MORTALITAS EMBRIO DAN DAYA TETAS ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS
|
|
- Farida Sudjarwadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 MORTALITAS EMBRIO DAN DAYA TETAS ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS EMBRYO MORTALITY AND HATCHABILITY OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON THE PATTERNS OF INCUBATOR TEMPERATURE I an Natu Sa diah *, Dani Garnida **, Andi Mushawwir ** Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2015 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Unpad ianna_ns@yahoo.co.id Abstrak Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai menetas, dipengaruhi oleh temperatur. Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan mortalitas embrio dan daya tetas itik lokal (Anas sp.) berdasarkan pola pengaturan temperatur mesin tetas dan pola pengaturan temperatur mesin tetas manakah yang menghasilkan penetasan yang optimal. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 11 April 2015 sampai 10 Mei 2015 di Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Menggunakan 70 butir telur fertil hari ke-7. Sehari sebelum perlakuan telur di candling kembali untuk diketahui fertilitas dan perkembangan embrionya. Pola pengaturan temperatur mesin tetas yaitu T 1 (37,5 o C (hari 1-25)) dan 37 o C (hari 26-28), T 2 (37,5 o C (hari 1-21), 39,5 o C (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5 o C (hari 25) dan 37 o C (hari 26-28)), T 3 37,5 o C (hari 1-21), 40,5 o C (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5 o C (hari 25) dan 37 o C (hari 26-28)). Penelitian menggunakan uji Kruskal-Wallis. Perlakuan Perlakuan pola pengaturan temperatur mesin tetas berbeda nyata terhadap mortalitas embrio dan daya tetas itik lokal (Anas sp.). T 2 lebih efektif dan efisien dalam pencapaian penetasan optimal. Kata kunci: Mortalitas Embrio, Daya Tetas, Itik Lokal, Temperatur Mesin Tetas Abstract Hatching is the process of embryo development in the eggs until they hatch, influenced by temperature. The research was conducted to determine differences of embryonic mortality and hatchability of local ducks (Anas sp.) based on the pattern of incubator temperature setting and which produces the optimum hatching. The research was held on April 11 until May 10, 2015 in the Laboratory of the Poultry Production Faculty of Animal Husbandry Padjadjaran University. Using the 70 fertile eggs in days-7. The day before treatment eggs must be candler again for knowing fertility and embryo development. The patterns setting incubator temperature i.e. T 1 (37,5 o C (days 1-25)) and 37 C (days 26-28), T 2 (37,5 o C (days 1-21), 39,5 o C (22-24 days) for 3 hours per day, 37,5 o C (day 25) and 37 C (days 26-28)), T 3 37,5 o C (days 1-21), 40,5 o C (22-24 days) for 3 hours per day, 37,5 o C ( day 25) and 37 C (days 26-28)). Research using the Kruskal-Wallis test. The patterns of temperature incubation setting significantly different embryonic mortality and hatchability of local ducks (Anas sp.). T 2 is more effective and efficient in achieving optimum hatching. Keywords : Embryo Mortality, Hatchability, Local Duck, Incubator Temperature 1
2 Pendahuluan Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai menetas. Pada dasarnya penetasan telur itik dapat dilakukan secara alami atau buatan (Setioko, 1998). Temperatur adalah salah satu komponen yang terpenting dalam proses penetasan, pembentukan dan perkembangan embrio telur. Faktor keberhasilan penetasan ditentukan oleh tatalaksana pengaturan temperatur yang tepat, kelembaban dan ventilasi udara (Romanoff, 1960; Lundy,1969). Suhu embrio dianggap sebagai faktor penting mempengaruhi perkembangan embrio, daya tetas, dan performa setelah menetas (Lourens dkk., 2005). Embrio sangat sensitif terhadap suhu penetasan yang lebih rendah atau lebih tinggi, suhu penetasan yang lebih rendah akan memperlambat dan semakin tinggi suhu inkubasi akan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan embrio (Ricklefs, 1987 dalam Elsayed, 2009). Suhu dan kelembaban relatif harus diatur selama inkubasi agar kehidupan embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal (Williamson dan Payne, 1993). Pembentukan embrio yang optimal terjadi saat suhu 37,2-39,4 C (Ensminger, dkk., 2004). Pada masa embrio terjadi proses glukoneogenesis, yang penting semasa embrio untuk menyediakan energi bagi morfogenesis sampai menetas (Abbas, 2009). Tingkat metabolisme meningkat seiring dengan peningkatan suhu inkubasi (Nichelmann dkk., 1998). Setiap perubahan suhu inkubasi dapat mempengaruhi ukuran embrio, pertumbuhan organ, tingkat metabolisme, perkembangan fisiologis dan keberhasilan penetasan (Yalcin dan Siegel, 2003). Fisiologis embrio dipengaruhi oleh suhu inkubasi. Suhu inkubasi tinggi secara terus menerus (40,6 o C) antara 16 sampai 18 hari inkubasi berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, pertumbuhan embrio, tekanan parsial CO 2 dalam darah (pco 2 ), tingkat glikogen hati, dan tingkat laktat darah pada titik-titik waktu yang berbeda dibandingkan dengan suhu inkubasi rendah (34,6 o C), (Willemsen, 2010). Selama periode penetasan, embrio mulai menyerap kuning telur dan menggunakan lipid sebagai sumber energi utama, protein dan asam amino sebagai sumber untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan (Speake dkk., 1998.). Mortalitas adalah persentase jumlah telur yang tidak menetas dari total telur yang fertil (Fadhilah, 2007). Mortalitas dapat diketahui setelah dilakukan peneropongan (candling) dan telur yang tidak menetas selama proses penetasan. North (1984) menyatakan bahwa terdapat 4 tahap atau periode kematian embrio, yaitu : Preoviposital mortality yaitu kematian terjadi 2
3 sewaktu telur masih berada di dalam tumbuh induknya; Early-dead embryo yaitu kematian terjadi satu minggu pertama periode inkubasi; Middle mortality yaitu kematian terjadi diantara fase early sampai fase late; Late mortality yaitu kematian terjadi tiga hari terakhir periode inkubasi. Maka dalam penetasan itik, fase early (hari 1-7), fase middle (hari 8-25), fase late (hari 26-28) periode inkubasi. Menurut Wiharto (1988) apabila suhu terlalu rendah umumnya menyebabkan kesulitan menetas dan pertumbuhan embrio tidak normal karena sumber pemanas yang dibutuhkan tidak mencukupi. Sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga DOD yang dihasilkan akan lemah, akibatnya DOD akan mengalami kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002). Periode penetasan mengalami masa kritis pada awal masa pengeraman saat terjadi perkembangan sistem peredaran darah, sedangkan pada masa akhir pengeraman saat terjadi perubahan fisioliogis dari sistem pernafasan alantois menjadi gelembung pernafasan (udara), (North, 1990) Daya tetas adalah persentase jumlah telur yang menetas dari sejumlah telur yang fertil (North, 1978). Faktor faktor yang mempengaruhi daya tetas yaitu teknis pada waktu memilih telur tetas atau seleksi telur tetas (bentuk telur, bobot telur, keadaan kerabang, warna kerabang dan lama penyimpanan) dan teknis operasional dari petugas yang menjalankan mesin tetas (suhu, kelembapan, sirkulasi udara dan pemutaran telur) serta faktor yang terletak pada induk yang digunakan sebagai bibit (Djanah, 1984). Hasil penelitian Elsayed dkk (2009) bahwa peningkatan suhu hari ke dari 37,5 o C menjadi 39,5 o C maupun menjadi 40,7 o C selama 3 jam masa inkubasi yang dilakukan pada strain ayam lokal mesir (Gimmizah dan Mandarah) secara bertahap signifikan (p 0,01) menaikan persentase daya tetas. Collin, dkk. (2005) juga menambahkan manipulasi termal secara signifikan mempengaruhi daya tetas dari kelompok kontrol. Waktu manipulasi termal ini terkait dengan pengembangan sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid untuk mengubah produksi panas respon threshold, dan pengembangan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal untuk menghindari peningkatan respon stres (Minne & Decuypere 1984, Yahav dkk., 2004). Konsentrasi hormon thyroid plasma embrio berkaitan erat dengan daya tetas dan metabolisme (Christenes dkk., 1982 dalam Elsayed, 2009). Berdasarkan hal tersebut maka dimodifikasi untuk diterapkan pada telur itik dengan metode suhu dinaikkan menjadi 39,5 o C dan 40,5 o C selama 3 jam pada hari ke
4 Bahan dan Alat, Objek dan Metode Bahan dan objek penelitian yang digunakan yaitu 450 butir telur tetas itik lokal. Bahan fumigasi mesin tetas yang terdiri dari Formalin 40% dan KMnO 4. Peralatan yang digunakan yaitu mesin tetas otomatis thermohygro digital elektronik sebanyak 3 unit dengan kapasitas 70 butir, candler untuk memeriksa fertilitas dan mortalitas telur dengan cara candling, timbangan digital, alat tulis, dan kamera. Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi : 1) Tahap Persiapan (seleksi telur meliputi bobot telur antara 59,5-70,8 gram, bentuk telur, warna telur, kebersihan telur, kualitas kerabang serta umur telur juga antara 1-3 hari, pembersihan telur, penomoran telur, fumigasi mesin tetas, warming up mesin tetas hingga 37 o C, telur dimasukkan kedalam mesin tetas). 2) Tahap Penelitian Telur dibagi menjadi tiga bagian yang diberi perlakuan yaitu 70 butir telur fertil dari candling hari ke-7 tiap mesin tetas. Telur diputar secara otomatis dari hari ke-2 sampai hari ke-25 dengan frekuensi pemutaran satu jam sekali. Perubahan temperatur (T) penetasan yang dilakukan adalah : T 1 37,5 o C (hari 1-25) dan 37 o C (hari 26-28) T 2 37,5 o C (hari 1-21), 39,5 o C (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5 o C (hari 25) dan 37 o C (hari 26-28) T 3 37,5 o C (hari 1-21), 40,5 o C (hari 22-24) selama 3 jam per hari, 37,5 o C (hari 25) dan 37 o C (hari 26-28). Perlakukan temperatur yang ditingkatkannya suhu dilakukan pada siang hari. Temperatur dinaikkan selama 3 jam dihitung sejak suhu mesin tetas stabil. Kelembaban (RH) mesin tetas selama penetasan yaitu RH 55% (hari 1-14), RH 65% (hari 15-25) dan RH 75% (hari 26-28). Telur di candling pada hari ke-3 dan ke-7 untuk mengetahui telur yang fertil dari jumlah telur yang dieramkan dan hari ke-21 untuk melihat telur fertil dan perkembangan embrio sebelum diberikannya perlakuan. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas embrio fase middle dan fase late serta daya tetas dengan cara : 1) Mortalitas Embrio (%) 4
5 Mortalitas adalah persentase telur yang mati dari sekelompok telur fertil yang ditetaskan. Candling dilakukan pada hari ke-25 untuk menghitung kematian embryo fase tengah (middle) akibat dari perlakuan sedangkan untuk menghitung kematian embryo fase akhir (late) dapat dilihat dari telur yang mati (pipp) sebelum menetas sampai hari ke-28. Mortalitas fase middle (%) = Jumlah embrio mati pada fase middle x 100% Jumlah telur yang fertil Mortalitas fase late (%) = Jumlah embrio mati pada fase late x 100% 2) Daya Tetas (%) Jumlah telur yang hidup fase middle Menghitung jumlah itik yang berhasil menetas dan hidup sampai pulling dari jumlah telur yang fertil hari ke-21. Analisis Statistika Semua parameter yang diukur di analisis dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil dan Pembahasan Mortalitas Embrio Fase Middle Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mortalitas embrio fase middle merupakan banyaknya embrio yang mati diantara fase early sampai fase late. Fase middle pada itik yaitu dari hari ke-8 sampai hari ke-25 inkubasi. Karena perlakuan dilakukan menjelang fase hatcher yaitu pada hari ke inkubasi, maka mortalitas embrio fase middle itu dari banyaknya embrio yang mati akibat temperatur dinaikan selama 3 jam. Data mortalitas embrio fase middle berdasarkan pola pengaturan temperatur mesin tetas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Mortalitas Embrio Fase Middle Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mesin Rata-rata Signifikansi 0,05...%... T 1 59,67 a T 2 37,86 b T 3 47,95 c Keterangan : Rata-rata mortalitas embrio fase middle yang diikuti abjad yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata (P < 0,05). 5
