6 PEMBAHASAN 6.1 Variasi Parameter Fisika-kimia Perairan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 PEMBAHASAN 6.1 Variasi Parameter Fisika-kimia Perairan"

Transkripsi

1 6 PEMBAHASAN 6.1 Variasi Parameter Fisika-kimia Perairan Kondisi parameter-fisika kimia perairan sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan, sekaligus menjadi faktor pembatas kehidupan biota karang dan ikan karang. Biota karang sebagai habitat ikan kerapu dapat mentolerir suhu tahunan maksimum sebesar C dan suhu minimum 18 0 C; sedangkan salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah (Nybakken 1988; Thamrin 2006). Sementara, parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu, suhu berkisar antara C dan salinitas berkisar antara (Lembaga Penelitian Undana 2006). Kedua nilai parameter ini berdasarkan hasil penelitian, baik di daerah reservasi maupun nonreservasi masih berada dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan biota karang dan ikan kerapu. Peranan sirkulasi air (arus) dalam suatu perairan sangat penting bagi organisme yang hidup di dalamnya, termasuk bagi biota karang dan ikan karang. Peranan utama arus bagi organisme perairan adalah berhubungan dengan penyediaan oksigen dan makanan (Thamrin 2006). Bagi biota karang, penyuplai nutrient terbesar berasal dari zooxanthellae, namun arus diperlukan karang dalam memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton dan oksigen serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen (Thamrin 2006). Bagi biota ikan, pergerakan air merupakan salah satu faktor fisika yang berperan dalam proses rekruitmen yakni pada tahap penyebaran larva pelagik di perairan laut (Cowen 1991). Hasil pengukuran di lokasi penelitian menunjukkan terdapatnya pergerakan arus yang cukup dan cenderung mengarah ke barat. Hal ini berkaitan erat dengan angin musim tenggara dan angin musim timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan data. Cahaya matahari diperlukan karang dalam proses fotosintesis alga simbiotik zooxhantella yang merupakan penyuplai utama kebutuhan hidup karang (Thamrin 2006). Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga mempengaruhi

2 65 penyebarannya (Sukarno 1977). Penetrasi sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan dan kekeruhan. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar dan semakin dalam bila perairan memiliki tingkat kecerahan yang tinggi (Thamrin 2006), sebaliknya akan semakin kecil dan semakin dangkal bila perairan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecerahan dan kekeruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang sesuai dengan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Kepmen. LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut) yakni masing-masing sebesar >5m dan <5 NTU, sehingga dapat disimpulkan bahwa cukup tersedia cahaya matahari untuk berlangsungnya fotosintesis bagi kelangsungan hidup hewan karang. Nilai kecerahan di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini diduga berkaitan erat dengan letak daerah reservasi yang lebih jauh dari daratan utama (teluk Jakarta) dan lokasi pemukiman sebagai sumber sedimentasi dan padatan tersuspensi yang sangat mempengaruhi kecerahan suatu perairan. Derajat keasaman (ph) air adalah faktor lain yang ikut mempengaruhi pertumbuhan biota perairan. Menurut baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, kisaran ph air laut bagi biota adalah 7-8,5. Sementara, Lembaga Penelitian Undana (2006) menyimpulkan bahwa kisaran ph yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu adalah 7,8-8, tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan lebih tingginya kandungan ammonium di zona pemukiman (non-reservasi) dibandingkan dengan di zona inti (reservasi). Hal ini dimungkinkan karena tingginya buangan limbah organik di perairan kedua pulau yang terletak di zona pemukiman. Sumber buangan limbah organik tersebut diduga terutama berasal dari sisa pakan ikan bandeng di karamba yang ada di Gosong Pramuka dan sisa pakan dari karamba jaring apung yang banyak terdapat di Pulau Panggang, serta buangan limbah rumah tangga dari kedua pulau yang memiliki jumlah penduduk cukup padat. Secara umum, hasil pengukuran terhadap parameter fisika-kimia perairan menunjukkan variasi yang relatif kecil dan homogen antar stasiun pengamatan

