5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Daerah Penangkapan Ikan dan Kawasan Penambangan Pasir Laut Daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Serang dapat digolongkan ke dalam tiga cluster daerah penangkapan ikan, yaitu daerah penangkapan ikan dengan kedalaman 0-5 meter (cluster satu), daerah penangkapan ikan dengan dengan kedalaman 5 10 meter (cluster dua), dan daerah penangkapan ikan dengan kedalaman meter (cluster tiga). Ketiga cluster caerah penangkapan ikan ini kesemuanya tumpang tindih dengan kawasan penambangan pasir yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. Tumpang tindihnya daerah penangkapan ikan dengan kawasan penambangan pasir mengakibatkan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan selalu berupaya menghindari kapal keruk yang sedang beroperasi agar tidak terjadi tabrakan ataupun turut terhisapnya alat tangkap nelayan oleh kapal keruk. Kejadian ini membuat Nelayan melakukan upaya penangkapan pada daerah yang sangat dekat dengan pantai dengan resiko hasil tangkapan sangat terbatas dan berukuran kecil atau melakukan penangkapan yang lebih jauh dari pantai melampaui kapal keruk yang sedang beroperasi sehingga membutuhkan bahan bakar yang lebih dari keadaan normal. 5.2 Produksi Rajungan Produksi Rajungan sebelum adanya penambangan pasir laut di Kecamatan Tirtayasa pada Tahun 2002 mencapai 180,4 ton, Pada Tahun 2003 dengan dimulainya penambangan pasir pada bulan september produksi rajungan di kecamatan Tirtayasa mencapai 62,34 ton. Pada bulan september 2003 dimulai penambangan pasir laut oleh PT. Jet Star. Penambangan pasir laut terus berlangsung hingga tahun Seiring dengan penambangan pasir laut, upaya penangkapan rajungan oleh nelayan juga terus berlangsung. Nelayan terpaksa melakukan penangkapan rajungan pada perairan dekat pantai atau jauh ketengah menghindari kapal keruk pasir laut yang sedang melakukan operasi pengerukan. Sesekali

2 dilakukan penangkapan rajungan tepat pada lokasi pengerukan ketika kapal keruk kembali ke Jakarta membawa muatan pasir laut. Pada kondisi demikian, tahun 2004 produksi rajungan bersamaan dengan berlangsungnya penambangan pasir laut di Kecamatan Tirtayasa mencapai 50,2 Ton produksi rajungan (ton) produksi pasir laut (M3) - 0 bulan apr jul oct jan'03 apr jul oct jan'04 apr jul oct jan'05 produksi rajungan (ton) produksi pasir laut (M 3 ) Gambar 8. Produksi rajungan dan pasir laut Produksi rajungan setiap tahunnya semakin menurun meskipun rajungan dapat tertangkap sepanjang tahun dan produksi bulanan pada tiap tiap tahun tidak memiliki pola. Pada kenyataan di lapangan, produksi rajungan di Kecamatan Tirtayasa berlangsung terus-menerus sepanjang tahun. Nelayan akan berhenti melakukan penangkapan rajungan ketika musim udang ataupun musim ikan tiba. 5.3 Produksi Rajungan Sebelum dan Setelah Penambangan Pasir Laut Produksi rajungan sebelum dilakukan penambangan pasir cukup tinggi pada tahun 2000 sampai dengan tahun Pada tahun 2002 produksi rajungan mencapai 180,4 ton. Pada tahun 2003 sampai dengan bulan Agustus kecenderungan menurun dan pada akhirnya pada bulan September dilakukan penambangan pasir laut. Pada bulan September tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 produksi rajungan semakin menurun. Kondisi penurunan produksi pada saat dilakukannya penambangan pasir 58

3 laut dibandingkan dengan produksi sebelum dilakukan penambangan pasir laut dilakukan uji T dengan taraf α 5% untuk mengetahui apakah terjadi penurunan yang signifikan. Hasil uji T menunjukan bahwa t hitung memiliki nilai 2,187 sedangkan t tabel memiliki nilai 2,100, oleh karena t hitung lebih besar dari pada t tabel maka Ho : u1 = u2 ditolak dan berarti terjadi penurunan produksi rajungan yang signifikan pada saat setelah dilakukan penambangan pasir laut dibandingkan dengan produksi rajungan sebelum penambangan pasir laut. 5.4 Kualitas Produksi Rajungan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di peraiaran Kabupaten Serang sebelum terjadi penambangan pasir laut yaitu pada bulan Maret hingga April 2003 oleh Suadela (2004) didapatkan rata rata Panjang karapas (CL) rajungan sebesar 5,59 cm ± 0,68 sedangkan rata-rata lebar karapas (CW) rajungan mencapai 11,56 cm ± 1,24 dan rata-rata berat tubuh rajungan 121,75 gram ± 50,19. Pada saat penambangan pasir laut dilakukan didapat rata-rata panjang karapas (CL) rata-rata 5,04 cm ± 0,96 cm sedangkan rata rata lebar karapas (CW) sebesar 10,3 cm ± 1,9 cm dan rata-rata berat tubuh (BW) sebesar 92,69 gram ± 71,58 gram. Perbandingan rata-rata panjang karapas (CL), lebar karapas (CW) dan berat tubuh (BW) sebelum penambangan pasir laut dan setelah penambangan pasir laut terdapat perbedaan yang semakin mengecil hal ini berarti secara kualitas baik panjang karapas (CL), lebar karapas (CW) dan berat tubuh (BW) rajungan pada saat penambangan pasir laut terjadi penurunan kualitas. 59

4 Tabel 20. Perbandingan kualitas rajungan Sebelum Penambangan Dimensi Ukuran Rata-rata + SD CL, cm 5,59 + 0,68 CW, cm 11,56 + 1,24 BW, gram 121, ,19 Setelah Penambangan CL, cm 5,04 + 0,96 CW, cm 10,3 + 1,9 BW, gram 92, ,58 Sumber : Data hasil pengolahan 5.5 Ijin Pertambangan dan Produksi Pasir Laut Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah pusat telah mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) Pasir laut kepada enam perusahaan. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah maka dengan alasan kepentingan daerah dalam hal pengelolaan potensi Sumber Daya Alam (SDA) agar potensi bisa dimanfaatkan secara optimum namun lingkungan dapat terkendali maka Pemerintah Daerah Kabupaten Serang mengkaji ijin yang telah dikeluarkan pemerintah pusat. Pengkajian dan penerbitan ijin oleh daerah didasarkan aturan dan landasan hukum yang ada baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemohon ijin pertambangan pasir laut mengajukan permohonan kepada bupati. Kemudian diteruskan kepada dinas terkait untuk melakukan pengkajian administrasi. Apabila secara administrasi dapat diterima maka dinas bersama tim teknis melakukan kajian teknis. Apabila secara teknis dapat diterima maka dinas terkait memberikan rekomendasi kepada bagian hukum untuk dipersiapkan ijin pertambangan. Ijin Pertambangan diterbitkan setelah ditandatangani oleh Bupati. 60

5 TEKNIS SKIP EKSPLORASI STUDI KELAYAKAN AMDAL EKSPLOITASI PENGOLAHAN PENGANGKUTAN PENJUALAN -Teristis -Studi Literatur -Fotogramatis (Foto udara, satelit) Perencanaan Tambang (Sistem, Alat, Volume) Fisik, Ekonomi, Budaya K3 KEPALA TEKNIK TAMBANG (KTT) PELAKSANA INSPEKSI TAMBANG (PIT) Tugas & fungsi : 1.Mengawasi kegiatan tambang 2. Mediator antara perusahaan dgn pemerintah -Pengawasan -Menghentikan kegiatan tambang Sarana SDM Operasinal LINGKUNGAN AMDAL, RKL & RPL Unsur yg diperiksa: 1. Adm ( Buku Tambang) -Baku Mutu - Ambang Batas 2. Teknis 3. Lingkungan 4. K3 Gambar 9. Mekanisme pengelolaan pertambangan DITOLAK PEMOHON BUPATI DINAS TIM TEKNIS DITERIMA BAGIAN HUKUM SURAT IJIN PERTAMBANGAN DAERAH Gambar 10. Skema pengurusan ijin pertambangan daerah 61