6 Berdasarkan hasil analisis statistik hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata (P < 0,05) terhadap mortalitas embrio fase middle. Rata-rata kematian embrio pada T 1 59,67%, T 2 37,86% dan T 3 47,95%. Artinya dengan suhu tinggi (39,5 o C maupun 40,5 o C) dalam waktu singkat (3 jam) tidak menimbulkan banyaknya embrio yang mati seperti halnya suhu tinggi dalam waktu yang lama atau selama masa pengeraman, bahkan kematian embrio lebih kecil dari temperatur yang tidak di naikkan (T 1 ). Sebab suhu 39,5 o C maupun 40,5 o C masih dalam zona thermoneutral. Ini sesuai dengan pendapat Nichelmann dkk. (1994) yaitu pada embrio Muscovy duck memiliki zona suhu thermoneutral antara 39 dan 40,5 o C tergantung pada usia embrio. temperatur dinaikkan menjadi 39,5 o C. Kematian embrio itik lokal fase middle terendah saat Dari telur yang diamati yang kemudian dipecahkan, embrio yang mati pada fase middle ini umumnya karena ketidakmampuan mengabsorbsi kuning telur, ini sesuai dengan pendapat Woodard (1973) Kematian embrio umumnya disebabkan oleh karena embrio tidak mampu membentuk organ-organ penting atau organ-organ tersebut tidak berfungsi dengan baik. Kematian embrio terjadi akibat ketidakmampuan menyerap albumen yang tersisa dan mengabsorbsi kantong yolk (kuning telur). Mortalitas Embrio Fase Late Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mortalitas embrio fase late merupakan banyaknya embrio yang mati pada masa hatcher atau tiga hari di akhir pengeraman, yaitu dari hari ke Data Mortalitas embrio fase late berdasarkan pola pengaturan temperatur mesin tetas disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Data Mortalitas Embrio Fase Late Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mesin Rata-rata Signifikansi 0,05...%... T 1 85,42 a T 2 63,96 b T 3 64,07 c Keterangan : Rata-rata mortalitas embrio fase late yang diikuti abjad yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata (P < 0,05). Berdasarkan hasil analisis statistik hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berbeda (P < 0,05) terhadap mortalitas embrio fase late. Rata-rata kematian embrio pada T 1 85,42%, T 2 63,96% dan T 3 64,07%. Banyaknya embrio yang mati dikarenakan pada tiga hari sebelum menetas merupakan masa-masa kritis bagi embrio. Embrio pada fase ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan serta terjadi perubahan fisiologis. Ini sesuai dengan 6
7 pendapat Paimin (2004) Kegagalan dalam penetasan banyak terjadi pada periode kritis yaitu tiga hari pertama sejak telur dieramkan dan tiga hari terakhir menjelang menetas. periode kritis ini terjadi akibat perubahan fisiologis embrio yang sudah sempurna menjelang penetasan. Dari telur yang diamati dan dipecahkan banyaknya embrio yang mati pada fase late ini umumnya karena embrio sudah terbentuk sempurna namun embrio lemah sehingga tidak mampu pipping, malposisi dan juga beberapa terdapat jamur dalam telur. Ini sesuai dengan pendapat Rusandih (2001) dalam Ningtyas (2013) bahwa kebanyakan embrio yang ditetaskan ditemukan mati antara hari ke-22 sampai ke-27 selama inkubasi. Hal ini biasa disebut dead-in-shell dan terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk menerobos kerabang. Kategori seperti ini biasanya mati pada hari ke-28. Kategori kedua mati pada hari yang sama, tetapi menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur dengan oedema serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala. Kejadian tersebut merupakan dampak berkelanjutan dari usaha embrio memecah kerabang yang gagal. Kategori ketiga mati antara hari ke-22 sampai hari ke-28. Kematian pada kategori ini disebabkan karena kesalahan posisi selama berkembang sehingga menghambat embrio tersebut untuk keluar dari kerabang. Hasil penelitian Maatjens dkk. (2014) menunjukkan menurunnya glikogen hati dan perombakan glukosa menjadi laktat dalam kondisi temperatur mesin yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa embryo dapat mengalami kekurangan energi dalam mempersiapkan penetasannya, serta memungkinkan meningkatnya kondisi hypoxia (kekurangan oksigen) yang ditandai dengan tinggi katabolisme glukosa melalui jalur glikolisis anaerob yaitu tingginya kadar laktat. Glikolisis anaerob bukanlah jalur produksi energi yang baik bagi embryo yang membutuhkan energi yang lebih banyak dalam masa pertumbuhan. Dampak negatif ini juga menyebabkan meningkatnya acidosis sebagai dampak kadar laktat berlebih. Moran (2007) acidosis menyebakan meningkatnya kematian embryo. Pada masa akhir inkubasi, terjadi perubahan fisiologis dari sistem pernafasan alantois yang menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat begitu pula karbondioksida yang dihasilkan juga meningkat. Terlalu banyak karbondioksida dalam ruang penetasan dapat menyebabkan kematian embrio apabila ventilasinya tidak baik. Ini sesuai dengan pendapat Freeman (1963) menyatakan bahwa sesaat sebelum pipping konsumsi oksigen meningkat, namun ada pula 7
8 peneliti yang beranggapan bahwa peningkatan konsumsi oksigen disebabkan keperluan energi tambahan untuk respirasi pulmonal aktivitas fisik menjelang menetas. Daya Tetas Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Daya tetas merupakan banyaknya telur yang menetas dari sejumlah telur yang fertil. Data daya tetas pada penelitian ini dihitung dengan cara menghitung banyaknya telur yang menetas dan hidup sampai pulling dibagi dengan banyaknya telur yang fertil hari ke-21. Persentase daya tetas telur berdasarkan pola pengaturan temperatur mesin tetas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Daya Tetas Berdasarkan Pola Pengaturan Temperatur Mesin Tetas Mesin Rata-rata Signifikansi 0,05...%... T 1 25,00 a T 2 30,52 b T 3 34,22 c Keterangan : Rata-rata daya tetas yang diikuti abjad yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata (P < 0,05) Berdasarkan hasil analisis statistik hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berbeda (P < 0,05) terhadap daya tetas. Rataan daya tetas untuk T 1 adalah 25%, T 2 30,52% dan T 3 34,22%. Dengan diprolehnya hasil tersebut bahwa dengan suhu tinggi (39,5 o C dan 40,5 o C) dalam waktu singkat (3 jam) secara bertahap signifikan (P < 0,05) dapat menaikan daya tetas. Ini sesuai dengan hasil penelitian Elsayed dkk (2009) yaitu peningkatan suhu hari ke dari 37,5 o C menjadi 39,5 o C maupun menjadi 40,7 o C selama 3 jam masa inkubasi yang dilakukan pada strain ayam lokal mesir (Gimmizah dan Mandarah) secara bertahap signifikan (p 0,01) menaikan persentase daya tetas. Daya tetas sangat dipengaruhi oleh temperatur mesin tetas. Karena embrio sangat rentan terhadap perubahan temperatur, bahkan perbedaan temperatur yang kecil berpengaruh terhadap perkembangan embrio. Ini sesui dengan pendapat Insko (1949) yang menyatakan bahwa temperatur mesin tetas menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap daya tetas telur dan setiap perubahan temperatur mesin dari temperatur yang ditetapkan atau optimal akan mempengaruhi daya tetas yang dihasilkan. Yudityo (2003) juga melaporkan dalam penetasan buatan diperlukan peningkatan suhu seiring dengan perkembangan metabolisme embrio. Perubahan hanya 1 o C dari suhu optimum memiliki dampak yang besar terhadap hasil 8
