BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perguruan tinggi saat ini menjadi incaran para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di Indonesia menjadikan banyaknya kesempatan untuk mencari ilmu dalam jenjang yang lebih tinggi. Perguruan tinggi yang hampir selalu terdapat di setiap kota adalah perguruan tinggi swasta (PTS), sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) baru sebatas ada di beberapa kota saja padahal sasaran utama siswa baru dalam memilih perguruan tinggi adalah PTN. Menurut data yang diambil dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terdata sebanyak perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Sebanyak atau 91,4% merupakan perguruan tinggi swasta, sedangkan jumlah PTN hanya 368 atau 8,6% dari keseluruhan jumlah perguruan tinggi di Indonesia. Data tersebut memberikan pengertian bahwa, PTN tidak selalu ada di setiap kota, sehingga para calon mahasiswa nantinya banyak yang akan menjadi perantau. Selain itu, sasaran wilayah perguruan tinggi yang biasanya diminati oleh calon mahasiswa baru adalah pulau Jawa karena banyak orang beranggapan bahwa, kualitas pendidikan di pulau Jawa lebih baik daripada di luar pulau Jawa (Niam, 2009). Perguruan tinggi di wilayah Jawa Tengah salah satunya Universitas Sebelas Maret Surakarta, merupakan perguruan tinggi negeri yang menjadi pilihan calon mahasiswa baru. Universitas Sebelas Maret (UNS) membuka awal tahun 1

2 dengan menempati peringkat 6 universitas terbaik di Indonesia versi webometrics dari ranking web of universities. Hal tersebut membuat banyak calon mahasiswa baru yang berlomba untuk memasuki jurusan kuliah yang mereka minati di UNS. Mahasiswa baru yang memasuki Universitas Sebelas Maret tidak hanya berasal dari pulau Jawa melainkan juga berasal dari luar pulau Jawa. Jumlah mahasiswa dari luar Jawa yang berkuliah di UNS selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 2012 terdapat 201 mahasiswa dari luar Jawa, tahun 2013 meningkat menjadi 217 mahasiswa, dan pada tahun 2014 terdapat 232 mahasiswa. Mahasiswa baru biasanya berusia sekitar 18 sampai 19 tahun atau berada pada taraf masa perkembangan remaja akhir. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012), secara global masa perkembangan remaja berada pada usia 12 sampai 21 tahun yang dibagi menjadi; masa remaja awal di usia 12 sampai 15 tahun; masa remaja tengah di usia 15 sampai 18 tahun, dan; masa remaja akhir di usia 18 sampai 21 tahun. Memasuki taraf perkembangan remaja akhir, individu sedang dalam tahap yang lebih selektif dalam mencari teman (Hurlock, 1980). Banyak individu di usia remaja yang mulai keluar dari lingkungan keluarga dan mengharuskan individu untuk melakukan hubungan sosial lebih intens dengan lingkungan barunya. Alasan yang membuat banyak remaja keluar dari lingkungan keluarganya adalah merantau untuk menimba ilmu menjadi mahasiswa ataupun bekerja. Keputusan untuk menjadi mahasiswa rantau biasanya didasari dengan rasa ingin memperoleh fasilitas yang lebih memadahi. Hal tersebut menjadikan banyak

3 3 mahasiswa melanjutkan pendidikan di luar kota tempat tinggalnya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas (Irene, 2013). Arti kata perantau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seseorang yang pergi ke daerah lain untuk mencari penghidupan maupun ilmu. Menjadi mahasiswa rantau adalah sebuah tantangan besar bagi seseorang. Berkuliah di suatu universitas yang berada di luar kota dan jauh rumah, membuat seseorang mau tak mau harus menerima status barunya sebagai mahasiswa rantau. Merantau merupakan salah satu bentuk dari kemandirian seseorang, namun salah satu kendala yang dialami oleh perantau adalah kemampuannya untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi tuntutan di tempat perantauannya. Pada tahun pertama menjadi mahasiswa baru, peralihan dari posisi sebagai siswa senior di sekolah menengah atas menjadi mahasiswa tingkat satu di perguruan tinggi menimbulkan adanya top-dog phenomenon, kondisi perubahan dari siswa tertua menjadi siswa termuda atau terlemah (Santrock, 2007). Mahasiswa rantau yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini biasanya tinggal di kos, kontrakan, atau asrama. Mahasiswa rantau harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, mengatur segalanya secara mandiri, serta menghadapi kebudayaan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Mahasiswa rantau akan lebih sering berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya karena pada dasarnya manusia dalam hidupnya akan selalu bersama dan bergantung dengan orang lain dengan kata lain manusia akan saling membutuhkan satu sama lainnya (Sunaryo, 2002). Adaptasi dengan lingkungan yang baru tentu saja membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Perpisahan dengan orang-orang terdekat di rumah membuat

4 4 mahasiswa baru merasakan kurang adanya kedekatan dan kasih sayang yang biasanya diterima dari keluarga. Tidak adanya figur kasih sayang tersebut dapat menimbulkan rasa keterasingan atau alienasi karena kebutuhan kasih sayang yang seharusnya diterima oleh individu tersebut tidak terpenuhi (Weiss, dalam Sears, 1988). Alienasi atau keterasingan merupakan sebuah keadaan individu yang menarik diri atau mengasingkan diri dari kelompok atau masyarakat. Hurlock (1980) menyatakan bahwa, individu yang terkena alienasi akan merasa tidak nyaman dengan standar kelompok secara fisik. Alienasi merupakan satu kondisi pada remaja yang mana pada masa ini, remaja mempunyai nilai baru dalam menerima anggota kelompok pertemanan (Hurlock, 1980). Lebih jauh lagi, Hurlock menjelaskan bahwa, individu yang mengalami alienasi juga biasanya memiliki kepribadian yang egois, keras kepala, pemurung, dan gelisah. Alienasi atau keterasingan yang dirasakan di dunia perkuliahan bagi anak rantau salah satunya adalah kurang mampunya individu untuk membaur dengan teman sekelompoknya sehingga seringkali menyendiri. Budaya yang berbeda dari tempat asalnya juga seringkali membuat mahasiswa merasa kesulitan untuk bergaul dengan lingkungannya. Peneliti sempat menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka mengenai masalah beradaptasi kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2014 dan 2015 yang berasal dari luar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Responden yang didapat dari studi pendahuluan tersebut berjumlah 34. Peneliti memberikan tiga pertanyaan dengan menanyakan mengenai pendapat responden tentang kesulitan selama merantau di

5 5 kota Solo, mampu atau tidaknya responden beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dan perbandingan keadaan di Solo dengan tempat asalnya. Hasil yang didapatkan yaitu kebanyakan mahasiswa merasa sulit memahami bahasa Jawa yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari sehingga individu merasa tidak dianggap. Perbedaan intonasi dalam berbicara juga seringkali membuat mahasiswa merasa dirinya terancam dan menjauh dari kelompok pertemanan. Beberapa responden mengungkapkan adanya kesulitan yang dialami saat merantau di Solo, berikut kutipan jawaban dari beberapa responden: Kebudayaan di Solo, orangnya sangat halus. Terkadang, ketika mereka berbicara, saya tidak terlalu jelas mendengarkan karena mereka berbicara dengan sangat pelan dan halus, seperti berbisik jadinya. Lalu menurut saya, disini teman-teman saya terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil berbeda dengan Jakarta yang tidak terlalu mempermasalahkannya. Lalu selanjutnya, saya harus menyapa ibu-ibu atau bapak-bapak strangers yang saya tidak kenal di Solo ini. Jawaban lain dari responden, yakni: Kebanyakan teman-teman saya berbicara dengan bahasa Jawa, saya merasa seperti tidak dianggap, dan menurut saya itu hal yang sangat tidak sopan, karena mereka bisa berbicara bahasa Indonesia, mengapa tidak bicara bahasa Indonesia saja? Rasa keterasingan bisa memberikan dampak berupa kurangnya komunikasi dan interaksi yang terjalin dalam lingkungannya. Kurangnya interaksi yang disebabkan karena rasa terasing tersebut juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya rasa percaya diri yang ada dalam diri individu. Tidak semua ketakutan berkomunikasi disebabkan kurangnya percaya diri, akan tetapi di antara berbagai

6 6 faktor yang ada, percaya diri merupakan faktor yang paling menentukan, dan percaya diri seseorang sangat erat berkaitan dengan konsep diri seseorang (Rakhmat, 2011). Chaplin (2005) mendefinisikan konsep diri (self concept) sebagai evaluasi individu mengenai diri sendiri. Konsep diri juga diartikan sebagai penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Penilaian mengenai konsep diri secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif (Calhoun dan Acocella, 1990). Ciri individu yang memiliki konsep diri positif salah satunya adalah mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri negatif adalah tidak mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2011). Rakhmat menjelaskan lebih lanjut bahwa, individu yang memiliki konsep diri yang baik dapat membuat dirinya memiliki gambaran dan kepercayaan diri yang baik sehingga mampu untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Konsep diri yang positif membuat orang akan memiliki penerimaan diri yang baik sehingga mampu menempatkan dirinya dalam lingkungan sosial (Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocella, 1990). Konsep diri yang baik tersebut akan mengurangi rasa keterasingan pada individu yang dituntut untuk merantau atau jauh dari orang tua. Calhoun dan Acocella (1990) menjelaskan, individu yang merasa dirinya terasing akan memiliki pemikiran negatif mengenai dirinya. Individu akan merasa orang lain tidak menerima dirinya, merasa dirinya tidak dibutuhkan dalam lingkungannya, akan tetapi bagi individu yang memiliki konsep diri yang positif mengenai dirinya, maka pemikiran negatif terhadap dirinya dapat dikelola dengan

7 7 baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009) telah membuktikan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan alienasi. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa, semakin positif konsep diri yang dimiliki oleh individu maka akan semakin rendah individu mengalami alienasi. Hasil penelitian tersebut menguatkan asumsi bahwa, mahasiswa yang memiliki konsep diri positif akan dapat menghindarkan dirinya dari rasa keterasingan dibandingkan dengan mahasiswa yang belum cukup memiliki konsep diri positif. Konsep diri yang dimiliki oleh individu bukan merupakan faktor bawaan melainkan terbentuk melalui pengalaman individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Stuart (2007) mengatakan bahwa, konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, akan tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realita. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Hurlock (1980) mengatakan bahwa, hubungan keluarga akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian yaitu konsep dirinya. Meskipun individu juga mendapatkan pengaruh dari lingkungan sosialnya, namun kualitas hubungan dalam keluarga di rumah berperan dalam pembentukan konsep diri. Individu memulai interaksi untuk pertama kalinya yaitu di dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi seorang anak. Pola asuh yang diterapkan di rumah akan memberikan banyak

8 8 pengaruh bagi perkembangan individu selanjutnya. Penelitian mengenai konsep diri dengan pola asuh orangtua telah dilakukan oleh Safa ah (2009) dengan hasil adanya hubungan pola asuh orang tua dengan konsep diri pada remaja. Pola asuh orang tua yang diterapkan dengan benar maka akan membantu individu menerapkan konsep diri dengan benar. Hal tersebut memberi pengertian bahwa, perbedaan pola asuh orang tua akan mempengaruhi timbulnya konsep diri yang berbeda pada individu. Pengasuhan yang baik dari orangtua seperti misalnya kehangatan, kerjasama, dan solidaritas berkaitan erat dengan perilaku remaja ketika menjalin relasi dengan kawan sebaya (Santrock, 2007). Remaja akan berperilaku terhadap lingkungan masyarakat sesuai dengan teladan yang didapat dari orangtua. Pola asuh yang kurang sesuai dari orangtua akan menimbulkan terbentuknya konsep diri negatif bagi remaja, dan sebaliknya pola asuh yang memberikan kenyamanan serta adanya timbal balik antara orang tua dengan anak akan membentuk konsep diri yang positif. Wati (2013) telah melakukan penelitian terhadap remaja kelas VIII sekolah menengah pertama dan hasilnya terdapat pengaruh dari pola asuh orangtua yang menimbulkan konsep diri yang berbeda pada remaja yaitu pola asuh otoritarian dan permisif cenderung membentuk konsep diri negatif, sedangkan pola asuh otoritatif cenderung membentuk konsep diri positif. Oleh karena itu, pola asuh akan menjadi salah satu faktor penentu terbentuknya alienasi karena pola asuh merupakan hal yang membentuk konsep diri pada remaja, mengingat interaksi pertama yang diterima oleh remaja adalah keluarga. Terbentuknya konsep diri ini akan mempengaruhi remaja dalam

9 9 mempersepsikan siapa dirinya dan akan memberikan pengaruh dalam interaksi sosialnya. Remaja yang memiliki konsep diri negatif akan memberikan pengaruh pada lingkungan sosialnya berupa perasaan terasing dan tidak berdaya dalam menghadapi lingkungannya. Hal tersebut mengasumsikan bahwa, pola asuh orangtua akan membentuk konsep diri remaja yang akan mempengaruhi rasa keterasingan remaja dalam lingkungan sosial. Berdasarkan fenomena di atas dan penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Konsep Diri sebagai Variabel Mediator dalam Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Alienasi pada Mahasiswa Strata-1 Angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas adalah: 1. Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan alienasi pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dimediatori oleh konsep diri? 2. Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan alienasi pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta? 3. Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan konsep diri pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta?

10 10 4. Apakah terdapat hubungan antara konsep diri dengan alienasi pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Tujuan Umum: Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan alienasi pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan konsep diri sebagai variabel mediator. 2. Tujuan Khusus: a. Mengetahui hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Alienasi pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta b. Mengetahui hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Konsep Diri pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta c. Mengetahui hubungan antara Konsep Diri dengan Alienasi pada mahasiswa strata-1 angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

11 11 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis : Apabila penelitian ini berhasil, akan memberikan manfaat secara teoritis sebagai berikut: a. Memberikan sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang psikologi sosial-perkembangan b. Memberi informasi bagi remaja dan orangtua mengenai pentingnya pola asuh orangtua yang sesuai dengan kebutuhan sebagai salah satu pembentuk konsep diri yang positif dalam upaya mengurangi kecenderungan alienasi pada remaja. 2. Manfaat praktis : Apabila penelitian ini berhasil, akan memberikan manfaat secara praktis sebagai berikut: a. Bagi remaja khususnya mahasiswa, dapat memberikan gambaran yang jelas bagi diri sendiri mengenai hubungan antara pola asuh orangtua dengan alienasi pada remaja yang dimediatori oleh konsep diri, sehingga informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perilakunya sehari-hari. b. Bagi orang tua, dapat memberikan contoh mengenai pola asuh orangtua yang sesuai dengan perkembangan anak sehingga mampu membentuk konsep diri yang baik guna mengurangi kecenderungan alienasi pada remaja.

12 12 c. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya, khususnya mengenai konsep diri sebagai variabel mediator dalam hubungan antara pola asuh dengan alienasi pada mahasiswa dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya.