Bab II. Landasan Teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II. Landasan Teori"

Transkripsi

1 Bab II Landasan Teori Di dalam thesis penelitian ini, terdapat beberapa landasan teori yang digunakan sebagai penunjang. Teori tersebut diantaranya mengenai pengolahan citra, feature extraction, normalisasi data, penyakit osteoarthritis, dan jaringan syaraf tiruan backpropagation. II. 1 Pengolahan Citra (Image Processing) Pengolahan citra adalah suatu sistem dimana proses dilakukan dengan masukan berupa citra dan menghasilkan citra pula dengan kualitas yang lebih baik. Terminologi yang berkaitan dengan pengolahan citra adalah computer vision. Pada hakikatnya computer vision mencoba meniru cara kerja human vision (sistem visual manusia). Human vision sesungguhnya sangat kompleks, dimana manusia melihat objek dengan mata, lalu citra objek diteruskan ke otak untuk diinterpretasi sehingga manusia mengerti objek apa yang tampak dalam matanya. Computer vision merupakan proses otomatis yang mengintegrasikan sejumlah besar proses untuk persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra, klasifikasi, pengenalan (recognation), dan membuat keputusan. Sesuai dengan perkembangan computer vision itu sendiri, pengolahan citra mempunyai dua tujuan utama (Ahmad, 2005), yakni : 1. Memperbaiki kualitas citra, dimana citra yang dihasilkan dapat menampilkan informasi secara jelas sehingga dapat diinterpretasikan oleh manusia.

2 7 2. Mengekstrasi informasi ciri yang menonjol pada suatu citra dimana hasilnya adalah informasi citra yang bisa didapat manusia secara numerik atau dengan kata lain komputer melakukan interpretasi terhadap informasi yang ada pada citra melalui nilai-nilai data yang dapat dibedakan secara jelas. Dalam perkembangan lebih lanjut dari ilmu komputasi yang menggunakan pengolahan citra, pengenalan terhadap suatu penyakitlah yang lebih banyak dimanfaatkan dan diaplikasikan. Hal ini dikarenakan pengenalan/pendeteksian suatu penyakit akan membantu pengobatan agar lebih cepat ditangani, sehingga menjauhkan kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosa maupun analisis yang dilakukan secara manual oleh pihak medis. Citra itu sendiri pengertiannya merupakan sebuah representasi informasi dua dimensi yang diciptakan dengan melihat atau merasakan sebuah objek. Secara matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya pada bidang 2D (Purnomo & Puspitodjati, 2010). Citra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah citra X-ray bergambar rangka tulang tangan yang setelah melalui proses scan akan berbentuk citra digital. Citra digital akan didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dimana x menyatakan nomor baris, y menyatakan nomor kolom, dan f menyatakan nilai warna pada citra. Fungsi tersebut dapat digambarkan pula dalam bentuk matriks dengan ukuran N baris x M kolom seperti di bawah ini

3 8 Dalam setiap citra digital, mengandung sejumlah elemen-elemen dasar berupa kecerahan (brightness), kontras (contrast), kontur (contour), warna (color), bentuk (shape), dan tekstur (texture). Citra digital inilah yang kemudian akan dipergunakan sebagai data masukan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit osteoathritis dengan elemen dasar yang dipilih pada penelitian ini adalah dari tingkat intensitas warna dan tekstur. II.1.1 Konversi Warna RGB ke Greyscale Sistem pengolahan citra yang pertama akan dilakukan di dalam penelitian ini adalah mengkonversi warna citra true color (24 bit) pada X-ray menjadi greyscale (8 bit). Untuk mendapatkan nilai greyscale, setiap piksel pada citra yang terdiri atas nilai R (Red), G (Green), B (Blue) akan dirata-rata sehingga akan menghasilkan nilai keabuan berinterval 0 s/d 255. Hasil dari konversi warna dapat dilihat pada gambar di bawah ini : a b Gambar 1. (a) Citra X-ray 24 bit hasil Scan; (b) Citra X-ray 8 bit hasil konversi II.1.2 Thresholding Thresholding merupakan salah satu proses pengolahan citra yang digunakan untuk mengelompokkan piksel-piksel dalam batas intensitas tertentu. Selain itu, thresholding juga berfungsi untuk memisahkan bagian citra yang sesuai

4 9 dengan objek (foreground) dan latar belakangnya (background), serta mengubah citra menjadi citra biner (binerisasi) agar mempermudah proses selanjutnya (Ahmad, 2005). Di dalam penelitian ini, untuk menentukan nilai threshold diperlukan pembelajaran berupa pengetahuan sifat-sifat dari masing-masing citra yang akan diproses yaitu dengan melakukan try and error berulang hingga mendapatkan nilai threshold yang kurang lebih cocok untuk semua citra (Nugroho, 2005). a b Gambar 2. (a)citra X-ray Greyscale; (b)citra X-ray Greyscale setelah Thresholding Gambar di atas merupakan salah satu contoh dari hasil penggunaan thresholding (untuk gambar b) dengan threshold sebesar 80. Nilai threshold akan menentukan batasan dari nilai-nilai piksel mana yang akan dikategorikan sebagai background dan mana yang dikategorikan sebagai foreground. Piksel dengan nilai lebih kecil dari threshold yang diberikan akan diset menjadi nol, sedangkan piksel dengan nilai yang lebih besar sama dengan dari threshold akan bernilai tetap. II. 2 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction) Ekstraksi fitur (feature extraction) atau juga dikenal dengan sebutan indexing, merupakan langkah awal dalam melakukan suatu klasifikasi dan interpretasi citra. Proses ini berkaitan dengan kuantisasi karakteristik citra ke dalam sekelompok nilai fitur yang sesuai. Dengan adanya ekstraksi fitur,

5 10 informasi penting yang berada dalam citra tersebut dapat diambil dan disimpan ke dalam vektor fitur (feature vector). Fitur-fitur yang dapat diekstrak pada citra dapat berdasarkan elemen warna, bentuk, tekstur, kecerahan, kontur, dan kontras dengan menggunakan teknik ekstraksi fitur tertentu. Pemilihan teknik ekstraksi fitur akan mempengaruhi bentuk nilai serta jumlah fitur yang didapat, sehingga diperlukan analisis sebelumnya terhadap jenis data yang akan diekstrak serta elemen dasar apa yang memang tepat untuk digunakan sebagai vektor fitur. Vektor fitur inilah yang kemudian dapat juga disebut dengan descriptor atau index (Lu, 1963). Dan di dalam penelitian ini, fitur yang diekstrak adalah berdasarkan intensitas warna dan tekstur yang terkandung di dalam citra X-ray. II.2.1 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Intensitas Warna Informasi warna sangat diperlukan sebagai pendeskripsi sebuah objek dalam proses analisis suatu citra. Proses ekstraksi objek dalam suatu citra dapat disederhanakan dengan mengambil intensitas warnanya. Intensitas atau kecerahan warna pada citra didapat dari hasil penyederhanaan ketiga komponen nilai warna RGB (24 bit) menjadi satu buah komponen intensitas (8 bit). Warna yang didapat merupakan tingkat kecerahan atau nilai keabuan yang umumnya berada diantara level Semakin tinggi levelnya, semakin cerah citra tersebut. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah levelnya, semakin gelap citra tersebut. Intensitas atau kecerahan warna dari suatu citra bisa dilihat melalui sebuah histogram.

6 11 II Histogram Citra Histogram citra merupakan grafik yang dapat digunakan untuk mengetahui sebaran tingkat keabuan suatu citra (Purnomo & Muntasa, 2010). Histogram dihitung dengan rumus berikut : Dimana : n i = jumlah piksel yang memiliki nilai keabuan i (i = 0...L-1) L = maksimal interval warna n = total piksel dalam citra h i = probabilitas dari nilai keabuan i Gambar 3. Histogram dengan tingkat keabuan Gambar di atas merupakan bentuk dari histogram citra yang memiliki tingkat keabuan (greylevel) sebanyak 256 warna. Pada penelitian ini, tingkat keabuan yang digunakan kemudian akan dikelompokkan lagi menjadi skala tertentu melalui proses kuantisasi.

7 12 II Kuantisasi Citra Kuantisasi citra merupakan bagian dari proses digitasi citra analog, yaitu sebuah teknik pengelompokkan nilai tingkat keabuan citra kontinu ke dalam beberapa level. Kuantisasi juga merupakan sebuah proses membagi skala keabuan [0, L] menjadi G buah level yang dinyatakan dengan suatu harga bilangan bulat (integer) : G = 2 m Dimana : G = derajat keabuan m = bilangan bulat positif atau jumlah bit Kuantisasi akan menentukan resolusi kecemerlangan dari suatu citra. Jika skala yang digunakan terlalu kecil, resolusi citra akan semakin kecil dan hal tersebut bisa menyebabkan citra terlihat buram, patah-patah atau tidak jelas. Dalam resolusi kecemerlangan, kuantisasi dibagi menjadi tiga jenis : a. Kuantisasi Uniform Kuantisasi ini mempunyai interval pengelompokkan tingkat keabuan yang sama (misalnya, intensitas 1 s/d 10 diberi nilai 1, intensitas 11 s/d 20 diberi nilai 2, dan seterusnya). b. Kuantisasi Non-uniform Kuantisasi yang lebih halus diperlukan terutama pada bagian citra yang menggambarkan detail atau tekstur atau batas suatu daerah objek, dan kuantisasi yang lebih kasar diberlakukan pada daerah yang sama pada bagian objek

8 13 c. Kuantisasi Tapered Bila ada daerah tingkat keabuan yang sering muncul sebaiknya dikuantisasi secara lebih halus dan di luar batas daerah tersebut dapat dikuantisasi secara lebih kasar. II.2.2 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Tekstur Tekstur merupakan karakteristik intrinsik dari suatu citra yang terkait dengan tingkat kekasaran (roughness), granularitas (granulation), dan keteraturan (regularity) susunan struktural piksel. Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga. Analisis tekstur penting dan berguna dalam bidang computer vision. Dari elemen tekstur, sebuah citra akan dapat dimanfaatkan dalam proses segmentasi, klasifikasi, maupun interpretasi citra. Ekstraksi fitur citra berdasarkan tekstur pada orde pertama dapat menggunakan metode statistik, yaitu dengan melihat statistik distribusi derajat keabuan pada histogram citra tersebut (Wong & Zrimec, 2006). Dari nilai-nilai pada histogram yang dihasilkan, dapat dihitung parameter ciri atau fitur antara lain : a. Variance (σ 2 ) Menunjukkan variasi elemen pada histogram dari suatu citra Dimana : μ = nilai rata-rata piksel yang ada di dalam suatu citra f n = nilai intensitas keabuan

9 14 p(f n ) = nilai histogramnya (probabilitas kemunculan intensitas pada citra) b. Skewness (α 3 ) Menunjukkan tingkat kecondongan relatif kurva histogram dari suatu citra c. Entropy (H) Menunjukkan ukuran ketidakteraturan bentuk dari suatu citra d. Relative Smoothness (R) (Singh & Mazumdar, 2010) Menunjukkan tingkat kehalusan relatif dari bentuk suatu citra Fitur-fitur ini diterapkan pada penelitian Wong & Zrimec sebagai karakteristik dari sebuah kista (honeycombing cycts) dalam CT. Scan paru-paru, dan menghasilkan persentase klasifikasi yang baik yaitu antara 83,3% - 8,7%. Dan fitur-fitur ini lah yang kemudian peneliti coba terapkan pula dalam mengambil karakteristik dari penyakit osteoarthritis pada data Manus X-ray. II. 3 Normalisasi Data Normalisasi data merupakan sebuah metode untuk mengelompokkan range atau interval dari nilai-nilai yang berbeda ke dalam skala yang sama yang lebih kecil. Normalisasi penting digunakan untuk memberikan bobot yang sama terhadap nilai-nilai fitur yang berbeda dari hasil ekstraksi.

10 15 Normalisasi pada vektor fitur dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan pada penelitian ini normalisasi yang dipergunakan adalah dengan metode Min- Max Normalization [10] : Dimana : D = data hasil normalisasi D = nilai sebelum normalisasi U = nilai batas atas (upper bound) L = nilai batas atas (lower bound) Penggunaan rumus di atas akan menghasilkan data akan dikelompokkan ke dalam interval [0.1, 0.9]. Hal ini disesuaikan dengan penggunaan fungsi aktivasi sigmoid biner pada proses jaringan syaraf tiruan di dalam penelitian ini yang memiliki interval [0, 1]. Namun, jika fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid bipolar, maka data perlu dinormalisasikan ke interval [-1, 1] atau interval lain yang mendekati terlebih dulu. II. 4 Osteoarthritis Osteoarthritis (OA) atau dikenal sebagai pengapuran adalah suatu penyakit tulang yang menggambarkan kerusakan pada tulang rawan sendi. Dikarenakan proses kerusakan terjadi pada rawan sendi, maka kelainan dan nyeri yang dijumpai umumnya tejadi pada sendi-sendi tulang rawan atau kartilago (Jauwerissa, 2009).

11 16 II.4.1 Faktor dan Gejala Osteoarthritis Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit osteoathritis diantaranya usia yang sudah diatas 45 tahun, berat badan yang berlebihan, sehingga mengakibatkan tekanan pada sendi-sendi, Adanya cedera atau trauma otot, aktifitas yang memerlukan pergerakan terus menerus, adanya penyakit lainnya seperti Rheumatoid Athritis (RA), akromegali, gout, dan lain-lain Osteoarthritis umumnya bermula dari kelainan sel-sel yang membentuk komponen tulang rawan seperti kolagen dan proteoglikan. Akibat dari kelainan tersebut, tulang rawan akhirnya menipis dan membentuk retakan-retakan pada permukaan sendi. Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang di bawah tulang rawan tersebut. Keadaan itu akan membuat tubuh berusaha memperbaiki kerusakannya dengan membentuk tulang baru dan mengakibatkan timbulnya benjolan pada pinggiran sendi (osteophyte). Gejala yang ditimbulkan juga secara bertahap, diawali dengan rasa nyeri dan kekakuan pada sendi. Sendi-sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung bawah, jari kaki, panggul dan lutut adalah bagian yang paling sering terkena osteoarthritis. II.4.2 Diagnosa X-ray Osteoarthritis Dalam mendiagnosa osteoathritis, pakar rheumatologi umumnya dapat melakukan tiga serangkaian pemeriksaan, yaitu analisis terhadap gejala yang ditimbulkan, pemeriksaan fisik sendi, dan pemeriksaan tambahan seperti rontgen tulang (sinar X-ray), MRI (Magnetic Resonance Imaging), dan arthrocentesis. Pemeriksaan tambahan tersebut dilakukan hanya jika ingin diketahui seberapa

12 17 besar tingkat osteoarthritis yang telah diderita serta untuk mempertegas kondisi pasien. Dengan foto rontgen, seorang rheumatologi dapat mengetahui adanya osteoarthritis beserta derajatnya. Hal ini akan memberikan pengobatan yang tepat bagi penderita osteoarthritis sehingga tidak overtreatment ataupun undertreatment. s Gambar 4. Struktur Rangka Tangan Manusia ( Computer Vision, 2005) Berdasarkan analisa foto rontgen, penyakit osteoarthritis dapat dibagi menjadi empat tingkat (grade) keparahan yaitu (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003) : a. Grade 1 (Doubtful) : Distal Interphalangeal joints : Sendi normal, dan osteofit (osteophyte) di satu titik Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di satu titik dan dimungkinkan adanya kista (cyst)

13 18 First Carpometacarpal joint : Osteofit kecil dan dimungkinkan terbentuknya kista (cyst) b. Grade 2 (Minimal) : Distal Interphalangeal joints : Osteofit di dua titik dengan sedikit subchondral sclerosis dan kadang subchondral cysts, tapi tidak ada penyempitan ruang sendi dan kelainan Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di dua titik dan dimungkinkan ada penyempitan ruang sendi di satu titik First Carpometacarpal joint : Adanya osteofit dan dimungkinkan adanya kista (cyst) c. Grade 3 (Moderate) : Distal Interphalangeal joints : Osteofit di beberapa titik, adanya kelainan bentuk tulang, dan penyempitan ruang sendi Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di banyak titik, adanya kelainan bentuk tulang First Carpometacarpal joint : Osteofit di beberapa titik, penyempitan ruang sendi, subchondral sclerosis, dan kelainan bentuk tulang d. Grade 4 (Severe) : Distal Interphalangeal joints : Banyak osteofit, kelainan bentuk tulang dengan kerusakan ruang sendi, sclerosis dan kista (cysts) Proximal Interphalangeal joints : Banyak osteofit, penyempitan ruang sendi, subchondral sclerosis, dan sedikit kelainan

14 19 First Carpometacarpal joint : Banyak osteofit, sclerosis parah, dan penyempitan ruang sendi. a b Gambar 5. (a) Citra X-ray normal atau non-osteoathritis; (b) Citra X-ray osteoarthritis (Szendroi, 2008) a b c d Gambar 6. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada Distal Interphalangeal joints: (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4 (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003) a b c d Gambar 7. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada Proximal Interphalangeal joints : (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4 (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

15 20 a b c d Gambar 8. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada First Carpometacarpal joint : (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4 (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003) II.5 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Saraf Tiruan (JST) didefinisikan sebagai suatu sistem pemrosesan informasi yang mempunyai karakteristik menyerupai jaringan saraf manusia. Jaringan saraf tercipta sebagai suatu generalisasi model matematis dari pemahaman manusia (Siang, 2005). Ada beberapa tipe jaringan syaraf, namun demikian, hampir semuanya memiliki komponen-komponen yang sama. Seperti halnya otak manusia, jaringan syaraf tiruan juga terdiri dari beberapa neuron, dan ada hubungan antara neuronneuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan mentransformasikan informasi yang diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron yang lain. Pada jaringan syaraf tiruan, hubungan ini dikenal dengan nama bobot. Informasi tersebut disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot tersebut. Gambar 9. Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan

16 21 Gambar diatas menunjukkan bahwa neuron buatan sebenarnya dibangun mirip dengan sel neuron biologis. Neuron-neuron buatan bekerja dengan cara yang sama pula dengan sel neuron biologis. Informasi (disebut dengan input) akan dikirim ke neuron dengan bobot kedatangan tertentu. Input ini akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot yang datang. Hasil penjumlahan ini kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron. Apabila input tersebut melewati semua nilai ambang tertentu, maka neuron tersebut diaktifkan, tapi kalau tidak, maka neuron tersebut tidak akan diaktifkan. Apabila neuron tersebut akan diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output melalui bobot-bobot outputnya ke seluruh neuron yang berhubungan dengannya. Demikian seterusnya. Jaringan syaraf tiruan yang telah dan sedang dikembangkan merupakan pemodelan matematika dari jaringan syaraf biologis, berdasarkan asumsi : - Pemrosesan info terjadi pada banyak elemen pemroses sederhana yang disebut neuron. - Sinyal dilewatkan antar neuron yang membentuk jaringan neuron. - Setiap elemen pada jaringan neuron memiliki 1 (satu) pembobot. Sinyal yang dikirimkan ke lapisan neuron berikutnya adalah info dikalikan dengan pembobot yang bersesuaian. - Tiap-tiap neuron mengerjakan fungsi aktivasi untuk mendapatkan nilai output masing-masing. Jaringan syaraf tiruan di dalam penggunaannya dapat terbagi menjadi bermacam arsitektur, dimulai dari jaringan syaraf yang paling sederhana yaitu

17 22 single-layer yang hanya terdiri atas layer input dan sebuah unit output dan jaringan syaraf multi-layer dengan adanya hidden layer diantara layer input dan output. Untuk beberapa kasus, jaringan syaraf multi-layer memang cenderung lebih menguntungkan, tetapi pada umumnya dengan satu layer saja sudah memadai untuk menyelesaikan berbagai masalah. Beberapa model jaringan, seperti backpropagation, menerapkan sebuah unit bias sebagai bagian tiap lapisan. Unit ini mempunyai nilai pengaktifan konstan berharga 1, atau bernilai random dengan faktor skala tertentu yang didapat dari metode Nguyen Widrow, dimana tiap unit bias dihubungkan ke semua unit pada lapisan selanjutnya yang lebih tinggi dan pembobotan padanya diatur selama back-error propagation. Unit bias memberikan masa konstan dalam jumlah pembobotan dari unit-unit di lapisan selanjutnya. Hasilnya kadang kala merupakan properti konvergensi (menuju target) dari jaringan. Pada JST, belajar adalah proses pembentukan konfigurasi nilai-nilai bobot dari jaringan. Proses ini bertujuan agar input-input yang diberikan padanya akan direspon melalui bobot-bobot tersebut sehingga menghasilkan output yang sesuai atau mendekati dengan target. Secara umum, proses pembelajaran JST dapat dikategorikan dalam dua jenis proses (Purnomo & Kurniawan, 2006) : Supervised training (Pelatihan terbimbing) Pada tipe pembelajaran ini, tiap pola input memiliki pola target, sehingga masing-masing input memiliki pasangan output yang bersesuaian. Dalam hal ini, dapat diterapkan toleransi kesalahan output respon terhadap target

18 23 yang seharusnya. Error digunakan untuk mengubah bobot sambungan sehingga kesalahan akan semakin kecil dalam siklus pelatihan berikutnya. Unsupervised training (Pelatihan tidak terbimbing) Pada pelatihan ini, vektor target tidak dibutuhkan untuk keluarannya sehingga tidak ada perbandingan untuk menentukan respon yang ideal. Proses ini hanya terdiri dari vektor-vektor masukan, dan berfungsi sebagai pengubah pembobot jaringan untuk menghasilkan pola vektor, sehingga penerapan dua vektor pelatihan suatu vektor lain yang cukup sejenis menghasilkan pola keluaran yang sama Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Ada berbagai algoritma diterapkan di dalam jaringan syaraf tiruan, salah satunya adalah algoritma pelatihan Backpropagasi (Backpropagation). Metode Backpropagasi atau disebut juga propagasi balik pertama kali dirumuskan oleh Werbos dan dipopulerkan oleh Rumelhart bersama McClelland untuk dipakai pada jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006). Algoritma ini termasuk metode pelatihan terbimbing (supervised), yaitu metode pelatihan yang memasukkan target keluaran dalam data untuk proses pelatihannya, dan didesain untuk operasi pada jaringan syaraf tiruan feed forward multi-layer (lapis banyak) Algoritma ini juga banyak dipakai pada aplikasi pengendalian karena proses pelatihannya didasarkan pada interkoneksi yang sederhana, yaitu : Jika keluaran memberikan hasil yang salah, maka bobot dikoreksi supaya galatnya dapat diperkecil dan tanggapan JST selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati nilai yang benar. backpropagation juga berkemampuan untuk memperbaiki bobot pada lapis tersembunyi (hidden layer).

19 24 Secara garis besar, ketika JST backpropagation diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapis tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapis keluaran. Kemudian unit-unit lapis keluaran memberikan tanggapan yang disebut sebagai keluaran JST. Saat keluaran JST tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan disebarkan mundur (backward) pada lapis tersembunyi diteruskan ke unit pada lapis masukan. Oleh karenanya maka mekanisme pelatihan tersebut dinamakan backpropagation/propagasi balik. Tahap ini termasuk dalam tahap pelatihan, dan apabila proses pelatihan tersebut selesai, fase ini disebut juga sebagai fase mapping atau proses pengujian / testing. Kemampuan dalam mengurangi galat yang terjadi antara target dengan output pada tahap propagasi balik merupakan kelebihan yang dimiliki pada arsitektur JST backpropagation, sehingga banyak dimanfaatkan di beberapa penelitian terutama di bidang medis. Seperti di dalam penelitian Savio et al (2006) yang mempergunakan backpropagation untuk mengklasifikasikan penyakit Alzheimer dari 98 data MRI otak manusia (49 normal dan 49 mild AD), telah berhasil memberikan diagnosa kelas dengan keakuratan mencapai 78%. Penelitian lainnya juga diterapkan oleh Al-Shayea & Bahia (2010) untuk mendiagnosis penyakit kandung kemih (urinary bladder) dengan menggunakan arsitektur feedforward backpropagation, yang telah berhasil mengklasifikasikan antara kelas terinfeksi dan kelas non-terinfeksi dengan ketepatan hingga mencapai 99%. Seperti halnya dengan kedua penelitian tersebut, penelitian ini juga akan diterapkan dengan mengaplikasikan arsitektur backpropagation dan diharapkan

20 25 akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi pula dalam mendiagnosis kelas/derajat penyakit osteoarthritis Arsitektur Backpropagation Backpropagation merupakan salah satu dari metode jaringan syaraf tiruan yang memiliki arsitektur yang lebih kompleks. Umumnya arsitektur dari JST backpropagation terdiri dari tiga bagian yang meliputi bagian masukan (input layer), lapis tersembunyi (hidden layer) dan keluaran (output layer). Disamping itu juga terdapat parameter-parameter yang lainnya. Gambar 10. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan Multilayer (Lin, Chu, Lee & Huang, 2008) Gambar diatas merupakan arsitektur dari JST multilayer dengan metode backpropagation. W xh merupakan bobot garis dari unit masukan Xi ke unit layer tersembunyi H j. W hy merupakan bobot dari unit layer tersembunyi H j ke unit keluaran Y t Pemilihan Bobot dan Bias Awal Dalam jaringan syaraf tiruan, bobot awal akan mempengaruhi apakah jaringan mencapai titik minimum lokal atau global, dan seberapa cepat konvergensinya.

21 26 Bobot yang menghasilkan nilai turunan aktivasi yang kecil sedapat mungkin dihindari karena akan menyebabkan perubahan bobotnya menjadi sangat kecil. Demikian pula nilai bobot awal tidak boleh terlalu besar karena nilai turunan fungsi aktivasinya menjadi sangat kecil juga. Oleh karena itu dalam standar backpropagation, bobot dan bias diisi dengan bilangan acak kecil. Pada tahun 1990, Nguyen dan Widrow mengusulkan cara membuat inisialisasi bobot dan bias ke unit tersembunyi sehingga menghasilkan iterasi lebih cepat (Siang, 2005). Algoritma inisialisasi Nguyen Widrow adalah sebagai berikut : a. Inisialisasi semua bobot (v ji ( lama )) dengan bilangan acak dalam interval [-0.5, 0.5]. b. Hitung vj = v 2 j1 + v 2 2 j v jn c. Bobot yang dipakai sebagai inisialisasi = v ji = [β.v ji (lama)] / v j d. Bias yang dipakai sebagai inisialisasi = v j0 = bilangan acak antara -β dan β. Dimana ; n p β : jumlah unit masukan : jumlah unit tersembunyi : faktor skala = 0.7 n p Fungsi Aktivasi Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi beberapa syarat yaitu : kontinu, terdeferensial dengan mudah dan merupakan fungsi yang tidak turun. Beberapa fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut

22 27 sehingga sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range [0,1] dan fungsi sigmoid bipolar dengan range [-1, 1]. a) Fungsi sigmoid biner Dengan turunan : Fungsi diatas dapat digambarkan : Gambar 11. Fungsi Sigmoid Biner, Range [0,1] (Siang, 2005) b) Fungsi sigmoid bipolar Dengan turunan : Ilustrasi fungsi diatas dapat digambarkan :

23 28 Gambar 12. Fungsi Sigmoid Bipolar, Range [-1,1] (Siang, 2005) Fungsi sigmoid memiliki nilai maksimum = 1. Maka untuk pola yang targetnya > 1, pola masukan dan keluaran harus terlebih dahulu ditransformasi sehingga semua polanya memiliki range yang sama seperti fungsi sigmoid yang dipakai. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi aktivasi sigmoid hanya pada lapis yang bukan lapis keluaran. Pada lapis keluaran, fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi identitas : f(x) = x Pelatihan Standar Backpropagation Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase, yaitu (Hermawan, 2006): I. Fase I : Propagasi maju Selama propagasi maju, sinyal masukan (= x i ) dipropagasikan ke layer tersembunyi menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Keluaran dari setiap unit layer tersembunyi (= z j ) tersebut selanjutnya dipropagasikan maju lagi ke layer tersembunyi di atasnya menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Demikian seterusnya hingga menghasilkan keluaran jaringan (= y k ). Berikutnya, keluaran jaringan (= y k ) dibandingkan dengan target yang harus dicapai (= t k ). Selisih h k -y k adalah kesalahan atau galat yang terjadi. Jika galat ini lebih kecil dari batas toleransi yang ditentukan, maka iterasi

24 29 dihentikan. Akan tetapi apabila galat masih lebih besar dari batas toleransi, maka bobot setiap garis dalam jaringan akan dimodifikasi untuk mengurangi galat yang terjadi. II. Fase II : Propagasi mundur Berdasarkan galat t k -y k, dihitung faktor δ k (k = 1, 2,..., m) yang dipakai untuk mendistribusikan galat di unit y k ke semua unit tersembunyi yang terhubung langsung dengan y k. δ k juga dipakai untuk mengubah bobot garis yang berhubungan langsung dengan unit keluaran. Dengan cara yang sama, dihitung faktor δ, di setiap unit di layer tersembunyi sebagai dasar perubahan bobot semua garis yang berasal dari unit tersembunyi di layer di bawahnya. Demikian seterusnya hingga semua faktor δ di unit tersembunyi yang berhubungan langsung dengan unit masukan dihitung. III. Fase III : Perubahan bobot Setelah semua faktor δ dihitung, bobot semua garis dimodifikasi bersamaan. Perubahan bobot suatu garis didasarkan atas faktor δ neuron di layer atasnya. Sebagai contoh, perubahan bobot garis yang menuju ke layer keluaran di dasarkan atas δ k yang ada di unit keluaran. Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian dipenuhi. Umumnya kondisi penghentian yang sering dipakai adalah jumlah iterasi atau galat. Iterasi akan dihentikan jika jumlah iterasi yang dilakukan sudah melebihi jumlah maksimum iterasi yang ditetapkan, atau

25 30 jika kesalahan yang terjadi sudah lebih kecil dari batas toleransi yang diizinkan. 1. Algoritma pelatihan backpropagation terdiri dari dua tahapan, feed forward dan backpropagation dari galatnya : a) Langkah 0 : Pemberian inisialisasi penimbang(diberi nilai kecil secara acak) b) Langkah 1 : Ulangi langkah 2 hingga 9 sampai kondisi akhir iterasi dipenuhi c) Langkah 2 : Untuk masing-masing pasangan data pelatihan lakukan langkah 3 hingga Umpan maju (Feed Forward) d) Langkah 3 : Masing-masing unit masukan (X i, i = 1,.n) menerimasinyal masukan Xi dan sinyal tersebut disebarkan ke unit-unit bagian berikutnya (unit-unit lapis tersembunyi). e) Langkah 4 : Masing-masing unit di lapis tersembunyi dikalikan dengan penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan biasnya Z_in j = V j0 + X i V ji Kemudian dihitung sesuai dengan fungsi pengaktif yang digunakan : Z j = f(z_in j )

26 31 Bila yang digunakan adalah fungsi sigmoid maka bentuk fungsi tersebut adalah : Sinyal keluaran dari fungsi pengaktif tersebut dikirim ke semua unit di lapis keluaran. f) Langkah 5 : Masing-masing unit keluaran (Yk, k = 1,2,3 m) dikalikan dengan penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan biasnya : Y_in k = W k0 + Z j.w kj Kemudian dihitung kembali sesuai dengan fungsi pengaktif y k = f(y_in k ) 3. Backpropagasi (Backpropagation) dan Galatnya g) Langkah 6 : Masing-masing unit keluaran (Y k, k = 1,.,m) menerima pola target sesuai dengan pola masukan saat pelatihan/training dan dihitung galatnya : δ k = ( t k y k ) f, (y_in k ) karena f, (y_in k ) = y k menggunakan fungsi sigmoid, maka : f, (y_in k ) = f(y_in k )(1 - f(y_in k )) = y k (1 y k ) Menghitung perbaikan penimbang (kemudian untuk memperbaiki W kj ).

27 32 W k j =α.δ k.z j Menghitung perbaikan korelasi : W k0 = α.δ k Dan menggunakan nilai delta (δ k ) pada semua unit lapis sebelumnya. h) Langkah 7 : Masing-masing penimbang yang menghubungkan unit-unit lapis keluaran dengan unit-unit pada lapis tersembunyi (Z j, j = 1, p) dikalikan dengan delta (δ k ) dan dijumlahkan sebagai masukan ke unit-unit lapis berikutnya. δ_in j = δ k W k j Selanjutnya dikalikan dengan turunan dari fungsi pengaktifnya untuk menghitung galat. δ j = δ_in j f, (y_in j ) Langkah selanjutnya menghitung perbaikan penimbang (digunakan untuk memperbaiki V ji ). V ji = α.δ J X i Kemudian menghitung perbaikan bias (untuk memperbaiki V j0 ) V j0 = α.δ J 4. Memperbaiki penimbang dan bias i) Langkah 8 : Masing-masing keluaran unit (Y k, k = 1,,m) diperbaiki bias dan penimbangnya (j = 0,..,p),

28 33 W kj (baru) = W kj (lama) + α.δ k.z j atau apabila parameter momentum (μ) digunakan menjadi : W kj (baru) = W kj (lama) + α.δ k.z j + (μ (W kj (lama) - W kj (lama -1))) Masing-masing unit tersembunyi (Z j, j = 1,.,p) diperbaiki bias dan penimbangnya (j = 1, n) V ji (baru) = V ji (lama) + α.δ J X i atau apabila parameter momentum digunakan menjadi : V ji (baru) = V ji (lama) + α.δ J X i + (μ (V ji (lama) - V ji (lama -1))) j) Langkah 9 : Uji kondisi pemberhentian (akhir iterasi) Parameter Pelatihan Parameter parameter yang turut menentukan keberhasilan proses pelatihan pada algoritma backpropagation : a. Inisialisasi bobot Bobot sebagai interkoneksi JST yang akan dilatih biasanya diinisialisasi dengan nilai real kecil secara random, namun banyak penelitian yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak akan dicapai apabila penimbang atau bobot kurang bervarisasi dan bernilai terlalu kecil (Purnomo & Kurniawan, 2006). Dengan demikian, penentuan nilai inisialisasi bobot sebaiknya dipilih pada interval -0.5 sampai 0.5, atau -1 sampai 1, atau dengan cara menggunakan algoritma Nguyen Widrow agar tercapai konvergensi.

29 34 b. Jenis adaptasi penimbang Ada dua jenis adaptasi penimbang pada pelatihan jaringan syaraf tiruan, yaitu (Purnomo & Kurniawan, 2006) : Adaptasi kumulatif (commulative weight adjustment) Yaitu bobot baru diadaptasi setelah semua bobot yang masuk dilatih. Adaptasi biasa (incremental updating) Yaitu bobot diadaptasi pada setiap pola yang masuk. c. Learning rate (laju pelatihan) Nilai parameter learning rate atau laju pelatihan sangat mempengaruhi proses training. Laju pelatihan mempengaruhi seberapa banyak bobot dalam setiap neuron berubah dalam setiap epoch. Jika nilai laju pelatihan terlalu besar menyebabkan perubahan bobot jaringan terlalu tinggi hingga jaringan menjadi tidak stabil. Dan apabila nilainya terlalu kecil, jaringan akan lama untuk mencapai konvergen (Navaroli, Turner, Conception & Lynch, 2008). d. Momentum Koofisien ini diberikan pada komputasi JST agar dapat mempercepat konvergensi, dimana nilai konstanta momentum dapat berupa bilangan positif antara 0.1 sampai dengan 0.9. Penggunaan momentum akan mengijinkan jaringan tidak memperhitungkan kesalahan-kesalahan kecil pada perubahan error yang terjadi antara setiap epoch. Semakin kecil nilai momentum, membuat jaringan akan berputar disekitar minimum error lokal. Semakin besar

30 35 nilainya, membuat jaringan akan mengabaikan error sama sekali sehingga memberikan hasil yang tidak valid (Navaroli, Turner, Conception & Lynch, 2008). e. Penentuan jumlah lapis tersembunyi Beberapa hasil teoritis yang telah didapat menunjukkan bahwa jaringan dengan sebuah lapis tersembunyi sudah cukup bagi metode backpropagation untuk mengenali pola, namun penambahan jumlah lapis tersembunyi terkadang juga dapat membuat pelatihan menjadi lebih baik. Hal ini terbukti pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Niu & Ye (2009) Proses Pelatihan JST (Training) Setelah ditentukan semua data masukan dari citra dan data target keluaran, maka dapat dilakukan proses learning/pelatihan. Untuk menentukan jumlah pelatihan, digunakan dua macam stopping kriteria yaitu : Berdasarkan jumlah pelatihan yang dilakukan (epochs), misalnya pelatihan akan dihentikan setelah dilakukan sejumlah pelatihan. Berdasarkan Galat Mean Square Error (MSE), maka proses pelatihan akan terus dilakukan sampai error-nya menjadi lebih kecil dari batas toleransi. Perhitungan MSE yakni : Proses Pengujian JST (Testing atau Mapping) Setelah dilakukan pelatihan terhadap metode JST tersebut, maka didapatkan weight (bobot/penimbang) hasil pelatihan yang sesuai untuk

31 36 berbagai macam permasalahan. Proses mapping dilakukan dengan menjalankan prosedur feed forward dengan bobot-bobot yang telah disimpan sebelumnya (dilakukan load data penimbang dari file). Hasil keluaran dari JST merupakan hasil dari proses mapping. Sehingga dengan proses mapping ini, dapat dilakukan proses identifikasi sekaligus didapatkan diagnosa berupa prediksi dari x-ray Evaluasi Prediksi yang telah didapat dari masing-masing citra x-ray pada proses pengujian (testing), kemudian akan dievaluasi tingkat keberhasilannya melalui pencocokan hasil identifikasi atau prediksi derajat penyakit dengan diagnosa yang berasal dari ahli rheumatologi.

Penerapan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation dalam Mengukur Tingkat Keparahan Penyakit Osteoarthritis

Penerapan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation dalam Mengukur Tingkat Keparahan Penyakit Osteoarthritis PAPER ID : 017 Penerapan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation dalam Mengukur Tingkat Keparahan Penyakit Osteoarthritis Dian Pratiwi 1) Diaz D. Santika 2) Bens Pardamean 3) 1) Magister Teknik Informatika

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. dibutuhkan. Tidak hanya untuk memudahkan proses penyimpanan dan

Bab I. Pendahuluan. dibutuhkan. Tidak hanya untuk memudahkan proses penyimpanan dan Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Dewasa ini, kebutuhan akan sebuah teknologi yang mampu menganalisis dan mengklasifikasikan berbagai citra ke dalam kelas-kelas yang sesuai sangat dibutuhkan. Tidak

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dielaskan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga dapat diadikan sebagai landasan berpikir dan akan mempermudah dalam hal pembahasan

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK 2.1 KONSEP DASAR Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang dijadikan acuan untuk menyelesaikan penelitian. Berikut ini teori yang akan digunakan penulis

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT OSTEOARTHRITIS

PENERAPAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT OSTEOARTHRITIS PENERAPAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT OSTEOARTHRITIS RESEARCH DIAN PRATIWI (1012400496) Program Pascasarjana Ilmu Komputer PROGRAM STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

BAB VIIB BACKPROPAGATION dan CONTOH

BAB VIIB BACKPROPAGATION dan CONTOH BAB VIIB BACKPROPAGATION dan CONTOH 7B. Standar Backpropagation (BP) Backpropagation (BP) merupakan JST multi-layer. Penemuannya mengatasi kelemahan JST dengan layer tunggal yang mengakibatkan perkembangan

Lebih terperinci

BACK PROPAGATION NETWORK (BPN)

BACK PROPAGATION NETWORK (BPN) BACK PROPAGATION NETWORK (BPN) Arsitektur Jaringan Digunakan untuk meminimalkan error pada output yang dihasilkan oleh jaringan. Menggunakan jaringan multilayer. Arsitektur Jaringan Proses belajar & Pengujian

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus BAB II DASAR TEORI 2.1 Meter Air Gambar 2.1 Meter Air Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus menerus melalui sistem kerja peralatan yang dilengkapi dengan unit sensor,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Yang Digunakan Dalam melakukan penelitian ini, penulis membutuhkan data input dalam proses jaringan saraf tiruan backpropagation. Data tersebut akan digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengenalan Pola Pengenalan pola adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif fitur (ciri) atau sifat utama dari suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 JARINGAN SARAF SECARA BIOLOGIS Jaringan saraf adalah salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas landasan teori-teori yang bersifat ilmiah untuk mendukung penulisan skripsi ini. Teknik-teknik yang dibahas mengenai pengenalan pola, prapengolahan citra,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.6. Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan atau neural network merupakan suatu sistem informasi yang mempunyai cara kerja dan karakteristik menyerupai jaringan syaraf pada

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses 8 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Neuro Fuzzy Neuro-fuzzy sebenarnya merupakan penggabungan dari dua studi utama yaitu fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

Lebih terperinci

PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENGANGGURAN DI SUMATERA BARAT

PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENGANGGURAN DI SUMATERA BARAT PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENGANGGURAN DI SUMATERA BARAT Havid Syafwan Program Studi Manajemen Informatika, Amik Royal, Kisaran E-mail: havid_syafwan@yahoo.com ABSTRAK:

Lebih terperinci

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Sari Indah Anatta Setiawan SofTech, Tangerang, Indonesia cu.softech@gmail.com Diterima 30 November 2011 Disetujui 14 Desember 2011

Lebih terperinci

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN Jasmir, S.Kom, M.Kom Dosen tetap STIKOM Dinamika Bangsa Jambi Abstrak Karyawan atau tenaga kerja adalah bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

BAB III METODE PENELITIAN. menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan bahan yang digunakan dalam membantu menyelesaikan permasalahan, dan juga langkah-langkah yang dilakukan dalam menjawab segala permasalahan yang ada

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Citra Digital

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Citra Digital BAB II DASAR TEORI 2.1 Citra Digital Citra digital didefinisikan sebagai fungsi f (x,y) dua dimensi,dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f(x,y) adalah disebut dengan intensitas atau tingkat keabuan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut

Lebih terperinci

BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN

BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN A. OTAK MANUSIA Otak manusia berisi berjuta-juta sel syaraf yang bertugas untuk memproses informasi. Tiaptiap sel bekerja seperti suatu prosesor sederhana. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara BAB II DASAR TEORI Landasan teori adalah teori-teori yang relevan dan dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian. Landasan teori ini juga berfungsi sebagai dasar untuk memberi jawaban

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Citra digital dapat didefenisikan sebagai fungsi f(x,y) yaitu dua dimensi, dimana x dan y merupakan koordinat spasial dan f(x,y) disebut dengan intensitas atau

Lebih terperinci

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Program Studi Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang Abstrak. Saat ini, banyak sekali alternatif dalam

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Forecasting Forecasting (peramalan) adalah seni dan ilmu untuk memperkirakan kejadian di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan data historis dan memproyeksikannya

Lebih terperinci

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM. Bab ini menguraikan analisa penelitian terhadap metode Backpropagation yang

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM. Bab ini menguraikan analisa penelitian terhadap metode Backpropagation yang BAB 3 PERANCANGAN SISTEM Bab ini menguraikan analisa penelitian terhadap metode Backpropagation yang diimplementasikan sebagai model estimasi harga saham. Analisis yang dilakukan adalah menguraikan penjelasan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Perusahaan dalam era globalisasi pada saat ini, banyak tumbuh dan berkembang, baik dalam bidang perdagangan, jasa maupun industri manufaktur. Perusahaan

Lebih terperinci

BAB 4 DISAIN MODEL. Pengguna. Citra. Ekstraksi Ciri x. Antar muka (Interface) Data Hasil Ekstraksi Ciri. Testing dan Identifikasi.

BAB 4 DISAIN MODEL. Pengguna. Citra. Ekstraksi Ciri x. Antar muka (Interface) Data Hasil Ekstraksi Ciri. Testing dan Identifikasi. 33 BAB 4 DISAIN MODEL Disain model sistem identifikasi citra karang dirancang sedemikian rupa dengan tuuan untuk memudahkan dalam pengolahan data dan pembuatan aplikasi serta memudahkan pengguna dalam

Lebih terperinci

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum Jaringan Syaraf Tiruan Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum Susilo Nugroho Drajad Maknawi M0105047 M0105068 M01040 Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

Aplikasi yang dibuat adalah aplikasi untuk menghitung. prediksi jumlah dalam hal ini diambil studi kasus data balita

Aplikasi yang dibuat adalah aplikasi untuk menghitung. prediksi jumlah dalam hal ini diambil studi kasus data balita BAB III ANALISA DAN PERANCANGAN SISTEM 3.1. Analisa dan Kebutuhan Sistem Analisa sistem merupakan penjabaran deskripsi dari sistem yang akan dibangun kali ini. Sistem berfungsi untuk membantu menganalisis

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Dalam bab ini dibahas teori yang digunakan sebagai landasan pengerjaan pengenalan kata berdasarkan tulisan tangan huruf Korea (hangūl) menggunakan jaringan saraf tiruan propagasi balik.

Lebih terperinci

BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK)

BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) Kompetensi : 1. Mahasiswa memahami konsep Jaringan Syaraf Tiruan Sub Kompetensi : 1. Dapat mengetahui sejarah JST 2. Dapat mengetahui macam-macam

Lebih terperinci

Pengembangan Aplikasi Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

Pengembangan Aplikasi Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Erlangga, Sukmawati Nur Endah dan Eko Adi Sarwoko Pengembangan Aplikasi Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Erlangga, Sukmawati Nur Endah dan Eko Adi Sarwoko

Lebih terperinci

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION [1] Novi Indah Pradasari, [2] F.Trias Pontia W, [3] Dedi Triyanto [1][3] Jurusan Sistem Komputer,

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI Oleh Nama : Januar Wiguna Nim : 0700717655 PROGRAM GANDA TEKNIK INFORMATIKA DAN MATEMATIKA

Lebih terperinci

Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruanuntuk Membaca Karakter pada Formulir Nilai Mata Kuliah

Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruanuntuk Membaca Karakter pada Formulir Nilai Mata Kuliah Vol. 14, No. 1, 61-68, Juli 2017 Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruanuntuk Membaca Karakter pada Formulir Nilai Mata Kuliah La Surimi, Hendra, Diaraya Abstrak Jaringan syaraf tiruan (JST) telah banyak diaplikasikan

Lebih terperinci

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKTIVITAS PEGAWAI. Jasmir, S.Kom, M.Kom

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKTIVITAS PEGAWAI. Jasmir, S.Kom, M.Kom ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKTIVITAS PEGAWAI Jasmir, S.Kom, M.Kom Dosen tetap STIKOM Dinamika Bangsa Jambi Abstrak Pegawai atau karyawan merupakan

Lebih terperinci

VOL. 01 NO. 02 [JURNAL ILMIAH BINARY] ISSN :

VOL. 01 NO. 02 [JURNAL ILMIAH BINARY] ISSN : PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI JUMLAH PRODUKSI AIR MINUM MENGGUNAKAN ALGORITMA BACKPROPAGATION (STUDI KASUS : PDAM TIRTA BUKIT SULAP KOTA LUBUKLINGGAU) Robi Yanto STMIK Bina Nusantara

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI Bab ini berisi analisis pengembangan program aplikasi pengenalan karakter mandarin, meliputi analisis kebutuhan sistem, gambaran umum program aplikasi yang

Lebih terperinci

BACK PROPAGATION NETWORK (BPN)

BACK PROPAGATION NETWORK (BPN) BACK PROPAGATION NETWORK (BPN) Arsitektur Jaringan Salah satu metode pelatihan terawasi pada jaringan syaraf adalah metode Backpropagation, di mana ciri dari metode ini adalah meminimalkan error pada output

Lebih terperinci

Studi Modifikasi standard Backpropagasi

Studi Modifikasi standard Backpropagasi Studi Modifikasi standard Backpropagasi 1. Modifikasi fungsi objektif dan turunan 2. Modifikasi optimasi algoritma Step Studi : 1. Studi literatur 2. Studi standard backpropagasi a. Uji coba standar backpropagasi

Lebih terperinci

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN)

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN) JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN) Marihot TP. Manalu Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika, STMIK Budidarma

Lebih terperinci

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Yudhi Andrian 1, Erlinda Ningsih 2 1 Dosen Teknik Informatika, STMIK Potensi Utama 2 Mahasiswa Sistem Informasi, STMIK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Barcode Salah satu obyek pengenalan pola yang bisa dipelajari dan akhirnya dapat dikenali yaitu PIN barcode. PIN barcode yang merupakan kode batang yang berfungsi sebagai personal

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM PENGENALAN DAN PENYORTIRAN KARTU POS BERDASARKAN KODE POS DENGAN MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

PERANCANGAN SISTEM PENGENALAN DAN PENYORTIRAN KARTU POS BERDASARKAN KODE POS DENGAN MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK PERANCANGAN SISTEM PENGENALAN DAN PENYORTIRAN KARTU POS BERDASARKAN KODE POS DENGAN MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK OLEH ARIF MIFTAHU5R ROHMAN (2200 100 032) Pembimbing: Dr. Ir Djoko Purwanto, M.Eng,

Lebih terperinci

KLASIFIKASI DATA MENGGUNAKAN JST BACKPROPAGATION MOMENTUM DENGAN ADAPTIVE LEARNING RATE

KLASIFIKASI DATA MENGGUNAKAN JST BACKPROPAGATION MOMENTUM DENGAN ADAPTIVE LEARNING RATE KLASIFIKASI DATA MENGGUNAKAN JST BACKPROPAGATION MOMENTUM DENGAN ADAPTIVE LEARNING RATE KLASIFIKASI DATA MENGGUNAKAN JST BACKPROPAGATION MOMENTUM DENGAN ADAPTIVE LEARNING RATE Warih Maharani Fakultas

Lebih terperinci

Presentasi Tugas Akhir

Presentasi Tugas Akhir Presentasi Tugas Akhir Bagian terpenting dari CRM adalah memahami kebutuhan dari pelanggan terhadap suatu produk yang ditawarkan para pelaku bisnis. CRM membutuhkan sistem yang dapat memberikan suatu

Lebih terperinci

Sistem Deteksi Penyakit Pengeroposan Tulang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Dan Representasi Ciri Dalam Ruang Eigen

Sistem Deteksi Penyakit Pengeroposan Tulang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Dan Representasi Ciri Dalam Ruang Eigen Sistem Deteksi Penyakit Pengeroposan Tulang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Dan Representasi Ciri Dalam Ruang Eigen Is Mardianto 1 ; Dian Pratiwi 2 1, 2 Jurusan Teknik Informatika,

Lebih terperinci

Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation

Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation 65 Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation Risty Jayanti Yuniar, Didik Rahadi S. dan Onny Setyawati Abstrak - Kecepatan angin dan curah

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra (image) sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh

Lebih terperinci

PENGENALAN POLA HURUF ROMAWI DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERSEPTRON LAPIS JAMAK

PENGENALAN POLA HURUF ROMAWI DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERSEPTRON LAPIS JAMAK PENGENALAN POLA HURUF ROMAWI DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERSEPTRON LAPIS JAMAK Eko Budi Wahyono*), Suzuki Syofian**) *) Teknik Elektro, **) Teknik Informatika - Fakultas Teknik Abstrak Pada era modern

Lebih terperinci

ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION

ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION Eka Irawan1, M. Zarlis2, Erna Budhiarti Nababan3 Magister Teknik Informatika, Universitas Sumatera

Lebih terperinci

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A ARTIFICIAL NEURAL NETWORK CAHYA YUNITA 5213100001 ALVISHA FARRASITA 5213100057 NOVIANTIANDINI 5213100075 TEKNIK PERAMALAN - A MATERI Neural Network Neural Network atau dalam bahasa Indonesia disebut Jaringan

Lebih terperinci

Arsitektur Jaringan Salah satu metode pelatihan terawasi pada jaringan syaraf adalah metode Backpropagation, di mana ciri dari metode ini adalah memin

Arsitektur Jaringan Salah satu metode pelatihan terawasi pada jaringan syaraf adalah metode Backpropagation, di mana ciri dari metode ini adalah memin BACK PROPAGATION Arsitektur Jaringan Salah satu metode pelatihan terawasi pada jaringan syaraf adalah metode Backpropagation, di mana ciri dari metode ini adalah meminimalkan error pada output yang dihasilkan

Lebih terperinci

Farah Zakiyah Rahmanti

Farah Zakiyah Rahmanti Farah Zakiyah Rahmanti Latar Belakang Struktur Dasar Jaringan Syaraf Manusia Konsep Dasar Permodelan JST Fungsi Aktivasi JST Contoh dan Program Jaringan Sederhana Metode Pelatihan Supervised Learning Unsupervised

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Suara Manusia Menurut Inung Wijayanto (2013), produksi suara manusia memerlukan tiga elemen, yaitu sumber daya, sumber suara dan pemodifikasi suara. Ini adalah dasar dari teori

Lebih terperinci

BAB 4 PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM

BAB 4 PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM BAB 4 PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM Bab ini akan membahas mengenai proses pengujian dari sistem yang dirancang terhadap beberapa citra dijital replika kulit. Pengujian terhadap sistem ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

BAB II. Penelitian dengan jaringan syaraf tiruan propagasi balik. dalam bidang kesehatan sebelumnya pernah dilakukan oleh

BAB II. Penelitian dengan jaringan syaraf tiruan propagasi balik. dalam bidang kesehatan sebelumnya pernah dilakukan oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian dengan jaringan syaraf tiruan propagasi balik dalam bidang kesehatan sebelumnya pernah dilakukan oleh Sudharmadi Bayu Jati Wibowo

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. titiktitik penyusun citra itu sendiri. Titik-titik tersebut disebut dengan pixel. Banyaknya

BAB II LANDASAN TEORI. titiktitik penyusun citra itu sendiri. Titik-titik tersebut disebut dengan pixel. Banyaknya BAB II LANDASAN TEORI 2. Citra/Image Citra atau yang lebih sering dikenal dengan gambar merupakan kumpulan dari titiktitik penyusun citra itu sendiri. Titik-titik tersebut disebut dengan pixel. Banyaknya

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Komputer dan Informatika (KOMPUTA) IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION UNTUK MENGENALI MOTIF BATIK

Jurnal Ilmiah Komputer dan Informatika (KOMPUTA) IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION UNTUK MENGENALI MOTIF BATIK IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION UNTUK MENGENALI MOTIF BATIK Fany Hermawan Teknik Informatika Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipatiukur 112-114 Bandung E-mail : evan.hawan@gmail.com

Lebih terperinci

BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM

BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM Dalam bab ini akan dibahas mengenai perancangan dan pembuatan sistem aplikasi yang digunakan sebagai user interface untuk menangkap citra ikan, mengolahnya dan menampilkan

Lebih terperinci

lalu menghitung sinyal keluarannya menggunakan fungsi aktivasi,

lalu menghitung sinyal keluarannya menggunakan fungsi aktivasi, LAMPIRAN 15 Lampiran 1 Algoritme Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik Standar Langkah 0: Inisialisasi bobot (bobot awal dengan nilai random yang paling kecil). Langkah 1: Menentukan maksimum epoch, target

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Suara. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu speech recognition dan speaker recognition. Speech recognition adalah proses yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Anatomi Jantung

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Anatomi Jantung 4 BAB II TEORI DASAR 2.1. Jantung Jantung merupakan otot tubuh yang bersifat unik karena mempunyai sifat membentuk impuls secara automatis dan berkontraksi ritmis [4], yang berupa dua pompa yang dihubungkan

Lebih terperinci

Muhammad Fahrizal. Mahasiswa Teknik Informatika STMIK Budi Darma Jl. Sisingamangaraja No. 338 Simpanglimun Medan

Muhammad Fahrizal. Mahasiswa Teknik Informatika STMIK Budi Darma Jl. Sisingamangaraja No. 338 Simpanglimun Medan IMPLEMENTASI JARINGAN SARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI SERVICE KENDARAAN RODA 4 DENGAN METODE BACKPROPAGATION (STUDI KASUS PT. AUTORENT LANCAR SEJAHTERA) Muhammad Fahrizal Mahasiswa Teknik Informatika STMIK

Lebih terperinci

Architecture Net, Simple Neural Net

Architecture Net, Simple Neural Net Architecture Net, Simple Neural Net 1 Materi 1. Model Neuron JST 2. Arsitektur JST 3. Jenis Arsitektur JST 4. MsCulloh Pitts 5. Jaringan Hebb 2 Model Neuron JST X1 W1 z n wi xi; i1 y H ( z) Y1 X2 Y2 W2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beban dan Prakiraan Beban Listrik Di dalam sebuah sistem kelistrikan terdapat 2 sisi yang sangat berbeda, yaitu sisi beban dan sisi pembangkitan. Pada sisi beban atau beban

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan satu definisi variabel operasional yaitu ratarata temperatur bumi periode tahun 1880 sampai dengan tahun 2012. 3.2 Jenis dan

Lebih terperinci

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI. PERTEMUAN 8 - GRAFKOM DAN PENGOLAHAN CITRA Konsep Dasar Pengolahan Citra Pengertian Citra Analog/Continue dan Digital. Elemen-elemen Citra

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan Februari 2014 sampai dengan Juli 2014 di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan Februari 2014 sampai dengan Juli 2014 di BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan Februari 2014 sampai dengan Juli 2014 di Laboratorium Pemodelan Fisika, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK Naskah Publikasi disusun oleh Zul Chaedir 05.11.0999 Kepada SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

Prediksi Pergerakan Harga Harian Nilai Tukar Rupiah (IDR) Terhadap Dollar Amerika (USD) Menggunakan Metode Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation

Prediksi Pergerakan Harga Harian Nilai Tukar Rupiah (IDR) Terhadap Dollar Amerika (USD) Menggunakan Metode Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation 1 Prediksi Pergerakan Harga Harian Nilai Tukar Rupiah (IDR) Terhadap Dollar Amerika (USD) Menggunakan Metode Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation Reza Subintara Teknik Informatika, Ilmu Komputer, Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS ALGORITMA INISIALISASI NGUYEN-WIDROW PADA PROSES PREDIKSI CURAH HUJAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

ANALISIS ALGORITMA INISIALISASI NGUYEN-WIDROW PADA PROSES PREDIKSI CURAH HUJAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK ANALISIS ALGORITMA INISIALISASI NGUYEN-WIDROW PADA PROSES PREDIKSI CURAH HUJAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Yudhi Andrian 1, M. Rhifky Wayahdi 2 1 Dosen Teknik Informatika,

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN 32 BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN Pada bab ini akan dibahas tentang analisis sistem melalui pendekatan secara terstruktur dan perancangan yang akan dibangun dengan tujuan menghasilkan model atau representasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam kurun waktu enam bulan terhitung mulai februari 2012 sampai juli 2012. Tempat yang digunakan

Lebih terperinci

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM INTRODUCTION Jaringan Saraf Tiruan atau JST adalah merupakan salah satu representasi tiruan dari otak manusia yang selalu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan materi yang mendukung dalam pembahasan evaluasi implementasi sistem informasi akademik berdasarkan pengembangan model fit HOT menggunakan regresi linier

Lebih terperinci

ANALISIS JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI JUMLAH RESERVASI KAMAR HOTEL DENGAN METODE BACKPROPAGATION (Studi Kasus Hotel Grand Zuri Padang)

ANALISIS JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI JUMLAH RESERVASI KAMAR HOTEL DENGAN METODE BACKPROPAGATION (Studi Kasus Hotel Grand Zuri Padang) ANALISIS JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI JUMLAH RESERVASI KAMAR HOTEL DENGAN METODE BACKPROPAGATION (Studi Kasus Hotel Grand Zuri Padang) 1 Musli Yanto, 2 Sarjon Defit, 3 Gunadi Widi Nurcahyo

Lebih terperinci

SATIN Sains dan Teknologi Informasi

SATIN Sains dan Teknologi Informasi SATIN - Sains dan Teknologi Informasi, Vol. 2, No., Juni 206 SATIN Sains dan Teknologi Informasi journal homepage : http://jurnal.stmik-amik-riau.ac.id Jaringan Syaraf Tiruan Peramalan Inventory Barang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Bab ini akan dibahas mengenai teori-teori pendukung pada penelitian ini. Adapun teori tersebut yaitu teori jaringan saraf tiruan dan algoritma backpropragation. 2.1. Jaringan Saraf

Lebih terperinci

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal Jaringan syaraf adalah merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Syaraf manusia Jaringan syaraf dengan lapisan

Lebih terperinci

Klasifikasi Pola Huruf Vokal dengan Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan

Klasifikasi Pola Huruf Vokal dengan Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan JURNAL TEKNIK POMITS 1-7 1 Klasifikasi Pola Huruf Vokal dengan Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Dhita Azzahra Pancorowati, M. Arief Bustomi Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Lebih terperinci

KLASIFIKASI POLA HURUF VOKAL DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN BACKPROPAGATION. Dhita Azzahra Pancorowati

KLASIFIKASI POLA HURUF VOKAL DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN BACKPROPAGATION. Dhita Azzahra Pancorowati KLASIFIKASI POLA HURUF VOKAL DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN BACKPROPAGATION Dhita Azzahra Pancorowati 1110100053 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Jaringan saraf buatan merupakan kumpulan dari elemen-elemen pemrosesan buatan yang disebut neuron. Sebuah neuron akan mempunyai banyak nilai masukan yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. luar dan daging iga sangat umum digunakan di Eropa dan di Amerika Serikat

BAB II DASAR TEORI. luar dan daging iga sangat umum digunakan di Eropa dan di Amerika Serikat 6 BAB II DASAR TEORI 2.1. Daging Sapi dan Daging Babi 2.1.1.Daging Sapi Daging sapi adalah daging yang diperoleh dari sapi yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Di setiap daerah,

Lebih terperinci

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM PENGHITUNGAN PERSENTASE KEBENARAN KLASIFIKASI PADA KLASIFIKASI JURUSAN SISWA DI SMA N 8 SURAKARTA

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM PENGHITUNGAN PERSENTASE KEBENARAN KLASIFIKASI PADA KLASIFIKASI JURUSAN SISWA DI SMA N 8 SURAKARTA APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM PENGHITUNGAN PERSENTASE KEBENARAN KLASIFIKASI PADA KLASIFIKASI JURUSAN SISWA DI SMA N 8 SURAKARTA Pembimbing: Desi Fitria Utami M0103025 Drs. Y. S. Palgunadi, M. Sc

Lebih terperinci

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI VOLUME PEMAKAIAN AIR BERSIH DI KOTA PONTIANAK

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI VOLUME PEMAKAIAN AIR BERSIH DI KOTA PONTIANAK APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI VOLUME PEMAKAIAN AIR BERSIH DI KOTA PONTIANAK [1] Meishytah Eka Aprilianti, [2] Dedi Triyanto, [3] Ilhamsyah [1] [2] [3] Jurusan Sistem Komputer, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 21 Anatomi Ayam Pengetahuan tentang anatomi ayam sangat diperlukan dan penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit Hal ini karena pengetahuan tersebut dipakai sebagai dasar

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ARITMIA EKG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DENGAN FUNGSI AKTIVASI ADAPTIF

KLASIFIKASI ARITMIA EKG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DENGAN FUNGSI AKTIVASI ADAPTIF KLASIFIKASI ARITMIA EKG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DENGAN FUNGSI AKTIVASI ADAPTIF Asti Rahma Julian 1, Nanik Suciati 2, Darlis Herumurti 3 Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, ITS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 14, terdiri dari tahap identifikasi masalah, pengumpulan dan praproses data, pemodelan

Lebih terperinci

SATIN Sains dan Teknologi Informasi

SATIN Sains dan Teknologi Informasi SATIN - Sains dan Teknologi Informasi, Vol. 2, No. 1, Juni 2015 SATIN Sains dan Teknologi Informasi journal homepage : http://jurnal.stmik-amik-riau.ac.id Jaringan Syaraf Tiruan untuk Memprediksi Prestasi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGGUNAAN ALGORITMA KOHONEN PADA JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM PENGENALAN POLA PENYAKIT PARU

ANALISIS PENGGUNAAN ALGORITMA KOHONEN PADA JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM PENGENALAN POLA PENYAKIT PARU ANALISIS PENGGUNAAN ALGORITMA KOHONEN PADA JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM PENGENALAN POLA PENYAKIT PARU Rosmelda Ginting 1*, Tulus 1, Erna Budhiarti Nababan 1 Program S2 Teknik Informatika

Lebih terperinci

Bab 5 Penerapan Neural Network Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh

Bab 5 Penerapan Neural Network Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Penerapan Neural Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Klasifikasi citra penginderaan jarak jauh (inderaja) merupakan proses penentuan piksel-piksel masuk ke dalam suatu kelas obyek tertentu. Pendekatan

Lebih terperinci

Prediksi Jumlah Penjualan Air Mineral Pada Perusahaan XYZ Dengan Jaringan Saraf Tiruan

Prediksi Jumlah Penjualan Air Mineral Pada Perusahaan XYZ Dengan Jaringan Saraf Tiruan Prediksi Jumlah Penjualan Air Mineral Pada Perusahaan XYZ Dengan Jaringan Saraf Tiruan Kusuma Dewangga, S.Kom. Jurusan Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada Jl. Bulaksumur, Yogyakarta kusumadewangga@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB III PERANCANGAN SISTEM BAB III PERANCANGAN SISTEM 3.1 Definisi Masalah Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan Computer Vision terutama dalam bidang pengenalan wajah berkembang pesat, hal ini tidak terlepas dari pesatnya

Lebih terperinci

JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN BACKPROPAGATION UNTUK MENDETEKSI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN BACKPROPAGATION UNTUK MENDETEKSI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN BACKPROPAGATION UNTUK MENDETEKSI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Dahriani Hakim Tanjung STMIK POTENSI UTAMA Jl.K.L.Yos Sudarso Km 6.5 Tanjung Mulia Medan notashapire@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Modifikasi Estimasi Curah Hujan Satelit TRMM Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik Studi Kasus Stasiun Klimatologi Siantan Fanni Aditya 1)2)*, Joko Sampurno 2), Andi Ihwan 2) 1)BMKG Stasiun

Lebih terperinci

JARINGAN SYARAF TIRUAN

JARINGAN SYARAF TIRUAN JARINGAN SYARAF TIRUAN 8 Jaringan syaraf adalah merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia tersebut. Istilah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Saraf Tiruan (JST) Jaringan saraf tiruan pertama kali secara sederhana diperkenalkan oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1943. McCulloch dan Pitts menyimpulkan bahwa

Lebih terperinci