9 penetasan. Sehingga dengan peningkatan temperatur menjadi 40,5 o C diperoleh daya tetas tertinggi. Peningkatan temperatur menjadi 39,5ºC menghasilkan daya tetas yang lebih tinggi daripada telur yang tidak dinaikan temperatunya. Sesuai juga dengan pendapat Ningtyas (2013) bahwa rataan daya tetas temperatur C paling tinggi dibandingkan dengan temperatur C dan C, Hal tersebut disebabkan karena temperatur yang diberikan sangat optimum dan hampir mendekati suhu pada penetasan alami. Reis (1942) dalam Nakage (2003) Daya tetas terbaik diperoleh pada 39,0ºC 39,5ºC untuk unggas air dan untuk itik 39.0ºC (Cullington (1975) dalam Nakage, 2003). Pada hakikatnya daya tetas merupakan implikasi dari pertumbuhan dan laju metabolisme yang normal untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan organ-organ embryo. Peningkatan temperatur dengan pola yang berbeda (T 2 dan T 3 ) terhadap tanpa peningkatan temperatur inkubasi, secara sinifikan memang menunjukka perbedaan. Hasil penelitian terdahulu telah dilaporkan hasil yang lebih baik dengan peningkatan atau ekspose panas yang tidak berlebihan (Molenaar dkk., 2011 dan Maatjens dkk., 2014). Simpulan Perlakuan pola pengaturan temperatur mesin tetas berbeda nyata (P<0,05) terhadap mortalitas embrio dan daya tetas itik lokal (Anas sp.). Perlakuan T 2 lebih efektif dan efisien dalam pencapaian penetasan optimal. Daftar Pustaka Abbas, Hafil Fisiologi Pertumbuhan Ternak. Padang; Andalas University Press. Collin A, Picard M, Yahav S The Effect of Duration of Thermal Manipulation During Broiler Chick Embryogenesis on Body Weight and Body Temperature of Post-Hatched Chicks. Anim Res 54, Djanah, D Beternak Ayam dan Itik. Cetakan Kesebelas. C.V Yasaguna. Jakarta. Elsayed, N.A.M, Allan E.E., Amina S.E., dan Effet Y.Hassan New Suggested Schemes for Incubation Temperature and Their Effect on Embryonic Development and hatching Power. Poultry Science, 3(1) : Ensminger, M. E., G. Brant, & C. G. Scanes Poultry Science. 4th ed. Pearson Prentice Hall. United State of America. 9
10 Fadhilah, R., A. Polana, S. Alam dan E. Parwanto Sukses Beternak Ayam Broiler. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Freeman, B. M Gaseous metabolism of the domestic chicken. Brit. Poultry Science 4 : Insko, W. M., Jr Physical Conditions In Incubation. Pages in The Fertility and Hatchability of Chicken and Turkey Eggs. L. W. Taylor, ed. J. Wiley and Sons Inc., London, UK. Lourens, A., H. Van den Brand, R. Meijerhof, and B. Kemp Effect of Eggshell Temperature During Incubation On Embryo Development, Hatchability, And Posthatch Development. Poultry Science. 84: Lundy, H A Review of The Effects of Temperature, Humidity, Turning And Gaseous Environment in The Incubator on The Hatchability of The Hens Egg. In: The Fertility and Hatchability of The Hens Egg,(Carter, T.C., and Freeman, B.M., eds.) , Edinburgh, Oliver and Boyd. Maatjens, C. M., I. A. M. Reijrink, R. Molenaar, C. W. van der Pol, B. Kemp, dan H. van den Brand Temperature and CO 2 During The Hatching Phase. I. Effect of Chick Quality and Organ Development. Poultry Science /PS Minne B, Decuypere E Effects of Late Prenatal Temperatures on Some Thermoregulatory Aspects in Young Chickens. Arch Exp Veterinarmed 38, Molenaar, R., I. van den Anker, R. Meijerhof, B. Kamp, and H. van den Brand Effect of Eggshell Temperature and Oxygen Concentration During Incubation on The Developmental and Physiological Status of Broiler Hatchlings in The Perinatal Period. Poultry Science 90: Moran, E. T. Jr Nutrition of The Developing Embryo and Hatchling. Poultry Science 86 : Nakage Es, Cardozo JP, Pereira GT, Queiroz SA dan Boleli IC Effect of Temperature on Incubation Period, Embryonic Mortality, Hatch Rate, Egg Water Loss And Partridge Chick Weight (Rhynchotus Rufescens). Rev. Bras. Cienc. Avic. [Online].. volume 5, Nomor 2, Halaman ISSN X. 10
11 Nichelmann, M., Tzschentke, B Thermoregulatory Heat Production in Precocial Avian Embryos.Ornis Fennica 76: Nichelmann, M., B. Lange, R. Pirow, J. Langbein, and S. Herrmann Avian Thermoregulation During the Perinatal Period.. Institut fur Verhaltensbiologie und Zoologie der Humboldt-Universitate zu Berlin. Berlin. Hal : Ningtyas, M. S., Ismoyowati dan Ibnu H. S Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Tetas dan Hasil Tetas Telur Itik (Anas Plathyrinchos). Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1): North, N. O. dan Donald D. Bell Commercial Chicken Production Manual. 2nd Edition. Avi Publishing Co. Inc, Connecticut North, N. O. dan Donald D. Bell Commercial Chicken Production Manual. 3nd Edition. The Avi Publishing, Co. Inc., westport. Connecticut. North, N. O. dan Donald D. Bell Commercial Chicken Production Manual. Fourth Edition. Newyork University of California Poultry Specialist. Paimin, F.B Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Penebar Swadaya, Jakarta. Rarasati Pengaruh Frekuensi Pemutaran Pada Penetasan Telur Itik Terhadap Daya Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Romanoff, A. L The Avian Embryo. Macmillan, New Yolk, NY. Pages Setioko, A.R Penetasan Telur Itik di Indonesia Wartazoa Vo1ume 7 Nomor 2. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Speake, B. K., R. C. Nobel, and A. M. B. Murray, The Utilization of Yolk Lipids by The Chick Embryo. World s Poult. Sci. J. 54: Wiharto Petunjuk Pembuatan Mesin Tetas. Lembaga Penerbit. Universitas Brawijaya. Willemsen, H., B. Kamers, F. dahlke, H. Han, Z. Song, Z. Ansari Pirsaraei, K. Tona, E. Decuypere, dan N.Everaert High and Low Temperature Manipulation During Late Incubation : Effects on Embryonic Development, The Hatching Process, and Metabolism in Broilers. Poult. Sci. 89:
12 Williamson & W. J. A. Payne, Pengantar Peternakan Didaerah Tropis. Terjemahan: Darmadja., S. G. N. Djiwa. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Woodard, A.E., H. Abplanalp, W.O. Wilson and P.Vohra Japanese Quail Husbandry in Laboratory. Departement Of Avian Science University Of California. Yahav S, Collin A, Shinder D, Picard M Thermal Manipulations During Broiler Chick Embryogenesis: Effects of Timing and Temperature. Poult Sci 83, Yalcin S dan Siegel PB Exposure to Cold or Heat During Incubation on Developmental Stability of Broiler Embryos. Poult Sci 82, Yudityo, M. P Persentase Heterosis Fertilitas, Daya Tetas, Kematian Embrio Serta Bobot Telur Hasil Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio Dan Mojosari. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 12
Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas... Nisa Nurika Manggiasih, dkk.