6 Pemerintah Kabupaten Serang telah mengeluarkan ijin kuasa pertambangan kepada beberapa perusahaan. Perusahaan yang telah memiliki ijin ekploitasi dan telah melakukan penambangan pasir laut adalah P.T. Jet Star yang memulai operasi penambangan pada bulan September Adapun produksi Pasir Laut sampai dengan bulan Maret 2005 seperti dalam Gambar 7. Berdasarkan hasil eksplorasi, luas penyebaran pasir mencapai m 3 dengan ketebalan rata-rata 3.81 m. Cadangan terukur sebesar m 3 serta dari perhitungan cadangan tersebut didapat cadangan tertambang sebesar m Biofisik Perairan Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen berlangsung seimbang. Simanjuntak (2002) menyatakan bahwa sebelum adanya penambangan pasir laut, hasil penelitian berdasarkan kadar fosfat, nitrat dan silikat maka perairan Teluk Banten dan sekitarnya dikategorikan perairan yang subur dan kualitas air laut masih baik sehingga layak digunakan untuk usaha bidang perikanan dan budidaya biota laut lainnya. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Rencana Penambangan Pasir Laut di Kawasan Laut Utara Kabupaten Serang dinyatakan bahwa penambangan pasir laut akan memberikan dampak pada aspek biologi dan fisik perairan dengan kategori dampak negatif penting. Hal tersebut akan menjadikan kondisi lingkungan biofisik yang menurun dan harus diantisipasi. Proses penambangan pasir laut menyebabkan endapan lumpur yang bercampur dengan pasir laut ikut tersedot dan dikembalikan ke laut. Material lumpur yang bercampur dengan air laut akan menimbulkan padatan terlarut. Lamanya padatan ini menyebar menyebabkan kekeruhan. Berdasarkan kedalaman perairan m dan kecepatan arus 22,5 cm/detik maka kekeruhan terjadi sampai dengan 6 jam dan sebaran mencapai 4,5 km. Penambangan pasir laut juga menambah kedalaman dasar laut yang mempengaruhi energi gelombang sehingga menjadi bertambah besar. Penambangan pasir skala besar dan terus menerus dalam periode waktu yang cukup lama serta aktivitas pemulihan kembali kondisi lahan dan lingkungan bekas penggalian pasir laut berjalan dengan lambat akan merubah fisik perairan sehingga 62

7 mempengaruhi biota laut beserta habitatnya. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan perairan di lokasi penambangan pasir oleh PT. Jet Star dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di lokasi penambangan. No Parameter Satuan Baku Mutu Lokasi penambangan Fisika 1 Warna TCU < Bau Alami Alami Alami 3 Kekeruhan NTU < TSS mg/l < TDS mg/l Sumber : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, 2004 Penambangan pasir laut memberikan pengaruh terhadap tingginya nilai kekeruhan dan TSS. Nilai kedua parameter tersebut sudah melebihi baku mutu air untuk biota laut yaitu 94,3 NTU untuk nilai kekeruhan dan 140 mg/l untuk TSS. Volume galian pasir laut yang dihasilkan dari aktivitas penambangan pasir PT. Jet Star di wilayah perairan Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang adalah 500 m3 per jam atau m3 per hari (asumsi operasional suction Cutter Dredger adalah 20 jam per hari). Sedangkan material galian lain yang dibuang kembali ke perairan adalah 3300 m3 per hari, terdiri dari air laut m3/hari dan lumpur 300 m3/ hari. Ketika proses penggalian pasir berlangsung, Suction Cutter Dredger akan menyedot apapun yang berada di bawahnya dengan kekuatan tinggi, termasuk jika di wilayah penyedotan pasir laut tersebut terdapat wilayah pemijahan dan pembesaran ikan serta habitat hidup biota atau sumberdaya hayati laut lainnya, seperti jasad renik 63

