HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sekolah SMA Negeri Ragunan Jakarta merupakan sekolah yang didirikan untuk atlet, dimana mereka tidak hanya mendalami bidang yang mereka geluti tetapi juga mereka mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan umur mereka. Para siswanya berasal dari seluruh wilayah di Indonesia yang bersifat heterogen dengan multi etnis. Sekolah ini merupakan sekolah gratis dari pemerintah yang ditujukan untuk anak yang berprestasi pada bidang olahraga. Tidak hanya mempelajari tentang cabang-cabang olahraga yang mereka minati, tetapi sekolah ini pun memberikan pendidikan akademik. Sekolah yang dibiayai oleh pemerintah ini terdapat di Jakarta Selatan, tepatnya di kompleks Gelanggang Olahraga Ragunan. Fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk pengembangan olahraga telah lengkap, dimana terdapat lapangan bola kaki, lapangan basket, lapangan voli, kolam renang, lapangan bulu tangkis, dan lain-lain. Selain itu mereka mendapatkan fasilitas berupa asrama khusus (bording school). Sekolah ini membina bibit-bibit atlet remaja yang memiliki keahlian olahraga tertentu dan prestasi baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Bangunan SMA Negeri Ragunan terdiri atas delapan kelas belajar, tiga ruang guru, satu ruang tata usaha, dan enam kamar mandi. Fasilitas lain yang berada dalam komplek gelanggang olahraga ragunan berupa gedung serbaguna, rumah guru, rumah para pelatih, poli-klinik, masjid, aula, kantin, wisma tamu, serta perkantoran dan Graha Wisma Pemuda. SMA Negeri Ragunan (Khusus Olahragawan) berdiri tanggal 15 Januari 1977 atas inisiatif dari Gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu adalah Ali Sadikin. SMA Negeri Ragunan terletak di Jalan HR Sarsono Komplek Gelora Ragunan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. SMA Negeri Ragunan Jakarta dikepalai oleh Drs. Didih Hartaya dengan staf dan guru berjumlah 20 orang. Adapun visi dari SMA Negeri Ragunan adalah menghasilkan anak bangsa yang unggul dalam prestasi olahraga dan akademik berdasarkan iman dan taqwa melalui bimbingan dan pelayanan yang prima.

2 41 Gambaran Umum Siswa dan Guru Pembinaan atlet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta lebih menitikberatkan pada aspek fisik dan teknik, sehingga pembinaan aspek psikologis kurang mendapatkan porsi yang cukup. Hal ini terlihat dari kurangnya peran guru BK (Bimbingan dan Konseling) di sekolah, padahal seharusnya guru BK mempunyai peran yang cukup besar untuk memberikan motivasi dan pengarahan kepada para siswanya. Para siswa hanya mendapatkan pelajaran dan pengarahan dari guru BK ketika berada pada kelas X, padahal seharusnya pembinaan ini terus dilakukan selama para siswa yang juga berperan sebagai atlet muda bersekolah di SMA Negeri Ragunan Jakarta. Pembinaan secara psikologis ini bertujuan untuk menunjang aspek fisik dan teknis, sehingga para atlet diharapkan mempunyai mental juang dan motivasi yang kuat dalam berprestasi pada bidang olahraga yang digeluti. Para siswa di SMA Negeri Ragunan Jakarta lebih terfokus pada bidang olahraga yang digeluti dibandingkan pendidikan akademik, padahal para atlet juga berperan sebagai seorang pelajar. Para siswa seringkali tertinggal pada beberapa mata pelajaran dikarenakan harus bertanding ke luar daerah. Para siswa seringkali terlihat tidak membawa tas ketika datang ke sekolah, melainkan hanya membawa buku tulis satu buah dan pulpen atau pensil. Selain itu, di sekolah ini tidak terdapat buku paket dan LKS (Lembar Kerja Siswa) seperti yang ada pada sekolah lain pada umumnya. Para siswa hanya belajar dari catatan yang diberikan oleh guru di kelas. Begitu pun ketika sedang bertanding, maka para siswa mengalami ketertinggalan dalam pelajaran yang diberikan oleh guru. Umumnya pada setiap kelas seharusnya diisi oleh hampir semua siswa pada suatu sekolah, namun berbeda halnya dengan keadaan kelas di SMA Negeri Ragunan Jakarta, di mana pada setiap kelas paling banyak diisi oleh 20 orang, bahkan ada beberapa kelas yang hanya diisi oleh satu hingga tiga orang yang pada akhirnya para siswa tersebut pulang ke asrama masing-masing karena kelasnya sepi dan tidak ada guru yang mengajar di kelas. Keadaan kelas yang kosong ini disebabkan oleh banyaknya siswa yang sedang bertanding ke luar daerah hingga ke luar negeri. Jumlah keseluruhan siswa SMA Ragunan Jakarta adalah 326 orang. Rincian jumlah siswa tersaji pada Tabel 2.

3 42 Tabel 2 Daftar siswa SMA Negeri Ragunan Jakarta Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah X X X XI IPA XI IPS XI IPS XII IPA XII IPS Total Karakteristik Contoh Usia dan Jenis Kelamin Contoh dalam penelitian ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Contoh laki-laki berjumlah 32 orang (38.1%) dan contoh perempuan berjumlah 52 orang (61.9%). Contoh laki-laki dalam penelitian ini yang berada pada fase remaja pertengahan (14-18 tahun) sebanyak 87.5 persen dan contoh perempuan yang juga berada pada fase remaja pertengahan (14-18 tahun) sebesar 67.3 persen. Rata-rata contoh berusia 16 tahun. Terdapat kesamaan karakteristik usia contoh pada penelitian yang dilakukan oleh Hadley, et al. (2008) yaitu tahun yang juga berada para rentang usia remaja pertengahan. Usia contoh pada penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Garliah dan Nasution (2005), yaitu tahun yang berada pada rentang usia remaja akhir dan dewasa awal. Sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada fase remaja pertengahan dimana terdapat sejumlah karakteristik konsep diri yang dikemukakan oleh Santrock (2003), yaitu the fluctuating self, real and ideal, true and false selves, social comparison, self conscious, dan self protective. Kelima karakteristik konsep diri remaja tersebut lebih lanjut akan dikemukakan pada sub bab berikutnya. Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3.

4 43 Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia Jenis kelamin Laki-laki Perempuan n % n % Remaja awal (12-14 tahun) Remaja pertengahan (14-18 tahun) Remaja akhir (18-21 tahun) Total Rataan±SD 16.2±0.97 Urutan Kelahiran Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu, anak sulung (anak pertama), anak tengah, dan anak bungsu (anak terakhir). Persentase urutan kelahiran contoh dalam urutan kelahiran anak menyebar pada anak sulung (42%), anak tengah (33.3 %), dan anak bungsu (25%). Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran. Posisi urutan kelahiran dapat mempengaruhi seorang anak dalam pencarian identitas dan perhatian orang lain (Erlina dalam Rahmawati 2005). Urutan kelahiran yang diidentifikasikan oleh Adler (Ramawati 2005) adalah anak tunggal, anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Dengan memahami konsep teori Adler tersebut, dimungkinkan bahwa perbedaan kemandirian seseorang muncul karena adanya perbedaan gaya hidup yang dikembangkan tiap anak berdasarkan interpretasinya terhadap kedudukan/urutan kelahirannya. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa terdapat sindrom pada tiap urutan kelahiran dan ternyata terdapat beberapa persamaan sindrom antara anak sulung dan anak bungsu.

5 44 Karakteristik anak sulung itu bergantung, mudah dipengaruhi dan manja sedangkan anak bungsu mempunyai sindrom manja, merasa tidak mampu dan rendah diri, dan tidak bertanggung jawab. Adler (Rahmawati 2005) memunculkan teori tentang perbedaaan individu yang dilatarbelakangi oleh gaya hidup yang muncul berdasarkan urutan kelahiran seseorang. Menurut Corey (Rahmawati 2005), urutan kelahiran dan interpretasi terhadap posisi seseorang dalam keluarga berpengaruh terhadap cara seseorang berinteraksi akibat situasi psikologis yang berbeda pada urutan kelahiran tersebut. Adapun urutan kelahiran dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam perkembangan anak selanjutnya. Beberapa ahli psikologi dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa urutan kelahiran anak dalam keluarga berdampak pada kepribadian, perilaku, cara belajar, dan berpengaruh pada kemampuannya dalam mencari nafkah. Urutan kelahiran anak juga mempengaruhi kesuksesan seseorang, terutama pada anak-anak yang berasal dari keluarga besar atau dari keluarga dengan ekonomi rendah (Masbudi dalam Wulanningrum 2009). Tipe dan Jenis Olahraga Sebaran contoh berdasarkan tipe olahraga, yaitu tipe olahraga individu dan tim/beregu. Gambar 4 menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh adalah tipe olahraga individu (69%) sedangkan persentase terkecil contoh yaitu 31 persen berada pada tipe olahraga tim/beregu. Adapun tipe olahraga individu adalah menembak, golf, bowling, panahan, bulutangkis, tenis, atletik, gulat, tinju, dan renang. Tipe olahraga beregu terdiri atas voli, basket, hockey, dan sepakbola. Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan tipe olahraga.

6 45 Sementara itu, Moelok (1984) mengelompokkan jenis olahraga menjadi empat jenis, yaitu: olahraga ringan, olahraga sedang, olahraga berat, dan olahraga berat sekali. Kategori olahraga ringan adalah menembak, golf, bowling, panahan. Olahraga sedang terdiri dari voli, atletik, bulutangkis, basket, hockey, soft ball. Olahraga berat terdiri dari renang, tinju, gulat, kempo, judo, wall climbing. Sedangkan olahraga berat berat sekali terdiri atas balap sepeda, angkat besi, maraton, hiking. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (72.6%) berada pada jenis oleharag olahraga sedang, olahraga berat mempunyai persentase sebesar 26.2 persen, dan olahraga berat sekali mempunyai persentase sebesar 1.2 persen. Sementara itu, tidak ada contoh yeng memiliki jenis olahraga ringan. Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga Jenis Olahraga n % Olahraga ringan 0 0 Olahraga sedang Olahraga berat Olahraga berat sekali Total Karakteristik Keluarga Status Orangtua Sebaran status orangtua contoh terdiri dari dua jenis, yaitu status orangtua utuh dan single parent (orangtua tunggal). Gambar 5 menunjukkan bahwa sebanyak 89.3 persen orangtua contoh merupakan keluarga yang utuh dan sisanya sebanyak 10.7 pesen orangtua contoh berstatus orangtua tunggal. Orangtua contoh yang memiliki status orangtua tunggal umumnya dikarenakan ada salah satu orangtua contoh (ayah atau ibu) yang meninggal dunia. Terdapat kesamaan karakteristik status orangtua contoh pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Garliah dan Nasution (2005) yaitu sebagian besar contoh memiliki kedua orangtua yang utuh.

7 46 Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan status orangtua Keluarga yang utuh memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya, yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan diri (Putri 2008). Berdasarkan Putri (2008), dapat dijelaskan bahwa sebagian besar contoh mempunyai peluang untuk membangun kepercayaan kepada orangtuanya sebagai sebuah keluarga utuh. Menurut Soelaeman (Putri SP 2008), keluarga dikatakan utuh apabila di samping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Di sisi lain, Duncan (Listiyanto 2009) mengungkapkan, pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga dengan orang tua tunggal adalah anak. Anak merasa kehilangan orang yang berarti dalam hidupnya. Bagi anak yang tiba-tiba mendapatkan orang tuanya tidak lengkap lagi. Anak yang belum siap menghadapi rasa kehilangan salah satu orang tuanya akan terpukul, dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah, ada yang suka melamun, mudah tersinggung, atau suka menyendiri (Aqsyaluddin dalam Listiyanto 2009). Anak akan menjadi agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Oleh karenanya, orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar anak tidak merasa kesepian (Alvita dalam Listiyanto 2009). Suku Bangsa Orangtua Suku orangtua contoh menyebar pada Suku Jawa dan Suku Sunda dengan persentase masing-masing ayah dengan Suku Jawa (40.5%), ayah dengan Suku Sunda (23.5%) dan ibu dengan Suku Jawa 32.1 persen dan Suku Sunda 28.3 persen. Lainnya suku orangtua mempunyai persentase sebesar 31.2 persen untuk

8 47 ayah dan 39.6 persen untuk ibu. Adapun suku lainnya adalah Betawi, Padang, Palembang, Batak, Bengkulu, Bugis, Gorontalo, Manado, Sumbawa, dan Papua. Sebaran contoh berdasarkan suku orangtua disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan suku bangsa orangtua Suku Orangtua Persentase (%) Ayah Ibu Jawa Sunda Lainnya Total Mahanal, et al. (2009) mengemukakan bahwa Suku Jawa dipandang sebagai suku bangsa yang sopan dan halus. Sifat orang Jawa ingin menjaga kerukunan dan menghindari pertengkaran. Pada umumnya, masyarakat Suku Jawa menggunakan bahasa Jawa dan diajarkan bagaimana menggunakan bahasa yang halus untuk orang tua. Sama halnya dengan Suku Jawa, Suku Sunda juga sangat menjujung tinggi sopan santun. Sifat masyarakat sunda, ramah tamah, murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati orangtua. Hal Itulah yang menjadi cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Selain itu, di dalam bahasa Sunda juga diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua. Tingkat Pendidikan Orangtua Pendidikan orangtua contoh berkisar antara tidak tamat SD sampai dengan tamat perguruan tinggi. Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase terbesar tingkat pendidikan ayah contoh adalah SMA/sederajat (54.8%). Sebanyak 29.8% pendidikan ayah contoh adalah tamat perguruan tinggi (S1/S2/S3). Tidak ada satu pun ayah contoh yang mempunyai tingkat pendidikan SD/sederajat. Persentase terbesar pendidikan ibu contoh adalah SMA/sederajat, yaitu sebesar 69 persen. Sementara itu, persentase terkecil tingkat pendidikan ibu contoh adalah 1.2 persen, yaitu tidak tamat SD dan tamat SD/sederajat. Persentase ibu yang berpendidikan SMA/sederajat lebih tinggi dari ayah. Persentase ayah contoh yang berpendidikan tamat perguruan tinggi lebih besar daripada ibu contoh. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dapat dilihat pada Tabel 6.

9 48 Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Pendidikan Ayah Ibu n % n % Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat D S1/S2/S Total Sumarwan (2002) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsi terhadap suatu masalah. Pekerjaan Orangtua Sebaran pekerjaan orangtua contoh terdiri dari enam kategori, yaitu tidak bekerja, sektor pertanian, pegawai pemerintah, wiraswasta, pegawai swasta, dan profesional dan rohaniawan. Tabel 7 menunjukkan bahwa wiraswasta merupakan pekerjaan ayah contoh yang paling banyak, yaitu sebesar 35.7%, sedangkan pegawai pemerintah juga persentasenya tidak jauh berbeda, yaitu sebanyak 32.1%. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu contoh (52.4%) tidak bekerja dan persentase terkecil sebesar 1.2 persen ibu contoh bekerja sebagai profesional dan rohaniawan. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua Pekerjaan Ayah Ibu n % n % Tidak bekerja Sektor pertanian Pegawai Pemerintah Wiraswasta Pegawai swasta Profesional dan Rohaniawan Total

10 49 Pendapatan Orangtua Pendapatan orangtua contoh berkisar antara kurang dari Rp sampai dengan lebih dari Rp Persentase terbesar pendapatan orangtua contoh berada pada kisaran antara Rp sampai dengan Rp , yaitu sebanyak 34.5 persen. Sebanyak 33.3 persen pendapatan orangtua contoh berada pada kisaran Rp sampai dengan Rp Persentase terkecil berada pada kisaran kurang dari Rp Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua Pendapatan Orangtua n % Kurang darirp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Lebih dari Rp Total

11 50 Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua Baumrind (1991) mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya, sedangkan gaya pengasuhan permisif adalah pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat. Sementara itu, gaya pengasuhan otoritatif adalah bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya. Persepsi gaya pengasuhan orangtua adalah makna yang timbul dari sebuah proses pengasuhan dan gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada seorang anak (Desmita 2009). Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif (86%), sisanya adalah otoriter (8%) dan permisif (6%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh diasuh oleh orangtuanya dengan kontrol dan kehangatan yang tinggi. Demandingness (kontrol) adalah kecenderungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness (kehangatan) merupakan kecenderungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elias dan Yee (2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempersepsikan gaya pengasuhan dari kedua orangtuanya adalah otoritatif (81% untuk ayah dan 79.8% untuk ibu), kemudian diikuti oleh otoriter (10.1% untuk ayah dan 12.1% untuk ibu), dan permisif (1.2% untuk ayah dan 8.1% untuk ibu). Hasil penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh Yahaya dan Nordin (Elias & Yee 2009) bahwa sebagian besar contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Hassan (Elias & Yee 2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar di Kelantan Malaysia mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoriter. Hasil yang juga berbeda dikemukakan oleh Dornbusch, et al. (Elias & Yee 2009) bahwa orangtua di beberapa keluarga Asia

12 51 dan percampuran Asia-Amerika yang tinggal di Amerika cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang otoriter dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang otoritatif. Hal ini dikarenakan keluarga Asia-Amerika merupakan kelompok minoritas di Amerika, sehingga orangtua merasa perlu untuk menjaga identitas dari negara asalnya (Lim dalam Elias & Yee 2009). Baumrind (1967) mengemukakan bahwa orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santrock (2003), bahwa gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian, serta dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2009) menunjukkan bahwa persepsi gaya pengasuhan otoritatif dapat meningkatkan self esteem dan keterampilan sosial dari seorang remaja. Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua Persepsi gaya pengasuhan orangtua n % Otoritatif Otoriter 7 8 Permisif 5 6 Total Konsep Diri Skor rata-rata dari konsep diri dibagi ke dalam dua kategori, yaitu negatif dan positif. Konsep diri negatif mempunyai skor 6 sampai dengan 15, sedangkan kategori positif mempunyai skor 16 sampai dengan 24. Tabel 10 menunjukkan bahwa secara keseluruhan contoh dalam penelitian ini mempunyai konsep diri positif dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi adalah 75.65± Hal ini menunjukkan bahwa contoh mempunyai konsep diri yang positif. Peart, et al. (2007) mengatakan bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Selain itu, seseorang dengan konsep diri yang positif akan mampu

13 52 menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Sebagian besar contoh merupakan atlet muda yang mempunyai prestasi olahraga, oleh karenanya contoh memiliki konsep diri yang positif. Konsep diri merupakan salah satu faktor pendukung yang berasal dari dalam diri contoh untuk memperoleh rasa percaya diri agar mampu memberikan hasil yang terbaik pada saat berada di arena pertandingan. Sebaran contoh berdasarkan aspek konsep diri disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan aspek konsep diri, rataan, dan standar deviasi Negatif Positif Aspek Konsep Diri Rataan±SD n % n % Kompetensi Atletik ±8.823 Perilaku/moralitas ±8.859 Penerimaan Teman Sebaya ± Penampilan Fisik ±7.861 Kompetensi Sekolah ±8.864 Pandangan Masa Depan ± Konsep Diri total ±5.273 Sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada fase remaja pertengahan dimana terdapat sejumlah karakteristik konsep diri yang dikemukakan oleh Santrock (2003), yaitu the fluctuating self, real and ideal, true and false selves, social comparison, self conscious, dan self protective. Dalam hal ini contoh mempunyai karakteristik konsep diri yang terus memiliki fluktuasi dimana seseorang mampu membedakan antara kenyataan dengan apa yang diharapkannya. Contoh yang berada pada usia remaja lebih sering mengevaluasi dirinya dengan menggunakan perbandingan sosial, di sisi lain remaja juga mempunyai mekanisme untuk mempertahankan diri yang bertujuan untuk mengembangkan dirinya. Sejumlah karakteristik di atas menunjukkan bahwa sebagian besar contoh dalam penelitian ini mempunyai sejumlah karakteristik konsep diri yang dikemukakan oleh Santrock (2003).

14 53 Kompetensi Atletik Aspek konsep diri kompetensi atletik dikategorikan pada dua kategori, yaitu negatif (6-15) dan positif (16-24). Sebaran contoh berdasarkan konsep diri kompetensi atletik masuk pada kategori positif dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi sebesar 71.93± Hasil penelitian yang terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa seluruh contoh (100%) mempunyai konsep diri kompetensi atletik yang berada pada kategori positif dan tidak ada contoh yang memiliki konsep diri kompetensi atletik pada kategori negatif. Hadley, et al. (2009) memberikan beberapa indikator yang dapat mengukur konsep diri kompetensi atletik, yaitu bagaimana seseorang melihat kemampuan dirinya dalam berbagai kegiatan olahraga. Dalam penelitian ini terlihat contoh memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan berbagai kegiatan baru, khususnya yang berkaitan dengan bidang olahraga. Hasil ini merujuk pada Lampiran 2. Kompetensi atletik menjadi aspek konsep diri yang sangat penting bagi seorang atlet muda. Hal ini disebabkan karena aspek konsep diri kompetensi atletik yang positif tentu akan mendorong motivasi untuk berprestasi. Apabila dikaitkan dengan dimensi konsep diri yang dikemukakan oleh Centi (1993), maka konsep diri kompetensi atletik termasuk ke dalam dimensi self image (gambaran diri). Gambaran diri tersebut pada akhirnya akan membentuk citra diri. Citra diri yang positif dalam kompetensi atletik sangat menentukan penampilan contoh di arena pertandingan. Perilaku/moralitas Aspek konsep diri perilaku/moralitas dikategorikan pada dua kategori, yaitu negatif (6-15) dan positif (16-24). Sebaran contoh konsep diri perilaku/moralitas masuk pada kategori positif, dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi sebesar 82.86± Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa seluruh contoh (100%) juga mempunyai konsep diri perilaku/moralitas pada kategori positif dan tidak ada contoh yang memiliki konsep diri perilaku/moralitas pada kategori negatif. Hadley, et al. (2009) juga memberikan beberapa indikator yang dapat mengukur konsep diri perilaku/moralitas, yaitu bagaimana seseorang melakukan

15 54 berbagai tindakan dan perilaku yang positif. Hasil pengukuran mengenai indikator aspek perilaku/moralitas terlampir pada Lampiran 2. Lampiran 2 menunjukkan bahwa contoh melakukan hal-hal positif dan menjaga sikapnya ketika berada di lingkungan asrama dan sekolah. Hal ini dikarenakan contoh mempunyai peran bukan hanya sebagai seorang atlet, melainkan sebagai seorang pelajar. Sehingga contoh merasa perlu untuk menjaga sikap dan perilakunya di sekolah maupun asrama. Selain itu, contoh berada pada lingkungan yang jauh dari orangtua, sehingga menjaga sikap yang baik sangat diperlukan agar contoh mampu terus bertahan pada berbagai situasi, khususnya dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Aspek konsep diri perilaku/moralitas termasuk ke dalam dimensi self evaluation (penilaian diri) yang dikemukakan oleh Centi (1993), dalam hal ini seorang contoh mampu menilai bagaimana dirinya berperilaku yang seharusnya. Penerimaan Teman Sebaya Aspek konsep diri penerimaan teman sebaya dikategorikan pada dua kategori, yaitu negatif (6-15) dan positif (16-24). Sebaran contoh konsep diri penerimaan teman sebaya masuk pada kategori negatif dan positif. Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 10 menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (98.8%) mempunyai konsep diri penerimaan teman sebaya pada kategori positif, dan terdapat 1.2 persen contoh yang mempunyai konsep diri penerimaan teman sebaya pada kategori negatif. Adapun persentase skor rata-rata dan standar deviasi konsep diri penerimaan teman sebaya adalah 80.11± Hadley, et al. (2009) juga memberikan beberapa indikator yang dapat mengukur konsep diri penerimaan teman sebaya, yaitu bagaimana penerimaan dan hubungan yang terjalin anatar contoh dengan teman sebayanya. Hasil pengukuran mengenai indikator aspek penerimaan teman sebaya terlampir pada Lampiran 2. Penerimaan teman sebaya merupakan aspek yang cukup penting bagi contoh, mengingat contoh berada pada usia remaja dimana pada usia tersebut, contoh lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman sebayanya dibandingkan dengan orangtuanya. Adapun indikator yang diukur dalam aspek konsep diri penerimaan teman sebaya adalah bagaimana hubungan dan interaksi contoh dengan teman sebayanya. Hal ini dapat dilihat dari apakah contoh

16 55 memiliki banyak teman dan bagaimana penerimaan teman sebaya terhadap dirinya. Konsep diri penerimaan teman sebaya termasuk dalam dimensi penilaian diri yang dikemukakan oleh Centi (1993). Penilaian diri contoh tentang bagaimana lingkungan teman sebaya dapat menerimanya merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan pembentukan konsep diri yang positif dari seorang contoh. Penampilan Fisik Sebaran contoh konsep diri penerimaan teman sebaya termasuk pada dua kategori yang ada, yaitu termasuk pada kategori negatif (6-15) dan positif (16-24). Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 86.9 persen contoh mempunyai konsep diri penampilan fisik pada kategori positif dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi sebesar 60.42± Sementara itu, 13.1 persen contoh mempunyai konsep diri penampilan fisik pada kategori negatif. Adapun indikator yang dapat mengukur konsep diri penampilan fisik menurut Hadley, et al. (2009) adalah bagaimana seseorang melihat penampilan fisiknya, baik penampilan wajah maupun penampilan tubuhnya. Hasil penelitian mengenai indikator aspek konsep diri penampilan fisik merujuk pada Lampiran 2. Aspek konsep diri penampilan fisik termasuk dalam dimensi gambaran diri (self image) yang dikemukakan oleh Centi (1993). Contoh memiliki konsep diri penampilan fisik yang berada pada kategori sedang yang berarti sebagian besar contoh kurang memiliki rasa percaya diri yang besar mengenai penampilan fisiknya. Penampilan fisik merupakan hal yang seharusnya cukup penting bagi contoh, namun ternyata tidak semua contoh merasa percaya diri atas penampilan fisiknya. Kompetensi Sekolah Sebaran contoh konsep diri penerimaan teman sebaya termasuk pada dua kategori yang ada, yaitu termasuk pada kategori negatif (6-15) dan positif (16-24). Hasil penelitian pada tabel 10 juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (91.7%) mempunyai konsep diri kompetensi sekolah pada kategori positif dengan persentase skor rata-rata dan standar deviasi sebesar 63.99± Sementara itu,

17 persen contoh mempunyai konsep diri kompetensi sekolah pada kategori negatif. Indikator yang dapat diukur pada aspek konsep diri kompetensi sekolah adalah bagaimana seseorang mampu mengikuti pelajaran di sekolah dan merasa dirinya cukup pandai dalam berbagai mata pelajaran di sekolah. Pengukuran ini didasarkan pada indikator yang dipaparkan oleh Hadley, et al. (2009) yang terlampir pada Lampiran 2. Aspek konsep diri kompetensi sekolah termasuk dalam dimensi evaluasi diri (self evaluation) yang dikemukakan oleh Centi (1993). Dari hasil penelitian yang diperoleh terlihat bahwa contoh mempunyai rata-rata skor aspek konsep diri kompetensi sekolah yang lebih kecil dibandingkan aspek konsep diri yang lain. Contoh tidak memiliki kompetensi sekolah yang cukup tinggi dikarenakan contoh lebih menitikberatkan pada perannya sebagai seorang atlet daripada sebagai seorang siswa. Selain itu, kurang tingginya aspek kompetensi sekolah kompetensi sekolah pada sebagian besar contoh disebabkan karena kurangnya fasilitas yang disediakan oleh pihak sekolah. Contoh tidak dibekali buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS), melainkan hanya mendapatkan pelajaran dari catatan yang diberikan oleh guru ketika berada di kelas. Contoh sering mengikuti pertandingan ke luar kota maupun ke luar negeri, sehingga sebagian besar waktu yang dimiliki contoh digunakan untuk berlatih dan mengikuti pertandingan. Hal inilah yang menyebabkan contoh sering merasa tertinggal dalam pelajaran yang diberikan di kelas. Pandangan Masa Depan Sebaran contoh konsep diri pandangan masa depan termasuk pada dua kategori yang ada, yaitu termasuk pada kategori negatif (5-12.5) dan tinggi (13-20). Hasil penelitian pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (98.8%) mempunyai konsep diri pandangan masa depan pada kategori positif. Sementara itu, 1.2 persen contoh mempunyai konsep diri pandangan masa depan pada kategori negatif. Adapun persentase skor rata-rata dan standar deviasi konsep diri pandangan masa depan adalah 94.58± Hadley, et al. (2009) mengemukakan bebrapa indikator yang diukur dalam konsep diri pandangan masa depan, yaitu bagaimana harapan contoh di masa yang

18 57 akan datang. Aspek pandangan masa depan termasuk dalam dimensi self ideal (cita-cita diri). Konsep diri pandangan masa depan mempunyai skor rata-rata yang paling tinggi di antara aspek konsep diri yang lain dikarenakan hal ini terkait dengan cita-cita diri contoh di masa depan untuk menjadi atlet yang mampu berjaya di tingkat nasional maupun internasional yang tentu saja ingin mengahrumkan nama bangsa dan membanggakan kedua orangtua. Contoh mengikuti pembinaan dari pemerintah dan disiapkan untuk menjadi atlet yang tangguh di masa yang akan datang. Pembinaan ini dilakukan sedini mungkin agar cita-cita bangsa dapat terwujud dan nama Indonesia kembali berjaya di ajang internasional. Lebih lanjut, hasil penelitian mengenai indikator aspek konsep diri pandangan masa depan dapat dilihat pada Lampiran 2. Motivasi Berprestasi Motivasi berprestasi di bidang olahraga sangat penting bagi pencapaian prestasi seorang atlet. Pelletier, et al. (1995) menyebutkan bahwa motivasi berprestasi olahraga terdiri dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi berprestasi olahraga dalam penelitian ini dikategorikan dalam kombinasi antara motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik, yaitu 1) motivasi intrinsik tinggiekstrinsik tinggi; 2) motivasi intrinsik tinggi-ekstrinsik sedang; 3) motivasi intrinsik sedang-ekstrinsik tinggi; 4) motivasi intrinsik sedand-ekstrinsik sedang; dan 5) motivasi intrinsik rendah-ekstrinsik rendah. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (95.2%) mempunyai motivasi intrinsik dan ekstrinsik pada kategori tinggi, motivasi intrinsik tinggi dan ekstrinsik sedang mempunyai persentase 2.4 persen, begitu pula dengan motivasi intrinsik sedang dan ekstrinsik sedang yang mempunyai persentase 2.4 persen. Sementara itu, tidak ada contoh yang berada pada kategori motivasi intrinsik sedang dan motivasi ekstrinsik tinggi, begitu pula dengan kategori motivasi intrinsik rendah dan ekstrinsik rendah. Motivasi berprestasi olahraga pada contoh merupakan keinginan yang kuat untuk mencapai kesuksesan atau prestasi dengan cepat, dimana kesuksesan itu tergantung pada kemampuan contoh itu sendiri. Contoh yang memiliki motivasi

19 58 intrinsik yang tinggi akan memberikan hasil yang lebih optimal. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gunarsa (2008) bahwa seseorang yang dominan pada motivasi intrinsik maka akan menghasilkan kinerja yang lebih baik jika faktor penunjang seperti pencapaian prestasi tersebut ada. Contoh adalah atlet muda yang tentu saja mempunyai kewajiban untuk menjaga penampilan ketika berada di arena pertandingan. Selain motivasi intrinsik yang tinggi, diperlukan juga motivasi ektrinsik yang tinggi pula. Namun apabila contoh yang lebih dominan pada motivasi ekstrinsik tidak akan selalu dapat meningkatkan kinerjanya walau adanya faktor penunjang dari keluarga dan lingkungan. Sehingga diperlukan adanya keseimbangan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari contoh. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan motivasi berprestasi intrinsik maupun ekstrinsik Motivasi Berprestasi n Persentase (%) Intrinsik tinggi, ekstrinsik tinggi Intrinsik tinggi, ekstrinsik sedang Intrinsik sedang, ekstrinsik tinggi 0 0 Intrinsik sedang, ekstrinsik sedang Intrinsik rendah, ekstrinsik rendah 0 0 Total Rataan±SD 49.90±32.30 Hubungan antara Karakteristik Contoh, Karakteristik Keluarga, dengan Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua Gaya pengasuhan orangtua yang dipersepsikan oleh contoh tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh. Dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan karakteristik contah dan karaktersitik keluarga contoh dengan gaya pengasuhan yang dipersepsikan oleh contoh. Karaktersitik contoh dalam penelitian ini meliputi usia dan urutan kelahiran. Sementara itu, karakeristik keluarga meliputi status orangtua, usia orangtua, suku bangsa orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapaan orangtua. Papalia, et al. (2009) mengemukakan bahwa hubungan remaja dengan orangtuanya dipengaruhi oleh situasi kehidupan orangtua itu sendiri, diantaranya status pernikahan, pekerjaan, dan keadaan sosial ekonomi. Hubungan ini memiliki

20 59 peran dalam gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua kepada remaja. Status orangtua yang utuh cenderung memiliki kehangatan yang tinggi dibandingkan dengan orangtua tunggal. Selain itu, terdapat hasil penelitian longitudinal mengenai remaja laki-laki dan perempuan yang orangtuanya bercerai lebih menunjukkan masalah akademis, psikologis, dan perilaku, dibandingkan teman sebaya yang orangtuanya tidak bercerai (Sun dalam Papalia, et al. 2009). Pendidikan dan pekerjaan orangtua juga mempunyai hubungan terhadap gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua. Elias dan Yee (2009) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi mengetahui bahwa gaya pengasuhan yang paling baik adalah gaya pengasuhan otoritatif, sehingga orangtua cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang otortatif dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang otoriter dan permisif. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo dan Hastuti (Hastuti 2008) di Kabupaten Indramayu memperlihatkan perbedaan cara pengasuhan yang diberikan keluarga nelayan berpendidikan tinggi dengan yang berpendidikan rendah. Sementara itu, dampak dari pekerjaan ibu di luar rumah akan berpengaruh terhadap perilaku seorang anak (Papalia, et al. 2009). Penelitian longitudinal menunjukkan pentingnya perawatan dan pengawasan yang diterima remaja setelah waktu sekolah (Papalia, et al. 2009). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, contoh dalam penelitian ini tetap mendapatkan perhatian dari kedua orangtuanya, meskipun kedua orangtua contoh bekerja. Di sisi lain, Dornbusch (Elias & Yee 2009) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi bisa berpengaruh terhadap gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa urutan anak mempunyai hubungan yang nyata dan negatif terhadap persepsi gaya pengasuhan orangtua otoritatif pada taraf kepercayaan 0.01 dengan koefisien korelasi Hal ini menggambarkan bahwa semakin bungsu urutan anak, maka gaya pengasuhan orangtua semakin tidak otoritatif. Hal ini berarti gaya pengasuhan orangtua semakin otoriter ataupun semakin permisif. Contoh dalam penelitian ini sebagian besar merupakan anak sulung dan anak tengah. Orangtua cenderung terlalu cemas dan melindungi anak sulung secara berlebihan yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan pengalaman orangtua dalam merawat

21 60 anak. Anak sulung juga sering dibebankan dengan harapan-harapan tinggi orangtua, sehingga seringkali anak sulung memiliki kecemasan dan rasa tertekan (Gunarsa 2008). Tabel 12 Koefisien korelasi antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga dan persepsi gaya pengasuhan Hubungan Antar Variabel Persepsi Gaya Pengasuhan Otoritatif Otoriter Permisif Karakteristik contoh Usia Urutan kelahiran -.274* Karakteristik keluarga Status orang tua Usia ayah Usia ibu Suku jawa Suku sunda Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pendapatan orang tua **.112 Keterangan: *. nyata pada p<0.05, **. nyata pada p<0.01 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara pendapatan orangtua dengan persepsi gaya pengasuhan orangtua otoriter pada taraf kepercayaan 0.05 dengan koefisien korelasi Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan orangtua, maka contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya cenderung semakin otoriter. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hastuti (2008) bahwa orangtua yang telah stabil secara ekonomi lebih memiliki peluang untuk dapat memberikan pengasuhan yang relatif lebih baik dibandingkan orangtua yang masih lemah secara ekonomi. Pada penelitian ini, pendapatan orangtua yang tinggi disebabkan oleh ayah dan ibu contoh bekerja pada sektor publik, sehingga contoh merasa orangtuanya cenderung memiliki kontrol yang tinggi namun responsiveness rendah.

22 61 Hubungan antara Persepsi Gaya Pengasuhan Orangtua, Konsep Diri, dengan Motivasi Berprestasi Olahraga Data yang tersaji pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempunyai konsep diri yang positif, apapun gaya pengasuhan orangtua yang dipersepsikannya. Tabel 13 juga menunjukkan bahwa dari ketiga gaya pengasuhan ini yang memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan konsep diri adalah persepsi contoh terhadap gaya pengasuhan otoritatif. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri Persepsi Gaya Pengasuhan Konsep Diri Negatif Positif Total n % n % n % Otoritatif Otoriter Permisif Total Hasil uji korelasi (Tabel 14) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang nyata dan positif antara gaya pengasuhan orang tua otoritatif dan konsep diri pada taraf kepercayaan 0.05 dengan koefisien korelasi Hal ini menggambarkan bahwa semakin contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif maka konsep diri contoh akan semakin positif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Desmita (2009) bahwa lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional (Baumrind 1967). Sementara itu, persepsi gaya pengasuhan orang tua otoriter tidak berhubungan nyata dengan konsep diri dan motivasi berprestasi olahraga contoh. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Baumrind (1967), bahwa seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan gaya pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Persepsi gaya pengasuhan orang tua permisif juga tidak berhubungan

23 62 nyata dengan konsep diri dan motivasi berprestasi olahraga contoh. Besar hubungan antara persepsi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi berprestasi olahraga dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Koefisien korelasi antara persepsi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi berprestasi Variabel Gaya pengasuhan otoritatif Gaya pengasuhan otoriter Gaya pengasuhan permisif Konsep diri.257* Motivasi berprestasi.344** Keterangan: *. nyata pada p<0.05; **. nyata pada p<0.01 Hasil uji korelasi yang tersaji pada Tabel 14 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dengan motivasi berprestasi olahraga. Hasil penelitian ini senada dengan yang dikemukakan oleh Garliah dan Nasution (2005), bahwa keluarga dan suasana keluarga menjadi ladang yang subur untuk menanamkan dan mengembangkan dorongan berprestasi. Bagaimana cara orangtua bertindak sebagai orangtua yang menerapkan pola asuh terhadap anak memegang peranan penting dalam menanamkan dan membina dorongan berprestasi pada anak. Hasil penelitian (Tabel 14) menunjukkan bahwa persepsi gaya pengasuhan yang otoritatif berhubungan nyata positif dengan motivasi berprestasi olahraga pada taraf kepercayaan 0.01 dengan koefisien korelasi sebesar Hal ini menggambarkan bahwa semakin contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif, maka motivasi berprestasi olahraga contoh akan semakin tinggi. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi ekstrinsik adalah dukungan orang tua. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan Santrock (2003), bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orang tua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak (Cherry 2010).

24 63 Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan persepsi gaya pengasuhan dan motivasi berprestasi Persepsi Motivasi Berprestasi Olahraga Gaya Intrinsik tinggi, Instrinsik tinggi, Intrinsik sedang, Intrinsik sedang, Pengasuhan ekstrinsik tinggi ekstrinsik sedang ekstrinsik tinggi ekstrinsik sedang n % n % n % n % Otoritatif Otoriter Permisif Total Data yang tersaji pada Tabel 15 menunjukkan bahwa semakin contoh mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif, maka motivasi berprestasi olahraga contoh secara intrinsik dan ekstrinsiknya juga tinggi. Sama halnya dengan konsep diri, persepsi contoh terhadap gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif juga yang berhubungan nyata dan positif terhadap motivasi berprestasi olahraga contoh. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Baumrind (1987), yaitu bahwa orangtua otoritatif bersikap terbuka, fleksibel, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional. Santrock (2003) berpendapat bahwa gaya pengasuhan otoritatif dapat mendorong tumbuhnya rasa percaya diri, kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, memunculkan keberanian dan motivasi. Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga dengan Konsep Diri dan Motivasi Berprestasi Olahraga Contoh pada penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang berada pada fase usia remaja. Remaja perempuan cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam kemampuan akademik dibandingkan remaja laki-laki (Papalia, et al. 2009). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana contoh perempuan mempunyai konsep diri dan motivasi berprestasi olahraga yang lebih besar daripada contoh laki-laki. Contoh dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai tipe olahraga individu, sehingga konsep dirinya positif dan motivasi berprestasi olahraganya juga tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adisasmito (2007) bahwa seorang atlet yang menunjukkan performa secara individu di arena pertandingan akan memiliki kepercayaan yang lebih tinggi daripada berada dalam tim. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri penampilan

25 64 remaja, dimana remaja yang memiliki konsep diri penampilan fisik yang tinggi berhubungan positif dengan aktifitas fisik yang dilakukannya (Hadley, et al. 2008). Kehadiran orangtua contoh pada saat contoh sedang bertanding akan mempengaruhi penampilannya. Keberhasilan penampilan contoh pada saat bertanding tersebur tidak terlepas dari motivasi yang dimilikinya. Motivasi tersebut tidak hanya diperoleh dari dalam dirinya saja, melainkan dukungan dari keluarga (Adisasmito 2007). Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa contoh, diperoleh informasi bahwa jenis olahraga yang biasanya disaksikan oleh orangtua contoh adalah olahraga sedang seperti bulutangkis, tenis, basket, dan voli. Hal ini dikarenakan atlet muda dalam penelitian ini yang berada pada jenis olahraga sedang cenderung memiliki dukungan yang lebih besar dari orangtuanya dibandingkan dengan jenis olahraga lain, baik secara materi maupun imateri. Selain itu, hal ini dikarenakan contoh yang berada pada jenis olahraga tersebut cenderung memiliki latar belakang sosial ekonomi keluarga yang cukup baik pula. Pencapaian prestasi siswa di sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suku bangsa (Papalia, et al. 2009). Latar belakang budaya inilah yang juga akan mempengaruhi motivasi remaja, akan tetapi pengaruhnya tidak sebesar pengaruh teman sebaya. Terlebih lagi contoh dalam penelitian ini tinggal di asrama dan jauh dari orangtua sehingga teman sebaya lebih banyak mempengaruhi motivasinya. Selain itu, keragaman etnik juga mempengaruhi gaya pengasuhan yang diterapkan oarngtua (Papalia, et al. 2009). Hastuti (2008) menyatakan bahwa pada kenyataannya di dalam budaya masyarakat Indonesia terdapat keragaman nilai dan norma sosial budaya yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan adanya gaya pengasuhan yang berbeda pada tiap suku bangsa di Indonesia. Dalam penelitian ini, suku bangsa orangtua contoh cenderung menyebar pada Suku Jawa dan Sunda, sehingga gaya pengasuhan yang dipersepsikan oleh contoh cenderung homogen. Hasil penelitian (Tabel 16) menunjukkan bahwa tipe olahraga berhubungan nyata dan negatif terhadap konsep diri pada taraf kepercayaan 0.05

26 65 dengan koefisien korelasi Hal ini menunjukkan bahwa apabila tipe olahraga contoh merupakan olahraga tim/beregu, maka konsep dirinya semakin tidak positif. Justru sebaliknya, apabila tipe olahraga contoh adalah individu, maka konsep dirinya akan semakin positif. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Adisasmito (2007) yang mengatakan bahwa seorang atlet yang menunjukkan performa secara individu di arena pertandingan akan memiliki kepercayaan yang lebih tinggi daripada berada dalam tim. Tabel 16 Koefisien korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri dan motivasi berprestasi Hubungan Antar Variabel Konsep diri Motivasi berprestasi Olahraga Karakteristik contoh Usia Jenis kelamin Urutan kelahiran Jenis olahraga Tipe olahraga * Karakteristik keluarga Status orang tua Usia ayah Usia ibu Suku jawa Suku sunda Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pendapatan orang tua Keterangan: *. nyata pada p<0.05, **. nyata pada p<0.01 Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Olahraga Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mempunyai konsep diri yang positif sehingga motivasi berprestasi olahraganya tinggi, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri contoh maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi olahraganya. Konsep diri yang positif merupakan salah satu faktor yang terdapat dalam motivasi intrinsik seorang contoh, di mana konsep diri akan memberikan hasil pada penampilan atlet di arena pertandingan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Peart, et al. (2007), yang mengatakan

27 66 bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Selain itu, seseorang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dan motivasi berprestasi Konsep Motivasi Berprestasi Diri Intrinsik tinggi, Instrinsik tinggi, Intrinsik sedang, Intrinsik sedang, ekstrinsik tinggi ekstrinsik sedang ekstrinsik tinggi ekstrinsik sedang n % n % n % n % Positif Negatif Total Tabel 18 menunjukkan bahwa aspek konsep diri mempunyai hubungan yang nyata positif dengan motivasi berprestasi olahraga. Adapun aspek-aspek konsep diri tersebut yaitu kompetensi atletik, perilaku/moralitas, penerimaan teman sebaya, dan pandangan masa depan, dengan masing-masing koefisien korelasi sebesar 0.351, 0.460, 0.398, Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin positif aspek konsep diri kompetensi atletik, perilaku/moralitas, penerimaan teman sebaya, dan pandangan masa depan, maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi olahraganya. Hal tersebut dikarenakan contoh adalah atlet muda yang tinggal di asrama, sehingga konsep diri kompetensi atletik dan pandangan masa depannya pun semakin positif, begitu pun dengan konsep diri perilaku/moralitasnya. Selain itu, contoh berada pada fase remaja sehingga konsep diri penerimaan teman sebaya semakin positif. Sementara itu, aspek konsep diri penampilan fisik dan kompetensi sekolah tidak berhubungan signifikan dengan motivasi berprestasi olahraga contoh. Hubungan aspek konsep diri dengan motivasi berprestasi dapat dilihat pada Tabel 18.

METODE PENELITIAN. Dengan menggunakan rumus dan margin error 0,1 diperoleh jumlah contoh sebagai berikut:

METODE PENELITIAN. Dengan menggunakan rumus dan margin error 0,1 diperoleh jumlah contoh sebagai berikut: METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan metode survei. Penelitian dengan desain cross sectional study adalah penelitian yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pernah berjaya pada Sea Games periode tahun 1977-1999, namun hal ini terus menurun seiring dengan berjalannya waktu. Sungguh ironi ketika nama Indonesia pernah begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Perubahan pola hidup manusia adalah akibat dari dampak era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Perubahan pola hidup manusia adalah akibat dari dampak era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan pola hidup manusia adalah akibat dari dampak era globalisasi yang semakin dapat dirasakan dalam kehidupan seharihari, pola hidup dari dampak tersebut

Lebih terperinci

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 29 METODE Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 35 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Sekolah Ragunan adalah satu dari lima sekolah khusus atlet di Indonesia yang didirikan pada tanggal 15 Januari 1977. Sekolah Ragunan ini sebenarnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Remaja

TINJAUAN PUSTAKA. Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Definisi dan Karakteristik Perkembangan Remaja Istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya = remaja), yang berarti tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan sosial 2.1.1 Definisi kecerdasan sosial Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMK Negeri contoh terletak di Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 Juni 1980 dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten dan kehadiran orang tua untuk mendukung dan mendampingi

BAB I PENDAHULUAN. konsisten dan kehadiran orang tua untuk mendukung dan mendampingi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika terlahir manusia berada dalam keadaan lemah. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada bantuan orang-orang disekitarnya. Kemandirian anak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. N 1+ Ne 2. n =

METODE PENELITIAN. N 1+ Ne 2. n = 27 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan metode survei. Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara psikologis perubahan merupakan situasi yang paling sulit untuk diatasi oleh seseorang, dan ini merupakan ciri khas yang menandai awal masa remaja. Dalam perubahannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai PEMBAHASAN Penelitian ini didasarkan pada pentingnya bagi remaja mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa sehingga dapat mengelola tanggung jawab pekerjaan dan mampu mengembangkan potensi diri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disetujui bagi berbagai usia di sepanjang rentang kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. yang disetujui bagi berbagai usia di sepanjang rentang kehidupan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu memiliki tugas perkembangan yang sudah terbagi menjadi beberapa fase dalam rentang kehidupan individu. Menurut Hurlock (1999) tugas perkembangan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi Uji asumsi harus terlebih dahulu dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis. Uji asumsi ini terdiri dari uji normalitas, uji linieritas, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

PERILAKU ANTISOSIAL REMAJA DI SMA SWASTA RAKSANA MEDAN

PERILAKU ANTISOSIAL REMAJA DI SMA SWASTA RAKSANA MEDAN PERILAKU ANTISOSIAL REMAJA DI SMA SWASTA RAKSANA MEDAN Dewi S Simanullang* Wardiyah Daulay** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan **Dosen Departemen Jiwa dan Komunitas Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu periode perkembangan yang harus dilalui oleh seorang individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja (Yusuf, 2006). Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan

Lebih terperinci

PENDAFTARAN DAN PELAKSANAAN

PENDAFTARAN DAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN DAN PELAKSANAAN SELEKSI CALON ATLET PUSAT PELATIHAN OLAHRAGA PELAJAR (PPOP) PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2018 A. PERSYARATAN CALON ATLET 1. Warga Negara Indonesia, diutamakan domisili sekolah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN Dewi Sartika Panjaitan*, Wardiyah Daulay** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan **Dosen Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran identitas diri pada remaja yang menikah dini. Bab ini adalah penutup dari seluruh naskah penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Sebelum mengadakan penelitian, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan tempat penelitian. Orientasi tempat penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah masa remaja. Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Program Pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB)-IPB merupakan suatu unit yang bertugas melaksanakan dan mengkoordinasikan proses belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tahap perkembangan remaja, kebanyakan mereka tidak lagi mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan yang akan dilakukan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di sepanjang kehidupannya sejalan dengan pertambahan usianya. Manusia merupakan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu keluarga kehadiran anak adalah kebahagiaan tersendiri bagi orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah amanah, titipan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG Irma Rostiani, Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Anak untuk Bersekolah HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sejak lahir sampai dewasa manusia tidak pernah lepas dari suatu ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, dibesarkan dalam lingkup keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, mudah memperoleh teman, sukses dalam pekerjaan dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, mudah memperoleh teman, sukses dalam pekerjaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Percaya diri adalah salah satu aspek psikis manusia yang sangat penting untuk dipupuk dan dikembangkan. Sukses tidaknya seseorang dalam berinteraksi secara sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Olahraga adalah salah satu bentuk dari upaya peningkatan kualitas manusia yang diarahkan pada pembentukan watak dan kepribadian, disiplin dan sportivitas yang tinggi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan sumber kepribadian seseorang. Di dalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang dapat membentuk kepribadian seserang. Tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa tahap perkembangan. Keseluruhan tahap perkembangan itu merupakan proses yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Barat beribukota Waikabubak, mempunyai luas 4.051,92 km². Sebelah Barat berbatasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu periode perkembangan yang penting, dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock (1980:206) menyatakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik. Pada masa ini remaja tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis, perubahan terhadap pola perilaku dan juga

Lebih terperinci

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2015

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2015 Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog Fakultas Psikologi UMBY 2015 Faktor Penghambat Lingkungan Lingkungan yang buruk dapat menghambat atau mengganggu tumbuh kembang anak. Biasanya lingkungan yang buruk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang digunakan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode yang hasil penelitiannya hanya dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa bayi ketika

Lebih terperinci

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1.

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1. 20 KERANGKA PEMIKIRAN Menurut seorang pakar ekologi keluarga yaitu Bronfenbrener menyatakan bahwa anak adalah salah sebuah unsur dalam lingkungan. Hal tersebut ditinjau dari sudut pandang dalam perpsektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perguruan tinggi saat ini menjadi incaran para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di Indonesia menjadikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Remaja 1. Pengertian Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu dari kata adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Secara psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang berkualitas. Maka untuk

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa keempat subyek memiliki karakteristik individu yang memiliki harapan tinggi. Namun, karakteristik yang muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sebuah keluarga, anak menduduki posisi tertentu berdasarkan. urutan kelahirannya yang mana mempunyai pengaruh mendasar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sebuah keluarga, anak menduduki posisi tertentu berdasarkan. urutan kelahirannya yang mana mempunyai pengaruh mendasar dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sebuah keluarga, anak menduduki posisi tertentu berdasarkan urutan kelahirannya yang mana mempunyai pengaruh mendasar dalam perkembangan anak selanjutnya

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal yang disebut

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanpa terkecuali dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. tanpa terkecuali dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi dan modernisasi, banyak terjadi perubahanperubahan dalam berbagai sisi kehidupan yang mengharuskan setiap manusia tanpa terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

Penyusun: Dr. Danu Hoedaya & Dr. Nitya Wismaningsih [ Tim Psikologi Pelatda PON XVI Jawa Barat ]

Penyusun: Dr. Danu Hoedaya & Dr. Nitya Wismaningsih [ Tim Psikologi Pelatda PON XVI Jawa Barat ] Paket Latihan Mental Khusus Pelatda PON XVI Jawa Barat Penyusun: Dr. Danu Hoedaya & Dr. Nitya Wismaningsih [ Tim Psikologi Pelatda PON XVI Jawa Barat ] Komite Olahraga Nasional Indonesia - Jawa Barat Bandung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia selalu mengalami perubahan sepanjang kehidupan yakni sejak dalam kandungan sampai meninggal. Fase-fase perkembangan yang terjadi hampir bersamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah media penghantar individu untuk menuju masa depan yang lebih baik. Pendidikan merupakan salah satu solusi atau upaya yang dibuat agar dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta 44 KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dari anak-anak menuju dewasa, dimana terjadi kematangan fungsi fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang cepat pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode korelasional yaitu suatu cara untuk menemukan hubungan antara variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Olahraga menjadi salah satu aktivitas yang banyak dilakukan oleh manusia demi menjaga dan meningkatkan kebugaran tubuh. Olahraga sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecemasan dan ketakukan adalah sinyal peringatan. dan bertindak sebagai peringatan atas ancaman dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kecemasan dan ketakukan adalah sinyal peringatan. dan bertindak sebagai peringatan atas ancaman dari dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecemasan dan ketakukan adalah sinyal peringatan dan bertindak sebagai peringatan atas ancaman dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Kecemasan dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di SMA Negeri 1 Kepohbaru, jl. Hayam wuruk no. 50 Kepoh, Kecamatan Kepohbaru, kabupaten Bojonegoro

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permainan bola voli di Indonesia merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat, karena dapat dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa,

Lebih terperinci

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2013

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2013 Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog Fakultas Psikologi UMBY 2013 Faktor Penghambat Lingkungan Lingkungan yang buruk dapat menghambat atau mengganggu tumbuh kembang anak. Biasanya lingkungan yang buruk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Deskriptif Subyek Penelitian Gambaran umum subjek penelitian ini diperoleh dari data yang diisi responden, yaitu inisial, usia, jenis kelamin responden,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, [terhubung berkala]. [3 April 2009]. 2

PENDAHULUAN. Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, [terhubung berkala].  [3 April 2009]. 2 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja adalah generasi penerus suatu bangsa dan merupakan ujung tombak yang akan berperan dalam pembangunan di masa mendatang. Oleh karena itu, suatu bangsa membutuhkan remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sasaran, sehingga untuk bisa bermain sepakbola diperlukan teknik-teknik

BAB I PENDAHULUAN. sasaran, sehingga untuk bisa bermain sepakbola diperlukan teknik-teknik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permainan sepakbola adalah permainan yang dimainkan di lapangan terbuka yang menggunakan 1 bola besar dan menggunakan 2 gawang sebagai sasaran, sehingga untuk

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar belakang Masa remaja merupakan periode peralihan perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki pulau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki pulau yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang besar. Hal ini dapat dilihat dari luas wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki 13.466 pulau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Kesiapan Kerja 2.1.1 Pengertian kesiapan kerja Menurut Anoraga (2009) kerja merupakan bagian yang paling mendasar atau esensial dari kehidupan manusia. Sebagai bagian yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci