BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Etnisitas dan Kelompok Marga di Etnis Pakpak. Membicarakan representasi kelompok marga dari sebuah etnik di ranah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Etnisitas dan Kelompok Marga di Etnis Pakpak. Membicarakan representasi kelompok marga dari sebuah etnik di ranah"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Etnisitas dan Kelompok Marga di Etnis Pakpak Membicarakan representasi kelompok marga dari sebuah etnik di ranah politik hanya akan sempurna bilamana pemahaman akan konsep etnik juga dilakukan. Kajian tentang etnik dan atau etnisitas telah banyak dilakukan oleh para ahli ilmu sosial. Disiplin ilmu yang paling getol melakukan kajian tentang etnisitas adalah antropolgi, sosiologi dan ilmu politik. Banyak sudah pengertian yang diberikan para ahli menyangkut defenisi umum tentang etnik dan etnisitas. Menurut De Vos (1982:9) golongan etnik dapat dipahami sebagai suatu golongan manusia yang mempunyai kesadaran bahwa mereka mempunyai seperangkat tradisi yang berbeda dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat di mana mereka hidup. Tradisi-tradisi tersebut adalah; 1) kepercayaan dan praktek keagamaan (akidah dan amal keagamaan), 2) bahasa, 3) rasa kesinambungan sejarah, dan 4) nenek moyang atau tempat asal bersama. Sementara itu seorang antropolog, Frederick Barth (1969) mengungkapkan bahwa kelompok etnis adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. secara umum melestarian diri mereka secara biologis 2. memiliki bersama nilai-nilai kultural yang mendasar, yang terwujud dalam bentuk-bentuk perilaku kultural 3. membangun satu forum komunikasi dan interaksi yang khas, dan 9

2 4. punya suatu ukuran keanggotaan untuk mengenali diri sendiri, dan mengenali orang lain, sehingga mereka membentuk satu kategori yang khas, yang berbeda dari kategori-kategori yang lain. Dalam sebuah tulisan, Marzali (2009) mengungkapkan bahwa bila dikaitkan dua pedapat ahli ( De Vos dan F Barth) maka akan dapat dilihat kesamaan pemahaman pada beberapa sisi. Apa yang disebut tradisi oleh De Vos menurut Marzali dapat dikaitkan dengan usaha untuk melestarikan diri seperti yang dikatakan Barth. Lebih lanjut Marzali juga menjelasakan bahwa sebuah golongan etnik tidak mungkin akan terus hidup dan lestari dengan tradisi-tradisi kulturalnya di dalam suatu masyarakat yang majemuk, tanpa ada tekad dan usaha dari anggota golongan tersebut untuk terus melestarikan diri mereka secara biologis dan kultural. Dengan adanya usaha pelestarian ini maka anggota-anggota golongan etnik tersebut dapat mengenali siapa yang termasuk ke dalam golongan dan siapa yang di luar golongan. Pembicaraan konsep etnik tidak akan bisa bisa melepaskan diri dari solidaritas yang dituntut lahir dari individu-individu yang merasa satu etnik. Kesadaran identitas ini menjadi penting sebab dalam banyak kasus dorongan untuk memperjelas jati diri identitas inilah banyak muncul dinamika hubungan sosial yang kadang menjurus destruktif. Konflik etnik, pertarungan politik secata terbuka sering sekali merupakan sarana serta menjadi hasil akhir dari upaya mengungkapkan ekspresi identitas etnik. Mengenai hal ini seorang ilmuwan lainnya, Isaacs (1993) menjelaskan bahwa kesadaran identitas yang dimiliki sekelompok orang bisa lahir karena beberapa hal. Secara spesifik Isaacs mengatakan bahwa terdapat dua unsur pokok yang amat penting dalam

3 memebntuk identitas dasar kelompok (termasuk kelompok etnis) yaitu, (a) kepribadian individu dan pengalaman hidup serta (b) rasa memiliki dan kualitas rasa harga diri. Pada tataran yang lebih umum, Isaacs juga mengungkapkan bahwa kesadaran identitas yang dimiliki sekelompok orang bisa muncul karena hal-hal berikut: kesamaana bentuk tubuh, kesamaan tempat lahir, nama dan pola penamaan, bahasa, sejarah dan asal usul, agama serta nasionalitas. Komponenkomponen dasar pembentuk indetitas tersebut dalam perkembangan kehidupan manusia memiliki kontribusi yang berbeda di setiap tempat dan masa dalam mempengaruhi pembentukan ekpresi kelompok termasuk kelompok etnis. Pembicaraan tentang konsep etnisitas dapat diurai melalui dua perspektif, yaitu perspektif esensialis dan konstruktivistik (Lefaan, 2012). Dalam pandangan esensialistik, konsep etnisitas dipahami sebagai entitas yang tetap, baku, dan berorientasi pada karakter biologis. Secara esensial, pemahaman akan etnisitas ditandai dengan munculnya rasa primordial dalam diri individu secara alamiah sejak kelahiran terjadi. Merujuk pendapat Geertz (1992) dalam bukunya Tafsir Kebudayaan yang merupakan terjemahan dari The Interpretation of Kultur, penggunaan konsep primordial merujuk pada anggapan bahwa etnisitas adalah sebuah identitas yang telah dibawa seseorang sejak lahir. Primordial merupakan sesuatu yang bersifat askriptif dan melekat pada setiap orang. Dalam bagian lainnya Lefaan (2012) yang mengutip Pendapat Barker mengungkapkan bahwa perspektif esensialisme mengasumsikan bahwa kata-kata memiliki acuan tetap dan kategori sosial mencerminkan identitas esensial yang melandasinya. Berdasarkan pemahaman ini akan ditemukan suatu kebenaran tetap dan esensial, misalnya berupa feminitas atau identitas kulit hitam (Barker dalam Lefaan, 2012)

4 Sementara itu, perspektif konstruktivistik beranggapan bahwa melihat konsep etnisitas sebagai sesuatu yang bisa berubah dan tidak menetap. Bagi penganut persepektif ini, identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah (Hall dalam Lefaan, 2012). Dengan pemahaman seperti ini, maka identitas enik harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat situasional dan mengambang. Dengan kata lain, identitas etnik harus dilihat sebagai sesuatu yang cair atau dapat berubah sesuai dengan wadahnya. Dengan demikian, perspektif ini melihat bahwa identitas etnik merupakan sesuatu yang bisa dikonstruksi dan disesuaikan dengan kebutuhan sebagai contoh, seorang yang berasal dari Sulawesi Selatan yang di kampung halamannya tidak pernah mempersoalkan identitas etniknya, begitu berada di Sabah karena harus berkerja segera bisa menangkap kebutuhan demi survival-nya untuk menyebut dirinya sebagai orang Melayu. Kesamaan agama yang dianut orang Bugis dan orang Melayu, yaitu Islam, memudahkan bagi orang Bugis untuk mengaku sebagai orang Melayu dan dengan demikian akan diperoleh privileseprivilese sebagai layaknya orang Melayu atau Bumi Putera Malaysia. Menurut pandangan konstruktivistik identitas etnik memiliki batas-batas (ethnic boundaries) yang membuatnya berbeda dengan identitas etnik yang lain. Dalam banyak hal, batas-batas identitas etnik inilah yang dapat digeser-geser sesuai dengan situasi dan konteksnya. Batas-batas identitas ini, dengan demikian, merupakan sesuatu yang dapat dinegosiasikan (negotiating boundaries) sehingga bisa menjadi sesuatu yang bersifat instrumentalistik. Dalam pandangan antiesensialisme, sangatlah jelas bahwa kelompok-kelompok etnis tidak berdasarkan pada faktor-faktor primordial atau karakter kebudayaan universal yang membuat

5 terbentuknya kelompok etnis tertentu atau spesifik, tetapi terbentuk melalui praktek-praktek yang tidak berkaitan satu sama lain. Etnisitas dibentuk oleh identitas kelompok dan diidentifikasi oleh tanda-tanda dan simbol-simbol dan kesepakatan etnisitas. (Lefaan, 2012) Terlepas dari berbagai pandangan para ahli di atas, diakui atau tidak konsep etnis dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih sangat mempengaruhi gerak dinamika msayarakat. Kenyataan ini lahir sebagai konsekwensi tipikal masyarakat yang masih menganggap penting kejelasan asal asul diri sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi diri, proses pemanfaatan identitas kelompok etnik ini berlangsung hampir di semua bidang kehidupan termasuk kehidupan politik. Atas dasar itulah mengapa pemahaman konsep etnik ini menjadi perlu dalam membicarakan representasi kelompok marga dalam ranah kekuasaan di tingkat lokal. Merujuk berbagai pendapat di atas, maka terminologi etnisitas yang paling umum dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan manusia yang memiliki identitas bersama yang cenderung merasa terikat secara genealogi dan memiliki seperangkat kebudayaan yang dianggap bisa membedakan kesatuan tersebut dengan kesatuan hidup manusia lainnya. Menggunakan pemahaman ini, maka penjelasan etnik Pakpak dalam kajian ini menjadi lebih mudah dimengerti. Secara umum Pakpak digolongkan sebagai bagian dari suku bangsa Batak, seperti halnya Toba, Simalungun, Karo dan Mandailing (liat Coleman, 1983 dan Lister dan Nubani, 2007). Pernyataan ini dapat diterima bila dilihat secara umum pula karena dari segi sistem kekerabatan dan struktural sosial memiliki kesamaan kesamaan. Demikian juga dari segi komunitas, etnis- etnis tersebut

6 hidup berdampingan di wilayah Sumatera Utara. Namun demikian, pengelompokan etnik Pakpak sebagai bagian dari etnik Batak tidaklah tepat. Kondisi ini dikarenakan terminologi Batak sendiri tidak pernah dikenal dalam kebudayaan orang Pakpak secara emik. Keberlangsungan pandangan yang menempatkan etnik Pakpak sebagai bagian dari Batak lebih dikarenakan aspek politis semata. Ketidak tepatan pandangan yang selama ini menempatkan Pakpak sebagai subkultur Batak juga tidak tepat karena secara substansi banyak sekali unsur-unsur kebudayaan Pakpak yang tidak sama atau identik dengan suku-suku lain yang selama ini juga dianggap sebagai sub suku Batak. Untuk menghindari kerancuan dan pengertian umum pemakaian konsep etnik maka dalam studi ini etnik Pakpak dianggap etnik tersendiri yang bukan menjadi subetnik atau bahkan subkultur dari Batak. Secara kulutural, orang Pakpak dapat mengklasifikasikan dirinya ke dalam lima bagian komunitas berdasarkan wilayah komunitas marga dan dialek bahasa yang dikenal, yakni : 1. Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Simsim. Misalnya Marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin Banurea, Boangmanalu, Cibro, Sitakar, dll. Dalam administrasi pemerintah Republik Indonesia saat sekarang wilayah ini adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang dimekarkan dari Kabupaten Dairi tahun Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek Keppas. Misalnya Marga ujung, Bintang, Bako, Maha, dll. Dalam administrasi pemerintah mencakup wilayah Kecamatan Silima

7 Pungga- pungga, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Parbuluan dan Kecamatan Sidikalang dan lain lain di Kabupaten Dairi 3. Pakpak Pegagan, yakni Pakpak yang berasal dan berdialek Pegagan. Misalnya Marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik Sikettang, dll.dalam administrasi Pemerintahan wilayah ini termasuk dalam Kecamatan Sumbul, Kecamatan Pegagan Hilir dan Kecamatan Tiga Lingga dan lain- lain di Kabupaten Dairi. 4. Pakpak Klassen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Klassen. Misalnya, Marga Tumangger, Siketang, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa, dll. Dalam administrasi Pemerintahan Republik Indonesia, wilayah ini sejak tahun 2003 berada di Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Perlilitan dan Kecamatan Pakkat) dan Kabupaten Tapanuli Tengah ( Kecamatan Barus ). 5. Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Misalnya, Marga Sambo, Penarik dan Saraan. Dalam administrasi Pemerintahan Republik Indonesia Wilayah ini berada di Wilayah Aceh Singkil (Coleman, 1983; Berutu, 1994; Berutu dan Nurbani, 2007 ) Bila dilihat dari susunan penduduk, wilayah orang Pakpak Keppas dan Pegagan saat ini sudah heterogen dari segi etnik maupun budaya. Malah dari segi kwantitas mereka menjadi minoritas dibanding etnik Toba. Hal yang sama juga ditemukan di wilayah Klassen yang walaupun masih tergolong homogen dari segi komposisi etniknya tapi pengaruh kebudayaan Toba sangat menonjol di wilayah tersebut. Berbeda dengan Pakpak Simsim dan Boang yang masih homogen baik

8 dari segi etnis maupun orientasi Budaya. (Berutu, 2007: 3-4). Berkenaan dengan kedua suak terakhir, Simsim dan Boang, merupakan komponen utama atau dominan yang masyarakatnya menjadi unsur pembentuk komposisi penduduk Kabupaten Pakpak Bharat Teori Representasi dalam Politik Secara teoritik, pembicaraan mengenai konsep representasi banyak digunakan oleh ilmuwan dengan latar belakang yang berbeda. Menurut Lefaan (2012) Dalam kajian budaya dan media, representasi adalah merupakan konsep kunci. Bahkan bagian terbesar cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yang didefinisikan sebagai bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama cultural studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikasi representasi. Ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual. Ia juga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu (Barker dalam Lefaan, 2012). Sementara itu, konsep representasi dalam politik dipahami sebagai kondisi yang mempertimbangkan keberadaaan wakil-wakil dari elemen masyarakat dalam pranata politik. Begitu pentingnya konsep representasi dapat dilihat dari pendapat Hanna Fenichel Pitkin (1969) yang mengemukakan bahwa the representative system is the modern form of democracy yang berarti bahwa representasi adalah

9 inti dari dalam politik modern. Dalam konsepsi representasi dari Hanna Pitkin, ada empat cara memandang representasi politik. Pertama, dalam perspektif otorisasi, representasi sebagai pemberian dan pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai person yang diberi kewenangan untuk bertindak. Ini menyiratkan bahwa wakil diberi hak oleh yang diwakili untuk bertindak, yang sebelumnya tidak dimilikinya. Sebaliknya terwakil yang memberikan beberapa haknya, harus menjadi bertanggungjawab atas konsekuensi tindakan yang dilakukan oleh wakil. Pandangan otorisasi ini memusatkan pada formalitas hubungan keduanya atau yang disebut sebagai pandangan formalistik. Jadi teori formalistik berpusat pada otorisai artinya mereka yang berada dalam struktur formal yang merepresentasi. Kedua, representasi deskriptif, seseorang dapat berpikir tentang representasi sebagai standing for segala sesuatu yang tidak ada. Person bisa berdiri demi orang lain, menjadi substitusi untuk orang lain, atau mereka cukup menyerupai orang lain. Representasi deskriptif menggambarkan bahwa wakil mendeskripsikan konstituen, biasanya ditandai dengan karakteristik yang nampak seperti warna kulit, gender, kelas sosial. Model ini dipahami sebagai kesamaan deskripsi antara wakil dengan yang diwakili. Ciri pandangan ini kebanyakan dikembangkan di antara yang membela representasi proporsional, bahkan pandangan ini dianggap sebagai prinsip fundamental representasi proporsional yang berupaya menjamin bahwa badan perwakilan mencerminkan hitungan matematis more or less. Proporsionalitas wakil ini berkait dengan komposisi komunitas, sebagai kondensasi dari keseluruhan, sehingga proporsionalitas wakil ini menghendaki metapora peta. Badan perwakilan sebagai peta yang ditarik dari

10 skala konfigurasi fisik dan sebagai keseluruhan copy yang selalu memiliki proporsi yang sama sebagaimana yang asli. Dalam pandangan ini secara sederhana pratana politik menjadi replika dari kondisi utuh masyarakat pemilik sistem politik. Ketiga, representasi simbolik berarti merepresentasikan sesuatu yang bukan merepresentasikan fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan peta atau potret, tetapi dengan sombol, dengan disimbolkan atau diwakili secara simbolik. Meskipun sebuah simbol merepresentasikan standing for segala sesuatu, tetapi tidak menyerupai apa yang diwakili. Simbol memiliki ciri yang membantu merasionalisasi signifikansi simboliknya, sehingga simbol mensubstitusi yang diwakili dan symbol mensubstitusi apa yang disimbolkan. Baik pandangan formalistic maupun deskriptif tidak relevan dikaitkan dengan merepresentasi aktivitas tetapi lebih relevan dikaitkan dengan representasi karakteristik. Di samping itu, representasi deskriptif maupun simbolik menjadi suplemen bagi pandangan yang formalistic. Representasi deskriptif memperkenalkan ide pentingnya wakil menyerupai konstituen. Sedangkan representasi simbolik masyaratkan peran keyakinan irasional, yang diabaikan oleh pandangan formalistic dan pentingnya penerimaan konstituen. Representasi deskriptif atau simbolik biasanya dekat dengan obyek bukan dekat dengan aktivitas maka wakil kerapkali tidak merepresentasi dengan melakukan sesuatu sama sekali. Artinya representasi tidak dalam makna berbicara tentang peran, kewajibannya dan apa yang ditampilkan oleh wakil. Realisme tindakan representasi deskriptif dan simbolik ekuivalen dengan pandangan standing for, bukan pada aktivitas representasi yang acting for. Bahkan pandangan

11 representasi formalistic dan deskriptif tidak memungkinkan untuk aktivitas merepresentasi sebagai acting for bagi orang lain. Dengan kata lain dalam realisme politik tidak ada ruang untuk aktivitas kreatif perwakilan legislatif. Pada sisi lain konsepsi merepresentasi sebagai standing for membawa pada pengertian lain representasi yaitu representasi sebagai pembuatan atau penciptaan jenis aktivitas. Kalau representasi sebagai aktivitas maka representasi dimaknai sebagai acting for orang lain. Representasi acting for berbeda dengan pandangan yang formalistic, sebab representasi ini lebih memusatkan pada hakekat aktivitas itu sendiri menjangkau representasi substantive. Dalam konteks ini wakil berbicara, bertindak demi opini, keinginan, kebutuhan atau kepentingan substantive terwakil atau sering disebut dengan representasi substantive acting for orang lain. Keempat, konsep substantif memandang representasi bukan sekadar sebagai cara berdiri seseorang demi orang lain (a way of standing for someone) tetapi representasi sebagai cara bertindak demi orang lain (a way of acting for someone). acting for memunculkan pemahaman yang berbeda tentang hubungan termasuk representasi person lainnya. Orang dapat bertindak sebagai pengganti orang lain dengan bertindak sebagai trustee, agen yang menguasakan, sebagai yang dipercaya/fiduciary (dalam arti sebagai agen bebas) atau sebagai ahli. Masing-masing cara acting for menyangkut interpretasi yang berbeda dalam relasi antara wakil dan yang diwakili dan harapan yang berbeda (dan obligasi). (lebih lanjut baca Windyastuti, 2009) Tentangan yang sangat berpengaruh terhadap konsep dan praktik representasi politik sebagai ide diletakkan oleh Anne Philips dalam the politics of

12 presence. Phillips berargumentasi bahwa kita mesti mengubah interpretasi tentang representasi dari kerangka yang didasarkan pada politik ide (merepresentasikan opini warganegara dan preferensi kebijakan) ke kerangka yang didasarkan pada the politics of presence atau politik kehadiran. Jelasnya, Phillips berpendapat bahwa anggota dari kelompok yang termarginalisasi semestinya secara fisik terwakili dalam lembaga legislative dengan jumlah yang proporsional dengan populasinya. Lebih besar presence kelompok seperti minoritas perempuan, adalah sangat penting tidak hanya karena mereka secara otentik merepresentasi anggota kelompok mereka, tetapi karena mereka dapat mengubah agenda dan membawa perspektif baru dalam politik kebijakan. Dalam ukuran keterwakilannya, politik ide memiliki akuntabilitas sedangkan politik kehadiran memiliki autentisitas (Young dalam Windyastuti, 2009). Dari empat perspektif yang diungkapkan di atas terlihat dengan jelas bahwa isu represntasi merupakan bagian yang penting dalan kajian sistem politik terutama yang bertema demokrasi. Ini dikarenakan demokrasi seharusnya akan menghasilkan sebuah kondisi keseimbangan yang memberi ruang pada semua komponen masyarakat untuk terepresentasi secara proporsional dalam pranata politik. Pada konteks dimana representasi diupayakan maka seluruh tindakan politik menjadi relevan untuk kaji sebab setiap tindakan antar eleman akan terhubung melalui sebuah relasi kuasa. Secara empiris, representasi sosio-kultural, politik, dan bahkan realitas sosial itu sendiri merupakan realitas yang dikonstruksikan oleh sebuah kekuatan dominatif. Asumsi inilah yang juga digunakan untuk melihat berbagai fenomena politik yang kemudian melahirkan tawaran konsep politik representasi. Sebagai

13 ilustrasi misalnya, fenomena maraknya para elite politik yang sering mengklaim atas nama rakyat ketika berkampanye, padahal untuk diri mereka sendiri; para pejabat pemerintah yang menawarkan program kerja yang mengatasnamakan demi kepentingan rakyat, padahal demi kepentingan akses proyek untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya, adalah beberapa contoh beroperasinya praktik politik representasi. Bahkan para elite politik ketika ingin memenuhi ambisi politiknya, dalam memobilisasi massa pun bersifat artifisial, dalam arti membuat massa bayaran. Demikian pula unjuk rasa yang mengalami komodifikasi dalam mengartikulasikan tuntutannya, semua itu merupakan praktik politik representasi. (Lefaan, 2012) Menurut Frantz Fenon representasi merupakan salah satu bentuk penjajahan simbolik, karena selalu disertasi dengan dominasi subyek terhadap obyek. Subyek yang dimaksud adalah mereka yang sering mengatasnamakan obyek. Jadi penjajahan kontemporer tidak serta merta berupa pemaksaan dengan fisik, namun merupakan kekerasan sistematik yang dipraktikkan melalui pemaksaan pikiran subyek terhadap obyek dan selalu merepresentasikan (generalisasi) ide obyek (Fanon, 2005). Sementara itu, menurut Meuthia Ganie- Rochman (2000), perilaku kelompok-kelompok yang selalu merepresentasikan rakyat demi tujuan kelompok atau pun pribadi adalah karakteristik kelompokkelompok yang dilahirkan Orde Baru dan terbawa hingga pasca-orde Baru. Selama masa Orde Baru kelompok itu selalu mencari pengaruh atas proses politik dalam kerangka pemerintahan yang berkuasa. Fenomena itu dijelaskan dari pola hubungan tiga tujuan interaksi politik, yaitu otoritas (authority), representasi (representation), dan legitimasi (legitimation).

14 Konsep politik representasi ini menarik untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di banyak daerah di Indonesia terutama seriring dengan maraknya gelombang pemekaran daerah. Dalam banyak kajian selalu terungkap bahwa salah satu motif munculnya ide pemekaran selalu berkenaan dengan rasa tidak puas sebagian kalangan atas sistem represestasi yang terjadi pada sistem politik daerah induk. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat yang dalam banyak analisa kalangan pemisahan daerah tersebut dari Kabupaten Dairi memiliki dimensi tuntutan dari etnis Pakpak untuk berekspresi secara lebih aktif termasuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Kelompok Marga dalam Otonomi dan Kekuasaan Lokal di Pakpak Bharat Bila pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa di era otonomi daerah, keberadaan elemen masyarakat lokal secara kultural memiliki arti yang sangat penting dalam konfigurasi sistem politik di daerah. Hal yang sama terjadi di hampir semua daerah di Indonesia setelah kran otonomi daerah dibuka. Dalam kajian ini, elemen masyarakat yang menjadi sentral perhatian adalah kelompok marga sebagai wakil dari suak suku Pakpak yang ada di Kabupaten Pakpak Bharat. Bila dalam penjelasan sebelumnya struktur masyarakat di Kabupaten Pakpak Bharat lebih didominasi oleh suak Pakpak Simsim dan Boang, maka pembicaraan peran setiap elemen masyarakat tersebut menjadi sangat penting. Secara faktual, kultur area (wilayah kebudayaan) kedua suak Etnik Pakpak tersebut menjadi domain utama dari wilayah Kabupaten Pakpak Bharat. Oleh karena itu keberadaan kedua suak etnik Pakpak tersebut di Kabupaten Pakpak Bharat memiliki peran yang tidak hanya bersifat budaya namun juga melingkupi

15 aspek ekonomi dan politik. Kondisi ini dapat dilihat sebagai konsekwensi dari sistem sosial masyarakat Pakpak sendiri. Secara tradisional, masyarakat Pakpak memiliki stratifikasi sosial yang berkaitan erat dengan kepemilikan hal ulayat (tanah). Satuan organisasi sosial tradisonal masyarakat Pakpak dikenal dengan istilah Kuta. Kuta sendiri merupakan kesatuan teritori yang biasanya dihuni oleh keluarga-keluarga yang berasal dari satu klen yang sama. Disusul kemudian oleh keluarga pendatang dari marga yang berbeda, tapi terikat oleh suatu hubungan perkawinan dengan penduduk asli. Selain memiliki pemukiman, sebuah kuta biasanya juga memiliki lahan perladangan yang khusus diperuntukkan bagi anggota kuta yang bersangkutan. Fikarwin (2007) menyebutkan bahwa pola stratifikasi sosial masyarakat Pakpak di setiap Kuta berhubungan pola pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang biasanya berupa lahan perladangan (tanoh pertahumaan). Tanah perladangan di masyarakat Pakpak secara kultural seluruhnya adalah milik marga-marga yang pertama sekali membuka Kuta (Marga Tanah). Dalam sebuah kuta akan terdapat seorang pemimpin dari kalangan Marga tanah yang dikenal dengan nama Pertaki. Selain kelompok Marga tanah, kelompok lain yang terdapat dalam sebuah Kuta adalah Kelompok Anak Beru. Dalam praktek tradisionalnya, marga tanah memiliki keistimewaan bil dibandingkan dengan kelompok Anak Beru terumanya terkait dengan sistem pengelolaan lahan perladangan. Dengan kata lain, secara kultural kelompok marga yang berstatus sebagai Marga Tanah memiliki peran sentral dalam menggerakkan roda kehidupan di Kuta yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan politik.

16 Dalam perjalanannya, sistem startifikasi tersebut mulai luntur seiring dengan pertemuan dengan tata nilai pemerintahan negara. Sejak negara hadir dalam kehidupan masyarakat Pakpak, sistem pelapisan sosial ini mulai luntur dan kembali bergejolak untuk direvitalisasi saat kran otonomi dan pemekaran daerah mulai digulirkan. Klimaks dari harapan itu diwujudkan dengan lahirnya Kabupaten Pakpak Bharat. Seiring dengan kerinduan akan memori untuk merekonstruksi ulang kehidupan sosial sesuai dengan tradisi sosial etnik Pakpak, maka arti penting kehadiran kelompok marga dengan ragam statusnya menjadi mulai bergeliat. Peluang otonomi daerah yang ditandai dengan hadirnya Kabupaten Pakpak Bharat seharusnya bisa menjadi wadah bagi masyarakat Pakpak untuk merekonstruksi ulang sistem sosial tradisional ke dalam struktur formal kenegaraan melalui keterlibatan seluruh elemen. Atas dasar kondisi tersebut keterwakilan atau representasi kelompok marga dalam sistem kekuasaan lokal terutama dalam pranata politik menjadi sangat menarik untuk dikaji sebab ketidak berhasilan pemekaran Pakpak Bharat dalam melahirkan representasi elemen masyarakat dalam politik politik akan bisa memunculkan rasa ketidak puasan yang pada gilirannya akan mengganggu kelancara roda pemerintahan. Untuk kasus di Pakpak Bharat, perhatian pada isu representasi kelompok marga pada pranata politik juga berkaitan erat dengan tema perhatian banyak kalangan tentang Bagaimana kelompok etnik yang berbudaya homogen menyikapi kehadiran orang luar etniknya yang berkepentingan masuk ke wilayah teritorial mereka? Setiap kelompok etnik telah mengembangkan suatu mekanisme budaya untuk mengakomodasi hal itu, dan sesungguhnya hampir semua kelompok etnik dalam pengertian klasik tadi membuka diri untuk masuknya orang luar.

17 Syaratnya orang luar tersebut bersedia mengikuti aturan main yang berlaku dalam komunitas setempat. Karena di sini ada kebudayaan dominan (dominant kultur), maka seperti dikemukakan oleh Suparlan (1999) para pelaku dari kelompokkelompok suku bangsa yang tidak dominan menyesuaikan diri dengan, dan tunduk pada, aturan-aturan main yang ditetapkan oleh masyarakat setempat yang dominan. Ungkapan-ungkapan seperti di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung; lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang, dan ungkapan sejenis yang diproduksi oleh setiap kelompok etnik adalah bentuk kearifan untuk mengakomodasi perbedaan atau keragaman budaya. Sepanjang pemahaman dan aturan main yang berlaku setempat dipatuhi oleh warga etnik lain, tidak akan ada ketegangan apalagi konflik etnik. (Lubis, 2005 : ) Kerangka Teoritis Dalam melihat persoalan representasi dalam kekuasaan lokal ini terdapat beberapa pilihan paradigma yang dapat digunakan. Pada penelitian ini paradigma keilmuan yang dianggap relavan adalah paradigma struktural fungsional. Pemilihan paradigma ini lebih dikarena keberadaan suak etnik dan atau kelompok marga yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah bagian dari struktur masyarakat yang secara praktis haruslah memainkan fungsinya secara bersamaan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan roda kekuasaan di pemerintahan lokal di Pakpak Bharat. Tidak hanya itu, keseimbangan komposisi representasi suak etnik pakpak dan atau kelompok marga dalam ranah kekuasaan akan bisa menciptakan keseimbangan sosial. Oleh karena itu, pencapaian titik keseimbangan tersebut

18 akan berlangsung dalam semua dimensi kehidupan masyarakat Pakpak termasuk dalam sistem politiknya. Memperhatikan bahwa struktur tidak serta merta akan menggerakkan kehidupan bersama, maka penggabungan pemikiran struktural dengan fungsional yang menjadi pilihan dalam paradigma ini menjadi sangat berkesesuaian dengan tema penelitian. Pemikiran Struktural memiliki ciri yang menjadi landasan pikirnya yaitu bahwa struktur-struktur yang membangun sebuah sistem merupakan sebuah kesatuan gagasan (wholeness), memiliki prinsip transformasi (transformation) dan memiliki kemampuan melakukan pengaturan sendiri (self- Regulation) (lihat Kling, 1985; Matusky, 1985). Sementara itu paham fungsional selalu didasarkan pada pemikiran yang menekankan bahwa keberfungsian masing-masing bagian pembentuk sebuah sistem akan memberi jaminan pada kelangsungan hidup sistem secara keseluruhan (lebih jelas baca Functionalism oleh Jonatahan H. Turner dan Alexandra Maryanski diterbitkan oleh The Benjamin/ Cummings Publishing Company. Menlo Park California tahun 1979). Atas dasar pemikiran yang melandasi kedua pendekatan ini, maka secara sederhana pendekatan struktural fungsional terbentuk atas beberapa prinsip dasar diantaranya; masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem yang diantara komponen pembentuk sistem harus terjadi hubungan saling mempengaruhi, sebagai sebuah sistem masyarakat selalu bergerak ke arah ke seimbangan, perubahan biasanya terjadi secara gradual yang disebabkan oleh proses penyesuaian, pertumbuhan dan penemuan, ketegangan diatasi dengan penyesuaian dan konsensus merupakan kekuatan pemersatu. Di samping itu, dalam pandangan struktural fungsional,

19 masyarakat yang merupakan sebuah sistem akan bereaksi terhadap lingkungan dimana dia tinggal termasuk ketika terjadi perubahan di sekelilingnya. Sinergis dengan prinsip dasar pendekatan fungsional, Malinowski mengungkapkan bahwa keberfungsian elemen-elemen pembentuk kehidupan sosial termasuk budaya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik yang bersifat biologis maupun psikologis. Berkenaan dengan kebutuhan tersebut, lebih lanjut Malinowski mengungkapkan paling tidak terdapat 3 (tiga) tingkat kebutuhan manusia, yaitu: (1) kebutuhan biologis yang berupa makanan, prokasi dan sebagainya, (2) kebutuhan yang bersifat instrumental (struktur sosial) seperti kebutuhan akan hukum, pendidikan, stratifikasi sosial dan lainnya serta (3) kebutuhan integratif yang bisa berupa agama dan kesenian (lebih lanjut baca Turner dan Alexandar Maryanski, 1970). Secara sederhana kerangka pikir yang didasarkan pada paradigma struktural fungsional dalam penelitian ini dapat dilihat bagan berikut ini: Suak etnik Pakpak: 1. Pakpak Simsim 2. Pakpak Keppas 3. Pakpak Pegagan 4. Pakpak Klassen 5. Pakpak Boang Pemekaran Dairi yang melahirkan Kabupaten Pakpak Bharat Proses dan Kegiatan Politik Kondisi Komposisi Pranata Politik (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan faktor yang mempengaruhi Keseimbangan representasi akan mencipatkan keseimbangan sehingga potensi menujuh ksejahteraan akan terbuka Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. macam suku, ras, agama dan adat istiadat. Wilayah negara kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. macam suku, ras, agama dan adat istiadat. Wilayah negara kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan adat istiadat. Wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial, dan sebaliknya. Salah satu ilmu sosial sebagai

BAB I PENDAHULUAN. diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial, dan sebaliknya. Salah satu ilmu sosial sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah adalah cara untuk mengetahui masa lampau. Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan pada umumnya mengandalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya sendiri. Demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya sendiri. Demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya sendiri. Demikian halnya dengan bahasa Pakpak yang digunakan oleh masyarakat suku Pakpak. Masyarakat suku Pakpak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar terdiri dari dataran tinggi dan bukit-bukit yang terletak antara

BAB I PENDAHULUAN. besar terdiri dari dataran tinggi dan bukit-bukit yang terletak antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Kabupaten Dairi mempunyai luas 191.625 hektar yaitu sekitar 2,68% dari luas propinsi Sumatera Utara (7.160.000 H). Dimana Kabupaten Dairi terletak disebelah barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas berbagai macam suku. Salah satu suku di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas berbagai macam suku. Salah satu suku di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terdiri atas berbagai macam suku. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Batak yang terdiri atas lima etnik, yakni etnik Batak Toba, etnik Pakpak Dairi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai suku yang tersebar dari sabang sampai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai suku yang tersebar dari sabang sampai BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia memiliki berbagai suku yang tersebar dari sabang sampai merauke, masing-masing suku kaya akan adat istiadat, budaya yang berbeda-beda, tergantung pada letak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Museum merupakan suatu lembaga yang sifatnya tetap dan tidak mencari keuntungan dalam melayani masyarakat dan dalam pengembangannya terbuka untuk umum, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang multikultural terdiri dari ratusan suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang multikultural terdiri dari ratusan suku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang multikultural terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di seluruh nusantara. Setiap daerah memiliki suku asli dengan adatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang / Masalah Penelitian Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD) tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala

BAB I PENDAHULUAN. disebut bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya yaitu yang disebut karya sastra. Sastra boleh juga disebut karya seni karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Friedman (2000) mengatakan, dalam perspektif global saat ini tidak banyak dipertentangkan tentang fakta bahwa homogenisasi dunia barat, tetapi kebanyakan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. tersebut telah menjadi tradisi tersendiri yang diturunkan secara turun-temurun

BAB I PEDAHULUAN. tersebut telah menjadi tradisi tersendiri yang diturunkan secara turun-temurun BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Sumatera Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Semua etnis memiliki budaya yang

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Latar belakang Sejarah pertumbuhan dan perkembangan fisik Kota Tarakan berawal dari lingkungan pulau terpencil yang tidak memiliki peran penting bagi Belanda hingga

Lebih terperinci

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK MASING-MASING SUB STRUKTUR BERJALAN DENGAN SISTEMNYA MASING-MASING

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom 1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I. diperhitungkan berdasarkan garis keturunan laki-laki, artinya laki-lakilah yang. menjadi patokan dalam penghitungan garis keturunan.

BAB I. diperhitungkan berdasarkan garis keturunan laki-laki, artinya laki-lakilah yang. menjadi patokan dalam penghitungan garis keturunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ditinjau dari aspek-aspek kesamaan atau kemiripan dari berbagai kebudayaan yang dimiliki etnis Pakpak merupakan sub etnis Batak, seperti adanya kesamaan struktur sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk dan multikultural terbesar di dunia. Keberagaman budaya tersebut memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan masyarakatnya yang Pluralistic mempunyai berbagai macam bentuk dan variasi dari kesenian budaya. Warisan kebudayaan tersebut harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Bahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Bahan ajar dijadikan sebagai salah satu sumber informasi materi yang penting bagi guru maupun

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategis dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri dari atas beberapa suku seperti, Batak Toba,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri dari atas beberapa suku seperti, Batak Toba, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sumatera Utara merupakan salah satu Provinsi yang memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional maupun bahasa daerah. Masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan untuk makan. Dalam upayanya untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan makan. Makanan adalah sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya manusia selalu berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kemajukan ini di tandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing

Lebih terperinci

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas Wacana yang melingkupi etnisitas di daerah pedalaman di Indonesia banyak diwarnai dengan marginalisasi dan diskriminasi. Tak bisa dipungkiri, lahirnya UU Nomor

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Demokrasi di Indonesia Definisi demokrasi menurut Murod (1999:59), sebagai suatu policy di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan

Kesimpulan. Bab Sembilan Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada hakikatnya, matematika merupakan induk dari ilmu pengetahuan lain dan sekaligus berperan untuk membantu perkembangan ilmu tersebut (Suherman, 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulau Sumatera merupakan salah satu dari lima pulau terbesar yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulau Sumatera merupakan salah satu dari lima pulau terbesar yang terdiri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Sumatera merupakan salah satu dari lima pulau terbesar yang terdiri dari sepuluh Provinsi. Salah satu provinsi yang ada di Pulau Sumatera adalah Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan seni dan budayanya. Hal itu telihat dari keberagaman suku yang dimiliki Bangsa Indonesia, mulai dari cara hidup

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Leif STENBERG Direktur, AKU- Dalam makalah berikut ini, saya akan mengambil perspektif yang sebagiannya dibangun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai Negara yang banyak memiliki beragam

Lebih terperinci

A. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KABUPATEN DAIRI. Pegunungan Bukit Barisan melintang di sepanjang Pulau Sumatera dengan

A. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KABUPATEN DAIRI. Pegunungan Bukit Barisan melintang di sepanjang Pulau Sumatera dengan 35 BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI DASAR MASYARAKAT ADAT DI KABUPATEN DAIRI MENGKLAIM TANAH YANG SUDAH BERSERTIPIKAT HAK MILIK SEBAGAI MILIK MASYARAKAT ADAT A. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KABUPATEN DAIRI

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, hilangnya nilai-nilai budaya dan kearifan lokal menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus Bab 4 PENUTUP Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar dalam konteks sistem perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Ada empat pertanyaan yang ingin dijawab

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak ternilai

Lebih terperinci

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing ==============dikirim untuk Harian Kedaulatan Rakyat============== Semangat Sumpah Pemuda, Masihkah Diperlukan? Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd HARI ini bangsa dan rakyat Indonesia memperingati

Lebih terperinci

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) KURIKULUM 2013 KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) / MADRASAH TSANAWIYAH (MTS) KELAS VII - IX MATA PELAJARAN : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) Nama Guru NIP/NIK Sekolah : : : 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Latar Belakang Obyek Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau dan dihuni 931 kelompok etnik, mulai dari Aceh di Sumatera

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan,

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dalam pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dan berdasarkan permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, 1. Bahwa secara Normatif pengaturan pemekaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khas dan beragam yang sering disebut dengan local culture (kebudayaan lokal)

BAB I PENDAHULUAN. khas dan beragam yang sering disebut dengan local culture (kebudayaan lokal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang menganut paham demokrasi dan memiliki 33 provinsi. Terdapat lebih dari tiga ratus etnik atau suku bangsa di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan umum dan khusus, implikasi, dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi

Lebih terperinci

MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH

MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH E. MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH Dalam kertas kerjanya yang berjudul Models of Public Sphere in Political Philosophy, Gürcan Koçan (2008:5-9)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : NURUL FATIMAH Y.M. L2D 002 422 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia yang di bangun di atas keberagaman/kemajemukan etnis, budaya, agama, bahasa, adat istiadat.kemajemukan merupakan kekayaan bangsa Indonesia, sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas yang terdapat di Indonesia sangat banyak, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas yang terdapat di Indonesia sangat banyak, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas yang terdapat di Indonesia sangat banyak, salah satunya adalah komunitas waria. Sebuah komunitas dapat memunculkan variasi bahasa yang terbentuk untuk memudahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada masa awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pembangunan menjadi poin krusial yang menguras perhatian pemerintah, khususnya di negara-negara berkembang. Masalah ketimpangan masih menjadi isu besar pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, karsa manusia merupakan satu tolok ukur dari kemajuan suatu bangsa. Semakin maju dan lestari kebudayaannya, semakin kuat pula identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di sekitar lingkungan kita. Perpindahan yang kita temukan seperti perpindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan pada umumnya selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian halnya dengan kesusastraan Indonesia. Perkembangan kesusastraan Indonesia sejalan

Lebih terperinci

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi 1 BAB I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Tesis ini mendiskusikan komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di antaranya berdasarkan pada dua hal utama, yaitu 1) Opini masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang berdiri di atas empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia, dan Bhinneka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkembang pun dipengaruhi oleh kehidupan masyarakatya.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkembang pun dipengaruhi oleh kehidupan masyarakatya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan unsur-unsur budi daya luhur yang indah, misalnya; kesenian, sopan santun, ilmu pengetahuan. Hampir setiap daerah yang ada di berbagai pelosok

Lebih terperinci

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep

Lebih terperinci

BAB II SUKU PAKPAK. Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau

BAB II SUKU PAKPAK. Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau BAB II SUKU PAKPAK 2.1. Defenisi Pakpak Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia. Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten

Lebih terperinci