8 (plankton, nekton), terumbu karang dan padang lamun. Seluruh isi laut akan ditarik ke atas dan sesampainya diatas kemudian dipilah-pilah. Pasirnya akan diambil, sedangkan lumpur, air dan lainnnya dibuang kembali ke laut. Bertebaranlah limbah pengerukan yang berisi lumpur dan jasad renik serta material lainnya yang ikut terhisap selama proses penggalian dan pemuatan berlangsung. Berbagai jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis ikut menjadi penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu dan biasanya menjadi penyebab terjadinya plankton booming (penyuburan perairan). Kejadian ini terus berulang dan tidak meninggalkan waktu sedikitpun bagi laut dan berbagai satwa lainnya untuk bernafas di air yang jernih. Kondisi perairan dengan kekeruhan dan kadar TSS yang tinggi akan mengganggu ikan dan biota laut lainnya dalam proses bernafas karena butiran-butiran pasir yang teraduk tersebut dapat menutupi organ pernafasan ikan yaitu insang. Kondisi ini dapat berakibat pada : 1) kematian ikan karena kesulitan dalam bernafas; dan 2) perpindahan atau migrasi besar-besaran ikan, udang dan biota laut lain menuju tempat dengan kondisi lingkungan perairan yang lebih bersih, lebih sehat dan tidak mengganggu keberlangsungan hidupnya. 5.7 Regresi Produksi Pasir Laut Terhadap Produksi Rajungan Hasil analisis regresi produksi pasir laut terhadap produksi rajungan didapat persamaan regresi Y=1, X 1 + 0,365X 2 dengan koefisisen korelasi 0,36 ; koefisien determinasi 0,13 dan koefisien determinasi yang disesuaikan 0,017. Mengacu kepada nilai koefisen determinasi berarti perubahan produksi rajungan dapat dijelaskan sebesar tiga belas persen (13%) oleh produksi pasir laut, sedangkan delapan puluh tujuh persen (87%) disebabkan oleh variabel lainnya. Variabel lain yang dapat mempengaruhi produksi rajungan adalah jumlah alat tangkap dan jumlah biaya operasional. Persamaan regresi produksi pasir laut terhadap produksi rajungan menunjukan kurva yang negatif, hal tersebut menunjukan setiap kenaikan produksi pasir laut akan menurunkan produksi rajungan, meskipun laju penurunan tersebut belum memberikan pengaruh yang signifikan. 64

9 produksi rajungan (ton) produksi pasir laut (M3) produksi rajungan (ton) Predicted produksi rajungan (ton) Linear (produksi rajungan (ton)) Gambar 11. Regresi produksi pasir laut terhadap produksi rajungan 5.8 Perubahan Surplus Produsen Salah satu dampak yang dikeluhkan oleh stakeholders akibat penambangan pasir laut adalah kekhawatiran atas berubahnya kesejahteraan nelayan setempat yang merupakan pemanfaat sumberdaya perikanan yang berada pada wilayah-wilayah sekitar penambangan. Penambangan pasir laut dapat menimbulkan eksternalitas (dampak) yang bisa saja bersifat welfare enhanching (meningkatkan kesejahteraan) maupun akibat penambangan pasir laut adalah yang bersifat welfare reducing. Seberapa besarnya perubahan kesejahteraan yang bersifat welfare reducing terhadap para nelayan, dihitung dengan mengukur perubahan surplus produsen (nelayan). Fauzi (2004) mendefinisikan surplus produsen sebagai pembayaran yang paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi komoditas. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumberdaya atau asset yang produktif pada saat pendapatan dari sumberdaya melebihi biaya pemanfaatannya. Dalam kasus perikanan, surplus produsen merupakan surplus yang diterima oleh nelayan atas ekstraksi sumberdaya ikan. 65

10 Dampak perubahan surplus produsen akibat penambangan pasir laut di daerah penelitian dihitung berdasarkan data primer dan data sekunder untuk perikanan di wilayah yang terkena penambangan pasir laut. Data sekunder terlebih dahulu disagregasi untuk memisahkan alat tangkap yang beroperasi di daerah penambangan pasir laut dengan alat tangkap yang beroperasi di luar daerah penambangan pasir laut. Kurva supply perikanan rajungan dalam penelitian ini tidak diketahui, maka perhitungan surplus produsen di proxy berdasarkan surplus penerimaan. Perhitungan surplus produsen didasarkan pada produksi perikanan untuk komoditas atau alat tangkap dominan serta diperkirakan mengalami perubahan produksi karena adanya penambangan pasir laut, yaitu rajungan, ikan, dan udang. Analisis terhadap produktivitas alat tangkap dilakukan terhadap jaring rajungan, bubu, jaring bondet, jaring udang, jaring rampus. Komponen-komponen untuk menghitung surplus produsen ini adalah: 1. Hasil tangkapan (rata-rata) per trip (kg/trip) 2. Jumlah armada penangkapan 3. Harga komoditas perikanan (Rp/kg) 4. Jumlah hari melaut 5. Biaya operasional per trip (Rp/trip); biaya bahan bakar, perbekalan. Berdasarkan data primer dan sekunder, maka diperoleh surplus untuk rajungan pada kondisi sebelum penambangan dan pada saat penambangan seperti tertera pada Tabel 22. Tabel 22 Dampak penambangan terhadap perubahan surplus produsen (rupiah) PRODUKSI SEBELUM FASE PERUBAHAN RAJUNGAN PENAMBANGAN PENAMBANGAN SURPLUS DESA LONTAR DESA SUSUKAN JUMLAH Sumber : Data hasil pengolahan 66

11 Pada Desa Lontar sebelum adanya penambangan pasir laut, hasil tangkapan rajungan pada saat musim rajungan mencapai 50 kg/trip dan di luar musim mencapai 15 kg/trip. Setelah adanya penambangan pasir laut hasil tangkapan rajungan pada saat musim rajungan mencapai 8 kg/trip dan di luar musim mencapai 4 kg/trip. Jumlah trip atau hari melaut musim rajungan mencapai 18 hari sedangkan diluar musim rajungan jumlah hari melaut mencapai 174 hari dalam 1 tahun. Jumlah armada yang melakukan penangkapan rajungan mencapai 265 kapal. Harga jual rajungan sebesar Rp ,-/kg. Biaya operasional penangkapan sebesar Rp ,-/trip. Berdasarkan variabel-variabel tersebut maka dihitung total penerimaan dan total biaya variabel. Selisih antara total penerimaan dan total biaya variabel merupakan surplus produsen. Biaya penangkapan pada musim rajungan sebesar Rp. 700,-/kg dan diluar musim rajungan sebesar Rp.2.333,-/kg. Cara perhitungan yang sama dilakukan pada Desa Susukan sehingga didapat perhitungan surplus produsen sebelum dan setelah penambangan pasir laut. Surplus produsen untuk rajungan pada keadaan sebelum penambangan sebesar Rp ,- sedangkan surplus produsen pada saat penambangan sebesar Rp ,- sehingga terjadi perubahan (penurunan) surplus sebesar Rp ,- atau sebesar 88%. Menurut Saraswati (2005), nilai ekonomi pasir laut di Kabupaten Serang sebesar Rp ,- per tahun, dengan demikian bila dibandingkan perubahan surplus produsen rajungan terhadap nilai ekonomi pasir laut diperoleh nilai sebesar 9%. Gambar 12 menampilkan perbandingan surplus produsen. 67

12 R I B U R U P I A H Ds. LONTAR Ds. SUSUKAN SEBELUM PENAMBANGAN SETELAH PENAMBANGAN Gambar 12. Surplus produsen sebelum dan setelah penambangan Namun demikian sebenarnya sangat sulit untuk menentukan, apakah perubahan surplus ini benar-benar terjadi karena penambangan pasir laut. Beberapa nelayan menyatakan bahwa sepanjang tahun 2004 merupakan periode paceklik yang panjang. Sebagian besar nelayan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan produksi sejak beberapa tahun terakhir, namun penurunan produksi tersebut dianggap penurunan yang wajar akibat fluktuasi musiman. Berdasarkan data produksi perikanan, baik produksi perikanan Kabupaten Serang maupun Kecamatan Tirtayasa sejak tahun 1998 hingga 2003, terdapat kecenderungan menurunnya produksi rajungan. 5.9 Implikasi Kebijakan Pemberian ijin kuasa pertambangan pasir laut di Kabupaten Serang didasarkan kepada Peraturan Daerah No 1 tahun 2003 tentang ijin pengusahaan 68

13 pertambangan umum. Perda No 1 Tahun 2003 memasukan pasir laut dengan kategori sebagai bahan galian C. Perda tersebut memiliki kelemahan bila diterapkan pada usaha penambangan pasir laut karena pada pasal 21 ayat 4 disebutkan bahwa luas wilayah ekploitasi maksimal 100 hektar. Pada kenyataan saat ini setiap kuasa pertambangan yang diberikan oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Serang luasnya mencapai puluhan ribu hektar. Mempertimbangkan kelemahan tersebut, apabila Pemerintah Daerah Kabupaten Serang tetap pada kebijakan mengekploitasi pasir laut sebaiknya membuat peraturan daerah khusus mengenai pengusahaan pasir laut yang mengacu pada peraturan daerah tentang tata ruang laut dan pesisir. Hal tersebut sangat diperlukan karena wilayah laut merupakan perairan umum dan berbagai pihak memiliki kepentingan atas perairan tersebut. Hal lain yang menjadi masalah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Serang belum memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang laut dan pesisir sehingga Pemerintah Daerah belum memiliki kebijakan mengenai zonasi-zonasi laut yang mengatur wilayah fishing ground, penambangan pasir laut ataupun zonasi laut untuk kepentingan lainnya. Melihat kondisi tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Serang perlu segera membuat peraturan daerah tentang tata ruang laut dan pesisir yang memuat kebijakan zonasi untuk kepentingan berbagai pihak yang dapat mengatur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Community development sebagai upaya pemberdayaan masyarakat diberikan oleh perusahaan yang melakukan penambangan pasir, tetapi besaran nilai dana dan teknis pengelolaannya belum ada pedoman atau aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Produksi perikanan tangkap di Kecamatan Tirtayasa semakain menurun terlebih dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang memberikan ijin penambangan pasir laut. Penambangan pasir laut telah menyebabkan pola penangkapan yang dilakukan oleh nelayan berubah, khususnya ketika kapal penambang pasir laut beroperasi. Nelayan Kecamatan Tirtayasa biasanya melakukan penangkapan secara oneday fishing dengan memasang jaring atau bubu pada sore hari dan setelah itu kembali kedarat untuk melakukan aktivitas lainnya. Waktu tempuh yang diperlukan untuk dapat sampai pada lokasi fishing ground hanya berkisar 30 69

14 60 menit. Pada pagi hari nelayan kembali ke laut untuk menarik jaring atau bubu. Semenjak adanya penambangan pasir laut, nelayan melakukan penangkapan pada lokasi yang lebih dekat ke pantai atau jauh melewati daerah fishing ground yang biasa dituju. Ketika melakukan penangkapan lebih dekat ke pantai, nelayan tidak merubah pola penangkapan, tetapi hasil yang didapat adalah rajungan dengan ukuran yang relatif lebih kecil sehingga nilai jual rajungan semakin murah dibawah harga yang layak. Ketika nelayan melakukan penangkapan pada perairan melewati fishing ground yang biasa dituju, pola penangkapan nelayan berubah. Nelayan pergi melaut pada pagi hari untuk memasang jaring atau bubu dan mengangkatnya kembali setelah terendam 3-4 jam. Hal tersebut diulangi dua atau tiga kali dalam satu trip penangkapan sehingga mereka tidak lagi kembali kedarat dengan meninggalkan jaring sebagaimana biasa dilakukan. Nelayan yang melakukan penangkapan pada fishing ground lebih jauh mendapat hasil tangkapan yang relatif lebih banyak dan berkualitas serta harga jual rajungan yang relatif lebih baik, tetapi belum tentu lebih ekonomis karena nelayan yang melakukan penangkapan pada lokasi fishing ground lebih jauh tersebut membutuhkan bahan bakar dan perbekalan yang lebih banyak pula sehingga biaya operasional melaut menjadi lebih tinggi. Nelayan Kecamatan Tirtayasa berupaya mengatasi tingginya biaya operasional dengan menggunakan bahan bakar yang tidak semestinya sebagai pengganti solar. Bahan bakar pengganti tersebut berupa campuran 8 10 liter minyak tanah dengan satu liter olie bekas. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang sampai saat ini belum mengeluarkan aturan khusus mengenai alat tangkap, oleh karena itu di perairan Kabupaten Serang cukup banyak beroperasi alat tangkap yang kurang ramah lingkungan seperti gardan, arad dan lampara dasar yang dimodifikasi menjadi mini trawl. Berbagai program Pemerintah Daerah Kabupaten Serang melalui Dinas Perikanan dan Kelautan untuk nelayan telah banyak dilakukan seperti pemberian bantuan alat tangkap, mesin perahu dan pemasangan rumpon dengan sumber pembiayaan APBN maupun APBD. Namun seringkali pemberian bantuan tersebut kurang tepat sasaran dan kurang tepat guna. Kurang tepat sasaran dikarenakan bantuan tersebut diterima oleh masyarakat yang tidak berhak, dan kurang tepat guna karena bantuan alat misalnya jaring sering tidak 70

15 sesuai dengan apa yang biasa digunakan oleh nelayan pada perairan Kabupaten Serang. Pemberian bantuan yang kurang tepat sasaran dan kurang tepat guna menjadi sia-sia bahkan terkadang menjadi masalah baru. Program subsidi untuk perikanan tangkap saat ini baru diberikan kepada pengelola tempat pelelangan ikan untuk menampung ikan hasil tangkapan nelayan. Hal tersebut dilakukan untuk menjadikan harga ikan stabil pada kisaran harga yang layak. Program tersebut untuk menaikan posisi tawar nelayan yang selama ini lebih sering dikendalikan para juragan atau pemilik modal. Program lainnya berupa bantuan peningkatan modal usaha perikanan saat ini masih berjalan melalui kegiatan PEMP (pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir ) bersumber dana APBN. Program PEMP juga telah berhasil membangun SPDN di Kecamatan Anyer dan rencana saat ini akan dibangun SPDN di Kecamatan Tirtayasa. 71

7 KAPASITAS FASILITAS

7 KAPASITAS FASILITAS 71 7 KAPASITAS FASILITAS 7.1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di PPI Cituis sejak tahun 2000 hingga sekarang dikelola oleh KUD Mina Samudera. Proses lelang, pengelolaan, fasilitas,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan Perikanan Karangantu merupakan suatu pelabuhan yang terletak di Kota Serang dan berperan penting sebagai pusat kegiatan perikanan yang memasok sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 49 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Usaha Nelayan Rajungan Kegiatan usaha penangkapan dimulai dari operasi penangkapan, pemasaran hasil tangkapan, rumah tangga nelayan dan lingkungan ekonomi

Lebih terperinci

BUPATI BARITO KUALA PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 64 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DI KABUPATEN BARITO KUALA

BUPATI BARITO KUALA PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 64 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DI KABUPATEN BARITO KUALA BUPATI BARITO KUALA PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 64 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DI KABUPATEN BARITO KUALA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO KUALA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON 28 5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON Perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon memiliki prasarana perikanan seperti pangkalan pendaratan ikan (PPI). Pangkalan pendaratan ikan yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/Permen-KP/2015. Tanggal 08 Januari 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/Permen-KP/2015. Tanggal 08 Januari 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan 2015/05/31 07:49 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SOSIALISASI PERMEN KP RI NOMOR 2/PERMEN-KP/2015 DILEMATIS BAGI PENYULUH PERIKANAN KAB. BARITO KUALA PROV. KALSEL BARITO KUALA (31/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

6 USAHA PENANGKAPAN PAYANG DI DESA BANDENGAN

6 USAHA PENANGKAPAN PAYANG DI DESA BANDENGAN 40 6 USAHA PENANGKAPAN PAYANG DI DESA BANDENGAN Tujuan akhir dari usaha penangkapan payang di Desa Bandengan adalah meningkatkan kesejahteraaan nelayan bersama keluarga. Karena itu sasaran dari kegiatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar ekstraksi relatif tidak berubah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi serta industri saat ini diikuti dengan bertambahnya permintaan dari industri untuk bahan tambang ataupun mineral, salah satunya yaitu timah.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi luas perairan 3,1 juta km 2, terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. (Dishidros,1992).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan kebijaksanaan diversifikasi dan konservasi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR Oleh: Dr. Endang Widyastuti, M.S. Fakultas Biologi Unsoed PENDAHULUAN Ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Randy Aditya, Paulus Taru dan Adnan

Randy Aditya, Paulus Taru dan Adnan STUDI HASIL TANGKAPAN BELAT (Set Net) DAN KETAHANAN BELAT (Set Net) TERHADAP PENGARUH ARUS DAN GELOMBANG DI PERAIRAN TJ. LIMAU KOTA BONTANG (Catches and Resistance Study of Set Net toward Currents and

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemerintah Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa, industri pertambangan juga

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 36 TAHUN 2000 TENTANG USAHA PERIKANAN DI KABUPATEN KUTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 36 TAHUN 2000 TENTANG USAHA PERIKANAN DI KABUPATEN KUTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 36 TAHUN 2000 TENTANG USAHA PERIKANAN DI KABUPATEN KUTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa guna menunjang pembangunan sub sektor

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Menurut Rahardja (2006) dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan :

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2000 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : bahwa sesuai

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia SUMBER DAYA ALAM (SDA) Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia SUMBER DAYA ALAM TIM ILMU LINGKUNGAN FMIPA UNSYIAH JENIS-JENIS SDA Sumber daya alam yang dapat diperbaharui

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih menjadi sumber energi andalan dan utama. Permintaan terhadap migas menjadi semakin tinggi untuk mengimbangi tingkat kompleksitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus) adalah komoditi perikanan dengan nilai jual cukup tinggi, baik sebagai komoditi lokal maupun komoditi ekspor. Berdasarkan data statistik perikanan

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN JARING INSANG TETAP DAN BUBU DI KECAMATAN MEMBALONG KABUPATEN BELITUNG

ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN JARING INSANG TETAP DAN BUBU DI KECAMATAN MEMBALONG KABUPATEN BELITUNG ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN JARING INSANG TETAP DAN BUBU DI KECAMATAN MEMBALONG KABUPATEN BELITUNG Dwi Siskawati, Achmad Rizal, dan Donny Juliandri Prihadi Universitas Padjadjaran Abstrak Penelitian ini

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 28 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara ini sungguh sangat banyak mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke- 17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat

Lebih terperinci

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI 8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI Aktivitas-aktivitas perikanan tangkap yang ada di PPI Jayanti dan sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai aktivitas wisata bahari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 522 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci