HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Program Pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB)-IPB merupakan suatu unit yang bertugas melaksanakan dan mengkoordinasikan proses belajar mengajar bagi mahasiswa baru IPB selama tahun pertama. Program TPB-IPB dibentuk pada tahun 1973 sebagai wujud kepedulian IPB terhadap pembangunan bangsa yang dilakukan melalui penerimaan mahasiswa baru dengan undangan ke sekolah menengah di seluruh pelosok tanah air. Tahun 2001, para mahasiswa mulai diwajibkan untuk menetap di asrama TPB-IPB selama tahun pertama perkuliahan. Di dalam satu kamar asrama TPB-IPB dihuni oleh empat orang mahasiswa dengan fasilitas empat tempat tidur susun, meja belajar, rak handuk, gantungan pakaian, dan lemari. Berdekatan dengan asrama tersedia kantin, cafeteria, rumah makan, wartel, rental komputer, apotek dan toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Asrama tidak sekedar untuk tempat tinggal, tetapi yang lebih penting adalah merupakan wahana program pembinaan akademik dan multibudaya. Program ini dimaksudkan untuk mempermudah mahasiswa beradaptasi dengan kehidupan kampus, dunia kemahasiswaan dan mengasah kemampuan soft skill, seperti dalam berkomunikasi, berorgansiasi, dan memahami kemajemukan. Untuk tujuan itu, maka Asrama TPB-IPB dilengkapi dengan organisasi pembinaan yang disebut Badan Pengelola Program Akademik, Multi Budaya dan Asrama TPB- IPB, yang di dalamnya terdapat Kepala Asrama, Manajer Unit dan Kakak Asrama. Kakak Asrama (Senior Residence) adalah kakak kelas yang tinggal di Asrama TPB-IPB untuk membantu mahasiswa menghadapi masalah-masalah akademik dan non-akademik. Selain pendampingan terhadap mahasiswa baru dengan pendekatan program dan kepengurusan Asrama TPB-IPB, di IPB juga tersedia Tim Bimbingan Konseling (BK), yang terdiri dari dosen-dosen senior IPB. Para mahasiswa dapat berkonsultasi segala urusan dengan Tim BK ini. Kegiatankegiatan yang rutin dilaksanakan antara lain pengajian lorong, makan bersama, social gathering (soga) lorong, soga gedung,dan sebagainya. Semua kegiatan wajib tersebut dilaksanakan dalam rangka membangun kebersamaan dan membina mental mahasiswa asrama TPB-IPB. Rasa kebersamaan yang dibangun di asrama TPB-IPB, ternyata merupakan suatu aset emosional yang

2 26 sulit dicari padanannya. Saling tolong-menolong dalam suka dan duka, secara tidak langsung sangat membantu dalam memperlancar studi. Umumnya, suasana emosional untuk saling membantu, terus dibawa setelah keluar dari Asrama TPB-IPB. Selain itu kegiatan terbesar yang dilaksanakan tiap tahun adalah LFAD (Let s Fight Against Drug) dan diselenggarakan untuk semua mahasiswa TPB-IPB yang bertujuan untuk mengingatkan mahasiswa akan bahaya narkoba. Usia Responden Karakteristik Responden Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (1997) menyatakan beberapa ciri masa remaja antara lain, masa remaja sebagai periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, sebagai masa mencari identitas, masa yang tidak realistik, dan ambang masa dewasa. Para ahli psikologi pada umumnya membagi masa remaja menjadi beberapa fase seperti diungkapkan oleh Monks et al. (1998) yaitu fase remaja awal (usia antara tahun), fase remaja pertengahan (usia antara tahun) dan fase remaja akhir (usia antara tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (54,5%) usia responden adalah 19 tahun yang terkategori pada fase remaja akhir, baik anak sulung (57,6%), anak tengah (51,5%), dan anak bungsu (54,5%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan usia responden pada berbagai urutan kelahiran (p>0,05). Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan usia, urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi usia responden Urutan kelahiran Usia Sulung Tengah Bungsu 17 tahun 2 6,1 1 3,0 3 9,1 6 6,1 18 tahun 11 33, , , ,4 19 tahun 19 57, , , ,5 20 tahun 1 3,0 2 6, ,0 Rata-rata±SD 18,6±0,7 18,6±0,7 18,4±0,7 18,5±0,7 p-value 0,6 Asal Daerah Tanda bahaya yang umum dari ketidakmampuan penyesuaian diri remaja menurut Hurlock (1997) salah satunya adalah merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang di kenalnya. Perbedaan asal daerah responden

3 27 menentukan penyesuaian diri mahasiswi karena jarak dan akses dari asrama ke rumah setiap mahasiswi berbeda-beda. Asal daerah responden cukup bervariasi, namun dalam penelitian ini hanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu responden yang berasal dari Jabodetabek dan luar Jabodetabek. Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase terbesar responden (48,5%) yang berasal dari Jabodetabek adalah anak sulung, sedangkan yang berasal dari luar Jabodetabek adalah anak tengah (78,8%). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2003) anak kedua atau anak tengah biasanya tidak hidup dengan kecemasan orang tua yang berlebihan. Hal ini mungkin yang menyebabkan anak tengah memiliki persentase terbesar responden yang berasal dari luar Jabodetabek karena orang tua lebih memberikan kebebasan kepada anak tengah sehingga lebih banyak anak tengah yang diberikan kesempatan untuk kuliah di tempat yang agak jauh. Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan asal daerah dan urutan kelahiran Urutan kelahiran Asal Sulung Tengah Bungsu Jabodetabek 16 48,5 7 21, , ,4 Luar Jabodetabek 17 51, , , ,6 Besar Keluarga Karakteristik Keluarga Menurut Guhardja et al. (1992), keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan melalui darah, pernikahan atau adopsi. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Menurut BKKBN (1997) besar keluarga dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga, urutan kelahiran, ratarata dan standar deviasi responden Urutan kelahiran Besar Keluarga Sulung (S) Tengah (T) Bungsu (B) Keluarga kecil ( 4 orang) 16 48,5 1 3, , ,3 Keluarga sedang (5-7 orang) 16 48, , , ,6 Keluarga besar (>7 orang) 1 3,0 7 21,2 3 9, ,1 Rata-rata ± SD 4,9±1,1 6,6±1,5 5,1±1,7 5,54±1,64 p-value 0,000

4 28 Berdasarkan Tabel 5, besar keluarga responden berkisar antara 4 sampai 11 orang. Lebih dari setengah responden (56,6 %) berasal dari keluarga sedang dan sebagian kecil lainnya adalah keluarga besar. Hasil uji lanjut posthoc pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa perbedaan secara nyata terlihat pada besar keluarga anak tengah yang lebih tinggi dibandingkan besar keluarga anak sulung dan anak bungsu. Usia Orang Tua Pembagian masa dewasa biasanya menunjuk pada perubahan-perubahan fisik dan psikologis tertentu. Pembagian masa dewasa menurut Hurlock (1997) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu masa dewasa dini (18-40 tahun), dewasa madya (41-60), dan dewasa lanjut atau lanjut usia (60 tahun ke atas), namun pembagian ini tidak mutlak dan tidak ketat. Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan kategori usia ayah, urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi responden Urutan Kelahiran Usia Ayah Sulung Tengah Bungsu Dewasa dini (18-40 tahun) 1 3,0 1 3,0 0 0,0 2 2,0 Dewasa madya (41-60 tahun) 29 87, , , ,9 Dewasa akhir atau usia lanjut (>60 tahun) 1 3,0 1 3,0 4 12,1 6 6,1 *) Rata-rata±SD 45±12,5 49,1±10,3 51,0±14,1 48,4±12,5 p-value 0,137 Keterangan : *Anak sulung, tengah dan bungsu dengan ayah yang sudah meninggal Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ayah responden (85.9%) dan ibu responden (83.8%) berada pada kategori dewasa madya. Sementara itu sebagian kecil ayah (6,1%) dan ibu responden (1,0%) berusia dewasa akhir. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan usia orang tua pada berbagai urutan kelahiran (p>0,05). Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan kategori usia ibu, urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi responden Urutan Kelahiran Usia Ibu Sulung Tengah Bungsu Dewasa dini (18-40 tahun) 10 30,3 1 3,0 1 3, ,1 Dewasa madya (41-60 tahun) 23 69, , , ,8 Dewasa akhir atau usia lanjut (>60 tahun) 0 0,0 1 3,0 0 0,0 1 1,0 *) Rata-rata±SD 43,1±4,5 43,8±12,2 47,7±9,6 44,9±9,5 p-value 0,103 Keterangan : *Anak tengah dan anak bungsu dengan ibu yang sudah meninggal

5 29 Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan orang tua cukup bervariasi. Persentase terbesar pendidikan ayah pada anak tengah (42,4%) dan anak bungsu (42,4%) berada dalam kelompok perguruan tinggi. Pada anak sulung persentase terbesar (51,5%) pendidikan ayah berada pada kelompok Sekolah Mengah Atas (SMA) dan sederajat. Sementara itu, persentase terbesar pendidikan ibu baik pada anak sulung (33,3%), tengah (45,4%), dan bungsu (36,4%) berada pada perguruan tinggi. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pendidikan orang tua pada berbagai urutan kelahiran (p>0,05). Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan orang tua menurut urutan kelahiran Pendidikan Ayah Ibu S (%) T (%) B (%) S (%) T (%) B (%) Tidak tamat SD 6,1 3,0 0,0 6,1 3,0 3,0 Tamat SD/sederajat 3,0 12,1 6,1 12,1 12, 9,1 Tamat SMP/sederajat 0,0 9,1 9,1 9,1 36,4 12,1 Tamat SMA/sederajat 51,5 33,3 42,4 4,3 21,2 33,3 Tamat perguruan tinggi 39,4 42,4 42,4 33,3 45,4 36, p-value 0,685 0,909 Keterangan: S= Sulung, T=Tengah, B=Bungsu Apabila ditinjau dari sisi pekerjaan orang tua, ayah responden paling banyak berprofesi sebagai pegawai negeri sipil pada anak sulung (33.3%) dan anak tengah (39,4). Pada anak bungsu persentase terbesar ayah responden bekerja sebagai wiraswasta yaitu sebesar 27,3 persen. Sementara itu, persentase terbesar ibu responden tidak bekerja atau ibu rumah tangga baik pada anak sulung (57,6%), tengah (45,4%), dan bungsu (57,6). Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan orang tua dan urutan kelahiran Pekerjaan Ayah Ibu S (%) T (%) B (%) S (%) T (%) B (%) Pertanian 3,0 3,0 6,1 3,0 0,0 3,0 Wiraswasta 27,3 9,1 27,3 9,1 9,1 6,1 Tidak bekerja 0,0 3,0 3,0 57,6 45,4 57,6 PNS 33,3 39,4 24,2 24,2 36,4 21,2 Pensiunan 3,0 12,1 9,1 0,0 0,0 3,0 Buruh 9,1 9,1 6,1 0,0 0,0 0,0 Pegawai swasta 6,1 9,1 12,1 6,1 3,0 6,0 Pegawai BUMN 12,1 3,0 6,1 0,0 0,0 0,0 Rohaniawan 0,0 3,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Guru Honorer 0,0 3,0 0,0 0,0 0,0 0,0 *) Keterangan: S= Sulung, T=Tengah, B=Bungsu * sudah termasuk orang tua yang sudah meninggal

6 30 Pendapatan Orang Tua Kondisi ekonomi suatu keluarga akan berpengaruh pada hubungan antar anggota keluarga. Salah satu faktor penting pada kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi yang berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga. Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit diatas anggota-anggota lain dalam kelompoknya dapat memengaruhi penerimaan remaja dalam anggota kelompoknya (Hurlock 1997). Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan orang tua dan urutan kelahiran Urutan Kelahiran Pendapatan Sulung Tengah Bungsu < ,0 4 12,1 5 15,1 9 9, ,1 5 15,2 3 9, , ,3 7 21,2 9 36, , , ,3 7 21, , ,2 6 18,2 9 27, ,2 p-value 0,279 Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua responden memiliki pendapatan yang cukup bervariasi, namun persentase terbesar berkisar antara Rp Rp pada anak sulung (36,4%) dan anak tengah (33,3%). Sementara untuk anak bungsu persentase terbesar untuk pendapatan orang tua berkisar antara Rp yaitu sebesar 36,4 persen. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan orang tua responden pada berbagai urutan kelahiran (p>0,05). Jumlah Teman Sebaya Karakteristik Kelompok Teman Sebaya Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar responden (34,3%) memiliki teman sebaya di kelas rata-rata sejumlah 4-6 orang, serupa dengan anak sulung (42,4%). Anak tengah memiliki teman sebaya di kelas dengan persentase yang sama (27,3%) antara 1-3 orang, 4-6 orang dan lebih dari 10 orang. Persentase terbesar anak bungsu (36,4%) memiliki teman sebaya di kelas sebanyak lebih dari 10 orang. Persentase terbesar anak sulung, anak tengah maupun anak bungsu memiliki jumlah teman sebaya lebih dari 10 orang baik di asrama dan di tempat lain. Jumlah dari hasil penelitian tersebut lebih besar dibandingkan dengan pendapat Hurlock (1997) yang menyebutkan bahwa biasanya remaja memiliki 2-

7 31 3 orang teman dekat. Hasil uji lanjut posthoc pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perbedaan secara nyata jumlah teman sebaya pada anak bungsu lebih tinggi daripada anak tengah dan jumlah teman sebaya anak sulung lebih tinggi daripada anak tengah. Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kategori jumlah teman sebaya dan urutan kelahiran Jumlah teman sebaya Sulung Tengah Bungsu Di Kelas 1-3 orang 3 9,1 9 27,3 6 18, ,2 4-6 orang 14 42,4 9 27, , ,3 7-9 orang 6 18,2 6 18,2 4 12, ,2 >10 orang 10 30,3 9 27, , ,3 Tidak ada 0 0,0 0 0,00 0 0,00 0 0,00 p-value 0,633 Di Asrama 1-3 orang 4 12,1 6 18,2 2 6, ,1 4-6 orang 11 33,3 6 18,2 7 21, ,2 7-9 orang 6 18,2 7 21,2 7 21, ,2 >10 orang 12 36, , , ,4 Tidak ada 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 p-value 0,304 Di Tempat lain 1-3 orang 1 3,0 5 15,1 1 3,0 7 7,1 4-6 orang 4 12,1 6 18,2 3 9, ,1 7-9 orang 3 9,1 3 9,1 2 6,1 8 8,1 >10 orang 25 75, , , ,7 Tidak ada p-value 0,033 Usia Teman Sebaya Berdasarkan hasil penelitian, usia teman sebaya responden yang tersebar di kelas, asrama, dan tempat lain dominan berusia sama (seusia) dan campuran. Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki teman sebaya yang seusia dengan responden di kelas (79,8%) dan di asrama (74,7%). Sementara di tempat lain, responden memiliki teman sebaya yang usianya campuran (64,6%). Hal ini disebabkan oleh perbedaan aktivitas yang dilakukan mahasiswi di luar aktivitas akademis atau kampus, seperti organisasi, teman dari daerah asal, dan lain-lain.

8 32 Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan usia teman sebaya menurut lokasi pertemanan dan urutan kelahiran Usia teman sebaya Sulung Tengah Bungsu Di Kelas Lebih muda 0 0,0 0 0,0 1 3,0 1 1,0 Seusia 27 81, , , ,8 Lebih tua 1 3,0 1 3,0 1 3,0 4 4,0 Campuran 5 15,1 5 15,1 6 18, ,2 Tidak ada 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Di Asrama Lebih muda 0 0,0 1 3,0 1 3,0 2 2,0 Seusia 27 81, , , ,7 Lebih tua 1 3,0 2 6,1 1 3,0 4 4,0 Campuran 5 15,1 7 21,2 7 21, ,2 Tidak ada 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Di Tempat lain Lebih muda 1 3,0 1 3,0 1 3,0 3 3,0 Seusia 12 36,4 8 24, , ,3 Lebih tua 0 0,0 2 6,1 0 0,0 2 2,0 Campuran 20 60, , , ,6 Tidak ada 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Pola Hubungan Pertemanan dengan Kelompok Teman Sebaya Frekuensi Pertemuan dan Lama Usia Pertemanan Tabel 13 menunjukkan frekuensi pertemuan responden dengan teman sebaya baik di kelas, asrama, maupun di tempat lain. Persentase terbesar responden bertemu dengan teman sebayanya dikelas setiap 5-6 kali dalam seminggu, baik pada anak sulung (51,5%), tengah (45,4%), dan bungsu (57,6%). Frekuensi pertemuan responden dengan teman sebaya di asrama terjadi hampir setiap hari dengan persentase pada anak sulung 63,6 persen, anak tengah 87,9 persen, dan anak bungsu 69,7 persen. Sedangkan frekuensi pertemuan responden dengan teman sebaya di tempat lain cukup jarang yaitu sekitar 1-2 kali dalam seminggu baik untuk anak sulung (36,4%) dan anak bungsu (39,4%). Pada anak tengah pertemuan dengan teman sebaya adalah lain-lain (kurang dari seminggu sekali) dengan persentase sebesar 36,4 persen. Pertemuan responden dengan teman di asrama yang terjadi hampir setiap hari disebabkan karena mahasiswi TPB-IPB memang diwajibkan tinggal di asrama pada tahun pertama perkuliahan. Hal ini juga yang menyebabkan frekuensi pertemuan dengan teman sebaya di tempat lain agak jarang, karena padatnya aktivitas kuliah dan tugas-tugas.

9 33 Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan frekuensi pertemuan teman sebaya menurut lokasi pertemanan dan urutan kelahiran Frekuensi Pertemuan Sulung Tengah Bungsu Di Kelas 1-2 kali seminggu 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 3-4 kali seminggu 4 12,1 7 21,2 1 3, ,1 5-6 kali seminggu 17 51, , , ,5 Setiap hari 12 36, , , ,3 Lain-lain 0 0,0 0 0,00 1 3,0 1 1,0 Di Asrama 1-2 kali seminggu 1 3,0 0 0,0 0 0,0 1 1,0 3-4 kali seminggu 4 12,1 0 0,0 4 12,1 8 8,1 5-6 kali seminggu 5 15,1 4 12,1 5 15, ,1 Setiap hari 21 63, , , ,7 Lain-lain 2 6,1 0 0,00 1 3,0 3 3,0 Di Tempat lain 1-2 kali seminggu 12 36,4 9 27, , ,3 3-4 kali seminggu 6 18, ,3 8 24, ,2 5-6 kali seminggu 3 9,0 1 3,0 0 0,0 4 4,0 Setiap hari 3 9,0 1 3,0 1 3,0 5 5,0 Lain-lain 9 27, , , ,3 Berdasarkan lama usia pertemanan, baik teman di kelas maupun di asrama memiliki persentase terbesar pada rentang 6-12 bulan. Hal ini karena lama studi perkuliahan saat pengambilan data sudah berjalan sekitar 10 bulan. Berbeda dengan teman di tempat lain, persentase terbesar lama usia pertemanan lebih dari 12 bulan atau satu tahun. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan lama usia pertemanan menurut lokasi pertemanan dan urutan kelahiran Lama Usia Pertemanan Sulung Tengah Bungsu Kelas <6 bulan 2 6,1 5 15,1 2 6,0 9 9, bulan 16 48, , , ,6 >12 bulan 15 45,4 8 24, , ,3 Asrama <6 bulan 2 6,1 2 6,0 1 3,0 5 5, bulan 18 54, , , ,6 >12 bulan 13 39, , , ,3 Tempat lain <6 bulan 0 0,0 0 0,0 1 3,0 1 1, bulan 3 9,1 6 18,2 6 18, ,1 >12 bulan 30 90, , , ,8

10 34 Kualitas Hubungan Pertemanan Responden dengan Teman Sebaya Salah satu tugas perkembangan remaja adalah penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi menuju kedewasaan, remaja harus membuat penyesuaian baru. Bagian terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokkan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilainilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock 1997). Tabel15 Sebaran jawaban kualitas hubungan teman sebaya No Pernyataan Jawaban Saya bersedia jika diajak melakukan hal-hal yang bertentangan 46,5 42,4 9,1 2,0 dengan aturan* 2 Saya merasa takut jika diasingkan dari kelompok teman sebaya 7,1 21,2 51,5 20,2 saya 3 Saya lebih nyaman menceritakan masalah saya kepada 10,1 48,5 33,3 8,1 kelompok teman sebaya daripada orang tua 4 Saya rela melakukan apa saja asalkan bisa dterima oleh 33,3 58,6 7,1 1,0 kelompok teman sebaya saya* 5 Pengaruh teman sebaya saya sangat besar terhadap diri saya 6,1 27,3 60,6 6,1 6 Sejak memiliki teman sebaya saya menjadi lebih ekspresif 3,0 17,2 65,7 14,1 7 Saya merasa memperoleh dorongan sosial dan emosional dari 2,0 1,0 58,6 38,4 kelompok teman sebaya saya (misalkan : memberikan dukungan saat saya sedih dan sedang ada masalah) 8 Jika teman dalam kelompok teman sebaya saya bertengkar, 40,4 55,6 2,0 2,0 maka saya akan ikut bertengkar atas dasar solidaritas* 9 Kelompok teman sebaya sangat peduli dengan saya 0,0 3,0 73,7 23,2 10 Saya lebih memilih nasihat orang tua dibandingkan nasihat dari 1,0 21,2 46,5 31,3 teman sebaya* 11 Saya mau berteman dengan siapa saja, tanpa memandang suku, 1,0 6,1 23,2 69,7 ras, agama, status sosial ekonomi dan lain-lain 12 Saya lebih suka menghabiskan waktu bersama dengan teman 3,0 31,3 53,5 12,1 sebaya saya 13 Kelompok teman sebaya membuat saya lebih mandiri 2,0 18,2 69,7 10,1 14 Saya menjadi lebih toleran dengan pendapat yang berbeda 1,0 6,1 71,7 21,2 dengan saya setelah bergaul dengan kelompok teman sebaya 15 Teman sebaya saya mendukung prestasi akademik saya 1,0 8,1 71,7 19,2 16 Setelah memiliki kelompok teman sebaya, saya tidak memerlukan teman yang lain* 45,5 50,5 2,0 2,0 Keterangan: 1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=setuju, 4=sangat setuju *)pertanyaan negatif, skor dibalik Pada Tabel 15 responden setuju bahwa kelompok teman sebaya dapat membuat responden menjadi lebih ekspresif (65,7%), lebih toleran (71,7%), dan lebih mandiri (69,7%). Responden juga mengaku setuju bahwa kelompok teman sebaya memberikan dorongan sosial-emosional (58,6%) dan dukungan prestasi akademik (71,7%). Responden menjawab setuju bahwa kelompok teman sebaya sangat peduli (73,7%) sehingga responden (53,5%) lebih suka menghabiskan waktu bersama dengan teman sebayanya. Pengaruh kelompok teman sebaya

11 35 yang besar (60,6%) menyebabkan responden (51,5%) takut jika diasingkan dari kelompok teman sebaya. Namun, hampir seluruh contoh (46,5% sangat tidak setuju; 42,4% tidak setuju) responden sangat tidak bersedia jika diajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan. Sebanyak 48,5 persen responden setuju bahwa lebih nyaman untuk menceritakan permasalahannya kepada orangtua dan 46,5 persen setuju untuk memilih nasehat orangtua dibandingkan dengan nasehat teman sebaya. Lebih dari separuh contoh (69,7%) sangat setuju untuk berteman dengan siapa saja. Sebaran item pernyataan berdasarkan urutan kelahiran pada Lampiran 1 juga memiliki pola jawaban yang relatif sama. Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan kategori kualitas hubungan pertemanan dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Kategori kualitas hubungan pertemanan dengan teman sebaya Urutan kelahiran Sulung Tengah Bungsu Rendah (<33) 0 0,0 1 3,0 0 0,0 1 1,0 Cukup (33-49) 17 51, , , ,7 Tinggi (>49) 16 48,5 4 12,1 8 24, ,3 Rata-rata skor ± SD 49,1±3,9 47,1±4,6 47,9±3,2 48,0±3,9 p-value 0,127 Hasil penelitian menunjukkan hanya 1,0 persen responden yang memiliki kualitas hubungan pertemanan dengan teman sebaya pada kategori rendah dan hanya terlihat pada anak tengah. Sementara itu, 70,7 persen responden total memiliki kualitas hubungan pertemanan pada kategori cukup, baik pada anak sulung, tengah, maupun bungsu. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas hubungan pertemanan dengan teman sebaya pada berbagai urutan kelahiran (p>0,05). Strategi Koping Sebuah strategi koping diperlukan dalam mengatasi stres, terlepas apakah masalah tersebut besar ataupun kecil. Istilah strategi koping memiliki pengertian sebagai cara yang dilakukan untuk mengubah situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan atau dihadapi (Rasmun 2004). Lazarus dalam Santrock (2007) percaya bahwa penanganan stres atau koping terdiri dari dua bentuk, yaitu koping yang berpusat pada masalah (Problem Focused Form Coping Mechanism) dan koping yang berpusat pada emosi (Emotional Focused Form Coping Mechanism).

12 36 Tabel 17 Sebaran jawaban emotional focused coping No Pernyataan emotional focused coping Jawaban Memperlihatkan ketegaran dalam menghadapi masalah 7,1 10,1 46,5 19,2 17,2 2 Berdoa kepada Tuhan dan yakin akan doa yang 0,0 0,0 0,0 12,1 87,9 dipanjatkan 3 Berusaha menguatkan diri bahwa sudah sepantasnya 1,0 1,0 10,1 28,3 59,6 saya bersyukur dengan apa yang sekarang saya miliki 4 Mengungkapkan perasaan pribadi pada teman atau 2,0 3,0 16,2 32,3 46,5 keluarga 5 Mengkonsumsi makanan kesukaan 1,0 15,2 28,3 27,3 28,3 6 Merawat diri sendiri dengan baik 3,0 14,1 21,2 33,3 28,3 7 Tidak menahan diri untuk marah 18,2 23,2 26,3 21,2 11,1 8 Menangis atau meluapkan kekesalan 7,1 11,1 21,2 25,3 35,4 9 Menjelaskan kondisi diri kepada orang lain agar orang lain 6,1 14,1 41,4 26,3 12,1 memahami 10 Bertekad bahwa saya mampu mengatasi masalah sendiri 5,1 13,1 30,3 31,3 20,2 Keterangan : 1=sama sekali tidak membantu dalam menghadapi stres, 2=sedikit membantu dalam menghadapi stres, 3=cukup membantudalam menghadapi stres, 4=banyak membantudalam menghadapi stres, 5=sangat membantu sekali dalam menghadapi stres Pada Tabel 17 menunjukkan bahwa responden mengaku bahwa berdoa kepada Tuhan (87,9%), berusaha menguatkan diri untuk selalu bersyukur (59,6%), menangis atau meluapkan kekesalan (35,4%) dan mengungkapkan perasaan pribadi kepada keluarga atau teman (46,5%) sangat membantu sekali dalam menghadapi stres. Namun dengan memperlihatkan ketegaran dalam menghadapi masalah (46,5%), menjelaskan kondisi diri agar bisa dipahami orang lain (41,4%), serta tidak menahan diri melawan amarah (26,3%) responden merasa hanya cukup terbantu dengan koping tersebut. Sebaran item pernyataan berdasarkan urutan kelahiran pada Lampiran 2 juga memiliki pola jawaban yang relatif sama. Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan capaian emosional focused coping dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Capaian Emotional focused coping Urutan kelahiran Sulung Tengah Bungsu Rendah (<24) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cukup (24-37) 11 33, , , ,5 Tinggi (>37) 22 66, , , ,5 Rata-rata skor ± SD 38,3±4,8 36,4±5,7 37,6±3,4 37,4±4,7 p-value 0,271 Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar total responden berada pada kategori tinggi dalam capaian emotional focused coping, begitu juga pada anak sulung (66,7%). Sementara itu pada anak tengah (57,6%) dan bungsu (54,5%), capaian emotional focused coping persentase terbesarnya berada pada

13 37 kategori cukup. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan capaian Emotional focused coping pada urutan kelahiran (p>0,05). Tabel 19 Sebaran jawaban problem focused coping No Pernyataan problem focused coping Jawaban Mendapatkan bantuan dari orang lain ketika 0,0 7,1 29,3 40,4 23,2 mengerjakan tugas-tugas 2 Melakukan kegiatan yang menyenangkan dengan teman 0,0 3,0 12,1 34,3 50,5 3 Membangun kembali kedekatan hubungan dengan 2,0 0,0 5,1 25,3 67,7 keluarga dan teman 4 Tidur atau istirahat menjadikan saya lebih baik 1,0 6,1 19,2 32,3 41,4 5 Menjalani aktivitas seperti biasa 2,0 20,2 43,4 21,2 13,1 6 Menjalani hobi yang disenangi 1,0 8,1 19,2 41,4 30,3 7 Terlibat dalam aktivitas sosial dan organisasi 2,0 16,2 43,4 24,2 14,1 8 Pergi berjalan-jalan bersama teman 4,0 8,1 18,2 33,3 36,4 9 Ketika mengalami masalah, saya membaca dari media 9,1 33,3 40,4 12,1 5,1 mengenai cara mengatasi masalah yang dihadapi 10 Melakukan sesuatu untuk diri sendiri 8,1 16,2 31,3 22,2 22,2 Keterangan : 1=sama sekali tidak membantu dalam menghadapi stres, 2=sedikit membantu dalam menghadapi stres, 3=cukup membantudalam menghadapi stres, 4=banyak membantudalam menghadapi stres, 5=sangat membantu sekali dalam menghadapi stres Pada Tabel 19 menunjukkan responden mengaku bahwa melakukan kegiatan yang menyenangkan dengan teman (50,5%), membangun kembali kedekatan hubungan dengan keluarga dan teman (67,7%), dan tidur atau istirahat (41,4%) sangat membantu responden ketika menghadapi masalah. Namun responden merasa hanya cukup terbantu ketika menghadapi permasalahan saat menjalani aktivitas seperti biasa (43,4%), terlibat dalam aktivitas sosial dan organisasi (43,4%), membaca dari media mengenai cara mengatasi permasalahan (40,4%) serta melakukan sesuatu untuk diri sendiri (31,3%). Sebaran item pernyataan berdasarkan urutan kelahiran pada Lampiran 3 juga memiliki pola jawaban yang relatif sama, kecuali pernyataan anak tengah (39,4%) yang mengaku hanya cukup terbantu ketika mendapatkan bantuan dari orang lain ketika mengerjakan tugas. Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan capaian problem focused coping dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Urutan kelahiran Capaian Problem focused coping Sulung Tengah Bungsu Rendah (<24) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cukup (24-37) 13 39, , , ,5 Tinggi (>37) 20 60, , , ,5 Rata-rata skor ± SD 38,5±4,5 35,4±5,4 37,6±4,1 37,2±4,8 p-value 0,027

14 38 Tabel 20 menunjukkan bahwa persentase terbesar responden berada pada kategori tinggi dalam capaian problem focused coping, dimana anak sulung 60,6 persen, dan anak bungsu 60,6 persen. Sementara pada anak tengah, persentase terbesar capaian problem focused coping berada pada kategori cukup (69,7%). Hasil uji lanjut posthoc pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa perbedaan secara nyata terlihat pada capaian problem focused coping anak sulung yang lebih tinggi daripada anak tengah. Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan capaian strategi koping dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Urutan kelahiran Capaian Strategi koping total Sulung Tengah Bungsu Rendah (<47) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cukup (47-73) 9 27, , , ,5 Tinggi (>73) 24 72, , , ,5 Rata-rata skor ± SD 76,8±8,7 71,8±10,2 75,2±6,6 74,6±8,8 p-value 0,065 Pada Tabel 21 menunjukkan bahwa persentase terbesar responden berada pada kategori tinggi dalam capaian strategi koping total, sama dengan anak sulung yaitu sebesar 72,7 persen. Persentase terbesar anak tengah (63,6%) dan anak bungsu (57,6%) memiliki capaian strategi koping total pada kategori cukup. Hasil uji lanjut posthoc pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa perbedaan secara nyata terlihat pada capaian strategi koping total anak sulung yang lebih tinggi daripada anak tengah. Kesadaran Sosial Dimensi pertama dari kecerdasan sosial adalah kesadaran sosial. Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk dapat merasakan keadaaan batiniah seseorang sampai memahami perasaan dan pikirannya. Kemampuan kesadaran sosial meliputi empati dasar (berhubungan dengan perasaan dengan orang lain dan merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal), penyelarasan (kemampuan untuk mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang), ketepatan empatik (kemampuan untuk memahami pikiran, perasaan, dan maksud orang lain), dan pengertian sosial (kemampuan untuk mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja). Berdasarkan hasil penelitian, Tabel 22 menunjukkan bahwa responden sangat suka untuk berteman dengan siapa saja (80,8%), sering merasa senang bisa menjadi tempat curhat teman (75,8%), dan dapat menyimpan rahasia

15 39 teman (68,7%). Sebagian besar responden mengaku mempunyai banyak teman (68,7%) dan memahami bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbedabeda (73,7%). Responden juga sering merasa senang apabila mempunyai teman baru (61,6%) dan kebersamaaan dengan teman-teman merupakan saat-saat yang menyenangkan (61,6%). Namun responden masih suka melakukan hal yang disenangi seorang diri (45,5%). Sebaran item pernyataan berdasarkan urutan kelahiran pada Lampiran 4 juga memiliki pola jawaban yang relatif sama, kecuali pada pernyataan ke-12. Anak tengah (30,3%) dan bungsu (54,5%) mengaku jarang menyendiri, berbeda dengan sebagian besar anak sulung yang mengaku pernah (30,3%) dan sering (21,2%) menyendiri dibandingkan berada di tengah orang banyak. Tabel 22 Sebaran jawaban kesadaran sosial No Pertanyaan Sulit bagi saya menerima dan memahami pandangan teman yang berbeda dengan saya* 8,1 49,5 40,4 2,0 2. Saya bersedia menerima suatu kesepakatan rapat bersama teman, walaupun tidak sesuai dengan keinginan saya 3,0 18,2 61,6 17,2 3. Saya senang bisa menjadi tempat curhat teman 0,0 2,0 22,2 75,8 4. Saya dapat menyimpan rahasia teman 1,0 2,0 28,3 68,7 5. Saya suka berteman dengan siapa saja 0,0 1,0 18,2 80,8 6. Saya mempunyai banyak teman 0,0 2,0 29,3 68,7 7. Teman-teman terlihat nyaman bersama saya 0,0 5,1 44,4 50,5 8. Saya dapat berteman dengan siapa saja 0,0 1,0 40,4 58,6 9. Saya biasanya tidak mau mengorbankan kepentingan saya demi orang lain* 8,1 56,6 35,4 0,0 10. Saya seringkali merasa gengsi untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan* 25,3 48,5 23,2 3,0 11. Saya akan merasa senang apabila mempunyai teman baru 0,0 2,0 36,4 61,6 12. Saya lebih suka menyendiri daripada berada di tengah orang banyak* 14,1 38,4 30,3 17,2 13. Saya ingin teman-teman mengikuti keinginan saya* 25,3 41,4 26,3 7,1 14. Saya merasa senang jika melihat kegembiraan orang lain 1,0 1,0 35,4 62,6 15. Saya merasa senang terlibat dalam suatu hubungan sosial 0,0 2,0 46,5 51,5 16. Bersama teman adalah saat-saat yang menyenangkan bagi saya 0,0 4,0 34,3 61,6 17. Bagi saya yang terpenting adalah kenyamanan saya sendiri* 12,1 43,4 31,3 13,1 18. Saya suka melakukan hal-hal yang saya senangi sendiri* 4,0 34,3 45,5 16,2 19. Saya adalah orang yang tidak suka dibantah* 12,1 55,6 24,2 8,1 20. Saya memahami bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda 0,0 1,0 25,3 73,7 Keterangan: 1=tidak pernah, 2=jarang/hampir tidak pernah, 3=pernah, 4=sering *)pertanyaan negatif, skor dibalik Lebih dari separuh responden (51,5%) memiliki kesadaran sosial tinggi. Persentase terbesar responden juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi, baik anak sulung (51,5%) dan anak tengah (63,6%). Lebih dari separuh responden anak bungsu (60,6%) memiliki capaian kesadaran sosial pada kategori cukup. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan capaian kesadaran sosial pada urutan kelahiran (p>0,05).

16 40 Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan capaian kesadaran sosial dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Capaian kesadaran sosial Urutan kelahiran Sulung Tengah Bungsu Rendah (<60%) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cukup (60%-80%) 16 48, , , ,5 Tinggi (>80%) 17 51, , , ,5 Rata-rata skor ± SD 63,9±5,3 64,2±5,6 62,9±4,9 63,7±5,3 p-value 0,548 Fasilitas Sosial Dimensi kedua dari kecerdasan sosial adalah fasilitas sosial. Fasilitas sosial adalah kemampuan yang bertumpu pada kesadaran sosial untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif. Fasilitas sosial meliputi sinkroni, kemampuan berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal; presentasi diri, bagaimana seseorang mempresentasikan diri sendiri secara efektif; pengaruh, yang akan membentuk hasil interaksi sosial; dan kepedulian, kemampuan untuk peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai. Tabel 24 Jawaban sebaran jawaban fasilitas sosial No Pertanyaan Saya bersedia mendengarkan keluh kesah teman 0,0 3,0 26,3 70,7 22 Saya berusaha membantu teman yang sedang mengalami kesulitan 0,0 2,0 33,3 64,6 23 Saya seringkali tidak menyadari ketika teman saya mengalami kesulitan* 3,0 36,4 49,5 11,1 24 Saya senang berada dalam situasi sosial 0,0 5,1 63,6 31,3 25 Saya mampu menyelesaikan perselisihan antar teman dengan adil 1,0 23,2 64,6 11,1 26 Mudah bagi saya untuk memulai suatu pembicaraan dengan orang dewasa 3,0 30,3 44,4 22,2 27 Di lingkungan baru, saya tidak dapat beradaptasi dengan cepat* 16,2 38,4 34,3 11,1 28 Bila teman saya murung, saya segera menanyakannya 0,0 13,1 43,4 43,4 29 Saya mengucapkan permisi ketika saya lewat didepan orang lain 1,0 8,1 32,3 58,6 30 Saya menyapa ketika bertemu dengan orang yang saya kenal di jalan 0,0 4,0 27,3 68,7 31 Saya merasa mudah untuk bekerjasama dengan orang lain 0,0 13,1 57,6 29,3 32 Saya tersenyum ketika bertemu dengan orang yang saya kenal atau orang yang tidak saya kenal 1,0 5,1 45,5 48,5 33 Saya sulit bersikap ramah dengan orang yang baru saya temui* 28,3 39,4 25,3 7,1 34 Saya sering merasa sendiri di tengah kerumunan orang banyak* 16,2 39,4 35,4 9,1 35 Saya berusaha menjaga hubungan baik dengan orang lain 0,0 0,0 25,3 74,7 36 Saya sering mendamaikan teman yang sedang bermusuhan 0,0 22,2 59,6 18,2 37 Saya berupaya memahami orang lain 0,0 1,0 42,4 56,6 38 Saya biasa berbagi makanan dengan teman saya 1,0 2,0 44,4 52,5 39 Ketika teman membutuhkan bantuan, saya siap membantunnya 0,0 1,0 47,5 51,5 40 Saya selalu menjaga perasaan teman 0,0 3,0 40,4 56,6 41 Saya akan sangat merasa bersalah jika menyakiti hati orang lain 0,0 2,0 35,4 62,6 42 Saya termasuk orang yang sulit untuk memulai pembicaraan dengan orang yang baru saya kenal* 14,1 36,4 27,3 22,2 43 Saya adalah orang yang sulit meminta maaf* 30,3 43,4 21,2 5,1 Keterangan: 1=tidak pernah, 2=jarang/hampir tidak pernah, 3=pernah, 4=sering *)pertanyaan negatif, skor dibalik

17 41 Pada Tabel 24 lebih dari separuh responden mengaku sering mendengarkan keluh kesah teman (70,7%), berusaha membantu teman yang sedang mengalami kesulitan (64,6%), menyapa ketika bertemu dengan orang yang dikenal ketika di jalan (68,7%), sangat merasa bersalah jika menyakiti hati orang lain (62,6%), dan mengaku berusaha menjaga hubungan baik dengan orang lain (74,7%). Sebanyak 49,5 persen responden mengaku tidak menyadari ketika temannya mengalami kesulitan. Namun Sebaran item pernyataan berdasarkan urutan kelahiran pada Lampiran 5 menunjukkan anak bungsu (48,5%) jarang untuk tidak menyadari apabila ada teman yang sedang kesulitan. Anak tengah mengaku sering merasa sendiri di tengah kerumunan orang (45,4%). Selebihnya sebaran jawaban berdasarkan urutan kelahiran memiliki angka yang relatif sama. Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan capaian fasilitas sosial dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Urutan kelahiran Capaian fasilitas sosial Sulung Tengah Bungsu Rendah (<60%) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cukup (60%-80%) 15 45, , , ,5 Tinggi (>80%) 18 54, , , ,5 Rata-rata skor ± SD 75,3±6,9 74,3±7,8 70,9±6,4 73,5±7,2 p-value 0,037 Lebih dari separuh (54,5%) responden memiliki capaian fasilitas sosial yang cukup, begitu juga dengan anak bungsu (69,7%), sedangkan pada anak sulung (54,5%) dan anak tengah (51,5%) memiliki fasilitas sosial yang tinggi. Hasil uji lanjut posthoc pada Lampiran 11 menunjukkan bahwa perbedaan secara nyata terlihat pada capaian fasilitas sosial anak sulung lebih tinggi daripada responden anak bungsu. Kecerdasan Sosial Salah satu penelitian Johnson dan Medinnus (1976) dalam Hurlock (1997) yang meneliti tentang urutan kelahiran dapat memengaruhi perkembangan kepribadian serta pola tingkah laku seseorang, sehingga dalam hal ini diperkirakan juga bahwa urutan kelahiran seseorang dalam keluarga ikut mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang khususnya pada remaja.

18 42 Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan capaian kecerdasan sosial dengan urutan kelahiran, rata-rata, dan standar deviasi Urutan kelahiran Kategori kecerdasan sosial Sulung Tengah Bungsu Rendah (<60%) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cukup (60%-80%) 13 39, , , ,6 Tinggi (>80%) 20 60, ,5 8 24, ,4 Rata-rata skor ± SD 139,3±10,8 138,5±12,4 133,9±10,7 137,2±11,5 P-value 0,115 Lebih dari separuh responden memiliki kecerdasan sosial pada kategori cukup (55,6%). Persentase terbesar dari masing-masing urutan kelahiran pun memiliki kecerdasan sosial pada kategori cukup, kecuali pada anak sulung (60,6%) memiliki capaian kecerdasan sosial yang tinggi. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan capaian kecerdasan sosial pada urutan kelahiran antara anak sulung tengah dan bungsu (p>0,05). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecerdasan Sosial Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 5 menunjukkan bahwa urutan kelahiran berhubungan nyata dan positif dengan kecerdasan sosial pada taraf 0,10 dengan koefisien korelasi 0,194. Hal ini menunjukkan bahwa anak sulung memiliki kecerdasan sosial yang lebih tinggi. Hasil lainnya juga menunjukkan bahwa jumlah teman sebaya di kelas (r=0,184, p<0,10), di asrama (r=0,198, p<0,05), dan di tempat lain (r=0,276, p<0,01) berhubungan nyata dan positif dengan kecerdasan sosial. Maka, semakin banyak jumlah teman sebaya di kelas, di asrama, maupun di kelas maka akan semakin tinggi kecerdasan sosial mahasiswi TPB-IPB. Selain itu kualitas hubungan teman sebaya berhubungan nyata dan positif dengan kecerdasan sosial pada taraf 0,10 dengan koefisien korelasi 0,196. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas teman sebaya maka akan semakin tinggi pula kecerdasan sosial responden. Tabel 27 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan sosial Variabel Kecerdasan sosial (r) Urutan kelahiran 0,194 * Jumlah teman sebaya di kelas 0,184 * Jumlah teman sebaya di asrama 0,198 ** Jumlah teman sebaya di tempat lain 0,273 *** Kualitas hubungan teman sebaya 0,196 * Keterangan : *Signifikan pada selang kepercayaan 90% ** Signifikan pada selang kepercayaan 95% *** Signifikan pada selang kepercayaan 99%

19 43 Pembahasan Umum Calhoun dan Acocella (1990) mengungkapkan bahwa setiap manusia dipengaruhi oleh manusia lain. Hasil penelitian menunjukkan kecerdasan sosial berhubungan dengan urutan kelahiran. Hal ini diperkuat dengan pendapat Adler dalam Hjelle dan Ziegler (1992) yang mengemukakan bahwa urutan kelahiran anak dalam keluarga sangat penting dan berpengaruh besar. Meskipun anakanak memiliki orang tua yang sama dan tumbuh dalam keluarga yang memiliki aturan hampir sama, namun mereka tidak memiliki lingkungan sosial yang sama atau identik (Hjelle & Ziegler 1992). Hurlock (1997) mengungkapkan selain kepribadian individu dan pola perilaku, urutan kelahiran juga memengaruhi individu tentang peran yang harus dilakukannya. Anak sulung memiliki karakteristik yang bertanggung jawab lebih daripada adik-adiknya. Oleh karena itu biasanya anak sulung berperilaku secara lebih matang karena berhubungan dengan orang dewasa dan karena tanggung jawab yang dipikulnya (Hurlock 1997). Anak tengah menurut Hurlock (1997) mencari persahabatan dengan teman sebaya di luar rumah yang mengakibatkan penyesuaian sosial yang baik. Sedangkan anak bungsu biasanya lebih populer, tetapi karena kurangnya keinginan untuk memikul tanggung jawab lebih, maka biasanya jarang menjadi pemimpin (Hurlock 1997). Jumlah teman sebaya baik di kelas, di asrama, dan di tempat lain juga berhubungan dengan kecerdasan sosial. Seseorang yang memiliki banyak teman biasanya juga memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghozaly (2011) yang menyebutkan bahwa kelompok teman sebaya memiliki peran yang besar bagi kehidupan di masa yang akan datang. Jumlah teman sebaya yang semakin banyak akan membantu remaja untuk lebih mengasah kecerdasan sosial agar dapat diterima oleh kelompok teman sebayanya. Jumlah teman sebaya di tempat lain yang memiliki hubungan paling kuat dengan kecerdasan sosial daripada jumlah teman sebaya di asrama dan di kelas, karena mahasiswi TPB-IPB masih beradaptasi dengan teman sebayanya di kampus. Lama pertemanan dengan kelompok teman sebaya di tempat lain yang lebih lama menyebabkan mahasiswi masih memiliki keterikatan yang kuat dengan teman sebayanya di tempat lain dibandingkan dengan teman sebaya di asrama dan di kelas walaupun frekuensi pertemuannya lebih sedikit dikarenakan aktivitas di kampus yang menyita cukup banyak waktu. Mahasiswi tetap menjaga

20 44 hubungan baik dengan kelompok teman sebaya di tempat lain dengan memanfaatkan teknologi yang ada untuk mempermudah komunikasi meskipun tidak bertemu secara tatap muka. Jumlah teman sebaya di asrama yang memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kecerdasan sosial dibandingkan jumlah teman sebaya di kelas dapat dilihat dari rata-rata jumlah teman sebaya di asrama yang lebih banyak. Walaupun memiliki lama usia pertemanan yang hampir sama, yaitu 6-12 bulan, tetapi dari sisi frekuensi pertemuan, kelompok teman sebaya di asrama lebih tinggi dibandingkan kelompok teman sebaya di kelas. Kegiatan-kegiatan yang rutin dilaksanakan di asrama secara tidak langsung membangun kebersamaan serta dapat memperluas jaringan dengan teman-teman yang ada di asrama. Interaksi yang dilakukan dengan teman sebaya di asrama pun lebih berkualitas dibandingkan kelompok teman sebaya di kelas. Asrama dapat dikatakan sebagai rumah kedua bagi mahasiswi, karena sebagian besar mahasiswi berasal dari luar Jabodetabek dan mereka tinggal, beraktivitas serta menghabiskan sebagian besar waktunya di asrama (di luar perkuliahan dan organisasi). Jumlah teman sebaya di kelas memiliki hubungan dengan kecerdasan sosial yang tidak begitu erat jika dibandingkan dengan teman sebaya di tempat lain dan di asrama. Hal ini dikarenakan kegiatan-kegiatan di kelas tidak banyak yang menimbulkan interaksi. Interaksi yang timbul lebih banyak berkenaan dengan tugas-tugas kuliah dan kerja kelompok. Frekuensi pertemuan pun lebih sedikit dibandingkan dengan teman di asrama. Kualitas teman sebaya berhubungan dengan kecerdasan sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian Ghozaly (2011) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara kualitas hubungan teman sebaya dengan kecerdasan sosial. Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyebutkan remaja lanjut mulai mengembangkan kemampuan hubungan sosialnya baik dengan teman sebaya maupun dengan orang lain yang berbeda tingkat kematangan sosialnya. Pada masa remaja berkembang sifat conformity yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti pendapat, opini, nilai, kebiasaan, dan kegemaran kelompok teman sebaya. Hal ini akan berdampak besar bagi kepribadian remaja apabila kelompok teman sebaya yang diikutinya menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan (Yusuf 2011). Cronbach dalam Gunarsa dan Gunarsa (2003) menyebutkan bahwa remaja akan berusaha untuk mencapai sifat-sifat kelompok tersebut sehingga timbul

21 45 perasaan menjadi bagian dari kelompok. Remaja yang ditolak oleh teman sebaya cenderung memiliki masalah penyesuaian diri terbesar (Papalia et al. 2008). Hurlock (1997) berpendapat apabila remaja mendapatkan dukungan dari kelompok teman sebaya, maka akan memperluas kesempatan remaja untuk mempelajari pola perilaku sosial yang lebih matang. Hasil penelitan menunjukkan mahasiswi menjadi lebih ekspresif dan bisa menjadi lebih mandiri sejak memiliki kelompok teman sebaya, dan kelompok teman sebaya mendukung prestasi akademik. Mahasiswi juga menjadi lebih toleran terhadap pendapat yang berbeda dan mau berteman dengan siapa saja tanpa memandang suku, ras, agama, status ekonomi, dan lain-lain. Papalia et al.(2008) menyebutkan bahwa pertemanan dengan teman sebaya pada remaja menjadi lebih resiprokal. Pertemanan yang baik akan memicu penyesuaian sosial yang pada gilirannya akan mendorong pertemanan yang baik. Kepercayaan terhadap teman membantu remaja untuk mengenal identitas diri. Lingkungan pertemanan memberikan tempat untuk mengemukakan pendapat, pengakuan kelemahan, dan mendapatkan bantuan dari masalah. Strategi koping tidak berhubungan dengan kecerdasan sosial. Smet (1994) mengungkapkan bahwa tidak ada satupun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi koping yang paling berhasil. Strategi koping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi. Mencari keberhasilan koping yang paling baik lebih rumit daripada menggabungkan strategi koping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stres. Strategi koping yang rata-rata diterapkan oleh mahasiswi adalah bersyukur dengan apa dimiliki dan berdoa kepada Tuhan ketika sedang dilanda stress. Menurut Hurlock (1997) remaja memiliki beberapa minat seperti minat sosial, minat rekreasi, minat pada agama, dan lain-lain. Minat-minat ini merupakan bagian strategi koping mahasiswi ketika menghadapi permasalahan, seperti melakukan kegiatan yang menyenangkan dengan teman dan lebih memilih pergi berjalan-jalan bersama teman untuk membantu menghadapi masalah. Strategi koping berbeda nyata dengan urutan kelahiran, dimana strategi koping anak sulung lebih baik daripada strategi koping anak tengah. Hal ini dapat disebabkan oleh besar keluarga anak tengah yang lebih besar daripada anak sulung maupun bungsu. Menurut Hurlock (1990) semakin besar jumlah keluarga maka akan semakin kompleks pula sistem interaksi didalamnya. Pembagian

22 46 sumberdaya dan perhatian orang tua pada keluarga besar, keluarga sedang, ataupun keluarga kecil tentu berbeda. Keluarga besar dengan anggota keluarga yang banyak memiliki pembagian yang lebih kecil daripada keluarga kecil dengan asumsi kedua keluarga tersebut memiliki sumberdaya yang sama. Dari item pertanyaan dapat dilihat bahwa sebagian besar mahasiswi membangun kedekatan hubungan dengan keluarga dan teman untuk membantu dalam menghadapi stres. Maka anak sulung dan bungsu dengan rata-rata jumlah keluarga lebih kecil memiliki strategi koping yang lebih baik daripada anak tengah dengan rata-rata jumlah keluarga yang lebih besar karena sumberdaya yang dimiliki anak sulung lebih tinggi dibandingkan anak tengah. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini tidak membatasi karakteristik pengelompokkan sosial remaja yang diukur. 2. Penelitian ini tidak mengukur tingkat stress dan penyebab stress secara spesifik.

TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Sosial

TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Sosial TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Sosial Salah satu tugas perkembangan remaja adalah penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi menuju kedewasaan, remaja harus membuat penyesuaian baru.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. = = 95,34 ~ 96 orang

METODE PENELITIAN. = = 95,34 ~ 96 orang METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain crosssectional karena data dikumpulkan dan diteliti pada satu waktu dan tidak berkelanjutan. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMK Negeri contoh terletak di Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 Juni 1980 dengan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 29 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Asrama Putra dan Putri Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di daerah Dramaga, Bogor. Asrama Putra terdiri dari 4 gedung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 35 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Sekolah Ragunan adalah satu dari lima sekolah khusus atlet di Indonesia yang didirikan pada tanggal 15 Januari 1977. Sekolah Ragunan ini sebenarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini berjudul Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Disain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory (A-2) Skala Penerimaan Teman Sebaya (A-3) Skala Komunikasi Orangtua-Anak

LAMPIRAN A. Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory (A-2) Skala Penerimaan Teman Sebaya (A-3) Skala Komunikasi Orangtua-Anak LAMPIRAN A Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory (A-2) Skala Penerimaan Teman Sebaya (A-3) Skala Komunikasi Orangtua-Anak LAMPIRAN A Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory No : Usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia diciptakan pastilah memiliki sebuah keluarga, baik keluarga kecil maupun keluarga besar dan keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang mana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Remaja 1. Pengertian Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu dari kata adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Secara psikologis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Kerangka pengambilan contoh penelitian. Purposive. Proporsional random sampling. Mahasiswa TPB-IPB 2011/2012 (N=3494)

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Kerangka pengambilan contoh penelitian. Purposive. Proporsional random sampling. Mahasiswa TPB-IPB 2011/2012 (N=3494) 19 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional karena pengumpulan data hanya dilakukan pada satu waktu dan tidak berkelanjutan, serta retrospektif karena

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu dengan masalah, dan tanpa disadari pula berulang kali individu menemukan jalan keluar

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Ketiga subjek merupakan pasangan yang menikah remaja. Subjek 1 menikah pada usia 19 tahun dan 18 tahun. Subjek 2 dan 3 menikah di usia 21 tahun dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 9 Mei sampai 28 Mei 2014 di SDIT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 9 Mei sampai 28 Mei 2014 di SDIT 61 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 9 Mei sampai 8 Mei 014 di SDIT IQRA 1 Kota Bengkulu pada siswa kelas IV dan V yang berjumlah 58 siswa.

Lebih terperinci

BAB III KONDISI PSIKIS DAN BEHAVIORAL REMAJA SULUNG DENGAN STATUS SEBAGAI ANAK SULUNG DALAM KELUARGA

BAB III KONDISI PSIKIS DAN BEHAVIORAL REMAJA SULUNG DENGAN STATUS SEBAGAI ANAK SULUNG DALAM KELUARGA BAB III KONDISI PSIKIS DAN BEHAVIORAL REMAJA SULUNG DENGAN STATUS SEBAGAI ANAK SULUNG DALAM KELUARGA A. Gambaran Subjek Penelitian 1. Responden DW DW merupakan anak perempuan sulung yang lahir di Jawa

Lebih terperinci

HUBUNGAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA, STRATEGI KOPING, DAN URUTAN KELAHIRAN DENGAN KECERDASAN SOSIAL PADA MAHASISWI TPB-IPB AMANIA FARAH

HUBUNGAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA, STRATEGI KOPING, DAN URUTAN KELAHIRAN DENGAN KECERDASAN SOSIAL PADA MAHASISWI TPB-IPB AMANIA FARAH HUBUNGAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA, STRATEGI KOPING, DAN URUTAN KELAHIRAN DENGAN KECERDASAN SOSIAL PADA MAHASISWI TPB-IPB AMANIA FARAH DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas X. Hal ini terlihat dari jumlah pendaftar yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, yang diistilahkan dengan adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merantau merupakan salah satu fenomena sosial yang memiliki dampak luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong seseorang untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja (adolescense) adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada populasi atau sampel yang diambil adalah

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada populasi atau sampel yang diambil adalah 38 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada populasi atau sampel yang diambil adalah seluruh subjek yang menjadi anggota populasi, oleh karena itu metode analisis yang digunakan adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Masih banyak sekolah yang menerapkan betapa pentingnya kecerdasan IQ (Intelligence Question) sebagai standar dalam kegiatan belajar mengajar. Biasanya, kegiatan belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat meningkatkan kapasitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Pada masa ini, individu

Lebih terperinci

Lampiran 1 SURAT PERMOHONAN SURVEI PENDAHULUAN

Lampiran 1 SURAT PERMOHONAN SURVEI PENDAHULUAN Lampiran SURAT PERMOHONAN SURVEI PENDAHULUAN Lampiran a SURAT IJIN PENELITIAN Lampiran b SURAT IJIN PENELITIAN Lampiran SURAT KETERANGAN PENELITIAN Lampiran LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Saya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN 134 135 LAMPIRAN A OBSERVASI DAN WAWANCARA 136 PEDOMAN OBSERVASI i. Kesan Umum : Kondisi Fisik dan Penampilan Subyek ii. Perilaku yang cenderung ditampilkan iii. Kegiatan Sehari-hari iv. Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hidup manusia dialami dalam berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu keluarga kehadiran anak adalah kebahagiaan tersendiri bagi orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah amanah, titipan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial, para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang pada umumnya tahap perkembangannya berada dalam kategori remaja pertengahan 15-18 tahun (Monks,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Simpulan Umum Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa pola interaksi keluarga pada pasangan suami istri yang bertempat

Lebih terperinci

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA Skripsi Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : Agung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perkembangan manusia, masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan dimana seorang individu mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu. Pemillihan tempat dilakukan dengan cara pupossive, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1950 di Indonesia adalah Gereja Kristen Indonesia atau yang biasa disebut GKI. GKI adalah sekelompok gereja

Lebih terperinci

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Masalah. B. Jenis-Jenis Masalah Siswa Sekolah Lanjutan

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Masalah. B. Jenis-Jenis Masalah Siswa Sekolah Lanjutan A. Pengertian dan Ciri-Ciri Masalah Dalam perkembangan dan proses kehidupannya, manusia sangat mungkin sangat mungkin menemui berbagai permasalahan, masalah yang tidak segera dipecahkan atau diselesaikan

Lebih terperinci

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS Kim dan Gudykunts (1997) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah bentuk komunikasi yang dapat mengurangi rasa cemas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy DATA PRIBADI Nama ( inisial ) : Jenis Kelamin : Usia : Fakultas : Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta 44 KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas LAMPIRAN I KATA PENGANTAR KUESIONER Dengan hormat, Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, maka tugas yang harus dilaksanakan adalah mengadakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kesuksesan (keberhasilan, keberuntungan) yang berasal dari dasar kata sukses yang berarti berhasil, beruntung (Kamus Bahasa Indonesia,1998), seringkali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perguruan tinggi saat ini menjadi incaran para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di Indonesia menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

o Ketika hasil pekerjaan saya yang saya harapkan tidak tercapai, saya malas untuk berusaha lebih keras lagi

o Ketika hasil pekerjaan saya yang saya harapkan tidak tercapai, saya malas untuk berusaha lebih keras lagi Skala 1 Skala Kecerdasan Emosional 1. UNFAVORABLE Kesadaran Diri o Saya merasa tidak mengerti perasaan saya sendiri o Saya kurang tahu penyebab kekecewaan yang saya rasakan o Saya malas bergaul dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara psikologis perubahan merupakan situasi yang paling sulit untuk diatasi oleh seseorang, dan ini merupakan ciri khas yang menandai awal masa remaja. Dalam perubahannya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Panti sosial asuhan anak menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2004:4) adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak pernah lepas dari kehidupan emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang dikatakan

Lebih terperinci

Orang Tuamu T. nakmu, Tet. Ajaran dan Nasihat Tuhan.

Orang Tuamu T. nakmu, Tet. Ajaran dan Nasihat Tuhan. Hai nak-anak Anak, Taatilah Orang Tuamu T di Dalam Tuhan, Karen arena Haruslah Demikian. Hormatilah Ayahmu dan Ibumu ini Adalah Suatu Perintah yang Penting, Seperti yang Nyata dari Janji ini: Supaya Kamu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya selalu dihadapkan dengan berbagai macam masalah dan persaingan yang tidak kunjung habis. Masalah tersebut umumnya tidak menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai dari gempa bumi berkekuatan 8.9 SR diikuti tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 silam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Keluarga

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN LAMPIRAN KUESIONER KEMANDIRIAN Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan dengan berbagai kemungkinan jawaban. Saudara diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang tersedia sesuai dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa, pada dasarnya sebagai generasi penerus. Mereka diharapkan sebagai subyek atau pelaku didalam pergerakan pembaharuan. Sebagai bagian dari masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran dan fungsi ibu dalam kehidupan seorang anak sangat besar. Anak akan lebih merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu yang di percaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu yang di percaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu yang di percaya oleh masyarakat maupun pemerintahan Indonesia. Indonesia mewajibkan anak-anak bangsanya untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan secara luas dapat diinterpretasikan sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian menjadikannya sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan

Lebih terperinci