ESTIMASI KELAYAKAN FINANSIAL IMPLEMENTASI PENGURANGAN EMISI DARI DEGRADASI DAN DEFORESTASI DI KALIMANTAN TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ESTIMASI KELAYAKAN FINANSIAL IMPLEMENTASI PENGURANGAN EMISI DARI DEGRADASI DAN DEFORESTASI DI KALIMANTAN TIMUR"

Transkripsi

1 ESTIMASI KELAYAKAN FINANSIAL IMPLEMENTASI PENGURANGAN EMISI DARI DEGRADASI DAN DEFORESTASI DI KALIMANTAN TIMUR (Estimation of Financial Feasibility in Implementation of Reducing Emission from Deforestation and Degradation in East Kalimantan Province) 1 Oleh/ By : Dhany Yuniati 1 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Jl. A. Wahab Syahrani No. 68, Sempaja-Samarinda diptero@samarinda.org, Website : dhanyyuniati@yahoo.co.id ABSTRACT Forestry Minister Regulation Number P.30/Menhut-II/2009 has required the need of economical feasibility analysis as one of aspects determining whether a REDD proposal is accepted. In general, economical feasibility analysis can be approached using both abatement and transaction cost. Abatement cost in REDD is a cost to result a unit of uncertified carbon. In this research, this component is calculated using opportunity cost from plantation which is known as a driver of wide land use change in East Kalimantan. While transaction cost is a cost to get a Certified Emission Reductions (CERs). This study was conducted from May to 0ctober The result shows that opportunity cost for large scale of palm plantation is Rp 4,763,869.9 per ha/year, people palm plantation scale is Rp 3,786,357 per ha/year and people rubber plantation scale is Rp 3,737,873 per ha/year. Abatement cost resulted from the use of land for large scale of palm plantation is US $ /tc, people palm plantation scale is US $ 29 /tc and people rubber plantation scale is US $ 17,9 /tc. Because transaction cost in REDD has not identified both the type and the amount so that it is approached using transaction cost from previous research. Cost for preparation of REDD in Indonesia is estimated approximately 0.01 Euro/tC or (US $ /tc) per hectar and for project developer is Euro 0.89 /tc or (US $ 1.3 /tc). Based on these, the value of carbon per hectar is approximately between US $ and US $ Keyword: Financial feasibility, opportunity cost, abatement cost, transaction cost, REDD, plantation, East Kalimantan, ABSTRAK Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 mensyaratkan perlu dilakukannya kelayakan ekonomi sebagai salah satu aspek yang menentukan penilaian diterima tidaknya permohonan kegiatan REDD. Secara umum kelayakan ekonomi didekati dengan biaya abatasi dan biaya transaksi. Biaya abatasi adalah biaya untuk menghasilkan satu unit (belum bersertifikat) pengurangan emisi karbon. Dalam penelitian ini, biaya transaksi didekati dengan biaya kesempatan yang hilang dari usaha perkebunan yang merupakan penyebab utama dari perubahan lahan hutan di Kalimantan Timur. Sedangkan biaya transaksi diartikan sebagai ongkos yang timbul untuk mendapatkan Certified Emission Reductions (CERs) dari REDD. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya kesempatan yang hilang dari perkebunan besar kelapa sawit sebesar Rp ,9 per hektar/tahun, perkebunan kelapa sawit skala rakyat sebesar Rp per hektar/tahun dan pekebunan karet skala rakyat sebesar Rp per hektar/tahun. Untuk itu dalam analisis ini biaya transaksi didekati dari biaya transaksi dari penelitian yang sudah ada dimana estimasi biaya untuk persiapan REDD di Indonesia sebesar 0.01 Euro atau 165

2 (US$ 0,014) per ton CO2 dan estimasi biaya untuk project developer Euro 0,91 atau (US$ 1,3) per ton CO2. Sehingga estimasi harga karbon per hektar di Kalimantan Timur berkisar antara US $ 19,214 dan US $ 37,864. Kata kunci: Kelayakan finansial, biaya kesempatan yang hilang, biaya abatasi, biaya transaksi, REDD, perkebunan, Kalimantan Timur, I. PENDAHULUAN Sektor Kehutanan mempunyai peluang yang besar untuk memperoleh manfaat dalam implementasi REDD mengingat luasnya kawasan hutan di Indonesia. Angka serapan karbon hutan Indonesia mencapai 25,773 miliar ton belum termasuk yang tersimpan dalam lahan hutan gambut dan tanah kering (Handadari, 2009). Secara global diperkirakan besar pasar karbon untuk REDD mencapai milyar USD apabila diasumsikan besar potensi pengurangan emisi melalui REDD sekitar 50% dari tingkat emisi global saat ini (2.4 Gt CO2 per tahun) dan harga kredit karbon sekitar 7-20 USD perton CO2 (Ginoga, 2009). Kebijakan pemerintah untuk mengkonversi lahan hutan untuk peruntukan lain memberikan dampak terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas hutan. Hutan merupakan bentuk simpanan karbon yang potensial karena dapat menyimpan dalam bentuk biomasa dan kayu. Konversi hutan untuk peruntukan lain pada umumnya akan menurunkan kadar biomasa sehingga akan menurun pula simpanan karbonnya. Disamping itu pembukaan lahan hutan juga menyebabkan pelepasan netto CO2 ke dalam atmosfer. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang sangat memerlukan modal untuk membiayai kegiatan pembangunan. Sumber daya alam yang ada termasuk hutan merupakan modal untuk membiayai pembangunan. Sehingga ketika modal tersebut tidak bisa digunakan karena harus dipertahankan keberadaannya sebagai penyerap karbon harus ada suatu kompensasi atau insentif. Dalam mekanisme REDD, insentif atau kompensasi tersebut diberikan negara maju ( Annex I) kepada negara berkembang sebagai upaya mencegah terlepasnya karbon, memelihara stok karbon dan menambah penyerapan karbon dengan mengatasi masalah deforestasi dan tingginya laju kerusakan hutan. Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 mensyaratkan perlunya dilakukan kelayakan ekonomi sebagai salah satu aspek yang menentukan diterima tidaknya permohonan kegiatan REDD. Hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan keberlangsungan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan atau degradasi untuk satuan waktu tertentu pada lokasi yang bersangkutan dan sekitarnya (Ginoga, 2009). Dalam Permenhut tersebut REDD diartikan sebagai semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka atau yang menghasilkan pengurangan penurunan kualitas tutupan hutan dan pengurangan atau penurunan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan finansial implementasi pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi di Kalimantan Timur. Parameter investasi yang digunakan adalah NPV ( Net Preset Value) dari kegiatan pengusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar (Perkebunan Besar Swasta), perkebunan kelapa sawit skala rakyat dan perkebunan karet skala rakyat. Berdasarkan data dari Bappeda Kalimantan Timur (2009), perkebunan merupakan salah satu penyebab utama perubahan penggunaan lahan hutan di Kalimantan Timur disamping sektor pertambangan. 166 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 3 September 2011, Hal

3 II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Penajam Pasir Utara, Kutai Kartanegara, Paser dan Berau. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja atau purposive. Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan areal pengembangan perkebunan kelapa sawit, disana terdapat 9 Perkebunan Swasta Besar (PBS) kelapa sawit. Kabupaten Kutai Kartanegara yakni Desa Marangkayu Kecamatan Muara Badak merupakan areal pemukiman melalui program transmigrasi yang didatangkan untuk perkebunan karet pada tahun Kabupaten Paser yakni Desa Kendarom Kec. Kwaro yang merupakan lokasi transmigrasi untuk perkebunan kelapa sawit tahun dan Kabupaten Berau sebagai lokasi proyek REDD. B. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan bulan Mei s/d Oktober C. Sumber dan Cara Pengumpulan Data 1. Desk study dengan bahan referensi hasil-hasil penelitian yang telah ada yang berasal dari berbagai lembaga penelitian seperti Center for International Forestry Research (CIFOR), Litbanghut, International Centre for Research in Agroforestri (ICRAF), Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA), universitas dan lain-lain. 2. Survei dalam rangka pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif di lokasi penelitian yang dalam hal ini dilakukan di Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar, Perkebunan kelapa Sawit Skala Rakyat dan Perkebunan Karet Skala Rakyat. Penentuan responden untuk Perkebunan Besar Swasta (PBS) dilakukan dengan secara sengaja ( purposive sampling), sedangkan untuk perkebunan skala rakyat untuk karet atau sawit dilakukan secara proposional ramdom sampling yakni sebanyak 10% dari populasi petani karet atau sawit. 3. Wawancara dengan Ketua Pokja REDD Berau sebagai pelaksana proyek Berau Forest Carbon Program (BFCP), Forest Carbon Specialist di The Nature Conservation (TNC), dimana TNC merupakan fasilitator proyek BFCP. D. Pengolahan dan Analisis Data Kelayakan ekonomi dalam REDD didekati dengan dua komponen biaya yakni biaya transaksi dan biaya abatasi (Ginoga, 2009). 1. Biaya transaksi diartikan sebagai biaya yang timbul untuk mendapatkan certified emission reductions (CERs) dari REDD Untuk kegiatan REDD elemen-elemen untuk biaya transaksi belum teridentifikasi besar maupun jenisnya sehingga dilakukan penggalian dengan pendekatan biaya transaksi yang pada kegiatan Program Karbon Hutan Berau ( Berau Forest Carbon Program atau BFCP) s 167

4 2. Biaya abatasi diartikan sebagai biaya untuk menghasilkan satu unit (belum bersertifikat/ uncertified) pengurangan emisi atau biaya untuk menghasilkan satu unit karbon biomas. Biaya abatasi : s Dimana: Bt = Penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = Biaya ( cost) pada tahun ke-t n = Umur proyek i = Discount Rate Pelaku akan berpartisipasi dalam kegiatan REDD bila manfaat yang diterima lebih besar dari biaya kesempatan yang hilang ( opportunity cost) dari alternatif peruntukan lahan yang lain (biaya abatasi) ditambah biaya transaksi untuk berpartisipasi dalam kegiatan REDD. Dimana : T = = = carbon payments abatement cost transaction cost 168 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 3 September 2011, Hal

5 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Biaya Abatasi 1. Opportunity cost dari konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit skala besar (Perkebunan Besar Swasta). Biaya dan pendapatan ditaksir dari lokasi penelitian, PT. Waru Kaltim Plantation (PT. WKP) yang terletak di Kab. Penajam Paser Utara. Beberapa asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Perhitungan dilakukan dalam satuan hektar b. Panjang daur tanaman 25 tahun c. Suku bunga diskonto 10% d. Hasil diperoleh mulai tahun ke - 3 e. Biaya panen per kilo gram Rp. 100,- f. Harga Tandan Buah Segar (TBS) per kilo gram Rp (di pintu pabrik) g. Harga tandan buah segar di TPH (Tempat Penampungan Hasil Rp 1.100/kg Dari hasil perhitungan diperoleh total biaya dan pendapatan sebagai berikut : Tabel 1. Total biaya dan pendapatan dari PT. Waru Kaltim Plantation (PT.WKP) Table 1. Total cost and revenue of PT. Waru Kaltim Plantation Total Biaya (Total cost) Total Pendapatan Tingkat Diskonto 10% Total Biaya Terdiskon Total Pendapatan Terdiskon Pendapatan Bersih (NPV) Sumber ( Source) : Hasil pengolahan dan analisis data (Processing and analysing data result), Kelapa sawit mempunyai kandungan rata-rata biomasa karbon sebesar tc/ha (Ginoga, 2009). Berdasarkan Tabel 1. maka dapat diestimasi biaya abatasi dari perkebunan besar kelapa sawit sebagaimana dijabarkan pada Tabel 2. Tabel 2. Estimasi biaya abatasi yang diperoleh dari opportunity cost konversi lahan hutan menjadi perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit Table 2. Abatation cost estimation from opportunity cost of conversion of forest land into scale private oil palm plantation Opportunity Cost (Rp/ha) Opportunity Cost (Rp/ha/th) ,9 Biaya Abatasi (Rp/tC) Biaya Abatasi (US $/tc) 36,55 Sumber ( source ): Biaya dan pendapatan dari PT. Waru Kaltim Plantation (PT.WKP) (Cost and revenue of PT. Waru Kaltim Plantation) Dalam Ginoga, dkk (2009) disebutkan bahwa opportunity cost dari Perkebunan Besar Swasta (PBS) kelapa sawit di Sumatera Selatan sebesar 37,6 Euro/ton CO2 atau sekitar 53,7 US$/ton CO2. Hal ini menunjukkan bahwa biaya abatasi untuk implementasi pengurangan emisi dari REDD di Sumatera Selatan lebih tinggi dibandingkan di Kalimantan Timur. 169

6 2. Opportunity cost dari konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala kecil (Skala Rakyat) Responden penelitian adalah petani kelapa sawit dengan jumlah 5 (lima) responden. Penelitian berlokasi di Desa Kendarom Kec. Kwaro Kab. Paser yang merupakan lokasi transmigrasi untuk perkebunan kelapa sawit tahun Asumsi yang digunakan dalam analisis ada yang sama tetapi ada juga yang berbeda dengan asumsi yang digunakan dalam analisis untuk perkebunan sawit skala besar. Hal ini dipengaruhi oleh kualitas tandan buah segar yang dihasilkan. Pada perkebunan sawit skala besar, tandan buah segar memiliki kualitas yang lebih bagus dan seragam sehingga harganya lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan sawit skala kecil. Berikut asumsi yang digunakan dalam analisis pada perkebunan sawit skala kecil : a. Perhitungan dilakukan dalam satuan hektar b. Panjang daur tanaman 25 tahun c. Suku bunga diskonto 10% d. Hasil diperoleh mulai tahun ke-3 e. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Rp 1.100,-/kg (di pintu pabrik) f. Biaya panen Rp 100,- /kg g. Harga Tandan Buah Segar Rp 1.000,-/kg (di TPH) Dari hasil perhitungan diperoleh total biaya dan pendapatan sebagai berikut : Tabel 3. Total biaya dan pendapatan dari petani kelapa sawit skala kecil (skala rakyat) Table 3. Total cost and revenue of a small scale oil palm farmer Total Biaya Total Pendapatan Tingkat Diskonto 10% Total Biaya Terdiskon Total Pendapatan Terdiskon Pendapatan Bersih (NPV) Sumber (source) : Hasil pengolahan dan analisis data (Processing and analysing data result), Seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit berskala besar, kelapa sawit pada perkebunan skala kecil mempunyai kandungan rata-rata biomasa karbon (tc/ha) sebesar (Ginoga, 2009). Berbedaannya pada nilai pendapatan bersih, dimana pada perkebunan kelapa sawit skala kecil memiliki pendapatan bersih yang lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit skala besar. Berdasarkan tabel 3. maka dapat diestimasi biaya abatasi dari perkebunan kelapa sawit skala kecil sebagaimana dijabarkan pada tabel 4. Tabel 4. Estimasi biaya abatasi yang diperoleh dari opportunity cost konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat skala rakyat Table 4. Abatation cost estimation from opportunity cost of conversion of forest land into community scale of community oil palm plantation Opportunity Cost (Rp/ha) Opportunity Cost (Rp/ha/th) Biaya Abatasi (Rp/tC) Biaya Abatasi (US $/tc) 29 Sumber (Source) : Biaya dan pendapatan dari petani kelapa sawit skala kecil (Skala rakyat) (Cost and revenue of a small scale oil palm farmer) 170 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 3 September 2011, Hal

7 Dalam Ginoga, dkk (2009) disebutkan bahwa opportunity cost dari kelapa sawit small holdings plasma di Sumatera Selatan sebesar 19,25 Euro/ton CO2 atau sekitar 27,5 US$/ton CO2. Nilai ini jika dibandingkan dengan opportunity cost dari perkebunan kelapa sawit skala rakyat di Kalimantan Timur tidak jauh berbeda. 3. Opportunity cost dari konversi lahan hutan menjadi perkebunan karet skala rakyat Lokasi penelitian adalah petani karet rakyat yang ada di desa Marangkayu Kecamatan Muara Badak Kab. Kutai Kertanegara. Responden penelitian adalah petani karet dengan jumlah 7 (tujuh) responden. Pada awalnya lokasi tersebut adalah areal pemukiman melalui program transmigrasi yang didatangkan untuk perkebunan karet pada tahun Dalam melakukan analisis beberapa asumsi yang digunakan : a. Perhitungan dilakukan dalam satuan hektar b. Panjang daur tanaman 25 tahun c. Suku bunga diskonto 10% d. Hasil diperoleh mulai tahun ke 6 e. Biaya panen per kilo gram sepertiga dari pendapatan menyadap karet f. Harga karet K 3 (kadar karet kering) Rp 7.000,- (di kebun) Dari hasil perhitungan diperoleh total biaya dan pendapatan sebagai berikut : Tabel 5. Total biaya dan pendapatan dari perkebunan karet skala rakyat Table 5. Total cost and revenue from community scale rubber plantation Total Biaya Total Pendapatan Tingkat Diskonto 10% Total Biaya Terdiskon Total Pendapatan Terdiskon Pendapatan Bersih (NPV) Sumber (Source): Hasil pengolahan dan analisis data (Processing and analysing data result), Karet mempunyai kandungan rata-rata biomasa karbon (tc/ha) sebesar (Ginoga, 2009). Berdasarkan tabel 5. maka dapat diestimasi biaya abatasi dari perkebunan kelapa karet skala rakyatl sebagaimana dijabarkan pada tabel 6. Tabel 6. Estimasi biaya abatasi yang diperoleh dari opportunity cost konversi lahan hutan menjadi perkebunan karet skala rakyat Table 6. Abatation scale estimation from opportunity cost of conversion of forest land into community scale rubber plantation Opportunity Cost (Rp/ha) Opportunity Cost (Rp/ha/th) Biaya Abatasi (Rp/tC) ,4 Biaya Abatasi (US $/tc) 17,9 Sumber (Source) : Biaya dan pendapatan dari perkebunan karet skala rakyat (Cost and revenue from community scale rubber plantation) Dalam Ginoga, dkk (2009) disebutkan bahwa kebun karet di Sumatera Selatan mempunyai opportunity cost sebesar 24,7 Euro/ton CO2 atau 35,3 US$/ton Co2. Nilai opportunity cost dari perkebunan karet skala rakyat di Kalimantan Timur lebih kecil jika dibandingkan di Sumatera Selatan. 171

8 Opportunity cost untuk perkebunan karet skala rakyat lebih kecil jika dibandingkan dengan opportunity cost dari pemanfaatan lahan untuk kelapa sawit. Hal ini didukung oleh data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur dimana hanya ada 2 (dua) perkebunan karet berskala besar di Provinsi Kalimantan Timur, dimana keduanya juga perlahan-lahan beralih ke perkebunan kelapa sawit. B. Identifikasi Biaya Transaksi Biaya transaksi adalah biaya yang timbul untuk mendapatkan Certified Emission Reductions (CERs). Dalam hal ini biaya transaksi dalam mekanisme REDD belum teridentifikasi baik jenis maupun besarnya karena mekanisme perolehan CERs untuk REDD sendiri baru di bahas dan disetujui dalam COP-COP selanjutnya. Sehingga untuk mengidentifikasi biaya transaksi baik besar maupun jenisnya dilakukan penggalian dengan pendekatan biaya transaksi yang dilakukan dikegiatan Program Karbon Hutan Berau ( Berau Forest Carbon Program - BFCP). Program Karbon Hutan Berau ( Berau Forest Carbon Program) merupakan laboratorium untuk mendukung pengembangan program karbon hutan nasional. Perkiraan komponen biaya transaksi dalam rangka mempersiapkan Kabupaten Berau masuk ke skema REDD. Tabel 7. Aktivitas yang dilakukan pada kegiatan Berau Forest Carbon Program menimbulkan biaya transaksi Table 7. Cost and activity used by Berau Forest Carbon Program causing transaction cost Biaya untuk (Cost for) Aktivitas (Activities) Sosialisasi dan diskusi - The Nature Conservation melakukan diskusi dengan Pemda Berau kaitannya dengan penawaran untuk ikut dalam skema REDD. - Mengikutsertakan perwakilan PEMDA COP 13 di Bali. - Mengadakan training/ workshop tentang REDD Mengumpulkan data dasar - Pelingkupan masalah dengan mengadakan diskusi dengan para mitra untuk mengidentifikasi isu - isu penting (menghasilkan 13 topik yang perlu dikaji untuk mempersiapkan Kab. Berau masuk ke skema REDD). Ke-13 topik tersebut adalah : 1. Hal-hal yang mendorong perubahan tata guna lahan dan profitabilitas tata guna lahan 2. Perencanaan dan pengambilan keputusan tentang tata guna lahan 3. Strategi untuk hutan produksi 4. Strategi untuk hutan lindung 5. Perencanaan pembangunan kelapa sawit 6. Tambang 7. Masyarakat 8. Struktur tata kelola Berau Forest Carbon Project 9. Mekanisme keuangan 10. Pendekatan pengelolaan 11. Kapasitas kelembagaan dan tindakan-tindakan pengaturan 12. Sistem pengelolaan data 13. Penghitungan karbon - Para mitra melakukan pengkajian terhadap topik -topik yang telah diidentifikasi untuk menghasilkan strategi - strategi yang harus ditempuh oleh Pokja REDD guna masuk skema REDD Sumber (Source) : The Nature Conservation (TNC), yang 172 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 3 September 2011, Hal

9 Tabel 7. di atas baru mengidentifikasi aktivitas-aktivitas dari BFCP yang menimbulkan biaya transaksi tetapi nilai dari aktivitas-aktivitas tersebut belum teridentifikasi sehingga komponen dan nilai biaya transaksi belum dapat diidentifikasi. Untuk itu dalam analisis ini biaya transaksi didekati dari biaya transaksi dari penelitian yang sudah ada. Dalam Ginoga, dkk (2009) disebutkan bahwa estimasi biaya untuk persiapan REDD di Indonesia sebesar 0.01 Euro atau (0,014 US$) per ton CO2 dan estimasi biaya untuk project developer 0,91 Euro atau ( 1,3 US$) per ton Co C. Estimasi Pendapatan dari Kegiatan Pengurangan Emisi Biaya abatasi diestimasi dari biaya kesempatan yang hilang ( opportunity cost) dari alternatif peruntukan lahan/kegiatan yang lain atau biaya untuk menghasilkan pengurangan emisi karbon. Dalam hal ini Opportunity cost dihitung dari Net Present Value (NPV) dari peruntukan lahan untuk perkebunan. Berikut nilai oppotunity cost per hektar dari : Perkebunan Besar Swasta Kelapa Sawit = Rp ,9 Kelapa sawit rakyat = Rp Karet rakyat = Rp Sehingga biaya abatasi dari : Perkebunan Besar Swasta Kelapa Sawit/tC = 36,55 US $ Kelapa sawit rakyat/tc = 29 US $ Karet rakyat/tc = 17,9 US $ Sedangkan biaya transaksi didekati dari (Indartik, dkk 2009) : Estimasi biaya persiapan REDD di Indonesia/tC = 0,014 US $ Estimasi biaya project developer /tc = 1,3 US $ Jumlah biaya transaksi/tc = 1,314 US $ Total biaya yang meliputi biaya abatasi dan biaya transaksi yang merupakan estimasi harga karbon per ton masing-masing penggunaan lahan untuk perkebunan sebagai berikut : Perkebunan Besar Swasta Kelapa Sawit = 37,864 US $ Kelapa sawit rakyat = 30,314 US $ Karet Rakyat = 19,214 US $ Kegiatan BFCP dilaksanakan pada areal seluas hektar dengan target pengurangan emisi per tahun 2 juta ton CO2 atau 12,5 ton CO2 per hektar/tahun. Sehingga proyeksi pendapatan dari kegiatan pengurangan emisi per hektar (estimasi pengurangan emisi per tahun dikalikan harga karbon) dari penggunaan lahan untuk perkebunan sebagai berikut : Perkebunan Besar Swasta Kelapa Sawit = US $ 473,300 per hektar/tahun Kelapa sawit rakyat = US $ 378,925 per hektar/tahun Karet rakyat = US $ 240,175 per hektar/tahun

10 IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Konversi hutan menjadi perkebunan besar kelapa sawit menghasilkan insentif finansial yang paling tinggi (Rp ,9 per hektar/tahun ) dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit skala rakyat (Rp per hektar/tahun) dan perkebunan karet (Rp per hektar/tahun). Sedangkan apabila tetap dipertahankan menjadi hutan akan mendapatkan insentif Rp ,7 per hektar/tahun. Dengan demikian insentif REDD itu lebih kecil dari usaha perkebunan. 2. Biaya abatasi yang diperoleh dari pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar 36,55 US $/tc, perkebunan kelapa sawit skala rakyat 29 US $/tc dan perkebunan karet skala rakyat sebesar 17,9 US $/tc 3. Estimasi harga karbon per hektar berkisar antara 19,214US $ s/d 37,864 US $. 4. Estimasi pendapatan dari kegiatan pengurangan emisi per hektar/tahun berkisar antara 582, 3 US $ s/d 815,425 US $. B. Saran 1. Agar program REDD dapat terlaksana di Kalimantan Timur maka insentif yang diberikan kepada pemilik harus lebih dari kisaran Rp s/d Rp per hektar atau Rp s/d Rp ,9 per hektar/tahun 2. Harga karbon yang layak untuk investasi di Kalimantan Timur harus lebih dari kisaran 17,9 US $/tc s/d 36,55 US $/tc karena dalam komponen biaya tersebut belum termasuk biaya transaksi. DAFTAR PUSTAKA Angelsen, A. dan Sheila, W.K., Apa isu utama rancangan REDD dan kriteria penilaian pilihan yang ada?. Cifor. Bogor. Bappeda Kalimantan Timur, Profil Daerah Provinsi Kalimantan Timur. Badan Perencanaan Pembanguan Daerah Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. Kalimantan Timur. Ariyanto, G Skema kehutanan disepakati. Harian Kompas, tanggal 14 Desember Hlm. 14. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Ariyanto, G Indonesia siap diaudit asing (Penurunan emisi 26 persen). Harian Kompas, tanggal 19 Desember Hlm. 14. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Gray, Clive dkk. 1985, Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Pertama PT Gramedia. Jakarta. Ginoga, K. L Penilaian kelayakan ekonomi berdasarkan Permenhut No. P.30/Menhut- II/2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Diktat Pelatihan Analisis Manfaat & Biaya Perubahan Penggunaan Lahan & Pengurangan Emisi dari Deforestasi. Kerjasama Puslit Sosial, Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan dengan ACIAR. Tidak dipublikasikan. 174 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 3 September 2011, Hal

11 Ginoga, K. L., Fitri, N. dan Indartik Mekanisme distribusi pembayaran REDD: Studi kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan. Puslit Sosial, Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Makalah disampaikan pada Seminar Perubahan Iklim tanggal 19 Nopember 2009 di Jakarta. Handadari, T Indonesia, emiter atau penyerap?. Kompas. 7 Desember PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Kementerian Kehutanan Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009 Tanggal 1 Mei 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Departemen Kehutanan. Jakarta. Kementerian Kehutanan Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 Tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Departemen Kehutanan. Jakarta. Kementerian Pertanian, Pusat Data dan Informasi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Vatn, A. dan Arild, A Sejumlah Pilihan Untuk Kerangka REDD+ Nasional. Mewujudkan REDD+ : Strategi Nasional Dalam Berbagai Pilihan Kebijakan. CIFOR. Bogor. Warsito, Sofyan. P Pengantar ekonomi kehutanan. Bahan Kuliah Ekonomi Kehutanan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wunder, Sven Dapatkah Imbalan Jasa Lingkungan Mengurangi Deforestasi dan Degradasi Hutan?. Mewujudkan REDD+ : Strategi Nasional Dalam Berbagai Pilihan Kebijakan. CIFOR. Bogor. 175

MEKANISME DISTRIBUSI PEMBAYARAN REDD : Studi Kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan PUSLITSOSEK 2009

MEKANISME DISTRIBUSI PEMBAYARAN REDD : Studi Kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan PUSLITSOSEK 2009 MEKANISME DISTRIBUSI PEMBAYARAN REDD : Studi Kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan PUSLITSOSEK 2009 Pendahuluan Upaya-upaya mitigasi dan adaptasi disepakati secara global dalam kerjasama antar negara,

Lebih terperinci

MEKANISME DISTRIBUSI INSENTIF REDD+

MEKANISME DISTRIBUSI INSENTIF REDD+ PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN LITBANG KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN MEKANISME DISTRIBUSI INSENTIF REDD+ Tim Peneliti : Indartik, Kirsfianti L. Ginoga, Nunung Parlinah, Deden Djaenudin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

PENILAIAN KELAYAKAN EKONOMI REDUCING EMISSION FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD+)

PENILAIAN KELAYAKAN EKONOMI REDUCING EMISSION FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD+) PENILAIAN KELAYAKAN EKONOMI REDUCING EMISSION FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD+) (Economic Feasibility of Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation (Redd+) 1,2,3 Oleh/

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

Opportunity Cost Dalam Pelaksanaan REDD

Opportunity Cost Dalam Pelaksanaan REDD Opportunity Cost Dalam Pelaksanaan REDD Dr. Suyanto Bogor 30-31 May 2011 Global Climate Change has become one of the top priorities on the global agenda 4 UNFCCC & Kyoto Protocol UNFCCC: Konvesi ttg

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL DAN KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI KARBON DIOKSIDA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

ANALISIS FINANSIAL DAN KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI KARBON DIOKSIDA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT ANALISIS FINANSIAL DAN KEUNTUNGAN YANG HILANG DARI PENGURANGAN EMISI KARBON DIOKSIDA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Herman, Fahmuddin Agus 2, dan Irsal Las 2 Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Jalan Salak

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Samarinda, September 2015 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Samarinda, September 2015 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga buku Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 dapat kami susun dan sajikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Samarinda, Juli 2016 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Samarinda, Juli 2016 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan Rahmat dan Hidayah- Nya, sehingga buku Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2015 dapat kami susun dan sajikan.

Lebih terperinci

Dinamika Upaya Pengarusutamaan Kegiatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kutai Timur

Dinamika Upaya Pengarusutamaan Kegiatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kutai Timur P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR Dinamika Upaya Pengarusutamaan Kegiatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kutai Timur Oleh: Ir. Suprihanto, CES (Kepala BAPPEDA

Lebih terperinci

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM OUTLINE ISU PENDANAAN REDD+ PROGRESS PENDANAAN REDD+ di INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009 Perubahan Iklim dan SFM Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009 Dengan menghitung emisi secara netto untuk tahun 2000, perbedaan perkiraan emisi DNPI dan SNC sekitar 8 persen Sekotr lain

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH BIAYA INPUT DAN TENAGA KERJA TERHADAP KONVERSI LUAS LAHAN KARET MENJADI LAHAN KELAPA SAWIT

ANALISIS PENGARUH BIAYA INPUT DAN TENAGA KERJA TERHADAP KONVERSI LUAS LAHAN KARET MENJADI LAHAN KELAPA SAWIT ANALISIS PENGARUH BIAYA INPUT DAN TENAGA KERJA TERHADAP KONVERSI LUAS LAHAN KARET MENJADI LAHAN KELAPA SAWIT ( Studi Kasus : Desa Kampung Dalam, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu ) Cindi Melani

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur

Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Oleh : Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Disampaikan dalam Festival Iklim KemenLHK Jakarta, 17 Januari 2018 Periode Peletakan Dasar Transformasi Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

UPAYA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI UNTUK PENURUNAN EMISI KARBON ( Development efforts of Plantation Forest for Carbon Emission Reduction)

UPAYA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI UNTUK PENURUNAN EMISI KARBON ( Development efforts of Plantation Forest for Carbon Emission Reduction) UPAYA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI UNTUK PENURUNAN EMISI KARBON ( Development efforts of Plantation Forest for Carbon Emission Reduction) Oleh/ By : Indartik, Nunung Parlinah dan Mega Lugina 1 2

Lebih terperinci

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI KONTRIBUSI NON-PARTY STAKEHOLDERS (NPS) DI KALIMANTAN TIMUR DALAM PEMENUHAN NDC FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI Niken Sakuntaladewi (niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk) Pusat Litbang Sosial,

Lebih terperinci

Sakti Hutabarat Staf pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau

Sakti Hutabarat Staf pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau Evaluasi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Pola PIR di Desa Gading Sari Kec. Tapung Kab. Kampar (Sakti Hutabarat) EVALUASI INVESTASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT POLA PIR DI DESA GADING SARI KECAMATAN TAPUNG

Lebih terperinci

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Andree Ekadinata dan Sonya Dewi PENGENALAN METODE OPPORTUNITY COST DALAM MEKANISME PENGURANGAN EMISI DARI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Permintaan domestik dan internasional akan kayu jati untuk industri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Permintaan domestik dan internasional akan kayu jati untuk industri BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permintaan domestik dan internasional akan kayu jati untuk industri furniture dari Indonesia mencapai 70 juta m 3 per tahun dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Kebijakan Pelaksanaan REDD

Kebijakan Pelaksanaan REDD Kebijakan Pelaksanaan REDD Konferensi Nasional terhadap Pekerjaan Hijau Diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta Hotel Borobudur, 16 Desember 2010 1 Kehutanan REDD bukan satu-satunya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Silvia Irawan, Luca Tacconi, Irene Ring

Silvia Irawan, Luca Tacconi, Irene Ring Silvia Irawan, Luca Tacconi, Irene Ring Meneliti struktur insentif dari pemangku kepentingan pemerintah untuk memahami penyebab deforestasi dan mengembangkan sebuah kebijakan untuk merubah perilaku stakeholders

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN BIRO PERENCANAAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN KEHUTANAN JAKARTA, JANUARI 2007 Latar belakang Negosiasi Bilateral G-G, Oktober 2007 telah menyetujui program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya dengan bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT (Studi Kasus: Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau) Dionica Putri 1), H M Mozart B Darus M.Sc 2), Ir. Luhut Sihombing, MP 3) Program

Lebih terperinci

Tata ruang Indonesia

Tata ruang Indonesia Tata ruang Indonesia Luas 190,994,685 Ha Hutan Produksi Kawasan Non-hutan Hutan Produksi Terbatas Hutan konservasi Hutan dilindungi Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Departemen Kehutanan Indonesia

Lebih terperinci

226 ZIRAA AH, Volume 32 Nomor 3, Oktober 2011 Halaman ISSN

226 ZIRAA AH, Volume 32 Nomor 3, Oktober 2011 Halaman ISSN 226 ANALISIS USAHA TANI KELAPA SAWIT DI DESA HAMPALIT KECAMATAN KATINGAN HILIR KABUPATEN KATINGAN (Analysis of oil palm farming in Hampalit Village, Katingan Hilir Sub district, Katingan District) Asro

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

Kerangka Acuan LOKAKARYA PERAN INVESTASI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI TANAH PAPUA DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN RENDAH KARBON

Kerangka Acuan LOKAKARYA PERAN INVESTASI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI TANAH PAPUA DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN RENDAH KARBON Kerangka Acuan LOKAKARYA PERAN INVESTASI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI TANAH PAPUA DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN RENDAH KARBON Jayapura, 11 dan 12 Oktober 2011 Kerjasama antara: Center for International

Lebih terperinci

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Muhammad Ridwan 17 Maret 2010 Bahan disarikan dari beberapa tulisan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2011, bertempat di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PENYIAPAN REGULASI: DISTRIBUSI TANGGUNGJAWAB DAN INSENTIF REDD+

PENYIAPAN REGULASI: DISTRIBUSI TANGGUNGJAWAB DAN INSENTIF REDD+ PENYIAPAN REGULASI: DISTRIBUSI TANGGUNGJAWAB DAN INSENTIF REDD+ Prof. Dr. Singgih Riphat Ketua Tim Manajemen Iklim Kementerian Keuangan Jakarta, 28 April 2011 APA ITU REDD+? Mekanismepenurunanemisisektorkehutanan,

Lebih terperinci

REALISASI INVESTASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TRIWULAN I TAHUN 2017

REALISASI INVESTASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TRIWULAN I TAHUN 2017 REALISASI INVESTASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TRIWULAN I TAHUN 2017 Terget realisasi investasi tahun 2017 ditetapkan pencapaianya sebesar Rp 34,97 triliun. Dengan rincian Rp 12,24 triliun untuk PMDN dan

Lebih terperinci

Sistem Penggunaan Lahan dalam Analisa OppCost REDD+

Sistem Penggunaan Lahan dalam Analisa OppCost REDD+ Sistem Penggunaan Lahan dalam Analisa OppCost REDD+ Sonya Dewi PENGENALAN METODE OPPORTUNITY COST DALAM MEKANISME PENGURANGAN EMISI DARI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN BOGOR, 30-31 MEI 2011 Yang akan dibahas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011 Strategi Nasional, Pengembangan Kelembagaan, dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011 Perhatian khusus terhadap hutan bukan hal baru 2007 2008 2009 Jan 2010 Mei 2010

Lebih terperinci

Perubahan Stok Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp

Perubahan Stok Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp Perubahan Stok Karbon dan Nilai Ekonominya pada Konversi Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri Pulp Change of The Carbon Stock and It s Economic Value on the Conversion of Peat Swamp Forest

Lebih terperinci

REALISASI INVESTASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PADA TRIWULAN III TAHUN 2016

REALISASI INVESTASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PADA TRIWULAN III TAHUN 2016 INVESTASI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PADA TRIWULAN III TAHUN 0 Pada tahun 0 ini telah ditetapkan target realisasi investasi sebesar Rp. 9, trilliun. Dengan rincian Rp., trilliun untuk PMDN dan Rp., triliun

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran penelitian ini diawali dengan melihat potensi usaha yang sedang dijalankan oleh Warung Surabi yang memiliki banyak konsumen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit telah menjadi komoditas andalan sebagai sumber devisa negara non migas, penciptaan lapangan kerja dan pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penurunan produktivitas hutan alam telah mengakibatkan berkurangnya suplai hasil hutan kayu yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri kehutanan. Hal ini mendorong

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

Muhammad Evri. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Muhammad Evri. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Muhammad Evri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dipresentasikan pada Workshop Evaluasi Program Insentif PKPP-RISTEK, 3 Oktober 2012 Terjadi peningkatan kebutuhan domestik (4.5 5 juta ton)

Lebih terperinci

Pmencerminkan kepatuhan terhadap prinsipprinsip

Pmencerminkan kepatuhan terhadap prinsipprinsip Lembar Informasi Deforestasi: Potret Buruk Tata Kelola Hutan di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur Forest Watch Indonesia Pendahuluan engelolaan hutan di Indonesia belum Pmencerminkan

Lebih terperinci

PERAN DINAS KEHUTANAN SEBAGAI MITRA UTAMA DDPI KALTIM

PERAN DINAS KEHUTANAN SEBAGAI MITRA UTAMA DDPI KALTIM PERAN DINAS KEHUTANAN SEBAGAI MITRA UTAMA DDPI KALTIM Oleh DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DALAM ACARA PELATIHAN GCF YANG BERJUDUL PENGUATAN KERANGKA KERJA KELEMBAGAAN PROVINSI MENGENAI PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Business Assignment Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. Pengembangan bisnis ini diharapkan dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN TROPICAL FOREST CONSERVATION FOR REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION AND ENHANCING CARBON STOCKS IN MERU BETIRI NATIONAL PARK, INDONESIA ITTO PD 519/08 REV.1 (F) KEMENTERIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI Koordinator DEDEN DJAENUDIN TARGET OUTPUT RPI 2010-2014 SINTESA OUTPUT 1: OUTPUT 2: OUTPUT 3: OUTPUT 4: OUTPUT 5: Sosial

Lebih terperinci

DR. H. AWANG FAROEK ISHAK Gubernur Kalimantan Timur

DR. H. AWANG FAROEK ISHAK Gubernur Kalimantan Timur RENCANA AKSI KEGIATAN KOORDINASI DAN SUPERVISI (KORSUP) ATAS GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI KALIMANTAN TIMUR DR. H. AWANG FAROEK ISHAK Gubernur

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha pengolahan komoditi kelapa, dampaknya terhadap

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 10 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama satu

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI JERUK SIAM (CITRUS NOBILIS LOUR) PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPIN SELATAN KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI JERUK SIAM (CITRUS NOBILIS LOUR) PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPIN SELATAN KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN Jurnal Ziraa ah Vol. 12 Nomor 1: 12-17, Februari 2005, ISSN 1412-1468 ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI JERUK SIAM (CITRUS NOBILIS LOUR) PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPIN SELATAN KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN

Lebih terperinci

Feasibility Analysis of Patin Fish Business (Pangasius Sutchi) In Sipungguk Village Pond Salo Sub District Regency of Kampar Riau Province

Feasibility Analysis of Patin Fish Business (Pangasius Sutchi) In Sipungguk Village Pond Salo Sub District Regency of Kampar Riau Province Feasibility Analysis of Patin Fish Business (Pangasius Sutchi) In Sipungguk Village Pond Salo Sub District Regency of Kampar Riau Province By Muhammad Syafii 1), Darwis 2), Hazmi Arief 2) Faculty of Fisheries

Lebih terperinci

STRATEGI READINESS REDD INDONESIA ( )

STRATEGI READINESS REDD INDONESIA ( ) MINISTRY OF FORESTRY STRATEGI READINESS REDD INDONESIA (2009-2012) POKJA Perubahan Iklim Departemen Kehutanan Disampaikan pada acara Konsultasi Publik, Jakarta, 14 September 2009 MINISTRY OF FORESTRY PENGANTAR

Lebih terperinci

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) I. PENDAHULUAN - IAFCP didasarkan pada Kesepakatan Kerjasama ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 13 Juni 2008, jangka waktu

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL PERKEBUNAN GAMBIR RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT. Vera Anastasia

ANALISIS FINANSIAL PERKEBUNAN GAMBIR RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT. Vera Anastasia ANALISIS FINANSIAL PERKEBUNAN GAMBIR RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT Vera Anastasia Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Jl.Prof.A.Sofyan No.3 Medan HP: 85296624812 E-mail:

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PEKANBARU, JULI 2010 Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986 No PERUNTUKAN LUAS (Ha) ( % ) 1. Hutan

Lebih terperinci

Defining Baseline for REDD Ulu Masen, Aceh. Bogor, Agustus 2009

Defining Baseline for REDD Ulu Masen, Aceh. Bogor, Agustus 2009 Defining Baseline for REDD Ulu Masen, Aceh Bogor, 25-26 Agustus 2009 Forest cover & deforestation Forest Cover 1945 Forest Cover 1980 Forest Cover 1990 Forest Cover 2000 Forest Cover 2006 Deforestation

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA ATAU INDONESIA CERTIFIED EMISSION REDUCTION

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Pelaksanaan pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini (BAU) mengakibatkan menurunnya luas kawasan hutan dan tutupan bervegetasi hutan. Tercatat

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi intermediasi atau memperlancar lalu lintas

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satu penyebabnya oleh deforestasi dan degradasi

Lebih terperinci

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK PROGRES DAN POTENSI OUTLINE HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK IDENTIFIKASI POTENSI HAKI POTENSI PEROLEHAN HAKI 1 HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK LITBANG

Lebih terperinci