BAB III KERANGKA TEORITIS. Kebijakan fiskal memiliki peran yang strategis sebagai salah satu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KERANGKA TEORITIS. Kebijakan fiskal memiliki peran yang strategis sebagai salah satu"

Transkripsi

1 BAB III KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Kebijakan fiskal memiliki peran yang strategis sebagai salah satu kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi Indonesia untuk segera keluar dari krisis. Kebijakan fiskal secara umum disebut sebagai demand management policy, dimana tujuan utamanya adalah mempertahankan agar perekonomian berada dalam keseimbangan permintaan dan penawaran dan mempertahankan tingkat harga yang terjadi (Branson dan Litvack, 1981; Branson, 1979). Kondisi keseimbangan tersebut perlu diupayakan, karena apabila terjadi ekses permintaan akan menyebabkan inflasi. Sebaliknya, permintaan yang kurang akan mendorong terjadinya pengangguran dan deflasi. Pemerintah menerapkan kebijakan fiskal melalui instrumen pengeluaran pemerintah (G) atau pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi swasta (I) dan Net Ekspor (X-M), pengeluaran pemerintah (G) merupakan komponen yang mempengaruhi keseimbangan makro. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: G + C + I + (X-M) = Y = C + S + T + Rf... (1) Ekspansi fiskal melalui belanja pemerintah (G) merupakan bagian dari pengeluaran agregat (AE), sehingga mempengaruhi keseimbangan pasar barang yang ditandai dengan bergesernya kurva IS dari IS 0 ke IS 1 seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Pada tingkat suku bunga r0, investasi meningkat dan output meningkat menjadi Y 1. Pada kondisi tersebut terjadi ekses permintaan Y 0 Y 1 sehingga mendorong tingkat suku bunga meningkat ke r 1. Dengan meningkatnya tingkat

2 72 suku bunga ke r 1 akan menurunkan investasi dan selanjutnya akan menurunkan output ke Y 2. Suku bunga LM 0 r 1 r 0 IS 1 IS 0 Sumber: Branson dan Litvack (1981) Y 0 Y 2 Y 1 Output Gambar 2. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Kurva IS Pergeseran kurva IS ke kanan, pada gilirannya akan menggeser kurva permintaan agregat (AD) ke kanan, yaitu dari AD0 ke AD 1. Pada tingkat harga P 0, jumlah permintaan meningkat yakni di Y 2 sebesar Y 2 Y 1 tetapi jumlah output tidak berubah yakni tetap di Y 0, sehingga terjadi ekses permintaan. Dengan adanya ekses permintaan tersebut akan mendorong tingkat harga meningkat ke P 1. Peningkatan harga tersebut akan direspon oleh pengusaha untuk meningkatkan output ke Y 3. Dengan demikian, secara keseluruhan terjadi peningkatan pendapatan (Y), dari Y 0 ke Y 3 seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Keseimbangan akhir adalah Y 3 yang lebih besar dari keseimbangan awal, berarti terjadi pertumbuhan (growth). Misalkan kondisi keseimbangan awal dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada N0. Pada kondisi tersebut tingkat pengangguran sangat besar, sehingga

3 73 pemerintah perlu mengambil kebijakan fiskal, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluaran pemerintah (government expenditure = G) untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat dan peningkatan permintaan agregat akan meningkatkan tingkat harga. Dengan meningkatnya permintaan agregat maka output meningkat dari Y 0 Ke Y 3 seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Peningkatan permintaan agregat yang ditunjukkan pada Gambar 3 menandakan adanya peningkatan investasi. Peningkatan investasi baru mengakibatkan pergeseran kurva fungsi produksi dari Y(N) menjadi Y (N) seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Sementara itu, Peningkatan output seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 terjadi karena ada peningkatan investasi dan memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga penggunaan tenaga kerja meningkat dari N 0 ke N 4 seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Tingkat harga AS P 1 P 0 AD 1 AD 0 Y 0 Y 3 Sumber: Branson dan Litvack (1981) Y 2 Output Gambar 3. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Permintaan Agregat

4 74 Pada Gambar 4 diilustrasikan bahwa produksi dipengaruhi oleh tenaga kerja dan kapital. Pada gambar fungsi produksi ini ditunjukkan bahwa produksi dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja, sementara untuk faktor kapital diasumsikan tidak mengalami perubahan. Dari sisi penawaran, adanya peningkatan harga akan direspon oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke kanan seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Pada tingkat upah W 0 maka permintaan tenaga kerja meningkat dari N 0 ke N 1. Pada kondisi ini terjadi ekses permintaan tenaga kerja sebesar N 1 N 0, sehingga mendorong tingkat upah nominal meningkat ke W 1 dan permintaan tenaga kerja kembali turun ke N 2. Pada saat yang sama, peningkatan harga pada tingkat P 1 menyebabkan upah riil buruh menurun. Output _ Y(N,K) Y 3 Y 0 N 0 N 4 Tenaga Kerja Sumber: Branson dan Litvack (1981) Gambar 4. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Output dan Penggunaan Tenaga Kerja

5 75 Penurunan upah riil tersebut direspon oleh buruh dengan tuntutan kenaikan upah sehingga menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke kiri atas menjadi S W 1. Pada tingkat upah W 1 terjadi ekses permintaan tenaga kerja sebesar N 2 N 3 dan akan mendorong tingkat upah nominal meningkat menjadi W 2. Kenaikan tingkat upah nominal tersebut akan mendorong penurunan penggunaan tenaga kerja menjadi N 4. Upah Nominal S 1 w = W = P 1 *.f(n) S 0 w = W = P 0 *.f(n) W 2 W 1 W 0 D 1 w = W = P 1.f(N) D 0 w = W = P 0.f(N) N 0 N 3 N 4 N 2 N 1 Tenaga Kerja Sumber: Branson dan Litvack (1981) Gambar 5. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Penggunaan Tenaga Kerja dan Upah Nominal Dalam hal kenaikan harga ada asumsi imperfect informations, dimana persepsi para buruh (p) terhadap kenaikan harga tidak sama dengan kenaikan harga yang sebenarnya terjadi, dan hal ini dituliskan sebagai 0<p<1. Oleh karena itu pergeseran kurva penawaran menjadi lebih kecil dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja. Akibatnya, keseimbangan pada pasar tenaga kerja

6 76 meningkat dari N 0 ke N 3. Dampak akhir kebijakan ekspansi fiskal adalah peningkatan; output (Y), suku bunga (r), investasi (I), penyerapan tenaga kerja (N), dan upah nominal (W) Desentralisasi Fiskal Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan kinerja Pemerintah Daerah menjadi efektif dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan lebih mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan tersebut mulai diterapkan di Indonesia sejak Tahun Anggaran Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat dikaitkan dengan tugas dan fungsi Pemerintahan Daerah sebagai penyedia barang dan jasa pelayanan kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada dasarnya merupakan salah satu inti dari desentralisasi. Agar Pemerintah Daerah dapat melaksanakan fungsi yang didesentralisasikan secara efektif, maka Pemerintah Daerah harus memiliki sumber penerimaan yang memadai, baik penerimaan yang digali dari daerahnya sendiri maupun yang ditransfer dari pusat, dan Pemerintah Daerah harus juga memiliki kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang pengeluaran (JICA, 2002).

7 77 Peranan Pemerintah Pusat dari aspek pendanaan masih sangat penting untuk menjamin terlaksananya pemerintahan sampai pada tingkat daerah. Dalam hal ini Pemerintah Pusat perlu mengatur keseimbangan pendanaan pada tiap-tiap daerah yang sangat beragam kondisinya. Oleh karena itu perlu mekanisme transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah setidaknya didasarkan pada lima alasan berikut (Simanjuntak, 2002): 1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. 2. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. 3. Terkait dengan butir kedua di atas, adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. 4. Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari penyebaran atau melimpahnya efek pelayanan publik (inter-jurisdictional spill-over effects) 5. Alasan stabilisasi Sumber-Sumber Pembiayaan Daerah Sumber-sumber pembiayaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi menurut UU Nomor 33 tahun 2004 meliputi: (1) pendapatan asli daerah (PAD), (2) dana perimbangan, dan (3) lain-lain pendapatan. (1) Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah merupakan salah satu wujud dari desentralisasi fiskal untuk memberikan sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya. Sumber-sumber PAD adalah hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil

8 78 pengelolaan kekayaan daerah lainnya, dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. (2) Dana Perimbangan Perimbangan pendapatan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dibagi dengan imbangan 10 persen untuk Pemerintah Pusat dan 90 persen untuk Pemerintah Daerah. Penerimaan negara dari bea atas tanah dan bangunan, sumberdaya alam sektor kehutanan, pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20 persen untuk Pemerintah Pusat dan 80 persen untuk Pemerintah Daerah. Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah suatu daerah, setelah dikurangi pajak dibagi dengan imbangan 85 persen untuk Pemerintah Pusat dan 15 persen untuk Pemerintah Daerah, sementara untuk pertambangan gas alam 70 persen untuk Pemerintah Pusat dan 30 persen untuk Pemerintah Daerah (UU No 25 tahun 1999). Sementara pada UU Nomor 33 tahun 2004, terdapat kenaikan bagian daerah menjadi 15.5 persen untuk minyak dan 30.5 persen untuk gas. Sebagian perolehan bagi hasil Pemerintah Daerah sebagai penerimaan pemerintah provinsi, dan lainnya didistribusikan ke kabupaten/kota. Jika dilihat mekanisme bagi hasil sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999, terdapat potensi terjadinya gap antar daerah. Pada daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam (minyak dan gas bumi) dan juga potensi perolehan pajak yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar sementara untuk daerah yang miskin tidak mendapat pendapatan yang besar, dan hal ini menyebabkan kemampuan keuangan daerah menjadi terbatas.

9 79 Ketimpangan horizontal tersebut dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nasional, oleh karena itu harus diatasi. Untuk mengatasi ketimpangan horizontal antar daerah, ditempuh melalui mekanisme pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN dan ditingkatkan menjadi 26 persen pada tahun 2006 setelah UU Nomor 33 tahun 2004 diberlakukan (Sidik, 2002 dalam Sumedi, 2005). Dana perimbangan yang lain adalah dana alokasi khusus. Dana alokasi khusus (DAK) merupakan dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus, yang meliputi kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU seperti kebutuhan kawasan transmigrasi, investasi baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil dan lain-lain, dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Termasuk didalamnya untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi Dasar Pemikiran Transformasi Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah bagian penduduk yang mampu bekerja untuk memproduksi barang dan jasa. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang termasuk tenaga kerja adalah penduduk yang berusia tahun. Indonesia menggolongkan penduduk yang berusia 10 tahun ke atas sebagai tenaga kerja, dengan alasan bahwa banyak penduduk yang berusia dan 65 tahun yang bekerja (Ananta, 1990). Menurut Rusli (1982), yang didasarkan pada data sensus penduduk, jumlah penduduk yang bekerja biasanya mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang ada. Ini berarti bahwa kesempatan kerja bukanlah lapangan pekerjaan yang

10 80 masih terbuka, walaupun komponen yang terakhir ini menambah kesempatan kerja yang ada di waktu yang akan datang. Dari temuan banyak peneliti, diantaranya Sigit (1989) dan Rachmat (1992) menyimpulkan bahwa yang mempengaruhi proses transformasi tenaga kerja adalah kesempatan kerja yang terbatas pada sektor pertanian, dan semakin terbukanya kesempatan kerja di sektor non pertanian, serta semakin membaiknya aksesibilitas antara pedesaan dan perkotaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan sikap mental tenaga kerja terhadap modernisasi. Proses transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian untuk suatu wilayah biasanya bukan akibat dari terbatasnya kesempatan kerja pada sektor pertanian, tapi lebih disebabkan karena bekerja di sektor non pertanian lebih menjanjikan dan adanya perubahan pandangan generasi muda terhadap pekerjaan di sektor pertanian, yang mereka yakini tidak akan lebih baik dari jika mereka bekerja di sektor non pertanian. Seiring dengan perkembangan pembangunan, maka persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian semakin menurun yang disertai dengan meningkatnya persentase jumlah yang bekerja di sektor non pertanian, hal ini merupakan pertanda bahwa dalam perekonomian ini telah terjadi proses transformasi tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja pada sektor pertanian juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya transformasi, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama merupakan faktor pendorong dari sektor pertanian itu sendiri, dan kedua merupakan faktor penarik dari sektor non pertanian, sehingga dapat dikatakan

11 81 bahwa transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian (industri dan jasa) merupakan interaksi antara faktor pendorong dari sektor pertanian dan faktor penarik dari sektor non pertanian. Oleh karena hasil pembangunan merupakan penjumlahan dari masingmasing sektor maka perkembangan salah satu sektor akan berpengaruh terhadap sektor yang lainnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja adalah penyediaan lapangan kerja yang merupakan fungsi dari investasi, oleh karena itu maka investasi pada sektor-sektor perekonomian, terutama sektor jasa dan industri akan menarik pekerja dari sektor pertanian ke sektor tersebut Teori Pasar Tenaga Kerja Pasar tenaga kerja selalu dipengaruhi oleh dua sisi, yakni sisi permintaan tenaga kerja dan jumlah angkatan kerja. Keseimbangan pada pasar tenaga kerja akan tercapai apabila tingkat permintaan sama dengan tingkat penawaran. Permintaan dan penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh upah riil (Romer, 2001). Hubungan permintaan dan penawaran tenaga kerja serta upah riil dapat dilihat pada Gambar 6, dimana keseimbangan terjadi pada titik E. Tingkat upah W 0 /P 0 menggambarkan tingkat upah riil kondisi awal dan N 0 menggambarkan penyerapan tenaga kerja sebesar N 0, sedangkan penawaran tenaga kerja sebesar N 1, sehingga terjadi pengangguran sebesar N 1 N 0. Jika terjadi penurunan harga, sementara tingkat upah nominal tidak berubah maka akan menyebabkan peningkatan upah riil dari W 0 /P 0 menjadi W 0 /P 1. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja dan menciptakan excess supply atau kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar N 3 N 2. Demikian juga, jika terjadi kenaikan upah nominal, sementara tingkat harga tetap maka akan

12 82 menyebabkan upah riil meningkat. Hal ini menyebabkan pengangguran meningkat. Tingkat pengangguran diusahakan tidak melebihi dari tingkat pengangguran alamiah. Jika tingkat pengangguran terlalu tinggi maka tingkat kriminal semakin meningkat. Peningkatan tingkat kriminal akan meningkatkan biaya pemutusan perkara sebagai dampak dari kriteria pengambilan keputusan pengadilan (Ichino, Polo dan Rettore, 2003). Upah riil L S W 0 /P 1 W 0 /P 0 E L D O N 2 N 0 N 1 N 3 Tenaga Kerja Sumber: Romer (2001) Gambar 6. Pasar Tenaga Kerja Pergerakan tingkat upah dan tingkat penyerapan tenaga kerja ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kurva permintaan tenaga kerja akan dipengaruhi oleh indikator makroekonomi, seperti upah riil, inflasi, investasi, pertumbuhan ekonomi dan

13 83 konsumsi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kurva penawaran tenaga kerja adalah populasi penduduk dan mobilitas tenaga kerja Teori Permintaan Tenaga Kerja Teori tentang permintaan tenaga kerja adalah teori tentang seberapa banyak suatu perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja pada tingkat upah dan pada periode tertentu, cateris paribus. Permintaan atas tenaga kerja berbeda dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Konsumen membeli barang karena barang itu akan memberikan kegunaan baginya. Akan tetapi bagi pengusaha, mempekerjakan seseorang karena membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Jadi pada dasarnya, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja tergantung dari pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksinya. Oleh karena itu permintaan akan tenaga kerja merupakan derived demand (Fleisher, 1970; Simanjuntak, 1985; McConnell dan Brue, 1995; Borjas, 1996). Namun penambahan jumlah tenaga kerja oleh perusahaan tidak dilakukan untuk jangka pendek, walaupun permintaan masyarakat terhadap produk yang dihasilkan tinggi. Dalam jangka pendek, perusahaan akan mengoptimalkan jumlah tenaga kerja yang ada dengan penambahan jumlah jam kerja atau penggunaan mekanisasi. Dalam jangka panjang, kenaikan jumlah permintaan masyarakat terhadap produk akan direspon oleh perusahaan dengan menambah jumlah tenaga kerja, hal ini berarti tersedianya kesempatan kerja baru bagi tenaga kerja.

14 84 Berdasarkan teori permintaan terhadap tenaga kerja, maka hal-hal yang dipertimbangkan oleh seorang pengusaha untuk menambah jam kerja adalah: (1) tambahan hasil marginal, yaitu tambahan hasil (output) yang diperoleh pengusaha dengan penambahan seorang pekerja, (2) penerimaan marjinal, yaitu jumlah uang yang akan diterima oleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut, dimana penerimaan marjinal merupakan besarnya tambahan hasil marjinal dikalikan dengan harga outputnya, dan (3) biaya marjinal yaitu: jumlah biaya yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan tambahan pekerja (upah pekerja tersebut). Bila tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari biaya marjinal, maka mempekerjakan seorang pekerja akan menambah keuntungan pengusaha. Teori di atas merupakan teori produktivitas marjinal tentang permintaan tenaga kerja pada pasar bersaing. Teori produktivitas marjinal dapat menjadi suatu teori upah dan kesempatan kerja bagi perekonomian secara keseluruhan. Dengan kata lain, sebagai teori ekonomi makro maka ia dapat menerapkan tingkat upah umum dan volume kesempatan kerja yang dicakup oleh suatu perekonomian dalam pengertian luas. Suatu perusahaan setelah menggunakan sejumlah tenaga kerja tertentu, akan bersedia untuk menambah input tenaga kerja dengan tingkat upah yang lebih rendah. Hal ini karena penambahan setiap unit tenaga kerja akan menghasilkan tambahan output yang lebih rendah, Sebagai akibatnya, kurva permintaan terhadap tenaga kerja akan menunjukkan kecondongan garis negatif. Dengan kata lain, kecondongan garis menurun pada kurva permintaan tenaga kerja menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat upah, semakin besar penggunaan

15 85 tenaga kerja, ceteris paribus dan makin besar pula output industri tersebut (Bellante dan Jackson, 1990). Bagi setiap kemungkinan tingkat upah akan terdapat suatu harga produk yang sesuai, juga akan terdapat suatu jumlah tenaga kerja yang diminta oleh industri, yang berarti kesempatan kerja. Kurva permintaan tenaga kerja industri adalah skedul nilai produk fisik marjinal bagi industri, dimana ia menunjukkan nilai pasar dari output tambahan yang berhubungan dengan suatu penambahan penggunaan tenaga kerja oleh industri (Bellante dan Jackson, 1990) Teori permintaan tenaga kerja yang telah dikemukakan di atas merupakan teori permintaan tenaga kerja secara umum, umum dalam artian setiap jenis kegiatan dalam perekonomian yang membutuhkan jumlah tenaga kerja akan mempunyai perilaku yang tidak jauh berbeda dalam hal permintaan tenaga kerjanya. Maka dapat dikatakan bahwa perilaku permintaan tenaga kerja pada berbagai macam sektor ekonomi akan sama (setidaknya mempunyai keragaan yang tidak jauh berbeda). Teori permintaan tenaga kerja yang telah diuraikan di atas adalah teori permintaan tenaga kerja agregat Surplus Tenaga Kerja Lewis (1954) dalam Ray (1998) mengajukan kerangka pemikiran ekonomi pembangunan yang meletakkan perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern pada abad pertengahan. Sektor tradisional dipandang sebagai penyedia tenaga kerja, sedangkan untuk sektor modern disebut penawaran tanaga kerja. Ide utama dari model Lewis adalah adanya surplus tenaga kerja di sektor tradisional dalam perekonomian yang dapat dipindahkan dengan sedikit biaya. Untuk biaya dapat dihitung dengan opportunity cost, yakni kehilangan output

16 86 sektor tradisional sebagai akibat dari berkurangnya penawaran tenaga kerja di sektor tersebut. Pada Gambar 7 diilustrasikan fungsi produksi dari usahatani keluarga. Jumlah tenaga kerja pada sumbu horizontal dan output pada sumbu vertikal. Dengan latar belakang pada lahan yang tetap, maka gambaran tenaga kerja ini dapat dijelaskan. Karena lahan yang terbatas, maka terjadi diminishing return pada input tenaga kerja. Asumsi yang digunakan adalah bahwa usahatani keluarga ini menggunakan teknik produksi tradisional, dan mengesampingkan penggunaan input kapital. Output Q W O B A Tenaga Kerja Sumber: Ray (1998) Gambar 7: Surplus Tenaga Kerja pada Usahatani Keluarga Pada fungsi produksi digambarkan bahwa penambahan tenaga kerja setelah pada tingkat penggunaan tenaga kerja tertentu tidak memberikan efek yang signifikan terhadap output. Setelah itu hanya penanaman yang intensif yang dapat dilakukan pada lahan yang tersedia, dan setelah pada titik tertentu setiap

17 87 penambahan tenaga kerja tidak memberikan pengaruh apapun terhadap output. Olah karena itu marjinal produk dari tenaga kerja sudah menjadi nol atau mendekati nol. Apa yang terjadi jika ada pengurangan jumlah tenaga kerja dari A ke B? Karena marjinal produk diasumsikan mendekati nol, maka total output dapat dikatakan tidak berubah ketika tejadi pengurangan tenaga kerja. Karena pada usahatani keluarga relatif memiliki lebih banyak tenaga kerja dibandingkan luas lahan, maka dalam hal ini tenaga kerja pada kondisi surplus (Ray, 1998) Perubahan Struktural Selama proses pembangunan ekonomi di negara berkembang terjadi penurunan kontribusi pada sektor pertanian dan terjadi peningkatan kontribusi sektor industri terhadap Gross Domestic Product (GDP). Namun di negara yang berpendapatan tinggi, kontribusi sektor pertanian maupun industri terhadap GNP berkurang yang menunjukkan telah berkembangnya sektor jasa. Hal ini konsisten dengan hukum Petty-Clark yang memprediksi bahwa pusat pergerakan ekonomi akan bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder, dan selanjutnya ke sektor tersier seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita (income per capita). Pergeseran ini terjadi karena alokasi sumberdaya antar sektor sebagai dampak dari peningkatan yang begitu cepat untuk komoditi industri pada awal pertumbuhan ekonomi, diikuti oleh percepatan pertumbuhan permintaan untuk jasa, yang sejalan dengan konsumsi komoditi industri (Clark, 1940; Kuznets, 1966; Syrquin dan Chenery, 1988 dalam Hayami, 2001). Todaro dan Smith (2004) dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga mengemukakan bahwa teori perubahan struktural

18 88 (structural-change theory) memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Dalam analisis model perubahan struktural tersebut menggunakan perangkat-perangkat neoklasik berupa teori harga dan alokasi sumberdaya, serta metode-metode ekonometri modern untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi. Aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom terkemuka seperti Lewis (1954) yang terkenal dengan model teoritisnya tentang surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor) dan Chenery (1960) yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang pola-pola pembangunan (patterns of development). Salah satu model teoritis pembangunan yang paling terkenal, yang memusatkan perhatian pada transformasi struktural (structural transformation) suatu transformasi subsisten, dirumuskan oleh W. Arthur Lewis, salah satu ekonom besar dan penerima Hadiah Nobel. Pada pertengahan dekade 1950-an, dan kemudian diubah, dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav Ranis. Model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model) ini diakui sebagai teori umum yang membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama dekade 1960-an dan awal dekade 1970-an. Teori rumusan Lewis ini, sampai sekarangpun masih banyak pengaruhnya, terutama di kalangan ahli ekonomi pembangunan di Amerika.

19 89 Menurut model pembangunan yang diajukan oleh Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol, ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian, maka sektor itu tidak akan kehilangan outputnya, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri ditentukan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan, berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsisten tradisional. Lewis berasumsi bahwasanya tingkat upah di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan di daerah pedesaan untuk memaksa para pekerja pindah dari

20 90 desa-desa asalnya ke kota-kota. Pada tingkat upah di daerah perkotaan yang konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna. Model pertumbuhan sektor modern dalam perekonomian dua sektor rumusan Lewis diilustrasikan pada Gambar 8. Sektor pertama, yakni sektor pertanian subsisten tradisional ditunjukkan oleh dua gambar sebelah kanan. Pada Gambar 8b, diagram yang sebelah atas memperlihatkan perubahan produksi pangan subsisten dengan adanya kenaikan input tenaga kerja. Ini khas fungsi produksi (production function) sektor pertanian, dimana total output atau produk (TP A ) berupa bahan pangan ditentukan oleh perubahan satu-satunya variabel input, yakni input tenaga kerja (L A ), sedangkan input modal, K A, dan teknologi tradisional t A, diasumsikan tidak mengalami perubahan apapun. Pada diagram kanan bawah terdapat kurva produktivitas tenaga kerja marjinal atau MP LA dan kurva produktivitas tenaga kerja rata-rata atau AP LA, yang merupakan turunan dari kurva produksi total yang ditunjukkan persis di atasnya. Kuantitas tenaga kerja pertanian (Q LA ) yang tersedia pada kedua sumbu horizontal dan dinyatakan dalam jutaan tenaga kerja adalah sama, sebagaimana yang dikemukakan Lewis bahwa dalam suatu perekonomian terbelakang, 80 persen hingga 90 persen angkatan kerjanya terkumpul di daerah-daerah pedesaan serta menggeluti pekerjaan di sektor pertanian. Lewis mengemukakan dua asumsi tentang sektor tradisional. Pertama adalah adanya surplus tenaga kerja, atau MP LA, sama dengan nol. Kedua, bahwasanya semua pekerja di daerah pedesaan menghasilkan output yang sama

21 91 GAMBAR 8: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis

22 92 TP M3 TPA=ƒ(L A,K A,t A ) K M3 >K M2 >K M1 TP M (K M3 ) TPA=ƒ(L A,K A,t A ) Total Produk (Manufaktur) TP M2 TP M1 O L 1 L 2 L 3 TP M (K M2 ) TP M (K M1 ) Q LM Total Produk (bahan pangan) TP A O L A TP A (K A ) TP A L A = W Q LA A K M3 >K M2 >K M1 Upah riil (=MPLM) W M W A F G H D 2 (K M2 ) D 1 (K M1 )=MP LM D 3 (K M3 ) S L Produk rata-rata (marjinal) AP LA MP LA W A MP LA AP LA O Sumber: Todaro (2004) L 1 L 2 L 3 O L A Surplus tenaga kerja Gambar 8: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis

23 92 sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata, bukan produktivitas tenaga kerja marjinal (seperti pada sektor modern), Asumsikanlah bahwa ada sejumlah L A tenaga kerja pertanian yang menghasilkan produk pangan sebanyak TP A, dan masing-masing tenaga kerja menghasilkan output pangan dalam jumlah yang persis sama, yakni sebanyak W A (ini sama dengan hasil hitungan TP A /L A ). Produktivitas marjinal tenaga kerja sebanyak L A tersebut sama dengan nol, sehingga tampak pada diagram di sebelah bawah Gambar 8, dengan demikian, asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada seluruh pekerja yang melebihi L A (catatan: kurva TP A berbentuk horizontal setelah melewati jumlah pekerja L A pada diagram sebelah kanan). Hal ini adalah landasan asumsi surplus tenaga kerja tersebut. Diagram di sebelah kiri atas pada Gambar 8a memperlihatkan kurva produksi total (fungsi produksi) untuk sektor industri modern. Tingkat output dari barang-barang manufaktur (TPM), merupakan fungsi dari input variabel tenaga kerja, dengan asumsi stok modal (K M ) dan teknologi (t M ) tidak berubah. Pada sumbu horizontal, kuantitas tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan sejumlah output, misalnya TP M1, dengan stok modal K M1, dinyatakan dalam satuan ribuan dari pekerja perkotaan, L 1. Dalam model Lewis, stok modal di sektor modern dimungkinkan untuk bertambah dari K M1 menjadi K M2, kemudian menjadi K M3 dan seterusnya, sebagai akibat dari adanya kegiatan reinvestasi keuntungan oleh para kapitalis industri. Seperti digambarkan pada Gambar 8a sebelah kiri bawah, total produksi akan bergeser ke atas, dari TP M (K M1 ) ke TP M (K M2 ), dan akhirnya ke TP M (K M3 ). Proses yang menghasilkan keuntungan para pemilik modal dari reinvestasi dan pertumbuhan diilustrasikan dalam

24 92 TP M3 TPA=ƒ(L A,K A,t A ) K M3 >K M2 >K M1 TP M (K M3 ) TPA=ƒ(L A,K A,t A ) Total Produk (Manufaktur) TP M2 TP M1 O L 1 L 2 L 3 TP M (K M2 ) TP M (K M1 ) Q LM Total Produk (bahan pangan) TP A O L A TP A (K A ) TP A L A = W Q LA A K M3 >K M2 >K M1 Upah riil (=MPLM) W M W A F G H D 2 (K M2 ) D 1 (K M1 )=MP LM D 3 (K M3 ) S L Produk rata-rata (marjinal) AP LA MP LA W A MP LA AP LA O Sumber: Todaro (2004) L 1 L 2 L 3 O L A Surplus tenaga kerja Gambar 8: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis

25 93 diagram kiri bawah pada Gambar 8a. Di sini kita dapatkan kurva-kurva produk marjinal tenaga kerja dari sektor modern yang merupakan turunan dari kurvakurva TP M pada diagram di atasnya. Dengan asumsi bahwa pasar tenaga kerja sektor modern bersifat kompetitif sempurna, maka kurva-kurva produk marjinal tenaga kerja tersebut menggambarkan tingkat aktual tenaga kerja. W A pada diagram sebelah bawah Gambar 8b, menunjukkan rata-rata tingkat pendapatan riil dari sektor ekonomi subsisten tradisional di daerah-daerah pedesaan. W M pada Gambar 8a memperlihatkan tingkat upah riil pada sektor kapitalis modern. Pada tingkat upah tersebut, penawaran tenaga kerja pedesaan diasumsikan tidak terbatas atau elastis sempurna, dan ini diperlihatkan oleh kurva penawaran tenaga kerja yang horizontal W M S L. Dengan kata lain, Lewis mengasumsikan bahwa pada tingkat upah di perkotaan sebesar W M yang lebih tinggi daripada tingkat pendapatan pedesaaan W A, maka para penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan sebanyak yang mereka perlukan tanpa harus merasa khawatir tingkat upah akan meningkat. Dengan asumsi penawaran modal KM1 yang jumlahnya tetap dan sudah tertentu, pada tahap awal pertumbuhan sektor modern kurva permintaan terhadap tenaga kerja semata-mata ditentukan oleh penurunan produk marjinal tenaga kerja, seperti ditunjukkan oleh kurva D 1 (K M1 ) yang mempunyai kemiringan negatif. Karena para pemodal di sektor modern selalu berusaha memaksimumkan keuntungan dan mereka diasumsikan akan terus merekrut tenaga kerja sampai ke titik dimana produk fisik marjinal (marginal physical product) sama persis dengan upah riil (yaitu di titik F yang merupakan perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja). Total kesempatan kerja di sektor

26 94 modern sebanyak L 1. Total output sektor modern (TP M1 ), ditunjukkan oleh bidang yang dibatasi oleh titik-titik OD 1 FL 1, berdasarkan total tenaga kerja L 1. Bagian dari total output yang dibayarkan kepada pekerja dalam bentuk upah adalah sama dengan daerah empat persegi panjang OW M FL 1. Sisa output yang ditunjukkan oleh daerah W M D 1 F adalah keuntungan total yang diterima oleh para pengusaha (kapitalis di sektor modern). Karena Lewis berasumsi bahwa semua keuntugan tersebut akan ditanamkan kembali, maka stok modal di sektor modern akan naik, yakni dari K M1 menjadi K M2. Stok modal yang lebih besar ini menyebabkan kurva produksi secara keseluruhan pada sektor modern meningkat menjadi TP M (K M2 ), yang pada gilirannya akan mengakibatkan terus meningkatnya kurva permintaan tenaga kerja. Pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke atas ditunjukkan oleh garis D 2 (K M2 ) pada Gambar 8a sebelah bawah. Titik keseimbangan baru atas tingkat penyerapan tenaga kerja oleh sektor modern akan terbentuk pada titik G dengan jumlah tenaga kerja yang diserap sebanyak L 2, jumlah output meningkat menjadi TP M2 atau OD 2 GL 2, sementara jumlah upah para pekerja dan keuntungan para pengusaha meningkat menjadi masing-masing OW M GL 2 dan W M D 2 G. Sekali lagi, keuntungan (W M D 2 G) yang lebih besar ini akan ditanamkan kembali, dan akan meningkatkan jumlah stok kapital ke K M3, yang akan menggeser kurva produksi dan permintaan tenaga kerja masing-masing ke TP M (K M3 ) dan ke D 3 (K M3 ), serta menaikkan tingkat penyerapan tenaga kerja sektor modern ke L 3. Rangkaian proses berkesinambungan (self-sustainning growth) dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern diasumsikan akan terus berlangsung

27 95 sampai semua surplus tenaga kerja di pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja tambahan berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang relatif lebih tinggi karena tenaga kerja yang berkurang pada sektor tersebut akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah saja yang mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi. Dengan demikian, tatkala tingkat upah serta kesempatan kerja di sektor modern terus mengalami perubahan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu kenyataan dan perekonomian itu pun pada akhirnya akan beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasikan kepada pola kehidupan perkotaan Model Ekonomi Dual Hayami (2001) menjelaskan bahwa model Ricardo tentang model ekonomi dual dibenarkan oleh Lewis (1954) sebagai teori ekonomi pembangunan di dalam pembangunan ekonomi saat ini. Model ekonomi dual tersebut adalah model yang menganalisis proses pembangunan yang membahas interaksi antara dua sektor, yakni sektor tradisional (diwakili oleh pertanian) dan sektor modern (diwakili oleh industri) yang memiliki perbedaan perilaku yang prinsipil. Di sektor industri modern, tingkat upah didukung oleh keseimbangan pada saat suplai tenaga kerja berpotongan dengan produk marjinal tenaga kerja, sebagaimana yang dinyatakan dalam ekonomi neoklasik. Sementara sektor pertanian tradisional masih

28 96 mempertimbangkan kelembagaan yang dicerminkan oleh tingkat subsisten sebagaimana tradisi ekonomi klasik, termasuk teori Ricardo (1966). Model Lewis sama dengan model Ricardo pada poin penawaran tenaga kerja ke sektor industri yang dicirikan oleh infinite elasticity, yang paralel dengan kenaikan akumulasi modal dan keuntungan (profit). Kedua model berbeda pada mekanisme skedul yang menghasilkan penawaran tenaga kerja yang horizontal. Ricardo berdasarkan pada mekanisme hukum populasi Malthusian, sedangkan Lewis berdasar pada surplus tenaga kerja yang terjadi pada sektor tradisional. Menurut Lewis, kelebihan tenaga kerja yang dipekerjakan di komunitas pedesaan di negara yang sedang berkembang disebabkan karena kebudayaan gotong royong dan urunan penghasilan diantara anggota keluarga, maka produk marjinal tenaga kerja lebih rendah dari tingkat upah resmi, jika tidak dikatakan nol. Para pekerja yang memperoleh produk marjinal pertanian di bawah tingkat upah resmi, tentunya ingin bermigrasi ke sektor industri jika para pekerja di sana dibayar dengan tingkat upah resmi yang tetap. Dengan pertimbangan, penawaran tenaga kerja sektor industri dianggap horizontal hingga pada satu titik dimana seluruh surplus tenaga kerja selesai bermigrasi dari sektor pertanian. Sampai di situ, proses Ricardian dalam peningkatan kapital dan keuntungan berlangsung secara paralel. Ketika seluruh surplus tenaga kerja di pertanian diserap ke dalam sektor industri, tingkat upah di sektor pertanian akan meningkat mengikuti kurva marjinal produk, sebagai dampak yang lebih lanjut dari penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Sampai pada titik ini terbentuklah transisi dari ekonomi tradisional (dibatasi oleh prinsip klasik) ke sektor modern (dibatasi oleh prinsip

29 97 neoklasik), dikatakan sebagai titik balik (turning-point). Setelah titik balik dicapai, ekonomi dual secara alamiah sudah hilang, dan pertanian menjadi bagian dari ekonomi modern yang mana tingkat upah dan pendapatan per kapita secara kontinu meningkat searah dengan upward-sloping kurva penawaran tenaga kerja. Dengan cara ini, Lewis menitikberatkan mekanisme untuk mencapai modernisasi ekonomi adalah meninggalkan sistem ekonomi tradisional yang dicirikan oleh kemiskinan dan surplus tenaga kerja. Lewis sendiri tidak mengakui bahaya dari proses pertumbuhan ekonomi dualisme yang diberhentikan oleh masalah pangan the Ricardo-Schultz sebelum dicapai titik balik. Kemungkinan tersebut secara jelas diindikasikan di dalam model Ranis-Fei yang merupakan pengembangan dan memformalisasikan teori Lewis (Ranis dan Fei, 1961; Fei dan Ranis, 1964 dalam Hayami, 2001). Gambar 9 adalah penyederhanaan representasi model Ranis-Fei. Sumbu horizontal O 1 O 2 menggambarkan total angkatan kerja, dengan sektor angkatan kerja diukur dari O 1 ke kanan dan angkatan kerja sektor pertanian diukur dari O 2 ke kiri. Contoh, titik S menjelaskan distribusi angkatan kerja O 1 S untuk sektor industri dan O 2 S untuk sektor pertanian. Porsi di atas diagram menggambarkan pasar permintaan dan penawaran yang berhubungan dengan tenaga kerja industri. Porsi di bawah menggambarkan respon produksi dari input tenaga kerja (fungsi produksi), di sektor pertanian dalam bentuk terbalik. Kurva cembung O 2 R menggambarkan hubungan dimana output pertanian meningkat pada tingkat yang menurun yang menghubungkan peningkatan di dalam input tenaga kerja dari titik asal (O 2 ) sampai titik S, dimana produk marjinal tenaga kerja menjadi nol.

30 98 SL SL Industrial wage rate D 0 D 1 R Agricultural output Sumber: Hayami (2001) Gambar 9. Model Dual Ekonomi Tipe Lewis-Ranis-Fei Ekonomi tradisional asli sebelum industrialisasi diwakilkan oleh titik O 1 yang mana seluruh tenaga kerja dikerahkan di produksi pertanian. Diasumsikan pada titik ini produk marjinal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol, tetapi output dibagi seimbang diantara pekerja mengikuti prinsip gotong-royong dan pembagian pendapatan di komunitas pedesaan. Pendapatan per pekerja direpesentasikan dengan sudut garis lurus yang menghubungkan O 2 dan R. Produksi rata-rata ini (W) menggambarkan biaya hidup, yang secara kelembagaan dicerminkan oleh tingkat upah subsisten.

31 99 Dimulai dari titik O 1 angkatan kerja pertanian bermigrasi ke sektor industri sebagai akibat dari kurva permintaan tenaga kerja di sektor industri yang bergeser ke kanan karena respon dari akumulasi kapital di sektor industri. Hal itu dapat terjadi karena harga penawaran tenaga kerja di industri dianggap konstan hingga tenaga kerja yang diserap di sektor industri mencapai titik T (titik balik Lewis) dikarenakan produk marjinal tenaga kerja pertanian selalu lebih rendah daripada tingkat upah resmi yang dibayarkan oleh industri. Jika demikian, titik balik akan dicapai secara paralel, peningkatan stok kapital dan keuntungan didukung oleh elastisitas penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas (infinitely). Walaupun demikian, ketika penyerapan tenaga kerja melebihi titik S, produk marjinal tenaga kerja sektor pertanian menjadi positif. Selanjutnya migrasi tenaga kerja ke industri mengakibatkan secara absolut penurunan pada total (dan per kapita) produksi bahan pangan, sehingga harga bahan pangan relatif meningkat dibandingkan harga produk industri. Titik S dikatakan sebagai titik kelangkaan (Shortage point) sebagai tanda dimulainya penurunan ketersediaan bahan pangan. Di samping titik kelangkaan tersebut, tingkat upah (yang diukur berupa unit produk industri) guna peningkatan tenaga kerja sektor industri dapat dibayar sama dengan satu bundle makanan untuk tingkat subsisten. Selanjutnya, kurva penawaran tenaga kerja untuk sektor industri menjadi upward-sloping dari titik S. Slope kurva ini dapat menjadi tajam, karena kenaikan harga bahan pangan dan biaya hidup tenaga kerja menjadi mahal sebagai respon dari pengurangan produksi bahan makanan yang dicirikan oleh rendahnya elastisitas permintaan.

32 100 Jika demikian, tingkat keuntungan di sektor industri dapat menurun dari titik S, sehingga akumulasi modal berhenti sebelum mencapai titik T. Pada intinya, model Ranis-Fei menggambarkan rumusan lain dari perangkap Ricardian (Ricardian trap). Dalam pembangunan ekonomi dapat terjadi transformasi struktural ketika mereka mencoba mencapai modernisasi ekonomi dengan memforsir realokasi sumberdaya dari pertanian ke industri, sementara mengabaikan peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Bahaya ini secara keras disuarakan oleh Jorgenson (1961) dalam Hayami (2001) di dalam model dua sektornya yang mirip dengan model Ranis - Fei kecuali tidak ada surplus tenaga kerja yang diasumsikan dari luar pertanian dan upah yang ada di sektor pertanian didasarkan pada prinsip marjinal neoklasik. Dengan ketiadaan surplus tenaga kerja di sektor pertanian, industrialisasi harus didukung dari sejak awal dengan pengembangan teknologi di sektor pertanian untuk mencegah harga bahan makanan dan biaya hidup dari kenaikan yang tajam. Sudah menjadi perdebatan akademik apakah ada surplus tenaga kerja di sektor pedesaan di negara berkembang dan apakah penentuan upah didasarkan pada prinsip klasik atau neoklasik (Hayami dan Ruttan, 1985). Meskipun demikian dari teori manapun yang diadopsi ada kesamaan kesimpulan yakni kesuksesan industrialisasi tanpa diiringi dengan peningkatan produksi bahan makanan untuk menghindari bahaya dinamakan Ricardian trap. Perlu juga ditekankan bahwa kontribusi pertanian ke industri tidak hanya pada suplai makanan dan tenaga kerja, tetapi dalam banyak hal, seperti pelimpahan pasar domestik untuk komoditi hasil industri, perolehan mata uang asing melalui ekspor produk pertanian, dan transfer tabungan dari perpajakan dan

33 101 pasar keuangan. Pertumbuhan industrialisasi dan ekonomi modern dapat cepat berhasil tanpa meningkatkan pembangunan di sektor pertanian, adalah yang dominan pada tahap awal pembangunan (Mellor, 1966; Johnston dan Kilby, 1975; Hayami dan Ruttan, 1985) dalam Hayami (2001) Sintesis Kerangka Teoritis Ekspansi fiskal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Branson dan Litvack, 1981). Seiring pertumbuhan ekonomi, para pengusaha menanamkan modalnya dan menarik tenaga kerja dari sektor pertanian dan output sektor pertanian menjadi berkurang (Lewis, 1954). Faktor lain yang mempengaruhi proses transformasi tenaga kerja adalah kesempatan kerja yang terbatas pada sektor pertanian, dan semakin terbukanya kesempatan kerja di sektor non pertanian, serta semakin membaiknya aksesibilitas antara pedesaan dan perkotaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan sikap mental tenaga kerja terhadap modernisasi (Sigit, 1989 dan Rachmat, 1992). Dengan berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian, maka output sektor pertanian menjadi berkurang. Dari beberapa teori yang sudah diuraikan pada bab ini, ada beberapa teori yang penting yang dipilih yang berkaitan dengan penelitian ini. Pertama, teori makroekonomi tentang fiskal. Pada teori fiskal dijelaskan bahwa kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah berdampak pada pertumbuhan output dan peningkatan kesempatan kerja (Branson dan Litvack, 1981). Kedua, teori permintaan tenaga kerja. Pada teori permintaan tenaga kerja dijelaskan bahwa peningkatan permintaan tenaga kerja dapat diakibatkan oleh peningkatan output. Dalam hal ini, permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan dari output (Fleisher, 1970; Simanjuntak, 1985; McConnell dan Brue, 1995; Borjas, 1996).

34 102 Ketiga, teori perubahan struktur ekonomi dan tenaga kerja. Pada teori perubahan struktur ekonomi dijelaskan bahwa dari proses pembangunan mengakibatkan terjadinya pergeseran kontribusi output dari sektor pertanian ke sektor non pertanian (Hayami, 2001). Pada teori tersebut dijelaskan juga bahwa peningkatan output pada sektor non pertanian terjadi karena peningkatan investasi di sektor non pertanian. Pada teori perubahan struktur tenaga kerja dijelaskan bagaimana perubahan kontribusi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Perubahan kontribusi tenaga kerja di sektor non pertanian diakibatkan oleh peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor non pertanian (Hayami, 2001). Peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor non pertanian terjadi karena penambahan investasi di sektor tersebut. Pada model penelitian ini dijelaskan bahwa pengeluaran pemerintah memberi dampak peningkatan investasi pada sektor yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang ditandai dengan peningkatan PDRB sektor. Peningkatan PDRB sektor berdampak pada penyerapan tenaga kerja sektor. Peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja memberi dampak pada perubahan struktur ekonomi dan tenaga kerja. Sementara, transformasi ekonomi dan tenaga kerja pada penelitian ini dilakukan dengan melihat terjadinya perubahan struktur output dan tenaga kerja.

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada masalah pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pembangunan Ekonomi Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2006) merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia MODUL PERKULIAHAN Perekonomian Indonesia Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia Fakultas Program Studi Pertemuan Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Akuntansi 08 84041 Abstraksi Modul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keahlian-keahlian, kemampuan untuk berfikir yang dimiliki oleh tenaga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keahlian-keahlian, kemampuan untuk berfikir yang dimiliki oleh tenaga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tenaga Kerja Menurut Sudarso (1991), tenaga kerja merupakan manusia yang dapat digunakan dalam proses produksi yang meliputi keadaan fisik jasmani, keahlian-keahlian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Pengertian Tenaga Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Struktur Ekonomi dan Pola Perubahan Struktur Ekonomi Struktur ekonomi dapat diartikan sebagai komposisi peranan masingmasing sektor dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian pembangunan ekonomi secara essensial dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

Permintaan Agregat dalam Perekonomian Tertutup: Perilaku Pasar Barang dan Pasar Uang

Permintaan Agregat dalam Perekonomian Tertutup: Perilaku Pasar Barang dan Pasar Uang Modul 1 Permintaan Agregat dalam Perekonomian Tertutup: Perilaku Pasar Barang dan Pasar Uang Arief Ramayandi, S.E., MecDev., Ph.D. Ari Tjahjawandita, S.E., M.Si. M PENDAHULUAN odul ini akan menjelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Dana Perimbangan 2.1.1. Pengertian dan Pembagian Dana Perimbangan 2.1.1.1. Pengertian Dana Perimbangan Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI

PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI Pertambahan jumlah penduduk setiap tahun akan menimbulkan konsekwensi kebutuhan konsumsi juga bertambah dan dengan sendirinya dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA Kuliah SEI pertemuan 11 NANANG HARYONO, S.IP., M.Si DEPARTEMEN ADMINISTRASI FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA 2012 Perencanaan Pembangunan Ekonomi ARTHUR LEWIS dalam buku DEVELOPMENT

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UTS GENAP 2015/2016 TEORI EKONOMI MAKRO 1

PEMBAHASAN UTS GENAP 2015/2016 TEORI EKONOMI MAKRO 1 PEMBAHASAN UTS GENAP 2015/2016 TEORI EKONOMI MAKRO 1 1. Para ekonom menggunakan beberapa variabel makroekonomi untuk mengukur prestasi seuah perekonomian. Tiga variable yang utama adalah real GDP, inflation

Lebih terperinci

PERMINTAAN DAN PENAWARAN AGREGAT

PERMINTAAN DAN PENAWARAN AGREGAT PERMINTAAN DAN PENAWARAN AGREGAT L Suparto LM,. M.Si Dalam teori makroekonomi klasik, jumlah output bergantung pada kemampuan perekonomian menawarkan barang dan jasa, yang sebalikya bergantung pada suplai

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Berbagai model pertumbuhan ekonomi telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi. Teori pertumbuhan yang dikembangkan dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sukirno (1994) Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Modul ke: TRANSFORMASI STRULTURAL Matsani, S.E, M.M EKONOMI BISNIS Fakultas Program Studi AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id TRANSFORMASI STRUKTURAL. Transformasi struktural berarti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

PERTEMUAN 5 dan 6 PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI

PERTEMUAN 5 dan 6 PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI PERTEMUAN 5 dan 6 PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI Pendahuluan Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang pernah dilakukan di Indonesia. tenaga kerja dengan variabel pertumbuhan ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang pernah dilakukan di Indonesia. tenaga kerja dengan variabel pertumbuhan ekonomi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati, studi empiris dari penelitian sebelumnya dan Studi empiris yang dibahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan faktor penting dalam proses pembangunan yakni sebagai penyedia tenaga kerja. Namun dengan kondisi tenaga kerja dalam jumlah banyak belum menjamin bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

Model IS-LM. Lanjutan... Pasar Barang & Kurva IS 5/1/2017. PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM)

Model IS-LM. Lanjutan... Pasar Barang & Kurva IS 5/1/2017. PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM) Model IS-LM PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan IS-LM) Model IS-LM adalah interpretasi terkemuka dari teori Keynes. Tujuan dari model ini adalah untuk menunjukkan apa yang menentukan pendapatan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Ketenagakerjaan Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang disebut sebagai tenaga kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 3 Pendapatan Nasional : Dari Mana Berasal dan Ke Mana Perginya

BAB 3 Pendapatan Nasional : Dari Mana Berasal dan Ke Mana Perginya BAB 3 Pendapatan Nasional : Dari Mana Berasal dan Ke Mana Perginya Tutorial PowerPoint untuk mendampingi MAKROEKONOMI, edisi ke-6 N. Gregory Mankiw oleh Mannig J. Simidian 1 Model ini sangat sederhana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output

Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output 1. Model Arus Lingkar Pendapatan (The Circular Flow of Income model) 2. Pengeluaran Agregate yang direncanakan (Agregate Expenditure, AE)

Lebih terperinci

PROSES PEMBANGUNAN EKONOMI DENGAN KELEBIHAN TENAGA KERJA

PROSES PEMBANGUNAN EKONOMI DENGAN KELEBIHAN TENAGA KERJA PROSES PEMBANGUNAN EKONOMI DENGAN KELEBIHAN TENAGA KERJA KONSEP PEMBANGUNAN EKONOMI KELEBIHAN TENAGA KERJA SEBAB Rasio luas tanah dengan jumlah pendapatan kecil dan pertambahan penduduk cepat TEORI LEWIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung 27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Nasional Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional setiap tahunnya, yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

MODEL SEDERHANA PERMINTAAN AGREGAT PENAWARAN AGREGAT

MODEL SEDERHANA PERMINTAAN AGREGAT PENAWARAN AGREGAT MODEL SEDERHANA PERMINTAAN AGREGAT PENAWARAN AGREGAT Permintaan agregat adalah permintaan keseluruhan total atau permintaan seluruh lapisan masyarakat. Permintaan agregat terbentuk : 1. Dibentuk oleh pasar

Lebih terperinci

PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM)

PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM) PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM) Model IS-LM Model IS-LM adalah interpretasi terkemuka dari teori Keynes. Tujuan dari model ini adalah untuk menunjukkan apa yang menentukan pendapatan

Lebih terperinci

Xpedia Ekonomi. Makroekonomi

Xpedia Ekonomi. Makroekonomi Xpedia Ekonomi Makroekonomi Doc. Name: XPEKO0399 Doc. Version : 2012-08 halaman 1 01. Pengangguran friksional / frictional unemployment ialah... (A) diasosiasikan dengan penurunan umum di dalam ekonomi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. rata-rata pendapatan riil dan standar hidup masyarakat dalam suatu wilayah. Oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. rata-rata pendapatan riil dan standar hidup masyarakat dalam suatu wilayah. Oleh BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Konsep Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses kenaikan output yang terus menerus

Lebih terperinci

DERIVASI FUNGSI DAN KURVA AS (AGGREGATE SUPPLY) 1. Fungsi Produksi Untuk Satu Produk Barang/Jasa

DERIVASI FUNGSI DAN KURVA AS (AGGREGATE SUPPLY) 1. Fungsi Produksi Untuk Satu Produk Barang/Jasa DERIVI FUNGSI DAN KURVA (AGGREGATE SUPPLY) 1. Fungsi Produksi Untuk Satu Produk Barang/Jasa Bahan 8 Kurva Seperti telah dikemukakan pada awal perkuliahan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa menganugerahi manusia

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA Abstract Inflasi dan pengangguran adalah masalah pelik yang selalu dihadapi oleh Negara Indonesia terkait belum berkualitasnya

Lebih terperinci

Pengantar Makro Ekonomi. Pengantar Ilmu Ekonomi

Pengantar Makro Ekonomi. Pengantar Ilmu Ekonomi Pengantar Makro Ekonomi Pengantar Ilmu Ekonomi Makroekonomi Mengkhususkan mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian secara keseluruhan Bertujuan memahami peristiwa ekonomi dan memperbaiki kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih memiliki masalah pengangguran dan kemiskinan. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah negara. Dalam sebuah Negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Pendapatan Pendapatan merupakan jumlah dari seluruh uang yang diterima seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkotaan. Para ahli juga menyumbangkan pemikiran mereka diantaranya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkotaan. Para ahli juga menyumbangkan pemikiran mereka diantaranya, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Urbanisasi Urbanisasi memiliki pengertian perpindahan penduduk dari desa menuju perkotaan. Para ahli juga menyumbangkan pemikiran mereka diantaranya, a. Menurut Prof.Dr.Herlianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut beberapa pakar ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut keberhasilannya, sedangkan untuk

Lebih terperinci

Volume VIII, Nomor 1, Mei 2014 ISSN:

Volume VIII, Nomor 1, Mei 2014 ISSN: Volume VIII, Nomor 1, Mei 2014 ISSN: 1978-3612 Terbit dua kali setahun, pada bulan Mei dan Desember, berisi tulisan yang diangkat dari hasil-hasil penelitian ilmiah di bidang ilmu ekonomi dalam berbagai

Lebih terperinci

VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 87 VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 7.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Domestik 7.1.1 Guncangan Penawaran (Output) Guncangan penawaran dalam penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berkerja di perusahaan/usaha tersebut, baik berkaitan dengan produksi maupun

II. TINJAUAN PUSTAKA. berkerja di perusahaan/usaha tersebut, baik berkaitan dengan produksi maupun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritik 1. Pengertian Tenaga Kerja Berdasarkan BPS, pekerja atau tenaga kerja adalah semua orang yang biasanya berkerja di perusahaan/usaha tersebut, baik berkaitan dengan

Lebih terperinci

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak TEORI EKONOMI MAKRO Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam. perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam. perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4)

Lebih terperinci