3 66 serta masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang dan ikan karang. 6.2 Variasi Karakteristik Habitat Bentik Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik, baik berupa komposisi tutupan komponen bentik maupun keanekaragaman karang di daerah reservasi (zona inti) dan non-reservasi (zona pemukiman) tidak berbeda secara signifikan. Kondisi habitat bentik terlihat sangat bervariasi di stasiun pengamatan di masing-masing zona, sehingga tidak mencerminkan adanya perbedaan yang signifikan sesuai dengan status perlindungannya. Penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian sejenis sebelumnya di Tanzania yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan karakteristik habitat bentik (tutupan karang hidup, karang mati, batu, patahan karang, makroalga, lamun, karang lunak dan sponge) antara kawasan reservasi (Mafia Island Marine Park-Tanzania) dengan kawasan perairan sekitarnya, yang aktifitas penangkapannya terjadi secara intensif (Kamukuru et al. 2004). Di luar dugaan, penutupan karang mati di daerah reservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Penutupan karang mati berdasarkan hasil penelitian tampak didominasi oleh karang mati berupa patahan karang, hal yang menunjukkan bahwa kematian dan degradasi terumbu karang di lokasi penelitian lebih disebabkan karena kerusakan secara fisik. Berdasarkan pengamatan di lapangan diduga bahwa kerusakan fisik terumbu karang di lokasi penelitian terutama disebabkan oleh faktor antropogenik, seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak terutama menggunakan alat tangkap muro-ami, penambangan pasir dan batu karang, dampak lego jangkar perahu/kapal (anchoring) dan dampak aktivitas penyelaman yang tidak profesional. Penangkapan ikan menggunakan muro-ami walaupun diyakini berdampak pada kerusakan terumbu karang, saat ini masih marak digunakan di perairan Kepulauan Seribu. Aktani (2003) menyimpulkan bahwa tutupan karang mati berupa patahan karang yang mendominasi tutupan substrat bentik di zona inti dan zona pemanfaatan TNL-KS merupakan dampak dari aktifitas penangkapan ikan menggunakan bom (blast fishing) yang marak dilakukan sebelum tahun 1995, saat

4 67 dimana status kawasan Kepulauan Seribu belum menjadi taman nasional. Namun, mengingat era maraknya penggunaan bom sudah sangat lama berlalu seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat, serta secara visual tampak bahwa patahan karang yang ditemukan masih tergolong baru (lihat Lampiran 5), maka sangat kecil kemungkinan bahwa pengeboman ikan menjadi faktor utama yang menyebabkan kerusakan terumbu karang di lokasi penelitian saat ini. Kategori tutupan karang berdasarkan Gomez dan Yap (1988) menunjukkan bahwa di daerah reservasi ditemukan 3 stasiun yang memiliki kategori Sedang (timur P. KA Bira, utara dan selatan P. Belanda) dan 1 stasiun memiliki kategori Baik (barat P. KA Bira), sedangkan di daerah non-reservasi ditemukan 2 stasiun dengan kategori Buruk (timur dan utara P. Pramuka) dan 2 stasiun memiliki kategori sedang (barat dan selatan P. Panggang). Penilaian secara kualitatif ini menunjukkan bahwa kondisi tutupan karang di daerah reservasi masih sedikit lebih baik dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hasil berbeda dilaporkan Aktani (2003), yakni kondisi tutupan karang di stasiun pengamatan P. KA Bira dan P. Putri (zona inti/daerah reservasi) berada dalam kategori buruk, sedangkan tutupan karang di P. Melinjo dan P. Genteng (zona pemanfaatan intensif/daerah non-reservasi) masuk dalam kategori sedang. Adanya perbedaan hasil ini diduga terjadi karena yang pertama sebagai akibat terjadinya perbaikan kondisi tutupan karang di daerah reservasi, dan dugaan kedua disebabkan adanya perbedaan titik sampling. Rerata persen tutupan alga stasiun pengamatan yang terletak di daerah nonreservasi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan rerata persen tutupan alga di daerah reservasi. Keberadaan alga yang cukup tinggi mencirikan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi (Szmant 2002). Szmant (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa selain faktor pengkayaan nutrient (nutrient enrichment) yang dapat menjadi penyebab kematian karang dan peningkatan tutupan alga, faktor utama lain adalah menurunnya kelimpahan ikan herbivor akibat penangkapan dan menurunnya kelimpahan bulu babi akibat penyakit; stress dan kematian karang akibat perubahan suhu (contoh: pemutihan karang/coral bleaching) sehingga membentuk lebih banyak lagi substrat bagi kolonisasi alga; sedimentasi yang dapat mengancam karang dewasa dan menghambat terjadinya rekruitmen; serta

5 68 meningkatnya predator karang sebagai dampak sekunder terjadinya overfishing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nutrient berupa ammonium secara rerata terlihat lebih tinggi di daerah non-reservasi dibandingkan dengan daerah reservasi, disamping itu, status pengelolaannya sebagai zona pemukiman sangat memungkinkan terjadinya intensitas penangkapan yang tinggi sehingga menurunkan jumlah ikan herbivor yang memiliki peran ekologi sangat penting dalam mengontrol pertumbuhan alga. Hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik menunjukkan bahwa tidak terdapat pola yang menunjukkan adanya hubungan spesifik antara karakteristik habitat bentik dengan status pengelolaan atau zonasi. Kelompok yang terbentuk adalah berdasarkan kualitas habitat bentik, hal ini terlihat dari variabel yang mencirikan masing-masing kelompok. Hasil ini sejalan dengan Estradivari et al. (2007) yang tidak menemukan pola yang mengindikasikan hubungan antarlokasi pengamatan dengan struktur komunitas karang dan menekankan bahwa pola pemanfaatan terumbu karang dan penzonasian taman nasional di Kepulauan Seribu pada dasarnya tidak memberikan pengaruh besar terhadap struktur komunitas karang. Starr et al. (2004) menyimpulkan hasil yang sama walaupun penelitian dilakukan di lokasi berbeda, yakni di daerah reservasi laut di Central Californial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa karakteristik habitat di lokasi penelitian bervariasi tidak berdasarkan status reservasi dan nonreservasi. Hasil berbeda dikemukakan oleh Aktani (2003) yang menemukan adanya kecenderungan pengelompokan habitat bentik berdasarkan lokasi geografis yang kemungkinan berhubungan dengan pengaruh siklus monsoon sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi tutupan lifeform antara sisi barat dan sisi timur Kepulauan Seribu. 6.3 Variasi Karakteristik Komunitas Kerapu Hasil uji statistik terhadap beberapa variabel ekologi komunitas kerapu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan beberapa variabel secara spasial antara daerah reservasi dengan non-reservasi, juga terlihat adanya perbedaan signifikan secara temporal antara hasil sensus visual bulan Mei dan Juni. Perbedaan secara temporal diduga berkaitan dengan variasi akibat adanya perbedaan musim.

