TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor"

Transkripsi

1 6 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor Teori basis ekonomi memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basislah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Tarigan, 2005). Teori basis ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dapat memberikan peramalan jangka pendek pertumbuhan suatu wilayah (Glasson, 1990). Sjafrizal (2008) menyatakan bahwa sektor basis merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Sektor non basis menurut sjafrizal merupakan sektor-sektor selain sektor basis yang kurang potensial, tetapi sektor ini berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau disebut juga service basis atau service industries. Sektor non basis kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (daerah setempat) serta permintaannya dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat setempat. Sektor basic terdiri dari usaha-usaha lokal yang aktivitasnya bergantung pada faktor-faktor eksternal. Kehidupan usaha sektor ini banyak tergantung dari usaha-usaha nonlokal. Perikanan misalnya dapat dikategorikan sebagai sektor basic karena sebagian besar produk ini dikonsumsi di luar misalnya untuk restoran, pabrik pengalengan dan berbagai industri lainnya yang berada di wilayah lain. Sektor non basic di sisi lain, terdiri dari usaha-usaha yang secara keseluruhan tergantung dari kondisi usaha lokal, misalnya usaha warung makan yang menjual makanannya pada konsumen lokal sehingga produknya sebagian besar dikonsumsi lokal (Fauzi, 2010).

2 7 Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Menurut Stevens dan Moore (1980), Keunggulan analisis shift share antara lain; (1). Memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. (2). Memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat. (3). Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat. Location Quotient (LQ) merupakan indeks yang membandingkan sumbangan dalam persen aktivitas tertentu dengan sumbangannya dalam persen beberapa agregasi dasar. Pada tahap awal LQ dapat sangat bermanfaat bagi analisis ekspor dan impor regional. Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu sektor ekonomi termasuk dalam sektor basis atau sektor non basis di suatu daerah dalam periode tertentu. Sektor basis dikatakan telah mampu berswasembada di wilayahnya dan dapat mengirim atau menyumbangkan sebagian produksinya ke wilayah lain, sedangkan kebalikannya termasuk dalam sektor non basis (Tarigan, 2005). Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi perikanan adalah melalui pendekatan Minimum Requirement Approach atau MRA. Meskipun penggunaan MRA biasanya digunakan untuk menggambarkan ekonomi wilayah secara keseluruhan, pendekatan ini dapat juga digunakan untuk melihat potret spesifik sektor perikanan relatif terhadap sektor ekonomi lainnya dalam suatu wilayah. Pendekatan ini pertama kali dikenalkan oleh Ullman dan Dacey pada tahun 1960 yang kemudian masih banyak digunakan untuk melihat keragaman ekonomi sektoral di suatu wilayah sampai saat ini. Minimum Requirement Approach mengasumsikan bahwa suatu wilayah tidak akan memenuhi permintaan dari luar sampai kebutuhan wilayahnya dipenuhi terlebih dahulu. Minimum Requirement Approach membutuhkan pendugaan variable yang dianalisis terlebih dahulu (produksi, tenaga kerja, atau yang lainnya) untuk kebutuhan lokal (Fauzi, 2010).

3 Karakteristik Perikanan Laut Pada pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap, terdapat hal yang paling kritis karena sumberdaya perikanan adalah barang publik (public goods), yaitu rezim kepemilikan yang bersifat common property (kepemilikan bersama) dan rezim akses yang bersifat open access (siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa izin dari siapapun). Setiap orang tidak dapat dibatasi dalam penggunaan manfaat yang diberikan barang publik dan tidak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, sehingga eksploitasi atau pemanfaatan terus berjalan tanpa pemeliharaan (Zulbainarni, 2012). Pemanfaatan sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya pengelolaan yang seksama agar produksi optimum dapat terjaga. Perikanan tangkap di Indonesia berdasarkan lokasi pemanfaatannya, diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (overfishing) dan degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan (Dahuri et.al., 2001). Komoditi unggulan perikanan tangkap berasal dari habitat tertentu, bisa dari wilayah yang luas bisa juga merupakan wilayah yang sempit. Masing-masing wilayah mempunyai karakteristik sendiri. Jenis ikan karang tentunya hidup di perairan karang, ikan pelagis di perairan permukaan dan ikan demersal cenderung hidup di dasar perairan. Beberapa jenis ikan ada yang beruaya sangat jauh, khususnya ikan oseanis yang hidupnya lebih banyak di perairan samudera (Diniah, 2008). Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (2001) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,41 juta ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis 4,77 juta ton, ikan demersal

4 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Tahun 2011, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2010 adalah sebesar ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 78.62%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan berada di Samudera Hindia. Komoditas perikanan tangkap unggulan Sumatera Barat adalah tuna Sumberdaya Perikanan Tuna Sumberdaya tuna merupakan salah satu dari beberapa sumberdaya potensial yang sudah terbukti besar sumbangannya bagi perekonomian perikanan nasional. Produksi tuna di perairan Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar ton yang terdiri dari Tunas, Skipjack tunas dan Eastern little tunas, walaupun secara nasional pemanfaatannya tidak merata diseluruh perairan Indonesia (KKP, 2011). Sumberdaya tuna menyebar di perairan Indonesia dari barat hingga ke timur dan lebih banyak menyebar diperairan bebas. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan tradisional yang turut memanfaatkan sumberdaya ini. Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang besar. Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, memiliki ciri fisik yaitu; tubuh seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar (yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna (tuna-like species), yaitu marlin, sailfish dan swordfish (KKP, 2005). Morfologi tuna dapat dilihat pada Gambar 3 (tuna sirip kuning) dan Gambar 4 (tuna mata besar).

5 10 Klasifikasi ikan tuna (Serdy 2004 dan FAO 2012) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Famili : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Albacore tuna (Thunnus alalunga) Bluefin tuna (Thunnus thynnus) Bigeye tuna (Thunnus obesus) Skipjack tuna(katsuwonus pelamis) Yellowfin tuna (Thunnus albacares) Blackfin tuna (Thunnus atlanticus) Little tuna (Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis) Southern bluefin tuna(thunnus maccoyii) Frigate mackerel (Auxis thazard; Auxis rochei) Tuna merupakan jenis pelagic yang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan sub-tropis. Di Samudera Hindia dan Samudera Atantik, tuna menyebar diantara 40 LU dan 40 LS (Collete dan Naven 1983 diacu dalam Julianingsih 2004). Tuna merupakan jenis ikan pelagis besar yang memiliki kekhasan sebagai perenang cepat dan peruaya jauh. Bentuknya menyerupai cerutu dan memanjang. Ikan tuna tergolong jenis ikan yang aktif dan umumnya menyebar di perairan oceanik hingga perairan dekat pantai. Pada kawasan perairan Samudera Hindia bagian barat Sumatera, jenis tuna besar yang ada hanya tiga jenis yaitu; madidihang (Yellowfin tuna), tuna mata besar (Bigeye tuna) dan albakora (Albacore), sementara tuna jenis sirip biru selatan, ekor panjang, sirip biru utara dan sirip hitam tidak dijumpai (Uktolseja et al., 1998). Kota Padang merupakan penghasil tuna jenis yellowfin (Gambar 3) dan bigeye (Gambar 4). Wilayah penyebaran tuna ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

6 11 Gambar 1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : Barto dalam FAO (2012) Gambar 2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : Barto dalam FAO (2012) Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata

7 12 besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003). Gambar 3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : WWF Indonesia, 2011 Gambar 4. Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : WWF Indonesia, 2011 Pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) dapat mencakup seleksi penggunaan teknologi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1998) dapat dilakukan melalui pengkajian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Teknologi yang dikembangkan ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya dan dapat digunakan secara efektif dari segi teknis, dapat diterima masyarakat dari segi sosial serta secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan.aspek lain yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakan pemerintah. Pada penelitian ini teknologi pengembangan perikanan tuna mencakup teknologi prasarana dan sarana perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana.

