumbuhan sumberdaya tuna sebesar 2,64, koefisien daya tangkap sebesar 0,005 sedangkan koefisien daya dukung sebesar 1.676,68. Hasil estimasi dari tiga parameter tersebut berguna untuk menentukan tingkat produksi lestari, seperti Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY) dan kondisi Open Access.

123 Estimasi Parameter Ekonomi a. Harga dan Struktur Biaya Data untuk estimasi parameter ekonomi yang berkaitan dengan struktur biaya dan harga dalam penelitian ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui data sekunder selama 10 tahun di Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat dan wawancara lapangan pada nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Data cross section untuk biaya input diperoleh dari responden yang menggunakan armada longline yang terkait dengan sumberdaya ikan tuna. Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Harga yang digunakan pada ikan tuna adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen sehingga diperoleh nilai biaya per-trip tuna longline dan harga per-ton seperti yang disajikan dalam Tabel 33. Tabel 33. Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang No. Biaya Trip Harga (Juta Tahun IHK IHK 2007 (Rp/trip) Rp/ton) ,59 51, , ,24 57, , ,33 64, , ,58 67, , ,54 72, , ,12 81, , ,20 91, , ,76 100, , ,63 87, , ,64 116, , ,62 122, ,38 Rata-rata ,46 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data biaya dalam penelitian ini adalah biaya per-unit effort, oleh karena itu biaya tersebut dihitung dari data primer yang diperoleh di lapangan. Biaya per-trip sangat ditentukan oleh lamanya penangkapan di laut. Selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan dalam menganalisis bioekonomi sumberdaya tersebut. Variabel harga

124 103 berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari harga target spesies dari alat tangkap yaitu tuna. Harga tersebut disajikan dalam bentuk harga ikan (juta rupiah) per ton yang diperoleh dari data primer. b. Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social discount rate. Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. World Bank merilis tingkat discount rate yang dianjurkan bagi negara-negara berkembang adalah 10 persen sampai dengan 20 persen. Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relatif sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman. Melalui hasil perhitungan real discount rate diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kota Padang, yaitu dengan nilai g =0,0061 atau 0,61 persen. Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasarkan pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 17 persen. Nilai r dihitung menggunakan rumus r=ρ γ.g, sehingga melalui perhitungan tersebut diperoleh nilai r yaitu 16,39. Nilai r tersebut kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ= ln(1+r), yaitu sebesar 0,16 atau 16 persen. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan optimal dinamik dari sumberdaya ikan tuna. Penggunaan nilai

125 104 market discount rate yang berlaku saat ini sebesar 17 persen juga digunakan sebagai nilai discount rate pembanding dalam analisis sumberdaya ikan tuna Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K, sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price), dan annual continues discount rate ( δ ). MSY atau maximum sustainable yield merupakan hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan yang berada dalam batas kelestarian. MSY dalam hal ini dihitung menggunakan fungsi pertumbuhan logistik. Sebelum mengestimasi MSY, terlebih dahulu dilakukan estimasi parameter biologi. Selanjutnya hasil estimasi ini digunakan untuk mengestimasi tingkat upaya (effort) pada kondisi MSY. produksi lestari Ikan Tuna Kota Padang disajikan pada Tabel 34. Nilai effort, produksi aktual dan Tabel 34. Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang No. Tahun Effort Produksi Produksi (Et) Aktual (ton) Lestari (ton) , , , , , , , , ,87 240, ,89 113, , , ,27 167, ,35 551, ,67 769, ,64 801,99 Rata-rata 672, ,05 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

126 Produksi (ton) 105 Melalui Tabel 34 dapat dilihat bahwa terdapat selisih antara pemanfaatan aktual dan lestari sumberdaya tuna. Rata-rata jumlah produksi aktual ikan tuna adalah 672,97 ton yang berada di bawah potensi lestarinya yaitu 1093,05 ton. Sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi tuna di kawasan ini. Fungsi produksi lestari (h MSY ) dipengaruhi oleh tingkat effort (E) dengan adanya parameter biologi r, q, dan K secara kuadratik. Dengan memasukan nilai effort (E) tersebut, maka akan diketahui tingkat produksi lestari dan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap longline di Kota Padang. Gambar 17 memperlihatkan perbandingan antara produksi aktual dibandingkan dengan produksi lestari dari alat tangkap longline pada sumberdaya ikan tuna P. Aktual P. Lestari Gambar 17. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Gambar 17 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 sampai 2010 produksi lestari cenderung lebih besar dibandingkan produksi aktual. Beberapa tahun diantaranya memang terjadi penurunan produksi lestari, namun dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa masih terbuka peluang peningkatan produksi tuna, karena masih tersedianya stok ikan di perairan. Menurunnya produksi ini dipengaruhi berkurangnya jumlah armada tangkap yang mendaratkan ikan di Kota Padang yang sekaligus menyebabkan turunnya upaya penangkapan (effort). Beberapa permasalahan berkurangnya armada tangkap di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus adalah terkait keamanan, ketersediaan air bersih dan supplay bahan bakar (solar).

127 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Analisis bioekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat penguasaan maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan secara biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi juga sangat berperan penting. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Parameter ekonomi dimasukkan dalam analisis ini agar diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan. Sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan mampu mencapai tujuan akhirnya yaitu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pada Tabel 35 memperlihatkan hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi, sumberdaya ikan tuna. Tabel 35. Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan Tuna Parameter r (ton/trip) q (ton/unit) K (ton) p (price, jt Rp/ton) c (cost, jt Rp/trip) 2, , ,68 47,43 38,86 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan data pada Tabel 35, maka estimasi beberapa kondisi sustainable yield, yaitu MSY, Open Access dan Sole Owner dapat ditentukan. Hasil estimasi menunjukkan harga ikan yang diperoleh melalui parameter ekonomi adalah Rp 51,90 juta per ton, dan untuk biaya penangkapan ikan per-trip adalah sebesar Rp 440,56 juta. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan tuna secara ringkas disajikan dalam Tabel 34. Melalui hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi, diperoleh gambaran fungsi pertumbuhan logistik sumberdaya perikanan tuna dengan menggunakan aplikasi Maple 13 ditampilkan pada Gambar 18 (Perhitungan lihat Lampiran 15).

128 107 Gambar 18. Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang Keterangan : f(x)= x ( x) Pada kondisi keseimbangan, laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sama dengan K (carrying capacity). Carrying capacity dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), semakin tinggi nilai r, semakin cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity atau K/2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sutainable Yield atau MSY. Melalui hasil analisis diperoleh kurva pertumbuhan logistik seperti terlihat pada Gambar 18 yang menunjukkan tingkat carrying capacity dan MSY sumberdaya ikan tuna. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat MSY saat ini adalah pada tingkat pertumbuhan (growth) 1.107,49 ton. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan ditampilkan pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna No. Variabel Kendali Sole Owner Open Access/ / MEY OAY MSY Aktual 1 x (ton) 915,28 153,89 838,34-2 h (ton) 1.098,17 369, ,49 686,68 3 E (trip) π (juta Rp) , , ,62 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok tuna adalah sebanyak 915,28 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.098,17 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 225 trip, sehingga nilai rente yang didapatkan adalah sebesar

129 Catch (ton), Effort (trip) Rente Ekonomi (juta Rp) 108 Rp ,71 juta. Pengelolaan Open Access menghasilkan standing stock sebanyak 153,89 ton dengan hasil tangkapan sebesar 369,27 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 451 trip. Pada kondisi MSY, stok ikan adalah sebanyak 838,34 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.107,49 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 248 trip, sehingga memperoleh rente Rp ,17 juta. Hasil analisis pada beberapa rezim pengelolaan sumberdaya tuna diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan optimal adalah pada rezim MEY (sole owner). Gambar rezim pengelolaan sumberdaya tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar Aktual MEY OAY MSY Rezim Pengelolaan SDI Produksi (ton) Effort (trip) π (juta Rp) 0 Gambar 19. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Nilai rente sumberdaya ikan tuna pada kondisi open access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan tuna di Kota Padang dibiarkan terbuka, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi lainnya. Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan secara statik di Kota Padang sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Keseimbangan bioekonomi model Gordon Schaefer ditampilkan pada Gambar 20.

130 TR,TC (juta Rp) , ,00 MEY MSY , , ,00 π max ,00 OA TC ,00 - (10.000,00) Effort (trip) Gambar 20. Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer Sumber : Hasil Analisis Data, Analisis Optimasi Dinamik Model estimasi yang sesuai dalam pemanfaatan sumberdaya tuna berdasarkan analisis statik sebelumnya adalah model CYP. Melalui model ini diperoleh parameter biologi dan ekonomi pemanfaatan tuna di Kota Padang. Dalam rangka merumuskan sebuah kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, maka dalam tahap ini analisis menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Hasil analisis sumberdaya tuna dengan pendekatan dinamik menggunakan discount rate 16 persen ditampilkan pada Tabel 37. Tabel 37. Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna No. Variabel Kendali Aktual Optimal Dinamik (i=16) Optimal Dinamik (i=17) 1 x (ton) 876,46 874,23 2 h (ton) 686, , ,46 3 E (trip) π (juta Rp) , , ,86 5 π overtime (juta Rp) ,22 874,23 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Analisis secara dinamik dengan menggunakan discount rate 16 persen dan 17 persen ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar

131 110 sumberdaya ikan tuna dapat dikelola secara berkelanjutan. Besaran jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan akan berguna untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di Kota Padang secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan secara optimal dengan nilai discount rate 16 persen dan 17 persen menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan beberapa rezim yang ada. Nilai rente pada discount rate 16 persen adalah Rp ,45 juta dan rente pada discount rate 17 persen adalah Rp ,86 juta. Hasil analisis juga menujukkan semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan tuna semakin meningkat dan lestari, kondisi ini juga akan menghasilkan nilai rente yang semakin tinggi. Hasil optimasi dinamik pengelolaan sumberdaya tuna pada berbagai tingkat discount rate persen sebagai pembanding ditampilkan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP Pada Pengelolaan Sumberdaya Tuna No. Variabel Kendali (i=10) (i=12) (i=14) (i=18) (i=20) 1 x (ton) 890,27 885,57 880,97 872,03 867,69 2 h (ton) 1.103, , , , ,14 3 E (trip) π (juta Rp) , , , , ,75 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa pada tingkat discount rate 10% diperoleh nilai biomas sebanyak 890,27 ton, jumlah biomas tersebut lebih besar dibandingkan biomas pada tingkat discount rate 20% sebesar 867,69 ton. Jumlah tangkapan pada discount rate 10% sebanyak 1.103,25 ton, jumlah ini lebih besar dibandingkan pada discount rate 20% dengan jumlah tangkapan sebesar 1.106,14 ton. Tingkat upaya penangkapan pada discount rate 10% adalah sebanyak 232 trip sementara tingkat discount rate 20% sebanyak 239 trip. Keuntungan atau rente ekonomi yang diperoleh pada tingkat 10% sebesar Rp ,71 juta, sedangkan tingkat discount rate 20% lebih kecil nilainya yaitu Rp ,75 juta/trip. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya tuna di Kota Padang lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 21.

132 Rente Ekonomi (Rp Juta) Tingkat Discount Rate Gambar 21. Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Pada Gambar 21 dapat dilihat tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin laju tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi dan apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau MEY. Tingkat discount rate yang tinggi akan memacu eksploitasi sumberdaya ikan tuna yang lebih ekstraktif dan dampaknya akan mempertinggi tekanan terhadap sumberdaya tuna. Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak hingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan Open Access (OA), sehingga kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan dari sumberdaya. Berdasarkan hasil analisis melalui pendekatan optimasi dinamik, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal dan lestari pada sumberdaya ikan tuna sebaiknya dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh melalui analisis dengan discount rate 16 persen. Ini berarti pemerintah pusat dan daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang hendaknya dapat merumuskan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah effort yang diperbolehkan sebesar 237 trip. Jika dibandingkan

133 112 dengan effort aktualnya maka terdapat selisih, sehingga untuk hasil yang optimal maka jumlah effort dapat ditingkatkan sebanyak 133 trip atau setara dengan penambahan 33 unit armada tuna longliner. Pengelolaan optimal berdasarkan hasil analisis adalah pada tingkat produksi/ yield (h) sebesar 1.105,21 ton dan effort (E) sebanyak 237 trip. Kurva pengelolaan optimal sumberdaya ikan tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 22. Gambar 22. Kurva Pengelolaan Optimal (i=16%) Keterangan : Perhitungan dengan Maple 13 di Lampiran 15 Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi. Apabila tingkat discount rate turun hingga ke level 0, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau Maximum Economic Yield (MEY). Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan pelagis besar ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan open access (OA). Pengelolaan dengan tingkat discount rate 16% seperti yang ditampilkan pada Gambar 22 menunjukkan tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya tuna. Pengelolaan pada tingkat ini di satu sisi tidak memacu eksploitasi sumberdaya secara ekstraktif yang mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan sumberdaya dan di sisi yang lain memberikan rente ekonomi yang optimal.

134 Analisis Kebencanaan Analisis Potensi Bencana Identifikasi potensi bencana alam disamping potensi sumberdaya alam merupakan salah satu aspek penting dalam pertimbangan perumusan kebijakan pengembangan wilayah. Dengan memahami potensi bencana alam yang mungkin terjadi maka langkah preventif, proaktif dan kesiap-siagaan sebelum terjadinya bencana, serta langkah penanggulangan ketika terjadi bencana, dan langkah pemulihan setelah terjadi bencana alam dapat dimasukkan dalam rumusan kebijakan pengembangan wilayah. Sejauh ini, identifikasi potensi bencana alam di kawasan pesisir khususnya terkait pengembangan perikanan dan kelautan belum dilakukan secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang pada umumnya belum berperspektif mitigasi bencana (Forum Mitigasi Bencana, 2007). Secara khusus pentingnya analisis potensi bencana dalam penelitian ini terkait pada perumusan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis bencana alam yang potensial terjadi di Kota Padang dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Model analisis potensi bencana yang digunakan untuk menentukan potensi bencana yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pengembangan perikanan adalah dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), studi literatur dan analisis deskriptif. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang digunakan dalam penelitian ini (Sub-bab dan Sub-bab 6.3.2) merupakan salah satu metode penentuan prioritas keputusan yang dilakukan berdasarkan beberapa analisis dari tahapan penelitian sebelumnya. Hasil analisis yang dilakukan sebelumnya dijadikan sebagai komponen dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi potensi bencana yang ada di pesisir Kota Padang terkait pengembangan sumberdaya perikanan. Metode perbandingan eksponensial terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan yaitu: Menyusun alternatif-alternatif potensi bencana Menentukan kriteria atau perbandingan kriteria potensi bencana Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria potensi bencana

135 114 Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif Menentukan urutan potensi bencana Pada tahapan MPE, perlu ditentukan dahulu kriteria potensi bencana dan alternatif bencana. Kriteria pembentuk MPE ini antara lain; kawasan pelabuhan, TPI dan PPI, kawasan pemukiman nelayan, kawasan pasar perikanan dan kawasan perairan (laut). Sedangkan alternatif bencana yaitu; gempa bumi, tsunami, banjir, erosi, akresi, longsor, abrasi, angin kencang, intrusi air laut dan gelombang laut. Rumusan yang akan ditentukan dalam rangkaian proses MPE diuraikan menjadi unsur-unsurnya yaitu kriteria dan alternatif. Tingkat potensi bencana dalam metode ini diperoleh dengan menentukan besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat tidak berpotensi, bobot 2 berarti tidak berpotensi, bobot 3 berarti cukup berpotensi, bobot 4 berarti berpotensi dan bobot 5 berarti sangat berpotensi. Pada metode MPE, nilai total setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh kriteria yang dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE diperoleh nilai total potensi bencana yang ditampilkan pada Tabel 39. Tabel 39. Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE No. Alternatif Kawasan Pelabuhan, TPI, PPI Kawasan Pemukiman Nelayan Kriteria Kawasan Pasar Perikanan Kawasan Perairan (Laut) Nilai Alternat if 1 Gempa Bumi Tsunami Banjir Erosi Akresi Longsor Abrasi Angin Kencang Intrusi Air Laut Gelombang Laut Bobot Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

136 115 Langkah terakhir dalam Metode Perbandingan Eksponensial ini adalah menentukan urutan prioritas keputusan dari seluruh alternatif keputusan yang tersedia. Pemeringkatan dilakukan dengan mengurutkan alternatif keputusan dari jumlah nilai yang terbesar ke nilai terkecil. Hasil dari pengurutan akan diperoleh alternatif keputusan yang paling baik untuk kemudian dipilih menjadi sebuah kebijakan pengelolaan. Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui metode ordinal MPE, diketahui bahwa secara spesifik jenis bencana yang berpotensi terjadi di Kota Padang terkait pengembangan perikanan adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut, sementara bencana yang lain pengaruhnya tidak terlalu besar. Hasil MPE ini merupakan rangkaian proses analisis setelah melalui studi literatur dan kepustakaan. Potensi bencana pesisir hasil MPE ditampilkan pada Gambar Gempa Bumi Tsunami Angin Kencang Gelombang Laut Intrusi Air Laut Kawasan Pelabuhan Kawasan Pemukiman Kawasan Pasar Kawasan Perairan Gambar 23. Potensi Bencana Pesisir Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa potensi bencana yang paling tinggi terkait pengembangan sumberdaya perikanan adalah gempa bumi. Posisi kedua adalah tsunami, pada rangking ketiga ditempati angin kencang. Posisi keempat dan kelima adalah gelombang laut dan intrusi air laut. Penjelasan terkait potensi bencana pesisir yang berhubungan dengan pengembangan sumberdaya perikanan diuraikan pada sub bab selanjutnya. Data uraian potensi bencana tersebut diperoleh dari data lapangan melalui studi literatur dan kepustakaan.

