TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi
|
|
- Harjanti Budiono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 4 TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari 177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal. Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun , pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004). Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas tersebut adalah: a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup) b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi), c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan) d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) Sejalan dengan itu, tujuan dan arah pembangunan pangan dan gizi adalah perbaikan konsumsi pangan menuju pola pangan harapan Indonesia dan status gizi untuk meningkatkan kualitas SDM. Adapun startegi pencapaiannya
2 5 adalah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, pengawasan disteribusi pangan serta partisipasi masyarakat (Karsin 2004). Dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) terdapat strategi untuk mengatasi masalah gizi, baik itu strategi jangka pendek maupun jangka panjang. Strategi jangka pendek terdiri atas kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, dan kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, diantaranya pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat (contoh posyandu), pemberian suplemen zat gizi mikro, pemberian bantuan pangan kepada anak kurang gizi dari keluarga miskin, fortifikasi bahan dan biofortifikasi. Kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, meliputi bantuan langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, pemberian kredit mikro untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian makanan, khususnya pada waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, vitamin A dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, dan pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat. Kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun, pengasuhan bayi dan anak yang benar, air bersih dan kebersian diri serta lingkungan, dan pola hidup sehat lainnya seperti berolah raga, tidak merokok, makan sayur dan buah setiap hari. Strategi jangka panjang terdiri atas kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan, kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau kebutuhan pangan dan gizi, dan kebijakan yang mendorong perubahan perilaku hidup sehat dan gizi yang baik bagi anggota keluarga. Kebijakan yang mendorong penyediaan pelayanan meliputi, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih dan sanitasi, pengaturan pemasaran susu formula, kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan, kebijakan pembangunan industri pangan, memperbanyak fasilitas olah raga bagi masyarakat. Kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau
3 6 kebutuhan pangan dan gizi, seperti pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat miskin, pembangunan yang menciptakan lapangan kerja, kebijakan fiskal, dan harga pangan yang meningkatkan daya beli masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang sehat dan aman. Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat dan gizi baik bagi anggota keluarga, seperti meningkatkan kesetaraan gender, mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun diluar sekolah. Strategi-strategi di atas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta menunjukkan adanya proses pembangunan yang berkelanjutan dalam memanfaatkan sember daya yang ada sehingga dapat terwujud tujuan pembangunan nasional yaitu ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga. Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita Pengertian KEP Selama empat dekade terakhir, terjadi transisi penggunaan istilah KEP pada anak balita di Indonesia. Pada masa Repelita I (1970) sampai akhir Repelita V (1993) istilah yang sering digunakan untuk masalah kekurangan gizi makro pada anak balita adalah KKP atau Kurang Kalori dan Protein. Istilah tersebut berubah pada masa Repelita VI ( ) menjadi KEP atau Kurang Energi Protein dan kembali berubah menjadi gizi kurang (baku WHO NCHS) pada masa Propenas ( ) hingga saat ini. Adanya perubahan istilah KEP menjadi gizi kurang disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya perbedaan pengertian dan istilah yang digunakan pada tiap periode pembangunan serta adanya perbedaan dalam pengukuran antropometri untuk mengklasifikasikan status gizi balita. Kurang Energi Protein (KEP) didefinisikan sebagai masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2001), KEP merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami sindroma gabungan antara kekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan pada balita (Atmarita
4 7 dan Tatang S. Fallah 2004). Selain perbedaan tersebut, istilah KEP dan gizi kurang juga dibedakan karena metode pengukuran dalam mengklasifikasikan status gizi balita juga berbeda. Pada pengklasifikasian masalah KEP, metode pengukuran yang digunakan adalah persentase terhadap nilai median, sedangkan untuk klasifikasi masalah gizi kurang digunakan metode pengukuran terhadap skor simpangan baku/standar deviasi. Klasifikasi KEP Manifestasi KEP dapat ditentukan dengan mengukur status gizi balita. Status gizi balita mencerminkan status gizi masyarakat, oleh karena itu untuk menilainya dapat menggunakan pendekatan penilaian status gizi golongan anak balita. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Penilaian status gizi antropometri merupakan penilaian yang umum digunakan. Ada dua jenis baku acuan dalam mengklasifikasikan status gizi, yaitu baku lokal dan internasional. Terdapat beberapa baku acuan internasional, yaitu Havard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada. Havard dan WHO-NCHS adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara. Data baku rujukan WHO- NCHS disajikan dalam dua versi yaitu persentil dan Z-score. Sejak tahun 80-an Indonesia menggunakan dua baku acuan internasional, yaitu Havard dan WHO-NCHS. Semiloka Antropometri Ciloto (1991) menyarankan pengajuan penggunaan secara seragam baku rujukan WHO-NCHS sebagai pembanding dalam penilaian status gizi dan pertumbuhan baik perorangan maupun masyarakat. Pada penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut: 1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS Tabel 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS Klasifikasi KEP BB/U BB/TB Ringan 70-80% 80-90% Sedang 60-70% 70-80% Berat <60% <70% 2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI Klasifikasi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:
5 8 Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI BB/TB TB/U (berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur) Mild 80-90% 90-94% Moderate 70-79% 85-89% Severe <70% <85% 3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956) Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Gomez Derajat KEP Berat badan % dari baku 0 (normal) 90% 1 (ringan) 89-75% 2 (sedang) 74-60% 3 (berat) <60% 4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967) McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum. Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut McLaren Gejala klinis/laboratoris Angka Edema 3 Dermatosis 2 Edema disertai dermatosis 6 Perubahan pada rambut 1 Hepatomegali 1 Albumin serum atau protein total serum/g % <1.00 < >4.00 > Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita: 0-3 angka : marasmus 4-8 angka : marasmic-kwashiorkor 9-15 angka : kwashiorkor
6 9 Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalaahan jika dibandingkan dengan cara Welcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan laboratorium. 5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust Party (1970) Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus. Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party Berat badan % dari baku Edema Tidak ada Ada >60% Gizi kurang Kwashiorkor <60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor 6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973) Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun. Waterflow berpendapat bahwa defisit berat menurut tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya. Tabel 6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow Derajat Gangguan Stunting (BB/U) Wasting (BB/TB) 0 > 95% >90% % 90-80% % 80-70% 3 <85 <70% 7. Klasifikasi Menurut Jellife Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB) menurut umur (U) sebagai berikut: Tabel 7 Klasifikasi KEP menurut Jellife Kategori BB/U (% baku) KEP I KEP II KEP III KEP IV <60
7 10 Menurut Depkes (1997), terdapat beberapa istilah yang digunakan di lapangan dalam mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS). Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka sejak awal periode Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap balita sejak tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masingmasing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score Indeks Nilai Z-score Kategori BB/U Z-score <-3.0 Gizi buruk -3.0<-Z-score<2.0 Gizi kurang -2.0 Z-score 2.0 Gizi baik Z-score >2.0 Gizi lebih TB/U Z-score <-3.0 Sangat pendek -3.0 Z-score <-2.0 Pendek Z-score -2.0 Normal BB/TB Z-score <-3.0 Sangat kurus -3.0 Z-score <-2.0 Kurus -2.0 Z-score 2.0 Normal Z-score >2.0 Sangat kurus IMT/U Z-score 3.0 severe obese 2.0 Z-score 3.0 obese 1.0 Z-score < 2.0 Overweight -2.0 < Z-score < 1.0 Normal -2.0 Z-score < -3.0 Thinness Z-score -3.0 severe thinness Sumber: Riskesdas 2007 Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah balita tersebut bersifat kronis atau akut. Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak
8 11 lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Depkes 2010a). Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Penyebab KEP Menurut UNICEF (1998) dalam Soekirman (2000), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. UNICEF (United Nations Children s Found) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyakit tersebut saling berpengaruh. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan sumber energi dan protein yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersediaanya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung (Bappenas 2010a). Menurut Soekirman (2000), penyebab langsung diatas muncul akibat faktor tidak langsung, yaitu tidak cukup tersedianya pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak yang kurang memadai, keadaan sanitasi yang buruk, tidak tersedianya air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih, yaitu kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola
9 12 asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat turut menjadi penyebab tidak langsung KEP. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah gizi masyarakat seperti KEP merupakan salah satu tumpuan penting dalam pembangunan ekonomi, politik dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan (Bappenas 2010a). Permasalahan KEP di Indonesia Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Atmarita & Fallah 2004). Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika "bencana" kelaparan dan gizi buruk terus mewarnai berita-berita di media massa sepanjang tahun Belum reda dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di berbagai daerah yang dimulai awal tahun 2005, menjelang akhir tahun 2005 lagilagi masyarakat dikejutkan oleh munculnya pemberitaan mengenai kelaparan di Yahukimo, sebuah kabupaten pemekaran di Propinsi Papua yang mengakibatkan tak kurang dari 50 orang meninggal akibat kurang pangan (Martianto & Soekirman 2006 ). Gencarnya pemberitaan mengenai masalah kelaparan dan gizi buruk sangat memprihatinkan mengingat masalah kurang pangan dan gizi buruk ini bukan masalah baru, bisa terdeleksi secara dini dan dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya. Kejadian serupa, khususnya untuk gizi buruk, juga "baru" saja terjadi pada saat krisis ekonomi tahun lalu. Padahal pada saat itu media massa juga sangat gencar memberitakan masalah gizi buruk ini. Dalam hal ini nampaknya kita telah menjadi bangsa yang cepat "lupa" tentang permasalahan yang dihadapi sehingga menjadi tidak waspada bahwa masalah gizi buruk ini bisa mencuat lagi ke permukaan kapan saja. Soekirman (2005), menyebutkan bahwa merebaknya masalah gizi buruk
10 13 ini adalah karena kita semua tidak waspada. Ketidakwaspadaan ini disebabkan instrumen-instrumen yang selama ini dikembangkan unluk mencegah dan menanggulangi masalah pangan dan gizi cenderung tidak dimanfaatkan, bahkan ditinggalkan. Selama ini di Indonesia telah dikembangkan suatu sistem isyarat dini (early warning system) untuk mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan gizi yang disebut dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG yang dikembangkan mencakup SKPG untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan pangan/ kelaparan dan SKPG untuk mengantisipasi masalah gizi buruk yang implementasinya dilakukan melalui pemantauan berat badan anak balita di Posyandu. Karena masalah gizi buruk yang merebak akhir-akhir ini tidaklah "instan atau terjadi begitu saja, melainkan merupakan suatu proses yang cukup panjang sejak terjadinya eksposure (intake makanan yang rendah dan infeksi penyakit hingga manifestasinya dalam bentuk marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor), maka masalah ini seharusnya bisa dicegah bila sistem kewaspadaan tersebut berjalan dengan baik (Martianto 2006). Kajian gizi kurang lainnya adalah beberapa studi yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada Tabel 9, prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2 SD) setelah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting diatas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita (Atmarita dan Fallah 2004). Tabel 9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev. JPS, 99 SKRT, 01 Total Laki-laki Perempuan Kota Desa IBT = Survei Indonesia Bagian Timur, Suvita Survei Nasional Vitamin A; SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS = Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga; Sumber: Atmarita & Fallah dalam WKNPG VIII (2004). Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional sebesar 18.4%. Angka prevalensi gizi buruk pada
11 14 balita di Indonesia yang umumnya tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingginya prevalensi gizi kurang, pola pengasuhan anak yang buruk, balita tidak cukup mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, serta pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat. Upaya Penanggulangan KEP Menurut Soekirman (2000), upaya pencegahan dan penanggulangan KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya saja misalnya dengan meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi juga dengan mengkaji tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga untuk mengatasi masalah kurang gizi yang terjadi. Pada umumnya, KEP pada orang dewasa lebih banyak menceminkan kemiskinan. Pada anak-anak, selain ekonomi terdapat faktor lain yang menyebabkan timbulnya KEP. Berbagai upaya lain di luar ekonomi harus berjalan bersama-sama saling melengkapi (komplementer) dengan upaya perbaikan ekonomi khususnya pengentasan kemiskinan. Upaya lain yang dimaksud adalah upaya yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh sasaran yaitu masyarakat beresiko tinggi menderita KEP (terutama anak balita). Sedangkan upaya perbaikan ekonomi merupakan upaya tidak langsung karena hasilnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok sasaran, tetapi juga oleh masyarakat umum. Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi, kesehatan, dan pendidikan. Upaya tidak langsung meliputi: (a) jaminan ketahanan pangan (food security) sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin dapat dipenuhi hak asasinya yaitu hak untuk memperoleh makanan yang cukup, (b) memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli, dan (c) membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah untuk memberikan kesempatan kepada penduduk miskin meningkatkan pendapatan melalui produksi barang dan jasa. Disamping upaya langsung dan tidak langsung, terdapat upaya lain untuk memantau status gizi masyarakat di tingkat keluarga dan perorangan dari waktu ke waktu. Upaya pemantauan ini merupakan salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia dan disebut sebagai program kewaspadaan pangan dan gizi atau food and nutritional survelance. Menurut Arisman (2004), penanggulangan KEP harus dilakukan pada taraf makro dan taraf mikro. Penanggulangan taraf makro meliputi perbaikan ekonomi negara, peningkatan pendidikan umum, dan pendidikan gizi, penerapan
12 15 serta penyuluhan gizi, peningkatan produksi bahan makanan dan peningkatan upaya-upaya pasca panen untuk menghindarkan penghamburan bahan makanan (waste) dan peningkatan hygiene lingkungan maupun perorangan. Selain itu, Keluarga Berencana (KB) juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi KEP dalam masyarakat. Penanggulangan pada taraf makro ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara serempak oleh berbagai instansi yang memerlukan koordinasi. Penanggulangan dalam lingkup mikro bberhubungan dengan kondisi keluarga dan para anggota keluarga. Faktor-faktor penyebab KEP disini adalah kurangnya konsumsi, daya beli keluarga yang rendah, infeksi cacing, pendidikan umum, dan pengetahuan gizi yang rendah, dan terlalu banyak anak dalam keluarga. Faktor-faktor kelompok mikro ini harus ditinjau satu per satu dan dicari alternatif perbaikan atau pemecahannya. Faktor yang Berpengaruh Pada KEP Kerangka konsep UNICEF memperlihatkan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi buruk. Mulai dari krisis sosial ekonomi dan politik, kemiskinan, pendidikan, pola asuh, kesehatan lingkungan, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan penyakit infeksi/non-infeksi. Ditinjau dari sudut pandang nasional, studi mengenai masalah kurang gizi memerlukan analisis sosial ekonomi yang luas dan bukan pendekatan secara diagnostis dan pengobatan perseorangan. Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar terdiri atas pangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Akses pangan terdiri atas 3 (tiga) aspek yaitu aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari PDB atau dari tingkat kemiskinan. Aspek sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap pangan tetapi berpengaruh pula terhadap kebutuhan dasar yang lainnya, termasuk kesehatan. Berikut diuraikan akses pangan dilihat dari dimensi sosial dan ekonomi. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang
13 16 terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis makanan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis untuk pedesaan. World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hai ini bermanfaat dalam menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganailisi kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari. Selain menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), BPS juga membedakan penduduk miskin menurut sifatnya yaitu kemiskinan sementara (transient poverty) dan kemiskinan kronis (chronic poverty). Penduduk yang termasuk dalam kemiskinan sementara adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Pada umumnya, penduduk miskin sementara (transient poor) disebabkan oleh memburuknya keadaan perekonomian sehingga pendapatan orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum. Sedangkan penduduk miskin kronis adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya berada jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi (BPS 2008a). Penduduk miskin dalam penelitian ini diartikan sebagai penduduk yang memiliki nilai konsumsi di bawah garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk dapat memenuhi konsumsi
14 17 sebesar kalori serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah tersebut, dinyatakan dalam persen. Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan lingkaran setan yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989b). Bappenas (2007) menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut pengertian ekonomi, produk domestik bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional. PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.
15 18 Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat. Gross Domestic Product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali. Tipe-tipe GDP Ada dua tipe GDP, yaitu : 1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut. 2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot. Indikator Pendidikan (BPS 2009) Indikator pendidikan yang digunakan oleh BPS bersumber dari data hasil Susenas Kor tahun Susenas merupakan survei tahunan yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan dengan cakupan relatif luas. Indikator pendidikan tersebut yaitu, partisipasi pendidikan formal, partisipasi pendidikan formal dan nonformal, pendidikan yang ditamatkan penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009).
16 19 Rata-rata Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas sebagai indikator pendidikan yang dianggap berpengaruh terhadap masalah gizi KEP. Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga. Berg (1986) menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Almarita & Fallah (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasi pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Kesehatan Lingkungan Depkes (2010b) mengelompokkan data kesehatan lingkungan meliputi data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi dan kesehatan perumahan. Data keperluan air rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam
17 20 rumah tangga, cara penyimpanan air minum serta akses terhadap sumber air minum. Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum yang Terlindungi dan Berkelanjutan. Berdasarkan berbagai survei mengenai kesehatan lingkungan seperti dalam SKRT, SUPAS, Susenas, dan Riskesdas, air dikelompokkan menjadi air bersih, air minum bersih, dan air minum yang terlindung dan berkelanjutan. Terdapat dua definisi air bersih menurut Susenas dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) Air bersih terdiri dari air pipa, pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung, air dari mata air terlindung, dan air hujan dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja 10 m; (2) Air bersih terdiri dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan sumur bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja 10 m (BPS 2009). Sedangkan Depkes (2008b) mendefinisikan air bersih berasal dari sumber terlindung dan sarana sumber air yang digunakan improved serta berada dalam radius 1 km dari rumah. Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi dua kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan lainnya (Depkes 2008b). Air minum bersih menurut Susenas dalam Indikator Kesejahteraan Rakyat didefinisikan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Air minum bersih bersumber dari sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (2) Air minum bersih bersumber dari pompa, sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (3) Air minum bersih bersumber dari leding, kemasan, dan pompa, sumur/mata air terlindung yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m (BPS 2008b). Sedangkan untuk air minum yang terlindung dan berkelanjutan memiliki dua definisi, yaitu menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) dan SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) serta menurut Susenas. SKRT 1980, SUPAS 1985 dan SKRT 1986 mendefinisikan air minum yang terlindung dan berkelanjutan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan (Depkes 1988).
18 21 Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses terhadap sanitasi layak (Bappenas 2010b). Pembuangan tinja (tempat buang air besar/bab) dalam nomenklatur MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Depkes 2010a). Selain itu terdapat beberapa definisi sanitasi layak. Menurut SKRT 1980 dan SKRT 1986, sanitasi layak adalah bila penggunaan sarana BAB berupa jamban (Depkes 1988). Sedangkan Susenas mendefinisikan sanitasi layak menjadi 2, yaitu (1) penggunaan sarana BAB berupa septik tank dan lubang pembuangan tinja; (2) Sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a). Pelayanan Kesehatan Dasar Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga berencana, dan pelayanan imunisasi (Depkes 2008a).
19 22 Cakupan Imunisasi Lengkap. Cakupan imunisasi lengkap adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian pada bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang wajib diberikan pada bayi adalah imunisasi polio, BCG, DPT, dan campak. BCG seringkali digunakan sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk tuberkulosis yang parah selama satu tahun pertama hidupnya, dan juga digunakan sebagai salah satu indikator akses ke pelayanan kesehatan (Depkes 2008a). Selain BCG, vaksin lain yang wajib diberikan pada bayi adalah polio. Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit polio. Tidak seperti imunisasi BCG atau campak yang membutuhkan 1 dosis, imunisasi polio membutuhkan 3 dosis. Maka untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan yang dilakukan adalah polio3, yaitu ketika bayi telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 3 dosis (3 kali) (Depkes 2008a). Diantara penyakit pada anak-anak yang dapat dicegah dengan vaksin, campak adalah penyebab utama kematian anak. Oleh karena itu pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Dari dua tujuan yang disepakati dalam pertemuan dunia tentang anak, salah satunya adalah mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Di seluruh negara ASEAN dan SEARO, imunisasi campak diberikan rata-rata umur 9-12 bulan dan merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara imunisasi wajib lainnya (BCG, DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak). Dengan demikian diasumsikan bayi yang mendapat imunisasi campak telah mendapatkan imunisasi lengkap. Sumber Daya Kesehatan. Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan. Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada, termasuk yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu (Pos
20 23 Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat Keluarga), POD (Pos Obat Desa), dan sebagainya. Posyandu merupakan salah satu UKBM yang paling terkenal di masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu dikelompokkan ke dalam 4 (empat) strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Jumlah posyandu merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana pelayanan kesehatan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a). Anggaran Perbaikan Gizi Pembiayaan kesehatan di Indonesia terdiri atas pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran Departemen Kesehatan Republik indonesia (Depkes 2008a). Anggaran Departemen Kesehatan tiap tahun digunakan untuk berbagai program kesehatan dan salah satu diantaranya dialokasikan pada program perbaikan gizi. Program perbaikan gizi yang dilakukan yaitu Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, Pencegahan Gondok Endemik, Pencegahan Defisiensi Vitamin A, Pencegahan dan Penanggulangan AGB, serta peningkatan kemampuan tenaga gizi, pengadaan prasana, sarana pengendalian dan penilaian (Bappenas 1983). Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan. Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan adalah banyaknya jumlah anggaran perbaikan gizi tiap tahun dibagi dengan jumlah total anggaran departemen kesehatan tiap tahun dikalikan dengan 100 persen. Adapun rumus yang digunakan yaitu :
21 24 Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan setiap instansi pemerintah bervariasi menurut substansi permasalahan, tujuan kelompok sasaran, dan lingkup permasalahan (Wahab 2004). Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan adalah masalah eksternal dan internal. Permasalahan eksternal berkaitan dengan upaya pemantapan ketahanan pangan yang dihadapkan pada keterbukaan ekonomi dan perdagangan global. Pada tataran internal, pemantapan ketahanan pangan menghadapi masalah yang terkait dengan masih banyaknya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan kronis dan transien. Kerawanan pangan ini berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia masyarakat, yang berkorelasi positif dengan kemiskinan. Konferensi Dewan Ketahanan Pangan sebagai lembaga koordinatif telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk masalah ini sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2004). Menurut Nainggolan (2008), untuk mengatasi berbagai masalah ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan langkah operasional terpadu lintas sektoral dan bahkan dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait haruslah secara sadar mengarahkan kebijakan maupun program kegiatan pada sistem ketahanan pangan yang handal Pada sisi ketersediaan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: a) meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air; b) menjamin kelangsungan produksi pangan utamanya dari produksi dalam negeri;
22 25 c) mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat; d) meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan lahan abadi untuk produksi pangan. Pada aspek distribusi, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk; a) mengembangkan sarana dan prasarana distribusi pangan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan, termasuk disalamnya mengurangi kerusakan bahan pangan dan kerugian akibat distribusi yang tidak efisien; b) mengurangi atau menghilangkan peraturan daerah yang mengambat distribusi pangan antar daerah; c) mengembangkan kelembagaan pengelolaan dan pemasaran di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas distribusi pangan serta mendorong peningkatan nilai tambah. Pada aspek konsumsi, kebijakan ketahan pangan diarahkan untuk: a) menjamin pemenuhan pangan bagi setiap rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai aman dikonsumsi dan bergizi seimbang; b) mendorong dan mengembangkan membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; c) mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan; d) meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat tertentu (golongan miskin, ibu hamil, balita gizi buruk dan sebagainya) (Dewan Ketahanan Pangan 2006).
METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)
28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA
i PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi (KKP), dan jumlahnya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
5 TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dimana masyarakat antara lain melalui kader-kader yang terlatih
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai
Lebih terperinciKementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi
Lebih terperinciWorld Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat
yang terkait. Masalah kekurangan gizi juga merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Menurut data dari pada World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kekurangan Energi Kronis (KEK) 1. Pengertian Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan ibu hamil dan WUS (Wanita Usia Subur) yang kurang gizi diakibatkan oleh kekurangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI I. PENJELASAN UMUM Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda
5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan pola konsumsi makanan terutama energi, protein, dan zat gizi mikro. Pola konsumsi makanan harus memperhatikan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita
6 TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Balita pendek (stunting) merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan. Stunting dapat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan menurut Almatsier
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keseimbangan antara pemasukan zat gizi dari bahan makanan yang dimakan dengan bertambahnya pertumbuhan aktifitas dan metabolisme dalam tubuh. Status
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan antropometri (berat badan, tinggi badan, atau ukuran tubuh lainnya) dari waktu ke waktu, tetapi lebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita Balita adalah kelompok anak yang berumur dibawah 5 tahun. Umur balita 0-2 tahun merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, terutama yang penting adalah
Lebih terperinciPERKEMBANGAN PENCAPAIAN
BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat yang di pengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi di nilaidengan ukuran atau parameer gizi.balita yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.
KATA PENGANTAR Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal
Lebih terperinciPERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA.
INDEKS ANTROPOMETRI INDEKS YG SERING DIGUNAKAN : 1. BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) 2. TINGGI BADAN MENURUT UMUR (TB/U) 3. BERAT BADAN MENURUT TINGGI BADAN ( BB/TB) PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Gizi 2.1.1 Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Balita (1 5 Tahun) Anak balita adalah anak yang berusia 1-5 tahun. Pada kelompok usia ini, pertumbuhan anak tidak sepesat masa bayi, tapi aktifitasnya lebih banyak (Azwar,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. STATUS GIZI Status gizi anak pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dikonsumsi dan kesehatan anak itu sendiri. Kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan pembangunan suatu bangsa sangat bergantung pada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif.
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan di Indonesia masih mencapai 17,8 persen yang berarti sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Salah satu akibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta dengan beraneka ragam budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis menduduki peringkat 107 dari 177 negara untuk indeks pembangunan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
36 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Masalah kekurangan gizi khususnya kurang energi dan protein pada balita di Indonesia pada tahun 1970an hingga akhir Repelita V (1993)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakancg Pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (mordibity) dan angka kematian (mortality).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gizi Kurang Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur
Lebih terperinciBAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS
BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia
5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah
Lebih terperinciBAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir di seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak balita adalah penerus masa depan kita, anak balita juga menentukan masa depan bangsa, anak balita sehat akan menjadikan anak balita yang cerdas. Anak balita salah
Lebih terperinciBAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS
BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI
PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI Jl. RAYA KENDUNG KEL. SEMEMI KEC. BENOWO TELP. 031 7413631 S U R A B A Y A KODE POS 60198 KERANGKA ACUAN KEGIATAN PELACAKAN BALITA GIZI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu terciptanya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung berjudul Dampak Program Warung Anak Sehat (WAS) terhadap Perilaku Hygiene-Sanitasi Ibu WAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka tersedianya harus dapat dijamin
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang yang ditandai dengan indeks panjang badan dibanding
Lebih terperinciBAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN
BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah terciptanya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Dari data Departemen
Lebih terperinciPROGRAM PERBAIKAN GIZI MAKRO
PROGRAM PERBAIKAN GIZI MAKRO RINGKASAN Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan serta aktifitas. Keadaan kurang gizi dapat terjadi dari
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA A Pengertian Kurang Energi Protein (KEP) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Pengertian Kurang Energi Protein (KEP) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada makhluk hidup. Pertumbuhan berarti bertambah besar dalam ukuran fisik, akibat
Lebih terperinciRPJMN KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT
RPJMN 2015-2019 KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT ISU YANG BELUM TERSELESAIKAN Tingginya Kematian Ibu dan Bayi Tingkat Fertilitas yang Stagnan Ketersediaan Farmasi dan Alkes Akses terhadap Air Minum dan Sanitasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, situasi gizi dunia menunjukkan dua kondisi yang ekstrem. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu rendah serat dan tinggi kalori,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak. pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda.
Lebih terperinciISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK
ISSN 2442-7659 InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI 13 12 11 10 9 8 7 Hari Anak-Anak Balita 8 April 6 5 4 3 SITUASI 2 BALITA PENDEK BALITA PENDEK Pembangunan kesehatan dalam periode
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Gizi merupakan penentu kualitas sumber daya manusia.
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini desain population survey, yaitu dengan mensurvei sebagian dari populasi balita yang ada di lokasi penelitian selama periode waktu tertentu.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menciptakan manusia Indonesia seutuhnya serta untuk membangun masyarakat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur merupakan hakikat pembangunan nasional yang dilaksanakan
Lebih terperinciGambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita
22 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup manusia terbagi atas kualitas fisik dan kualitas non
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga
Lebih terperinciIkhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator
Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator penentu keberhasilan tingginya tingkat kesehatan masyarakat adalah angka kematian bayi dan balita. Berdasarkan peringkat Human Development Index
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang belum pernah tuntas ditanggulangi di dunia. 1 Organisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sekitar
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh
METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di kebun Malabar PTPN VIII Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak
Lebih terperinciPenilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal
JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan
Lebih terperinciKERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran
21 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kekurangan gizi pada usia dini mempunyai dampak buruk pada masa dewasa yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan tingkat produktifitas yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum dijumpai di negara negara berkembang termasuk Indonesia. Status gizi yang buruk pada bayi dan anak
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh
METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk mencapai SDM berkualitas, faktor gizi memegang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan Indonesia diselenggarakan dalam upaya mencapai visi Indonesia Sehat 2010. Tujuan pembangunan kesehatan 2005 2009 diarahkan untuk mencapai tujuan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masalah Gizi Pada Anak Balita Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Akan tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi
Lebih terperinciLampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan
LAMPIRAN 85 86 Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan Pengeluaran per Pengeluaran per Indeks Harga Tahun atas dasar harga berlaku
Lebih terperinciPENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Emmi Silitonga* Lufthiani** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
Lebih terperinciBUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG
BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA ASKI DAERAH PENYEDIAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (RAD-AMPL) KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015-2019
Lebih terperinci