PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA"

Transkripsi

1 i PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ii ABSTRACT ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI. Trend of Malnutrition in Relation with the Food and Nutrition Security Policy and Program in Indonesia. Under supervision of DRAJAT MARTIANTO and YEKTI HARTATI EFFENDI. Malnutrition, especially severe underweight among under-five years old children is a complex issue in the sense influenced by various aspects, as explained in the framework of UNICEF (1998). The study was aimed to examine development of malnutrition among under-five years old children in Indonesia and associate it with the development of food security policy and nutrition improvement program. A descriptive study designed was implemented and a set of secondary data was used in the study. Data gathering was conducted at corresponding institutions. Data was analyzed using Microsoft Excell 2007 for Windows and Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) 16.0 version. The result showed that the the prevalence of malnutrition has decreased from 37.5% in 1989 to 17.9% in Policies and programmes for food security and nutrition improvement have been developed over 35 years of the period of Repelita III, IV Repelita V Repelita VI Repelita, Propenas, RPJMN , RPJMN , and RANPG During Repelita III ( ), the goal is to achieve self-sufficiency and Repelita VI, food self-sufficiency achieved in In the period Repelita VI ( ), the target prevalence of PEM (Protein Energy Malnutrition) under-five years old children 30%, and has been reached at the end of Repelita VI 20.7%. In the period Propenas ( ), the target prevalence of malnutrition children 20%, but at the end Propenas this target was not achieved because of the prevalence 27.5%. In RPJMN period ( ) the prevalence of malnutrition among under-five years old children target is 20% and has been reached at 17.9% by the year Compared with the MDGs by 2015, at 18.5%, the target was exceeded. Trend of present malrition problem are stunting and overweight among under-five years old children. Keywords : Protein Energy Malnutrition, Under Five Years Old Children, Food Security Policy, Nutrition Improvement Program.

3 iii RINGKASAN ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI. Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan YEKTI HARTATI EFFENDI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan masalah gizi kurang kaitannya dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Tujuan khususnya yaitu mempelajari: (1) perkembangan masalah gizi kurang di Indonesia, (2) kebijakan dan program pemerintah dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia, (3) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial (tingkat kemiskinan, PDB/kapita, dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas), (4) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan (proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak), (5) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar (jumlah posyandu dan cakupan imunisasi lengkap), (6) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan dan (7) tren masalah gizi terkini dan kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, terdiri dari status gizi balita di Indonesia, akses air minum layak, akses sanitasi layak, cakupan imunisasi lengkap, jumlah posyandu, tingkat kemiskinan di Indonesia, rata-rata lama sekolah penduduk, dokumen kebijakan dan program ketahanan pangan dan gizi (Repelita, Propenas, RPJMN, RANPG) di Indonesia selama tiga puluh lima tahun terakhir ( ). Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi Pengolahan data status gizi balita dilakukan yakni dengan cara analisis tren terhadap variabel yang diteliti antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir yaitu, tingkat kemiskinan, PDB/kapita, rata-rata lama sekolah penduduk, akses air minum layak, akses sanitasi layak, jumlah posyandu, cakupan imunisasi lengkap, dan alokasi anggaran perbaikan gizi. Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dilakukan secara deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Penggunaan analisis isi untuk memilah program/kegiatan dan indikator-indikator apa saja yang dijadikan arah kebijakan pada periode Repelita III-VI, Propenas , RPJMN , RPJMN dan RANPG Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama tiga puluh tahun lima terakhir ( ). Berdasarkan data trend perkembangan gizi kurang, terjadi kecenderungan penurunan prevalensi gizi kurang (gizi buruk dan gizi kurang) pada anak balita dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 17.9% pada tahun Prevalensi gizi buruk tertinggi terdapat pada tahun 1995, yaitu sebesar 11.6%

4 iv atau sebanyak 2.4 juta jiwa balita menderita gizi buruk dari 21.5 juta balita. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III sampai RPJMN berpengaruh terhadap perkembangan masalah gizi kurang pada balita. Penguatan produksi pangan terjadi selama periode Repelita III sampai Repelita IV dengan tercapainya swasembada pangan pada periode Repelita IV. Pada periode Repelita V sampai RepelitaVI kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai banyak diarahkan pada distribusi dan konsumsi pangan. Selanjutnya pada periode Propenas , kebijakan ketahanan pangan dan gizi berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Sedangkan pada periode RPJMN , pemerintah mempromosikan Revitalisasi Pertanian dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping beras. Sedangkan kebijakan dan program perbaikan pada periode ini terlihat semakin kabur karena pemerintah lebih mengakomodir hal-hal yang bersifat makro, seperti ketersediaan pangan, dll. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan tingkat kemiskinan, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan PDB/kapita, dan tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan dasar menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan dengan jumlah posyandu dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan anggaran perbaikan gizi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan jumlah anggaran perbaikan gizi per balita. Selain gizi kurang, beberapa permasalahan gizi lain yang saat ini mulai bermunculan adalah adanya balita yang pendek/stunting dan masalah gizi lebih. Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi dalam RPJMN yang didukung oleh RANPG menunjukkan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk mengatasi masalah gizi terkini seperti stunting yang masih dijumpai pada anak balita, namun pemerintah belum menetapkan suatu target untuk menangani masalah gizi lain seperti masalah gizi lebih yang mulai banyak terjadi pada anak balita maupun pada penduduk usia 15 tahun ke atas.

5 v PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 vi LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NIM : Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia : Anak Agung Ayu Widi Utari : I Dosen Pembimbing I Disetujui : Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Drajat Martianto, M. Si NIP dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked NIP Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP Tanggal Disetujui :

7 vii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya yang melimpah sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Perkembangan Masalah KEP (Kurang Energi Protein) di Indonesia Kaitannya dengan Kebijakan dan Program di Bidang Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk mencapai gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, dengan sabar memberikan masukan, saran, kritikan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembing akademik dan dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, dengan sabar memberikan masukan, saran, kritikan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas segala saran dan masukkan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Budi dari Badan Pusat Statistik yang telah membantu penulis untuk memperoleh data indikator pendidikan yang mendukung penyelesaian skripsi. 5. Bapak Lucky dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang telah membantu penulis untuk memperoleh data anggaran pembangunan yang mendukung penyelesaian skripsi. 6. Ibu Suparmi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang telah membantu penulis untuk memperoleh data status gizi yang mendukung penyelesaian skripsi. 7. Kedua orang tua dan keluarga besar Puri Kanginan yang senantiasa memberi dukungan, dorongan, serta semangat kepada penulis. 8. Teman seperjuangan penulis: Devi Sandy Ambarpratiwi, Nesyi Febi Oktarina Putri, dan Elfrida Yuliansari yang telah bekerja sama dalam penelitian.

8 viii 9. Teman kosan Tilotama: Sukma, Gek Iwik, Renny, Puspita, Ika, Dian, dan Santi yang selalu mendukung dan membantu penulis. Terimakasih untuk kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasamanya. 10. Sahabat-sahabat Gizi Masyarakat 44 (Linda, Riri, Stefani, Riza, Melda, Mayang, Devi Nur, Siha, Fatma, Upil, Atika Primadala, Syifa Aulia, Imam, Anti Kitty, Saskie dan semua yang tidak dapat disebutkan satu per satu), teman-teman KKP Desa Cinagara (Chacha, Novi, Bocad, Adji, dan Gian), juga teman Internship Dietetik RS Kanker Dharmais (Sisil, Chacha, Eka, Merita) terimakasih untuk kerjasama dan kebersamaannya. 11. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU, teman-teman angkatan 42, 43 (Mba Chika, Mba Indah, Ka Guntari), 45, 46 atas segala bantuannya. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih memerlukan saran dan kritik untuk perbaikan dari berbagai pihak. Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat yang nyata dalam perbaikan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi Kurang Energi Protein di Indonesia. Bogor, Oktober 2011 Anak Agung Ayu Widi Utari

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Anak Agung Ayu Widi Utari dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Agung dan Ibu Ketut. Sejak kecil penulis tinggal di Depok. Penulis menamatkan pendidikan di SD Katolik Maria Cimanggis, Kota Depok tahun 2001, SLTP Katolik Maria Cimanggis, Kota Depok pada tahun 2004, dan SMAN 3 Depok pada tahun Penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi menjadi mahasiswa IPB pada tahun 2007 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), selanjutnya diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan program Mayor Ilmu Gizi pada tahun Selama kuliah, penulis pernah tergabung dalam organisasi kampus, yaitu HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) IPB sebagai anggota klub Gizi Olahraga periode 2009/2010. Selain itu, penulis juga tergabung dalam organisasi independen bernama BKG (Badan Konsultasi Gizi) IPB sebagai ketua di divisi hubungan masyarakat periode 2009/2011. Penulis pernah melakukan KKP (Kuliah Kerja Profesi) di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor untuk studi tentang revitalisasi posyandu dengan peningkatan partisipasi masyarakat melalui aksi komunikatif. Selanjutnya, penulis melakukan Internship Dietetik yang berjudul Proses Asuhan Gizi pada Kasus Penyakit Dalam, Kasus Bedah, dan Penyakit Anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada bulan Februari-Maret Pengalaman kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain INDEX 2009 (Indonesia Ecology Expo), IPB Green Festival 2009, Ecology Sport Event 2010, SENSASIONAL (Seminar Gizi Nasional) tahun 2011.

10 x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Kegunaan... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi... 4 Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita... 6 Pengertian KEP... 6 Klasifikasi KEP... 7 Penyebab KEP Permasalahan KEP di Indonesia Upaya Penanggulangan KEP Faktor yang Berpengaruh Pada KEP Tingkat Kemiskinan Produk Domestik Bruto (PDB) Indikator Pendidikan (BPS 2009) Kesehatan Lingkungan Pelayanan Kesehatan Dasar Anggaran Perbaikan Gizi Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi KERANGKA PEMIKIRAN METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang Kemiskinan Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Pendidikan Hubungan Parameter Pembangunan Kesehatan Lingkungan dengan Masalah Gizi Kurang Akses Air Minum Layak... 66

11 xi Akses Sanitasi Layak Hubungan Perkembangan Parameter Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar dengan Masalah Gizi Kurang Posyandu Cakupan Imunisasi Lengkap Hubungan Perkembangan Anggaran Program Perbaikan Gizi dengan Masalah Gizi Kurang Pembiayaan Kesehatan Tren Masalah Gizi Terkini dan Kaitannya dengan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 91

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI Klasifikasi KEP menurut Gomez Klasifikasi KEP menurut McLaren Klasifikasi KEP menurut Trust Party Klasifikasi KEP menurut Waterflow Klasifikasi KEP menurut Jellife Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian Jenis variabel, kategori, tahun, dan keterangan variabel penelitian Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun dan status masalah kesehatan secara nasional Perkembangan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun dan status masalah kesehatan secara nasional... 63

13 xiii 21 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan di Indonesia tahun Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita di Indonesia tahun Perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita di Indonesia tahun Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar di Indonesia tahun Perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita di Indonesia tahun Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan perkembangan anggaran program perbaikan gizi tahun Perkembangan persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran Depkes dan status gizi balita di Indonesia tahun Permasalahan gizi masyarakat lainnya tahun Cakupan upaya perbaikan gizi masyarakat tahun Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN dan RANPG

14 xiv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Penyebab KEP (Kurang Energi Protein) menurut UNICEF (1998) disesuaikan dengan kondisi Indonesia Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun beserta Target MDGs dan RPJMN Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun Hubungan antara rata-rata lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang (%) di Indonesia pada tahun Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%)dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia ( ) Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia ( ) Perkembangan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia tahun Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan anggaran perbaikan gizi per balita di Indonesia ( )... 79

15 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lampiran 1 Kaitan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan KEP pada balita di Indonesia... 92

16 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas SDM sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan antara lain oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan WHO (1999) menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Sejak janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut, makanan yang memenuhi syarat gizi merupakan kebutuhan utama untuk pertahanan hidup, pertumbuhan fisik, perkembangan mental, prestasi kerja, kesehatan, dan kesejahteraan (Supariasa et al 2001). Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas karena penyebabnya multi faktor dan multi dimensi, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Menurut kerangka pikir UNICEF (1990) masalah gizi berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, dan keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah penanggulangannya juga harus dirumuskan dan dilaksanakan bersama. Meski secara makro ketersediaan pangan sangat penting untuk menjamin ketahanan pangan nasional, namun untuk menjamin tercapainya status gizi yang baik yang diperlukan adalah akses terhadap pangan. Seperti diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang seperti yang terjadi pada tahun Oleh karena itu, pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan tentang perlunya upaya global untuk peningkatan kesejahteraan manusia sebagai salah satu ukuran pencapaian ketahanan pangan melalui Millenium Development Goals (MDGs) dengan sasaran pertamanya bukan pada tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.

17 2 Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap Negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (mengkonsumsi energi kurang dari 70% kebutuhan untuk hidup sehat). Kedua indikator tersebut mencerminkan tingginya keterkaitan antara kondisi ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2009). Menurut World Bank (2006), masalah gizi kurang maupun gizi lebih tidak dapat ditangani hanya dengan kebijakan dan program jangka pendek sektoral yang tidak terintegrasi. Pengalaman negara berkembang yang berhasil mengatasi masalah gizi secara tuntas dan berkelanjutan, seperti Thailand, Cina dan Malaysia, menunjukkan perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana yang saling terkait dan terintegrasi untuk meningkatkan status gizi masyarakat. Selama ini kajian mengenai masalah gizi lebih banyak dikaji dari aspek mikro berupa analisis determinan masalah gizi dan belum banyak diarahkan dari berbagai kebijakan di bidang ketahanan pangan dan kesehatan yang ada pada saat itu. Padahal berbagai kebijakan tersebut saling mempengaruhi program intervensi yang dijalankan dengan masalah gizi. Untuk itu peneliti mencoba untuk mengkaji perkembangan masalah gizi di Indonesia dan mengaitkannya dengan perkembangan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Pemilihan rentang waktu antara tahun 1980 sampai 2010 mempertimbangkan banyaknya perubahan yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan di bidang kebijakan ketahanan pangan maupun perbaikian gizi selama periode tersebut. Selanjutnya, Pemerintah diharapkan dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi terutama dari segi ketahanan pangan dan kesehatan guna mengatasi masalah gizi yang terjadi di Indonesia. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan masalah gizi kurang kaitannya dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia.

18 3 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mempelajari perkembangan masalah gizi kurang di Indonesia. 2. Mempelajari kebijakan dan program pemerintah dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. 3. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial (tingkat kemiskinan, PDB/kapita, dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas) 4. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter kesehatan lingkungan (proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak). 5. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pelayanan kesehatan dasar (jumlah posyandu dan cakupan imunisasi lengkap). 6. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan. 7. Mempelajari tren masalah gizi terkini dan kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan masalah gizi kurang dan kaitannya dengan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia serta beberapa indikator parameter pembangunan ekonomi dan sosial, parameter pembangunan kesehatan, parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar dan anggaran program perbaikan gizi serta menmpelajari tren masalah gizi terkini. Penelitian ini juga dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dan pihak terkait untuk memutuskan suatu kebijakan atau program yang tepat terkait dengan masalah akses pangan, gizi, dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

19 4 TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari 177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal. Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun , pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004). Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas tersebut adalah: a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup) b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi), c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan) d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) Sejalan dengan itu, tujuan dan arah pembangunan pangan dan gizi adalah perbaikan konsumsi pangan menuju pola pangan harapan Indonesia dan status gizi untuk meningkatkan kualitas SDM. Adapun startegi pencapaiannya

20 5 adalah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, pengawasan disteribusi pangan serta partisipasi masyarakat (Karsin 2004). Dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) terdapat strategi untuk mengatasi masalah gizi, baik itu strategi jangka pendek maupun jangka panjang. Strategi jangka pendek terdiri atas kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, dan kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, diantaranya pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat (contoh posyandu), pemberian suplemen zat gizi mikro, pemberian bantuan pangan kepada anak kurang gizi dari keluarga miskin, fortifikasi bahan dan biofortifikasi. Kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, meliputi bantuan langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, pemberian kredit mikro untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian makanan, khususnya pada waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, vitamin A dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, dan pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat. Kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun, pengasuhan bayi dan anak yang benar, air bersih dan kebersian diri serta lingkungan, dan pola hidup sehat lainnya seperti berolah raga, tidak merokok, makan sayur dan buah setiap hari. Strategi jangka panjang terdiri atas kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan, kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau kebutuhan pangan dan gizi, dan kebijakan yang mendorong perubahan perilaku hidup sehat dan gizi yang baik bagi anggota keluarga. Kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih dan sanitasi, pengaturan pemasaran susu formula, kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan, kebijakan pembangunan industri pangan, memperbanyak fasilitas olah raga bagi masyarakat. Kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau

21 6 kebutuhan pangan dan gizi, seperti pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat miskin, pembangunan yang menciptakan lapangan kerja, kebijakan fiskal, dan harga pangan yang meningkatkan daya beli masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang sehat dan aman. Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat dan gizi baik bagi anggota keluarga, seperti meningkatkan kesetaraan gender, mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun diluar sekolah. Strategi-strategi di atas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta menunjukkan adanya proses pembangunan yang berkelanjutan dalam memanfaatkan sember daya yang ada sehingga dapat terwujud tujuan pembangunan nasional yaitu ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga. Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita Pengertian KEP Selama empat dekade terakhir, terjadi transisi penggunaan istilah KEP pada anak balita di Indonesia. Pada masa Repelita I (1970) sampai akhir Repelita V (1993) istilah yang sering digunakan untuk masalah kekurangan gizi makro pada anak balita adalah KKP atau Kurang Kalori dan Protein. Istilah tersebut berubah pada masa Repelita VI ( ) menjadi KEP atau Kurang Energi Protein dan kembali berubah menjadi gizi kurang (baku WHO NCHS) pada masa Propenas ( ) hingga saat ini. Adanya perubahan istilah KEP menjadi gizi kurang disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya perbedaan pengertian dan istilah yang digunakan pada tiap periode pembangunan serta adanya perbedaan dalam pengukuran antropometri untuk mengklasifikasikan status gizi balita. Kurang Energi Protein (KEP) didefinisikan sebagai masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2001), KEP merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami sindroma gabungan antara kekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan pada balita (Atmarita

22 7 dan Tatang S. Fallah 2004). Selain perbedaan tersebut, istilah KEP dan gizi kurang juga dibedakan karena metode pengukuran dalam mengklasifikasikan status gizi balita juga berbeda. Pada pengklasifikasian masalah KEP, metode pengukuran yang digunakan adalah persentase terhadap nilai median, sedangkan untuk klasifikasi masalah gizi kurang digunakan metode pengukuran terhadap skor simpangan baku/standar deviasi. Klasifikasi KEP Manifestasi KEP dapat ditentukan dengan mengukur status gizi balita. Status gizi balita mencerminkan status gizi masyarakat, oleh karena itu untuk menilainya dapat menggunakan pendekatan penilaian status gizi golongan anak balita. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Penilaian status gizi antropometri merupakan penilaian yang umum digunakan. Ada dua jenis baku acuan dalam mengklasifikasikan status gizi, yaitu baku lokal dan internasional. Terdapat beberapa baku acuan internasional, yaitu Havard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada. Havard dan WHO-NCHS adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara. Data baku rujukan WHO- NCHS disajikan dalam dua versi yaitu persentil dan Z-score. Sejak tahun 80-an Indonesia menggunakan dua baku acuan internasional, yaitu Havard dan WHO-NCHS. Semiloka Antropometri Ciloto (1991) menyarankan pengajuan penggunaan secara seragam baku rujukan WHO-NCHS sebagai pembanding dalam penilaian status gizi dan pertumbuhan baik perorangan maupun masyarakat. Pada penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut: 1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS Tabel 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS Klasifikasi KEP BB/U BB/TB Ringan 70-80% 80-90% Sedang 60-70% 70-80% Berat <60% <70% 2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI Klasifikasi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:

23 8 Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI BB/TB TB/U (berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur) Mild 80-90% 90-94% Moderate 70-79% 85-89% Severe <70% <85% 3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956) Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Gomez Derajat KEP Berat badan % dari baku 0 (normal) 90% 1 (ringan) 89-75% 2 (sedang) 74-60% 3 (berat) <60% 4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967) McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut McLaren Gejala klinis/laboratoris Angka Edema 3 Dermatosis 2 Edema disertai dermatosis 6 Perubahan pada rambut 1 Hepatomegali 1 Albumin serum atau protein total serum/g % <1.00 < >4.00 > Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita: 0-3 angka : marasmus 4-8 angka : marasmic-kwashiorkor 9-15 angka : kwashiorkor

24 9 Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalaahan jika dibandingkan dengan cara Welcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan laboratorium. 5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust Party (1970) Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus. Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party Berat badan % dari baku Edema Tidak ada Ada >60% Gizi kurang Kwashiorkor <60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor 6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973) Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun. Waterflow berpendapat bahwa defisit berat menurut tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya. Tabel 6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow Derajat Gangguan Stunting (BB/U) Wasting (BB/TB) 0 > 95% >90% % 90-80% % 80-70% 3 <85 <70% 7. Klasifikasi Menurut Jellife Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB) menurut umur (U) sebagai berikut: Tabel 7 Klasifikasi KEP menurut Jellife Kategori BB/U (% baku) KEP I KEP II KEP III KEP IV <60

25 10 Menurut Depkes (1997), terdapat beberapa istilah yang digunakan di lapangan dalam mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS). Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka sejak awal periode Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap balita sejak tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masingmasing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score Indeks Nilai Z-score Kategori BB/U Z-score <-3.0 Gizi buruk -3.0<-Z-score<2.0 Gizi kurang -2.0 Z-score 2.0 Gizi baik Z-score >2.0 Gizi lebih TB/U Z-score <-3.0 Sangat pendek -3.0 Z-score <-2.0 Pendek Z-score -2.0 Normal BB/TB Z-score <-3.0 Sangat kurus -3.0 Z-score <-2.0 Kurus -2.0 Z-score 2.0 Normal Z-score >2.0 Sangat kurus IMT/U Z-score 3.0 severe obese 2.0 Z-score 3.0 obese 1.0 Z-score < 2.0 Overweight -2.0 < Z-score < 1.0 Normal -2.0 Z-score < -3.0 Thinness Z-score -3.0 severe thinness Sumber: Riskesdas 2007 Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah balita tersebut bersifat kronis atau akut. Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak

26 11 lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Depkes 2010a). Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Penyebab KEP Menurut UNICEF (1998) dalam Soekirman (2000), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. UNICEF (United Nations Children s Found) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyakit tersebut saling berpengaruh. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan sumber energi dan protein yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersediaanya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung (Bappenas 2010a). Menurut Soekirman (2000), penyebab langsung diatas muncul akibat faktor tidak langsung, yaitu tidak cukup tersedianya pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak yang kurang memadai, keadaan sanitasi yang buruk, tidak tersedianya air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih, yaitu kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola

27 12 asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat turut menjadi penyebab tidak langsung KEP. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah gizi masyarakat seperti KEP merupakan salah satu tumpuan penting dalam pembangunan ekonomi, politik dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan (Bappenas 2010a). Permasalahan KEP di Indonesia Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Atmarita & Fallah 2004). Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika "bencana" kelaparan dan gizi buruk terus mewarnai berita-berita di media massa sepanjang tahun Belum reda dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di berbagai daerah yang dimulai awal tahun 2005, menjelang akhir tahun 2005 lagilagi masyarakat dikejutkan oleh munculnya pemberitaan mengenai kelaparan di Yahukimo, sebuah kabupaten pemekaran di Propinsi Papua yang mengakibatkan tak kurang dari 50 orang meninggal akibat kurang pangan (Martianto & Soekirman 2006 ). Gencarnya pemberitaan mengenai masalah kelaparan dan gizi buruk sangat memprihatinkan mengingat masalah kurang pangan dan gizi buruk ini bukan masalah baru, bisa terdeleksi secara dini dan dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya. Kejadian serupa, khususnya untuk gizi buruk, juga "baru" saja terjadi pada saat krisis ekonomi tahun lalu. Padahal pada saat itu media massa juga sangat gencar memberitakan masalah gizi buruk ini. Dalam hal ini nampaknya kita telah menjadi bangsa yang cepat "lupa" tentang permasalahan yang dihadapi sehingga menjadi tidak waspada bahwa masalah gizi buruk ini bisa mencuat lagi ke permukaan kapan saja. Soekirman (2005), menyebutkan bahwa merebaknya masalah gizi buruk

28 13 ini adalah karena kita semua tidak waspada. Ketidakwaspadaan ini disebabkan instrumen-instrumen yang selama ini dikembangkan unluk mencegah dan menanggulangi masalah pangan dan gizi cenderung tidak dimanfaatkan, bahkan ditinggalkan. Selama ini di Indonesia telah dikembangkan suatu sistem isyarat dini (early warning system) untuk mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan gizi yang disebut dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG yang dikembangkan mencakup SKPG untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan pangan/ kelaparan dan SKPG untuk mengantisipasi masalah gizi buruk yang implementasinya dilakukan melalui pemantauan berat badan anak balita di Posyandu. Karena masalah gizi buruk yang merebak akhir-akhir ini tidaklah "instan atau terjadi begitu saja, melainkan merupakan suatu proses yang cukup panjang sejak terjadinya eksposure (intake makanan yang rendah dan infeksi penyakit hingga manifestasinya dalam bentuk marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor), maka masalah ini seharusnya bisa dicegah bila sistem kewaspadaan tersebut berjalan dengan baik (Martianto 2006). Kajian gizi kurang lainnya adalah beberapa studi yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada Tabel 9, prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2 SD) setelah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting diatas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita (Atmarita dan Fallah 2004). Tabel 9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev. JPS, 99 SKRT, 01 Total Laki-laki Perempuan Kota Desa IBT = Survei Indonesia Bagian Timur, Suvita Survei Nasional Vitamin A; SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS = Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga; Sumber: Atmarita & Fallah dalam WKNPG VIII (2004). Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional sebesar 18.4%. Angka prevalensi gizi buruk pada

29 14 balita di Indonesia yang umumnya tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingginya prevalensi gizi kurang, pola pengasuhan anak yang buruk, balita tidak cukup mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, serta pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat. Upaya Penanggulangan KEP Menurut Soekirman (2000), upaya pencegahan dan penanggulangan KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya saja misalnya dengan meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi juga dengan mengkaji tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga untuk mengatasi masalah kurang gizi yang terjadi. Pada umumnya, KEP pada orang dewasa lebih banyak menceminkan kemiskinan. Pada anak-anak, selain ekonomi terdapat faktor lain yang menyebabkan timbulnya KEP. Berbagai upaya lain di luar ekonomi harus berjalan bersama-sama saling melengkapi (komplementer) dengan upaya perbaikan ekonomi khususnya pengentasan kemiskinan. Upaya lain yang dimaksud adalah upaya yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh sasaran yaitu masyarakat beresiko tinggi menderita KEP (terutama anak balita). Sedangkan upaya perbaikan ekonomi merupakan upaya tidak langsung karena hasilnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok sasaran, tetapi juga oleh masyarakat umum. Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi, kesehatan, dan pendidikan. Upaya tidak langsung meliputi: (a) jaminan ketahanan pangan (food security) sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin dapat dipenuhi hak asasinya yaitu hak untuk memperoleh makanan yang cukup, (b) memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli, dan (c) membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah untuk memberikan kesempatan kepada penduduk miskin meningkatkan pendapatan melalui produksi barang dan jasa. Disamping upaya langsung dan tidak langsung, terdapat upaya lain untuk memantau status gizi masyarakat di tingkat keluarga dan perorangan dari waktu ke waktu. Upaya pemantauan ini merupakan salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia dan disebut sebagai program kewaspadaan pangan dan gizi atau food and nutritional survelance. Menurut Arisman (2004), penanggulangan KEP harus dilakukan pada taraf makro dan taraf mikro. Penanggulangan taraf makro meliputi perbaikan ekonomi negara, peningkatan pendidikan umum, dan pendidikan gizi, penerapan

30 15 serta penyuluhan gizi, peningkatan produksi bahan makanan dan peningkatan upaya-upaya pasca panen untuk menghindarkan penghamburan bahan makanan (waste) dan peningkatan hygiene lingkungan maupun perorangan. Selain itu, Keluarga Berencana (KB) juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi KEP dalam masyarakat. Penanggulangan pada taraf makro ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara serempak oleh berbagai instansi yang memerlukan koordinasi. Penanggulangan dalam lingkup mikro bberhubungan dengan kondisi keluarga dan para anggota keluarga. Faktor-faktor penyebab KEP disini adalah kurangnya konsumsi, daya beli keluarga yang rendah, infeksi cacing, pendidikan umum, dan pengetahuan gizi yang rendah, dan terlalu banyak anak dalam keluarga. Faktor-faktor kelompok mikro ini harus ditinjau satu per satu dan dicari alternatif perbaikan atau pemecahannya. Faktor yang Berpengaruh Pada KEP Kerangka konsep UNICEF memperlihatkan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi buruk. Mulai dari krisis sosial ekonomi dan politik, kemiskinan, pendidikan, pola asuh, kesehatan lingkungan, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan penyakit infeksi/non-infeksi. Ditinjau dari sudut pandang nasional, studi mengenai masalah kurang gizi memerlukan analisis sosial ekonomi yang luas dan bukan pendekatan secara diagnostis dan pengobatan perseorangan. Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar terdiri atas pangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Akses pangan terdiri atas 3 (tiga) aspek yaitu aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari PDB atau dari tingkat kemiskinan. Aspek sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap pangan tetapi berpengaruh pula terhadap kebutuhan dasar yang lainnya, termasuk kesehatan. Berikut diuraikan akses pangan dilihat dari dimensi sosial dan ekonomi. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang

31 16 terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis makanan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis untuk pedesaan. World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hai ini bermanfaat dalam menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganailisi kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari. Selain menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), BPS juga membedakan penduduk miskin menurut sifatnya yaitu kemiskinan sementara (transient poverty) dan kemiskinan kronis (chronic poverty). Penduduk yang termasuk dalam kemiskinan sementara adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Pada umumnya, penduduk miskin sementara (transient poor) disebabkan oleh memburuknya keadaan perekonomian sehingga pendapatan orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum. Sedangkan penduduk miskin kronis adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya berada jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi (BPS 2008a). Penduduk miskin dalam penelitian ini diartikan sebagai penduduk yang memiliki nilai konsumsi di bawah garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk dapat memenuhi konsumsi

32 17 sebesar kalori serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah tersebut, dinyatakan dalam persen. Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan lingkaran setan yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989b). Bappenas (2007) menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut pengertian ekonomi, produk domestik bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional. PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.

33 18 Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat. Gross Domestic Product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali. Tipe-tipe GDP Ada dua tipe GDP, yaitu : 1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut. 2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot. Indikator Pendidikan (BPS 2009) Indikator pendidikan yang digunakan oleh BPS bersumber dari data hasil Susenas Kor tahun Susenas merupakan survei tahunan yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan dengan cakupan relatif luas. Indikator pendidikan tersebut yaitu, partisipasi pendidikan formal, partisipasi pendidikan formal dan nonformal, pendidikan yang ditamatkan penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009).

34 19 Rata-rata Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas sebagai indikator pendidikan yang dianggap berpengaruh terhadap masalah gizi KEP. Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga. Berg (1986) menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Almarita & Fallah (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasi pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Kesehatan Lingkungan Depkes (2010b) mengelompokkan data kesehatan lingkungan meliputi data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi dan kesehatan perumahan. Data keperluan air rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam

35 20 rumah tangga, cara penyimpanan air minum serta akses terhadap sumber air minum. Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum yang Terlindungi dan Berkelanjutan. Berdasarkan berbagai survei mengenai kesehatan lingkungan seperti dalam SKRT, SUPAS, Susenas, dan Riskesdas, air dikelompokkan menjadi air bersih, air minum bersih, dan air minum yang terlindung dan berkelanjutan. Terdapat dua definisi air bersih menurut Susenas dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) Air bersih terdiri dari air pipa, pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung, air dari mata air terlindung, dan air hujan dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja 10 m; (2) Air bersih terdiri dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan sumur bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja 10 m (BPS 2009). Sedangkan Depkes (2008b) mendefinisikan air bersih berasal dari sumber terlindung dan sarana sumber air yang digunakan improved serta berada dalam radius 1 km dari rumah. Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi dua kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan lainnya (Depkes 2008b). Air minum bersih menurut Susenas dalam Indikator Kesejahteraan Rakyat didefinisikan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Air minum bersih bersumber dari sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (2) Air minum bersih bersumber dari pompa, sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (3) Air minum bersih bersumber dari leding, kemasan, dan pompa, sumur/mata air terlindung yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m (BPS 2008b). Sedangkan untuk air minum yang terlindung dan berkelanjutan memiliki dua definisi, yaitu menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) dan SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) serta menurut Susenas. SKRT 1980, SUPAS 1985 dan SKRT 1986 mendefinisikan air minum yang terlindung dan berkelanjutan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan (Depkes 1988).

36 21 Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses terhadap sanitasi layak (Bappenas 2010b). Pembuangan tinja (tempat buang air besar/bab) dalam nomenklatur MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Depkes 2010a). Selain itu terdapat beberapa definisi sanitasi layak. Menurut SKRT 1980 dan SKRT 1986, sanitasi layak adalah bila penggunaan sarana BAB berupa jamban (Depkes 1988). Sedangkan Susenas mendefinisikan sanitasi layak menjadi 2, yaitu (1) penggunaan sarana BAB berupa septik tank dan lubang pembuangan tinja; (2) Sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a). Pelayanan Kesehatan Dasar Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, dan pelayanan imunisasi (Depkes 2008a).

37 22 Cakupan Imunisasi Lengkap. Cakupan imunisasi lengkap adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian pada bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang wajib diberikan pada bayi adalah imunisasi polio, BCG, DPT, dan campak. BCG seringkali digunakan sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk tuberkulosis yang parah selama satu tahun pertama hidupnya, dan juga digunakan sebagai salah satu indikator akses ke pelayanan kesehatan (Depkes 2008a). Selain BCG, vaksin lain yang wajib diberikan pada bayi adalah polio. Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit polio. Tidak seperti imunisasi BCG atau campak yang membutuhkan 1 dosis, imunisasi polio membutuhkan 3 dosis. Maka untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan yang dilakukan adalah polio3, yaitu ketika bayi telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 3 dosis (3 kali) (Depkes 2008a). Diantara penyakit pada anak-anak yang dapat dicegah dengan vaksin, campak adalah penyebab utama kematian anak. Oleh karena itu pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Dari dua tujuan yang disepakati dalam pertemuan dunia tentang anak, salah satunya adalah mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Di seluruh negara ASEAN dan SEARO, imunisasi campak diberikan rata-rata umur 9-12 bulan dan merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara imunisasi wajib lainnya (BCG, DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak). Dengan demikian diasumsikan bayi yang mendapat imunisasi campak telah mendapatkan imunisasi lengkap. Sumber Daya Kesehatan. Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan. Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada, termasuk yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu (Pos

38 23 Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat Keluarga), POD (Pos Obat Desa), dan sebagainya. Posyandu merupakan salah satu UKBM yang paling terkenal di masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu dikelompokkan ke dalam 4 (empat) strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Jumlah posyandu merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana pelayanan kesehatan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a). Anggaran Perbaikan Gizi Pembiayaan kesehatan di Indonesia terdiri atas pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran Departemen Kesehatan Republik indonesia (Depkes 2008a). Anggaran Departemen Kesehatan tiap tahun digunakan untuk berbagai program kesehatan dan salah satu diantaranya dialokasikan pada program perbaikan gizi. Program perbaikan gizi yang dilakukan yaitu Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, Pencegahan Gondok Endemik, Pencegahan Defisiensi Vitamin A, Pencegahan dan Penanggulangan AGB, serta peningkatan kemampuan tenaga gizi, pengadaan prasana, sarana pengendalian dan penilaian (Bappenas 1983). Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan. Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan adalah banyaknya jumlah anggaran perbaikan gizi tiap tahun dibagi dengan jumlah total anggaran departemen kesehatan tiap tahun dikalikan dengan 100 persen. Adapun rumus yang digunakan yaitu :

39 24 Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan setiap instansi pemerintah bervariasi menurut substansi permasalahan, tujuan kelompok sasaran, dan lingkup permasalahan (Wahab 2004). Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan adalah masalah eksternal dan internal. Permasalahan eksternal berkaitan dengan upaya pemantapan ketahanan pangan yang dihadapkan pada keterbukaan ekonomi dan perdagangan global. Pada tataran internal, pemantapan ketahanan pangan menghadapi masalah yang terkait dengan masih banyaknya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan kronis dan transien. Kerawanan pangan ini berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia masyarakat, yang berkorelasi positif dengan kemiskinan. Konferensi Dewan Ketahanan Pangan sebagai lembaga koordinatif telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk masalah ini sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2004). Menurut Nainggolan (2008), untuk mengatasi berbagai masalah ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan langkah operasional terpadu lintas sektoral dan bahkan dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait haruslah secara sadar mengarahkan kebijakan maupun program kegiatan pada sistem ketahanan pangan yang handal Pada sisi ketersediaan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: a) meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air; b) menjamin kelangsungan produksi pangan utamanya dari produksi dalam negeri;

40 25 c) mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; d) meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan lahan abadi untuk produksi pangan. Pada aspek distribusi, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk; a) mengembangkan sarana dan prasarana distribusi pangan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan, termasuk disalamnya mengurangi kerusakan bahan pangan dan kerugian akibat distribusi yang tidak efisien; b) mengurangi atau menghilangkan peraturan daerah yang mengambat distribusi pangan antar daerah; c) mengembangkan kelembagaan pengelolaan dan pemasaran di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas distribusi pangan serta mendorong peningkatan nilai tambah. Pada aspek konsumsi, kebijakan ketahan pangan diarahkan untuk: a) menjamin pemenuhan pangan bagi setiap rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai aman dikonsumsi dan bergizi seimbang; b) mendorong dan mengembangkan membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; c) mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan; d) meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat tertentu (golongan miskin, ibu hamil, balita gizi buruk dan sebagainya) (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

41 26 KERANGKA PEMIKIRAN Menurut UNICEF (1998), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok masalah. UNICEF menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan kurang gizi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila kondisi ketiganya kurang baik menyebabkan gizi kurang. Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat. Upaya mengatasi masalah ini bertumpu pada pembangunan ekonomi, politik dan sosial yang harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Efektivitas upaya ini antara lain dapat digambarkan dari keberadaan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang tercantum pada dokumen-dokumen kebijakan seperti Repelita, RPJMN, GBHN, dan lain-lain (Gambar 1).

42 27 Dampak MASALAH KEP Penyebab Langsung Konsumsi Makanan Kurang Status Infeksi Penyebab Tidak Langsung Ketersediaan Pangan Kualitas Pola Asuh Anak Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kesehatan Lingkungan Masalah Utama Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Akar Masalah (Nasional) Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat Kondisi Ekonomi dan Sosial Politik Gambar 1 Penyebab KEP (Kurang Energi Protein) menurut UNICEF (1998) disesuaikan dengan kondisi Indonesia Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti

43 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder. Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Tabel 10 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian No. Jenis Data Tahun Sumber 1. Status Gizi Balita di Indonesia Departemen Kesehatan RI, Badan Pusat Statistik (BPS RI) 2. Akses Air Minum Layak, Akses Badan Pusat Statistik (BPS RI) Sanitasi Layak 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Jumlah Posyandu 4. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, Tingkat kemiskinan di Indonesia, 5. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia 6. Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap total anggaran Depkes 7. Kebijakan dan program pembangunan nasional : Repelita, Propenas,RPJMN, dan RANPG Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) Departemen Keuangan RI Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional RI (Bappenas RI) Stratifikasi variabel status gizi diperoleh dari data nasional hasil pengukuran antropometri balita dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Luasan masalah gizi dalam suatu populasi atau masyarakat pada umumnya dinyatakan dalam angka prevalensi. Menurut Beaglehole, Bonita, dan Kjellstorm (1997), prevalensi dihitung sebagai jumlah keseluruhan dari orang-orang yang diketahui sudah mempunyai (terkena) penyakit pada waktu tertentu selama suatu periode waktu tertentu dibagi oleh jumlah populasi yang memiliki risiko untuk terkena penyakit pada pertengahan waktu dari periode tersebut. Jika dinyatakan dalam rumus perhitungan, maka rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

44 29 Besar kecilnya angka prevalensi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu durasi atau lamanya penyakit, usia hidup penderita dalam populasi, peningkatan kasus baru atau peningkatan insidensi, migrasi kasus-kasus ke dalam populasi, migrasi individu sehat dari populasi, masuknya individu yang beresiko atau rentan dalam populasi dan perkembangan fasilitas diagnosis atau sistem monitoring (Beaglehole, Bonita & Kjellstorm 1997). Pada penelitian ini, data status gizi yang digunakan berupa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia. Data parameter pembangunan ekonomi dan sosial diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat kemiskinan, PDB per kapita menurut harga konstan dan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Data parameter kesehatan lingkungan diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi rumah tangga dengan akses terhadap air minum yang layak dan proporsi rumah tangga terhadap akses sanitasi yang layak di Indonesia. Data parameter pelayanan kesehatan dasar diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cakupan imunisasi lengkap dan jumlah jumlah posyandu yang ada di Indonesia. Cakupan Imunisasi lengkap adalah persentase balita yang telah mendapatkan imunisasi BCG 1 kali, polio 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Data kebijakan dan program di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi diperoleh dari dokumen-dokumen nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Dokumen-dokumen yang digunakan yaitu Repelita III-VI, Propenas , RPJMN , RPJMN , dan RANPG Pengkategorian variabel secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 11.

45 30 Tabel 11 Jenis variabel, kategori, tahun, dan keterangan variabel penelitian No. Variabel Kategori Tahun Keterangan 1. Kurang Energi Protein (KEP) KEP total Terdiri dari : KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat KEP nyata Terdiri dari : KEP sedang dan KEP berat 2. Status Gizi (BB/U) Gizi Buruk Standar Median Baku Gizi Kurang Havard 3. Pembangunan Ekonomi dan Sosial 4. Pembangunan Kesehatan Lingkungan 5. Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar 6. Pembiayaan Kesehatan Gizi Buruk (Z-score <-3.0) Standar Baku WHO- NCHS Gizi Kurang (Z-score >= -3.0 s/d Z-score <-2.0) Tingkat Kemiskinan Indikator kemiskinan BPS PDB/kapita Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas Persentase RT dengan akses terhadap sumber air minum layak Persentase RT dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak Menurut Harga Konstan Indikator Pendidikan BPS Data SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, dan Susenas Jumlah Posyandu Data Profil Kesehatan Indonesia Cakupan Imunisasi Lengkap Persentase Anggaran Program Perbaikan Gizi terhadap Total Anggaran Depkes Pengolahan dan Analisis Data Data SDKI dan Riskesdas Anggaran Program Perbaikan Gizi dan Anggaran Depkes dalam RAPBN. Data-data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data meliputi editing, coding, entri dan analisis data. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi Analisis data status gizi balita dilakukan yakni dengan cara analisis tren terhadap variabel yang diteliti antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir. Variabel-variabel tersebut yaitu, tingkat kemiskinan, PDB/kapita, rata-rata lama

46 31 sekolah penduduk, akses air minum layak, akses sanitasi layak, jumlah posyandu, cakupan imunisasi lengkap, dan alokasi anggaran perbaikan gizi Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dilakukan secara deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Metode analisis isi merupakan metode yang digunakan untuk mengklasifikasi dan menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan serta kebijakan dan program perbaikan gizi selama tiga puluh tahun terakhir. Penggunaan analisis isi untuk memilah program/kegiatan dan indikator-indikator apa saja yang dijadikan arah kebijakan pada Repelita III, Repelita IV, Repelita V, Repelita VI, Propenas , dan RPJMN Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan gizi selama tiga puluh tahun terakhir ( ). Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan asumsi dan mempunyai keterbatasan. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian seluruhnya benar. Asumsi-asumsi di atas digunakan agar hasil penelitian dapat diterima secara umum. Adapun yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah tergantung pada validitas data-data sekunder yang digunakan. Definisi Operasional Air minum yang terlindung dan berkelanjutan (layak) adalah air minum yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 m dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan Anggaran adalah rencana keuangan pemerintah dalam suatu waktu tertentu ( biasanya dalam satu tahun mendatang) untuk membiayai tugas-tugas pemerintah disegala bidang. Anggaran Departemen Kesehatan adalah rencana keuangan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk membiayai semua program Departemen Kesehatan selama 1 tahun. Anggaran program ketahanan pangan adalah rencana keuangan untuk membiayai serangkaian kegiatan atau proyek yang terorganisasi dan

47 32 diarahkan untuk percapaian tujuan terkait ruang lingkup ketahanan pangan. Anggaran program perbaikan gizi adalah rencana alokasi keuangan untuk membiayai serangkaian kegiatan atau proyek yang terorganisasi dan diarahkan untuk percapaian tujuan terkait perbaikan gizi. Balita adalah individu yang berada pada rentang usia kurang dari lima tahun. Cakupan imunisasi lengkap adalah adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Gizi buruk adalah klasifikasi KEP pada tingkatan yang parah yang dalam penelitian ini dinyatakan dalam suatu indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) dengan Z-score < -3.0 Gizi kurang adalah gangguan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Indeks yang digunakan untuk mengukur gizi kurang pada anak dalam penelitian ini adalah indeks berat badan menurut umur (BB/U) dengan Z- score < -2 SD Harga konstan adalah harga yang tidak dipengaruhi oleh terjadinya inflasi atau harga tahun dasar. Indikator pendidikan BPS adalah indikator yang digunakan oleh BPS untuk menggambarkan situasi pendidikan nasional di Indonesia yaitu, partisipasi pendidikan formal, partisipasi pendidikan formal dan nonformal, pendidikan yang ditamatkan penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata ratarata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009). Jumlah posyandu adalah banyaknya posyandu yang ada di Indonesia tiap tahun. Kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran yang dalam penelitian ini menggunakan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS). KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku median WHO-NCHS). KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah.

48 33 Kesehatan Lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Kurang energi protein adalah salah satu masalah kurang gizi akibat kekurangan asupan sumber energi dan protein serta gangguan kesehatan. PCM adalah istilah lain dalam bahasa Inggris untuk menyebut masalah kekurangan energi dan protein menurut klasifikasi median baku Havard 1959 atau singkatan dari Protein Calorie Malnutrition. PDB (Produk Domestik Bruto) adalah nilai semua barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu satu tahun. PDB per kapita adalah nilai PDB yang dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun atau pendapatan yang dibayarkan per penduduk Indonesia. Pelayanan Kesehatan Dasar adalah upaya pelayanan kesehatan yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, dan pelayanan imunisasi. Pembangunan ketahanan pangan adalah suatu upaya pembangunan yang bersifat lintas bidang dan lintas sektoral yang saling berkaitan, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara adil merata baik jumlah maupun mutu gizinya (dilihat dari bentuk program dan kegiatan). Persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan dan kebijakan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia adalah perbandingan antara besarnya anggaran yang dialokasikan untuk program perbaikan gizi terhadap total anggaran departemen kesehatan dalam 1 tahun. Posyandu adalah salah satu UKBM di masyarakat yang menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare

49 34 Prevalensi KEP pada balita adalah persentase balita yang menderita Kurang Energi Protein di Indonesia mencakup gizi kurang dan gizi buruk tiap tahun berdasarkan hasil Susenas dan Riskesdas. Prevalensi stunted adalah persentase balita yang mempunyai z skor tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD terhadap total balita. Prevalensi underweight adalah persentase balita yang mempunyai z skor indeks berat badan menurut umur (BB/U) kurang dari -2 SD terhadap total balita. Prevalensi wasted adalah persentase balita yang mempunyai z skor berat badan tinggi badan (BB/TB) kurang dari -3 SD sampai -2 SD terhadap total balita. Program ketahanan pangan adalah serangkaian kegiatan-kegiatan atau proyek-proyek yang terorganisasi dan diarahkan untuk mencapai ketahanan pangan. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk usia 15 tahun ke atas adalah rata-rata lama penduduk usia 15 tahun ke atas menempuh pendidikan formal, dinyatakan dalam tahun. Sanitasi layak adalah sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos Sumber Daya Kesehatan adalah sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya

50 35 Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah tersebut, dinyatakan dalam persen.

51 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Masalah kekurangan gizi khususnya kurang energi dan protein pada balita di Indonesia pada tahun 1970an hingga akhir Repelita V (1993) disebut sebagai KKP (Kurang Kalori dan Protein) dan istilah ini kemudian mengalami transisi hingga saat ini disebut sebagai gizi kurang. Istilah KEP (Kurang Kalori Protein) digunakan pada awal Repelita VI (1994), sedangkan istilah gizi kurang mulai digunakan sejak periode Propenas (1999) hingga saat ini. Kurang energi Protein (KEP) dikenal sebagai salah satu dari empat masalah gizi di Indonesia yang dianggap utama dari sejak permulaan dikenal yaitu pada tahun 1959 hingga saat ini. Gejala KEP mencakup semua manifestasi kekurangan gizi yang sering dijumpai, dimana pada anak sebagai akibatnya adalah terhambatnya perkembangan fisik dan mental mereka. Penderita KEP umumnya adalah anak-anak berumur di bawah lima tahun (Balita). terutama pada masa mulai atau baru saja disapih (Suhardjo 1989b). Menurut Aritonang (2004), masalah kekurangan pangan dan kelaparan di Indonesia merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO (Honger Oedeem) dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat. Besar dan luas masalah KEP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui Susenas modul kesehatan dan gizi. Selain itu terdapat perbedaan dalam standar/ baku acuan yang digunakan pada data status gizi yang tersedia sejak tahun Data status gizi balita berdasarkan data Susenas tahun 1978, 1986, dan 1987 menggunakan baku Havard Berdasarkan baku Havard 1959, status gizi dibagi menjadi empat, yaitu (1) gizi baik untuk well nourished ( 80% baku median Havard); (2) gizi sedang mencakup mild PCM (70% s/d 79.9% median baku Havard); (3) gizi kurang untuk underweight mencakup moderate PCM ( % baku median Havard); dan (4) gizi buruk untuk severe PCM (<60% median baku Havard), termasuk marasmus, marasmik-kwashiorkor dan kwashiorkor.

52 37 Sedangkan data status gizi balita berdasarkan data Susenas , Riskesdas 2007, dan Riskesdas 2010 menggunakan standar baku WHO NCHS yang telah disepakati secara nasional. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak balita menyebutkan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan hasil temuan pakar gizi Indonesia Mei 2000 di Semarang, standar baku antropometri yang digunakan secara nasional disepakati menggunakan standar baku WHO-NCHS Status gizi balita diukur berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB, dan IMT/U (Depkes 2010a). Berdasarkan median baku WHO-NCHS 2005, angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score). Prevalensi gizi kurang pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi kurang (moderate malnutrition) dan gizi buruk (severe malnutrition). Sehingga gizi kurang dalam penelitian ini bila berat badan menurut umur (BB/U) berada dibawah minus 2 standar deviasi (Z-score < -2) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS dan sudah termasuk gizi buruk. Gizi buruk bila berat badan menurut umur (BB/U) berada di bawah minus 3 standar deviasi (Z-score < -3) dari angka median berat badan baku WHO- NCHS. (Bappenas 2009a). Prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi buruk di Indonesia tiap tahun berdasarkan hasil Susenas dan Riskesdas. Analisis masalah KEP pada balita berdasarkan data Susenas menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KEP total dari 54.7% tahun 1978 menjadi 20.7% pada tahun KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat. Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat. (Depkes 1997) Perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total pada balita di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 12.

53 38 Tabel 12 Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN Laju Laju Periode penurunan penurunan Tahun % Balita KEP % Gizi (r) KEP total (r) Gizi Kurang per tahun kurang per Nyata Total (%) tahun Repelita III NA NA NA Repelita IV 1989 NA NA Repelita V Repelita VI NA NA NA NA NA NA Propenas 1999 NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA RPJMN 2004 NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA Rata-rata laju penurunan (r) per tahun Sumber: Pembangunan Kesehatan, 50 tahun Indonesia Merdeka; Dit. Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000 Berdasarkan data trend perkembangan KEP dan gizi kurang di atas, terjadi kecenderungan penurunan prevalensi KEP (KEP nyata dan KEP total) dan gizi kurang pada balita di Indonesia. Rata-rata laju penurunan KEP total dari periode Repelita III sampai periode Repelita VI adalah 3.1% per tahun, sedangkan rata-rata laju penurunan gizi kurang per tahun dari Repelita IV sampai RPJMN adalah 1.5%. Pada akhir Repelita VI tahun 1998, KEP total balita adalah 20.7%. Dengan trend ini target penurunan KEP total pada akhir Repelita VI sebesar 30% telah tercapai dan target penurunan gizi kurang pada akhir RPJMN sebesar 20% juga telah tercapai. Laju penurunan KEP total tertinggi terjadi pada awal periode Repelita IV yaitu tahun 1994 sebesar 17.6%, sedangkan laju penurunan gizi kurang yang paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 17.4%. Hal ini diduga berhubungan dengan adanya beberapa perubahan kebijakan dan program yang dirumuskan pemerintah dalam bidang pangan dan perbaikan gizi saat periode Repelita V ( ) dibanding dengan periode Repelita sebelumnya dan kebijakan pada masa RPJMN Kebijakan dan program bidang pangan dan perbaikan gizi pada Repelita V adalah peningkatan dan penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta peningkatan usaha perbaikan gizi seperti, UPGK,

54 39 UPGI, penanggulangan gondok endemik, pengembangan SKPG, dan penelitian gizi. Selain itu, terlihat bahwa pada akhir RPJMN yaitu tahun 2010, terlihat bahwa prevalensi gizi kurang sudah mencapai 17.9%. Kebijakan ketahan pangan dan perbaikan gizi pada masa RPJMN bersifat lebih makro dengan adanya Revitalisasi Pertanian dan adanya program perbaikan gizi pada kebijakan bidang Kesehatan. Selain dengan melihat perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total, manifestasi KEP pada anak balita dalam jangka panjang dan pendek dapat berupa gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase jumlah balita yang mengalami gizi buruk terhadap jumlah seluruh balita Indonesia. Prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia mengalami perkembangan selama tiga puluh tahun terakhir yaitu dari tahun Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, besarnya prevalensi gizi buruk (Z-score < -3.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 4.9% dan prevalensi gizi kurang (Z-score <-2.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 17.9%. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Depkes tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk di Indonesia adalah sebesar 6.3% dan prevalensi gizi kurang adalah sebesar 37.5%. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan kesehatan dari beberapa tahun sebelumnya yang terlihat dari penurunan prevalensi gizi buruk dari 6.3% menjadi 4.9% dan penurunan prevalensi gizi kurang dari 37.5% menjadi 17.9%. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk dalam masalah berat (Departemen Kesehatan 2000). Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan per umur (BB/U) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 2.

55 40 Prevalensi (%) Target RPJMN Target MDGS Prevalensi gizi buruk (%) Prevalensi gizi kurang (%) Sumber: BPS. Susenas ; Depkes. Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 menggunakan standar WHO (2005) Gambar 2 Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun beserta Target MDGs dan RPJMN 2009 Berdasarkan pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa keadaan gizi masyarakat telah menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang (Z-score <-2 SD WHO- NCHS) dan gizi buruk (Z-score <-3 SD WHO-NCHS) pada anak balita. Prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar 37.5% dan prevalensi gizi buruk tertinggi terdapat pada tahun 1995, yaitu sebesar 11.6%. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun Sampai saat ini, Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi selama tiga puluh tahun terakhir ini yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 24.7% pada tahun Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 28.0% pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita dengan gizi kurang kembali menurun menjadi 18.3% (Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 17.9%. Berikut ini disajikan data nasional dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun disertai dengan cut off point status masalah kesehatan masyarakat berdasarkan WHO tahun 1999 (Tabel 13).

56 41 Tabel 13 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional Gizi Buruk Gizi Kurang Status No Tahun (%) (%) Masalah Kesehatan sangat tinggi sangat tinggi sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang Sumber: BPS. Susenas, SKRT; Depkes. RISKESDAS 2007 dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Tinggi : % Sedang : % Sangat tinggi : 30% Berdasarkan cut off point WHO (1999) pada Tabel 13 di atas terlihat bahwa pada tahun 1989, 1992, dan 1995, secara nasional Indonesia memiliki masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang yang sangat tinggi. Berdasarkan data Susenas 1989, jumlah balita yang mengalami gizi kurang adalah sebanyak 7.9 juta jiwa dari 21.3 juta jiwa balita di Indonesia. Sedangkan pada tahun 1995, jumlah balita yang mengalami gizi menurun menjadi 6.8 juta jiwa dari 21.5 juta balita. Status gizi buruk pada balita di Indonesia yang sangat tinggi pada saat itu mencerminkan bahwa penanganan masalah gizi buruk maupun gizi kurang di Indonesia pada tahun belum berjalan dengan baik. Sejak tahun terlihat bahwa status masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang pada saat itu termasuk tinggi. Selama tahun 2003, prevalensi gizi buruk di Indonesia mencapai 8.5% atau sekitar 1.5 juta anak, sedangkan gizi kurang mencapai 28.17%. Walaupun prevalensi gizi buruk ini lebih sedikit dibandingkan gizi kurang, namun kasus ini lebih cepat mendapat perhatian publik karena tanda-tandanya terlihat nyata. Berbeda halnya dengan gizi kurang yang lebih banyak namun tidak mendapat perhatian karena tanda-tandanya yang belum diketahui (Soekirman 2005).

57 42 Martianto dan Soekirman (2006) menyebutkan bahwa selama periode telah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang yang sangat relatif lebih tajam dari 37.5% menjadi 24.7%, dibanding periode setelahnya ( ). Diantara faktor yang menjadi pendorong turunnya prevalensi ini adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada periode sebelum krisis dan adanya upaya penanggulangan masalah gizi yang intensif melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada periode krisis ( ). Seiring dengan selesainya Program JPS dan implementasi otonomi daerah yang berimplikasi bahwa program gizi menjadi kewenangan daerah, padahal tidak semua pemimpin di Kabupaten/Kota memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah gizi, maka prevalensi gizi kurang terlihat meningkat kembali pada periode Angka prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal. Soekirman (2005) menyatakan bahwa prevalensi gizi kurang pada balita yang tinggi selama tahun 2003 (19.6%) merupakan penyebab kasus gizi buruk makin tinggi. Kelompok balita gizi kurang merupakan kandidat penderita gizi buruk, khususnya jika kelompok tersebut tidak mendapatkan penanganan yang baik. Salah satu cara penanganan ini adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu yang masih melakukan fungsi utamanya. yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Kasus gizi buruk yang semakin tinggi juga disebabkan karena balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, yaitu air susu ibu dan jika sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang baik. MPASI yang baik adalah yang cukup mengandung energi, protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain itu. pola pengasuhan anak juga turut mempengaruhi kasus gizi buruk pada balita. Pola pengasuhan anak yang baik yaitu pengasuhan yang dilakukan oleh ibunya sendiri dengan kasih sayang. berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI. posyandu. kebersihan. walaupun berada dalam kondisi ekonomi yang miskin akan menghasilkan anak yang sehat (Soekirman 2006). Melihat kondisi masih banyaknya balita yang mengalami kekurangan gizi maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menanggulangi permasalahan tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan pembagunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, maka sesuai amanat Undang-Undang

58 43 Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 (Bappenas 2009a). Dalam RPJMN , salah satu misinya adalah mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui agenda meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu sasaran dari kegiatan ini adalah menurunkan angka prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 20.0% dari jumlah balita pada tahun Selain RPJMN , Indonesia juga sedang berusaha untuk mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Salah satu tujuan MDGs adalah menanggulangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan. Salah satu target dari tujuan tersebut adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu ( ). Salah satu indikator yang digunakan adalah persentase balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas 2010). Sesuai target MDGs tersebut. maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 18.5% prevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Pada tahun 2010, angka prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia telah mencapai 17.9%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi. Untuk itu. Perlu perencanaan pangan dan gizi yang lebih efektif dengan memanfaatkan potensi ekonomi daerah dan bantuan dana pemerintah pusat untuk wilayah-wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah guna penanggulangan gizi buruk di masa yang akan datang. Dalam RPJMN , program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi, dan anak balita. Kegiatan pokok yang dilaksanakan dan berkaitan dengan KEP antara lain meliputi: (1) Peningkatan pendidikan gizi; (2) Penanggulangan kurang energi protein (KEP), (3) Penanggulangan gizi lebih; (4) Peningkatan surveilens gizi; dan (5) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi (Bappenas 2009a).

59 44 Prevalensi gizi buruk di Indonesia yang masih tinggi selama tiga puluh tahun terakhir merupakan salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan dalam penanganan masalah gizi buruk mengandung tiga masalah mendasar, yaitu masalah pelaksanaan,masalah sasaran, dan masalah lokasi. Pelaksanaan penanganan masalah gizi buruk mengharuskan adanya kerjasama lintas pelaku mengingat masalah kelaparan dan khususnya masalah gizi merupakan masalah yang sangat krusial. Hilangnya perhatian terhadap masalah kelaparan dapat menyebabkan hilangnya perhatian terhadap perbaikan gizi masyarakat. Apabila perhatian terhadap gizi masyarakat khususnya kepada balita kurang, maka hal ini akan mengakibatkan pengaruh pada penurunan kualitas penduduk berusia muda. Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan di tingkat masyarakat adalah keterbatasan tenaga (kualitas dan kuantitas) untuk menjangkau kelompok sasaran (Bappenas 2010). Banyaknya jumlah balita yang masih menderita gizi buruk selama tiga puluh tahun terakhir ( ) memerlukan penanganan yang cepat dan tepat melalui program-program perbaikan gizi. Martianto dan Soekirman (2006) menyatakan bahwa program-program yang diadakan untuk penanganan masalah gizi makro (KEP) di Indonesia adalah UPGK/Posyandu, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan program peningkatan ketahanan pangan masyarakat. UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga) dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi gizi buruk (KEP). Peningkatan kedua program ini berdampak positif menurunkan prevalensi gizi buruk. Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang dilaksanakan sampai saat ini berupa penimbangan balita. penyuluhan gizi (KIE), peningkatan pemanfaatan pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian kapsul vitamin A takaran tinggi, dan pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan beberapa lembaga terkait yang mempunyai tugas dan tanggungjawab saling menopang untuk keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu (Aritonang 2004). Pada Posyandu, cara pencegahan terjadinya gizi kurang adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak dengan kartu menuju sehat (KMS), dengan syarat posyandu masih melakukan fungsi utamanya, yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar (Soekirman 2005).

60 45 Penyebab langsung tingginya kasus gizi buruk di Indonesia ini adalah balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang. yaitu ASI (Air Susu Ibu) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) setelah anak berusia lebih dari 6 bulan. MP-ASI yang baik mengandung cukup energi dan protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain makanan yang seimbang. pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan juga berpengaruh terhadap munculnya kasus gizi buruk. Pola pengasuhan anak yang baik adalah apabila anak tersebut diasuh oleh ibunya sendiri yang berpendidikan dan mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan tanpa melihat kondisi ekonominya. Program pemberian makanan tambahan (PMT) ditujukan kepada anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (WUS). Program ini mendapat cukup banyak kritikan. karena terbukti tidak efisien, salah sasaran dan berbiaya tinggi. Untuk itu, kedepannya program ini hanya akan diperuntukkan untuk mengatasi kondisi darurat seperti bencana alam, konflik sosial, dan lain sebagainya. Adapun untuk program peningkatan ketahanan pangan masyarakat yang telah dikembangkan antara lain Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), dan Desa Mandiri Pangan (Desa MAPAN). Desa MAPAN bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya. kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan (Martianto dan Soekirman 2006).

61 46 Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional. Suryana (2004) menyebutkan bahwa kebijakan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut diarahkan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan, yaitu menjamin pasokan pangan yang stabil bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, keragaman, kandungan gizi, dan keamanan yang cukup; serta menjamin akses masyarakat terhadap dalam arti fisik maupun ekonomi. Sejak periode Repelita III hingga RPJMN , pembangunan di bidang pertanian dalam arti luas ( pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) serta pembangunan di bidang kesehatan dan gizi selalu menjadi agenda setiap pemerintahan di Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor tersebut pada hakekatnya merupakan faktor kunci dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Ketahanan pangan dan perbaikan gizi selalu menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional, bahkan pada Repelita III pembangunan di bidang pangan dan gizi dituangkan dalam satu bab tersendiri. Pada saat perencanaan dan implementasi pembangunan bidang pangan dan gizi dilakukan secara terintegrasi seperti sat itu, indonesi mencapai beberapa kemajuan berarti, antara lain mencapai swasembada beras dan kuatnya kelembagaan untuk pemantauan dan perbaikan status gizi seperti Posyandu, PKK, dan dasawisma. Kebijakan dan strategi pembangunan di bidang ketahanan pangan dan gizi terus berkembang dari waktu ke waktu seiring perubahan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh setiap pemerintahan. Di sektor penyediaan pangan,

62 47 dalam 50 tahun terakhir setidaknya terdapat dua paradigma, yaitu: a) paradigma produksi (supply side) termasuk pada penekanan peningkatan produktivitas (intensifikasi) dan perluasan areal (ekstensifikasi); pada paradigma ini kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan didasarkan pada kemampuan produksi, dan semua aspek, khususnya kelembagaan ditujukan untuk mendukung proses produksi seperti yang ditunjukkan antara lain oleh Program Bimas dan Inmas, b) paradigma sistem usaha agribisnis yang mengkaitkan kegiatan produksi bahan baku dengan kegiatan industri dan jasa dalam perspektif ekonomi makro. Implementasi kedua paradigma tersebut dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah menunjukkan tingkat keberhasilan dan permasalahan masing-masing, Pelajaran utama yang dapat dipetik dari berbagai pengalaman tersebut adalah bahwa kebijakan dan strategi untuk pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam hal produksi, penyediaan dan distribusi pangan harus bersifat integratif. Artinya pembangunan di bidang ini (khususnya sektor pertanian dan perikanan/kelautan) atau yang diarahkan untuk bidang ini (pembangunan di sektor lain yang mempengaruhi sektor pertanian dan perikanan) harus terintegrasi, harus memadukan kebijakan yang bersifat jangka Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III ( ) sampai RPJMN dibagi per sepuluh tahun dan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 14 sampai Tabel 16.

63 48 Tabel 14 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV Orde Rezim Pemerintahan Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Orde Baru Soeharto Mengusahakan penyediaan pangan meningkat dan merata Mengusahakan agar persediaan (Periode dan pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat dan konsumsi bahan makanan Menuju (Repelita III Mengusahakan penganekaragaman pola konsumsi dalam masyarakat terus Pencapaian ) pangan rakyat dan mengurangi ketergantungan pada meningkat dan semakin Swasembada beras beraneka ragam Beras) Meningkatkan keadaan atau status gizi rakyat dan usaha- Secara berkala akan ditentukan usaha pencegahan serta penanggulangan masalah harga dasar untuk bahan-bahan kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A, pangan yang terpenting anemia gizi besi dan gondok endemik dengan Meningkatkan daya guna dan peran-serta aktif masyarakat. hasil guna sistem pemasaran pangan Soeharto (Repelita IV ) Menuju tercapainya penyediaan pangan yang memadai, merata dan sesuai dengan kebutuhan gizi penduduk serta terjangkau oleh daya beli rakyat Meningkatkan keanekaragaman pola konsumsi pangan dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan meningkatkan mutu gizinya Menunjang pemantapan pembentukan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera dengan menurunkan angka kematian bayi dan anak balita melalui peningkatan keadaan gizi mereka Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak pada pengurangan penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Penanggulangan masalah gizi Pencapaian sasaran memantapkan swasembada pangan Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik Pemerataan persediaan/cadangan pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi Indikator KEP Penderita kurang kalori dan protein (KKP) pada anak balita berkurang dari 30% menjadi 22% Catatan 1978: Kepres 39/1978, Pengembalian tugas Bulog sebagai pengontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir, dll 1984: Medali FAO atas tercapainya swasembada pangan Kebijakan pangan pada masa ini hanya untuk meningkatkan produksi padi saja tanpa memperhatikan siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Produksi padi harus naik, sedangkan pembagian hasil akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar

64 49 Tabel 15 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI Orde Rezim Indikator Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Pemerintahan KEP Orde Baru Soeharto (Era Stabilisasi (Repelita V Orde Baru) ) Soeharto (Repelita VI ) Memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV Meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras, sekaligus meningkatkan mutu pangan dan gizi rakyat dengan tetap memperhatikan po- la konsumsi masyarakat setempat Meningkatkan keadaan gizi bayi, balita dan ibu hamil Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak mengurangi penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat Terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan, yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan dan pangan olahan Terjaminnya keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan Terwujudnya kesadaran gizi yang tinggi di masyarakat yang antara lain tercermin dari pola konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang Tercapainya penurunan prevalensi penyakit bukan infeksi akibat gizi lebih seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker sampai pada tingkat yang serendah mungkin Turunnya secara bermakna berbagai jenis penyakit gizi kurang terutama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat Peningkatan dan Penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan Peningkatan pemerataan penyediaan angan Stabilisasi harga pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi Peningkatan Ketahanan Pangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Peningkatan Keamanan Pangan Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Gizi Masyarakat Penanggulangan masalah gizi kurang Pengelolaan Upaya Perbaikan Gizi Program pokok : pemantapan swasembada pangan dan diversifikasi pangan Program penunjang : pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pangan; penelitian dan pengembangan pangan; pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan gizi Penderita kurang kalori protein (KKP) nyata pada balita berkurang dari 10.8% menjadi 9.5% Prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30% Catatan Kebijakan yang penting: stabilisasi harga beras Berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi 1997: Perubahan fungsi Bulog hanya untuk mengontrol harga beras dan gula pasir 1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja Pada periode ini harga beras relatif cukup stabil walaupun cenderung meningkat sebagai penyesuaian dengan laju inflasi Keberhasilan upaya ini ternyata memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun

65 50 Tabel 16 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN Orde Rezim Indikator Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Pemerintahan KEP Reformasi Habibie : Mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan Penyediaan kebutuhan pokok Menurunkan Sebelum landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi untuk keluarga miskin prevalensi Desentralisasi pembangunan ekonomi berkelanjutan Peningkatan Ketahanan Pangan kurang gizi (1998/1999) Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat pada balita A. Wahid: dengan pendekatan paradigma sehat, peningkatan mutu dan Pemberdayaan Masyarakat menjadi Setelah lembaga dan pelayanan kesehatan, pengembangan sistem Upaya Kesehatan 20 % Desentralisasi jaminan sosial tenaga kerja, pengembangan ketahanan Perbaikan Gizi Masyarakat (1999/2000) sosial, peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut usia Sumber Daya Kesehatan Megawati dan veteran, peningkatan kepedulian terhadap penyandang Obat, Makanan, dan Bahan (2000/2004) masalah sosial, peningkatan kualitas penduduk, Berbahaya pemberantasan perdagangan dan penyalahgunaan narkotik Kebijakan dan Manajemen (Propenas dan obat terlarang, dan peningkatan aksesibilitas fisik dan Pembangunan Kesehatan ) nonfisik bagi penyandang cacat S. Bambang Yudoyono (RPJMN ) Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar Program peningkatan ketahanan pangan Program pengembangan agribisnis Program peningkatan kesejahteraan petani Program peningkatan sumberdaya perikanan Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat Program lingkungan sehat Program upaya kesehatan masyarakat dan perorangan Program pencegahan dan pemberantasan penyakit Program perbaikan gizi masyarakat Program sumberdaya kesehatan Program penelitian dan pengembangan kesehatan Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak balita dari 25.8 persen menjadi 20% Catataan Perubahan yang signifikan pada era ini: Pemerintah lebih membuka ekonomi Indonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi daerah Sebelum desentralisasi : Unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras dihilangkan 1998/1999: penjualan pesawat IPTN ditukar dengan beras Thailand 2000: Penugasan tugas Bulog untuk managemen logistik beras ( penyediaan, distribusi, dan kontrol harga) Setelah desentralisasi: Implementasi otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi sejalan dengan paradigma pembangunan ketahanan pangan yang lebih terarah pada tingkat rumah tangga 2003: Privatisasi Bulog 2004: No-Option Strategy kecualu Swasembada Beras 2005: Revitalisasi Pertanian komitmen untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija

66 51 Hasil analisis isi terhadap kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama periode Repelita III sampai RPJMN di Indonesia memperlihatkan adanya pola tertentu yang semakin berkembang pada tiap masa pemerintahan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan disesuaikan dengan masalah dan tantangan setiap periode pemerintahan. Pada periode Repelita III hingga Repelita IV menunjukkan bahwa pembangunan pangan lebih berorientasi pada produksi pangan yang tercermin dari arah kebijakan ketahanan pangan dan gizi yang lebih banyak diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan. Kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan dan gizi pada periode ini masih berfokus pada program penguatan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan. Selain itu terlihat bahwa pada periode Repelita III, pemerintah belum menetapkan suatu indikator spesifik dalam pencapaian target penurunan prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) yang banyak diderita oleh anak balita. Pada periode Repelita V sampai periode Repelita VI terlihat bahwa kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai diarahkan pada sub sistem ketahanan pangan lainnya yaitu, distribusi dan konsumsi pangan. Hal ini tercermin dari arah kebijakan seperti, peningkatan penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan dan pemantapan kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan. Akan tetapi arah kebijakan juga tetap diarahkan untuk memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV. Selain itu, pada sub sistem status gizi, kebijakan mulai diarahkan untuk menurunkan berbagai penyakit kurang gizi terutama pada bayi, anak balita, ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat. Disamping itu, kebijakan juga tetap diarahkan untuk melanjutkan usaha peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah untuk mengurangi KKP, kekurangan vitamin A, gondok endemik dan anemia gizi besi yang telah dimulai sejak Repelita III. Selain itu terlihat pula pada mas Repelita VI, pemerintah mulai peduli dengan masalah keamanan pangan, hal ini dicirikan dengan adanya program peningkatan kemananan pangan pada periode tersebut. Pada tahun 1970an sampai awal tahun 1990, Indonesia telah mengembangkan suatu pendekatan yang terintegrasi untuk meningkatkan akses pangan dan perbaikan gizi masyarakat melalui kegiatan Usaha Perbaikan Gizi

67 52 Keluarga (UPGK). Dalam implementasinya kegiatan ini melibatkan berbagai instansi teknis, khususnya pertanian, kesehatan, BKKBN, Departemen dalam Negeri dan lembaga kemasyarakatan yang tumbuh di pedesaan seperti PKK dan Dasawisma. Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk memantau pertumbuhan status gizi anak balita sekaligus memperoleh informasi dan kemampuan praktis dalam tata kelola pekarangan untuk menunjang perbaikan gizi keluarga, penyiapan makanan dan pengasuhan anak,pentingnya penganekaragaman/diversifikasi pangan, serta pada saat bersamaan memperoleh pelayanan imunisasi, suplementasi dan pelayanan rujukan bagi yang mengalami gizi kurang tingkat berat. Pada masa ini Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) berkembang pesat dan cukup memiliki daya cegah terhdap munculnya masalah gizi buruk ke permukaan karena penapisan dan penanganan gizi buruk dapat dilakukan secara lebih dini. Pembangunan nasional pada periode berikutnya tertuang dalam Propenas dan RPJMN Propenas sebagai penjabaran dari GBHN dirumuskan secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak baik kalangan pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan, LSM, maupun para pakar baik di pusat maupun di daerah. Pada masa ini era reformasi dimulai dan terjadi perubahan besar di berbagai bidang yang telah membawa pula perubahan di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, beberapa prioritas pembangunan pada periode Propenas adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan serta membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan ketahanan budaya. Berbagai kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada periode Propenas mulai berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Selain itu, pada periode ini, terlihat bahwa pemerintah mulai mengarahlan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizinya pada peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan dengan paradigma sehat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya program lingkungan sehat perilaku sehat, dan pemberdayaan masyarakat. Pada periode RPJMN , pemerintah mempromosikan Revitalisasi Pertanian dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping

68 53 beras. Revitalisasi pertanian termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan hak atas pangan yang lebih baik. Hal ini terlihat dari kebijakan ketahanan pangan yang banyak diarahkan untuk mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan. Selain itu, pembangunan bidang kesehatan semakin diperluas untuk menunjang perbaikan gizi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan yang diarahkan untuk peningkatan kualitas kesehatan dasar dan pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Selain perubahan tersebut, ternyata pada periode RPJMN seperti yang terlihat pada Tabel 16, program perbaikan gizi mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah jika dibandingkan dengan periode-periode pembangunan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari adanya kebijakan pada masa ini yang diarahkan kepada hal-hal yang bersifat makro seperti mempertahankan produksi, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan, dan beberapa kebijakan di bidang kesehatan. Program pembangunan bertambah banyak dan program perbaikan gizi terlihat menjadi semakin kabur dengan disejajarkannya program gizi beberapa program di bidang kesehatan seperti program promosi kesehatan, lingkungan sehat, pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program-program lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada periode ini kembali menggunakan paradigma input untuk mengukur kesejahteraan rakyat seperti yang terjadi pada masa Repelita III dan Repelita IV dengan mengakomodir hal-hal yang lebih makro pada pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Beberapa perubahan yang terjadi pada era reformasi berdampak pula pada situasi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Lembaga pedesaan yang selama ini berfungsi dalam perbaikan pangan dan gizi (PKK, posyandu, Dasawisma) rumahtangga mulai melemah dan kasus gizi buruk menjadi sering muncul di permukaan karena tidak terdeteksi dan tertangani secara dini. Desentralisasi dan otonomi daerah mengakibatkan tidak meratanya pemahaman, langkah, upaya dan penempatan prioritas pembangunan ketahanan pangan dan gizi sehingga di beberapa daerah ketahanan pangan dapat dibangun dengan kokoh sementara di daerah lainnya terjadi kerapuhan. Selain itu, pada akhir periode RPJMN, terlihat bahwa revitalisasi pertanian hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan seperti soal akses atas pangan

69 54 yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan harga BBM yang mempengaruhi akses penduduk dalam memperoleh pangan dengan harga yang terjangkau. Bebagai kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang telah ditetapkan pemerintah sejak periode Repelita III hingga RPJMN mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Kaitan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan masalah KEP pada balita di Indonesia dapat diihat lebih rinci pada Lampiran 1. Pada Lampiran tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1983 atau akhir Repelita III, prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) pada balita adalah 29.1%. Jumlah ini menurun pada periode Repelita IV yaitu tahun 1998 menjadi 10.8%. Hal ini diduga karena pada periode Repelita IV, pemerintah telah menetapkan target penurunan prevalensi penderita KKP balita menjadi 22% yang belum ditetapkan pada periode Repelita III. Selain itu, kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada Repelita III dan Repelita IV diduga turut mempengaruhi terjadinya penurunan prevalensi KKP pada anak balita. Disamping itu, pada periode Repelita III pemerintah mencanangkan program utama di bidang ketahanan pangan yaitu swasembada pangan dan tercapai pada tahun 1984 atau pada periode Repelita IV. Selain itu, pada akhir periode Repelita VI terlihat bahwa prevalensi KEP total adalah 20.7% dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi pada saat itu berorientasi pada diversifikasi konsumsi pangan dan peningkatan distribusi pangan. Jumlah ini telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah yaitu prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30%. Pada akhir Repelita VI atau pada awal Propenas, istilah Kurang Energi Protein (KEP) pada balita sudah jarang digunakan dan istilah masalah gizi pada balita disebut sebagai kekurangan gizi balita. Hal ini dikarenakan masalah gizi pada anak balita juga disebabkan oleh kurangnya zat gizi mikro. Pada akhir periode Propenas, prevalensi kekurangan gizi pada balita adalah 27.5% dan jumlah ini menurun menjadi 17.9% pada akhir periode RPJMN Hal ini diduga terjadi karena pemerintah menetapkan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang berbeda dengan periode sebelumnya. Pada periode Propenas, pemerintah mengarahkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan

70 55 ekonomi dan peningkatan SDM dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat dan pelayanan kesehatan. Sedangkan pada periode RPJMN , pemerintah banyak mengarahkan kebijakan di bidang pangan dan perbaikan gizi untuk mencapai swasembada beras dan non-beras, melakukan diversifikasi pangan dan memperluas pembangunan kesehatan dengan berbagai program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki keadaan gizi masyarakat tetapi juga mendukung terwujudnya keadaan gizi yang lebih baik dan merata. Berbagai hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan yang telah ditempuh pemerintah melalui program pembangunan nasional sejak tahun 1980 hingga 2010 khususnya dalam bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional targettarget tersebut sudah terlampaui. Menurut Aritonang (2004) kecenderungan perubahan keadaan gizi masyarakat mencerminkan adanya kebijakan pembangunan yang berbeda pula. Terwujudnya ketahanan pangan akan berdampak kepada perbaikan status gizi (Azwar 2004).

71 56 Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan ekonomi dan sosial diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 17 menunjukkan parameter ekonomi dan sosial yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 17 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun Rata-rata lama Tingkat kemiskinan PDB per kapita Variabel sekolah (%) (Rp) (tahun) Prevalensi Gizi Buruk (%) Prevalensi Gizi Kurang (%) Berhubungan signifikan (p = < 0.05; r = 0.641) Tidak berhubungan (p = 0.1 > 0.05) Tidak berhubungan (p = > 0.05) Berhubungan signifikan (p = < 0.01; r = ) Berhubungan signifikan (p = < 0.01; r = ) Berhubungan signifikan (p = < 0.02; r = ) Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor penghambat sebuah keluarga dalam memperoleh akses makanan yang seimbang, pola pengasuhan, dan pelayanan kesehatan yang baik. Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan munculnya kasus gizi buruk (Soekirman 2005). Menurut beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penderita gizi buruk (KEP) cenderung lebih banyak dan parah di lingkungan keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Masalah gizi yang berkaitan dengan kemiskinan merupakan suatu lingkaran setan yang sulit dipecahkan sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan (Suhardjo 1989b). Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab masalah gizi yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan meyebakan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran

72 57 untuk berobat (Bappenas 2007). Untuk mengetahui perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun Periode Tahun Prevalensi Gizi Buruk Prevalensi Gizi Kurang Tingkat Kemiskinan (%) (%) (%) Repelita IV NA Repelita V 1990 NA NA NA 1993 NA NA 13.7 Repelita VI 1996a NA NA b NA NA Propenas RPJMN NA NA NA NA NA NA Sumber : BPS. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Ket: Tingkat kemiskinan : tahun 1989 s.d. 1996a : menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998) tahun 1996b s.d : berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan Status gizi menggunakan indeks BB/U menurut standar baku WHO-NCHS Mengacu pada garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin) menunjukkan kecenderungan menurun selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1990, tingkat kemiskinan mencapai 15.1%, kemudian turun menjadi 11.34% pada tahun 1996 (a). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun mengakibatkan persentase penduduk miskin meningkat kembali menjadi 24.2% pada tahun Pemulihan ekonomi dalam 5 tahun terakhir berhasil menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 15.97% tahun Akan tetapu pada tahun 2006 tingkat kemiskinan menungkat lagi menjadi 17.75%. Hal ini diduga terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut meningkat yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17.95% (BPS

73 ). Dengan demikian, penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Pada tahun 2007 terjadi penurunan kembali, persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 16.6% atau sebesar 37.2%. Pada periode tahun , jumlah penduduk miskin telah berhasil dikurangi secara signifikan dari periode sebelumnya. Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dimana tahun 2010 menjadi 31.0 juta jiwa (13.3%) atau berkurang 8.3 juta jiwa orang dibandingkan tahun Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 tersebut bahkan lebih kecil dari jumlah penduduk miskin sebelum krisis ekonomi moneter tahun 1998 sebesar juta jiwa (17.5%). Selain berupaya untuk mengurangi jumlah kurang gizi, Indonesia juga berupaya untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Sesuai dengan jumlah MDGs yaitu mengurangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan, maka target yang harus dicapai oleh Indonesia adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu Tingkat kemiskinan yang menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 adalah 7.5% (Bappenas 2007). Di sisi lain, Indonesia juga berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui RPJMN yaitu penanggulangan kemiskinan dengan sasaran menurunkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8.2% pada tahun 2009 (Bappenas 2009a). Berdasarkan hasil evaluasi RPJMN , faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia antara lain: 1) belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar pulau Jawa, daerah terpencil dan daerah perbatasan; 2) kemiskinan sangat terkait dengan dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; 3) masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan ekonomi maupun kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial; 4) bencana alam dan sosial menciptakan penduduk miskin baru, sehingga tingkat kemiskinan juga mengalami peningkatan; 5) kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok yang berdampak pada daya beli masyarakat miskin (Bappenas 2007). Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin belum memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan

74 59 yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin. Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan kekurangan gizi pada setiap anggota rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas individu karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan yang rendah; (ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena sering sakit. Sebaliknya, kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada individu tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah KEP tidak hanya disebabkan oleh masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial ekonomi terutama kemiskinan. Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun (Gambar 3). Prevalensi gizi buruk (%) y = 0.325x R² = Tingkat Kemiskinan (%) Gambar 3 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = < 0.05, r = 0.641) antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi gizi buruk akan semakin meningkat. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) adalah yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 41.1% terhadap prevalensi gizi buruk,

75 60 sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = 0.325x Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 0.325, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan kali prevalensi gizi buruk. Kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesbilitas pangan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Apabila program-program pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini, maka akan berdampak pada peningkatan kemiskinan/kerawanan pangan dan status gizi yang rendah (DKP 2006). Sementara itu, analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.1 > 0.05) antara prevalensi gizi kurang pada balita dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi kurang tidak hanya terjadi karena masalah ekonomi seperti kemiskinan, akan tetapi dapat disebabkan oleh faktor lain. Pada laporan Riskesdas 2010 disajikan prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menurut beberapa karakteristik responden. Salah satu karakteristik responden yang digunakan yaitu tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita. Tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita dibagi menjadi kuintil 1 sampai kuintil 5 yang mengindikasikan keadaan ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi kuintil, semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga dan sebaliknya semakin rendah kuintil semakin rendah keadaan ekonomi rumahtangga. Pada kuintil 5, terlihat bahwa prevalensi gizi buruk balita adalah 2.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 7.9%. Hasil ini mengindikasikan bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi pada keluarga yang status ekonominya rendah, namun juga terjadi pada keluarga yang baik kondisi perekonomiannya. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Perkembangan ekonomi dihitung berdasarkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Angka laju pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menggunakan PDB atas dasar harga konstan. Jika PDB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun diperoleh rata-rata produk yang dihasilkan atau pendapatan yang dibayarkan per penduduk negara tersebut disebut sebagai nilai PDB per kapita (BPS 2005a). PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB atas dasar harga konstan per tahun. Perkembangan PDB per kapita di

76 61 Indonesia selama dua puluh tahun ( ) secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun dan status masalah kesehatan secara nasional Status Gizi Buruk Gizi Kurang No Tahun PDB/kapita (rupiah) Masalah (%) (%) Kesehatan sangat tinggi sangat tinggi sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang *Atas dasar harga konstan Sumber: IMF, BPS (Susenas), RISKESDAS 2007, dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : % Tinggi : % Sangat tinggi : 30% Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa selama dua puluh tahun terakhir, nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun , nilai PDB per kapita terus mengalami peningkatan, namun terjadi penurunan pada rentang tahun Penurunan ini disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi pada masa tersebut (BPS 2005a). Selanjutnya PDB terus mengalami peningkatan hingga tahun Pada tahun dengan nilai PDB yang meningkat, status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Perbedaan status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang pada tahun dengan tahun 1989 disebabkan penggunaan standar yang berbeda. Pada tahun , Indonesia memiliki nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan yang cenderung meningkat walaupun terjadi penurunan dari tahun , status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam

77 62 kategori tinggi. Selain itu pada tahun , permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk pada kategori sedang. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk pada balita dengan PDB per kapita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini diduga terjadi karena walaupun PDB cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat sebagaimana membangun gedung dan prasarana fisik. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2007). Sejalan dengan kerangka pikir UNICEF (1998), PDB per kapita merupakan indikator daya beli yang berpengaruh langsung terhadap konsumsi pangan. Oleh karena itu apabila PDB per kapita rendah, maka daya beli pun menjadi rendah sehingga mengakibatkan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi pangan akan berkurang. Selanjutnya, pengaruh PDB per kapita terhadap gizi kurang dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 4). Prevalensi gizi kurang (%) y = -4E-06x R² = PDB per kapita (rupiah) Millions Gambar 4 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) di Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = < 0.01; r = ) antara prevalensi gizi kurang dengan PDB per kapita. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi tingkat PDB per kapita maka prevalensi gizi kurang akan semakin menurun. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) adalah yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 67.4.% terhadap prevalensi gizi buruk, sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = x Koefisien regresi persamaan tersebut adalah , artinya

78 63 setiap kenaikan PDB per kapita sebesar 1 satuan, maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar kali. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan menjadi lebih baik. Berikut ini disajikan data pendidikan berupa rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun pada Tabel 20. Tabel 20 Perkembangan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun dan status masalah kesehatan secara nasional Rata-rata Lama Status Gizi Buruk Gizi Buruk + Tahun Sekolah Masalah No (%) Gizi Kurang (%) (tahun) Kesehatan sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang Sumber: BPS Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : % Tinggi : % Sangat tinggi : 30% Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia pada Tabel 20 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat

79 64 dari tahun walaupun terjadi penurunan rata-rata lama sekolah penduduk pada tahun pada tahun Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk tertinggi yaitu pada tahun 2010 memiliki status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang tergolong sedang dan hanya pada tahun 1995 yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5. Prevalensi gizi buruk (%) y = x R² = Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas(tahun) Gambar 5 Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = < 0.05, r = ) antara prevalensi gizi buruk dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Arah hubungan yang negatif berarti terdapat hubungan berbanding terbalik antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk suatu wilayah maka prevalensi gizi buruk di wilayah tersebut akan cenderung menurun Koefisien determinasi yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0.598, artinya ratarata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas berpengaruh 59.8% terhadap prevalensi gizi buruk. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = x Koefisien persamaan regresi persaman tersebut bernilai negatif yaitu , artinya setiap kenaikan satu satuan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas akan menurunkan kali prevalensi gizi buruk.

80 65 Menurut Khomsan A et al (2007), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang, maka diharapkan akan lebih baik juga keadaan gizinya. Selanjutnya, pengaruh lama sekolah terhadap gizi kurang dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 6). Prevalensi gizi kurang (%) y = x R² = Rata-rata lama sekolah (tahun) Gambar 6 Hubungan antara rata-rata lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang (%) di Indonesia pada tahun Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = < 0.02; r = ) antara lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi lama sekolah maka prevalensi gizi kurang semakin rendah. Begitupula sebalinya, semakin rendah lama sekolah per kapita maka prevalensi gizi kurang semnakin tinggi. Koefisien determinasi (R 2 ) pada hubungan di atas adalah 0.599, artinya lama sekolah berpengaruh sekitar 59.9% terhadap porevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = x Koefisien regresi persamaan bernilai negatif yaitu , artinya setiap kenaikan lama sekolah sebesar 1 satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar kali. Cicely William dalam Sukandar (2009) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gizi keluarga khususnya gizi pada anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington 1999 menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik dalam penelitian ini dapat dilihat dari rata-rata lamanya sekolah penduduk.

81 66 Hubungan Parameter Pembangunan Kesehatan Lingkungan dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan kesehatan lingkungan diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 21 menunjukkan parameter pembangunan kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 21 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan di Indonesia tahun Variabel Akses air minum layak Akses sanitasi layak (%) (%) Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan (p = > 0.05) Berhubungan signifikan (p = < 0.01; Prevalensi Gizi Kurang (%) Akses Air Minum Layak Tidak berhubungan (p = 0.375) r = ) Berhubungan signifikan (p = < 0.05; r = ) Menurut Susenas, air minum yang terlindung dan berkelanjutan (air minum layak) berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 m dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 m. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Indikator ini menunjukkan tingkat pencapaian perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh (Bappenas 2009a). Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia disajikan pada Tabel 22.

82 67 Tabel 22 Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita di Indonesia tahun Periode Tahun Gizi Buruk + Akses Air Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Kurang MinumLayak (%) (%) (%) (%) Repelita V NA NA 1993 NA NA NA 37.7 Repelita VI 1994 NA NA NA NA NA NA NA NA NA Propenas RPJMN NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA Sumber: BPS. SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, Susenas Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: Akses air minum layak: *Tahun 1980, 1985, dan 1986 : air minum layak didefinisikan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan *Tahun : sumber air minum layak didefinisikan sebagai sumber air sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Tabel 22 menunjukkan bahwa akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan, akses air minum layak meningkat dari 37.73% pada tahun 1993 menjadi 47.71% pada tahun Adapun laju peningkatan per tahunnya hanya 1.3%. Akses air minum layak cenderung lebih tinggi pada rumah tangga di perkotaan daripada di pedesaan, Bappenas (2010) menyebutkan bahwa masih relatif rendahnya akses air minum layak mencerminkan bahwa laju penyediaan infrastruktur air minum, terutama di perkotaan, belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, disamping itu banyak sarana dan prasarana air minum tidak terpelihara dan pengelolaannya tidak berkelanjutan.

83 68 Di samping kemajuan yang telah dicapai, masih terdapat gap dengan target MDGs dalam hal akses terhadap air minum yang layak. Target MDGs untuk akses air minum layak di Indonesia adalah 68.9% pada tahun 2015 dan pada tahun 2009 akses air minum layak di Indonesia baru mencapai 47.7% seperti yang ditunjukkan pada Tabel diatas. Salah satu tujuan MDGs adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan salah satu targetnya yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun Adapun indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan pedesaan. Sesuai dengan target MDGs tersebut, maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 68.8% proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak (Bappenas 2010). Menurut Soekirman (2001), pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, akan tetapi program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang pada balita dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di Indonesia. Hal ini diduga karena sepanjang tahun , akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak cenderung meningkat dengan laju peningkatan per tahunnya hanya 1.3%. Bappenas (2010a) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi individu adalah ketersediaan air minum bersih. Air minum merupakan salah satu sarana masyarakat untuk hidup sehat. Balita dengan daya tahan tubuh yang lemah memiliki kerentanan terhadap penyakit yang tinggi, ketika air minum yang dikonsumsi tidak layak maka akan meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi termasuk diare dan ISPA. Kedua penyakit tersebut dapat mengakibatkan balita lebih mudah mengalami gizi buruk karena balita mengalami kurang nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Apalagi jika penyakit tersebut dialami balita yang telah mengalami gizi buruk/kurang, maka masalah gizi tersebut akan menjadi lebih serius. Selain itu Bappenas (2007) menyebutkan bahwa infeksi yang berkaitan dengan tingginya

84 69 prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Akses Sanitasi Layak Menurut definisi dari Susenas, sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan sistem pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a). Untuk menilai akses terhadap sanitasi layak, dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi yang layak didefinisikan sebagai perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Indikator ini menunjukkan tingkat pencapaian perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh, terkait dengan kelestarian lingkungan hidup dalam hal akses terhadap sanitasi yang layak. Pada Tabel 23 disajikan perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia.

85 70 Tabel 23 Perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita di Indonesia tahun Periode Tahun Gizi Buruk Gizi Kurang Akses Sanitasi Layak (%) (%) (%) Repelita V NA Repelita VI Propenas RPJMN NA NA Sumber: BPS, SKRT 1980, SKRT 1986, Susenas Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: *Tahun 1992 : sanitasi layak didefinisikan sebagai proporsi rumah tangga yang menggunakan septik tank dan lubang pembuangan tinja *Tahun : definisi Sanitasi layak menurut Susenas Status gizi menggunakan standar baku WHO-NCHS Tabel 23 di atas menunjukkan trend perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak tahun Data Susenas menunjukkan peningkatan akses sanitasi layak dari 24.8% pada tahun 1993 menjadi 51.2% pada tahun Menurut Bappenas (2010), laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan utama yang dihadapi dalam meningkatkan cakupan sanitasi layak. Dengan memperhatikan kecenderungan capaian akses sanitasi layak selama ini, Indonesia harus memberikan perhatian khusus, termasuk peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi, guna mencapai target MDGs pada tahun Sementara itu target MDGs untuk akses terhadap sanitasi yang layak di Indonesia pada tahun 2015 adalah 62.41%, terlihat bahwa masih terdapat gap sebesar 10.8% pada tahun 2009 dengan target yang telah ditetapkan oleh MDGs. Salah satu tujuan MDGs adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan salah satu targetnya yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun Adapun indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak, perkotaan dan pedesaan.

86 71 Menurut Bappenas (2010), upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak. Berdasarkan dengan target MDGs, maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 62.41% proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak (Bappenas 2010). Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di Indonesia tahun (Gambar 7). Prevalensi gizi buruk (%) y = x R² = Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) Gambar 7 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%)dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = < 0.05, r = 0.813) antara prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. Koefisien determinasi (R 2 ) yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai artinya proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak berpengaruh 66% terhadap prevalensi gizi buruk. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = x Koefisien regresi persamaan tersebut adalah , artinya setiap kenaikan proporsi rumah tangga dengan

TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi

TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi 4 TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara dapat

Lebih terperinci

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI I. PENJELASAN UMUM Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi (KKP), dan jumlahnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keseimbangan antara pemasukan zat gizi dari bahan makanan yang dimakan dengan bertambahnya pertumbuhan aktifitas dan metabolisme dalam tubuh. Status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan pola konsumsi makanan terutama energi, protein, dan zat gizi mikro. Pola konsumsi makanan harus memperhatikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H. KATA PENGANTAR Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Status gizi berhubungan dengan kecerdasan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas

Lebih terperinci

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat yang terkait. Masalah kekurangan gizi juga merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Menurut data dari pada World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan menurut Almatsier

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Jumlah penderita kurang gizi di dunia mencapai 104 juta anak dan keadaan kurang gizi merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Masalah kekurangan gizi khususnya kurang energi dan protein pada balita di Indonesia pada tahun 1970an hingga akhir Repelita V (1993)

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD SUKASARI I BANDUNG PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD SUKASARI I BANDUNG PERIODE ABSTRAK GAMBARAN STATUS GIZI PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI SD SUKASARI I BANDUNG PERIODE 2006-2007 Silvia Susanti, 2008. Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : July Ivone, dr., MS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi Pembangunan Indonesia kedepan berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) (2005-2025) adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang mandiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki ketangguhan fisik, mental

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum dijumpai di negara negara berkembang termasuk Indonesia. Status gizi yang buruk pada bayi dan anak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung berjudul Dampak Program Warung Anak Sehat (WAS) terhadap Perilaku Hygiene-Sanitasi Ibu WAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Balita pendek (stunting) merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan. Stunting dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah terciptanya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi 2.1.1 Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan antropometri (berat badan, tinggi badan, atau ukuran tubuh lainnya) dari waktu ke waktu, tetapi lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 5 TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dimana masyarakat antara lain melalui kader-kader yang terlatih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan pembangunan suatu bangsa sangat bergantung pada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita Balita adalah kelompok anak yang berumur dibawah 5 tahun. Umur balita 0-2 tahun merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, terutama yang penting adalah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di kebun Malabar PTPN VIII Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA.

PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA. INDEKS ANTROPOMETRI INDEKS YG SERING DIGUNAKAN : 1. BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) 2. TINGGI BADAN MENURUT UMUR (TB/U) 3. BERAT BADAN MENURUT TINGGI BADAN ( BB/TB) PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakancg Pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (mordibity) dan angka kematian (mortality).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Balita (1 5 Tahun) Anak balita adalah anak yang berusia 1-5 tahun. Pada kelompok usia ini, pertumbuhan anak tidak sepesat masa bayi, tapi aktifitasnya lebih banyak (Azwar,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gizi Kurang Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita 6 TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-24 BULAN

PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-24 BULAN Media Gizi Pangan, Vol. XI, Edisi, Januari Juni PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA -4 BULAN Asmarudin Pakhri ), Lydia Fanny ), St. Faridah ) ) Jurusan Gizi Politeknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, situasi gizi dunia menunjukkan dua kondisi yang ekstrem. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu rendah serat dan tinggi kalori,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 1 N

METODE PENELITIAN 1 N 32 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian Studi Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh yang dilakukan Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini negara Indonesia sedang menghadapi masalah gizi ganda, yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari kemajuan jaman pada latar

Lebih terperinci

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi KERANGKA PEMIKIRAN Masa yang terentang antara usia satu tahun sampai remaja boleh dikatakan sebagai periode laten karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih berstatus bayi (Arisman

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kekurangan Energi Kronis (KEK) 1. Pengertian Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan ibu hamil dan WUS (Wanita Usia Subur) yang kurang gizi diakibatkan oleh kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk mencapai SDM berkualitas, faktor gizi memegang

Lebih terperinci

GAMBARAN TINGKAT KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI DESA LAMBARO SKEP KECAMATAN KUTA ALAM KOTA BANDA ACEH

GAMBARAN TINGKAT KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI DESA LAMBARO SKEP KECAMATAN KUTA ALAM KOTA BANDA ACEH GAMBARAN TINGKAT KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI DESA LAMBARO SKEP KECAMATAN KUTA ALAM KOTA BANDA ACEH Siti Maryam 1, Fadli A. Gani 2 1 Dosen Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus Global Scaling Up Nutrition (SUN) Movement pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gizi pada balita dan anak terutama pada anak pra sekolah di Indonesia merupakan masalah ganda, yaitu masih ditemukannya masalah gizi kurang dan gizi lebih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa, sedangkan menurut Depkes RI 2006 jumlah remaja meningkat yaitu 43 juta jiwa, dan menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh (Sri,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah kebutuhan utama dan mendasar bagi kehidupan manusia. Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang

Lebih terperinci

Food 1000 HPK. for Kids. Warisan untuk Anak Cucu. Asal... Luar Biasa! 1000 HPK. Kehamilan Usia 1 Tahun Usia 2 Tahun. GEN CERDAS Bisa Diturunkan,

Food 1000 HPK. for Kids. Warisan untuk Anak Cucu. Asal... Luar Biasa! 1000 HPK. Kehamilan Usia 1 Tahun Usia 2 Tahun. GEN CERDAS Bisa Diturunkan, Edisi 1 Januari Vol 4 2016 Food for Kids I N D O N E S I A KIAT MEMPERSIAPKAN 1000 HPK Peran Ayah pun Luar Biasa! Kehamilan Usia 1 Tahun Usia 2 Tahun 270 Hari 365 Hari 365 Hari GEN CERDAS Bisa Diturunkan,

Lebih terperinci

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita 22 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Balita adalah penerus masa depan kita, balita juga menentukan masa depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah satu golongan

Lebih terperinci

PREVALENSI KEJADIAN MALNUTRISI PADA BALITAA DI RUANG RAWAT ANAK RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN Oleh : FATIN FATHARANI ERIZAL

PREVALENSI KEJADIAN MALNUTRISI PADA BALITAA DI RUANG RAWAT ANAK RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN Oleh : FATIN FATHARANI ERIZAL PREVALENSI KEJADIAN MALNUTRISI PADA BALITAA DI RUANG RAWAT ANAK RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2012 Oleh : FATIN FATHARANI ERIZAL 100 100 339 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 PREVALENSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama pada negara-negara berkembang dan kurang berkembang, masalah ini mempengaruhi kondisi

Lebih terperinci

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan.

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan. WHO memberi batasan anak usia sekolah adalah anak dengan usia 6-12 tahun. Mereka berbeda dengan orang dewasa, karena anak mempunyai ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang, sampai berakhirnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Dari data Departemen

Lebih terperinci

! 1! BAB 1 PENDAHULUAN

! 1! BAB 1 PENDAHULUAN ! 1! BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa kehamilan merupakan masa yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia, karena tumbuh kembang anak ditentukan kondisinya dimasa janin dalam kandungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM yang berkualitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia menghadapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang belum pernah tuntas ditanggulangi di dunia. 1 Organisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi adalah masalah kesehatan yang penanggulangannya tidak hanya dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup manusia terbagi atas kualitas fisik dan kualitas non

Lebih terperinci

STUDI TENTANG STATUS GIZI PADA RUMAHTANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN NUTRITIONAL STATUS OF POOR AND NON-POOR HOUSEHOLDS

STUDI TENTANG STATUS GIZI PADA RUMAHTANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN NUTRITIONAL STATUS OF POOR AND NON-POOR HOUSEHOLDS STUDI TENTANG STATUS GIZI PADA RUMAHTANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN Hadi Riyadi 1 ; Ali Khomsan 1 ; Dadang S. 1 ; Faisal A. 1 dan Eddy S. Mudjajanto 1 1 Fakultas Ekologi Manusia,Institut Pertanian ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi adalah zat-zat yang ada dalam makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber energi untuk pertumbuhan badan. Gizi merupakan faktor penting untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Gizi merupakan penentu kualitas sumber daya manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa menjadi suatu peluang yang menguntungkan bagi Indonesia bila diikuti dengan peningkatan

Lebih terperinci