137 Gempa Bumi Secara regional, daerah Sumatera Barat termasuk daerah rawan gempa bumi nomor 3 di Indonesia. Berdasarkan asal usul kejadiannya gempa dapat dibagi menjadi dua bagian yakni gempa bumi yang berasal dari \\jaman lempeng Samudera Hindia-Australia yang berinteraksi dengan lempeng Benua Asia di sebelah barat Sumatera dan gempa bumi yang berasal dari aktivitas gerak sesar aktif mendatar Sumatera. Jejak rekam gempa bumi merusak yang pernah terjadi akibat interaksi kedua lempeng tersebut diantaranya adalah gempa bumi Sumatera Barat tahun 1822, Gempa bumi Siri Sori tahun 1904 (tsunami), Gempa bumi Padang (1835,1981, dan 1991). Gempa bumi sesar aktif Sumatera pernah terjadi 1926, 1943, 1977, 2004 dan Gempa bumi tunjaman tersebut yang terjadi di dasar laut Samudera Hindia dengan kekuatan besar dari 6,5 SR dapat memicu terjadinya gelombang tsunami yang mengancam pantai barat Sumatera (Bappeda Kota Padang, 2010). Berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Peta Geomorfologi Lembar Padang, Peta Bahaya Goncangan Gempa Bumi Indonesia, Peta Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi Indonesia. Intensitas Gempa Bumi (MMI) Kota Padang mempunyai tingkat kegempaan berkisar antara V hingga VII (skala MMI), yaitu: Skala V VI: tersebar dominan ke bagian barat laut tenggara yang meliputi daerah bagian tengah hingga timur laut Kota Padang. Skala VI VII: tersebar mulai dari bagian barat laut tenggara, bagian tengah meliputi daerah Pasir Jambak, Cupak hingga terus ke arah tenggara Kota Padang. Dalam rangka mengetahui kerentanan Kota Padang ini terhadap bencana gempa bumi secara mikro, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah melakukan kajian mikrozonasi geoseismik yakni perpaduan kondisi geologi dengan parameter utama respon dinamika gempa (periode dan amplifikasi) sehingga dapat dipisahkan antara daerah berkerentan tinggi akan goncangan gempa bumi dengan daerah lainnya yang kurang kerentanannya akan goncangan gempa bumi. Secara umum wilayah Kota Padang mempunyai periode dominan terendah (<0,14 detik) hingga tertinggi (3,8 detik) dan bersifat

138 117 menguatkan gelombang gempa bumi (amplifikasi) terendah 4 kali dan amplifikasi tertinggi lebih dari 12 kali (Bappeda Kota Padang, 2010). Pusat-pusat gempa di Kota Padang paling banyak berkaitan dengan gempa tektonik. Pusat-pusat gempa tektonik di Kota Padang terbentuk di sepanjang jalur gempa mengikuti zona subduksi sepanjang km di sebelah barat Pulau Sumatera. Tumbukan Lempeng Samudra Hindia-Australia yang menyusup di bawah Lempeng Eurasia membentuk Zona Benioff yang secara terus menerus aktif bergerak berarah barat timur yang merupakan zona bergempa dengan seismisitas cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan Kota Padang menjadi daerah tektonik giat dan merupakan sumber gempa merusak. Data kegempaan dari BMG dan USGS memperlihatkan lokasi pusat-pusat gempa di perairan Kota Padang tersebar cukup merata. Pusat gempa terlihat lebih banyak di perairan antara Pulau Enggano dan Daratan Sumatera. Frekuensi kejadian gempa dari tahun 1900 hingga 1963 relatif sedikit, sedangkan dari tahun 1963 hingga 1995 terjadi peningkatan. Gempa terjadi 3 sampai 16 kali per tahun dalam kurun , frekuensi ini menurun hingga 2 kali kejadian dalam tahun 1984 dan kemudian meningkat lagi dengan 2 kali kejadian pada tahun Sumber-sumber gempa tersebut kebanyakan berada pada kedalaman 33 hingga 100 km, dengan magnitude lebih besar dari 5 skala richter. Gempa berkekuatan lebih besar dari 6,5 skala richter di permukaan, berpeluang besar menyebabkan deformasi di daratan maupun di dasar laut (BPPT dalam UNP, 2007). Tingginya tingkat kerawanan bencana gempa di Kota Padang adalah akibat gempa berskala besar yang merobohkan bangunan dan dapat memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan perikanan, sebab sentra-sentra usaha potensial perikanan di Kota Padang khususnya perikanan tangkap berada di lokasi yang rawan bencana. Sentra usaha itu seperti pelabuhan pendaratan ikan, pasar perikanan, pemukiman nelayan dan sarana perikanan lainnya. Peta risiko bencana gempa bumi Kota Padang disajikan pada Gambar 24 yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang.

139 118 Gambar 24. Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Kota Padang

140 Tsunami Posisi Kota Padang yang berada di pantai barat Sumatera dimana berbatasan langsung dengan laut terbuka (Samudra Hindia) dan zona tumbukan aktif dua lempeng menjadikan Padang salah satu kota paling rawan bahaya tsunami. Gempa tektonik sepanjang daerah subduksi dan adanya seismik aktif, dapat mengakibatkan gelombang yang luar biasa dahsyat. Melalui catatan sejarah bencana, tsunami pernah melanda Sumatera Barat pada tahun 1797 dan Kejadian bencana tsunami yang bersumber dari gempa yang berada di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Kejadian Tsunami di Sumatera Barat Tahun Bulan Hari Lat Lon Ms I N C V TR BR Sumber (Heck, 1947) T 3 IND SG1 SW U 1 IND SG1 Padang Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 Ket: : Lat (latitude), Lon (longitude), Ms (Magnitude-SR ), I (Inundasi) Berdasarkan catatan pada Tabel 40 tersebut, dibuat dua skenario terpaan tsunami. Skenario terburuk dengan terjadinya slip vertikal sepanjang 20 meter di dasar laut, tsunami akan ditandai dengan terjadinya gempa bumi besar diatas 8 skala richter selama lebih dari 1 menit tanpa terputus. Terpaan pertama akan datang selang antara menit setelah terjadinya gempa. Pada kondisi ini tsunami akan menerpa Kota Padang dengan ketinggian bervariasi antara 5-16 meter (Bappeda Kota Padang, 2010). Ketinggian tsunami setinggi 16 meter akan terjadi pada daerah teluk, seperti daerah Teluk Bayur dan Sungai Pisang. Daerah padat penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara dan lainnya, gelombang diperkirakan akan datang dengan ketinggian 5-6 meter. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 25 Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang, data bahaya tsunami di uraikan pada Tabel 41.

141 120 Tabel 41. Bahaya Tsunami Kota Padang Luas Total Bahaya Luas Bahaya Luas Bahaya No. Kecamatan (Ha) Tsunami Tsunami (Ha) Tsunami (%) 1 Koto Tangah m 248 1,14 Koto Tangah 5-4 m 692 3,2 Koto Tangah 4-3 m 342 1,58 Koto Tangah 3-2 m 647 2,99 Koto Tangah 1-0 m ,06 2 Pauh m Kuranji m Nanggalo m 19 1,7 Nanggalo 4-3 m 36 3,23 Nanggalo 3-2 m 87 7,82 Nanggalo 1-0 m ,23 5 Padang Utara m 84 13,61 Padang Utara 5-4 m ,16 Padang Utara 4-3 m 93 15,07 Padang Utara 3-2 m 20 3,24 Padang Utara 1-0 m 92 14,91 6 Lubuk Kilangan m Padang Timur m 14 2,19 Padang Timur 3-2 m ,56 Padang Timur 1-0 m ,23 8 Padang Barat m 80 15,74 Padang Barat 5-4 m ,7 Padang Barat 4-3 m ,54 9 Lubuk Begalung m 24 0,88 Lubuk Begalung 1-0 m ,11 10 Padang Selatan m 30 2,68 Padang Selatan 5-4 m 20 1,78 Padang Selatan 4-3 m 7 0,62 Padang Selatan 1-0 m ,72 11 Bungus Teluk Kabung m 140 1,4 Bungus Teluk Kabung 1-0 m ,6 12 Pulau m Sumber : UNP, 2007 Tabel 41 mennjukkan hampir seluruh kecamatan di Kota Padang berada dalam bahaya tsunami. Kisaran tinggi bahaya tsunami mencapai 1-6 meter. Bahaya tsunami terlebih dirasakan pada daerah pesisir yang merupakan basis usaha perikanan tangkap. Dengan demikian, diperlukan rumusan kebijakan pengembangan perikanan yang tepat di daerah ini.

142 121 Gambar 25. Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang

143 Angin Kencang/Badai Angin kencang/badai baik yang terjadi di laut maupun pesisir dapat merugikan usaha perikanan. Badai yang terjadi di laut akan menimbulkan gelombang besar sehingga bisa merugikan armada penangkapan bahkan nyawa nelayan. Sementara itu, badai yang datang di wilayah pesisir akan menyebabkan kerugian materil dan non materil seperti rusaknya fasilitas perikanan, pemukiman nelayan dan lain sebagainya. Kota Padang termasuk wilayah yang rawan bencana angin kencang/badai. Dari data yang tercatat di BPBD maupun BMKG Maritim Teluk Bayur, daerahdaerah yang berada di pesisir Kota Padang merupakan wilayah yang sering dilanda bencana ini. Badai umumnya berpotensi terjadi pada enam kecamatan pesisir di Kota Padang baik di daratan maupun di tengah laut. Saat badai terjadi, kecepatan angin bisa melebihi 50 kilometer per jam. Beberapa faktor penyebab datangnya badai di Kota Padang adalah adanya transisi matahari dari Selatan menuju khatulistiwa sehingga terjadi pertemuan angin yang bergerak dari utara menuju Selatan. Selain itu badai juga terjadi akibat adanya pumpunan angin bergerak menuju daerah yang bertekanan rendah dengan kecepatan tinggi akibat terjadinya pertemuan angin dari arah utara dan selatan karena perbedaan pergerakan matahari dan angin. Faktor lainnya adalah adanya pumpunan angin yang memanjang di sepanjang Pantai Barat Sumatera dan berbalik karena daerah di Sumatera Barat umumnya dikelilingi Bukit Barisan. Akibatnya, angin berbalik arah dan bertambah kencang karena bertemu angin gunung di kawasan perbukitan dan angin darat di daerah sekitar pantai (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012). Sejauh ini, informasi dan peringatan terkait bencana badai di Kota Padang disampaikan melalui BMKG Maritim. Khusus untuk kegiatan perikanan tangkap, nelayan mendapat informasi sebelum pergi melaut tentang perkiraan cuaca buruk dan kondisi perairan yang akan dilalui. Peta perkiraan dan peringatan bahaya serta informasi meteorologi maritim lainnya disampaikan secara online oleh BMKG Maritim setiap harinya melalui situs

144 Intrusi Air Laut Faktor penyebab meluasnya intrusi air laut adalah diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut. Selain itu, intrusi air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan, seperti air untuk kebutuhan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap. Sebagai Kota Pesisir, Kota Padang yang juga merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat memiliki risiko yang tinggi terhadap ancaman intrusi air laut. Ancaman ini didasari oleh padatnya pemukiman di sekitar pusat kota serta berbagai aktivitas perdagangan dan industri yang menambah potensi bencana di daerah ini. Sejauh ini pemerintah Kota Padang telah berusaha mengantisipasi bencana intrusi air laut melalui program pembangunan dan pengelolaan hutan kota yang dikenal dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Usaha mengatasi intrusi air laut di Kota Padang adalah dengan upaya peningkatan kandungan air tanah melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah (Samsoedin dan Endro, 2007). Kawasan strategis perikanan yang rawan akan intrusi air laut seperti TPI, PPI, Pelabuhan dan pemukiman nelayan di sekitar kecamatan pesisir padat penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Padang Utara Gelombang Laut Pada umumnya kondisi gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung yaitu melalui data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasari atas kondisi umum yang berlaku di laut yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui dibentuk oleh tiupan angin. Gelombang ini merambat ke segala arah membawa energi tersebut yang kemudian dilepaskannya ke pantai dalam bentuk hempasan ombak. Rambatan gelombang dapat menempuh jarak ribuan kilometer sebelum mencapai pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasaan (refraction), jika mendekati semenanjung akan memusat (convergence) dan menyebar (divergence) jika menemui cekungan.

145 124 Keadaan gelombang selain disebabkan oleh hembusan angin juga dipengaruhi oleh keadaan topografi dasar laut atau sea botton topography (Lutfi, 2005). Hubungan yang erat antara gelombang, angin dan dasar perairan menyebabkan perairan di bagian barat Sumatera khususnya Padang tidak pernah tenang. Hal ini selain disebabkan oleh hembusan angin yang mempunyai gradian kecuraman yang tinggi, juga disebabkan karena pada musim barat di perairan Sumataera Barat sering terjadi badai dengan periode yang singkat antara 1-3 jam. Keadaan ini menyebabkan di daerah perairan pantai sering terjadi gelombang pecah. Tinggi gelombang yang terjadi di Kota Padang berkisar antara 0,5-2,0 meter (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012). Gelombang laut atau gelombang samudera yang terjadi di perairan Kota Padang berasal dari Samudera Hindia sekitar Mentawai dan pesisir barat daratan Kota Padang. Posisi perairan Kota Padang yang berbatasan dengan Samudera Hindia menyebabkan kawasan ini sangat rawan dilanda gelombang laut. Selain itu, awan gelap (Cumulonimbus) di lokasi tersebut dapat menimbulkan angin kencang dan menambah tinggi gelombang. Gelombang laut berdampak langsung pada kerugian materi nelayan bahkan tidak jarang adanya korban jiwa. Informasi berupa prakiraan gelombang dari BMKG ditampilkan pada Gambar 26. Gambar 26. Peta Prakiraan Tinggi Gelombang Sumber : BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012

146 Banjir Bencana banjir merupakan kejadian alam yang sulit untuk diprediksi karena bencana ini datang secara tiba-tiba dengan periodisitas yang tidak menentu, kecuali untuk daerah-daerah yang sudah menjadi langganan terjadinya banjir tahunan. Secara umum banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Beberapa wilayah yang diidentifikasikan rawan bencana banjir di wilayah Kota Padang menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padang antara lain adalah Lubuk Minturun, Simpang Kalumpang, Padang Sarai, Dadok Rawan Panjang sekitarnya, Ikur Koto, Anak Air, Padang Sarai semuanya berada di Kecamatan Koto Tangah, kemudian, Lapai, Siteba, Maransi, Gunung Pangilun di wilayah Kecamatan Nanggalo, serta Ampang, Gunung Sarik, Andalas di wilayah Kecamatan Kuranji. Daerah Simpang Haru yang termasuk wilayah Kecamatan Padang Timur juga merupakan wilayah rawan banjir, serta dua derah yang berada di Kecamatan Lubuk Begalung yaitu Parak Laweh dan Arai Pinang. Banjir memberikan dampak yang sangat serius terhadap ekosistem perairan pantai. Kerugian yang ditimbulkan banjir bisa berupa material maupun non material. Baik secara langsung maupun tidak langsung kerugian ini dirasakan oleh masyarakat,termasuk juga nelayan. Kerugian banjir mungkin akan sulit untuk ditabulasi secara matematis, namun secara visual sangat nyata telah menimbulkan berbagai macam kerugian baik fisik maupun non fisik. Selain itu menurut Ilyas dan Slamet (2007) banjir peran penting dalam pengiriman butiran sedimen, air tawar yang cukup besar, pengayaan kandungan unsur hara (nutrien) dan peningkatan polusi ke dalam perairan. Keseluruhan material tersebut lambat laun akan berdampak terhadap keberadaan ekosistem perairan. Wilayah-wilayah yang berisiko terkena banjir dapat dilihat pada Gambar 27 Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang.

147 126 Gambar 27. Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang

148 Gerakan Tanah (Longsor, Abrasi, Akresi dan Erosi) Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan dengan kompresibilitas tinggi. Daerah yang berpotensi terjadinya gerakan tanah yaitu daerah pematang pantai, dimana lapisan keras berada pada kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya terdapat lapisan lempung/lanau lunak (Puradimaja dalam Ruswandi 2009). Jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah longsoran dan amblesan. Longsor terjadi pada batuan/tanah pelapukan yang mempunyai lereng. Melalui data UNP (2007) tingkat risiko longsor lahan di Kota Padang dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu tingkat risiko longsor lahan rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat risiko longsor lahan rendah umumnya tersebar di bagian timur, barat, utara Kota Padang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bentuk penggunaan lahan berupa hutan dan kebun campuran, sedangkan pada satuan lahan yang memiliki kepadatan penduduk yang padat memiliki lereng yang rendah, sehingga tidak memiliki potensi untuk mengalami longsor lahan. Tingkat risiko longsor lahan sedang umumnya tersebar pada bagian tengah Kota Padang. Tingkat risiko longsor lahan sedang ini disebabkan karena bentuk penggunaan lahannya berupa permukiman yang bersifat menyebar, sehingga apabila terjadi longsor lahan tidak begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Tingkat risiko longsor lahan tinggi umumnya terdapat pada satuan bentuk lahan perbukitan yaitu pada daerah Gunung Padang, Pauh, dan Lubuk Kilangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 28 tentang peta risiko longsor Kota Padang yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang. Bencana gerakan tanah seperti longsor, abrasi, akresi dan erosi memiliki dampak terhadap pengembangan perikanan. Dampak bencana ini berupa kerusakan yang ditimbulkan terhadap sarana perikanan, pemukiman nelayan serta ekosistem lingkungan perairan yang secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan sub sektor perikanan. Beberapa kawasan strategis perikanan yang berada di wilayah pesisir Kota Padang rentan terhadap bencana ini, seperti Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Padang Selatan.

149 128 Gambar 28. Peta Risiko Bencana Longsor Kota Padang

150 129 Wilayah dataran di Kota Padang dapat dikategorikan dalam dua kondisi, yaitu kondisi stabil dan tidak stabil. Kondisi ini dipengaruhi oleh topografi dan karakteristik masing-masing wilayah. Adapun uraian kondisi ini dijelaskan sebagai berikut (Bappeda Kota Padang, 2010) : Kondisi Stabil (S) Terdapat pada daerah dataran yang tersusun oleh endapan aluvial, rawa, kipas aluvial, pematang pantai dan dataran pantai, berupa lempung-pasir, kerikil-kerakal, lepas agak padat, sudut lereng 0 5 persen berupa dataran dengan elevasi 0 5 m (dml), tipe erosi limpasan-alur, serta runtuhan tebing sungai sebagai akibat limpasan aktivitas aliran air sungai, meliputi sepanjang pesisir pantai bagin barat Kota Padang. Kondisi Tidak Stabil (TS) - Tingkat Rendah-Sedang (R S) : Terdapat pada daerah barat laut hingga ke arah selatan, yang tersusun oleh endapan dataran aluvial berupa endapan vulkanik (dominan) berupa lahar, tuf dan koluvium, sifat endapan padat-sangat padat, padat, sudut lereng 5 30 persen berupa dataran bergelombang dengan elevasi 5 10 m (dml), tipe erosi alurlembah (runtuhan tebing sungai) akibat aktivitas aliran air permukaan dan sungai. Tingkat ini meliputi bagian timur laut-tenggara, sedikit berada pada bagian barat Kota Padang. - Tingkat Sedang-Stabil (S T): Terdapat pada daerah dataran hingga perbukitan yang tersusun oleh batuan tua yang terdiri dari malihan/ metamorf, sifat endapan sangat padat, mudah tererosi oleh aliran air permukaan dan terdapat dinding dengan >30 persen hingga tegak lurus, dapat runtuh, tipe erosi limpasan-galur-jurang. Adanya goncangan gempa bumi dapat menimbulkan rekahan-rekahan ke arah lembah yang dapat menyebabkan terjadinya longsoran ke arah hulu. Tingkat ini meliputi bagian timur laut hingga tenggara,dan selatan Kota Padang. Kondisi abrasi atau akresi di wilayah pantai Kota Padang terdapat pada daerah yang tersusun oleh endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat endapan lepas-lepas dan dapat terjadi abrasi atau akresi sebagai akibat dari

151 130 aktivitas air laut. Adapun jenis bencana gerakan tanah di Kota Padang untuk kawasan pantai dapat berupa : Abrasi dan Akresi, bencana ini terdapat pada daerah yang tersusun oleh endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat endapan lepas-lepas dan dapat terjadi Abrasi dan Akresi sebagai akibat dari aktivitas air laut. Tingkat risiko abrasi pantai yang terjadi di Kota Padang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu tingkat risiko abrasi pantai tinggi dan rendah. Tingkat risiko abrasi pantai tinggi umumnya terdapat pada Kecamatan Koto Tangah dan Padang Utara. Tingkat risiko abrasi tinggi ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa bangunan rumah yang telah runtuh akibat abrasi pantai, sedangkan tingkat abrasi pantai yang rendah ditandai dengan adanya beberapa pohon kelapa yang telah kelihatan akarnya di pemukaan dan adanya beberapa pohon kelapa yang telah tumbang akibat abrasi pantai. Adapun peta risiko bencana abrasi pantai di Kota Padang berdasarkan data BPSPL dapat dilihat pada Gambar 29. Erosi, bencana ini tersebar di bagian barat laut tenggara sepanjang tepi pantai yang meliputi daerah Padang. Terdapat pada batuan alluvial kuarter (Qa), biasanya terjadi di sekitar tebing sungai/pantai yang disebabkan oleh arus/ombak. Gelinciran batuan/runtuhan batuan merupakan gerakan tanah yang terjadi karena adanya perlapisan dari batuan dan juga adanya patahan. Sedangkan longsoran terjadi pada tanah pelapukan. Beberapa lokasi yang diidentifikasikan rawan gerakan tanah antara lain daerah Lubuk Paraku, Panorama, Bukit Tantangan Beringin, serta Pauh Batu Busuk Patamuan di wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan; Bukit Air Manis, Bukit Lantik, Bukit Turki, Bukit Gado-Gado, serta Perbukitan sekitar Teluk Bayur di Kecamatan Padang Selatan. Daerah-daerah ini sangat berpotensi terjadi gerakan tanah apabila curah hujan turun cukup tinggi. Selain itu masih terdapat beberapa lokasi rawan gerakan tanah di wilayah Kecamatan Lubuk Begalung yaitu antara lain di Bukit Gaung, Bukit Pampangan, Bukit Lampu (Bappeda Kota Padang, 2010).

152 131 Gambar 29. Peta Risiko Bencana Abrasi Kota Padang

153 Analisis Mitigasi Bencana Mitigasi Bencana Bencana alam merupakan peristiwa alamiah yang tidak bisa dihilangkan atau ditunda, namun terdapat upaya untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana alam. Upaya mitigasi bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam, baik kerugian jiwa maupun kerugian materi. Kegiatan yang perlu dilakukan tidak hanya sebatas membangun infrastruktur ataupun kegiatan fisik lainnya namun juga menyangkut penetapan kebijakan-kebijakan pengaturan dan pengendalian dalam rangka mengurangi risiko bencana. Kondisi kerawanan bencana di wilayah Kota Padang memerlukan upaya mitigasi bencana sebagai titik tolak dari manajemen bencana. Manajemen ini diperlukan untuk mengurangi dan meniadakan korban dan kerugian yang timbul. Berdasarkan jenis-jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah Kota Padang dan mengacu pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang, kebijakankebijakan yang perlu diambil pemerintah antara lain: Menyusun regulasi (Peraturan Daerah) kebencanaan daerah yang mencakup regulasi mengenai : - Pengaturan organisasi perangkat daerah yang menangani kebencanaan - Pengaturan pendanaan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana - Pengaturan dan penetapan dasar hukum mengenai aspek teknis upaya pengurangan risiko bencana, antara lain; standar pendirian bangunan tahan bencana, jalur evakuasi bencana, standar pengelolaan ekosistem dan lingkungan, dan lainnya - Perencanaan pengurangan risiko dan penanganan bencana alam Membentuk perangkat daerah yang menangani masalah kebencanaan Pembentukan Kelompok Kerja Kebencanaan yang beranggotakan dinasdinas terkait Memperkuat kerjasama penanganan bencana dengan daerah lain di sekitarnya

154 133 Memperkuat akses komunikasi antara daerah kepulauan, baik melalui radio atau telepon Memperkuat akses informasi ke pusat informasi kebencanaan dan lembagalembaga riset terutama di daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil Membangun sistem informasi bencana Memfasilitasi penelitian-penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset tentang kebencanaan di wilayah Kota Padang Memperkuat jaringan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pengurangan risiko bencana Memperkuat kesiapsiagaan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan pelatihan bencana Melakukan perencanaan logistik dan penyediaan dana, peralatan, dan material yang diperlukan untuk tanggap darurat Merencanakan dan menyiapkan SOP (Standart Operation Procedure) untuk kegiatan tanggap darurat Sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap merupakan sektor yang memiliki karakteristik yang rawan terhadap bencana, hal ini disebabkan sebagian besar prasarana dan sarananya berada di kawasan pesisir. Kawasan pesisir sebagaimana dijabarkan dalam potensi bencana menjadi zona yang patut diperhitungkan dalam menentukan setiap arahan dan kebijakan yang akan dibuat. Sehingga kebijakan terkait sumberdaya ini benar-benar diperhitungkan kondisi, potensi dan karakteristiknya. Beberapa upaya mitigasi saat ini telah dilaksanakan di Kota Padang, baik berupa mitigasi aktif maupun mitigasi pasif. Upaya mitigasi ini sebagian besar ditangani oleh unit khusus yang dikelola oleh pemerintah daerah yaitu BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Khusus pengembangan perikanan dan lingkungan pesisir, realisasi program yang telah dilakukan di Kota Padang adalah sebagai berikut: a. Early Warning System (EWS) Alat ini berfungsi pada saat terjadi gempa yang berpotensi tsunami. Cara kerja alat ini adalah berupa bunyi sirene yang ditempatkan pada lokasi

155 134 strategis setelah sebelumnya diberikan sosialisasi prosedur kerja alat kepada masyarakat setempat. EWS di Kota Padang difungsikan sejak tahun 2007, awalnya hanya ada 2 unit alat. Pada tahun 2012 ini menurut data di lapangan sudah terdapat 10 unit, walaupun menurut BPBD kebutuhan Kota Padang adalah 26 unit pada zona merah. EWS diserahterimakan pada BPBD Kota Padang untuk pengelolaannya sejak 2009, sebelumnya alat ini ditangani oleh dinas kebakaran. b. Rabab Sarana komunikasi merupakan alat komunikasi Pusdalops berupa radio penerima. Cara kerjanya apabila ada bencana disampaikan berita bencana tentang potensi tsunami pada masjid-masjid yang dipasang rabab. Saat ini jumlah masjid yang dipasangi rabab di Kota Padang berjumlah 26 buah. Kebutuhan rbab di Kota Padang adalah setiap masjid yang berada dalam zona merah di Kota Padang dipasangi rabab. c. Radar Tsunami Sarana mitigasi berupa radar berfungsi sebagai pemantau gelombang tsunami. Radar dipasang di Universitas Bung Hatta (UBH) karena posisinya yang strategis menghadap pantai barat Sumatera. Cara kerja alat ini berupa sistem wireless yang disampaikan berupa data informasi kepada stasiun penerima yakni BPBD dan Walikota Padang. Penyediaan radar tsunami ini dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan NGO Amerika. Penggunaan alat sejauh ini belum optimal, disebabkan oleh beberapa faktor non teknis. Berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, orientasi penggunaan alat ini sebenarnya dikhususkan untuk membantu nelayan dalam mendeteksi datangnya gelombang yang membahayakan. d. Peta dan Jalur Evakuasi BPBD selaku otoritas yang diberikan wewenang dalam menangani masalah kebencanaan di Kota Padang telah membuat beberapa upaya dalam evakuasi bencana. Pembuatan jalur evakuasi serta sarana evakuasi telah dibangun di beberapa lokasi yang dinilai strategis dan rawan. Jalur evakuasi ini berupa papan informasi, jembatan, jalan, titik point dan lain-lain. Sementara untuk

156 135 peta evakuasi telah dibuat dan terus diperbaharui oleh BPBD bekerjasama dengan instansi lain. e. Kelompok Siaga Bencana Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan perpanjangan tangan dari BPBD. Unit ini berasal dari anggota masyarakat dan relawan yang peduli terhadap risiko bencana alam. Beberapa kegiatan atau program yang dilaksanakan KSB antara lain; sosialisasi penanggulangan bencana dan kebijakan kebencaan kepada masyarakat, latihan evakuasi bencana dan lainnya Prioritas Bentuk Mitigasi Dalam rangka menentukan prioritas bentuk mitigasi bencana yang akan diambil terkait pengembangan sumberdaya perikanan, maka dalam tahap ini digunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik analisis MPE menggunakan informasi dari pakar terkait keputusan yang akan diambil. Kriteria pembentuk MPE ini adalah; ekologi (dinamika perairan pesisir dan faktor keberlanjutan sumberdaya perikanan), ekonomi (kesejahteraan masyarakat) dan sosial (kesesuaian dengan karakteristik masyarakat dan SDM lokal). Alternatif bentuk mitigasi bencana yaitu: 1) Pembuatan peraturan, UU dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan SD Perikanan 2) Sosialisasi mitigasi bencana, simulasi bencana 3) Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi 4) Pendampingan pendirian bangunan/ fasilitas standar 5) Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu 6) Remangrovisasi, artificial reeft, beach nourishment 7) Pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar pantai 8) Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan local 9) Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan 10) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana

157 136 Tingkat kepentingan dalam metode ini diperoleh dengan menentukan besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat tidak penting, bobot 2 berarti tidak penting, bobot 3 berarti cukup penting, bobot 4 berarti penting dan bobot 5 berarti sangat penting. Pada metode MPE, nilai total setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh kriteria yang dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE diperoleh nilai total masing-masing alternatif seperti yang ditampilkan pada Tabel 42. Tabel 42. Nilai Total Alternatif Prioritas Mitigasi No Alternatif Pembuatan peraturan,uu dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan Perikanan Sosialisasi mitigasi bencana, simulasi bencana Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi Pendampingan pendirian bangunan/ fasilitas standar Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu Remangrovisasi, artificial reeft, beach nourishment. Pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar pantai Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana Kriteria Ekologi Ekonomi Sosial Nilai Alternatif Bobot Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui metode ordinal MPE, diperoleh hasil bahwa prioritas bentuk mitigasi yang perlu

158 137 dikembangkan di Kota Padang terkait usaha perikanan antara lain; Sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, Penyediaan GPS, APS dan Aplikasi informasi bencana untuk nelayan, Pembuatan peraturan,undang-undang dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan sumberdaya perikanan, Sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Secara rinci prioritas bentuk mitigasi bencana ini ditampilkan dalam Gambar Ekologi Ekonomi Sosial Keterangan: 1 = Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu 2 = Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan 3 = Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi 4 = Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal 5 = Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana Gambar 30. Prioritas Bentuk Mitigasi Bencana Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan perhitungan analisis MPE yang ditampilkan dalam Gambar 30, terlihat prioritas utama bentuk mitigasi adalah sistem informasi terpadu serta penyediaan GPS dan aplikasi informasi bencana untuk nelayan. Sarana mitigasi ini selanjutnya akan dianalisis kelayakan investasinya seperti diuraikan pada Bab Teknik MPE yang digunakan pada pemilihan bentuk mitigasi bencana dalam kaitannya terhadap pengembangan perikanan ini menggunakan tiga kriteria yaitu Ekonomi (kesejahteraan masyarakat), Ekologi (dinamika perairan pesisir dan faktor keberlanjutan Sumberdaya Perikanan) dan Sosial (kesesuaian dengan karakteristik masyarakat dan SDM lokal).

159 Mitigasi Bencana untuk Pengembangan Perikanan Tuna Longline United Nation Escap (2004) memaparkan spektrum luas teknologi yang digunakan dalam kesiap-siagaan bencana. Teknologi ini merupakan sarana yang direkomendasikan dalam upaya mitigasi dan manajemen bencana yang meliputi: Penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG), Global Positioning System (GPS), sistem navigasi satelit, satelit komunikasi, radio amatir dan komunitas, televisi dan siaran radio, telepon kabel, fax, telepon selular, internet, serta paket perangkat lunak khusus, manajemen data base online dan jaringan informasi bencana. Teknologi yang disajikan dalam buku panduan tersebut menjadi sarana mitigasi penting terhadap keberlanjutan sumberdaya. Hasil analisis MPE sebelumnya terkait sarana mitigasi yang paling efektif dalam mitigasi bencana terhadap pengembangan perikanan di Kota Padang adalah; (1) Sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, (2) Penyediaan GPS, APS dan aplikasi informasi bencana untuk nelayan, (3) Sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, (4) Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta (5) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Sarana mitigasi ini merupakan upaya pengurangan dampak yang ditimbulkan dari bencana potensial terkait pengembangan sumberdaya perikanan sesuai analisis sebelumnya yakni gempa, tsunami, badai, gelombang laut dan intrusi air laut. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan serta melalui penelusuran data primer dan sekunder di lapangan, maka diperoleh bentuk mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap di Kota Padang. Bentuk mitigasi ini terdiri dari prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. Bentuk prasarana dan sarana mitigasi ini nantinya akan dimasukkan sebagai komponen dalam perhitungan kelayakan investasi pengembangan usaha perikanan tangkap sebagaimana diuraikan pada Bab Melalui perhitungan kelayakan investasi dengan memasukkan komponen mitigasi ini diharapkan dapat melahirkan rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

160 139 Bentuk prasarana dan sarana mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap antara lain: Prasarana Mitigasi Darat dan Laut - Sistem Peringatan Dini (EWS) Early Warning System ini sama halnya dengan sarana mitigasi yang telah ada di Kota Padang, namun penempatan sistem peringatan selama ini masih terbatas di lokasi padat penduduk, sedangkan pelabuhan yang menjadi sentra wilayah perikanan masih belum memadai. - Radar Tsunami dan Gelombang Penyediaan radar tsunami dan gelombang sebagai deteksi bencana belum optimal. Wilayah pelabuhan menjadi bagian vital bagi nelayan sehingga perlu adanyapenyediaan prasarana ini. Alat ini juga perlu dilengkapi dengan operator yang akan mengelola dan mendayagunakannya. - Pusat Informasi Bencana Pusat informasi terpadu kebencanaan yang dibangun pada kawasan sentra perikanan ini memuat prasarana mitigasi, sistem informasi terpadu dan sarana mitigasi lainnya. - Jalur Evakuasi dan Assembly Point Karakteristik Pesisir Kota Padang terutama sentra perikanan yang terdiri atas pantai dikelilingi pebukitan membutuhkan jalur evakuasi serta titik berkumpul yang aman dari tsunami dan tanah longsor dari arah bukit. - Shelter Pelabuhan Shelter atau bangunan perlindungan warga saat terjadi bencana berada di areal pelabuhan. Shelter ini merupakan bangunan multifungsi yang juga dimanfaatkan dalam pengembangan perikanan berupa tempat berkumpul organisasi nelayan serta aktivitas perikanan lainnya. - Tambat Badai Laut Tambat badai laut berfungsi sebagai kawasan evakuasi dan perlindungan bagi kapal-kapal nelayan yang dihadapkan pada bencana gelombang atau badai. Dalam pengoperasiannya membutuhkan sarana komunikasi dengan menara pemantau (pusat informasi bencana).

161 140 Sarana Mitigasi Armada Penangkapan - GPS Global Positioning System (GPS) merupakan sistem informasi berupa peta yang mensimulasikan posisi. Fungsi utama dari GPS pada sarana mitigasi ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai posisi nelayan/armada yang berada di lautan untuk diarahkan pada posisi yang aman dari bahaya bencana di lautan. - Paket aplikasi BB/Android Fungsi aplikasi BB/android adalah memberikan informasi langsung dari perangkat tentang lokasi dan letak geografis gempa/badai dengan latitude mendekati equator. Aplikasi ini menggunakan sumber informasi langsung dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). - Radio komunikasi dan navigasi Sarana ini merupakan jembatan penghubung antara nelayan/armada dengan pusat informasi bencana. Kondisi di tengah lautan membutuhkan media khusus untuk berkomunikasi sehingga diperlukan sarana yang efektif dan memadai Analisis Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline dan Kelayakan Investasi Berperspektif Mitigasi Bencana Perencanaan Pengembangan Pengembangan suatu sektor di Kota Padang harus mempertimbangkan faktor bencana. Sebagaimana dalam pembahasan analisis sebelumnya, Kota Padang merupakan kawasan rawan bencana yang memerlukan upaya mitigasi dalam setiap pembangunan dan pengembangannya. Mitigasi bencana menjadi penting karena sebesar apapun usaha pengembangan yang dilakukan apabila faktor ini diabaikan maka ketika bencana datang semua akan loss. Oleh sebab itu, perlu keseimbangan dalam pengembangan suatu usaha dan juga pembangunan mitigasi di daerah tersebut. Kota Padang memiliki keunggulan komparatif dalam sub sektor perikanan tangkap. Keunggulan komparatif ini dijelaskan pada analisis kondisi makro ekonomi sub sektor perikanan. Pengembangan usaha tuna menjadi sumberdaya

162 141 potensial bagi perekonomian daerah Kota padang. Kontribusi yang dihasilkan sumberdaya ini dapat memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah. Oleh karena itu perlu serangkaian upaya dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya ini. Analisis bioekonomi telah mengemukakan hasil bahwa dalam rangka mengoptimalkan produksi perikanan tuna perlu adanya penambahan effort sebesar 133 trip. Hal ini berarti diperlukan tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit dengan asumsi jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 4 kali. Penambahan jumlah armada ini secara matematis akan menambah cost dalam hal investasi dan juga meningkatkan benefit dari segi penerimaan.. Komponen biaya investasi pengembangan sumberdaya perikanan terdiri dari penyediaan armada tuna longline, pancing, mesin dan peralatan lain. Komponen biaya investasi ini belum termasuk biaya perawatan dan biaya operasional. Jumlah investasi untuk pengembangan usaha tuna longline adalah sebanyak 33 unit armada. Armada tuna longliner sebelumnya yang ada di PPS Bungus (26 unit) tidak dilengkapi dengan sarana mitigasi, sehingga membutuhkan investasi untuk penyediaan sarana mitigasi bencana. Jumlah investasi yang dibutuhkan untuk penyediaan sarana mitigasi menjadi 59 unit. Melalui penambahan armada dan sarana mitigasi ini diharapkan akan memperoleh hasil yang lebih optimal bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Mitigasi bencana dalam upaya pengembangan ekonomi perikanan tangkap di kawasan ini berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. Investasi pada prasarana mitigasi darat dan laut berupa penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut. Investasi sarana mitigasi armada penangkapan terdiri dari penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. Rencana pengembangan ekonomi perikanan dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana yang akan diuraikan dalam sub bab ini mencakup perencanaan pengembangan usaha perikanan dan pengembangan upaya mitigasi bencana. Komponen-komponen kelayakan investasi diperoleh berdasarkan penelusuran data primer dan sekunder serta studi literatur.

163 Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Ikan Tuna (Thunnus,sp) memiliki karakteristik yang khas yaitu melakukan migrasi dalam geografis yang luas dan selalu berpindah setiap waktu. Perairan Laut Indonesia bukanlah satu-satunya tempat permanen dari ikan tuna dunia. Tempat beruaya yang jauh dan luas ini membutuhkan teknologi dan armada penangkapan yang mampu menyesuaikan dengan karakteristik spesies tersebut. Jenis alat penangkap tuna yang biasa digunakan yaitu; Tuna longline, handline, huhate, pukat cincin, dan jaring insang. Rawai tuna atau tuna longline adalah alat penangkap tuna yang paling banyak digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar itu. Longline merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu unit tuna longline biasanya mengoperasikan mata pancing dalam sekali setting. Tuna longline umumnya dioperasikan di laut lepas atau perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke perairan, mesin kapal dimatikan agar kapal dan alat tangkap hanyut terbawa arus (drifting). Produktivitas perikanan tangkap adalah produktivitas (kapal/perahu) perikanan tangkap. Produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan pertahun. Produktivitas kapal penangkap ikan per-tahun, ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per-kapal dalam satu tahun, dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan. Besar kecilnya produktivitas penangkapan tersebut akan menentukan tingkat kelayakan usaha. Disamping itu, kelayakan usaha juga ditentukan oleh biaya produksi. Kapal tuna longline memiliki biaya produksi yang paling besar pada biaya bahan bakar (solar) yang mencapai 70 persen dari total biaya operasional. Harga solar yang cenderung meningkat diduga akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha tuna longline. Pada bagian ini penelitian dimaksudkan untuk mengkaji kelayakan usaha tuna longline berperspektif mitigasi bencana yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bungus Kota Padang. Armada tangkap tuna longline di Kota Padang berpangkalan di PPS Bungus. Lama trip dalam sekali penangkapan adalah 2-6 bulan. Usaha perikanan

164 143 tangkap tuna longline membutuhkan investasi untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan peralatan penunjang mencapai Rp 800 juta. Perincian investasi untuk satu unit kapal dapat dilihat pada Tabel 43. Selain itu juga dibutuhkan biaya operasional dan perawatan, pengadaan bahan bakar (solar), nakhoda dan anak buah kapal (ABK), perbekalan, es dan lain-lain. Tabel 43. Investasi Tuna Longliner No. Jenis Investasi Nilai Investasi Umur Ekonomi Depresiasi (Rp) (th) (Rp/th) 1 Kapal Longline Pancing Longline Mesin Peralatan lain Total Investasi (1 Unit Tuna Longline) Total Investasi (33 Unit Tuna Longline) Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan armada dan alat tangkap sebesar Rp 800 juta per unit kapal. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, diperoleh informasi bahwa jumlah armada yang optimal dalam pengembangan perikanan di Padang adalah penambahan armada sebanyak 33 unit dari 26 unit armada longline yang sudah ada di PPS Bungus. Hal ini berarti bahwa total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 26,4 miliyar. Biaya ini belum termasuk biaya operasional penangkapan dan biaya perawatan. Tabel 44. Biaya Operasional Per-trip Usaha Tuna Longline. No. Jenis Biaya Kebutuhan Satuan Harga (Rp) Biaya (Rp) 1 BBM (Solar) liter Pelumas 250 liter Air tawar 50 gallon Umpan 4 ton Makanan 5 bulan Biaya tambat labuh 1 trip Biaya tenaga kerja (ABK dan 5 bulan Nakhoda) 8 Bagi hasil untuk nakhoda (1%) 1 trip Lainnya Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

165 144 Data biaya operasional yang diambil dari lapangan adalah dengan asumsi satu kali trip selama 2 bulan dan jumlah trip satu tahun sebanyak 4 kali. Total biaya operasional untuk 59 unit kapal sebesar Rp per tahun. Biaya operasional per-trip terbesar adalah untuk pengadaan BBM (solar), yang mencapai 63 persen dari seluruh biaya operasional. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM akan menjadi beban berat bagi pengusaha tuna longline dan nelayan. Selain itu, pemilik kapal juga harus menyediakan biaya perawatan, terutama untuk perawatan kapal, alat tangkap dan mesin. Perkiraan biaya perawatan yang diperlukan dalam usaha penangkapan tuna dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/tahun) Biaya (Rp/tahun) 1 Kapal Longline Alat Tangkap Longline Mesin Peralatan lain Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Biaya perawatan armada tuna longline sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 45 adalah sebesar Rp 40 juta. Biaya ini merupakan nilai yang harus dikeluarkan untuk satu unit kapal dalam satu tahun. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dengan penambahan armada sebanyak 33 unit sehingga total armada menjadi 59 unit, maka diperoleh total biaya perawatan yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp Analisis kelayakan investasi pada tahap ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat kelayakan investasi rencana pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Analisis ini dibutuhkan dalam menyiapkan rumusan kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang. Oleh karena itu, pada bagian ini juga akan diuraikan komponen investasi sarana mitigasi pengembangan usaha perikanan. Komponen biaya investasi terdiri atas investasi prasarana mitigasi darat dan laut serta investasi sarana mitigasi armada penangkapan. Besarnya biaya komponen investasi sarana mitigasi ditampilkan pada Tabel 46 dan Tabel 47.

166 145 Tabel 46. Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut No. Jenis Investasi Nilai Investasi (Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th) 1 Sistem Peringatan Dini (EWS) Radar Tsunami dan Gelombang Pusat Informasi Bencana Jalur Evakuasi dan Assembly Point Shelter Pelabuhan Tambat Badai Laut Total Biaya Investasi Sumber : Data Primer, 2012 Biaya investasi prasarana mitigasi darat dan laut yang dimasukkan pada perhitungan analisis kelayakan investasi tahap ini adalah berdasarkan analisis mitigasi bencana perikanan tangkap yang diuraikan pada sub bab sebelumnya, Komponen prasarana investasi ini menjadi bagian penting dalam pengembangan sumberdaya perikanan tangkap untuk memberikan hasil yang optimal dan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan.total biaya investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 5,05 miliyar. Tabel 47. Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit Longline) No. Jenis Investasi Nilai Investasi (Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th) 1 GPS Paket aplikasi BB/Android Radio Komunikasi dan navigasi Total Biaya Investasi Sumber : Data Primer, 2012 Investasi sarana mitigasi armada penangkapan membutuhkan biaya sebesar Rp 1,18 milyar untuk seluruh armada longline di Bungus. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan untuk 59 unit armada menjadi Rp 6,23 milyar. Komponen mitigasi ini dalam pengoperasiannya di lapangan masih membutuhkan biaya operasional dan perawatan yaitu dengan rincian pada Tabel 48 dan Tabel 49.

167 146 Tabel 48. Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun No. Jenis Biaya Operasional Kebutuhan Biaya satuan (Rp) Biaya (Rp/tahun) 1 Biaya Operator Penyuluhan, Sosialisasi dan Pelatihan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut Sarana Mitigasi Armada Penangkapan Biaya Lainnya Total Sumber : Data Primer, 2012 Perhitungan biaya operasional mencakup biaya prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitiasi armada penangkapan. Total biaya operasional yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 434 juta per tahun. Komponen biaya ini sudah termasuk biayauntuk penyuluhan, sosialisasi dan pelatihan kepada nelayan dan masyarakat setempat serta biaya untuk operator/teknisi yang bertugas mengelola prasarana mitigasi bencana. Tabel 49. Biaya Perawatan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/ tahun) Total Biaya (Rp/tahun) 1 Sistem Peringatan Dini (EWS) Radar Tsunami dan Gelombang Pusat Informasi Bencana Jalur Evakuasi dan Assembly Point Shelter Pelabuhan Tambat Badai Laut Total Biaya Perawatan Sumber : Data Primer, 2012 Prasarana mitigasi darat dan laut merupakan salah satu komponen biaya investasi terbesar yang harus dikeluarkan. Komponen ini membutuhkan biaya perawatan dalam pemanfaatannya. Total biaya perawatan yang harus dikeluarkan sebesar Rp 17,8 juta selama satu tahun. Biaya terbesar adalah pada perawatan tambat badai laut karena prasarana mitigasi ini terletak di laut yang mudah mengalami kerusakan.

168 147 Tabel 50. Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/ tahun) Total Biaya (Rp/tahun) 1 GPS Paket aplikasi BB/Android Radio Komunikasi dan navigasi Total Biaya Perawatan (1 Unit Armada Penangkapan) Total Biaya Perawatan (59 Unit Armada Penangkapan) Sumber : Data Primer, 2012 Komponen prasarana dan sarana mitigasi dalam pengembangan ekonomi perikanan tangkap ini membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 64,2 juta pertahun. Komponen perawatan prasarana mitigasi darat dan laut membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 17,8 juta, sedangkan biaya perawatan untuk armada penangkapan sebesar Rp 47,2 juta per tahun. Rincian total biaya (Outflow) kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana diuraikan pada Tabel 51. Tabel 51. Total Biaya/Outflow No. Komponen Biaya Biaya (Rp) 1 Biaya Investasi Usaha Tuna Longline (33 unit) Biaya Investasi Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) Biaya Perawatan Tuna Longline (59 unit) Biaya Perawatan Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) Biaya Operasional Usaha Tuna Longline (59 unit) Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) Total Sumber : Data Primer, 2012 Melalui Tabel 51 dapat dilihat rincian komponen yang dikeluarkan untuk masing-masing jenis biaya dalam perhitungan kelayakan investasi. Total biaya yang dibutuhkan dalam kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana adalah sebesar Rp 129,1 milyar. Diasumsikan investasi dilakukan pada komponen yang ditambahkan. Biaya investasi dalam pengembangan usaha ini sebesar Rp , biaya perawatan sebesar Rp dan biaya operasional sebesar Rp per tahun.

169 148 Berdasarkan data di lapangan, penerimaan pengusaha longline dalam usaha ini berfluktuasi yang dipengaruhi oleh musim dan harga ikan. Nilai hasil tangkapan tersebut dikurangi retribusi sebesar 3 persen. Proyeksi penerimaan yang dijadikan asumsi dalam kajian ini dapat dilihat pada Tabel 52. Berdasarkan basis data yang ada, selanjutnya disusun proyeksi laba/rugi usaha penangkapan tuna longline di PPS Bungus. Hasil proyeksi laba/rugi usaha longline dapat dilihat pada Tabel 53 berikut ini: Tabel 52. Asumsi Penerimaan Perikanan Tuna Longline No. Uraian 1 Rataan Hasil Tangkapan Produksi (Kg/trip) Rataan Harga (n=9) (Rp/Kg) Rataan Nilai Produksi (Rp/trip) a. Tuna Sirip Kuning b. Tuna Mata Besar Retribusi (3%) ( ) 2 Rataan Penerimaan setelah Retribusi Rataan Penerimaan (Rp/unit/tahun) (1 tahun = 4 trip) Penerimaan Total (Rp/tahun) (59 unit) Sumber: Hasil Analisis Data, Total nilai penerimaan usaha perikanan longline dalam satu tahun untuk 59 unit armada adalah sebesar Rp 134,6 miliyar. Total nilai ini berdasarkan analisis data di lapangan dengan jumlah trip per tahun sebanyak 4 kali. Hasil perhitungan NPV, B/C dan IRR usaha penangkapan menggunakan tuna longline disajikan pada Tabel 53. Sedangkan proyeksi laba rugi dan cashflow pada perhitungan ini diuraikan dalam Lampiran 16. Hasil analisis mengungkapkan bahwa penangkapan ikan menggunakan tuna longline memperoleh keuntungan dan layak dikembangkan. Tabel 53. Nilai NPV, B/C dan IRR Uraian Nilai Net Present Value (NPV) Rp Benefit Cost (B/C) 2,40 Internal Rate of Return (IRR) 54,73% Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 16)

170 149 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 53 dapat dilihat nilai NPV Rp , artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur proyek 5 tahun di masa yang akan datang adalah Rp Nilai B/C 2,40 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan/manfaat sebesar 2,4 kali dari biaya yang dikeluarkan selama umur usaha 5 tahun dengan suku bunga 17%. IRR 54,73%, artinya usaha tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan 54,73% pertahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur usaha 5 tahun. Analisis pada tahap ini menyimpulkan bahwa pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana memberikan keuntungan sehingga layak untuk dikembangkan, analisis ini ditinjau dari indikator NPV, IRR dan B/C. Hal ini didukung oleh faktor posisi PPS Bungus sebagai kawasan pendaratan ikan tuna di bagian barat Sumatera memiliki jarak penangkapan yang dekat dengan Samudera Hindia. Kondisi ini tentu saja akan berdampak positif terhadap berkurangnya biaya operasional penangkapan. Selain itu, prospek tuna ekspor menjadi keuntungan tersendiri bagi setiap pengelola perikanan di wilayah ini termasuk nelayan penangkap ikan, karena memiliki keuntungan dari segi harga dan jaminan pemasaran. Namun di sisi lain perlu juga dipertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya tuna itu sendiri, sehingga optimasi produksi tidak mengganggu keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya. Investasi prasarana dan sarana mitigasi yang ditujukan bagi pengembangan perikanan tangkap di PPS Bungus Kota Padang tidak hanya terfokus pada pengembangan usaha tuna, tetapi juga memberikan manfaat bagi usaha penangkapan lain di sekitar areal tersebut. Selain itu penyediaan prasarana dan sarana investasi ini juga bisa menjadi model dan perbandingan dalam pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana bagi daerah lain. Hal ini didasari karena usaha mitigasi yang dibangun, menjadi sarana mengurangi resiko/dampak bencana bagi aspek yang lain. Melalui hasil analisis ini diharapkan peran serta policy maker (pemerintah) serta lembaga keuangan (bank dan non bank) untuk berperan serta dalam mengembangkan usaha perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana di Padang. Peran serta ini mengingat besarnya biaya investasi yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh.

171 Analisis Kelembagaan Kelembagaan Usaha Perikanan Kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Sanim, 2002). Komponen kelembagaan dalam penelitian ini terdiri atas nelayan sebagai anggota masyarakat, teknologi dan informasi perikanan, pemasaran, kelompok nelayan, permodalan, pemerintah dan aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Padang. Nelayan sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan sistem interaksi yang harmoni dalam masyarakat dan memberikan pegangan dalam kontrol sosial. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa baik nelayan pendatang maupun lokal, mekanisme interaksi sosial berlangsung secara bersama-sama, dimana selain berupaya meningkatkan kesejahteraan melalui pengelolaan usaha perikanan, beberapa nelayan juga memiliki peran dalam masyarakat sebagai pengatur desanya. Masyarakat di sekitar PPS Bungus atau Kecamatan Bungus Teluk Kabung, didominasi oleh penduduk lokal dan hanya sebagian pendatang. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Penduduk yang berperan sebagai nelayan adalah penduduk lokal, sedangkan pendatang umumnya bergerak pada usaha armada perikanan tonase besar. Kapal-kapal tonase besar seperti longline dan purse seine yang mendarat di PPS Bungus didominasi oleh pendatang terutama dari Jawa dan Sumatera Utara, begitu juga dengan ABKnya yang yang sebagian besar adalah pendatang. Faktor yang menyebabkan dominasi dari pendatang dalam usaha ini adalah karakteristik penduduk lokal yang tidak terbiasa melaut jauh dan dalam waktu yang lama. Pemasaran hasil perikanan di PPS Bungus lebih banyak dikuasai oleh penduduk lokal, kecuali untuk jenis tuna. Pengusaha dalam bidang pengolahan yang bergerak pada usaha ini berasal dari pendatang. Kondisi tersebut disebabkan karena jenis ikan yang didaratkan umumnya tuna dan cakalang serta rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penguasaan teknologi pada hasil perikanan jenis ikan tersebut.

172 151 Secara umum pemodalan usaha perikanan di Kota Padang berasal dari pengusaha lokal dan juga pendatang yang berinvestasi pada usaha tersebut. Investasi berupa penyediaan armada dan alat tangkap serta biaya operasional penangkapan. Sistem bagi hasil terkait usaha ini antara nelayan dan pengusaha bisa berupa rantai penjualan/pemasaran atau bagi hasil secara langsung di lapangan. Beberapa perhimpunan atau organisasi kemasyarakatan yang berhubungan dengan pengembangan sumberdaya perikanan juga terdapat di Kota Padang. Organisasi tersebut diantaranya HNSI Kota Padang (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), PPNSI (Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia) serta kelompok-kelompok nelayan yang terdapat di beberapa kecamatan di Kota Padang. Nelayan dan pengusaha yang bergerak pada usaha tuna di daerah ini sebagian besar juga tergabung ke dalam Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Atli) yang merupakan wadah dalam pengembangan usaha perikanan khususnya tuna. Aturan lokal dalam mengendalikan penangkapan ikan di laut pada masyarakat nelayan Kota Padang belum ada, baik yang terkait dengan waktu penangkapan, jenis, ataupun ukuran ikan yang ditangkap. Di Sumatera Barat kearifan lokal yang berkembang adalah pengelolaan perikanan di perairan umum daratan seperti sungai, danau dan genangan. Kearifan lokal yang terkenal adalah lubuk larangan, terutama untuk spesies ikan yang sudah mulai langka.perikanan tuna di Kota Padang sampai saat ini belum memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Kelembagaan masyarakat nelayan Kota Padang dalam mendukung program pembangunan perikanan meliputi; kelompok nelayan, kelompok masyarakat pengawas, kelompok pedagang dan pengolah ikan serta lembaga ekonomi untuk pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan peran dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, masyarakat nelayan di kawasan ini perlu diberikan tambahan pengetahuan tentang kelestarian sumberdaya, jenis alat tangkap dan ukuran ikan yang layak ditangkap. Pada masyarakat tersebut belum terdapat bentuk kelembagaan dalam mengantisipasi peningkatan hasil tangkapan, sehingga selama ini kelebihan produksi tergantung pada mekanisme pasar.

173 Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana Kelembagaan masyarakat terkait mitigasi bencana di Kota Padang berupa kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal terdiri atas lembaga dan institusi serta peraturan dan kebijakan terkait penanggulangan bencana yang resmi dibentuk pemerintah Kota Padang. Lembaga ini seperti BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), serta undang-undang dan kebijakan dalam menanggulangi setiap potensi bencana baik berupa mitigasi, evakuasi, recovery ataupun pembangunan paska kejadian bencana. Sementara itu, untuk kelembagaan informal di Kota Padang berupa kearifan lokal masyrakat setempat. Upaya meminimalisir dampak bencana, dihadapkan pada kerentanan kelembagaan formal dalam hal mitigasi bencana di Kota Padang, keterbatasan dan kelemahan itu antara lain: Belum optimalnya fungsi dari badan penanggulangan bencana, BPBD yang diberi tugas dalam menanggulangi bencana di Kota Padang masih terkendala dengan terbatasnya prasarana dan sarana mitigasi bencana. Minimnya SDM dan institusi terkait penanggulangan bencana, baik secara kualitas maupun kuantitas. Masih sedikitnya lembaga dan peran serta masyarakat sebagai pendukung kinerja badan penanggulangan bencana dalam pelaksanaan penanggulangan bencana di Kota Padang Kelembagaan yang terlahir di tengah masyarakat hasil inisiasi pemerintah ataupun swasta adalah berupa Kelompok Siaga Bencana (KSB). Di Kota Padang ada dua model KSB, yaitu KSB yang dibentuk oleh Pemerintah Kota (Pemko) Padang dan yang dibentuk oleh lembaga non-pemerintah (contohnya KSB yg dibentuk oleh Komunitas Siaga Tsunami Kogami, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat LP2M). Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan program dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang untuk menyiapkan masyarakat yang terlatih dan siap dalam menghadapi risiko bencana di daerah masing-masing di tingkat kelurahan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan berupa pelatihan, kegiatan penyadaran masyarakat dan simulasi penanggulangan bencana.

174 153 Secara umum kelembagaan mitigasi bencana belum berjalan optimal di Kota Padang. Berbagai sarana mitigasi aktif banyak yang tidak sesuai SOP di dalam pelaksanaannya. Mulai dari EWS, sistem peringatan dini hingga berbagai perlengkapan tanggap darurat. Hal ini terbukti dari hasil data lapangan bahwa beberapa kejadian bencana terakhir menunjukkan bahwa panduan dan evakuasi yang dilakukan tidak berjalan dengan efektif. Masyarakat Minangkabau memiliki kearifan lokal dalam mitigasi bencana. Kearifan lokal itu antara lain terdapat pada desain membangun rumah dengan model Rumah Gadang. Rumah panggung ini dibangun nenek moyang Minangkabau tetap dapat berdiri kokoh meski terjadi gempa, banjir dan bencana lainnya. Kearifan lokal yang lain adalah berupa prediksi atau perkiraan kejadian bencana yang akan terjadi dimana berakar dari pengalaman, wawasan ataupun suatu hal yang sudah menjadi tradisi daerah setempat. Dari data di lapangan diketahui bahwa masyarakat Minang mengenal petuah alam takambang jadikan guru. Dari falsafah ini masyarakat belajar dari fenomena alam terkait kejadian alam yang bakalan terjadi sehingga terlebih dahulu mengambil langkah antisipasi. Pada masyarakat pesisir masih dijumpai masyarakat dan nelayan yang percaya dengan kearifan lokal ini, seperti adanya tanda-tanda pohon yang bergerak ribut tanpa adanya angin, kondisi ini dipercaya akan ada bencana sehingga nelayan-pun tidak jadi melaut dan melakukan evakuasi Analisis Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan Berperspektif Mitigasi Bencana Dalam rangka membuat suatu kebijakan terkait pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang, maka diperlukan suatu kerjasama dari berbagai pihak untuk merumuskannya. Berbagai stakeholder dianggap berperan penting dalam merumuskan suatu kebijakan. Adapun stakeholder tersebut adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi terkait, masyarakat lokal, pengusaha, nelayan, akademisi serta LSM. Tentunya masingmasing pihak memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dalam merumuskan suatu kebijakan.

175 154 Analisis stakeholder perlu dilakukan untuk menentukan pihak-pihak yang berkompeten dalam merumuskan kebijakan tersebut. Schmeer (2007) menyatakan analisis ini merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi secara kualitatif dalam menentukan kepentingan siapa yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu kebijakan. Stakeholder dapat diartikan sebagai individu, kelompok atau lembaga yang kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan atau pihak yang tindakannya secara kuat mempengaruhi kebijakan. Setiap stakeholder memiliki pengaruh dan kepentingan dalam kebijakan pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi merupakan stakeholder primer dimana kepentingannya dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan. Sedangkan stakeholder sekunder, kepentingannya dipengaruhi secara tidak langsung. Daftar stakeholder serta pengaruh dan kekuatannya dapat dilihat pada Tabel 54. Gambar 31. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang Keterangan Stakeholder : KKP RI (Ditjen Perikanan Tangkap UPT PPSB), DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang), Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Padang), BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Padang), Pemda (Pemerintah Daerah Kota Padang), Dinas PU Kota Padang, Dinas Perhubungan Kota Padang, Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kota Padang, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Akademisi, Pemilik Unit Usaha Lokal, Masyarakat Lokal, Nelayan, Investor/Pengusaha Luar.

176 155 Kepentingan stakeholder dalam kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor ekologi, sosial dan ekonomi. Pengaruh stakeholder yang berbeda-beda dalam kebijakan ini disebabkan oleh faktor politik, birokrasi dan struktural. Hasil dari kajian pada Tabel 54 digunakan sebagai dasar dalam penyusunan matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam kebijakan pengembangan perikanan yang berkelanjutan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 31. Stakeholder yang dianalisis dalam penelitian ini adalah segenap pemangku kepentingan yang berkaitan dengan program-program pengembangan perikanan, baik berupa minapolitan, industri perikanan ataupun kebijakan lainnya dalam hal pengembangan perikanan. Hasil analisis stakeholder menetapkan beberapa stakeholder primer yang akan diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang. Stakeholder primer dalam pengembangan perikanan di Kota Padang adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang (DKP) dan Pemerintah Daerah Kota Padang (Pemda). Stakeholder primer yang diperoleh pada tahapan analisis ini memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam rangka menjawab tantangan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Hasil analisis stakeholder juga digunakan sebagai indikator dalam tahapan analisis kebijakan pada sub bab selanjutnya. Penyusunan hierarki dalam analisis kebijakan melalui teknik AHP pada Sub Bab 6.6 yaitu dengan memasukkan stakeholder primer sebagai aktor yang ditentukan oleh analisis stakeholder. Rangkaian analisis yang digunakan dalam setiap tahapan pada penelitian ini guna memperoleh rumusan akhir berupa kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

177 156 Tabel 54. Analisis Stakeholder Pengembangan Sumberdaya Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang No. Stakeholder 1 KKP RI (Ditjen Perikanan Tangkap UPT PPSB) 2 Dinas Perikanan dan Kelautan Kriteria Evaluasi Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaru Total Keputusan S F P h Keterlibatan Tingkat Keterlibatan Perencanaan dan Pengembangan Minapolitan dan Program Perikanan lainnya Terlibat Pengambil Kebijakan Membina masyarakat nelayan, Koordinasi dengan instansi terkait Terlibat Pengambil Kebijakan 3 Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4 Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Membuat masterplan dan rencana strategis pengembangan perikanan, Melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam mengembangkan perikanan Melakukan riset dan perencanaan terkait program pengelolaan sumberdaya perikanan 5 Pemerintah Daerah Melakukan inisiasi dan mengkoordinasikan program minapolitan dengan instansi terkait 6 Dinas Pekerjaan Umum (PU) Membangun prasarana dan sarana terkait pengembangan perikanan, Meningkatkan fasilitas perikanan Terlibat Diabaikan Pemberi Pertimbangan Pemberi Pertimbangan Terlibat Pengambil Kebijakan Terlibat Penerima Informasi

178 157 Tabel 54. Lanjutan 7 Dinas Perhubungan Meningkatkan sarana dermaga/pelabuhan dan jalan raya di kawasan minapolitan 8 Dinas Perindustrian Perdagangan Tambang dan Energi (Disperindagtamben ) Meningkatkan sarana industri perikanan, Meningkatkan sarana perdagangan domestik dan internasional, Penyediaan sarana bahan bakar armada penangkapan 9 LSM Memberikan pengetahuan dan pendampingan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan, Melakukan kontak langsung dengan masyarakat nelayan 10 Akademisi Meningkatkan dan menguatkan peranan SDM di bidang perikanan, Riset dan pengabdian masyarakat di bidang perikanan 11 Pemilik Unit Usaha Lokal 12 Masyarakat Lokal Memperoleh pekerjaan, Meningkatkan kesejahteraan Diabaikan Penerima Informasi Terlibat Penerima Informasi Diabaikan Penerima Informasi Diabaikan Meningkatkan kesejahteraan, Meningkatkan aktivitas ekonomi Diabaikan Pemberi Pertimbangan Pemberi Pertimbangan Diabaikan Penerima Informasi 13 Nelayan Meningkatkan kesejahteraan Diabaikan Penerima Informasi 14 Investor/Pengusaha Membuka lapangan pekerjaan, Luar Meningkatkan keuntungan Diabaikan Penerima Informasi Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik

179 Analisis Kebijakan Analisis Kebijakan Pengembangan Sektor Prioritas Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thingking dari serangkaian analisis yang telah dilakukan guna memperoleh kesimpulan komprehensif sebagaimana yang dijabarkan pada Sub-bab 6.7. Pada tahapan ini akan dikaji pemilihan sektor prioritas yang potensial dikembangkan pada bidang kelautan di Kota Padang. Berdasarkan data kontribusi antar sektor di Kota Padang, menunjukkan bahwa bidang kelautan yang terdiri atas tujuh sektor (Kusumastanto, 2003) memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian Kota Padang. Tujuh sektor itu antara lain; perikanan, pertambangan laut, pariwisata bahari, industri kelautan, jasa kelautan, tansportasi laut dan bangunan kelautan. Sektorsektor dalam bidang kelautan ini perlu dianalisis prioritas pengembangan yang sesuai dengan karakteristik daerah agar kebijakan yang dihasilkan mampu memberikan pengaruh nyata terhadap pembangunan dan kemajuan daerah. Penyusunan hierarki pengambilan keputusan AHP dengan aktor adalah KKP RI, DKP Kota Padang dan Pemda Kota Padang, sedangkan kriteria yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Bentuk hierarki ditampilkan dalam Gambar 32 dan hasil analisis pada Gambar 33. Gambar 32. Diagram Hierarki Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan

180 159 Melalui Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh prioritas pengembangan sektor di bidang kelautan Kota Padang sebagaimana ditampilkan pada Gambar 26. Hasil analisis ini berdasarkan data primer melalui wawancara mendalam dan kuesionerdengan pakar. Pemilihan aktor dalam penyusunan hierarki analisis kebijakan melalui teknik pengambilan keputusan AHP ini adalah berdasarkan tahapan analisis stakeholder (lihat Sub-bab 6.5.3). Sedangkan untuk penentuan kriteria adalah berdasarkan konsep segitiga pembangunan berkelanjutan (lihat Gambar 2) yang terdiri atas komponen ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil penilaian AHP mengenai prioritas pengembangan bidang kelautan di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 33 sebagai berikut. Gambar 33. Hasil Penilaian AHP Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 33, sektor prioritas yang perlu dikembangkan di Kota Padang adalah perikanan dengan skor 0,34 diikuti sektor industri kelautan 0,32 dan pariwisata bahari 0,149. Hasil judgement pakar ini juga berlandaskan karena faktor potensi dan karakteristik Kota Padang, dimana kontribusi terbesar bidang kelautan sejauh ini adalah dari ketiga sektor tersebut. Selain itu ketiga sektor ini masih berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai tulang punggung perekonomian daerah. Perikanan menjadi alternatif pertimbangan yang paling kuat untuk dikembangkan di Kota Padang. Sektor ini terpilih karena faktor potensi daerah

181 160 yang dimilikinya. Kota Padang dengan segenap potensi perikanan dan titik fokus sentra program pemerintah pusat, menjadikan sektor ini pilihan paling kuat untuk meningkatkan perekonomian daerah. Dukungan sumberdaya alam berupa komoditas perikanan unggulan dan sumberdaya manusia menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan ini. Nilai Consistency Ratio pada pemilihan prioritas kebijakan pengembangan bidang kelautan dalam analisis ini adalah sebesar 0,0201. Sehingga dalam kasus ini penilaian kriteria pada analisis AHP telah dilakukan dengan konsisten (perhitungan lihat Lampiran 17). Berdasarkan hasil perangkingan alternatif keputusan melalui teknik AHP, maka dapat diambil sebuah kebijakan pembangunan bidang kelautan di Kota Padang. Kebijakan yang paling tepat bagi pembangunan bidang kelautan secara berkelanjutan di Kota Padang adalah mengutamakan pembangunan di sub sektor perikanan. Kebijakan ini dianggap paling tepat karena Kota Padang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Hanya saja, demi tercapainya pembangunan sub sektor perikanan yang optimal, maka pemerintah harus lebih memperhatikan aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana. Prioritas pengembangan sektor dalam bidang kelautan berikutnya di Kota Padang adalah Industri Kelautan. Melalui program kemudahan investasi yang ditawarkan pemerintah serta pembangunan kelautan yang memadai maka sektor ini layak untuk dikembangkan lebih baik lagi. Output bagi perekonomian daerah yang dihasilkan sektor industri kelautan selama ini cukup menjadi pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut agar hasil yang diperoleh lebih optimal bagi daerah dan kesejahteraan masyarakat khususnya. Sektor dalam bidang kelautan lainnya yang harus dikembangkan adalah sektor pariwisata bahari. Sebagai daerah yang terdiri atas pulau-pulau dengan pantai yang indah, maka Kota Padang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata bahari. Hal ini dikarenakan bahwa Kota Padang memiliki wisata pantai yang indah dan belum dikembangkan secara optimal. Hasil analisis AHP mengenai prioritas pengembangan bidang kelautan ini juga menguatkan analisis sebelumnya mengenai analisis ekonomi makro Kota Padang. Analisis ekonomi makro menyimpulkan bahwa perikanan merupakan sektor basis yang memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Melalui

182 161 serangkaian analisis ini pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap usaha pengembangan perikanan di Kota Padang. Perikanan perlu dijadikan sebagai sektor prioritas pembangunan ekonomi daerah Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Berdasarkan hasil analisis pada Sub Bab 6.6.1, telah diperoleh hasil bahwa perikanan merupakan sektor prioritas yang paling potensial dikembangkan pada bidang kelautan Kota Padang. Kebijakan ini dianggap paling tepat karena Kota Padang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Dalam rangka tercapainya pembangunan sub sektor perikanan yang optimal, maka pemerintah juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem perairan. Hal ini didasari karena kondisi Samudera Hindia (WPP 572) yang menjadi fishing ground utama menghadapi tantangan keberlanjutan. Selain itu, untuk hasil yang optimal, perhatian pemerintah juga harus diarahkan pada aspek mitigasi bencana. Penyusunan hierarki pengambilan keputusan AHP dengan aktor adalah KKP, DKP Kota Padang dan Pemda Kota Padang, sedangkan kriteria yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Bentuk hierarki ditampilkan dalam Gambar 34 dan hasil analisis pada Gambar 35. Gambar 34. Diagram Hierarki Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan

183 162 Melalui Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh prioritas kebijakan pengembangan perikanan Kota Padang sebagaimana ditampilkan pada Gambar 34. Beberapa alternatif kebijakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi wilayah Kota Padang, yaitu kondisi potensi dan permasalahan perikanan serta kondisi daerah yang rawan bencana. Gambar 34. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan Berdasarkan hasil analisis sesuai Gambar 34, prioritas kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang adalah penyediaan sarana pelabuhan, TPI, PPI dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan skor 0,203. Alternatif kebijakan ini dipilih mengingat kondisi sentra-sentra fasilitas perikanan yang ada di Kota Padang masih rawan mengalami risiko bencana, selain itu fasilitas perikanan ini juga tergolong masih kurang kondusif akibat terbatasnya prasarana dan sarana yang ada dalam memenuhi kebutuhan aktivitas perikanan setempat. Alternatif prioritas kebijakan berikutnya yaitu pendidikan dan pelatihan bagi nelayan dengan skor 0,163. Masih terbatasnya pengetahuan dan keterampilan nelayan lokal dalam meningkatkan kualitas hasil perikanan baik produksi penangkapan maupun nilai tambah yang dihasilkan, menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelatihan bagi nelayan.

184 163 Prioritas kebijakan ketiga adalah bantuan modal usaha bagi nelayan serta masyarakat yang ingin mengembangkan usaha perikanan. Hasil AHP menunjukkan alternatif kebijakan ini dipilih dengan skor 0,133. Prioritas alternatif kebijakan selanjutnya adalah subsidi bahan bakar 0,109 dan Pusat informasi cuaca dan kebencanaan yang mudah diakses dengan skor 0,093. Secara umum, hasil judgement pakar dalam memberikan penilaian terkait prioritas kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan adalah dengan mempertimbangkan faktor potensi perikanan dan karakteristik sumberdaya yang ada di Kota Padang. Nilai Consistency Ratio pada pemilihan prioritas kebijakan pengembangan bidang kelautan adalah 0,0256, yang artinya dalam kasus ini penilaian kriteria telah dilakukan dengan konsisten. Tabel pengisian matriks berdasarkan kuesionerdan penormalan matriks serta penentuan nilai CR terdapat dalam Lampiran 18. Hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan perikanan yang diperoleh melalui teknik AHP ini dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan pengembangan perikanan berperspektif mitigasi bencana yang akan diuraikan pada bab selanjutnya. Pertimbangan pakar dalam analisis ini menjadi salah satu acuan dalam menyusun arahan kebijakan sebagaimana diuraikan pada Sub Bab Implikasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longine Berperspektif Mitigasi Bencana Tujuan akhir yang ingin dicapai dari penelitian ini sebagaimana disebutkan pada bagian awal adalah memperoleh rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana. Berdasarkan hal tersebut serangkaian analisis dengan berbagai metode telah selesai dilakukan. Tahapan akhir sebelum merumuskan arahan kebijakan adalah menyiapkan landasan strateginya. Mintzberg (1994) menyebutkan bahwa strategi adalah sebuah pola dalam sebuah arus keputusan, kebijakan atau tindakan. Dengan demikian, pembahasan selanjutnya dalam penelitian ini adalah menyusun landasan strateginya. Secara ringkas hasil analisis dari studi ini disajikan pada Tabel 55.

185 164 Sebagai landasan strategi umum dalam pengembangan sumber daya alam khususnya perikanan yang dipergunakan adalah meletakkan pengembangan ekonomi lokal atas dasar prakarsa/inisiatif serta kekhasan daerah yang bersangkutan (endegenous development), melalui pemanfaatan sumberdaya lokal yang di perkokoh dengan ikatan modal sosial (Sanim, 2006). Hasil penelitian mengemukakan bahwa endegenous development Kota Padang adalah sub sektor perikanan. Melalui analisis Shift Share, Location Quotient dan MRA diketahui bahwa sektor perikanan memberikan pengaruh yang berarti bagi perekonomian Kota Padang. Hal ini terbukti dari adanya peningkatan kontribusi dari tahun ke tahun dan tren positif nilai LQ selama sepuluh tahun terakhir, dimana sub sektor perikanan di Kota Padang tergolong pada sektor basis. Sektor basis menurut Sjafrizal (2008) adalah sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Analisis MRA menguraikan multiplier effect perikanan pada sektor lain. Fakta ini memberikan peluang terhadap arahan kebijakan pembangunan Kota Padang untuk mempertimbangkan sektor basis sebagai penyangga perekonomian daerah. Hal ini didasari karena melalui kajian analisis ini dapat memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi pada suatu daerah (Benjamin dkk, 1980). Kajian ini juga didukung oleh hasil analisis prioritas pengembangan bidang kelautan melalui teknik AHP, hasil analisis mengemukakan bahwa perikanan menjadi sektor kelautan yang paling potensial untuk dikembangkan dengan nilai 0,364 melebihi sektor pertambangan laut (0,035), transportasi laut (0,068), industri kelautan (0,236), bangunan kelautan (0,047), jasa kelautan (0,101) ataupun pariwisata bahari (0,149). Kontribusi yang dihasilkan sub sektor perikanan terhadap perekonomian daerah sebagian besar berasal dari perikanan tangkap sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 19. Perikanan tangkap menghasilkan nilai sebesar Rp , atau sekitar 83 persen dari total nilai produksi perikanan Kota Padang secara keseluruhan. Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna.

186 165 Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang, jenis tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares). Spesies ini merupakan sumberdaya ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika. Tuna merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp (DKP Kota Padang, 2011) atau sekitar 24 persen dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan. Melalui analisis bioekonomi diperoleh informasi bahwa produksi tuna masih berada dibawah titik optimalnya, sehingga kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah ikan tuna yang boleh ditangkap per-tahunnya berjumlah 1.105,21 ton. Sehingga jumlah produksi dapat ditingkatkan sebesar 418,53 ton untuk hasil yang optimal. Kebijakan lainnya adalah dengan menambah effort sebanyak 133 trip. Penentuan tingkat discount rate menjadi salah satu pertimbangan yang penting dalam optimasi sumberdaya ini. Nilai discount rate yang menghasilkan rente optimal dan keberlanjutan adalah pada tingkat 16 persen. Hasil analisis bioekonomi ini juga dapat menjadi landasan kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan jumlah tenaga kerja perikanan. Kondisi tuna yang masih underfishing memberi peluang terhadap penyerapan jumlah tenaga kerja baru. Penambahan effort sebanyak 133 trip akan membuka setidaknya 1500 tenaga kerja perikanan tangkap. Jumlah ini belum memasukkan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap pada sektor lain, sebagaimana multiplier effect perikanan yang dijelaskan pada Sub Bab dalam analisis Minimum Requirement Approach (MRA). Penambahan effort sebanyak 133 trip berarti diperlukan tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit dengan asumsi jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 4 kali. Dalam rangka meningkatkan produksi tuna, serangkaian upaya perlu dilakukan pengambil kebijakan. Kebijakan yang diambil dapat berupa aturan pengelolaan, prasarana-sarana maupun terkait sumberdaya manusia. Kebijakan

187 166 juga harus mempertimbangkan faktor bencana. Hal ini disebabkan karena lokasi pendaratan ikan yakni Kota Padang yang juga sebagai sentra perikanan tuna Indonesia bagian barat adalah daerah rawan bencana. Sehingga upaya mitigasi menjadi sebuah solusi dalam usaha meningkatkan optimasi yang ingin diperoleh. Berdasarkan hasil analisis MPE, bencana yang potesial terdapat di Kota Padang terkait pengembangan perikanan adalah gempa, tsunami dan badai. Mitigasi bencana dalam upaya pengembangan ekonomi perikanan tangkap di kawasan ini berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. Investasi pada prasarana mitigasi darat dan laut berupa penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut. Investasi sarana mitigasi armada penangkapan terdiri dari penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. Tahapan analisis makro ekonomi, bioekonomi dan kebencanaan memberikan rekomendasi terhadap pengembangan ekonomi perikanan dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Hasil analisis berupa tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit serta prasarana dan sarana mitigasi pengembangan perikanan menjadi komponen yang digunakan dalam perhitungan analisis kelayakan investasi. Tahapan analisis ini menghasilkan kesimpulan bahwa usaha pengembangan perikanan berperspektif mitigasi bencana menguntungkan dan layak dilakukan ditinjau dari indikator NPV, B/C dan IRR. Analisis kelayakan invstasi menghasilkan nilai NPV sebesar Rp , B/C sebesar 2,4 dan IRR sebesar 54,73 persen. Penambahan prasarana dan sarana mitigasi ini merupakan upaya untuk meminimalisir dampak risiko bencana yang terjadi. Unsur mitigasi bencana yang dimasukkan ke dalam upaya optimalisasi produksi sumberdaya perikanan yang berkelanjutan bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimal untuk kesejahteraan. Oleh sebab itu, perlu kebijakan stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam rangka mengembangkan sumberdaya perikanan di Kota Padang agar berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Stakeholder primer yang ditemukan dalam analisis stakeholder yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP RI), Dinas Kelautan dan Perikanan

188 167 Kota Padang serta Pemeritah Daerah Kota Padang. Stakeholder ini memiliki kewajiban dalam menjawab tantangan pengembangan dan pengelolaan perikanan di Kota Padang, karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang paling besar. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka diperoleh alternatif kebijakan terkait pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana yaitu: Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan dan mitigasi bencana. Penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan mengedepankan karakteristik masyarakat lokal dan kondisi wilayah. Meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Melalui alternatif kebijakan di atas dapat dirumuskan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana yaitu Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder untuk mencapai kesejahteraan. Dalam rangka menyusun rumusan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana, maka karakteristik sumberdaya yang digambarkan mencakup tiga sistem yaitu sistem sumberdaya itu sendiri (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan (management system). Pengembangan sub sektor perikanan harus dilakukan dengan membuat beberapa kebijakan pembangunan yang tepat serta mempertimbangkan karakteristik wilayah. Kota Padang memiliki kondisi wilayah yang rawan dilanda bencana, kondisi ini patut dipertimbangkan dalam merumuskan arahan kebijakan yang dibuat. Hal ini didasari karena pengembangan perikanan sangat berkaitan dengan sektor lain dan membutuhkan sinergisitas seluruh stakeholder dalam perencanaan dan pengembangannya. Rumusan kebijakan yang dibangun harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti ekologi, ekonomi dan sosial serta berbagai sektor. Rumusan arahan kebijakan

189 168 pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang diuraikan pada point-point berikut ini. a. Kebijakan Pengaturan Total Allowable Effort Kebijakan pemerintah dalam mengatur jumlah effort yang diperkenankan tetap menjadi alternatif yang penting, sebab walaupun kondisi aktual suatu sumberdaya masih dibawah kondisi lestari, tetap saja akan membahayakan keberlanjutan apabila dibiarkan terbuka (open access) tanpa adanya regulasi yang kuat. Pengaturan Total Allowable Effort menjadi solusi dalam rangka mencapai optimalisasi dan keberlanjutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan tuna Kota Padang sebaiknya menggunakan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Diantara langkah teknis yang dapat dilakukan pemerintah sesuai dengan hasil analisis bioekonomi adalah menetapkan kebijakan dengan menambah effort (E) sebanyak 133 trip atau dengan hasil tangkapan tertinggi 1.105,21 ton pertahun. Kebijakan penambahan jumlah effort ini dilakukan juga mengingat kebutuhan terhadap tenaga kerja pada sektor ini tinggi. Penambahan effort ini dimungkinkan karena berdasarkan analisis bioekonomi masih terdapat potensi penambahan pada kondisi lestari. b. Kebijakan Pengembangan Teknologi Perikanan Dalam rangka meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan, maka segenap upaya terarah perlu dilakukan. Pengembangan teknologi perikanan menjadi salah satu solusi untuk mencapai tujuan tersebut. Pemerintah perlu mengembangkan riset dan teknologi pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengutamakan keberlanjutan, baik dari segi budidaya maupun penangkapan. Sebagaimana yang disampaikan Kusumastanto (2003), perikanan sebagai salah satu sumberdaya pulih yang menjadi faktor kunci sustainability, maka investasi dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan yang mengedepankan optimasi dan keberlanjutan perlu dilakukan. Perikanan sebagai sektor basis Kota Padang sudah seharusnya menjadi sektor unggulan daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi setempat.

190 169 c. Kebijakan Pengembangan Pasca Panen Pasca panen merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha perikanan, sebab sifat dari fisik ikan sendiri yang sangat rentan terhadap kondisi lingkungan. Hal ini juga karena Kota Padang sebagai daerah tropis dengan suhu dan musim yang kompleks memiliki potensi sumberdaya ekspor. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan usaha perikanan perlu memperhatikan faktor pasca panen. Kebijakan pasca panen sumberdaya perikanan berkaitan erat dengan industrialisasi perikanan. Kebijakan industrialisasi perikanan tangkap dijabarkan ke dalam 7 strategi industrialisasi perikanan tangkap yaitu : Penguatan sistem dan manajemen pengelolaan dan pemulihan sumber daya ikan. Penguatan sistem dan manajemen standarisasi dan modernisasi sarana perikanan tangkap Penguatan sistem dan manajemen pelabuhan perikanan Penguatan sistem dan manajemen pendaratan ikan Penguatan sistem dan manajemen perijinan Penguatan sistem dan manajemen modal dan investasi Penguatan sistem dan manajemen usaha nelayan Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus adalah salah satu dari 5 pelabuhan yang menjadi Pilot Project pengembangan kawasan industrialisasi di bidang perikanan tangkap. Konsep industrialisasi di kawasan ini adalah dengan tersedianya fasilitas pengolahan hasil perikanan. Sejauh ini peran pemerintah dalam industrialisasi perikanan tercermin melalui kebijakan dan aturan terkait kemudahan investasi dan sinergisitas antar instansi. Dalam rangka mencapai optimalisasi hasil perikanan, maka pemerintah perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan terpadu dan pemasaran produk unggulan perikanan. Fahrudin (2003) menyebutkan dalam rangka meningkatkan kompetensi pemasaran produk perikanan, maka pemerintah perlu mengembangkan teknologi eksploitasi dan pasca panen sumberdaya hayati laut yang disesuaikan dengan standar negara tujuan ekspor. Selain itu pemerintah juga perlu meningkatkan

191 170 arus informasi dari negara importir mengenai standar mutu dan arus informasi ke negara importir mengenai spesifikasi produk perikanan Indonesia. d. Kebijakan Mitigasi Bencana Beberapa kebijakan mitigasi bencana yang perlu dilakukan pemerintah (policy maker) dalam rangka pengembangan usaha perikanan di Kota Padang yaitu sebagai berikut: Pembangunan dan penyediaan infrastruktur prasarana mitigasi bencana di areal pelabuhan (kawasan strategis perikanan) berupa sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut. Penyediaan sarana mitigasi armada penangkapan bagi nelayan seperti penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. Memberdayakan masyarakat pesisir khususnya nelayan dalam bidang penanggulangan bencana/mitigasi melalui usaha berupa penyuluhan, sosialisasi dan pendampingan pendirian bangunan/prasarana. Merevisi RTRW Pesisir dan peraturannya dengan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana alam. e. Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Manusia Perikanan Sumberdaya manusia perikanan merupakan faktor kunci dalam usaha pengembangan perikanan. Segenap upaya optimalisasi sumberdaya alam dan peningkatan prasarana perikanan saja tidak cukup tanpa mengembangkan sumberdaya manusia perikanan di dalamnya. Hasil analisis prioritas pengembangan perikanan (lihat Sub Bab 6.6.2) mengungkapkan bahwa salah satu prioritas pengembangan perikanan di Kota Padang adalah pendidikan dan pelatihan bagi nelayan. Keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan nelayan lokal dalam meningkatkan kualitas hasil perikanan baik produksi penangkapan maupun nilai tambah yang dihasilkan menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelatihan bagi nelayan. Dalam rangka mengembangkan sumberdaya manusia perikanan, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek karakteristik masyarakat (kearifan lokal) dan kondisi

192 171 wilayah. Pertimbangan ini berkaitan dengan manajemen mitigasi bencana dan juga pengembangan sumberdaya perikanan di kawasan pesisir. f. Kebijakan Pengelolaan Secara Terpadu Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan juga harus mengutamakan aspek keterpaduan. Kebijakan pemerintah dalam rangka mencapai pengelolaan yang terpadu diuraikan sebagai berikut: Keterpaduan ekologis Kota Padang sebagai daerah yang memiliki potensi ekonomi sumberdaya yang tinggi dihadapkan pada potensi bencana ekologi yang juga tinggi menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam membangun keterpaduan ekologis. Keterkaitan ekologis yang sangat tinggi di wilayah pesisir dan lautan menyebabkan perlunya pengelolaan yang terpadu secara ekologis. Pemerintah daerah harus mampu menciptakan kebijakan pengelolaan yang selaras antara kegiatan ekonomi di wilayah daratan hingga lautan. Keterpaduan sektoral Sub sektor perikanan sebagai bagian dari multisektor bidang kelautan memiliki hubungan yang erat dengan sektor lainnya. Pengembangan sub sektor ini harus dilakukan secara terpadu dengan pengembangan sektor lain seperti pariwisata bahari, perhubungan laut, pertambangan laut, industri kelautan, bangunan kelautan dan jasa kelautan. Keterpaduan bidang ilmu Keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu penting dilakukan untuk menjamin terciptanya sebuah konsep pengelolaan yang komprehensif. Hal ini juga didasari karena kondisi karakteristik wilayah yang komplek. Beberapa bidang ilmu yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah oseanografi, biologi laut, keteknikan, sosiologi, hukum, mitigasi bencana, dan sebagainya. Keterpaduan stakeholder Melalui hasil analisis stakeholder pada tahapan analisis sebelumnya diperoleh gambaran mengenai stakeholder primer dalam usaha perikanan di Kota Padang. Keterpaduan antar berbagai stakeholder harus dilakukan oleh

193 172 pemerintah, swasta, masyarakat, LSM dan perguruan tinggi. Adanya hubungan kerjasama antar stakeholder ini dapat menjamin keberlangsungan sistem pengelolaan yang terpadu guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Keterpaduan geografis Keterpaduan geografis dalam pengembangan perikanan tuna di Kota Padang terkait dengan karakteristik sumberdaya tuna itu sendiri. Ikan tuna merupakan jenis highly migratory species, spesies ini mampu beruaya pada tempat yang jauh. Pertimbangan karakteristik sumberdaya tuna dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan menjadi hal yang penting dalam membangun kerjasama dan koordinasi antar kabupaten/kota bahkan antar provinsi. Prinsip keterpaduan perikanan tercermin melalui program minapolitan. Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan atas prinsip-prinsip terintegrasi, efesiensi, berkualitas dan percepatan. Kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang hadir dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran, komoditas perikanan, pelayanan jasa dan atau kegiatan lainnya. Tujuan program minapolitan adalah: Meningkatkan produksi dan kualitas produk perikanan. Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha dan pengolah ikan yang adil dan merata. Mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah. PPS Bungus adalah kawasan minapolitan di Kota Padang dan ditetapkan sebagai zona inti atau pusat pengembangan kawasan minapolitan. Pelabuhan ini ditetapkan sebagai sentra perikanan tangkap di wilayah Sumatera Barat dengan komoditas utamanya adalah tuna. Program minapolitan dengan orientasi optimalisasi produksi ini juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Sebagaimana hasil bioekonomi pada analisis sebelumnya, maka diperoleh batasan maksimal effort dan produksi perikanan di daerah ini guna mencapai sustainability. Beberapa arahan kebijakan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini diharapkan dapat disusun program-program pengelolaan dan mitigasi oleh

194 173 pemerintah setempat untuk mendukung penerapan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Pemerintah Kota Padang sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menentukan program pembangunan sekaligus dengan anggaran pembangunannya, termasuk bentuk mitigasi yang efektif dan sesuai untuk diterapkan. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, dapat disusun rangkuman hasil penelitian kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana (lihat Tabel 55). Selanjutnya pembahasan akan mengemukakan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang (lihat Gambar 36) dan kesimpulan komprehensif pengembangan ekonomi perikanan berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di kota padang (lihat Gambar 37).

195 174 Tabel 55. Rangkuman Hasil Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Analisis Makro Perikanan dan Kelautan - Melalui analisis Shift Share, Location Quotient dan MRA diketahui bahwa sub sektor perikanan memberikan pengaruh yang berarti dan merupakan sektor basis bagi perekonomian Kota Padang serta memberikan dampak berganda bagi sektor lainnya. Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan - Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Padang khususnya tuna masih berada di bawah titik optimalnya. Sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan produksi. Pada penelitian ini juga diperoleh hasil pengelolaan yang optimal adalah menggunakan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner dengan discount rate sebesar 16 persen melalui penambahan effort sebesar 133 trip atau setara dengan penambahan 33 unit armada dan produksi sebesar 418,53 ton. Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Analisis Kebencanaan - Potensi bencana terkait pengelolaan perikanan di Kota Padang adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut. - Prioritas mitigasi terkait pengembangan perikanan adalah Sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, Penyediaan GPS, APS dan Aplikasi informasi bencana untuk nelayan. - Mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut yang terdiri atas penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. berupa penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi Analisis Kelayakan Investasi - Berdasarkan kriteria investasi (NPV, B/C dan IRR) pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi di Kota Padang masih menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. - Riset dan teknologi ramah lingkungan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Analisis Kelembagaan - Stakeholder primer dalam pengambilan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan adalah KKP, DKP dan Pemda Kota Padang. - Kelembagaan perikanan tangkap berupa regulasi dan kebijakan dari institusi formal. - Kelembagaan dalam mitigasi bencana berupa institusi dan kebijakan formal serta kearifan lokal. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan - Hasil analisis juga menyatakan sektor dalam bidang kelautan yang potensial dikembangkan di Kota Padang adalah perikanan. - Prioritas kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang adalah Penyediaan sarana pelabuhan, TPI, PPI dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana. Pendidikan dan pelatihan bagi nelayan. Bantuan modal usaha bagi nelayan serta masyarakat yang ingin mengembangkan usaha perikanan. subsidi bahan bakar dan Pusat informasi cuaca dan kebencanaan yang mudah diakses.

196 Analisis Makro Ekonomi Perikanan memberikan pengaruh yang cukup berarti bagi perekonomian Kota Padang Sektor ini layak untuk dikembangkan untuk menjadi tulang punggung perekonomian daerah Analisis Bioekonomi Analisis Kebencanaan Analisis Kelayakan Investasi Analisis Kelembagaan Sumberdaya perikanan Kota Padang memiliki potensi yang layak untuk dikembangkan Potensi bencana adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut. Usaha perikanan tangkap tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang layak untuk dikembangkan Stakeholder primer adalah KKP, DKP Kota Padang (DKP), Pemda Kota Padang Pengelolaan sumberdaya perikanan seharusnya menggunakan rezim pengelolaan MEY Prioritas mitigasi adalah Sistem peringatan dini dan sistem info. terpadu, Penyediaan GPS,dan Aplikasi informasi bencana untuk nelayan, Adanya stimulus dan kebijakan dari pemerintah dan swasta untuk membantu mengembangkan perikanan Meningkatkan partisipasi stakeholder untuk optimalisasi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan dan mitigasi bencana. Penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan mengedepankan karakteristik masyarakat lokal dan kondisi wilayah. Meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder untuk mencapai kesejahteraan. Analisis Kebijakan Penyediaan sarana dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana Mengarahkan kebijakan perikanan yang mengedepankan karakteristik masyarakat lokal dan kondisi wilayah. Gambar 36. Diagram Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana

197 Gambar 37. Kesimpulan Komprehensif Penelitian Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat 176

198 199 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Melalui serangkaian analisis yang dilakukan untuk merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil analisis makro ekonomi, perikanan merupakan sektor basis yang memberikan pengaruh besar bagi perekonomian Kota Padang Hal ini ditunjukkan dengan nilai LQ>1 selama 10 tahun terakhir dan nilai basic multiplier perikanan Kota Padang sebesar 177,6 sehingga sektor ini layak untuk dikembangkan menjadi tulang punggung perekonomian daerah. Hal ini sejalan dengan hasil analisis prioritas pengembangan bidang kelautan dengan asil analisis perikanan merupakan sektor dalam bidang kelautan yang paling potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, perlu serangkaian kebijakan dalam mengembangkan produk/sektor unggulan di Kota Padang untuk mencapai kesejahteraan. 2. Sumberdaya tuna merupakan salah satu produk unggulan Kota Padang. Tingkat produksi optimal pada pemanfaatan sumberdaya tuna di Kota Padang sebesar 1.105,21 ton per tahun dengan tingkat upaya (effort) sebesar 237 trip per tahun. Rente ekonomi optimal sebesar Rp ,45 juta per tahun. Demi tercapainya keberlanjutan dan optimasi produksi, pengelolaan sumberdaya perikanan seharusnya menggunakan rezim MEY atau Sole Owner dengan discount rate sebesar 16 persen melalui penambahan effort sebesar 133 trip dan produksi sebesar 418,53 ton. Analisis ini juga menyimpulkan perlu adanya tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit untuk produksi yang lebih optimal. 3. Potensi bencana terkait pengelolaan perikanan di Kota Padang adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut. Prioritas mitigasi terkait pengembangan perikanan yaitu sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, penyediaan GPS, APS dan aplikasi informasi bencana untuk nelayan, pembuatan peraturan,undang-undang dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan sumberdaya perikanan, sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, pengembangan

199 200 sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut yang terdiri atas penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. berupa penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. 4. Berdasarkan kriteria investasi (NPV, B/C dan IRR), pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Analisis tahap ini dengan memasukkan komponen prasaranan dan sarana mitigasi serta penambahan jumlah armada sebanyak 33 unit berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Hasil analisis kelayakan investasi menghasilkan nilai NPV sebesar Rp , B/C 2,40 dan IRR sebesar 54,73%. 5. Dalam rangka mengembangkan sumberdaya perikanan sebagai tulang punggung perekonomian daerah, maka perlu adanya perhatian dan kebijakan dari stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap sumberdaya ini. Hasil analisis stakeholder menetapkan beberapa stakeholder primer dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang. Stakeholder primer tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang (DKP) dan Pemerintah Daerah Kota Padang (Pemda). Kelembagaan perikanan tangkap yang terdapat di Kota Padang berupa regulasi dan kebijakan dari institusi formal sedangkan kelembagaan dalam mitigasi bencana di daerah ini berupa institusi dan kebijakan formal serta kearifan lokal. 6. Rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang adalah: Optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder untuk

200 201 mencapai kesejahteraan. Arahan kebijakan adalah; kebijakan pengaturan total allowable effort, kebijakan pengembangan teknologi perikanan, kebijakan pengembangan pasca panen, kebijakan mitigasi bencana, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia perikanan, kebijakan pengelolaan secara terpadu Saran Berdasarkan rekomendasi berikut diharapkan dapat dilakukan stakeholder dalam rangka pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana antara lain: 1. Pemerintah perlu mengatur tingkat upaya penangkapan sumberdaya perikanan berada pada tingkat eksploitasi optimal sehingga kelestarian sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan dan menghasilkan rente ekonomi yang maksimal. 2. Stakeholder perikanan (pemerintah, swasta, lembaga keuangan) perlu berperan serta dalam mengembangkan usaha perikanan tuna melalui penyediaan investasi untuk prasarana dan sarana perikanan berperspektif mitigasi bencana demi tercapainya optimalisasi dan kesejahteraan. 3. Pemerintah perlu membuat serangkaian program dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan kearifan lokal serta partisipasi masyarakat terhadap pengembangan perikanan dan mitigasi bencana. 4. Perlu keterpaduan stakeholder dalam merumuskan, merencanakan dan menjalankan setiap program dan kebijakan terkait pengembangan perikanan dan mitigasi bencana dalam rangka mencapai optimasi produktivitas sumberdaya dan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

201 202 DAFTAR PUSTAKA Aldon MET, AC Fermin, RF Agbayani Socio-cultural Context of Fishers Participation in Coastal Resources Management in Anini-y, Antique in West Central Philippines. J Fisheries Research. Elsevier. 107: Anna S Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan- Pencemaran [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 371 hal. Anggoro G Studi Kelayakan Mesin Untuk Proses Pembuatan Lubang Oval Pada Frame Truk di PT. GKD. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia. [BAPPEDA Kota Padang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Padang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Padang. Benjamin H, Stevens, CL Moore A Critical Review of The Literature on Shift-Share as A Forcasting Technique. Journal of Regional Science, Vol. 20, No. 4. [BNPB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Data Bencana Indonesia tahun Jakarta. [BNPB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. [BPS Kota Padang] Badan Pusat Statistik Kota Padang Padang dalam Angka Padang. Budiman C Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. Inovasi Online. PPI Jepang. Vol. 18 XXII November Carter WN Disaster Management-A Disaster Manager s Handbook. Manila: Asian Development Bank. Charles AT Sustainable Fisheries Systems. United Kingdom: Blackwell Science. Clarke RP, SS Yoshimoto, SG Pooley A Bioeconomic Analysis of The Northwestern Hawaiian Island Lobster Fishery. J Marine Resource Economics. Marine Resources Foundation. 7: Colgan CS Measurement of The Ocean and Coastal Economy: Theory and Methods. USA: University of Southern Marine.

202 203 Costanza R and J Farley Ecological Economics of Coastal Disasters: Introduction to the Special Issue. J Ecological Economics. Elsevier. 63: Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Diniah Pengenalan Perikanan Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB. Diposaptono S dan Budiman Tsunami. Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama. Edisi II. [DKP Kota Padang] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang Database Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang. Padang. [DKP Kota Padang] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang Database Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang. Padang. [DKP Provinsi Sumatera Barat] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sumatera Barat Tahun Padang. Dunn WN Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Samodra Wibawa dkk, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fahrudin A Pengembangan Ekspor Produk Kelautan Indonesia Ke Eropa. Buletin Ekonomi Perikanan 5:1 [terhubung berkala]. [23November 2012]. [FAO] Food and Agriculture Organization Biological characteristics of tuna. Fisheries and Aquaculture Department. [25 November 2012]. [FAO] Food and Agriculture Organization World review of highly migratory species and straddling stocks. Fisheries and Aquaculture Department. FAO Corporate Document Repository. [25 November 2012]. Fauzi A Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan dan Pengelolaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A dan S Anna Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Forum Mitigasi Mitigasi Bencana. Direktorat Pesisir dan Lautan. Ditjen KP3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.

203 204 Fritz HM and C Blount The Regional Technical Workshop. Di dalam: Khao Lak, editor. Protection from Cyclones: Role of Forests and Trees in Protecting Coastal Areas Againts Cyclones. In Coastal protection in The Aftermath of The Indian Ocean Tsunami: What rule for Forest and Trees?. Thailand August hlm Garcia SM and AT Charles Fishery Systems and Linkages: Implications for Science and Governance. J Ocean and Coastal Management. Elsevier. 51: Glasson J Pengantar Perencanaan Regional. Paul Sitohang, penerjemah; Jakarta: LPFEUI. http: //digilib.unnes.ac.id/ gsdl/collect/skripsi/indeks/ assoc/hash958c.dir/doc.pdf. [26 Mei 2009]. Gray C, LK Sabur, P Simanjuntak, PFL Maspaitella Pengentar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT. Gramedia. Haluan J dan TW Nurani Penerapan Metode dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Buletin Jurusan PSP Volume II. FPIK IPB. Bogor. Hal Haputhantri SSK, MCS Villanueva, J Moreaux Trophic Interactions in The Coastal Ecosystem of Sri Lanka: An ECOPATH Preliminary Approach. J Estuarine Coastal and Shelf Science. Elsevier. 76: Herath J, TG Gebremedhin, BM Maumbe A Dynamic Shift Share Analysis of Economic Growth in West Virginia. Research Paper Morgantown, West Virginia University. Husnan S dan Suwarsono Studi Kelayakan Proyek. Unit Penerbit dan Percetakan. AMP. YKPN. Yogyakarta. Indrawani SM Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang dan Perspektif Pengembangan Pariwisata di Kecamatan Senayang Kepulauan Riau. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jentoft S Institutions in Fisheries: What They Are, What They Do, and How They Change. J Marine Policy. Pergamon. 28: Julianingsih S Inventarisasi Kebijakan Nasional dan Internasional. Perikanan Tangkap Untuk Penangkapan Tuna. [Skripsi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kadariah Ekonomi Perencanaan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 79 hal. Kadariah, Karlina dan Grey Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: FEUI. [KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kelautan dan Perikanan dalam Angka Jakarta.

204 205 [KKP RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kelautan dan Perikanan dalam Angka Jakarta. Kosasih Strategi Pengembangan Perikanan Tuna Longline Anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Studi Kasus di Benoa Bali). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusumastanto, T Ekonomi Kelautan (Ocean Economics Oceanomics). Bogor: PKSPL-IPB. Kusumastanto T Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kusumastanto T Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kusumastanto T, Jolly CM Demand Analysis for Fish in Indonesia. J Applied Economics. Routledge. 29: Latief H Pedoman Penanggulangan Dampak Kerusakan Kawasan Pesisir Akibat Bencana Gelombang Pasang Berbasis Ekosistem. Bandung: Pusat Kajian Tsunami ITB. [LP Unpatti] Lembaga Penelitian Universitas Pattimura Industri Perikanan Tangkap (TUNA). Badan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Buru Selatan Vol [25 November 2012]. Luthfi Strategi pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) yang berbasis di Kota Padang: implikasi pembangunan Bandar Udara Internasional Minangkabau. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Macmillan CDH Tide. American Elsivier Publishing. Co. Inc. 240p. Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Mintzberg H The Rise and Fall of Strategic Planning. New York: The Free Press. Munasinghe M Enviromental Economics and Sustainable Development. IBRD Washington USA. World Bank Enviromental Paper Number 3. Muzakir Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap Dikabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

205 206 Nazir M Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Nikijuluw VPH Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo. Ostrom E et al Rules, Games and Common-pool Resources. USA: The University of Michigan Press. Parsons RJ, D James, Jorgensen, H Santos, Hernandez The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole. Peng BH, Hong, X Xue, J Di On the Measurement of Socioeconomic Benefits of Integrated Coastal Management (ICM): Aplication to Xiament, China. A Environmental Science Research Centre, Xiament University, Xiament, Fujian , China. Marine Policy Center, Woods Hole Oceanographic Institution, Woods Hole, MA 02543, USA. J Ocean and Coastal Management. Elsevier. 49: [Puslitbang Oseanografi LIPI] Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta. Ramadona T Analisis Ekonomi Basis Sektor Perikanan di Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat. [Skripsi]. Pekanbaru: Program Sarjana, Universitas Riau. Ruswandi Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir Indramayu dan Ciamis. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saaty TL Decision Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Pittsburgh: RWS Publication. Salim E Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Sanim B Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Kumpulan Materi Kuliah). Tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schmeer K Stakeholder Analysis Guidelines. In: Schribner ES and Brinherhoff D (editor). Policy Toolkit for Strengthening Health Sektor Reform 2: Bethesda MD. Abt Associates Inc. Serdy A One fin, two fins, red fins, bluefins: some problems of nomenclature and taxonomy affecting legal instruments governing tuna and other highly migratory species. J Marine Policy. Pergamon. 28:

206 207 Sjafrizal, Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang. 329 hal. Sonak S, P Pangam, A Giriyan Green Reconstruction of The Tsunami- Affected Areas in India Using the Integrated Coastal Zone Management Concept. J Enviromental Management. Elsevier. 89: Sugandhy A dan R Hakim Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Surakhmad W Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito. Tarigan R Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Tjondronegoro SM Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Di Pedesaan Jawa. Dalam Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Todaro MP Economic Development (5th ed.). New York, London: Longman. Uktolseja, et al Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut LIPI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. [UNP] Universitas Negeri Padang Laporan Final Penyusunan Mitigasi Bencana Kota Padang. Padang World Resources Institute Coastline Length. World Vector Shoreline, United State Defense Mapping Agency.

207 208 WWF Indonesia Perikanan Tuna, Panduan Penangkapan dan Penanganannya. Jakarta Selatan. Zulbainarni N Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap. Bogor: IPB Press.

208 LAMPIRAN 209

209 210 Lampiran 1. Daftar Responden Primer A. Responden Pakar 1. Ir. Yempita Efendi, MS (Dekan FPIK Universitas Bung Hatta Padang) 2. Dr. Semeidi Husrin, MSc (Kasie TO dan Peneliti LPSDKP/ Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir Bungus) 3. Nia Naelul Hasanah R, ST (Kasie PT dan Peneliti LPSDKP/ Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir Bungus) 4. M. Ramdhan, MT (Fungsional Peneliti LPSDKP/ Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir Bungus) 5. Ir. Asifus Zahid (Kepala PPS Bungus Padang) 6. Rudi Suharman, Amd (Kepala Pengembangan PPS Bungus Padang) 7. Priyagus, MM (Kepala Tata Operasional PPS Bungus Padang) 8. Ir. Lazuardi (Sekdis DKP Kota Padang) 9. Ir. Salman (Kabid Perikanan Tangkap DKP Kota Padang) B. Responden Nelayan 1. KM. Iskandar Jaya 2. KM. Sriwijaya 3. KM. Tiar Jaya 4. KM. Sumber Maju A 5. KM. Simampalu 6. KM. Elisabeth 7. KM. Kakap Mina Utama 8. KM. Asia Jaya 9. KM. Wilujeng

210 Lampiran 2. Peta Administrasi Kota Padang 211

211 Lampiran 3. Peta Topografi Kota Padang 212

212 Lampiran 4. Peta Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang 213

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pembangunan Menurut Siagian (1994), pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG SUMATERA BARAT

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG SUMATERA BARAT J. Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2 No. 1 Tahun 2012 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG SUMATERA BARAT 1 Tomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keragaman bentuk kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati terjadi pada semua lingkungan mahluk hidup, baik di udara, darat, maupun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor 6 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor Teori basis ekonomi memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA 92 VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA 6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan 6.1.1. Analisis Kontribusi Perikanan merupakan merupakan salah satu sub sektor pertanian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 36 III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Menurut Maxfield dalam Nazir (2009), penelitian studi kasus adalah penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI ARIZAL LUTFIEN PRASSLINA PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA PERIKANAN TONDA DI PADANG SUMATERA BARAT THOMAS ROMANO PUTRA SKRIPSI

ANALISIS USAHA PERIKANAN TONDA DI PADANG SUMATERA BARAT THOMAS ROMANO PUTRA SKRIPSI ANALISIS USAHA PERIKANAN TONDA DI PADANG SUMATERA BARAT THOMAS ROMANO PUTRA SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia,

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH Erika Lukman Staf Pengajar Faperta FPIK UNIDAR-Ambon, e-mail: - ABSTRAK Ikan tuna (Thunnus

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (90%) hidup diperairan laut dan sisanya 300 spesies (10%) hidup di perairan air

BAB I PENDAHULUAN. (90%) hidup diperairan laut dan sisanya 300 spesies (10%) hidup di perairan air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi Indonesia yang strategis menyebabkan hasil perikanan di Indonesia berkembang pesat. Letak Indonesia diantara Samudera Hindia dan Pasifik menyebabkan kondisi yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa bumi sebagai suatu kekuatan alam terbukti telah menimbulkan bencana yang sangat besar dan merugikan. Gempa bumi pada skala kekuatan yang sangat kuat dapat menyebabkan

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN Yudithia SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini,

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT FANJIYAH WULAN ANGRAINI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya melalui pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera, berada dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dilakukannya penelitian, batasan masalah dalam penelitian, serta pada bagian akhir sub bab juga terdapat sistematika penulisan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY Oleh: Kevin Yoga Permana Sub: Pengembangan Minapolitan di Kabupaten Cilacap Tanpa tindakan konservasi dan pengelolaan, sektor

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH OLEH PURWANINGSIH H

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH OLEH PURWANINGSIH H ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH OLEH PURWANINGSIH H14094004 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN Segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT di Bumi ini tiada lain untuk kesejahteraan umat manusia dan segenap makhluk hidup. Allah Berfirman dalam Al-Qur an Surat An-Nahl, ayat 14 yang

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA HARY RACHMAT RIYADI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Dosen Pengampu: RIN, ASEP, DIAN, MUTA Revisi pada pertemuan ke 13-15 Sehubungan dgn MK Indraja yg dihapus. Terkait hal tersebut, silakan disesuaikan

Lebih terperinci