SUSUT TELUR, LAMA DAN BOBOT TETAS ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS THE EGG LOSES, HATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON THE PATTERNS
Lebih terperinciHATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON DIFFERENCE OF INCUBATOR HUMIDITY SETTING AT HATCHER PERIOD
LAMA MENETAS DAN BOBOT TETAS TELUR ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN PERBEDAAN KELEMBABAN MESIN TETAS PADA PERIODE HATCHER HATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON DIFFERENCE
Lebih terperinciPENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO
PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO THE EFFECT OF HEN AGE AND SPECIFIC GRAVITY ON HATCHABILITY AND EMBRYO MORTALITY M. Reza Ardian*, Dani Garnida**,
Lebih terperinciPengaruh Umur Induk dan Specific...Netty Siboro PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPESIFIC GRAVITY TERHADAP KARAKTERISTIK TETASAN
PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPESIFIC GRAVITY TERHADAP KARAKTERISTIK TETASAN The Effect Of Specific Gravity And Hen Age To Hatching Characteristics (Weight Loss Egg, Hatch Period, Weight at Hatch) On Duck
Lebih terperinciNilai Kualitatif Anak Itik Lokal...Andira Bram Falatansa
NILAI KUALITATIF ANAK ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN PERBEDAAN KELEMBABAN MESIN TETAS PADA PERIODE HATCHER QUALITATIVE VALUE LOCAL DUCKLING ( Anas sp. ) BASED ON THE DIFFERENCE IN HUMIDITY INCUBATOR
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam lokal merupakan ayam yang sudah beradaptasi dan hidup dalam jangka waktu yang lama di Indonesia. Ayam lokal disebut juga ayam buras (bukan ras) yang penyebarannya
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil.
31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas Daya tetas merupakan banyaknya telur yang menetas dari sejumlah telur yang fertil. Data daya tetas pada penelitian ini dihitung dengan
Lebih terperinciNilai Kuantitatif Anak Itik Lokal (Anas sp.)... Diar Dwi Febyany, dkk.
NILAI KUANTITATIF ANAK ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS QUANTITATIVE VALUES OF LOCAL DUCKLINGS (Anas sp.) BASED ON PATTERN TEMPERATURE CONTROL OF INCUBATOR Diar
Lebih terperinciPENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha peternakan unggas di Indonesia semakin berkembang seiring dengan banyaknya kebutuhan protein hewani terutama itik lokal. Itik mulai digemari oleh masyarakat terutama
Lebih terperinciPENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK
PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) Bram Brahmantiyo dan L. Hardi Prasetyo Balai Penelitian Ternak, Ciawi, PO.
Lebih terperinciNilai Kualitatif Anak Itik Lokal(Anas sp.)... Gina Supresyani, dkk.
NILAI KUALITATIF ANAK ITIK LOKAL (Anas sp.) BERDASARKAN POLA PENGATURAN TEMPERATUR MESIN TETAS QUALITATIVE VALUE LOCAL DUCKLING ( Anas sp. ) BASED ON PATTERNS OF TEMPERATURE CONTROL INCUBATOR Gina Supresyani*,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Itik merupakan salah satu ternak unggas yang memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam jenis itik lokal dengan karakteristik
Lebih terperinciPENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA TETAS DAN HASIL TETAS TELUR ITIK (Anas plathyrinchos)
PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA TETAS DAN HASIL TETAS TELUR ITIK (Anas plathyrinchos) (THE EFFECT OF TEMPERATURE ON HATCHABILITY AND EGG HATCHING YIELD DUCK (Anas platyrinchos)) Maulidya Siella Ningtyas,
Lebih terperinciIrawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU
Pengaruh Frekuensi Pemutaran Telur terhadap Daya Tetas dan Bobot Badan DOC Ayam Kampung (The Effect of Egg Centrifugation Frequency on Hatchability and Body Weight DOC of Free-range Chicken) Irawati Bachari,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penetasan Penetasan merupakan upaya dalam mempertahankan populasi maupun memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta dapat menghasilkan
Lebih terperinciEVALUASI TELUR TETAS ITIK CRp (CIHATEUP X RAMBON) YANG DIPELIHARA PADA KONDISI MINIM AIR SELAMA PROSES PENETASAN
EVALUASI TELUR TETAS ITIK CRp (CIHATEUP X RAMBON) YANG DIPELIHARA PADA KONDISI MINIM AIR SELAMA PROSES PENETASAN EVALUATION OF HATCHING EGG OF CRp (CIHATEUP X RAMBON) DUCK RAISED ON MINIMUM WATER CONDITIONS
Lebih terperinciPENGARUH KONSENTRASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA PADA FUMIGASI TELUR ITIK TERHADAP DAYA TETAS DAN KEMATIAN EMBRIO
PENGARUH KONSENTRASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA PADA FUMIGASI TELUR ITIK TERHADAP DAYA TETAS DAN KEMATIAN EMBRIO Whulan Dhari Fujiawati, Endang Sujana, Sjafril Darana Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Lebih terperinciPengaruh Waktu Dimulainya Pendinginan Selama Penetasan Terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio
Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan ISSN 2303-2227 Vol. 04 No. 1 Januari 2016 Hlm: 251-256 Pengaruh Waktu Dimulainya Pendinginan Selama Penetasan Terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan
Lebih terperinciCIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK
CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN (PHISICAL CHARACTERISTICS OF MANDALUNG HATCHING EGGS AND THE MALE AND FEMALE RATIO OF THEIR DUCKLING) Yarwin
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kualitiatif Pusar Penilaian menggunakan metode pasgar skor didasarkan pada kriteria morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat kualitas DOD
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Telur Selama proses inkubasi, telur akan mengalami penyusutan yang dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut
Lebih terperinciIII BAHAN DAN METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Penelitian Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai
22 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Alat Penelitian Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mesin tetas tipe elektronik digital kapasitas 600 butir sebanyak 1 buah
Lebih terperinciGambar 1. Itik Alabio
TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal Ayam lokal Indonesia merupakan hasil dometsikasi Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius). Ayam Hutan Merah di Indonesia ada dua macam yaitu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penetasan Penetasan merupakan suatu proses perkembangan embrio di dalam telur hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan terbagi dua yaitu
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Bundy, C.E. and R.V. Diggins Poultry Production. Prentice Hall inc. New York.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z., 2003. Meningkatkan Produktivitas Puyuh si Kecil yang Penuh Potensi, Agromedia Pustaka, Jakarta. Awad, A.L. 2013. Field Study on Hatching Traits of Duck Egg Under Egyptian Enviromental
Lebih terperinciRINGKASAN. sifat dengan itik Tegal, itik Mojosari, dan itik Alabio. Di daerah asalnya, itik
40 RINGKASAN Salah satu jenis itik yang banyak dibudidayakan di daerah Jawa Barat yaitu itik Rambon. Itik jenis ini berasal dari wilayah Cirebon, memiliki kemiripan sifat dengan itik Tegal, itik Mojosari,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangunan Penetasan Bangunan penetasan adalah suatu tempat yang dibangun dengan konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan penetasan harus terpisah.
Lebih terperinciIII BAHAN DAN METODE PENELITIAN. 1. Telur itik Pajajaran sebanyak 600 butir. Berasal dari itik berumur 25 35
26 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 1. Telur itik Pajajaran sebanyak 600 butir. Berasal dari itik berumur 25 35 minggu, 36 55 minggu dan 56 65 minggu yang diambil dari Peternakan Itik
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan
III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan Kalkun Mitra Alam Pekon Sukoharjo I, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu.
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Ayam Lokal Di Indonesia terdapat berbagai jenis ayam lokal, baik itu ayam asli maupun ayam hasil adaptasi yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Ayam lokal yang tidak memiliki
Lebih terperinciPENGARUH UMUR TELUR TETAS PERSILANGAN ITIK TEGAL DAN MOJOSARI DENGAN PENETASAN KOMBINASI TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA
PENGARUH UMUR TELUR TETAS PERSILANGAN ITIK TEGAL DAN MOJOSARI DENGAN PENETASAN KOMBINASI TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA The Effect of Hatched Egg Age of Tegal and Mojosari Duck Crossing with Combination
Lebih terperinciPENGARUH JENIS BAHAN DAN FREKUENSI PENYEMPROTAN TERHADAP DAYA TETAS, BOBOT TETAS, DAN DEAD EMBRYO TELUR ITIK KHAKI CAMPBELL
PENGARUH JENIS BAHAN DAN FREKUENSI PENYEMPROTAN TERHADAP DAYA TETAS, BOBOT TETAS, DAN DEAD EMBRYO TELUR ITIK KHAKI CAMPBELL (The Effect Type And Frequency Of Spraying On The Hatchability, Hatching Weight,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. perkembangan ayam. Hasil penelitian panjang tubuh anak ayam yang diinkubasi. Tabel 2. Panjang Tubuh Anak Ayam Lokal
24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Panjang Tubuh Anak Ayam Lokal Panjang tubuh anak ayam lokal dapat menjadi acuan untuk memprediksi perkembangan ayam. Hasil penelitian panjang tubuh anak ayam yang diinkubasi
Lebih terperinciPERBANDINGAN FERTILITAS SERTA SUSUT, DAYA DAN BOBOT TETAS AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI
PERBANDINGAN FERTILITAS SERTA SUSUT, DAYA DAN BOBOT TETAS AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI Comparison of Fertility And, Losses, Power, and Weight hatching Native Chicken Hatching Eggs on Combination
Lebih terperinciPerbandingan Fase Produksi Telur Kalkun Terhadap Fertilitas, Susut Tetas, Daya Tetas, dan Bobot Tetas
Perbandingan Fase Produksi Telur Kalkun Terhadap Fertilitas, Susut Tetas, Daya Tetas, dan Bobot Tetas The Camparison of Production Phase of Turkey Eggs on Fertility, Weight Loss, Hatchability, and hatching
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kenaikan permintaan komoditas peternakan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berpacu dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, serta meningkatnya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan, serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat, maka permintaan komoditas peternakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan usaha peternakan unggas di Indonesia berjalan semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya permintaan telur konsumsi maupun
Lebih terperinciINVENTARISASI FERTILITAS, DAYA TETAS TELUR, DAN BOBOT TETAS DOC BERDASARKAN UMUT INDUK AYAM SENTUL BAROKAH ABADI FARM CIAMIS
INVENTARISASI FERTILITAS, DAYA TETAS TELUR, DAN BOBOT TETAS DOC BERDASARKAN UMUT INDUK AYAM SENTUL BAROKAH ABADI FARM CIAMIS FERTILITIES, EGG HATCHABILITIES AND DAY OLD CHICKS (DOC) WEIGHTS FROM DIFFERENT
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. membentuk beberapa variasi dalam besar tubuh, konformasi, dan warna bulu.
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Itik Itik adalah jenis unggas air yang tergolong dalam ordo Anseriformes, family Anatidae, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica. Proses domestikasi membentuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya kebutuhan masyarakat akan daging ayam membuat proses
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unggas terutama ayam merupakan salah satu sumber protein utama bagi manusia walaupun sekarang banyak sumber protein selain daging ayam, namun masyarakat lebih memilih
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan permintaan terhadap produk hasil ternak. Produk hasil unggas merupakan produk yang lebih
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten
30 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan pada April--Mei 2015. B. Alat dan Bahan 1) Alat yang digunakan
Lebih terperinciJurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(4): , November 2015
PENGARUH DOSIS LARUTAN VITAMIN B KOMPLEKS SEBAGAI BAHAN PENYEMPROTAN TELUR ITIK TEGAL TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN KEMATIAN EMBRIO The Effect of The Dose of Vitamin B Complex As An
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe
Lebih terperinciPengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Penetasan Kombinasi terhadap Fertilitas dan Daya Tetas
Pengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Penetasan Kombinasi terhadap Fertilitas dan Daya Tetas Effect of Age Mojosari Duck hatching Eggs with Hatching Combination on Fertility and Hatchability Neka
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini
Lebih terperinciPENGARUH PENUNDAAN PENANGANAN DAN PEMBERIAN PAKAN SESAAT SETELAH MENETAS TERHADAP PERFORMANS AYAM RAS PEDAGING ABSTRACT
PENGARUH PENUNDAAN PENANGANAN DAN PEMBERIAN PAKAN SESAAT SETELAH MENETAS TERHADAP PERFORMANS AYAM RAS PEDAGING Hardianti 1, Andi Faisal Suddin 2 1 Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 2 Balai Pengkajian
Lebih terperinciPENGARUH PENUNDAAN PENANGANAN DAN PEMBERIAN PAKAN SESAAT SETELAH MENETAS TERHADAP PERFORMANS AYAM RAS PEDAGING ABSTRACT
PENGARUH PENUNDAAN PENANGANAN DAN PEMBERIAN PAKAN SESAAT SETELAH MENETAS TERHADAP PERFORMANS AYAM RAS PEDAGING Hardianti 1, Andi Faisal Suddin 2 1 Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 2 Balai Pengkajian
Lebih terperinciPengaruh Umur dan Pengelapan Telur terhadap Fertilitas dan Daya Tetas
Pengaruh Umur dan Pengelapan Telur terhadap Fertilitas dan Daya Tetas (Influence of age wiping Eggs for fertility and hatchability) oleh : Zasmeli Suhaemi 1), PN. Jefri 1) dan Ermansyah 2) 1) Prodi Peternakan
Lebih terperinciLokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
SUPLEMENTASI ASAM AMINO LISIN DALAM RANSUM BASAL UNTUK AYAM KAMPUNG PETELUR TERHADAP BOBOT TELUR, INDEKS TELUR, DAYA TUNAS DAN DAYA TETAS SERTA KORELASINYA DESMAYATI ZAINUDDIN dan IDA RAUDHATUL JANNAH
Lebih terperinciPENGARUH BOBOT DAN FREKUENSI PEMUTARAN TELUR TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS ITIK LOKAL
PENGARUH BOBOT DAN FREKUENSI PEMUTARAN TELUR TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS ITIK LOKAL EFFECT OF EGGS WEIGHT AND TURNING FREQUENCY ON FERTILITY, HATCHABILITY AND HATCHING WEIGHT OF LOCAL
Lebih terperinciNisbah Jenis Kelamin Hasil Penetasan Telur Itik Cihateup dan Alabio
Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan ISSN 2303-2227 Vol. 04 No. 2 Juni 2016 Hlm: 269-274 Nisbah Jenis Kelamin Hasil Penetasan Telur Itik Cihateup dan Alabio Sex Ratio Duck Egg Hatching Results
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012,
III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012, bertempat di Kelompok Tani Ternak Rahayu, Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah didapat (Permentan,
Lebih terperinciSumber pemenuhan kebutuhan protein asal hewani yang cukup dikenal. masyarakat Indonesia selain ayam ialah itik. Usaha beternak itik dinilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sumber pemenuhan kebutuhan protein asal hewani yang cukup dikenal masyarakat Indonesia selain ayam ialah itik. Usaha beternak itik dinilai menguntungkan bagi
Lebih terperinciDAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL LUAR HALAMAN SAMPUL DALAM LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL LUAR... i HALAMAN SAMPUL DALAM... ii LEMBAR PENGESAHAN... Error! Bookmark not defined. RIWAYAT HIDUP... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMAKASIH... Error! Bookmark not
Lebih terperinciPerforman Puyuh Local Asal Payakumbuh, Bengkulu dan Hasil Persilangannya
Performan Puyuh Local Asal Payakumbuh, Bengkulu dan Hasil Persilangannya Performance of Quail Originating from Payakumbuh, Bengkulu and Their Crosses D. Kaharuddin dan Kususiayah Jurusan Peternakan, Fakultas
Lebih terperinciPengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.
Sains Peternakan Vol. 9 (2), September 2011: 77-81 ISSN 1693-8828 Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower Dede Risnajati Jurusan
Lebih terperinciOTOMATISASI MESIN TETAS UNTUK MEINGKATKAN PRODUKSI DOC (DAY OLD CHICK) AYAM LURIK DAN EFISIENSI USAHA
OTOMATISASI MESIN TETAS UNTUK MEINGKATKAN PRODUKSI DOC (DAY OLD CHICK) AYAM LURIK DAN EFISIENSI USAHA Suyatno. 1) Ringkasan Permasalahan utama usaha peternakan ayam Lurik di Jawa Timur adalah keterbatasan
Lebih terperinciHasil Tetas Puyuh Petelur Silangan Bulu Coklat dan Hitam...Sarah S.
KARAKTERISTIK HASIL TETAS PUYUH PETELUR (Coturnix coturnix japonica) SILANGAN WARNA BULU COKLAT DAN HITAM DI PUSAT PEMBIBITAN PUYUH UNIVERSITAS PADJADJARAN CHARACTERISTICS OF HATCHING PERFORMANCE FROM
Lebih terperinciPENGARUH BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR KALKUN
PENGARUH BOBOT TELUR TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR KALKUN Febri Ahyodi a, Khaira Nova b, Tintin Kurtini b a The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of
Lebih terperinciANALISA PENGARUH KELEMBABAN RELATIF DALAM INKUBATOR TELUR
ANALISA PENGARUH KELEMBABAN RELATIF DALAM INKUBATOR TELUR Mohd.Isa. T. Ibrahim 1, Ahmad Syuhada 2, Hamdani 3 1) Magister Teknik Mesin Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh 2,3) Fakultas Teknik
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Kualitas Eksterior Telur Tetas Ayam Arab
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Eksterior Telur Tetas Keberhasilan suatu usaha penetasan bergatung pada beberapa hal salah satunya adalah kualitas telur. Seleksi telur tetas menentukan tingkat keberhasilan
Lebih terperinciPERFORMA TELUR TETAS BURUNG PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) BERDASARKAN PERBEDAAN BENTUK TELUR
PERFORMA TELUR TETAS BURUNG PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) BERDASARKAN PERBEDAAN BENTUK TELUR PERFORMANCE HATCHBILITY OF JAPANESE QUAI (Coturnix coturnix japonica) BASED ON EGG SHAPE DIFFERENT
Lebih terperinciTHERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY
THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY Oleh : Suhardi, S.Pt.,MP Pembibitan Ternak Unggas AYAM KURANG TOLERAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU LINGKUNGAN, SEHINGGA LEBIH SULIT MELAKUKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN SUHU
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatinae
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Itik Tegal Itik merupakan jenis unggas air (water fowls) yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatinae dan genus
Lebih terperinciPERFORMA TELUR TETAS BURUNG PUYUH JEPANG PERBEDAAN BOBOT TELUR
PERFORMA TELUR TETAS BURUNG PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) BERDASARKAN PERBEDAAN BOBOT TELUR PERFORMANCE HATCHING EGG OF JAPANESE QUAIL (Coturnix coturnix japonica)) BASED ON EGG WEIGHT DIFFERENCE
Lebih terperinciIMBANGAN JANTAN- BETINA TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN KEMATIAN EMBRIO PADA BURUNG PUYUH
EFEK LANTAI KANDANG (Renggang dan Rapat) DAN IMBANGAN JANTAN- BETINA TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN KEMATIAN EMBRIO PADA BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) Achmanu, Muharlien dan Ricki Fajar
Lebih terperinciKarakteristik Eksterior Telur Tetas Itik... Sajidan Abdur R
KARAKTERISTIK EKSTERIOR TELUR TETAS ITIK PERSILANGAN RCp (Rambon x Cihateup) YANG DIPELIHARA PADA KONDISI MINIM AIR EXTERIOR CHARACTERISTICS OF HATCHING EGGS ON RCp (Rambon x Cihateup) CROSSBREED DUCK
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan
10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Itik Magelang dilaksanakan pada bulan Oktober - Desember 2015 bertempat di Desa Ngrapah,
Lebih terperinci1. Pendahuluan. 2. Kajian Pustaka RANCANG BANGUN ALAT PENETAS TELUR SEDERHANA MENGGUNAKAN SENSOR SUHU DAN PENGGERAK RAK OTOMATIS
Prosiding SNaPP2014 Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN 2089-3582 EISSN 2303-2480 RANCANG BANGUN ALAT PENETAS TELUR SEDERHANA MENGGUNAKAN SENSOR SUHU DAN PENGGERAK RAK OTOMATIS 1 Ari Rahayuningtyas, 2
Lebih terperinciSeminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENGARUH PROTEIN RANSUM PADA FASE PRODUKSI TELUR II (UMUR 52 64 MINGGU) TERHADAP KUALITAS TELUR TETAS DAN PERTUMBUHAN ANAK ITIK TEGAL SAMPAI UMUR SATU MINGGU (Effects of Protein Ratio a Phase II of Eggs
Lebih terperinciDAYA TETAS TELUR ITIK ALABIO DAN PERSILANGAN CIHATEUP-ALABIO DENGAN BAHAN SANITASI ALAMI NUR RIZA ARIFANI
DAYA TETAS TELUR ITIK ALABIO DAN PERSILANGAN CIHATEUP-ALABIO DENGAN BAHAN SANITASI ALAMI NUR RIZA ARIFANI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciPENGARUH FREKUENSI PEMUTARAN DAN PEMBILASAN DENGAN LARUTAN DESINFEKTANTERHADAP DAYA TETAS, MORTALITAS DAN BOBOT TETAS AYAM ARAB
PENGARUH FREKUENSI PEMUTARAN DAN PEMBILASAN DENGAN LARUTAN DESINFEKTANTERHADAP DAYA TETAS, MORTALITAS DAN BOBOT TETAS AYAM ARAB Rohmad 1, Sofana Fitri 2 1. Prodi Peternakan Fakultas Pertanian UNISKA Kediri
Lebih terperinciPENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM ARAB
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM ARAB The Effect of Storage Duration to Fertility, Weight Loss, Hatching Eggs, and Hatching Weight of The
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam kelas aves, ordo Anseriformes, Family Anatiade, Subfamily Anatinae, Tribus Anatini dan Genus Anas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Ayam Arab Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan dengan ayam buras (Kholis dan Sitanggang, 2002). Ayam arab merupakan ayam lokal
Lebih terperinciKARAKTERISTIK HASIL TETAS TELUR ITIK RAMBON DAN CIHATEUP PADA LAMA PENCAMPURAN JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA
KARAKTERISTIK HASIL TETAS TELUR ITIK RAMBON DAN CIHATEUP PADA LAMA PENCAMPURAN JANTAN DAN BETINA YANG BERBEDA CHARACTERISTICS OF HATCHING EGGS OF RAMBON AND CIHATEUP DUCKS AT DIFFERENT MEETING DURATION
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013
III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 1 Maret--5 April 2013 bertempat di Peternakan Kalkun Mitra Alam, Pekon Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo,
Lebih terperinciPenyiapan Mesin Tetas
Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab
HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu
Lebih terperinciPENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH
PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
Lebih terperinciPengaruh Bobot Badan Induk Generasi Pertama terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas pada Itik Magelang di Satuan Kerja Itik Banyubiru-Ambarawa
Pengaruh Bobot Badan Induk Generasi Pertama terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas pada Itik Magelang di Satuan Kerja Itik Banyubiru-Ambarawa Effect of Parent Body Weight of First Generation on
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mesin Tetas Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam) dan melaui penetasan buatan (mesin tetas) (Paimin, 2000). Penetasan buatan dilakukan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dan dibagi dalam dua periode, yakni periode starter (0-18 hari) dan periode finisher (19-35
Lebih terperinciPENGARUH SUPLEMENTASI ASAM AMINO METIONIN DAN LISIN DALAM RANSUM TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN MORTALITAS TELUR BURUNG PUYUH
PENGARUH SUPLEMENTASI ASAM AMINO METIONIN DAN LISIN DALAM RANSUM TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN MORTALITAS TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) RAJA MP SIREGAR 020306042 IPT DEPARTEMEN
Lebih terperinciALAT PENETAS TELUR OTOMATIS DENGAN KAMERA PEMANTAU
ALAT PENETAS TELUR OTOMATIS DENGAN KAMERA PEMANTAU Hendra Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia Christianto Gunawan Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia dan Sindra Wijaya Kerry
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Asep Pengaruh Bobot dan Indeks Telur terhadap Jenis Kelamin Anak Ayam Kampung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
43 DAFTAR PUSTAKA Asep. 2000. Pengaruh Bobot dan Indeks Telur terhadap Jenis Kelamin Anak Ayam Kampung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adnan, M. 2010. Pengaruh lama penyimpanan telur ayam buras
Lebih terperinciGambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi
Lebih terperinciHUBUNGAN UMUR SIMPAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, NILAI HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA SUHU RUANG SKRIPSI ROSIDAH
HUBUNGAN UMUR SIMPAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, NILAI HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA SUHU RUANG SKRIPSI ROSIDAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Aboleda, C.R Breeding and Hatchery Management. Training Manual For Poultry Production. Laguna, Philippine
DAFTAR PUSTAKA Abiola,S.S.,O.O.Meshoiye., B.O.Oyerinde dan M.A. Bamgbose. 2008. Effect Of Egg Size On Hatchability Of Broiler Chicks. Animal science. 57 (217): 83-86 Aboleda, C.R. 1975. Breeding and Hatchery
Lebih terperinciUmur dan Berat Telur Ayam Ras yang Beredar di Kota Bengkulu
Umur dan Berat Telur Ayam Ras yang Beredar di Kota Bengkulu Age and weight of layer eggs distributed in Bengkulu Suharyanto Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu Jalan
Lebih terperinciPeningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari. Hal ini berdampak
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak
22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,
Lebih terperinciPENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS
PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan di Fakultas
Lebih terperinci