6 69 Bulan Mei bertepatan dengan berlangsungnya musim tenggara yang dikenal masyarakat setempat sebagai musim sampah. Pada musim ini, berbagai jenis sampah mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah pabrik bergerak mengikuti angin musim tenggara dari Teluk Jakarta menuju kawasan perairan Kepulauan Seribu. Sampah-sampah ini bahkan terlihat mencapai perairan P.Belanda (zona inti) pada saat sampling dilakukan. Hasil pengukuran derajat keasaman (ph) perairan pada bulan Mei juga menunjukkan adanya kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran pada bulan Juni (Lampiran 1) yang diduga berkaitan dengan pergerakan massa air dari arah Teluk Jakarta pada bulan Mei. Variasi temporal yang terjadi terhadap kelimpahan dan keanekaragaman komunitas ikan kerapu diduga sebagai dampak dari respon komunitas ikan kerapu terhadap perubahan kualitas perairan yang terjadi. Variabel keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu hasil sensus visual (jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan densitas) terlihat berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun perbedaan tersebut hanya pada pengamatan di bulan Juni. Berdasarkan nilai rerata terlihat bahwa kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, demikian pula halnya dengan indikator keanekaragaman (jumlah spesies dan indeks keanekaragaman Shannon) terlihat lebih tinggi di daerah reservasi dibandingkan dengan daerah non-reservasi. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengkaji komunitas ikan karang target di daerah reservasi (atau daerah perlindungan laut) dan di daerah yang tereksploitasi (Watson & Ormond 1994; Starr et al. 2004; Kamukuru et al. 2004; Unsworth et al. 2007). Sebagai contoh, Watson & Ormond 1994 melaporkan bahwa kelimpahan Lutjanus fulfivlamma dan L. ehrenbergi di kawasan taman nasional di Kenya lebih tinggi sebesar 170 kali dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung secara intensif; Starr et al menyebutkan bahwa densitas beberapa jenis rockfish di daerah reservasi di Central California lebih tinggi sebesar 12-35% dibandingkan dengan kawasan di luar daerah reservasi, walaupun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik; Kamukuru et al menggambarkan bahwa densitas Lutjanus fulfivlamma di dalam sebuah kawasan taman nasional di Tanzania 4 kali lebih besar, dan biomassa

7 70 6 hingga 10 kali lebih besar dibandingkan dengan perairan sekitarnya yang tereksploitasi berat akibat tingginya aktivitas penangkapan; sedangkan Unsworth et al. (2007) menemukan bahwa setelah 5 tahun dilindungi dan berstatus sebagai kawasan larang ambil (no-take area), populasi ikan kerapu di dalam kawasan yang berada di Taman Nasional Laut Wakatobi ini menjadi 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitar dimana aktivitas penangkapan tidak terlalu intensif, dan hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung sangat intensif. Sementara itu, variabel kelimpahan stok ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu (CPUE) secara stastitik tidak berbeda nyata antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun rerata nilai CPUE di daerah reservasi lebih tinggi sebesar 67-79% dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Demikian pula halnya dengan komposisi ukuran ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan, secara statistik tidak terdapat perbedaan distribusi ukuran ikan kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun terlihat bahwa kelas ukuran kerapu yang tercacah di daerah reservasi lebih beragam dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, serta ikan kerapu yang tercacah di daerah reservasi didominasi oleh ikan berukuran yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Namun demikian hasil berbeda didapat dari pengukuran panjang total (total length) ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu, dimana rerata panjang ikan di daerah non-reservasi (30.57 cm) tidak berbeda jauh dengan rerata panjang ikan di daerah reservasi (30.44). Di Cape Canaveral, Florida, Johnson et al. (1999) mempelajari populasi ikan dengan menggunakan alat tangkap trammel net di daerah penangkapan dan daerah non-penangkapan yang telah ditetapkan sebagai daerah reservasi selama tahun. Hasilnya adalah ikan yang tertangkap di daerah non-penangkapan lebih banyak dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan, nilai CPUE di daerah nonpenangkapan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan. Dalam penelitian ini terlihat kecenderungan perbedaan karaketristik populasi berdasarkan kedalaman perairan yang terlihat dari hasil sensus visual dan hasil tangkapan bubu. Pada perairan yang lebih dangkal (3-10 m), jenis-jenis kerapu didominasi oleh kerapu balong (Genus Cephalopolis dan Epinephelus) yang

8 71 berukuran kecil dan memiliki nila ekonomi lebih rendah, sedangkan di perairan yang lebih dalam (15-25 meter), jenis kerapu didominasi oleh kerapu sunu (Genus Plectropomus) yang berukuran lebih besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan siklus hidup jenis-jenis kerapu pada umumnya, dimana ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Selain itu, lebih intensifnya aktivitas penangkapan di perairan yang lebih dangkal menyebabkan jenis-jenis ikan berukuran besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk tertangkap. Disamping jenis kerapu, hasil penelitian juga mengindikasikan tingginya kondisi kelimpahan jenis ikan karang lainnya di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini terlihat dari variabel jumlah tangkapan sampingan (by catch) alat tangkap bubu yang berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi. Hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu terdiri dari berbagai jenis ikan karang, seperti: ekor kuning (Caesionidae), lencam (Lethrinidae), swanggi (Holocentridae), baronang (Siganidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), biji nangka (Mulidae), pasir-pasir (Nemipteridae), kakaktua (Scaridae) dan jenis ikan karang lainnya (Lampiran 7). Hasil analisis multivariat menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) terhadap variabel populasi ikan kerapu menunjukkan perbedaan antara karakteristik komunitas ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi. Berdasarkan analisis kelompok terlihat bahwa komunitas ikan kerapu di daerah reservasi memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Selain itu, ukuran kerapu yang lebih besar ditemukan lebih melimpah di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Perbedaan kondisi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi dalam penelitian ini, pada dasarnya merupakan gambaran dari dampak penangkapan dan dampak reservasi terhadap stok ikan kerapu di lokasi penelitian. Russ (1991a) menyatakan bahwa salah satu dampak langsung penangkapan pada level populasi yang paling sederhana untuk dideteksi adalah penurunan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) yang pada akhirnya menurunkan total tangkapan. Lebih jauh Russ (1991a) menjelaskan bahwa

9 72 kematian akibat penangkapan sering terjadi secara efektif pada individu berukuran besar dan lebih tua pada suatu populasi (sebagian besar karena banyak alat tangkap dirancang untuk secara selektif menangkap ikan ukuran tersebut), sehingga dengan demikian penangkapan berdampak pada struktur ukuran dan umur populasi. 6.4 Keterkaitan Karakteristik Habitat dan Komunitas Kerapu Hasil analisis kelompok terhadap variabel komunitas kerapu menunjukkan bahwa stasiun pengamatan menunjukkan kemiripan berdasarkan status perlindungan, berbeda dengan hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik yang menunjukkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kemiripan kualitas habitat bentik. Hal ini mengindikasikan bahwa status perlindungan berperan penting dalam menentukan kondisi komunitas ikan kerapu di lokasi penelitian. Hasil analisis korelasi selanjutnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara kelimpahan ikan kerapu dengan status perlindungan. Selain itu terdapat juga korelasi yang cukup kuat dan cukup signifikan antara tutupan karang hidup dengan jumlah spesies dan indeks keanekaragaman ikan kerapu. Hasil ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian lebih dipengaruhi oleh status perlindungan yang merepresentasikan perbedaan tekanan penangkapan, sedangkan keanekaragaman ikan kerapu dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup. Beberapa penelitian sebelumnya menyimpulkan hasil yang sama dengan penelitian ini (Tuya et al. 2000; May 2003; Starr et al. 2004; Unsworth et al. 2007; dan Chabanet et al. 1997). Tuya et al. (2000) menemukan bahwa lokasi studi menunjukkan kemiripan yang lebih besar berdasarkan status perlindungan dibandingkan dengan variabel lain, dan menyimpulkan bahwa tekanan penangkapan merupakan penyebab utama menurunnya populasi spesies target di San Juan Islands, Washington. May (2003) juga menemukan bahwa aktivitas penangkapan menjadi penyebab utama penurunan jumlah ikan piscivore dan ikan komersial di sekitar lokasi studi di Pulau Kaledupa, Wakatobi. Sementara itu, Starr et al. (2004) menyimpulkan bahwa karakteristik habitat hanya menjelaskan 4% dari keragaman densitas ikan di daerah reservasi Central California, USA. Senada dengan hal ini, Unsworth et al. (2007) di Taman Nasional Laut Wakatobi

10 73 menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara kelimpahan kerapu dengan karakteristik habitat bentik. Walaupun spesies kerapu dipengaruhi oleh kualitas dan kompleksitas habitat, namun terdapat variabel lain yang berpengaruh lebih kuat, yakni tekanan penangkapan. Sementara, Chabanet et al. (1997) menemukan bahwa variabel substrat bentik karang di Reunion Island, Laut Hindia berkorelasi erat dengan kekayaan spesies dan keanekaragaman ikan karang. Berbeda dengan hasil penelitian ini, Edgar and Barret (1997) menyimpulkan bahwa lokasi studi di reservasi laut Tasmania menunjukkan kemiripan yang lebih besar berdasarkan parameter abiotik dibandingkan dengan status perlindungan. Sejalan dengan itu, Friedlander et al. (2003) mencatat bahwa ekspos gelombang, tutupan karang hidup dan kompleksitas habitat menjadi parameter lingkungan yang penting secara ekologi bagi kelompok ikan karang di Hawaii dan parameter ini harus dipertimbangkan dalam mendesain reservasi laut di masa mendatang. Sementara, Kamukuru et al. (2004) menemukan bahwa terdapat peningkatan signifikan kelimpahan dan biomassa ikan dengan meningkatnya kompleksitas dan tutupan karang keras di Mafia Island Marine Park, Tanzania. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke dan Speight 2005). 6.5 Efektivitas Ekologi Zona Inti Kawasan reservasi laut dapat berfungsi sebagai penyangga untuk menghadapi kerusakan yang diakibatkan oleh interaksi antara eksploitasi dan kondisi lingkungan yang ekstrim (Bohnsack 1993 dalam Starr et al. 2004), sekaligus sebagai pelindung dari resiko ketidakpastian pengelolaan perikanan (Lauck et al dalam Starr et al. 2004). Lebih lanjut kawasan ini dapat membantu dalam keberlanjutan dan peningkatan kondisi stok perikanan (Murray et al.1999).

11 74 Beberapa studi menunjukkan dampak manfaat suatu kawasan reservasi laut terhadap populasi ikan dan invertebrata. Dampak tersebut termasuk meningkatnya kelimpahan dan meningkatnya ukuran dan umur individu dari populasi ikan yang menjadi target penangkapan (Starr et al. 2004). Kawasan larang ambil dapat juga meningkatkan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004), keanekaragaman spesies ( Russ and Alcala 1996) dan stabilitas komunitas (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004). Dampak suatu kawasan reservasi dapat mencapai kawasan di luar batas reservasi melalui limpahan (spillover) individu dewasa dan/atau larva ke daerah penangkapan (fishing ground) (Russ 1991b; Castilla and Fernandez 1998 dalam Starr et al. 2004). Zona inti III TNL-Kepulauan Seribu yang mencakup Pulau Belanda dan Pulau Kayu Angin Bira merupakan kawasan larang ambil (tertutup bagi aktivitas ekstraksi). Kawasan ini hanya diperbolehkan untuk aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Penetapan kawasan zona inti III terutama bertujuan untuk melindungi ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut dimana berbagai jenis ikan karang, termasuk jenis-jenis kerapu turut menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik habitat bentik di zona inti tidak berbeda secara signifikan dengan di zona pemukiman, dan rerata penutupan karang mati di zona inti terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Lebih lanjut analisis multivariat menggunakan analisis kelompok tidak menunjukkan adanya pengelompokan habitat bentik menurut zonasi, yang juga berarti status perlindungan yang berlaku di zona inti tidak memberikan dampak bagi kondisi terumbu karang. Berdasarkan kedua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zona inti III tidak efektif dalam mencapai tujuan penetapannya, yakni perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang. Status reservasi yang disandang tidak berdampak pada perbaikan kualitas habitat, seperti pemulihan karang (Roberts and Polunin 1993 dalam Starr et al. 2004) di kawasan tersebut. Karakteristik komunitas kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara zona inti dan zona pemukiman, walaupun untuk beberapa

12 75 variabel, tidak cukup fakta untuk menunjukkan perbedaan diantara ke dua zona tersebut. Namun dapat disimpulkan secara umum bahwa di zona inti ditemukan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu yang lebih tinggi dibandingkan dengan di zona pemukiman. Kelimpahan kerapu di zona inti terutama didominasi oleh individu yang berukuran lebih besar, menunjukkan struktur komunitas yang lebih matang (Unsworth et al. 2007). Berdasarkan karakteristik populasi tersebut terlihat bahwa zona inti cukup efektif dalam mempertahankan dan memelihara keanekaragaman dan kelimpahan populasi kerapu, terutama dari tekanan penangkapan. Namun demikian, beberapa variabel populasi kerapu berdasarkan hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, seperti distribusi frekuensi ukuran dan CPUE. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun cukup efektif, namun pengelolaan kawasan zona inti belum mencapai level optimal. Starr et al. (2004) mengajukan beberapa kemungkinan alasan kenapa suatu area reservasi laut tidak menunjukkan performa yang bagus dan optimal, yakni: 1) kawasan reservasi terlalu kecil untuk terjadinya akumulasi biomassa atau mempertahankan populasi spesies target atau spesies langka, 2) terjadinya limpahan (spillover) dalam intensitas tinggi dari area reservasi ke area nonreservasi, 3) proses pemulihan akibat eksploitasi berlebihan di area reservasi masih berlangsung, 4) pencurian ikan merupakan faktor yang signifikan di lokasi reservasi, atau 5) dampak dari eksploitasi oleh manusia dulunya telah menyebabkan perubahan fungsi ekosistem dalam skala luas yang mempengaruhi area reservasi dan non-reservasi secara bersamaan. Untuk kasus zona inti di lokasi penelitian, kemungkinan pertama cukup beralasan jika dilihat dari ukuran zona inti yang tidak terlalu luas. Jenis ikan kerapu memiliki home range (jangkauan habitat) yang sangat luas. Kebanyakan spesies kerapu pada saat-saat tertentu melakukan migrasi ke lokasi pemijahan yang jaraknya bisa mencapai ratusan mil sehingga peluang untuk tertangkap pada saat bermigrasi dan pada saat melakukan pemijahan massal (spawning aggregation) cukup besar. Meskipun perlu pembuktian lebih lanjut, dari ukuran ikan hasil tangkapan menggunakan bubu terlihat bahwa jumlah ikan berukuran besar terlihat tidak berbeda jauh diantara kedua zona, menunjukkan bahwa

13 76 terdapat kemungkinan kerapu berukuran besar tidak lagi banyak ditemukan di zona inti. Untuk mengetahui apakah kemungkinan kedua juga terjadi di lokasi studi, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat produktifitas tangkapan di perairan sekitar yang berbatasan dengan zona inti. Kemungkinan ketiga, keempat dan kelima juga cukup beralasan terjadi di zona inti mengingat sejarah eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Kepulauan Seribu yang sempat didominasi oleh praktek-praktek penangkapan yang bersifat merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bom dan potas serta masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan zona inti. Kondisi tutupan karang mati yang tinggi di zona inti menunjukkan bahwa tekanan lingkungan masih cukup besar terjadi di dalam kawasan ini. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil komunikasi pribadi dengan beberapa orang nelayan dan staf Balai TNL-KS, tidak efektifnya zona inti dalam melindungi ekosistem terumbu karang serta belum optimalnya dampak yang diharapkan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu, terutama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Belum ada pengawasan yang intensif dan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aturan di kawasan zona inti. Selama sampling berlangsung di zona inti, beberapa kali terlihat tindakan pelanggaran di dalam kawasan zona inti berupa aktivitas penangkapan menggunakan berbagai alat tangkap seperti: muro-ami, bubu kompresor dan pancing; 2) Kesadaran masyarakat akan manfaat zona inti masih rendah. Masih banyak nelayan yang tidak mengetahui tentang keberadaan zona inti, sedangkan beberapa nelayan yang mengetahui banyak yang tidak mengerti apa tujuan dan manfaatnya; 3) Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan, termasuk dalam hal pengawasan masih rendah; 4) Zona inti yang ada memang tidak dirancang untuk keperluan pengelolaan perikanan spesies target tertentu, khususnya perikanan kerapu, sehingga tidak mempertimbangkan aspek bio-ekologi ikan kerapu (seperti: daerah pemijahan massal dan daerah asuhan) sebagaimana kriteria penetapan zona inti yang

14 77 gunakan oleh Departemen Kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Gell and Roberts (2002) menekankan bahwa kunci untuk mendapatkan dampak manfaat dari sebuah reservasi adalah proteksi dilakukan di tempat dan waktu dimana spesies target sangat rentan terhadap aktivitas penangkapan. Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996), termasuk jenis-jenis kerapu (Claydon 2004). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997). 6.6 Implikasi Pengelolaan Ada 2 hal pokok dari hasil penelitian ini yang berimplikasi pada saran dan rekomendasi bagi pengelolan perikanan kerapu di lokasi penelitian, yaitu: 1) upaya untuk menekan intensitas penangkapan melalui penutupan suatu kawasan akan berdampak signifikan terhadap peningkatan kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian; 2) zona inti yang sudah ada cukup efektif dalam mempertahankan keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di dalam kawasan, namun relatif belum optimal. Berdasarkan hasil tersebut penelitian ini menyarankan 2 hal sebagai bagian dari upaya pengelolaan perikanan kerapu berbasis ekologi di perairan Kepulauan Seribu, yaitu: 1) Penguatan pengelolaan zona inti yang sudah ada untuk meningkatkan efektivitas zona inti dan memberikan dampak manfaat bagi komunitas dan habitat ikan kerapu, dengan cara: a) Melakukan pengawasan secara intensif dan penegakan hukum secara tegas, seperti: melakukan patroli rutin dan menindak setiap pelanggaran yang terjadi dalam kawasan zona inti. b) Melakukan sosialisasi dan penyadaran masyarakat, seperti: memasang papan pengumuman yang berisikan peta lokasi dan aturan yang berlaku dalam zona inti di sentra-sentra pemukiman nelayan, serta memasang tanda batas yang jelas di lokasi zona inti.

15 78 c) Melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan, terutama dalam hal pengawasan. Pelibatan masyarakat dapat membantu keterbatasan pengelola taman nasional dalam hal sumberdaya dan anggaran. d) Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan untuk perbaikan pengelolaan di masa mendatang. 2) Mengidentifikasi dan memetakan lokasi dan waktu pemijahan massal (spawning aggregation) spesies kerapu sebagai salah satu dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya 5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Brantas adalah sungai terpanjang yang ada di provinsi Jawa Timur. Panjangnya yaitu mencapai sekitar 320 km, dengan daerah aliran seluas sekitar 12.000 km 2

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi pesisir dan laut. Terumbu karang berperan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) KADAR SALINITAS, OKSIGEN TERLARUT, DAN SUHU AIR DI UNIT TERUMBU KARANG BUATAN (TKB) PULAU KOTOK KECIL

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

Kata kunci: habitat bentik, kawasan lindung laut, keanekaragaman, kelimpahan, kerapu, manajemen

Kata kunci: habitat bentik, kawasan lindung laut, keanekaragaman, kelimpahan, kerapu, manajemen KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN IKAN KERAPU (SERRANIDAE) DI DAERAH RESERVASI (ZONA INTI) DAN NON-RESERVASI (ZONA PEMUKIMAN) TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA 1 (The diversity and abundance of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan Seribu Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI Muhammad Yunan Fahmi 1, Andik Dwi Muttaqin 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci