BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
|
|
- Doddy Ari Setiawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar ekstraksi relatif tidak berubah, namun yang berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi peralatan penambangan telah menyebabkan skala penambangan menjadisemakin besar. Perkembangan teknologi pertambangan menyebabkan ekstraksi bahan tambang menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting (Bapedal2001). Penambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran, sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, terutama penambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah pola iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Pertumbuhan industri yang cukup tinggi di Indonesia disatu sisi memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui penerimaan negara berupa pajak, royalti dan pungutan lainnya. Disisi lain indikasi terjadi peningkatan kebutuhan bahan baku mineral logam dimasa mendatang sehingga mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah oleh sistem otonomi daerah yang berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Implikasinya kewenangan daerah dalam memberikan izin dalam penambangan relatif lebih mudah dengan semangat peningkatan PAD, sehingga ekstraksi sumberdaya tambang menjadi tidak terkendali. Hal ini justru menimbulkan masalah yang sangat memprihatinkan dimana eksploitasi yang berlebihan justru menjadi bumerang yang menyebabkan peningkatan kesejahteraan bersifat semu, artinya secara riil dengan semakin meningkatnya ekstraksi sumberdaya alam namun tidak terjadi peningkatan kesejahteraan yang 1
2 nyata, bahkan lingkungan disekitar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi rusak dan tercemar. Pada industri pertambangan, pengorbanan yang diperhitungkan seringkali belum mencakup biaya oportunitas, termasuk di dalamnya biaya kerusakan lingkungan. Beberapa dampak negatif akibat penambangan menyebabkan kerusakan lahan perkebunan dan pertanian, dan terbukanya kawasan hutan. Dalam jangka panjang, penambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya, serta mencemari tanah, air maupun udara. Pencemaran lainnya dapat berupa debu, gas beracun, bunyi, kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir yang menyebabkan berkurang dan lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati sehingga mengganggu mata pencaharian nelayan. Air tambang asam yang beracun jika dialirkan ke sungai yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut, serta menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan, selain itu sarana dan prasarana seperti jalan juga dapat rusak berat pada saat pengangkutan bahan tambang (Noviana 2011). Salah satu penambangan mineral yang sangat penting adalah penambangan bahan dasar pembuatan besi, seperti pasir besi dan biji besi. Keberadaan pasir besi di Indonesia cukup melimpah. Cadangan pasir besi dalam bentuk biji Indonesia sekitar milyar ton (Ishlah2009). Cadangan ini tersebar di beberapa provinsi diantaranya Provinsi Jawa Barat sekitar 59 juta ton (BKPM 2010). Potensi ini masih perlu dibuktikan agar cadangan yang tersedia terukur dengan jelas. Umumnya semua lokasi penambangan pasir besi yang ada di Indonesia dilakukan eksploitasi secara terbuka (open pit mining) dan berada pada wilayah pesisir pantai (Miswanto et al.2008). Jawa Barat merupakan provinsi dengan cadangan pasir besi cukup besar di Indonesia, dengan cadangan terbukti sebesar hingga 59 juta ton yang tersebar di beberapa kabupaten. Potensi ini tentunya akan menarik minat banyak investor untuk melakukan eksploitasi pasir besi yang akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Disisi lain, eksploitasi pasir besi jika tidak terkelola dengan baik dapat menjadi bumerang terhadap kerusakan lingkungan dan penurunan kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif yang banyak dirasakan 2
3 oleh masyarakat adalah meningkatnya kerusakan jalan akibat pengangkutan hasil tambang melalui jalan umum. Kerusakan jalan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Kerusakan jalan ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya disebabkan oleh beban muatan kendaraan yang melintas overcapacity. Kemampuan jalan sebesar (muatan sumbu terberat) MST 8 ton dan MST 10 ton, dilalui oleh kendaraan dengan MST hingga 20 ton. Pada tahun 2010 Kerusakan jalan di Indosesia terbesar berada pada jalan kabupaten/kota. Jumlah total panjang jalan km,sekitar 31,14% jalan rusak ringan, kondisi baik hanya 22,46% nya dan sisanya rusak cukup berat. Jalan provinsi dengan panjang total km kondisinya baik hanya sekitar 5,85%, sedangkan dari km jalan nasional sebanyak 13,34% dalam kondisi rusak ringan, dan 49,67% dalam kondisi baik serta sisanya rusak berat. 1 Ini termasuk jalan strategis seperti jalur Lintas Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Diperkirakan ongkos sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat pengguna jalan sekitar 200 triliun rupiah per tahun, sangat besar apabila dibandingkan dengan investasi pemerintah yang 3-6 triliun rupiah pertahun (Widjonarko 2007). Kawasan pesisir merupakan daerah pengembangan perekonomian yang dapat mengalami degradasi serta penurunan produktivitas. Degradasi dapat disebabkan oleh adanya abrasi pantai, pencemaran dan perusakan hutan pantai. Abrasi ini selain dipicu oleh naiknya muka air laut juga disebabkan penambangan pasir didaerah pesisir. Indonesia dengan pulau mempunyai panjang garis pantai km dan 20% garis pantai di Indonesia mengalami kerusakan akibat abrasi yang mengalami peningkatan setiap tahun (pu.go.id 2010). Diantara banyak kegiatan yang mengakibatkan penurunan kualitas pesisir adalah penambangan bahan galian C (pasir pantai), penebangan liar hutan pantai, tekanan gelombang pada saat pasang yang mengakibatkan abrasi pantai (Sumartin 2011). Beberapa pantai mengalami pencemaran yang cukup parah akibat berbagai kegiatan yang dilakukan dipesisirnya. Kasus yang terjadi di daerah Balikpapan, dimana pada tahun 2004 tercemar oleh limbah minyak. Contoh lain adalah kasus 1 Seperti yang dinyatakan dalam judul Sebagian Besar Jalan di Indonesia Kondisi Rusak, Desember
4 yang terjadi di sekitar Teluk Jakarta. Berbagai jenis limbah dan ribuan ton sampah yang mengalir melalui 13 kali di Jakarta berdampak pada kerusakan pantai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Pada tahun 2006, kerusakan terumbu karang dan ekosistem Taman Nasional itu diperkirakan mencapai 75 km. Kerusakan itu salah satunya berdampak terhadap hasil perikanan tangkap (Sumartin 2011). Hal serupa juga dapat terjadi pada penambangan pasir besi didaerah pantai, proses penambangan dan pencucian pasir besi akan mencemari perairan dan menurunkan kualitas air bagi kehidupan hewan air serta rusaknya terumbu karang. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan umum yang terjadi di pantai Selatan Jawa Barat adalah terjadinya, abrasi, akresi, intrusi air laut, kerusakan mangrove dan terumbu karang, serta alih fungsi lahan untuk kegiatan penambangan pasir besi. Penambangan ini juga didorong oleh cadangan pasir besi yang cukup tinggi di Jawa barat, dan posisi geografis lebih dekat dengan jalur pemasaran pelabuhan Cilacap. Tercatat 25 perusahaan penambangan pasir besi, baik berskala menengah maupun kecil yang memiliki izin. Keberadaan perusahaan tersebut menyebabkan terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya. Besarnya eksploitasi saat ini tentunya akan mengurangi ketersediaan pasir besi pada masa mendatang. Eksploitasi yang berlebihan juga menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Proses pengangkutan pasir besi menuju pelabuhan Cilacap Jawa Tengah yang melintasi jalanan umum menyebabkan rusaknya akses jalan hingga puluhan kilometer. Berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Tasikmalaya, panjang jalan kabupaten yang kondisinya rusak sepanjang 421,8 kilometer atau 32,3 persen dari total panjang jalan kabupaten sepanjang 1.303,3 kilometer yang beberapa ruas diantaranya dijadikan ruas jalan pengangkutan pasir besi. 2 Kondisi ini menyebabkan terjadinya percepatan kerusakan jalan umum yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan tetapi juga oleh masyarakat umum. Kerugian bisa berupa semakin lamanya waktu tempuh dan 2 Seperti yang dinyatakan dalam judul 32 Persen Jalan Tasikmalaya Rusak, Januari
5 peningkatan konsumsi bahan bakar minyak kendaraan. Pengangkutan menuju Cilacap yang melewati jalur Tasik Selatan yaitu ruas Cipatujah - Cikalong - Cimerak - Cilacap menempuh jarak sekitar 150 Km. Jarak tersebut harus ditempuh 6-7 jam, padahal kondisi jalan pantura dengan jarak yang sama dapat ditempuh dengan waktu 3 jam. Pada dasarnya pengangkutan melalui jalan umum sangat sulit dihindari, namun kondisi berupa kerusakan jalan seperti berlubang, retak akibat kegiatan pengangkutan seharusnya dapat dibebankan kepada perusahaan penambangan pasir besi. Beban pemeliharaan jalan tidak harus diserahkan pada pemerintah yang tidak selalu memiliki dana yang cukup untuk melakukan pemeliharaan jalan. Pada bagian hulu dengan adanya penambangan pasir besijuga telah menurunkan pendapatan nelayan tangkap karena perubahan jumlah tangkapan setiap tahunnya yang cenderung menurun. Proses pencucian dilakukan hanya beberapa meter dari bibir pantai dan sempadan. Proses ini dilanjutkandengan segregasi biji dari pasir melalui proses fisika dengan menggunakan magnetic separator. Proses segregasi untuk pemurnian pasir besi ini menyebabkan peningkatan kadar sulfur didaerah pantai dan sungai, ini terjadi karena air buangan dalam proses pemisahan langsung dibuang tanpa perlakuan apapun. Kadar sulfur tersebut membuat air laut dipantai menjadi asam sehingga dapat merusak terumbu karang. Penggunaan pelumas dan bahan bakar untuk peralatan mesin dan bengkel ditepi pantai juga menyebabkan pencemaran perairan disekitar pesisir pantai Kabupaten Tasikmalaya. Pencemaran oleh limbah pencucian pasir besi ini telah menuai protes berupa demonstrasi oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Tasikmalaya. Aspek fisik lingkungan yang diabaikan membuat perusahaan pemegang izin eksploitasi dapat menekan biaya produksi menjadi sangat rendah sehingga mendorong eksploitasi berlebihan, ditambah lagi dengan relatif mudahnya izin penambangan dari tangan bupati di era otonomi daerah ini. Merujuk pada Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dimana setiap kegiatan usaha harus melakukan pelestarian lingkungan, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat wajib melakukan penilaian menggunakan instrumen ekonomi lingkungan, sehingga pemerintah 5
6 Kabupaten Tasikmalaya sebagai pemangku kepentingan mengeluarkan moratorium untuk memberikan waktu penelaahan mendalam mengenai penambangan pasir besi 3. Berapa nilai kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan jalan (eksternalitas) dan turunnya produksi perikanan oleh kegiatan penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya belum dikuantifikasi dengan baik. Oleh sebab itu diperlukan perhitungan nilai eksternalitas negatif menggunakan instrumen ekonomi lingkungan yang tepat dan nantinya dapat diterapkan dalam bentuk kebijakan fiskal berupa penetapan jumlah pajak terhadap setiap output pasir besi. Hal ini bertujuan agar rente dari penambangan dapat menginternalkan eksternalitas negatif dalam bentuk pajak lingkungan. Diharapkan dengan telah dihitungnya eksternalitas negatif tersebut dapat ditentukan estimasi semua biaya yang harus dikeluarkan untuk kompensasi gangguan fungsi jalan dan menurunnya pendapatan nelayan, agar masyarakat yang terkena dampak negatif akibat penambangan pasir besi tidak merasa dirugikan. Penghitungan nilai eksternalitas ini akan memperkecil nilai rente penambangan pasir besi karena meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan akibat internalisasi ekstenalitas negatif dalam bentuk pajak. Sebagaimana setiap produk mineral pada umumnya, pasir besi mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan mineral lain, yaitu ketersediaannya terbatas dan akan habis (exhaustible resource) serta tidak dapat diperbaharui lagi (non-renewable resource). Kabupaten Tasikmalaya dengan potensi pasir besi cukup besar dapat kehilangan potensi penerimaan manfaat optimal untuk kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan penduduk juga akan menurun akibat kerusakan lingkungan. Memperhatikan kondisi ini maka dibutuhkan penilaian yang tepat terhadap besaran nilai tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh penambangan pasir besi, sehingga dapat ditentukan tingkat pajak yang harus diberlakukan terhadap perusahaan penambangan pasir besi. Pada tahap selanjutnya ditambahkan dengan biaya pengambilan yang merupakan opportunity 3 Seperti yang dinyatakan dalam judul Gubernur Keluarkan Surat Edaran Moratorium Pasir Besi, Januari
7 costdari pengambilan pasir besi saat ini,agar dapat diperkirakan alokasi penambangan pasir besi yang paling optimal. Dari uraian diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaiman pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi? 2. Berapa nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat penambangan pasir besi? 3. Berapa tingkat ekstraksi optimal dengan dan tanpa mempertimbangkan eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi? 4. Berapa nilai pajak akibat eksternalitas negatif yang muncul dari usaha penambangan pasir besi? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas dapat dirinci tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Mengkaji pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi. 2. Mengestimasi nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat penambangan pasir besi akibat pengangkutan pasir besi. 3. Menentukan laju ekstraksi optimal dengan dan tanpa eksternalitas negatif, yang paling menguntungkan dari usaha penambangan pasir besi. 4. Mengestimasi nilai pajak yang harus dibayarkan pada setiap output pasir besi dengan mempertimbangkan eksternalitas negatifnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pengelolaan dan pemanfaatan bidang penambangan terutama pasir besi sehingga dapat memaksimalkan pendapatan asli daerah dan meminimalkan kerugian. Untuk penambang akan sangat bermanfaat dalam rangka mencegah tuntutan pidana karena pengelolaan penambangan yang merugikan lingkungan hidup, sedangkan bagi masyarakat Tasikmalaya implementasi penelitian ini akan meningkatkan kesejahteraan dalam pemanfaatan pasir besi. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang penelitian adalah menganalisis eksploitasi penambangan pasir besi di wilayah pesisir Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana pola eksploitasi pasir besi selama ini sehingga menimbulkan 7
8 dampak-dampak yang merugikan. Dalam penelitian ini diharapkan pembangunan ekonomi berbasis lingkungan dapat berjalan dengan baik, sehingga pemanfaatan sumberdaya tidak pulih dapat memberikan hasil optimal. Analisis sumberdaya pasir besi dilakukan dengan valuasi ekonomi eksternalitas negatif untuk mengetahui hubungan interaksi antara perikanan, gangguan fungsi jalan dan penambangan. Dalam penelitian ini dampak eksternalitas negatif difokuskan pada tiga bagian dampak yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pertama dampak kerusakan jalan pada proses pengangkutan yang melalui jalan umum terhadap kehilangan waktu kerja, kedua dampak peningkatan konsumsi bahan bakar bagi pengguna kendaraan bermotor, ketiga terpengaruhnya produksi perikanan disekitar pantai dekat penambangan pasir besi, ketiga dampak ini dipilih karena merupakan dampak yang paling dominan pada penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya dengan menganggap faktor lain bersifat tetap. Dasar hukum pajak lingkungan adalah undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pajak disini dimaksudkan beban tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan penambangan untuk setiap satu-satuan output yang dihasilkan. Pada penentuan laju ekstraksi optimal, modelhotelling digunakan untuk mengetahui tingkat ekstraksi optimal (Q*), tingkat keuntungan maksimal ( *) dan pada tahun berapa cadangan akan habis (T*) yang kemudian dibandingkan dengan lama izin konsesi rata- rata penambangan pasir besi pada pasar bersaing secara sempurna. Dalam model sederhana ini diasumsikan tidak ditemukan cadangan baru. 8
Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut
Lebih terperinciBUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciKAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R
KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,
Lebih terperinciBAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu,indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah lima
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam
2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL PROVINSI NUSA TENGGARA
Lebih terperinciPENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain menempati
Lebih terperinci5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir
BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang tersebar. Sumber daya di Indonesia ditinjau dari lokasinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau. Kenyataan ini memungkinkan timbulnya struktur kehidupan perairan yang memunculkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan
Lebih terperinciVI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI
55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan
Lebih terperinciANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU
ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR Oleh : HENNI SEPTA L2D 001 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinciBAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN
BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT
Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral
Lebih terperinciPENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi
PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berada di wilayah pesisir dan memiliki potensi sumberdaya pesisir laut sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang
Lebih terperinciMata Pencaharian Penduduk Indonesia
Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang
Lebih terperinci2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciMATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.
MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: SUMBER DAYA ALAM dan LINGKUNGAN HIDUP I Prioritas: Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan A Fokus Prioritas:
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini disebabkan karena potensi cadangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km
Lebih terperinciPotensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON
Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS dan 105º10-105º22 BT, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah
Lebih terperinciKERUSAKAN LINGKUNGAN
bab i KERUSAKAN LINGKUNGAN A. KONSEP KERUSAKAN LINGKUNGAN Kerusakan lingkungan sangat berdampak pada kehidupan manusia yang mendatangkan bencana saat ini maupun masa yang akan datang, bahkan sampai beberapa
Lebih terperinciC. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN
C. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Pengendalian Dampak 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 2. Analisis Mengenai Dampak (AMDAL) 3. Pengelolaan Kualitas
Lebih terperinciREVITALISASI KEHUTANAN
REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan
Lebih terperinciMENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,
PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa hutan mangrove di Kota Bontang merupakan potensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati
Lebih terperinciH. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang
Lebih terperinci- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak
Lebih terperinciH. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,
MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan
Lebih terperinciKerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan BAB 1 Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bijih besi merupakan salah satu jenis cadangan sumber daya alam dan sekaligus komoditas alternatif bagi Pemerintah Kabupaten Kulon progo yang dapat memberikan kontribusi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang
Lebih terperinciBAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI
BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang sangat intensif
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pariwisata di Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional di masa kini dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satu penyebabnya oleh deforestasi dan degradasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Asahan secara geografis terletak pada 2 0 56 46,2 LU dan 99 0 51 51,4 BT. Sungai Asahan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta perubahan-perubahannya. Pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007
Lebih terperinciContoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas
Lebih terperinciEkonomi Sumberdaya Alam
Kuliah ESDA Konsep Dasar dan Pengertian Ekonomi Sumberdaya Alam Prof. Dr. Bustanul Arifin barifin@uwalumni.com Modal Alam dalam Perekonomianm Alam ESDA Perekonomian ELH Ada prinsip modal alam (natural
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam yang tidak
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas sekitar enam juta mil persegi, 2/3 diantaranya berupa laut, dan 1/3 wilayahnya berupa daratan. Negara
Lebih terperinci