HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Masalah kekurangan gizi khususnya kurang energi dan protein pada balita di Indonesia pada tahun 1970an hingga akhir Repelita V (1993) disebut sebagai KKP (Kurang Kalori dan Protein) dan istilah ini kemudian mengalami transisi hingga saat ini disebut sebagai gizi kurang. Istilah KEP (Kurang Kalori Protein) digunakan pada awal Repelita VI (1994), sedangkan istilah gizi kurang mulai digunakan sejak periode Propenas (1999) hingga saat ini. Kurang energi Protein (KEP) dikenal sebagai salah satu dari empat masalah gizi di Indonesia yang dianggap utama dari sejak permulaan dikenal yaitu pada tahun 1959 hingga saat ini. Gejala KEP mencakup semua manifestasi kekurangan gizi yang sering dijumpai, dimana pada anak sebagai akibatnya adalah terhambatnya perkembangan fisik dan mental mereka. Penderita KEP umumnya adalah anak-anak berumur di bawah lima tahun (Balita). terutama pada masa mulai atau baru saja disapih (Suhardjo 1989b). Menurut Aritonang (2004), masalah kekurangan pangan dan kelaparan di Indonesia merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO (Honger Oedeem) dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat. Besar dan luas masalah KEP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui Susenas modul kesehatan dan gizi. Selain itu terdapat perbedaan dalam standar/ baku acuan yang digunakan pada data status gizi yang tersedia sejak tahun Data status gizi balita berdasarkan data Susenas tahun 1978, 1986, dan 1987 menggunakan baku Havard Berdasarkan baku Havard 1959, status gizi dibagi menjadi empat, yaitu (1) gizi baik untuk well nourished ( 80% baku median Havard); (2) gizi sedang mencakup mild PCM (70% s/d 79.9% median baku Havard); (3) gizi kurang untuk underweight mencakup moderate PCM ( % baku median Havard); dan (4) gizi buruk untuk severe PCM (<60% median baku Havard), termasuk marasmus, marasmik-kwashiorkor dan kwashiorkor.

2 37 Sedangkan data status gizi balita berdasarkan data Susenas , Riskesdas 2007, dan Riskesdas 2010 menggunakan standar baku WHO NCHS yang telah disepakati secara nasional. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak balita menyebutkan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan hasil temuan pakar gizi Indonesia Mei 2000 di Semarang, standar baku antropometri yang digunakan secara nasional disepakati menggunakan standar baku WHO-NCHS Status gizi balita diukur berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB, dan IMT/U (Depkes 2010a). Berdasarkan median baku WHO-NCHS 2005, angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score). Prevalensi gizi kurang pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi kurang (moderate malnutrition) dan gizi buruk (severe malnutrition). Sehingga gizi kurang dalam penelitian ini bila berat badan menurut umur (BB/U) berada dibawah minus 2 standar deviasi (Z-score < -2) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS dan sudah termasuk gizi buruk. Gizi buruk bila berat badan menurut umur (BB/U) berada di bawah minus 3 standar deviasi (Z-score < -3) dari angka median berat badan baku WHO- NCHS. (Bappenas 2009a). Prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi buruk di Indonesia tiap tahun berdasarkan hasil Susenas dan Riskesdas. Analisis masalah KEP pada balita berdasarkan data Susenas menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KEP total dari 54.7% tahun 1978 menjadi 20.7% pada tahun KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat. Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat. (Depkes 1997) Perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total pada balita di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 12.

3 38 Tabel 12 Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN Laju Laju Periode penurunan penurunan Tahun % Balita KEP % Gizi (r) KEP total (r) Gizi Kurang per tahun kurang per Nyata Total (%) tahun Repelita III NA NA NA Repelita IV 1989 NA NA Repelita V Repelita VI NA NA NA NA NA NA Propenas 1999 NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA RPJMN 2004 NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA Rata-rata laju penurunan (r) per tahun Sumber: Pembangunan Kesehatan, 50 tahun Indonesia Merdeka; Dit. Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000 Berdasarkan data trend perkembangan KEP dan gizi kurang di atas, terjadi kecenderungan penurunan prevalensi KEP (KEP nyata dan KEP total) dan gizi kurang pada balita di Indonesia. Rata-rata laju penurunan KEP total dari periode Repelita III sampai periode Repelita VI adalah 3.1% per tahun, sedangkan rata-rata laju penurunan gizi kurang per tahun dari Repelita IV sampai RPJMN adalah 1.5%. Pada akhir Repelita VI tahun 1998, KEP total balita adalah 20.7%. Dengan trend ini target penurunan KEP total pada akhir Repelita VI sebesar 30% telah tercapai dan target penurunan gizi kurang pada akhir RPJMN sebesar 20% juga telah tercapai. Laju penurunan KEP total tertinggi terjadi pada awal periode Repelita IV yaitu tahun 1994 sebesar 17.6%, sedangkan laju penurunan gizi kurang yang paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 17.4%. Hal ini diduga berhubungan dengan adanya beberapa perubahan kebijakan dan program yang dirumuskan pemerintah dalam bidang pangan dan perbaikan gizi saat periode Repelita V ( ) dibanding dengan periode Repelita sebelumnya dan kebijakan pada masa RPJMN Kebijakan dan program bidang pangan dan perbaikan gizi pada Repelita V adalah peningkatan dan penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta peningkatan usaha perbaikan gizi seperti, UPGK,

4 39 UPGI, penanggulangan gondok endemik, pengembangan SKPG, dan penelitian gizi. Selain itu, terlihat bahwa pada akhir RPJMN yaitu tahun 2010, terlihat bahwa prevalensi gizi kurang sudah mencapai 17.9%. Kebijakan ketahan pangan dan perbaikan gizi pada masa RPJMN bersifat lebih makro dengan adanya Revitalisasi Pertanian dan adanya program perbaikan gizi pada kebijakan bidang Kesehatan. Selain dengan melihat perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total, manifestasi KEP pada anak balita dalam jangka panjang dan pendek dapat berupa gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase jumlah balita yang mengalami gizi buruk terhadap jumlah seluruh balita Indonesia. Prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia mengalami perkembangan selama tiga puluh tahun terakhir yaitu dari tahun Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, besarnya prevalensi gizi buruk (Z-score < -3.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 4.9% dan prevalensi gizi kurang (Z-score <-2.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 17.9%. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Depkes tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk di Indonesia adalah sebesar 6.3% dan prevalensi gizi kurang adalah sebesar 37.5%. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan kesehatan dari beberapa tahun sebelumnya yang terlihat dari penurunan prevalensi gizi buruk dari 6.3% menjadi 4.9% dan penurunan prevalensi gizi kurang dari 37.5% menjadi 17.9%. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk dalam masalah berat (Departemen Kesehatan 2000). Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan per umur (BB/U) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 2.

5 40 Prevalensi (%) Target RPJMN Target MDGS Prevalensi gizi buruk (%) Prevalensi gizi kurang (%) Sumber: BPS. Susenas ; Depkes. Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 menggunakan standar WHO (2005) Gambar 2 Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun beserta Target MDGs dan RPJMN 2009 Berdasarkan pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa keadaan gizi masyarakat telah menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang (Z-score <-2 SD WHO- NCHS) dan gizi buruk (Z-score <-3 SD WHO-NCHS) pada anak balita. Prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar 37.5% dan prevalensi gizi buruk tertinggi terdapat pada tahun 1995, yaitu sebesar 11.6%. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun Sampai saat ini, Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi selama tiga puluh tahun terakhir ini yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 24.7% pada tahun Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 28.0% pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita dengan gizi kurang kembali menurun menjadi 18.3% (Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 17.9%. Berikut ini disajikan data nasional dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun disertai dengan cut off point status masalah kesehatan masyarakat berdasarkan WHO tahun 1999 (Tabel 13).

6 41 Tabel 13 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional Gizi Buruk Gizi Kurang Status No Tahun (%) (%) Masalah Kesehatan sangat tinggi sangat tinggi sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang Sumber: BPS. Susenas, SKRT; Depkes. RISKESDAS 2007 dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Tinggi : % Sedang : % Sangat tinggi : 30% Berdasarkan cut off point WHO (1999) pada Tabel 13 di atas terlihat bahwa pada tahun 1989, 1992, dan 1995, secara nasional Indonesia memiliki masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang yang sangat tinggi. Berdasarkan data Susenas 1989, jumlah balita yang mengalami gizi kurang adalah sebanyak 7.9 juta jiwa dari 21.3 juta jiwa balita di Indonesia. Sedangkan pada tahun 1995, jumlah balita yang mengalami gizi menurun menjadi 6.8 juta jiwa dari 21.5 juta balita. Status gizi buruk pada balita di Indonesia yang sangat tinggi pada saat itu mencerminkan bahwa penanganan masalah gizi buruk maupun gizi kurang di Indonesia pada tahun belum berjalan dengan baik. Sejak tahun terlihat bahwa status masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang pada saat itu termasuk tinggi. Selama tahun 2003, prevalensi gizi buruk di Indonesia mencapai 8.5% atau sekitar 1.5 juta anak, sedangkan gizi kurang mencapai 28.17%. Walaupun prevalensi gizi buruk ini lebih sedikit dibandingkan gizi kurang, namun kasus ini lebih cepat mendapat perhatian publik karena tanda-tandanya terlihat nyata. Berbeda halnya dengan gizi kurang yang lebih banyak namun tidak mendapat perhatian karena tanda-tandanya yang belum diketahui (Soekirman 2005).

7 42 Martianto dan Soekirman (2006) menyebutkan bahwa selama periode telah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang yang sangat relatif lebih tajam dari 37.5% menjadi 24.7%, dibanding periode setelahnya ( ). Diantara faktor yang menjadi pendorong turunnya prevalensi ini adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada periode sebelum krisis dan adanya upaya penanggulangan masalah gizi yang intensif melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada periode krisis ( ). Seiring dengan selesainya Program JPS dan implementasi otonomi daerah yang berimplikasi bahwa program gizi menjadi kewenangan daerah, padahal tidak semua pemimpin di Kabupaten/Kota memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah gizi, maka prevalensi gizi kurang terlihat meningkat kembali pada periode Angka prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal. Soekirman (2005) menyatakan bahwa prevalensi gizi kurang pada balita yang tinggi selama tahun 2003 (19.6%) merupakan penyebab kasus gizi buruk makin tinggi. Kelompok balita gizi kurang merupakan kandidat penderita gizi buruk, khususnya jika kelompok tersebut tidak mendapatkan penanganan yang baik. Salah satu cara penanganan ini adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu yang masih melakukan fungsi utamanya. yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Kasus gizi buruk yang semakin tinggi juga disebabkan karena balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, yaitu air susu ibu dan jika sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang baik. MPASI yang baik adalah yang cukup mengandung energi, protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain itu. pola pengasuhan anak juga turut mempengaruhi kasus gizi buruk pada balita. Pola pengasuhan anak yang baik yaitu pengasuhan yang dilakukan oleh ibunya sendiri dengan kasih sayang. berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI. posyandu. kebersihan. walaupun berada dalam kondisi ekonomi yang miskin akan menghasilkan anak yang sehat (Soekirman 2006). Melihat kondisi masih banyaknya balita yang mengalami kekurangan gizi maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menanggulangi permasalahan tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan pembagunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, maka sesuai amanat Undang-Undang

8 43 Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 (Bappenas 2009a). Dalam RPJMN , salah satu misinya adalah mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui agenda meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu sasaran dari kegiatan ini adalah menurunkan angka prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 20.0% dari jumlah balita pada tahun Selain RPJMN , Indonesia juga sedang berusaha untuk mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Salah satu tujuan MDGs adalah menanggulangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan. Salah satu target dari tujuan tersebut adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu ( ). Salah satu indikator yang digunakan adalah persentase balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas 2010). Sesuai target MDGs tersebut. maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 18.5% prevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Pada tahun 2010, angka prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia telah mencapai 17.9%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi. Untuk itu. Perlu perencanaan pangan dan gizi yang lebih efektif dengan memanfaatkan potensi ekonomi daerah dan bantuan dana pemerintah pusat untuk wilayah-wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah guna penanggulangan gizi buruk di masa yang akan datang. Dalam RPJMN , program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi, dan anak balita. Kegiatan pokok yang dilaksanakan dan berkaitan dengan KEP antara lain meliputi: (1) Peningkatan pendidikan gizi; (2) Penanggulangan kurang energi protein (KEP), (3) Penanggulangan gizi lebih; (4) Peningkatan surveilens gizi; dan (5) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi (Bappenas 2009a).

9 44 Prevalensi gizi buruk di Indonesia yang masih tinggi selama tiga puluh tahun terakhir merupakan salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan dalam penanganan masalah gizi buruk mengandung tiga masalah mendasar, yaitu masalah pelaksanaan,masalah sasaran, dan masalah lokasi. Pelaksanaan penanganan masalah gizi buruk mengharuskan adanya kerjasama lintas pelaku mengingat masalah kelaparan dan khususnya masalah gizi merupakan masalah yang sangat krusial. Hilangnya perhatian terhadap masalah kelaparan dapat menyebabkan hilangnya perhatian terhadap perbaikan gizi masyarakat. Apabila perhatian terhadap gizi masyarakat khususnya kepada balita kurang, maka hal ini akan mengakibatkan pengaruh pada penurunan kualitas penduduk berusia muda. Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan di tingkat masyarakat adalah keterbatasan tenaga (kualitas dan kuantitas) untuk menjangkau kelompok sasaran (Bappenas 2010). Banyaknya jumlah balita yang masih menderita gizi buruk selama tiga puluh tahun terakhir ( ) memerlukan penanganan yang cepat dan tepat melalui program-program perbaikan gizi. Martianto dan Soekirman (2006) menyatakan bahwa program-program yang diadakan untuk penanganan masalah gizi makro (KEP) di Indonesia adalah UPGK/Posyandu, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan program peningkatan ketahanan pangan masyarakat. UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga) dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi gizi buruk (KEP). Peningkatan kedua program ini berdampak positif menurunkan prevalensi gizi buruk. Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang dilaksanakan sampai saat ini berupa penimbangan balita. penyuluhan gizi (KIE), peningkatan pemanfaatan pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian kapsul vitamin A takaran tinggi, dan pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan beberapa lembaga terkait yang mempunyai tugas dan tanggungjawab saling menopang untuk keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu (Aritonang 2004). Pada Posyandu, cara pencegahan terjadinya gizi kurang adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak dengan kartu menuju sehat (KMS), dengan syarat posyandu masih melakukan fungsi utamanya, yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar (Soekirman 2005).

10 45 Penyebab langsung tingginya kasus gizi buruk di Indonesia ini adalah balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang. yaitu ASI (Air Susu Ibu) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) setelah anak berusia lebih dari 6 bulan. MP-ASI yang baik mengandung cukup energi dan protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain makanan yang seimbang. pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan juga berpengaruh terhadap munculnya kasus gizi buruk. Pola pengasuhan anak yang baik adalah apabila anak tersebut diasuh oleh ibunya sendiri yang berpendidikan dan mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan tanpa melihat kondisi ekonominya. Program pemberian makanan tambahan (PMT) ditujukan kepada anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (WUS). Program ini mendapat cukup banyak kritikan. karena terbukti tidak efisien, salah sasaran dan berbiaya tinggi. Untuk itu, kedepannya program ini hanya akan diperuntukkan untuk mengatasi kondisi darurat seperti bencana alam, konflik sosial, dan lain sebagainya. Adapun untuk program peningkatan ketahanan pangan masyarakat yang telah dikembangkan antara lain Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), dan Desa Mandiri Pangan (Desa MAPAN). Desa MAPAN bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya. kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan (Martianto dan Soekirman 2006).

11 46 Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional. Suryana (2004) menyebutkan bahwa kebijakan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut diarahkan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan, yaitu menjamin pasokan pangan yang stabil bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, keragaman, kandungan gizi, dan keamanan yang cukup; serta menjamin akses masyarakat terhadap dalam arti fisik maupun ekonomi. Sejak periode Repelita III hingga RPJMN , pembangunan di bidang pertanian dalam arti luas ( pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) serta pembangunan di bidang kesehatan dan gizi selalu menjadi agenda setiap pemerintahan di Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor tersebut pada hakekatnya merupakan faktor kunci dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Ketahanan pangan dan perbaikan gizi selalu menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional, bahkan pada Repelita III pembangunan di bidang pangan dan gizi dituangkan dalam satu bab tersendiri. Pada saat perencanaan dan implementasi pembangunan bidang pangan dan gizi dilakukan secara terintegrasi seperti sat itu, indonesi mencapai beberapa kemajuan berarti, antara lain mencapai swasembada beras dan kuatnya kelembagaan untuk pemantauan dan perbaikan status gizi seperti Posyandu, PKK, dan dasawisma. Kebijakan dan strategi pembangunan di bidang ketahanan pangan dan gizi terus berkembang dari waktu ke waktu seiring perubahan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh setiap pemerintahan. Di sektor penyediaan pangan,

12 47 dalam 50 tahun terakhir setidaknya terdapat dua paradigma, yaitu: a) paradigma produksi (supply side) termasuk pada penekanan peningkatan produktivitas (intensifikasi) dan perluasan areal (ekstensifikasi); pada paradigma ini kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan didasarkan pada kemampuan produksi, dan semua aspek, khususnya kelembagaan ditujukan untuk mendukung proses produksi seperti yang ditunjukkan antara lain oleh Program Bimas dan Inmas, b) paradigma sistem usaha agribisnis yang mengkaitkan kegiatan produksi bahan baku dengan kegiatan industri dan jasa dalam perspektif ekonomi makro. Implementasi kedua paradigma tersebut dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah menunjukkan tingkat keberhasilan dan permasalahan masing-masing, Pelajaran utama yang dapat dipetik dari berbagai pengalaman tersebut adalah bahwa kebijakan dan strategi untuk pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam hal produksi, penyediaan dan distribusi pangan harus bersifat integratif. Artinya pembangunan di bidang ini (khususnya sektor pertanian dan perikanan/kelautan) atau yang diarahkan untuk bidang ini (pembangunan di sektor lain yang mempengaruhi sektor pertanian dan perikanan) harus terintegrasi, harus memadukan kebijakan yang bersifat jangka Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III ( ) sampai RPJMN dibagi per sepuluh tahun dan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 14 sampai Tabel 16.

13 48 Tabel 14 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV Orde Rezim Pemerintahan Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Orde Baru Soeharto Mengusahakan penyediaan pangan meningkat dan merata Mengusahakan agar persediaan (Periode dan pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat dan konsumsi bahan makanan Menuju (Repelita III Mengusahakan penganekaragaman pola konsumsi dalam masyarakat terus Pencapaian ) pangan rakyat dan mengurangi ketergantungan pada meningkat dan semakin Swasembada beras beraneka ragam Beras) Meningkatkan keadaan atau status gizi rakyat dan usaha- Secara berkala akan ditentukan usaha pencegahan serta penanggulangan masalah harga dasar untuk bahan-bahan kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A, pangan yang terpenting anemia gizi besi dan gondok endemik dengan Meningkatkan daya guna dan peran-serta aktif masyarakat. hasil guna sistem pemasaran pangan Soeharto (Repelita IV ) Menuju tercapainya penyediaan pangan yang memadai, merata dan sesuai dengan kebutuhan gizi penduduk serta terjangkau oleh daya beli rakyat Meningkatkan keanekaragaman pola konsumsi pangan dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan meningkatkan mutu gizinya Menunjang pemantapan pembentukan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera dengan menurunkan angka kematian bayi dan anak balita melalui peningkatan keadaan gizi mereka Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak pada pengurangan penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Penanggulangan masalah gizi Pencapaian sasaran memantapkan swasembada pangan Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik Pemerataan persediaan/cadangan pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi Indikator KEP Penderita kurang kalori dan protein (KKP) pada anak balita berkurang dari 30% menjadi 22% Catatan 1978: Kepres 39/1978, Pengembalian tugas Bulog sebagai pengontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir, dll 1984: Medali FAO atas tercapainya swasembada pangan Kebijakan pangan pada masa ini hanya untuk meningkatkan produksi padi saja tanpa memperhatikan siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Produksi padi harus naik, sedangkan pembagian hasil akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar

14 49 Tabel 15 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI Orde Rezim Indikator Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Pemerintahan KEP Orde Baru Soeharto (Era Stabilisasi (Repelita V Orde Baru) ) Soeharto (Repelita VI ) Memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV Meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras, sekaligus meningkatkan mutu pangan dan gizi rakyat dengan tetap memperhatikan po- la konsumsi masyarakat setempat Meningkatkan keadaan gizi bayi, balita dan ibu hamil Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak mengurangi penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat Terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan, yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan dan pangan olahan Terjaminnya keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan Terwujudnya kesadaran gizi yang tinggi di masyarakat yang antara lain tercermin dari pola konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang Tercapainya penurunan prevalensi penyakit bukan infeksi akibat gizi lebih seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker sampai pada tingkat yang serendah mungkin Turunnya secara bermakna berbagai jenis penyakit gizi kurang terutama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat Peningkatan dan Penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan Peningkatan pemerataan penyediaan angan Stabilisasi harga pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi Peningkatan Ketahanan Pangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Peningkatan Keamanan Pangan Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Gizi Masyarakat Penanggulangan masalah gizi kurang Pengelolaan Upaya Perbaikan Gizi Program pokok : pemantapan swasembada pangan dan diversifikasi pangan Program penunjang : pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pangan; penelitian dan pengembangan pangan; pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan gizi Penderita kurang kalori protein (KKP) nyata pada balita berkurang dari 10.8% menjadi 9.5% Prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30% Catatan Kebijakan yang penting: stabilisasi harga beras Berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi 1997: Perubahan fungsi Bulog hanya untuk mengontrol harga beras dan gula pasir 1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja Pada periode ini harga beras relatif cukup stabil walaupun cenderung meningkat sebagai penyesuaian dengan laju inflasi Keberhasilan upaya ini ternyata memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun

15 50 Tabel 16 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN Orde Rezim Indikator Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Pemerintahan KEP Reformasi Habibie : Mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan Penyediaan kebutuhan pokok Menurunkan Sebelum landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi untuk keluarga miskin prevalensi Desentralisasi pembangunan ekonomi berkelanjutan Peningkatan Ketahanan Pangan kurang gizi (1998/1999) Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat pada balita A. Wahid: dengan pendekatan paradigma sehat, peningkatan mutu dan Pemberdayaan Masyarakat menjadi Setelah lembaga dan pelayanan kesehatan, pengembangan sistem Upaya Kesehatan 20 % Desentralisasi jaminan sosial tenaga kerja, pengembangan ketahanan Perbaikan Gizi Masyarakat (1999/2000) sosial, peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut usia Sumber Daya Kesehatan Megawati dan veteran, peningkatan kepedulian terhadap penyandang Obat, Makanan, dan Bahan (2000/2004) masalah sosial, peningkatan kualitas penduduk, Berbahaya pemberantasan perdagangan dan penyalahgunaan narkotik Kebijakan dan Manajemen (Propenas dan obat terlarang, dan peningkatan aksesibilitas fisik dan Pembangunan Kesehatan ) nonfisik bagi penyandang cacat S. Bambang Yudoyono (RPJMN ) Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar Program peningkatan ketahanan pangan Program pengembangan agribisnis Program peningkatan kesejahteraan petani Program peningkatan sumberdaya perikanan Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat Program lingkungan sehat Program upaya kesehatan masyarakat dan perorangan Program pencegahan dan pemberantasan penyakit Program perbaikan gizi masyarakat Program sumberdaya kesehatan Program penelitian dan pengembangan kesehatan Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak balita dari 25.8 persen menjadi 20% Catataan Perubahan yang signifikan pada era ini: Pemerintah lebih membuka ekonomi Indonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi daerah Sebelum desentralisasi : Unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras dihilangkan 1998/1999: penjualan pesawat IPTN ditukar dengan beras Thailand 2000: Penugasan tugas Bulog untuk managemen logistik beras ( penyediaan, distribusi, dan kontrol harga) Setelah desentralisasi: Implementasi otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi sejalan dengan paradigma pembangunan ketahanan pangan yang lebih terarah pada tingkat rumah tangga 2003: Privatisasi Bulog 2004: No-Option Strategy kecualu Swasembada Beras 2005: Revitalisasi Pertanian komitmen untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija

16 51 Hasil analisis isi terhadap kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama periode Repelita III sampai RPJMN di Indonesia memperlihatkan adanya pola tertentu yang semakin berkembang pada tiap masa pemerintahan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan disesuaikan dengan masalah dan tantangan setiap periode pemerintahan. Pada periode Repelita III hingga Repelita IV menunjukkan bahwa pembangunan pangan lebih berorientasi pada produksi pangan yang tercermin dari arah kebijakan ketahanan pangan dan gizi yang lebih banyak diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan. Kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan dan gizi pada periode ini masih berfokus pada program penguatan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan. Selain itu terlihat bahwa pada periode Repelita III, pemerintah belum menetapkan suatu indikator spesifik dalam pencapaian target penurunan prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) yang banyak diderita oleh anak balita. Pada periode Repelita V sampai periode Repelita VI terlihat bahwa kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai diarahkan pada sub sistem ketahanan pangan lainnya yaitu, distribusi dan konsumsi pangan. Hal ini tercermin dari arah kebijakan seperti, peningkatan penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan dan pemantapan kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan. Akan tetapi arah kebijakan juga tetap diarahkan untuk memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV. Selain itu, pada sub sistem status gizi, kebijakan mulai diarahkan untuk menurunkan berbagai penyakit kurang gizi terutama pada bayi, anak balita, ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat. Disamping itu, kebijakan juga tetap diarahkan untuk melanjutkan usaha peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah untuk mengurangi KKP, kekurangan vitamin A, gondok endemik dan anemia gizi besi yang telah dimulai sejak Repelita III. Selain itu terlihat pula pada mas Repelita VI, pemerintah mulai peduli dengan masalah keamanan pangan, hal ini dicirikan dengan adanya program peningkatan kemananan pangan pada periode tersebut. Pada tahun 1970an sampai awal tahun 1990, Indonesia telah mengembangkan suatu pendekatan yang terintegrasi untuk meningkatkan akses pangan dan perbaikan gizi masyarakat melalui kegiatan Usaha Perbaikan Gizi

17 52 Keluarga (UPGK). Dalam implementasinya kegiatan ini melibatkan berbagai instansi teknis, khususnya pertanian, kesehatan, BKKBN, Departemen dalam Negeri dan lembaga kemasyarakatan yang tumbuh di pedesaan seperti PKK dan Dasawisma. Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk memantau pertumbuhan status gizi anak balita sekaligus memperoleh informasi dan kemampuan praktis dalam tata kelola pekarangan untuk menunjang perbaikan gizi keluarga, penyiapan makanan dan pengasuhan anak,pentingnya penganekaragaman/diversifikasi pangan, serta pada saat bersamaan memperoleh pelayanan imunisasi, suplementasi dan pelayanan rujukan bagi yang mengalami gizi kurang tingkat berat. Pada masa ini Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) berkembang pesat dan cukup memiliki daya cegah terhdap munculnya masalah gizi buruk ke permukaan karena penapisan dan penanganan gizi buruk dapat dilakukan secara lebih dini. Pembangunan nasional pada periode berikutnya tertuang dalam Propenas dan RPJMN Propenas sebagai penjabaran dari GBHN dirumuskan secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak baik kalangan pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan, LSM, maupun para pakar baik di pusat maupun di daerah. Pada masa ini era reformasi dimulai dan terjadi perubahan besar di berbagai bidang yang telah membawa pula perubahan di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, beberapa prioritas pembangunan pada periode Propenas adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan serta membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan ketahanan budaya. Berbagai kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada periode Propenas mulai berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Selain itu, pada periode ini, terlihat bahwa pemerintah mulai mengarahlan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizinya pada peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan dengan paradigma sehat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya program lingkungan sehat perilaku sehat, dan pemberdayaan masyarakat. Pada periode RPJMN , pemerintah mempromosikan Revitalisasi Pertanian dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping

18 53 beras. Revitalisasi pertanian termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan hak atas pangan yang lebih baik. Hal ini terlihat dari kebijakan ketahanan pangan yang banyak diarahkan untuk mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan. Selain itu, pembangunan bidang kesehatan semakin diperluas untuk menunjang perbaikan gizi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan yang diarahkan untuk peningkatan kualitas kesehatan dasar dan pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Selain perubahan tersebut, ternyata pada periode RPJMN seperti yang terlihat pada Tabel 16, program perbaikan gizi mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah jika dibandingkan dengan periode-periode pembangunan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari adanya kebijakan pada masa ini yang diarahkan kepada hal-hal yang bersifat makro seperti mempertahankan produksi, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan, dan beberapa kebijakan di bidang kesehatan. Program pembangunan bertambah banyak dan program perbaikan gizi terlihat menjadi semakin kabur dengan disejajarkannya program gizi beberapa program di bidang kesehatan seperti program promosi kesehatan, lingkungan sehat, pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program-program lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada periode ini kembali menggunakan paradigma input untuk mengukur kesejahteraan rakyat seperti yang terjadi pada masa Repelita III dan Repelita IV dengan mengakomodir hal-hal yang lebih makro pada pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Beberapa perubahan yang terjadi pada era reformasi berdampak pula pada situasi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Lembaga pedesaan yang selama ini berfungsi dalam perbaikan pangan dan gizi (PKK, posyandu, Dasawisma) rumahtangga mulai melemah dan kasus gizi buruk menjadi sering muncul di permukaan karena tidak terdeteksi dan tertangani secara dini. Desentralisasi dan otonomi daerah mengakibatkan tidak meratanya pemahaman, langkah, upaya dan penempatan prioritas pembangunan ketahanan pangan dan gizi sehingga di beberapa daerah ketahanan pangan dapat dibangun dengan kokoh sementara di daerah lainnya terjadi kerapuhan. Selain itu, pada akhir periode RPJMN, terlihat bahwa revitalisasi pertanian hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan seperti soal akses atas pangan

19 54 yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan harga BBM yang mempengaruhi akses penduduk dalam memperoleh pangan dengan harga yang terjangkau. Bebagai kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang telah ditetapkan pemerintah sejak periode Repelita III hingga RPJMN mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Kaitan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan masalah KEP pada balita di Indonesia dapat diihat lebih rinci pada Lampiran 1. Pada Lampiran tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1983 atau akhir Repelita III, prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) pada balita adalah 29.1%. Jumlah ini menurun pada periode Repelita IV yaitu tahun 1998 menjadi 10.8%. Hal ini diduga karena pada periode Repelita IV, pemerintah telah menetapkan target penurunan prevalensi penderita KKP balita menjadi 22% yang belum ditetapkan pada periode Repelita III. Selain itu, kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada Repelita III dan Repelita IV diduga turut mempengaruhi terjadinya penurunan prevalensi KKP pada anak balita. Disamping itu, pada periode Repelita III pemerintah mencanangkan program utama di bidang ketahanan pangan yaitu swasembada pangan dan tercapai pada tahun 1984 atau pada periode Repelita IV. Selain itu, pada akhir periode Repelita VI terlihat bahwa prevalensi KEP total adalah 20.7% dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi pada saat itu berorientasi pada diversifikasi konsumsi pangan dan peningkatan distribusi pangan. Jumlah ini telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah yaitu prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30%. Pada akhir Repelita VI atau pada awal Propenas, istilah Kurang Energi Protein (KEP) pada balita sudah jarang digunakan dan istilah masalah gizi pada balita disebut sebagai kekurangan gizi balita. Hal ini dikarenakan masalah gizi pada anak balita juga disebabkan oleh kurangnya zat gizi mikro. Pada akhir periode Propenas, prevalensi kekurangan gizi pada balita adalah 27.5% dan jumlah ini menurun menjadi 17.9% pada akhir periode RPJMN Hal ini diduga terjadi karena pemerintah menetapkan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang berbeda dengan periode sebelumnya. Pada periode Propenas, pemerintah mengarahkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan

20 55 ekonomi dan peningkatan SDM dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat dan pelayanan kesehatan. Sedangkan pada periode RPJMN , pemerintah banyak mengarahkan kebijakan di bidang pangan dan perbaikan gizi untuk mencapai swasembada beras dan non-beras, melakukan diversifikasi pangan dan memperluas pembangunan kesehatan dengan berbagai program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki keadaan gizi masyarakat tetapi juga mendukung terwujudnya keadaan gizi yang lebih baik dan merata. Berbagai hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan yang telah ditempuh pemerintah melalui program pembangunan nasional sejak tahun 1980 hingga 2010 khususnya dalam bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional targettarget tersebut sudah terlampaui. Menurut Aritonang (2004) kecenderungan perubahan keadaan gizi masyarakat mencerminkan adanya kebijakan pembangunan yang berbeda pula. Terwujudnya ketahanan pangan akan berdampak kepada perbaikan status gizi (Azwar 2004).

21 56 Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan ekonomi dan sosial diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 17 menunjukkan parameter ekonomi dan sosial yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 17 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun Rata-rata lama Tingkat kemiskinan PDB per kapita Variabel sekolah (%) (Rp) (tahun) Prevalensi Gizi Buruk (%) Prevalensi Gizi Kurang (%) Berhubungan signifikan (p = < 0.05; r = 0.641) Tidak berhubungan (p = 0.1 > 0.05) Tidak berhubungan (p = > 0.05) Berhubungan signifikan (p = < 0.01; r = ) Berhubungan signifikan (p = < 0.01; r = ) Berhubungan signifikan (p = < 0.02; r = ) Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor penghambat sebuah keluarga dalam memperoleh akses makanan yang seimbang, pola pengasuhan, dan pelayanan kesehatan yang baik. Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan munculnya kasus gizi buruk (Soekirman 2005). Menurut beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penderita gizi buruk (KEP) cenderung lebih banyak dan parah di lingkungan keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Masalah gizi yang berkaitan dengan kemiskinan merupakan suatu lingkaran setan yang sulit dipecahkan sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan (Suhardjo 1989b). Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab masalah gizi yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan meyebakan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran

22 57 untuk berobat (Bappenas 2007). Untuk mengetahui perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun Periode Tahun Prevalensi Gizi Buruk Prevalensi Gizi Kurang Tingkat Kemiskinan (%) (%) (%) Repelita IV NA Repelita V 1990 NA NA NA 1993 NA NA 13.7 Repelita VI 1996a NA NA b NA NA Propenas RPJMN NA NA NA NA NA NA Sumber : BPS. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Ket: Tingkat kemiskinan : tahun 1989 s.d. 1996a : menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998) tahun 1996b s.d : berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan Status gizi menggunakan indeks BB/U menurut standar baku WHO-NCHS Mengacu pada garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin) menunjukkan kecenderungan menurun selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1990, tingkat kemiskinan mencapai 15.1%, kemudian turun menjadi 11.34% pada tahun 1996 (a). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun mengakibatkan persentase penduduk miskin meningkat kembali menjadi 24.2% pada tahun Pemulihan ekonomi dalam 5 tahun terakhir berhasil menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 15.97% tahun Akan tetapu pada tahun 2006 tingkat kemiskinan menungkat lagi menjadi 17.75%. Hal ini diduga terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut meningkat yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17.95% (BPS

23 ). Dengan demikian, penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Pada tahun 2007 terjadi penurunan kembali, persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 16.6% atau sebesar 37.2%. Pada periode tahun , jumlah penduduk miskin telah berhasil dikurangi secara signifikan dari periode sebelumnya. Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dimana tahun 2010 menjadi 31.0 juta jiwa (13.3%) atau berkurang 8.3 juta jiwa orang dibandingkan tahun Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 tersebut bahkan lebih kecil dari jumlah penduduk miskin sebelum krisis ekonomi moneter tahun 1998 sebesar juta jiwa (17.5%). Selain berupaya untuk mengurangi jumlah kurang gizi, Indonesia juga berupaya untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Sesuai dengan jumlah MDGs yaitu mengurangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan, maka target yang harus dicapai oleh Indonesia adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu Tingkat kemiskinan yang menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 adalah 7.5% (Bappenas 2007). Di sisi lain, Indonesia juga berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui RPJMN yaitu penanggulangan kemiskinan dengan sasaran menurunkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8.2% pada tahun 2009 (Bappenas 2009a). Berdasarkan hasil evaluasi RPJMN , faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia antara lain: 1) belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar pulau Jawa, daerah terpencil dan daerah perbatasan; 2) kemiskinan sangat terkait dengan dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; 3) masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan ekonomi maupun kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial; 4) bencana alam dan sosial menciptakan penduduk miskin baru, sehingga tingkat kemiskinan juga mengalami peningkatan; 5) kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok yang berdampak pada daya beli masyarakat miskin (Bappenas 2007). Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin belum memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan

24 59 yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin. Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan kekurangan gizi pada setiap anggota rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas individu karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan yang rendah; (ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena sering sakit. Sebaliknya, kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada individu tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah KEP tidak hanya disebabkan oleh masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial ekonomi terutama kemiskinan. Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun (Gambar 3). Prevalensi gizi buruk (%) y = 0.325x R² = Tingkat Kemiskinan (%) Gambar 3 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = < 0.05, r = 0.641) antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi gizi buruk akan semakin meningkat. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) adalah yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 41.1% terhadap prevalensi gizi buruk,

25 60 sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = 0.325x Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 0.325, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan kali prevalensi gizi buruk. Kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesbilitas pangan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Apabila program-program pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini, maka akan berdampak pada peningkatan kemiskinan/kerawanan pangan dan status gizi yang rendah (DKP 2006). Sementara itu, analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.1 > 0.05) antara prevalensi gizi kurang pada balita dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi kurang tidak hanya terjadi karena masalah ekonomi seperti kemiskinan, akan tetapi dapat disebabkan oleh faktor lain. Pada laporan Riskesdas 2010 disajikan prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menurut beberapa karakteristik responden. Salah satu karakteristik responden yang digunakan yaitu tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita. Tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita dibagi menjadi kuintil 1 sampai kuintil 5 yang mengindikasikan keadaan ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi kuintil, semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga dan sebaliknya semakin rendah kuintil semakin rendah keadaan ekonomi rumahtangga. Pada kuintil 5, terlihat bahwa prevalensi gizi buruk balita adalah 2.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 7.9%. Hasil ini mengindikasikan bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi pada keluarga yang status ekonominya rendah, namun juga terjadi pada keluarga yang baik kondisi perekonomiannya. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Perkembangan ekonomi dihitung berdasarkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Angka laju pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menggunakan PDB atas dasar harga konstan. Jika PDB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun diperoleh rata-rata produk yang dihasilkan atau pendapatan yang dibayarkan per penduduk negara tersebut disebut sebagai nilai PDB per kapita (BPS 2005a). PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB atas dasar harga konstan per tahun. Perkembangan PDB per kapita di

26 61 Indonesia selama dua puluh tahun ( ) secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun dan status masalah kesehatan secara nasional Status Gizi Buruk Gizi Kurang No Tahun PDB/kapita (rupiah) Masalah (%) (%) Kesehatan sangat tinggi sangat tinggi sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang *Atas dasar harga konstan Sumber: IMF, BPS (Susenas), RISKESDAS 2007, dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : % Tinggi : % Sangat tinggi : 30% Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa selama dua puluh tahun terakhir, nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun , nilai PDB per kapita terus mengalami peningkatan, namun terjadi penurunan pada rentang tahun Penurunan ini disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi pada masa tersebut (BPS 2005a). Selanjutnya PDB terus mengalami peningkatan hingga tahun Pada tahun dengan nilai PDB yang meningkat, status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Perbedaan status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang pada tahun dengan tahun 1989 disebabkan penggunaan standar yang berbeda. Pada tahun , Indonesia memiliki nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan yang cenderung meningkat walaupun terjadi penurunan dari tahun , status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam

27 62 kategori tinggi. Selain itu pada tahun , permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk pada kategori sedang. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk pada balita dengan PDB per kapita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini diduga terjadi karena walaupun PDB cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat sebagaimana membangun gedung dan prasarana fisik. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2007). Sejalan dengan kerangka pikir UNICEF (1998), PDB per kapita merupakan indikator daya beli yang berpengaruh langsung terhadap konsumsi pangan. Oleh karena itu apabila PDB per kapita rendah, maka daya beli pun menjadi rendah sehingga mengakibatkan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi pangan akan berkurang. Selanjutnya, pengaruh PDB per kapita terhadap gizi kurang dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 4). Prevalensi gizi kurang (%) y = -4E-06x R² = PDB per kapita (rupiah) Millions Gambar 4 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita Indonesia selama dua puluh tahun terakhir ( ) di Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = < 0.01; r = ) antara prevalensi gizi kurang dengan PDB per kapita. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi tingkat PDB per kapita maka prevalensi gizi kurang akan semakin menurun. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) adalah yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 67.4.% terhadap prevalensi gizi buruk, sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = x Koefisien regresi persamaan tersebut adalah , artinya

28 63 setiap kenaikan PDB per kapita sebesar 1 satuan, maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar kali. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan menjadi lebih baik. Berikut ini disajikan data pendidikan berupa rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun pada Tabel 20. Tabel 20 Perkembangan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun dan status masalah kesehatan secara nasional Rata-rata Lama Status Gizi Buruk Gizi Buruk + Tahun Sekolah Masalah No (%) Gizi Kurang (%) (tahun) Kesehatan sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang Sumber: BPS Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : % Tinggi : % Sangat tinggi : 30% Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia pada Tabel 20 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat

29 64 dari tahun walaupun terjadi penurunan rata-rata lama sekolah penduduk pada tahun pada tahun Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk tertinggi yaitu pada tahun 2010 memiliki status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang tergolong sedang dan hanya pada tahun 1995 yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5. Prevalensi gizi buruk (%) y = x R² = Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas(tahun) Gambar 5 Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = < 0.05, r = ) antara prevalensi gizi buruk dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Arah hubungan yang negatif berarti terdapat hubungan berbanding terbalik antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk suatu wilayah maka prevalensi gizi buruk di wilayah tersebut akan cenderung menurun Koefisien determinasi yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0.598, artinya ratarata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas berpengaruh 59.8% terhadap prevalensi gizi buruk. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = x Koefisien persamaan regresi persaman tersebut bernilai negatif yaitu , artinya setiap kenaikan satu satuan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas akan menurunkan kali prevalensi gizi buruk.

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI I. PENJELASAN UMUM Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci

KURANG ENERGI PROTEIN (PROTEIN ENERGY MALNUTRITION) EVAWANY ARITONANG

KURANG ENERGI PROTEIN (PROTEIN ENERGY MALNUTRITION) EVAWANY ARITONANG KURANG ENERGI PROTEIN (PROTEIN ENERGY MALNUTRITION) EVAWANY ARITONANG Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Pendahuluan KEP merupakan salah satu masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN A. Tugas Pokok dan Fungsi PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN pengkajian, penyiapan perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan, dan pemantapan ketersediaan pangan, serta pencegahan dan penanggulangan kerawanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kebijaksanaan dan perencanaan pangan dan gizi harus mendapat tempat yang utama dalam mensejahterakan kehidupan bangsa. Sebab, apabila orang tidak cukup makan, maka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H. KATA PENGANTAR Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Apa latarbelakang perlunya KADARZI? Apa itu KADARZI? Mengapa sasarannya keluarga? Beberapa contoh perilaku SADAR GIZI Mewujudkan keluarga cerdas dan mandiri Mengapa perlu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

PROGRAM PERBAIKAN GIZI MAKRO

PROGRAM PERBAIKAN GIZI MAKRO PROGRAM PERBAIKAN GIZI MAKRO RINGKASAN Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan serta aktifitas. Keadaan kurang gizi dapat terjadi dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak. pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang

BAB 1 PENDAHULUAN. dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak. pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat nyata dalam peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari penetapan perbaikan status gizi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 5 TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dimana masyarakat antara lain melalui kader-kader yang terlatih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH DINAS KESEHATAN Jalan Jend.Sudirman No.24 Telp SUNGAI PENUH Kode Pos : 37112

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH DINAS KESEHATAN Jalan Jend.Sudirman No.24 Telp SUNGAI PENUH Kode Pos : 37112 PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH DINAS KESEHATAN Jalan Jend.Sudirman No.24 Telp 0748.21052 SUNGAI PENUH Kode Pos : 37112 Organisasi Bidang Seksi Program KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) TAHUN ANGGARAN 2013 : Dinas

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan No.60, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Pangan. Gizi. Ketahanan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5680) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum dijumpai di negara negara berkembang termasuk Indonesia. Status gizi yang buruk pada bayi dan anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

Daya tahan rendah Mudah sakit Kematian

Daya tahan rendah Mudah sakit Kematian DR. ESI EMILIA, MSI Gizi Kurang Daya tahan rendah Mudah sakit Kematian Daya tahan rendah Absensi meningkat Produktivitas rendah Pendapatan rendah Tumbuh kembang otak tidak optimal Gangguan kecerdasan &

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk hidup sehat. Visi ini dicapai dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, oleh karena itu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bangsa lndonesia bertujuan untuk. mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

1. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bangsa lndonesia bertujuan untuk. mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bangsa lndonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang DINAS PETERNAKAN PROV.KALTIM 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Administratif Provinsi Kalimantan Timur terdiri atas 14 Kabupaten/Kota, namun sejak tgl 25 April 2013 telah dikukuhkan Daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup manusia terbagi atas kualitas fisik dan kualitas non

Lebih terperinci

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 I. LATAR BELAKANG Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan menetapkan bahwa Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mengadakan

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah kebutuhan utama dan mendasar bagi kehidupan manusia. Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang

Lebih terperinci

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat yang terkait. Masalah kekurangan gizi juga merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Menurut data dari pada World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indikatornya adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, yang dapat menikmati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan paradigma pembangunan telah ditetapkan arah kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak balita merupakan salah satu golongan penduduk yang rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Dari data Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI

PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI Jl. RAYA KENDUNG KEL. SEMEMI KEC. BENOWO TELP. 031 7413631 S U R A B A Y A KODE POS 60198 KERANGKA ACUAN KEGIATAN PELACAKAN BALITA GIZI

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan antropometri (berat badan, tinggi badan, atau ukuran tubuh lainnya) dari waktu ke waktu, tetapi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah terciptanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan pembangunan suatu bangsa sangat bergantung pada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif.

Lebih terperinci

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan Kebijakan Strategis RAN-PG 2016-2019: Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan Prof. Dr. Bustanul Arifin barifin@uwalumni.com Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA Dewan Pendiri dan Ekonom Senior INDEF

Lebih terperinci

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal Yayuk FB Pembekalan KKP Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB 14 Mei 2011 CONTOH : Hasil identifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena 17 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi pada anak masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang belum dapat diselesaikan, khususnya masalah kekurangan gizi. Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAMBI Menimbang PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia prevalensi balita gizi buruk adalah 4,9% dan gizi kurang sebesar 13,0% atau secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang adalah sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gizi merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Masalah gizi ini diikuti dengan semakin bertambahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN 2019-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA Jl. PEMBANGUNAN NO. 183 GARUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Balita (1 5 Tahun) Anak balita adalah anak yang berusia 1-5 tahun. Pada kelompok usia ini, pertumbuhan anak tidak sepesat masa bayi, tapi aktifitasnya lebih banyak (Azwar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Juanita: Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan Masyarakat, 2001 USU Repository 2006

BAB I PENDAHULUAN. Juanita: Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan Masyarakat, 2001 USU Repository 2006 BAB I PENDAHULUAN Sejak pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter yang pada saat ini telah berkembang menjadi krisis ekonomi serta pelbagai krisis lainnya yang berpengaruh pada berbagai aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi (KKP), dan jumlahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator penentu keberhasilan tingginya tingkat kesehatan masyarakat adalah angka kematian bayi dan balita. Berdasarkan peringkat Human Development Index

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA (BIDANG KESEHATAN) Disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI Jakarta, 23 November 2005 AGENDA PEMBANGUNAN AGENDA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Explanatory Research dibidang gizi masyarakat, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antar variabel. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemenuhan gizi pada anak usia dibawah lima tahun (balita) merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita merupakan periode perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha menyejahterakan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL Untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan bagian pokok didalam kehidupan dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pemenuhan sandang, pangan, maupun papan yang harus

Lebih terperinci

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut : 4. Sistem Informasi pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Provinsi yang belum tepat waktu Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai

Lebih terperinci