8 Tuna Longline Ikan tuna di PPS Bungus Padang ditangkap menggunakan armada tuna longline. Novita dalam Kosasih (2007) mengatakan bahwa konstruksi kapal ikan harus sekuat mungkin, tetapi tubuhnya tidak terlalu berat, karena perlu olah gerak selincah mungkin serta tahan terhadap gelombang. Seperti halnya setiap kapal ikan, kapal tuna longline dibangun dengan konstruksi yang disesuaikan dengan bentuk, cara penggunaan alat tangkap dan daerah penangkapannya. Tuna longline menggunakan pancing dengan panjang dapat mencapai km dan untaian ribuan mata pancing yang umumnya dikhususkan untuk menangkap jenis bigeye dan yellowfin. Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan jumlah dan hasil tangkapan, juga sebagai sarana untuk menunjang operasional penangkapan ikan secara efesien dan efektif, yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Ketersediaan armada penangkapan dalam ukuran tertentu akan sangat menentukan jumlah dan hasil tangkapan. Desain armada tangkap tuna longline skala 30 GT ditampilkan pada Gambar 5. Gambar 5. Konstruksi Armada Tuna Longline Sumber: LP Unpatti, 2012 Armada tangkap tuna longline secara khusus dirancang dan digunakan untuk mengoperasikan pancing (longline) yang dilengkapi dengan satu atau beberapa perlengkapan penangkapan ikan. Perlengkapan tuna longline berupa penarik/penggulung tali (linehauler), pengatur tali, pelempar tali, bangku umpan, ban berjalan, bak umpan hidup atau mati dan alat penyemprot air kapal. Armada tangkap tuna longline selain untuk penangkapan juga sekaligus menampung, menyimpan mendinginkan, dan mengangkutnya. (LP Unpatti, 2012).

9 Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tiga komponen sustainable fishery system menurut Charles (2001), yaitu natural system, management system, dan human system. Natural system terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca-panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri atas perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan serta penelitian di bidang perikanan. Hubungan antara ketiga komponen dalam keberlanjutan sistem perikanan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001)

10 15 Natural system merupakan faktor utama keberlanjutan (sustainability). Sistem alam ini tidak akan terpengaruh tanpa adanya campur tangan manusia. Oleh karenanya, peran manusia sangat penting dalam keberlanjutan. Interaksi antara ketiga komponen akan menyebabkan keseimbangan yang baru pada natural system. Pada daerah tropis, tekanan sumberdaya (natural system) lebih besar karena jumlah masing-masing spesies yang sedikit. Dalam rangka mencapai keseimbangan semua sistem, maka diperlukan pengelolaan yang terpadu oleh segenap stakeholder. Sebagaimana yang dikemukakan Aldon et al., (2011) bahwa sebuah kemitraan yang kuat dan terorganisir antara masyarakat, nelayan dan pengambil kebijakan dengan saling melengkapi satu sama lain akan mendukung faktor lingkungan (sumberdaya) Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley. 2007). Sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai, tsunami di Asia dan badai katrina hanya dua contoh terakhir. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah infrastruktur yang dibangun di wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan. Berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, defenisi wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Sedangkan defenisi perairan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai serta yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. Pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, selain kaya akan sumberdaya alam juga sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et al. 2001). Menurut Ruswandi (2009), terdapat enam elemen penyebab bencana alam di daerah pesisir yaitu; angin kencang/puting-beliung, gempa bumi, tsunami,

11 16 gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat elemen sebagai akibat bencana yaitu; abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut. Elemen potensi bencana alam yang terdapat di wilayah pesisir tersebut adalah sebagai berikut: a. Angin Kencang Angin kencang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan udara yang sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis, angin kencang berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit. Dampak angin kencang pada wilayah pesisir sulit dikurangi sekalipun dengan populasi mangrove yang padat,hal ini disebabkan arah datangnya angin tersebut berasal dari atas (Fritz dan Blount, 2006). b. Gelombang Laut Gelombang badai pasang (storm tide) adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras (BNPB, 2009). Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara garis besar dikelompokkan dalam tiga jenis (Macmillan, 1966; Mihardja dalam Latief, 2008), yaitu: Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan oleh angin. Gelombang pasang surut atau gelombang pasang (tidal wave) sering disebut pasang surut (tide) disingkat pasut yang terlihat secara kasat mata sebagai pasang naik (flood tide) dan pasang surut (ebb tide). Keadaan pasang surut ini di laut sangat ditentukan oleh posisi bumi bulan matahari. Pada waktu bulan purnama dimana posisi bumi bulan matahari dalam satu garis lurus, maka muka laut saat pasang sangat tinggi dan sewaktu surut sangat rendah.

12 17 Bila posisi bumi bulan matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah. Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik (landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosfer yang dingin dan basah, sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer. Jika gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih dahsyat. c. Tsunami Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut (BNPB, 2009). Adapun pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar. Berdasarkan jarak bangkitnya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km yang terjadi kurang dari 30 menit, tsunami jarak menengah sejauh km (terjadi 30 menit 2 jam setelah gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km yang terjadi lebih dari 2 jam setelah gempa (Diposaptono dan Budiman, 2006). Menurut Sonak, Pangam and Giriyan (2008), tsunami adalah fenomena yang sangat tak terduga dan negara-negara yang terkena dampak di wilayah ini sama sekali tidak siap untuk menghadapi peristiwa bencana semacam ini. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami berdampak sangat parah bagi manusia dan alam. Oleh karena itu, mitigasi bencana menjadi solusi dalam mengurangi dampak bencana yang terjadi.

13 18 d. Abrasi Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi (BNPB, 2009). e. Erosi Erosi terdiri atas tiga jenis yaitu; erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada tebing sungai-sungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008). f. Longsor Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau bebatuan, ataupun pencampuran keduanya menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2009). Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan, maka kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/ perosokan (settlement/land subsidence). g. Gempa Bumi Menurut BNPB (2009), gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi yang diakibatkan oleh pergeseran/pergerakan pada bagian dalam bumi (kerak bumi) secara tiba-tiba. Tipe gempa yang umum ada dua, yaitu gempa tektonik dan gempa vulkanik. Dampak dari gempa bumi pada banyak kasus menimbulkan kerugian harta benda bahkan korban jiwa. h. Banjir Banjir merupakan limpasan air yang melebihi tinggi muka air normal, sehingga melimpas dari palung sungai yang menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di sisi sungai. Pada umumnya banjir terjadi akibat curah hujan yang tinggi di atas normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan

14 19 anak sungai alamiah serta sistem drainase dangkal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu akumulasi air hujan tersebut sehingga akibatnya meluap (BNPB, 2009). i. Akresi Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal tangkapan air dan sekitar bendungan (Ruswandi 2009). j. Intrusi Air Laut Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap (Ruswandi 2009) Mitigasi Bencana Alam Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Regulasi terkait penanggulangan bencana alam di Indonesia terdapat pada pasal 1 ayat 5 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Undang-undang ini menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Mitigasi bencana

15 20 sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU Nomor 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana. Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural), kategori mitigasi ini antara lain : Mitigasi Pasif (Non Struktural) - Penyusunan peraturan perundang-undangan. - Pembuatan pedoman/standar/prosedur. - Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah. - Pembuatan brosur/poster. - Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan). - Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana - Internalisasi Penanggulangan Bencana (PB) dalam muatan lokal pendidikan. - Pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit sosial masyarakat. - Pengutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi. Mitigasi Aktif (Struktural) - Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya. - Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman. - Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi. - Pembuatan bangunan struktur seperti: pengaman lereng (slope protection/seawalls), pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne), dan pengaman gisik (beach protective). Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), upaya mitigasi bencana secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya struktur/fisik (hard/soft solution) yang sering disebut hardware dan upaya non struktur/non fisik yang disebut juga dengan software.

16 21 Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua metode, yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sanddune, pengisian gisik (beach nourishment) dan lainnya, serta metode perlindungan buatan seperti peredam abrasi (bank revetment), pemecah ombak (breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dan lainlain. Upaya non struktur yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait, norma standar prosedur manual (NSPM) dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2009). Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Mengurangi jumlah bencana adalah suatu hal yang tidak akan mungkin terjadi, tetapi mengurangi risiko bencana yang terjadi merupakan suatu keharusan. Langkah penting yang harus segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat-Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005, menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana (three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu: Menyediakan informasi bahaya/bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan. Memahami proses alamiah gejala/tanda bahaya.

17 22 Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai hurikane, gunung api, longsor dan amblesan Kelayakan Investasi Studi kelayakan investasi menurut Husnan dan Suwarsono (1997) adalah penelitian tentang dapat tidaknya usaha investasi dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sebuah studi kelayakan dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan mengenai peluang usaha cukup ekonomis dan menjanjikan keuntungan yang layak apabila dilaksanakan. Semakin sederhana usaha yang akan dilaksanakan, maka semakin sederhana pula lingkup penelitian yang akan dilakukan. Pada tahapan studi kelayakan perlu diperhatikan ruang lingkup kegiatan usaha, cara kegiatan usaha dilakukan, evaluasi terhadap aspek-aspek yang menentukan berhasilnya seluruh usaha, sarana yang diperlukan serta hasil kegiatan usaha tersebut. Jika dipandang dari sudut perusahaan saja, minimal ada tiga penyebab mengapa kegiatan studi kelayakan investasi yang dilaksanakan menjadi faktor pertimbangan yang cukup penting dalam pengambilan keputusan (Anggoro, 2004), yaitu: Investasi umumnya menyangkut pengeluaran modal yang besar. Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Salah satu contoh yang mudah dilihat adalah apabila sebagian besar modal investasi didapatkan dari pinjaman bank konvensional, maka pihak pengusaha harus tetap mengembalikan modal yang dipinjam berikut bunganya baik itu investasi sukses maupun tidak. Komitmen pengeluaran modal adalah keputusan yang sulit untuk diubah, karena jika dipertengahan dirasa usaha tidak akan berjalan lancar maka modal yang telah ditanamkan sulit ditarik kembali. Studi kelayakan investasi tujuannya adalah agar modal yang ditanamkan dapat dimanfaatkan dan menghindari penanaman modal yang terlalu besar untuk bagian yang ternyata tidak menguntungkan. Studi kelayakan proyek memerlukan biaya, tetapi biaya yang dibutuhkan relatif lebih kecil apabila dibandingkan

18 23 dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah yang besar (Anggoro, 2004). Tahapan dalam melakukan proyek investasi umumnya adalah identifikasi untuk memperkirakan kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut, perumusan untuk menerjemahkan kesempatan investasi kedalam suatu rencana proyek yang konkret, penilaian untuk menganalisis dan menilai aspek pasar, teknik, keuangan dan perekonomian, pemilihan untuk mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang akan dicapai serta tahap implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang pada anggaran. Langkah awal sebelum melakukan studi kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek -aspek yang akan dipelajari yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek hukum, aspek manajerial, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta aspek finansial (Kadariah et al., 1999) Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002). Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa kelembagaan adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal. Menurut Jentoft (2004) kelembagaan memiliki peran yang penting bagi sektor perikanan, baik bagi sumberdaya ikan itu sendiri ataupun untuk kelangsungan hidup nelayan. Perikanan, seperti praktek sosial-ekonomi, tidak bisa ada tanpa mereka, pengguna (user) tidak akan tahu bagaimana harus bersikap. Kelembagaan memungkinkan orang di industri untuk melakukan apapun tugas

19 24 mereka, baik itu pengolahan ikan, pemasaran ataupun konsumsi. Kelembagaan juga sangat diperlukan ketika mengorganisir, mengkomunikasikan, mewakili, negosiasi, pengelolaan, pengaturan ataupun dalam melakukan suatu penelitian. Menurut Nikijuluw (2002) ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan, (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata analisa digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak awal penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai (Quandun dalam Dunn, 2003). Dunn (2003) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada. Ruang lingkup dan metodemetode analisis sebagian bersifat deskriptif, dan informasi/fakta mengenai sebab akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan. Menurut Parsons (1994), analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan, pengetahuan untuk

20 25 (for) proses kebijakan, dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, serta analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan dan advokasi terhadap kebijakan. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester dalam Dunn (2003), bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu setiap alternatif yang akan menjadi prioritas dalam pengembilan kebijakan. Dalam rangka merumuskan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan, harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomibudaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani, 2000) Kebijakan Kelautan dan Perikanan Dalam rangka merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, maka kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri melainkan merupakan paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan

21 26 yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu; Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi aset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Menurut Kusumastanto (2003), agar bidang kelautan menjadi sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi payung dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan kebijakan ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua lembaga dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung-jawab bersama. Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sekarang mengalami perubahan nomenklatur menjadi kementerian melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Keputusan politik ini diharapkan tidak hanya sampai pada pembentukan kementerian saja, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara dalam menjadikan bidang kelautan sebagai mainstream pembangunan bangsa (Kusumastanto, 2003). Otonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan

22 27 mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir. Daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama pesisir dan kelautan seharusnya memiliki kesempatan dalam memanfaatkan seoptimal mungkin potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi adalah akan berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social welfare) (Kusumastanto 2003). Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi dan di sisi lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainaibility) sehingga akan mencapai kesejateraan. Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik sebab bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai tujuan, holistik karena konteks ini melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta stakeholder dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi (Ruswandi, 2009).

23 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU Nomor 23, tahun 1997). Melalui definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi keberlanjutan (Triple-P), yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain sehingga ketiganya harus diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Segitiga pembangunan berkelanjutan ditampilkan pada Gambar 7. Ecological Sustainability Institutional Sustainability Socioeconomic Sustainability Community Sustainability Gambar 7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001) Gambar 7 menunjukkan segitiga pembangunan yang membentuk dasar kerangka kerja untuk evaluasi keberlanjutan berdasarkan pada tiga komponen penting yaitu ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi dan sosial/masyarakat.

24 29 Komponen keempat yaitu keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan dan mendasari kegiatan dari tiga komponen lainnya (Charles, 2001). Semakin terkonsentrasinya sebagian besar kegiatan masyarakat di pesisir, hilangnya hutan mangrove, hancurnya terumbu karang, meningkatnya penambangan pasir pantai dan semakin banyaknya industri membuang limbahnya ke wilayah pesisir, maka sudah sewajarnyalah jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim, 1980). Konsep ini sebagaimana juga dijelaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PBBL) adalah konsep untuk mengelola pengembangan wilayah pesisir agar lebih tertata dan tidak bertambah kacau dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (Peng et al. 2006). Sementara itu, Pengembangan Wilayah Pesisir (PWP) adalah pendekatan pengelolaan wilayah dengan ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis dan memiliki kerentanan tinggi, karena memiliki kekayaan sumberdaya alam yang multiple use dan berpotensi menimbulkan konflik serta masih berlakunya penguasaan ruang terbuka oleh kelompok tertentu. Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (PMB) atau the sustainable livelihood approach (SLA) sebagai suatu integrasi kerangka kerja konseptual dengan prinsip operasional untuk menyiapkan pedoman formulasi kebijakan dan praktek pembangunan, sudah banyak diterapkan dalam penelitian pengembangan wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah dilaksanakan di 25 negara pesisir Benua Afrika bagian barat telah berhasil menyusun kebijakan inisiatif pengurangan kemiskinan (poverty reduction iniative policy), dan mengidentifikasi bahwa kemiskinan secara tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources).

25 Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiap-siagaan (Carter, 1991). Mitigasi bencana dalam pengembangan perikanan adalah upaya pengurangan risiko bencana yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir terhadap pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan. Pemanfaatan sumberdaya yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas tidak terlampaui sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh karena itu laju pemanfaatannya tidak lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi (profit) saja, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial (people) dan ekologi (planet) sehingga terjadi keseimbangan, karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi kualitas lingkungan. Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan dan berpedoman pada ketiga aspek tersebut, yakni pengembangan sumberdaya perikanan, aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana. Kajian ini diharapkan dapat menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan perikanan di pesisir saat ini, sehingga dapat diterapkan di pesisir Indonesia yang wilayahnya merupakan rawan bencana. Selain itu dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan diperlukan pendekatan berbasis ekosistem dimana konsep ini sangat penting dalam kegiatan eksploitasi spesies dan keberlanjutan jangka panjang (Haputhantri, Villanueva and Moreau, 2008) Studi Terdahulu Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: Muzakkir (2008) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, menjelaskan bahwa rekmendasi kebijakan yang tepat agar tercapainya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal dan berkelanjutan serta mampu memberi nilai manfaat terhadap kesejahteraan nelayan adalah dengan membuat kebijakan tingkat upaya (effort)

26 31 penangkapan ikan pada level optimal. Bentuk kebijakan yang dapat diambil antaranya adalah; (a) menunda penerbitan izin baru penambahan armada tangkap kecuali payang masih dapat ditambah untuk 2 unit lagi, (b) mendorong investasi pada industri perikanan tangkap skala menengah ke atas untuk beroperasi di zona lepas pantai dan ZEEI. Selain itu pemerintah (policy maker) juga membuat kebijakan pengelolaan perikanan tangkap terutama dalam hal zonasi pemanfaatan dan alokasi optimum pemanfaatan sumberdaya perikanan bagan, payang dan tonda di Perairan Tanjung Mutiara. Luthfi (2005) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Strategi pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) yang berbasis di Kota Padang: implikasi pembangunan Bandar Udara Internasional Minangkabau menjelaskan bahwa PPS Bungus dan Bandar Udara Internasional Minangkabau sudah siap untuk mendukung pengembangan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang. Hal ini diindikasikan dengan telah tersedianya fasilitas yang lengkap di PPS Bungus serta telah tersedianya gedung untuk proses pengolahan dan pengepakan tuna ekspor. Kesiapan Bandar Udara Internasional Minangkabau dalam mendukung pengembangan tuna ekspor adalah dapat melayani penerbangan langsung ke negara tujuan ekspor dengan pesawat terbang berbadan lebar dan pesawat khusus kargo serta tersedianya fasilitas cold storage di terminal kargo dengan kapasitas 300 ton. Dalam rangka merumuskan strategi pengembangan tuna (Thunnus sp) ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai aset daerah yang dapat dijadikan sektor pertumbuhan ekonomi baru dan andalan untuk peningkatan perekonomian masyarakat di Kota Padang dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT menghasilkan lima prioritas utama strategi pengembangan perikanan tuna ekspor yang berbasis di Kota Padang sebagai berikut; 1) peningkatan produksi hasil tangkapan tuna di kawasan perairan Sumatera Barat; 2) meningkatkan teknologi penangkapan tuna dengan modernisasi alat tangkap; 3) peningkatan kualitas SDM nelayan; 4) kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan, pengawasan dan kemudahan pemasaran untuk ekspor; 5) perluasan pangsa pasar ekspor tuna. Ruswandi (2009) dalam disertasinya yang berjudul Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam mengemukakan bahwa kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam

27 32 minyak dan gas bumi sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand). Selain itu kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk wilayah pesisir Indramayu dan Ciamis, hendaknya mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi. Ruswandi juga menyatakan Kebijakan pengembangan wilayah pesisir hendaknya sudah memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan lebih bersifat pro-aktif yang menekankan pada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan.

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pembangunan Menurut Siagian (1994), pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

Definisi dan Jenis Bencana

Definisi dan Jenis Bencana Definisi dan Jenis Bencana Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TUNA LONGLINE BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT TOMI RAMADONA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 Tidakkah engkau memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keragaman bentuk kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati terjadi pada semua lingkungan mahluk hidup, baik di udara, darat, maupun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

Definisi dan Jenis Bencana

Definisi dan Jenis Bencana Definisi dan Jenis Bencana Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif xvii Ringkasan Eksekutif Pada tanggal 30 September 2009, gempa yang berkekuatan 7.6 mengguncang Propinsi Sumatera Barat. Kerusakan yang terjadi akibat gempa ini tersebar di 13 dari 19 kabupaten/kota dan

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana dapat datang secara tiba-tiba, dan mengakibatkan kerugian materiil dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan menanggulangi dan memulihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

BAB II JENIS-JENIS BENCANA Kuliah ke 2 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB II JENIS-JENIS BENCANA Dalam disaster management disebutkan bahwa pada dasarnya bencana terdiri atas

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa bumi sebagai suatu kekuatan alam terbukti telah menimbulkan bencana yang sangat besar dan merugikan. Gempa bumi pada skala kekuatan yang sangat kuat dapat menyebabkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. Kebakaran. 2. Kekeringan

1. Kebakaran. 2. Kekeringan 1. Kebakaran Salah satunya kebakaran hutan adalah bentuk kebakaran yang tidak dapat terkendali dan seringkali terjadi di daerah hutan belantara. Penyebab umum hal ini seperti petir, kecerobohan manusia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

Penataan Kota dan Permukiman

Penataan Kota dan Permukiman Penataan Kota dan Permukiman untuk Mengurangi Resiko Bencana Pembelajaran dari Transformasi Pasca Bencana Oleh: Wiwik D Pratiwi dan M Donny Koerniawan Staf Pengajar Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan

Lebih terperinci

X. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM

X. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM X. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM 10.1. Pembahasan Umum Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis merupakan dua kabupaten pesisir

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 13 PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA GEOLOGI 1. Pendahuluan Perencanaan tataguna lahan berbasis mitigasi bencana geologi dimaksudkan untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan mengandung pengertian suatu perubahan besar yang meliputi perubahan fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 LATAR BELAKANG. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang tiga per empat luas wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Panjang garis

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kurang lebih 17.504 buah pulau, 9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pesisir adalah wilayah bertemunya daratan dan laut, dengan dua karakteristik yang berbeda. Bergabungnya kedua karakteristik tersebut membuat kawasan pesisir memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2015 No.22,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul. Perubahan, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul, Penanggulangan, bencana. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis, posisi Indonesia yang dikelilingi oleh ring of fire dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), lempeng eura-asia

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN B. Wisnu Widjaja Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan TUJUAN PB 1. memberikan perlindungan kepada masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci