MODEL SPICC UNTUK MENGURANGI KESULITAN BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL SPICC UNTUK MENGURANGI KESULITAN BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR"

Transkripsi

1 MODEL SPICC UNTUK MENGURANGI KESULITAN BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR Isti Yuni Purwanti Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Kesulitan belajar yang dialami oleh siswa sekolah dasar dapat dilihat secara umum dengan perolehan hasil belajar yang dibawah rata-rata. Sedangkan secara khusus kesulitan belajar dapat ditunjukkan oleh adanya prestasi belajar yang selalu menurun, hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dimiliki, lamban dalam melakukan tugas belajar, sikap tidak peduli terhadap pelajaran, menunjukkan perilaku yang menyimpang dan menunjukkan gejala emosional yang menyimpang. Dalam menghadapi kesulitan belajar tersebut, seorang konselor perlu memberikan layanan bimbingan dan konseling. Layanan yang diberikan juga disesuaikan dengan kondisi siswa di sekolah dasar. Salah satu teknik atau strategi untuk mengurangi kesulitan belajar tersebut adalah model SPICC. SPICC (Sequentially Planned Integrative Counselling for Children) merupakan salah satu model yang menggunakan lima pendekatan terapi. Pendekatan tersebut digunakan secara bertahap (5 fase) dan integratif. Fase 1 menggunakan pendekatan Client Centered Counselling, fase 2 dengan pendekatan Gestalt, fase 3 pendekatan Naratif, fase 4 pendekatan Cognitive Behavioral Therapy dan fase 5 dengan pendekatan Behavior Therapy. Fase 1 merupakan fase awal penciptaan kondisi yang nyaman, agar siswa dapat berbagi cerita khususnya tentang diri siswa dan kesulitan belajar yang dialami. Pada fase 2, konselor menumbuhkan kesadaran pada siswa agar mampu mengenali secara jelas kesulitan belajar yang dialami. Fase 3, konselor membantu siswa untuk mengembangkan pandangan yang berbeda mengenai dirinya, sehingga siswa dapat tampil percaya diri. Pada fase 4, mengungkap bahwa siswa mencari pilihan dan mengubah keyakinan sikap, pikiran, dan perilaku. Fase terakhir (fase 5) mengajak siswa untuk berlatih, merasakan dan mengevaluasi sikap yang baru. Kata kunci : SPICC, kesulitan belajar, siswa SD. 1

2 Pendahuluan Pendidikan di tingkat dasar terutama pada sekolah dasar (SD) sangat berbeda dengan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Meskipun pendidikan di sekolah dasar merupakan kelanjutan dari pendidikan di taman kanak-kanak, tetapi dalam tahap perkembangan dan karakteristik siswa sangat berbeda. Usia anak di TK/Prasekolah adalah 2-6 tahun sedangkan usia anak di sekolah dasar adalah 6-12 tahun (Djiwandono, 2005:25). Pada usia sekolah dasar ini, anak-anak mulai mendapatkan pendidikan yang diberikan oleh guru dan mulai bersosialisasi dengan teman sebaya. Dalam memberikan pengetahuan kepada siswa sekolah dasar hendaknya para pendidik memperhatikan tentang perkembangan peserta didiknya. Terutama dalam hal menciptakan suasana belajar yang nyaman dan sesuai dengan perkembangan anak. Tidak dipungkiri bahwa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan nyaman untuk anak memang bukan hal yang mudah. Jika anak sudah senang dengan suasana dan lingkungan belajar yang nyaman untuknya, maka anak akan dengan semangat untuk belajar baik disekolah maupun dirumah. Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat atau hasil dari pengalaman masa lalu (Morgan, 1961 dalam Sobur, 2003). Belajar juga merupakan adanya perubahan perilaku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kegiatan belajar untuk siswa sekolah dasar berbeda dengan kegiatan belajar untuk orang dewasa. Anak-anak usia sekolah dasar menganggap bahwa belajar itu harus di sekolah dan diberikan oleh guru bukan oleh orangtua, sehingga anggapan ini mengakibatkan anak tidak mau lagi belajar di rumah. Mereka menganggap bahwa berangkat ke sekolah adalah untuk belajar dan jika diberikan tugas oleh guru untuk dikerjakan di rumah, mereka menganggap sebagai tugas yang tidak menyenangkan, karena mereka akan belajar di rumah. Pulang sekolah bagi anak-anak adalah waktu yang paling menyenangkan karena mereka dapat bermain dengan teman-temannya (baik teman di rumah maupun teman sekolahnya). Permasalahan belajar pada anak memang sangat kompleks, banyak alasan yang dikemukakan anak untuk menolak kegiatan belajar. Mereka lebih memilih kegiatan yang dirasa lebih menyenangkan daripada belajar. Penolakan yang sering ditunjukkan anak ketika sedang belajar di sekolah antara lain berlari-lari di kelas, bercanda dengan teman, mengganggu teman, keluar kelas untuk mencari obyek 2

3 yang lain. Anak merasa kegiatan belajar merupakan kegiatan yang dirasa membosankan, karena belajar identik dengan kegiatan mendengarkan guru bercerita dan duduk di belakang meja dalam waktu yang telah ditentukan. Permasalahan yang telah diungkapkan tersebut merupakan tantangan bagi para pendidik khususnya guru untuk memberikan layanan bimbingan belajar yang tepat dan sesuai untuk anak-anak. Tujuannya agar kegiatan belajar dapat diikuti dengan nyaman, senang dan mengasyikkan bagi anak. Kegiatan belajar tersebut dapat diberikan dengan berbagai macam metode. Metode-metode yang akan diberikan dalam kegiatan belajar untuk siswa sekolah dasar (terutama di lingkungan sekolah) sangat berkaitan dengan adanya layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling mempunyai empat aspek dalam membantu perkembangan individu, yaitu aspek akademik (belajar), karir, pribadi, dan sosial. Berkaitan dengan permasalahan yang muncul akibat dari adanya kesulitan belajar yang dialami oleh siswa sekolah dasar, maka perlu diberikan layanan bimbingan belajar. Bimbingan belajar adalah bimbingan yang diberikan oleh tenaga ahli (konselor) untuk membantu individu dalam menghadapi dan memecahkan masalahmasalah yang berkaitan dengan belajar (Yusuf, 2005:10). Bimbingan belajar bagi siswa sekolah dasar lebih difokuskan pada usaha-usaha untuk meningkatkan prestasi belajar. Untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik, maka diperlukan adanya kerjasama antara konselor sekolah dengan para guru. Pemberian layanan bimbingan belajar kepada siswa SD dapat dilakukan dengan berbagai model ataupun pendekatan bimbingan dan konseling. Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengurangi kesulitan belajar tersebut adalah dengan SPICC. SPICC (Sequentially Planned Integrative Counselling for Children) merupakan salah satu model yang dalam proses konseling menggunakan lima pendekatan secara integratif. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji peranan konselor dalam mengurangi kesulitan belajar siswa SD dengan menggunakan model SPICC (Sequentially Planned Integrative Counselling for Children). 3

4 Pembahasan A. Tinjauan tentang Kesulitan Belajar pada Siswa Sekolah Dasar Kesulitan belajar merupakan permasalahan yang dihadapi individu berkaitan dengan kegiatan belajar. Menurut (Grossman, 2001) kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana prestasi tidak tercapai sesuai dengan kriteria standar yang telah ditetapkan. Senada dengan hal tersebut, Sugihartono, dkk. (2007:149) menjelaskan bahwa kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada peserta didik yang ditandai dengan adanya prestasi belajar yang rendah atau di bawah norma yang telah ditetapkan. Menurut Burton (Makmun, 2007: ) bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar jika individu tersebut menunjukkan kegagalan (failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar tersebut adalah sebagai berikut : 1. Siswa dikatakan gagal jika dalam waktu tertentu siswa tersebut tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan (level of mastery) minimal dalam pelajaran tertentu. Batas minimal nilai lulus adalah angka 6 atau 60 atau C (60% dari tingkat ukuran yang diharapkan). Siswa yang mengalami hal ini dikategorikan dalam lower group. 2. Siswa dikatakan gagal jika tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya (berdasarkan inteligensi, bakat). Siswa ini diprediksikan mampu mengerjakannya namun ternyata tidak sesuai dengan kemampuannya, sehigga siswa ini dikategorikan dalam underachievers. 3. Siswa dikatakan gagal jika tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan termasuk penyesuaian sosial sesuai dengan fase perkembangan tertentu. Siswa seperti ini dapat dikategorikan ke dalam slow learners. 4. Siswa dikatakan gagal jika tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan pada tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat dikategorikan ke dalam slow learners atau immature (belum matang), sehingga mungkin harus mengulang pelajaran. Senada dengan hal tersebut, Suryabrata (2007) mengemukakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat diketahui melalui kriteria yang didasarkan pada : 4

5 1. Grade level, terjadi pada siswa yang tidak naik kelas hingga dua kali 2. Age level, terjadi pada siswa yang usianya tidak sesuai dengan kelasnya, misal kelas 4 tapi usianya 13 tahun 3. Intelligensi level, terjadi pada siswa yang underachievers 4. General level, terjadi pada siswa yang secara umum dapat mencapai prestasi tetapi pada beberapa mata pelajaran hasilnya dibawah standar. Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli tentang pengertian kesulitan belajar, maka dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada individu dimana prestasi belajar tidak sesuai dengan kriteria standar yang telah ditetapkan. Kesulitan belajar tidak hanya dialami oleh orang dewasa saja tetapi dialami oleh semua peserta didik termasuk siswa sekolah dasar. Kesulitan belajar yang dialami oleh siswa sekolah dasar lebih kompleks, sehingga dapat menyebabkan adanya perilaku bermasalah yang dimunculkan siswa sekolah dasar. Campbell (2000) berpendapat bahwa istilah perilaku bermasalah digunakan untuk mengindikasikan membesarnya frekuensi dan intensitas dari perilaku tertentu, baik pada situasi belajar atau bukan sampai pada tingkatan yang mengkhawatirkan. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu adanya identifikasi yang menyebabkan adanya kesulitan belajar. Menurut Blassic & Jones (Sugihartono, dkk., 2007:153) bahwa karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dapat ditunjukkan dalam karakteristik behavioral, fisikal, bicara dan bahasa, serta kemampuan intelektual dan prestasi belajar. Sugihartono (2007:154) lebih lanjut menjelaskan tentang ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan belajar dan hal ini yang menjadi indikator kesulitan belajar, adalah : 1. Prestasi belajar yang rendah, ditandai dengan adanya nilai yang diperoleh di bawah standar yang telah ditetapkan (di bawah nilai 6), mendapatkan rangking yang terakhir di kelasnya 2. Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, ditandai dengan sering mengikuti les tambahan tetapi hasilnya tidak maksimal 3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar maupun terlambat datang ke sekolah 5

6 4. Menunjukkan sikap yang tidak peduli dalam mengikuti pelajaran, ditandai dengan mengobrol dengan teman ketika proses pelajaran berlangsung, makan di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran 5. Menunjukkan perilaku yang menyimpang, seperti suka membolos sekolah, keluar masuk kelas ketika mengikuti pelajaran 6. Menunjukkan adanya gejala emosional yang menyimpang, misalnya mudah marah, pemurung, teriak-teriak ketika mengikuti pelajaran dan sebagainya. Pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas 1, 2, 3) yang mengalami kesulitan belajar, sering ditunjukkan dengan lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar. Hal ini dikarenakan bahwa siswa sekolah dasar kelas rendah masih membutuhkan penyesuaian dirinya setelah mereka melewati pendidikan di Taman Kanak-kanak. Sedangkan untuk siswa sekolah dasar kelas tinggi (kelas 4, 5, 6) sering menunjukkan adanya hasil belajar yang rendah, menunjukkan perilaku yang menyimpang (tidak mengerjakan tugas-tugas belajar, suka berjalan-jalan di dalam kelas, suka membolos, suka menganggu teman), Siswa yang mengalami kesulitan belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari internal maupun eksternal Faktor-faktor internal yang mempengaruhi kesulitan belajar pada anak sekolah dasar menurut Dimyati & Mudjiono (Sugihartono, dkk., 2007:156) adalah motivasi belajar yang rendah, sikap dan kebiasaan belajar yang kurang baik, konsentrasi belajar yang rendah, kemampuan intelektual yang rendah, rasa percaya diri anak yang rendah. Sedangkan faktorfaktor ekternal yang mempengaruhi terhadap proses belajar pada anak, antara lain : sarana dan prasarana yang kurang mendukung, kurikulum sekolah, kebijakan penilaian, dan lingkungan sosial siswa di sekolah. Berdasarkan uraian tentang kesulitan belajar pada siswa sekolah dasar, maka indikator kesulitan belajar siswa sekolah dasar adalah prestasi belajar yang menurun, hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, lamban dalam mengerjakna tugas, menunjukkan sikap yang tidak peduli pada mata pelajaran, menunjukkan perilaku yang menyimpang, dan menunjukkan gejala emosional yang menyimpang. 6

7 B. Tinjauan tentang Model SPICC (Sequentially Planned Integrative Counselling for Children) Model SPICC merupakan hal yang baru bagi seorang konselor di Indonesia, terlebih dalam kaitannya dengan memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa sekolah dasar. Dalam model SPICC memuat lima pendekatan yang digunakan melalui lima fase. Fase 1 menggunakan Client Centered Therapy, fase 2 dengan pendekatan Gestalt Therapy, fase 3 Narrative Therapy, fase 4 Cognitive Behavioral Therapy, dan fase 5 Behavior Therapy. Model SPICC merupakan model yang bersifat integratif karena didalamnya menggunakan sejumlah pendekatan yang sesuai diterapkan pada anak-anak (termasuk siswa SD). Menurut Geldard (2011, 99) bahwa model SPICC sesuai dengan teori perubahan yaitu menggunakan strategi mendampingi anak-anak secara aktif untuk menggali dunia internal dan eksternal mereka secara kreatif dan eksperensial. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam model SPICC ini mempunyai tujuan tertentu selama proses konseling. Pada fase 1 yang menggunakan terapi Berpusat pada Konseli (Client Centered Therapy) bertujuan untuk membantu anakanak agar bergabung dan dapat menceritakan tentang mereka sendiri. Terapi Gestalt pada fase 2 bertujuan untuk menambah kesadaran dan membantu anakanak berhubungan dengan emosi. Fase 3 yang menggunakan terapi Naratif bertujuan untuk membantu anak-anak mengubah pandangannya mengenai dirinya sendiri. Terapi Cognitive Behavioral yang digunakan pada fase 4 dan terapi Behavioral (fase 5) bertujuan untuk menghasilkan perubahan dalam cara berpikir dan perilaku anak-anak. Lebih lanjut akan dikemukan secara rinci tentang pendekatan yang digunakan dalam model SPICC. Geldard (2011, 107) mengemukakan bahwa penggunaan lima pendekatan tersebut digambarkan seperti spiral, sehingga dalam setiap fase mempunyai tujuan yang berbeda dan pada akhirnya membuat anakanak bersikap bebas di sekitar spiral. 7

8 Fase 1 : Terapi yang Berpusat pada Konseli (Client Centered Therapy) Pada fase ini, proses yang terjadi pada diri anak-anak adalah mengenai hubungan yang diciptakan konselor sehingga diharapkan anak-anak dapat menceritakan tentang kisah ataupun bercerita mengenai dirinya sendiri. Oleh karena itu, proses tersebut merupakan fase penciptaan hubungan yang baik antara konselor dengan konseli. Pada terapi yang Berpusat pada Konseli, seorang konselor memandang anak-anak tanpa syarat (unconditional positive regards). Menurut Rogers (Corey, 2008:251) bahwa unconditional positive regards merupakan penerimaan dan kepedulian konselor terhadap konseli. Dengan demikian akan tercipta komunikasi yang menunjukkan kepedulian dan tidak adanya penilaian konselor terhadap pikiran maupun perasaan yang dialami konseli. Tujuan utama pada fase ini adalah anak-anak mampu dan bersedia (tanpa adanya paksaan) bercerita tentang kondisi yang sedang dialaminya. Anak-anak diajak dan didorong untuk menceritakan kisah mereka baik secara langsung maupun tidak langsung melalui permainan atau aktivitas yang menggunakan media (Geldard, 2011:108). Sehingga seorang konselor diharapkan dapat menciptakan pembangunan rapport yang baik dengan anak-anak. Jika penciptaan hubungan yang baik antara konselor dengan konseli, maka anak-anak dapat dengan leluasa bercerita mengenai mereka sendiri tanpa dipengaruhi ataupun dipaksa oleh orang lain. Fase 2 : Terapi Gestalt Terapi Gestalt fokus utamanya adalah pada eksplorasi eksperensial dunia internal dan eksternal anak-anak dan didasarkan pada tanda-tanda saat perubahan terjadi sebagai hasil dari kesadaran yang meningkat, memberikan cara yang paling sesui untuk perubahan pada fase ini (Geldard, 2011:109). Fase ini merupakan kelanjutan dari fase 1, sehingga saat anak-anak sudah merasa aman dan nyaman konselor, mereka akan melanjutkan cerita tentang dirinya dan mulai nampak kesadaran terhadap kondisinya. Pada dasarnya terapi Gestalt merupakan eksistensial dari permasalahan yang saat ini dan sekarang (here and now) dengan mementingkan peranan dialog. Corey (2008, 282) menjelaskan bahwa dalam terapi Gestalt mementingkan kesadaran tentang dirinya sendiri, tanggung jawab akan pilihan-pilihannya, kontak dengan lingkungan, penerimaan diri dan kemampuan dalam berinteraksi. 8

9 Berdasarkan hal tersebut, maka pada fase ini diharapkan anak-anak dapat memiliki kesadaran tentang dirinya sendiri dan konselor mengarahkan agar mereka dapat menerima dirinya serta dapat bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya. Fase 3 : Terapi Narative Fokus pada fase ini adalah anak-anak dapat mengembangkan perspektif atau pandangan yang berbeda mengenai dirinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri. Menurut Geldard (2011, 111) terapi naratif didasarkan pada konsep yang disebut sebagai penceritaan. Sehingga dalam fase ini, anak-anak akan lebih bercerita tentang dirinya sendiri yang meliputi berbagai hal. Cerita yang dikemukakan oleh anak-anak dapat berupa cerita lama tentang dirinya dan berkelanjutan dengan adanya cerita baru tentang keinginan maupun harapan yang diinginkan. Banyak teknik maupun strategi yang digunakan dalam terapi naratif, misal dengan menggunakan permainan pada bak pasir, membuat karya dengan tanah liat, atau bermain boneka. Fase 4 : Terapi Cognitive Behavioral Pendekatan Cognitive Behavioral menurut Corey (2008, 338) pada intinya membantu individu agar dapat mengarahkan perilaku dirinya sendiri. Dalam pendekatan ini bukan hanya perilaku saja yang perlu diarahkan tetapi juga kognitif individu yang perlu diubah. Pada proses konseling sebelumnya dapat digambarkan jika anak-anak dapat mengurangi stres, rasa cemas dan emosi yang lainnya, tetapi tetap saja cara berpikir dan perilaku yang ditunjukkan belum terarah. Oleh karena itu, fase ini bertujuan agar anak-anak didorong dan diarahkan untuk mengeksplorasi diri dan pilihan-pilihannya yang nantinya dapat membentuk pikiran serta perilaku yang diinginkan. Poin terpenting menurut Geldard (2011, 112) adalah tanpa fase restrukturisasi kognitif, anak-anak cenderung mengulang kembali perilaku yang dulu yang berdampak pada emosional yang berulang. Fase 5 : Terapi Behavioral Fase terakhir yang menggunakan pendekatan Behavioral bertujuan agar anak harus berlatih, bereksperimen, dan mengevaluasi perilaku baru yang telah disepakati (Geldard, 2011:113). Perilaku baru inilah yang nantinya akan ditunjukkan oleh anak sehingga anak menjadi lebih percaya diri. Berdasarkan uraian tentang tahapan atau fase-fase dalam model SPICC dapat disimpulkan bahwa proses konseling yang berlangsung diharapkan dapat 9

10 berkesinambungan dengan tujuan tertentu di setiap tahapannya. Tujuan tersebut terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam setiap fase. C. Model SPICC untuk Mengurangi Kesulitan Belajar pada Siswa Sekolah Dasar Peranan konselor dalam mengurangi kesulitan belajar pada siswa sekolah dasar dengan menggunakan model SPICC dapat diuraikan seperti berikut. Fase 1 pendekatan Client Centered Therapy Pada fase ini, konselor menciptakan hubungan yang baik dengan siswa, sehingga siswa merasa nyaman dan aman untuk mengikuti proses konseling. Pendekatan yang digunakan pada fase ini bertujuan agar siswa dapat bercerita tentang dirinya, termasuk hambatan yang sedang dialami. Peran konselor memberikan kesempatan sebebas-bebasnya pada siswa untuk bercerita tentang dirinya sendiri termasuk kesulitan belajar yang dialami. Konselor memandang siswa apa adanya sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Dengan siswa dapat bercerita tentang dirinya maka siswa merasa lebih baik atau siswa merasa senang dan lega. Hal ini ditunjukkan siswa merasa bahwa konselor memang mendengarkan cerita yang disampaikan dan menerima keberadaan siswa secara utuh. Fase 2 pendekatan Gestalt Fase berikut merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya, pendekatan yang digunakan adalah Gestalt Therapy. Pada fase ini, konselor memberikan stimulasi agar siswa dapat lebih lanjut bercerita tentang kesulitan belajar yang dialami. Fase ini menumbuhkan kesadaran pada siswa terhadap dirinya dan kesulitan belajar. Konselor mendorong siswa untuk menemukan kesulitan belajar yang dialami termasuk apa saja yang dilakukan ketika menghadapi hal tersebut. Terkadang ketika siswa menceritakan permasalahannya tersebut menunjukkan resistensi dan membelokkan perbincangan yang sedang berlangsung. Jika hal tersebut terjadi, maka peran konselor mencoba membantu siswa dengan permainan dialog. Pendekatan pada fase ini lebih mementingkan tentang adanya permainan dialog. Oleh karena itu, peran konselor sangat diperlukan agar siswa dapat menemukan kesulitan belajar yang dialami dan memunculkan kesadaran terhadap dirinya untuk mencoba mengidentifikasi serta strategi yang telah digunakan ketika menghadapi permasalahan tersebut. 10

11 Fase 3 pendekatan Narative Pada fase ini, siswa dibantu konselor untuk mengembangkan perspektif atau pandangan yang berbeda terhadap dirinya. Dalam pendekatan ini, konselor menggunakan berbagai teknik ketika membantu siswa. Strategi yang dapat digunakan antara lain permainan dalam bak pasir, bermain peran, bermain boneka, maupun dengan berbagai media (gambar, poster, komik). Tujuan utama pada pendekatan fase ini adalah siswa dapat menemukan kesulitan belajar yang dialami dan kemudian dapat semakin lebih jelas dengan kesulitan belajar tersebut. Misal, siswa merasa kesulitan belajar karena lamban dalam mengerjakan tugas, dengan bantuan konselor ketika bermain peran, siswa semakin jelas bahwa perilakunya yang lamban dalam mengerjakan tugas menjadi kesulitan dalam belajarnya. Fase 4 pendekatan Cognitive Behavioral Fase berikut siswa diberikan stimulasi untuk mengeksplorasi dirinya dengan pilihan-pilihan pikiran maupun perilaku yang akan dimunculkan. Siswa diberikan keyakinan tentang pikiran dan perilaku yang dipilih untuk mengatasi kesulitan belajar. Jika hanya perilaku saja yang diubah tidak akan berdampak baik dalam mengatasi kesulitan belajar, maka perlu juga pikiran siswa diubah. Tujuan pada fase ini adalah membantu siswa untuk dapat mengubah pikiran dan perilaku dalam mengatasi kesulitan belajar. Siswa dibimbing agar dalam mengatasi kesulitan belajar yang telah dilakukan perlu dipertahankan dan dikembangkan, sehingga pikiran siswa untuk mencapai tujuan tersebut juga perlu bimbingan dari konselor. Fase 5 pendekatan Behavioral Fase terakhir yaitu dengan menggunakan pendekatan behavioral. Dalam fase ini siswa berlatih untuk merasakan dan mengevaluasi perilakunya yang baru. Jika hanya berhenti pada fase keempat saja, maka siswa belum tentu untuk menerapkan perilaku yang telah diinginkan, jadi hanya sebatas pada pikiran saja. Padahal siswa perlu menerapkan perubahan perilaku yang baru sehingga siswa merasakan adanya perubahan dalam dirinya ketika dapat mengatasi kesulitan belajar. Perubahan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan perilaku yang baru dan pada akhirnya dapat menghasilkan rewards. 11

12 Penutup Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka disimpulkan bahwa upaya konselor dalam mengurangi kesulitan belajar pada siswa SD dapat menggunakan model SPICC. Dalam model SPICC ini terdapat lima pendekatan yang integratif dan saling berkesinambungan dalam setiap tahapannya. Penggunaan pendekatan di setiap fasenya mempunyai tujuan yang berbeda, hal ini terkait dengan tujuan pada setiap pendekatan yang digunakan. Fase 1 menggunakan pendekatan Client Centered Therapy. Pada fase ini, konselor memulai konseling dengan menciptakan hubungan psikologis yang baik kepada siswa. Konselor ikut terlibat ketika siswa menceritakan tentang dirinya dan kesulitan belajar yang dialami. Sehingga siswa dapat merasa nyaman dan aman untuk mengikuti konseling. Fase 2 menggunakan pendekatan Gestalt, tujuan utama fase ini konselor dapat membantu siswa untuk memunculkan kesadaran dan mengenali kesulitan belajar yang dialami. Fase 3 menggunakan terapi Naratif, tujuannya adalah konselor membantu siswa untuk merekonstruksi dan semakin jelas mengenali (mengidentifikasi) kesulitan belajar yang dialami. Fase 4, dengan pendekatan Cognitive Behavioral, yang bertujuan agar siswa dapat merubah pikiran dan perilaku yang diubah terkait dengan mengurangi kesulitan belajarnya. Fase 5 menggunakan pendekatan Behavioral, tujuan utamanya siswa dapat merasakan dan menindaklanjuti perilaku yang baru yaitu perilaku dalam mengurangi kesulitan belajar. 12

13 Daftar Pustaka Campbell, S.B. Shaw, D.S., Gilliom, M Early Externalizing Behavior Problems : Toddlers and Preschoolers at Risk for Later Maladjustment. Journal of Development and Psychopathology, Vol. 12, Corey, Gerald Theory & Practice of Group Counseling, Seventh Edition. USA : Thomson Brooks/Cole. Djiwandono, S.E.W Konseling dan Terapi Dengan Anak dan Orangtua. Jakarta: Grasindo. Geldard, K. & Geldard, D Counseling Children : A Practical Introduction. New Delhi : Sage Publications Konseling Anak-anak: Panduan Praktis (Terjemahan). Edisi Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Grossman Family Matters : The Impact of Learning Disabilities. Article. Tersedia : (11 Januari 2008) Jacobs, Ed E., Masson, R.L, & Harvill, R.L Group Counseling : Strategies & Skills, Fifth Edition. USA: Thomson Brooks/Cole. Makmun, Abin S Psikologi Kependidikan (Perangkat Sistem Pengajaran Modul). Bandung : Remaja Rosdakarya. Santrock, J.W Perkembangan Anak Edisi 11 (Terjemahan). Jakarta : Erlangga. Sobur, A Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia. Sugihartono, dkk Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press. Yusuf, Syamsu LN, & Juntika, A Landasan Bimbingan dan Konseling.. Bandung: Remaja Rosdakarya. 13

DISRUPTIVE BEHAVIOR : APA DAN BAGAIMANA UPAYA MENGURANGINYA?

DISRUPTIVE BEHAVIOR : APA DAN BAGAIMANA UPAYA MENGURANGINYA? DISRUPTIVE BEHAVIOR : APA DAN BAGAIMANA UPAYA MENGURANGINYA? Isti Yuni Purwanti Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Kesehatan mental sangat penting diberikan

Lebih terperinci

LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR DALAM MENGURANGI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR

LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR DALAM MENGURANGI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR DALAM MENGURANGI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR Isti Yuni Purwanti Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Tujuan penelitian

Lebih terperinci

LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENGURANGI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR

LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENGURANGI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENGURANGI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR Isti Yuni Purwanti Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Latar belakang

Lebih terperinci

KESULITAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK

KESULITAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK KESULITAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK Agus Triyanto, M.Pd. Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2011 GURU SEKOLAH DASAR SISWA-SISWA SEKOLAH

Lebih terperinci

PELATIHAN BAGI GURU DALAM MENERAPKAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK (GROUP ACTIVITY) UNTUK MENGATASI BURNOUT BERSEKOLAH PADA SISWA SEKOLAH DASAR

PELATIHAN BAGI GURU DALAM MENERAPKAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK (GROUP ACTIVITY) UNTUK MENGATASI BURNOUT BERSEKOLAH PADA SISWA SEKOLAH DASAR PELATIHAN BAGI GURU DALAM MENERAPKAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK (GROUP ACTIVITY) UNTUK MENGATASI BURNOUT BERSEKOLAH PADA SISWA SEKOLAH DASAR Oleh Muh Nur Wangid Isti Yuni Purwanti Sugiyatno Kartika Nur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA 116 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Proses Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam dengan Teknik Permainan Dialog untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa MI Ma arif NU Pucang Sidoarjo Dalam bahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guru dihadapkan pada karakterisktik siswa yang beraneka ragam dalam kegiatan pembelajaran. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajar secara lancar dan

Lebih terperinci

Resume Diagnosti kesulitan Belajar

Resume Diagnosti kesulitan Belajar Resume Diagnosti kesulitan Belajar Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau atau mencapai prestasi yang semestinya. Ia diprediksi akan dapat mengejakannya atau mencapai

Lebih terperinci

PEMAHAMAN PENDEKATAN KONSELING MAHASISWA BK FIP UNY SEBAGAI CALON KONSELOR JURNAL SKRIPSI. Oleh Siti Dinar Rohmawati NIM.

PEMAHAMAN PENDEKATAN KONSELING MAHASISWA BK FIP UNY SEBAGAI CALON KONSELOR JURNAL SKRIPSI. Oleh Siti Dinar Rohmawati NIM. PEMAHAMAN PENDEKATAN KONSELING MAHASISWA BK FIP UNY SEBAGAI CALON KONSELOR JURNAL SKRIPSI Oleh Siti Dinar Rohmawati NIM. 11104244043 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa kanak-kanak, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental yang sangat pesat. Hurlock (1997) mengatakan bahwa masa golden age atau masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan dapat mencetak

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan dapat mencetak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan dapat mencetak peserta didik yang berkualitas dari segi jasmani maupun rohani, mandiri sesuai dengan tingkat

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA RPP. PRAKTIKUM BIMBINGAN DAN KONSELING BELAJAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA RPP. PRAKTIKUM BIMBINGAN DAN KONSELING BELAJAR RPP/PBK230/30 Revisi : 02 8 Maret 2011 Hal 1 dari 10 Nama Matakuliah : Praktikum Bimbingan dan Konseling Belajar Kode Matakuliah : PBK 230 Jumlah SKS : 2 SKS Pertemuan ke : 1-2 Jumlah SKS : 2 (dua) SKS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Palangkaraya, 09 Maret Penulis

KATA PENGANTAR. Palangkaraya, 09 Maret Penulis KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya jualah penulisan makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Karena dengan pertolongan-nya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

1. PENDAHULUAN. sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Belajar merupakan permasalahan yang umum dibicarakan setiap orang, terutama yang terlibat dalam dunia pendidikan. Belajar menekankan pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Motivasi Belajar a. Pengertian Motivasi Belajar Motivasi berasal dari kata motif, dalam bahasa inggris adalah motive atau motion, lalu motivation yang berarti gerakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Peningkatan kemajuan teknologi merupakan suatu proses yang terjadi dalam

1. PENDAHULUAN. Peningkatan kemajuan teknologi merupakan suatu proses yang terjadi dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kemajuan teknologi merupakan suatu proses yang terjadi dalam kehidupan dikarenakan adanya percepatan arus globalisasi yang dapat memberikan nilai tambah tersendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan adalah serangkaian proses progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman (Hurlock, 1980: 2). Manusia selalu dinamis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengambangkan

Lebih terperinci

Keefektifan Teknik Self Instruction dalam Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Efikasi Diri Sosial Siswa SMKN 2 Malang

Keefektifan Teknik Self Instruction dalam Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Efikasi Diri Sosial Siswa SMKN 2 Malang 172 Jurnal Jurnal Kajian Bimbingan Kajian Bimbingan dan Konseling, dan Konseling 1, (4), 2016, Vol. 172 178 1, No. 4, 2016, hlm.172 178 Tersedia online di http://journal.um.ac.id/index.php/bk ISSN: 2503-3417

Lebih terperinci

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling EFEKTIVITAS PENGGUNAAN KONSELING MODEL SEQUENTIALLY PLANNED INTEGRATIVE COUNSELING FOR CHILDREN (SPICC) UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF KORBAN BULLYING (Stusi Eksperimen Kuasi Pada Siswa Kelas IV SD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa dimana setiap individu mengalami perubahan yang drastis baik secara fisik, psikologis, maupun lingkup sosialnya dari anak usia

Lebih terperinci

PLAY THERAPY: SEBUAH INOVASI LAYANAN KONSELING BAGI ANAK USIA DINI. Said Alhadi 1) (Universitas Ahmad Dahlan)

PLAY THERAPY: SEBUAH INOVASI LAYANAN KONSELING BAGI ANAK USIA DINI. Said Alhadi 1) (Universitas Ahmad Dahlan) [TI.02.05] PLAY THERAPY: SEBUAH INOVASI LAYANAN KONSELING BAGI ANAK USIA DINI Said Alhadi 1) (Universitas Ahmad Dahlan) said.alhadi1957@gmail.com ABSTRAK Anak usia dini adalah individu yang memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain

BAB I PENDAHULUAN. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan

Lebih terperinci

2. Faktor pendidikan dan sekolah

2. Faktor pendidikan dan sekolah BAB IV ANALISIS APLIKASI TERAPI LIFE MAPPING DENGAN PENDEKATAN COGNITIVE BEHAVIOR DALAM MENANGANI SISWI YANG MEMBOLOS DI SMA AL-ISLAM KRIAN SIDOARJO A. Faktor yang menyebabkan siswi sering membolos di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa tidak hanya didukung oleh pemerintah yang baik dan adil, melainkan harus ditunjang pula oleh para generasi penerus yang dapat diandalkan.

Lebih terperinci

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Pendahuluan Setiap anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Proses utama perkembangan anak merupakan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan hidup manusia, masa ini disebut masa keemasan

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan hidup manusia, masa ini disebut masa keemasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak dengan rentang usia 0-6 tahun, merupakan masa yang sangat penting bagi perkembangan hidup manusia, masa ini disebut masa keemasan atau The Golden Age. Dalam

Lebih terperinci

Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Gender

Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Gender Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Gender oleh : Sigit Sanyata Pelatihan Sadar Gender Untuk Mengoptimalkan Layanan Bimbingan dan Konseling Bagi Guru Bimbingan dan Konseling di Kabupaten Kulonprogo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dinamis dalam diri (inner drive) yang mendorong seseorang. arti tidak memerlukan rangsangan (stimulus) dari luar dirinya,

BAB 1 PENDAHULUAN. dinamis dalam diri (inner drive) yang mendorong seseorang. arti tidak memerlukan rangsangan (stimulus) dari luar dirinya, 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Motivasi berasal dari kata motif. Motif artinya keadaan dinamis dalam diri (inner drive) yang mendorong seseorang berbuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING Setelah menyajikan data hasil lapangan maka peneliti melakukan analisis

Lebih terperinci

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Intervensi Kelompok (pengantar II) Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Konseling Kelompok Salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik dan pengalaman belajar

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR A. DEFINISI KARIR DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR Menurut Sugihartono dkk (2007: 50), diagnosis kesulitan belajar dapat diartikan sebagai proses menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG DAN MASALAH 1. Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sangat tergantung pada bantuan orang-orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sri Murni, 2014 Program bimbingan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sri Murni, 2014 Program bimbingan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari Guidance dan Counseling dalam bahasa Inggris. Istilah ini mengandung arti : (1) mengarahkan (to direct),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia yang didapatkan lewat sekolah. Setiap orang yang bersekolah harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang dihadapi. Untuk mempertegas pengertiannya, berikut adalah berbagai pengertian

BAB II KAJIAN TEORI. yang dihadapi. Untuk mempertegas pengertiannya, berikut adalah berbagai pengertian 11 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Layanan Bimbingan Siswa (Studi Kasus) Layanan dan bimbingan siswa pada hakekatnya merupakan sebuah bantuan yang diberikan konselor kepada siswa untuk membantu menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9.

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bidang pendidikan telah mengawali masuknya konseling untuk pertama kalinya ke Indonesia. Adaptasi konseling dengan ilmu pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

formal, non formal, dan informal. Taman kanak-kanak (TK) adalah pendidikan

formal, non formal, dan informal. Taman kanak-kanak (TK) adalah pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses yang terus menerus berlangsung dan menjadi dasar bagi kelangsungan kehidupan manusia. Undangundang nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Sistem Pendidikan Nasional). Masa kanak-kanak adalah masa Golden

BAB I PENDAHULUAN. tentang Sistem Pendidikan Nasional). Masa kanak-kanak adalah masa Golden BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu pendidikan anak usia dini yang berada pada pendidikan formal (UU RI 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Kehidupan remaja sangat menarik untuk diperbincangkan. Remaja merupakan generasi penerus serta calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

32 Pengaruh Penggunaan Teknik Storytelling Dalam Bimbingan Kelompok Terhadap Kemampuan Ber...

32 Pengaruh Penggunaan Teknik Storytelling Dalam Bimbingan Kelompok Terhadap Kemampuan Ber... 32 Pengaruh Penggunaan Teknik Storytelling Dalam Bimbingan Kelompok Terhadap Kemampuan Ber... PENGARUH PENGGUNAAN TEKNIK STORYTELLING DALAM BIMBINGAN KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI ANAK (STUDI

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) KURIKULUM TANGGAL REVISI : 05 FEBRUARI 2015 RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Program Studi : Pendidikan Mesin Matakuliah : Psikologi Pendidikan Kode Matakuliah : 90420302 Semester : 2 SKS : 3 Matakuliah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS MODEL KONSELING SPICC UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK USIA DINI

EFEKTIVITAS MODEL KONSELING SPICC UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK USIA DINI Efektivitas Model Konseling (Filastri Kurniasari) 194 EFEKTIVITAS MODEL KONSELING SPICC UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK USIA DINI EFFECTIVENESS SPICC MODEL TO INCREASING EARLY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umbara, Bandung, 2003, hlm Ahmad Juntika Nurihsan dan Akur Sudiarto, Manajemen Bimbingan dan Konseling di

BAB I PENDAHULUAN. Umbara, Bandung, 2003, hlm Ahmad Juntika Nurihsan dan Akur Sudiarto, Manajemen Bimbingan dan Konseling di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karier adalah bagian hidup yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya ketepatan memilih serta menentukan keputusan karier

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik secara fisik, psikologis, dan sosial. Secara sosial, perkembangan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, makhluk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, makhluk yang berkualitas dan merupakan makhluk seutuhnya. Makhluk yang seutuhnya adalah mereka yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Manusia mengalami perkembangan sejak bayi, masa kanak- kanak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dicapai melalui proses belajar baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan merupakan upaya yang dilakukan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan memiliki daya saing. Hal utama yang ingin dicapai dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak, baik di luar dan di dalam sekolah yang berlangsung seumur hidup. Proses

Lebih terperinci

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING ANAK USIA DINI

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING ANAK USIA DINI Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 390-394 Tersedia Online di http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/snbk ISSN 2579-9908 LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING ANAK USIA

Lebih terperinci

Sulit Belajar 09:39:00 AM,

Sulit Belajar 09:39:00 AM, Sulit Belajar 09:39:00 AM, 01.08.2012 A. Kesulitan Belajar. KESULITAN BELAJAR SISWA DAN BIMBINGAN BELAJAR Oleh : Drs. Akhmad Sudrajat,M.Pd. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas. 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam Bab berikut dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan dan pertanyaan penelitian, tujuan peneltian dan manfaat penelitian. A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini merupakan usia yang sangat baik bagi anak-anak untuk. mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Prof. Dr.

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini merupakan usia yang sangat baik bagi anak-anak untuk. mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Prof. Dr. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia dini merupakan usia yang sangat baik bagi anak-anak untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya. Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman, ketua pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah pada dasarnya merupakan lingkungan sosial yang berfungsi sebagai tempat bertemunya individu satu dengan yang lainnya dengan tujuan dan maksud yang

Lebih terperinci

PERSPEKTIF TERPADU: ALTERNATIF TERBAIK ATAS KONSELING KONVENSIONAL. Wening Cahyawulan 1 Arga Satrio Prabowo 2

PERSPEKTIF TERPADU: ALTERNATIF TERBAIK ATAS KONSELING KONVENSIONAL. Wening Cahyawulan 1 Arga Satrio Prabowo 2 140 Perspektif Terpadu: Alternatif Terbaik atas Konseling Konvensional PERSPEKTIF TERPADU: ALTERNATIF TERBAIK ATAS KONSELING KONVENSIONAL Wening Cahyawulan 1 Arga Satrio Prabowo 2 Abstrak Berbagai teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya, masyarakat yang sejahtera memberi peluang besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya, masyarakat yang sejahtera memberi peluang besar bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai fungsi ganda yaitu untuk pengembangan individu secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua fungsi ini saling menunjang dan

Lebih terperinci

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TEMAN SEBAYA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK Nelly Oktaviyani (nellyokta31@yahoo.com) 1 Yusmansyah 2 Ranni Rahmayanthi Z 3 ABSTRACT The purpose of this study

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subjek Penelitian Subyek diteliti oleh penulis berjumlah 3 (tiga) siswa yaitu MD, FL dan BS. Ketiga siswa ini mempunyai nilai rata-rata cukup baik. Ketiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya dilihat dari sejauh mana proses pengajarannya saja, tetapi ada tiga bidang. yang harus diperhatikan, diantaranya 1

BAB I PENDAHULUAN. hanya dilihat dari sejauh mana proses pengajarannya saja, tetapi ada tiga bidang. yang harus diperhatikan, diantaranya 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah aset yang penting didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena bagaimanapun tidak ada bangsa yang maju tanpa diiringi pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di suatu lembaga sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan sebagai masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komunikasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stres merupakan fenomena umum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa tuntutan dan tekanan yang

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Setelah peneliti memaparkan data dan menghasilkan temuan temuan, pelajaran Matematika pada materi pembagian

BAB V PEMBAHASAN. Setelah peneliti memaparkan data dan menghasilkan temuan temuan, pelajaran Matematika pada materi pembagian 95 BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan Temuan Penelitian Setelah peneliti memaparkan data dan menghasilkan temuan temuan, maka kemudian mengkaji hakikat dan makna temuan penelitian. Masing masing temuan penelitian

Lebih terperinci

MENGATASI PERILAKU MEMBOLOS MELALUI PENDEKATAN KONSELING REALITA PADA SISWA KELAS VII Di MTS NU UNGARAN. Oleh M. Andi Setiawan, M.

MENGATASI PERILAKU MEMBOLOS MELALUI PENDEKATAN KONSELING REALITA PADA SISWA KELAS VII Di MTS NU UNGARAN. Oleh M. Andi Setiawan, M. MENGATASI PERILAKU MEMBOLOS MELALUI PENDEKATAN KONSELING REALITA PADA SISWA KELAS VII Di MTS NU UNGARAN Oleh M. Andi Setiawan, M.Pd ABSTRAK Penelitian ini berdasarkan atas fenomena yang terjadi di lapangan

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SELF-MANAGEMENT UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU DISIPLIN DATANG TEPAT WAKTU KE SEKOLAH

PENERAPAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SELF-MANAGEMENT UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU DISIPLIN DATANG TEPAT WAKTU KE SEKOLAH 53 PENERAPAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SELF-MANAGEMENT UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU DISIPLIN DATANG TEPAT WAKTU KE SEKOLAH (Single Subject Research 1 Siswa Kelas X di SMK Negeri 30

Lebih terperinci

Peran Guru Kelas Dalam Menangani Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar Melalui Layanan Bimbingan Belajar (Dra. Samisih M.Pd.)

Peran Guru Kelas Dalam Menangani Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar Melalui Layanan Bimbingan Belajar (Dra. Samisih M.Pd.) PERAN GURU KELAS DALAM MENANGANI KESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR MELALUI LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR Dra.Samisih M.Pd. ABSTRAK Anak anak usia sekolah dasar menganggap bahwa belajar itu harus di sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan manusia lainnya. Ketika seorang anak masuk dalam lingkungan sekolah, maka anak berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap individu. Sejak lahir, setiap individu sudah membutuhkan layanan pendidikan. Secara formal, layanan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa di sekolah. Istilah belajar sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat umum, namun barangkali

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN BEHAVIORAL-TEKNIK TOKEN EKONOMI UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU DISIPLIN SISWA PADA SITUASI PEMBELAJARAN DI DALAM KELAS

PENERAPAN PENDEKATAN BEHAVIORAL-TEKNIK TOKEN EKONOMI UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU DISIPLIN SISWA PADA SITUASI PEMBELAJARAN DI DALAM KELAS 100 Penerapan Pendekatan Behavioral-teknik Token Ekonomi Untuk Meningkatkan Perilaku Disiplin Siswa... PENERAPAN PENDEKATAN BEHAVIORAL-TEKNIK TOKEN EKONOMI UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU DISIPLIN SISWA PADA

Lebih terperinci

Group COUNSELING NANANG ERMA GUNAWAN

Group COUNSELING NANANG ERMA GUNAWAN Group COUNSELING NANANG ERMA GUNAWAN Manfaat ketua pada sebuah proses kelompok Membantu (help) Mengajar (teach) Mensupervisi (Supervisory) Siapa yang sering menggunakan? Konselor Psikolog Pekerja Sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah diharapkan mampu. memfasilitasi proses pembelajaran yang efektif kepada para siswa guna

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah diharapkan mampu. memfasilitasi proses pembelajaran yang efektif kepada para siswa guna BAB I PENDAHULUAN Pada Bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan asumsi penelitian. A. Latar Belakang Masalah Sebagai lembaga pendidikan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Analisis Kesulitan Siswa Memahami Materi Sistem Persamaan Linear

BAB V PEMBAHASAN. A. Analisis Kesulitan Siswa Memahami Materi Sistem Persamaan Linear BAB V PEMBAHASAN A. Analisis Kesulitan Siswa Memahami Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel pada Kelas VIII G Dalam menganalisis hasil belajar siswa pada materi sistem persamaan linear dua variabel

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. yang diperoleh dari penyajian data adalah sebagai berikut:

BAB IV ANALISIS DATA. yang diperoleh dari penyajian data adalah sebagai berikut: BAB IV ANALISIS DATA Setelah menyajikan data hasil lapangan maka peneliti melakukan analisis data, analisis data ini dilakukan peneliti untuk memperoleh suatu hasil penemuan dari lapangan berdasarkan fokus

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. keefektifan dalam bimbingan dan konseling islam dengan terapi reward berbasis hobi

BAB IV ANALISIS DATA. keefektifan dalam bimbingan dan konseling islam dengan terapi reward berbasis hobi BAB IV ANALISIS DATA Sehubungan dengan penelitian yang bersifat studi kasus khususnya yang meneliti tentang malas belajar seorang siswa, maka untuk mengetahui tingkat keefektifan dalam bimbingan dan konseling

Lebih terperinci

KONSEP BEHAVIORAL THERAPY DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI PADA SISWA TERISOLIR. Dyesi Kumalasari

KONSEP BEHAVIORAL THERAPY DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI PADA SISWA TERISOLIR. Dyesi Kumalasari Konsep Behavioral Therapy KONSEP BEHAVIORAL THERAPY DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI PADA SISWA TERISOLIR Dyesi Kumalasari Dyesi91kumalasari91@gmail.com Abstrak Artikel ini mendiskripsikan tentang

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN DAYA PIKIR ANAK MELALUI PERMAINAN EDUKATIF

UPAYA MENINGKATKAN DAYA PIKIR ANAK MELALUI PERMAINAN EDUKATIF UPAYA MENINGKATKAN DAYA PIKIR ANAK MELALUI PERMAINAN EDUKATIF (Sebuah Penelitian Tindakan Kelas di TK Indria Putra II Semanggi Tahun Ajaran 2010/2011) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Belajar 2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMANDIRIAN MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK ABA 010 CABANG KUOK KABUPATEN KAMPAR

MENINGKATKAN KEMANDIRIAN MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK ABA 010 CABANG KUOK KABUPATEN KAMPAR MENINGKATKAN KEMANDIRIAN MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK ABA 010 CABANG KUOK KABUPATEN KAMPAR Guru TK ABA 010 Cabang Kuok Kabupaten Kampar email: herlinaher@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing.

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia dini merupakan generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing. Untuk mengoptimalkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti melahirkan anak, merawat anak, menyelesaikan suatu permasalahan, dan saling peduli antar anggotanya.

Lebih terperinci

SILABUS. Nomor : 20 Mata Kuliah : Teori Bimbingan & Konseling Kelompok Kode Mata Kuliah : PPB520

SILABUS. Nomor : 20 Mata Kuliah : Teori Bimbingan & Konseling Kelompok Kode Mata Kuliah : PPB520 UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN SILABUS Nomor : 20 Mata Kuliah : Teori Bimbingan & Konseling Kelompok Kode Mata Kuliah : PPB520 Bobot

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS (BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI REALITAS DALAM MENANGANI PERILAKU FIKSASI

BAB IV ANALISIS (BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI REALITAS DALAM MENANGANI PERILAKU FIKSASI BAB IV ANALISIS (BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI REALITAS DALAM MENANGANI PERILAKU FIKSASI PADA ANAK (STUDI KASUS ANAK YANG SELALU BERGANTUNG PADA ORANG LAIN)) A. Analisis Proses Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, baik dari segi spiritual, intelegensi, dan skill. Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang pertama kalinya. Menurut Reiss (dalam Lestari, 2012;4), keluarga adalah suatu kelompok

Lebih terperinci