BEA KELUAR SAWIT : ANTARA KEPENTINGAN EKONOMI DAN NASIONALISME 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BEA KELUAR SAWIT : ANTARA KEPENTINGAN EKONOMI DAN NASIONALISME 1"

Transkripsi

1 BEA KELUAR SAWIT : ANTARA KEPENTINGAN EKONOMI DAN NASIONALISME 1 Oleh : Djaka Kusmartata 2 dan Hari Poerna Setiawan 3 A. Kebijakan Bea Keluar Kelapa Sawit Landasan kebijakan pemerintah mengendalikan ekspor minyak sawit dengan mengenakan pajak ekspor adalah menjaga stabilitas harga minyak goreng di pasaran domestik. Selain tingginya harga minyak goreng berdampak pada inflasi, pemerintah bermaksud menyediakan barang kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau. Dalam perkembangannya jenis minyak sawit yang dikenakan pajak ekspor makin bertambah karena inovasi produk dari pelaku usaha dan meluasnya jenis permintaan dari konsumen. Tujuan tidak lagi berhenti pada penciptaan stabilisasi harga minyak goreng tapi meluas pada pengembangan industri pengolahan minyak sawit. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi industri sawit bersifat eskalatif yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan Bea Keluar lebih tinggi dibandingkan produk hilirnya. Hal ini bertujuan memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di dalam negeri yang pada gilirannya nilai tambah (value added) pengolahan minyak sawit diharapkan dapat dinikmati ekonomi domestik. Kebijakan Bea Keluar untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya untuk hilirisasi industri sawit pertama kali dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan tersebut diundangkan pada tanggal 15 Agustus 2011 dan mulai berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan (14 September 2011). Peraturan Menteri Keuangan ini telah mengalami dua kali perubahan yakni dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2013 tanggal 16 Mei 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2013. Peraturan Menteri 1 Paper ini merupakan pengembangan dari bagian Laporan Kajian Efektivitas Hilirisasi Industri Melalui Pengenaan Bea Keluar, Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II, PKPN - Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu. 3 Kepala Subbidang Bea Keluar, PKPN - Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu

2 Keuangan (PMK) mengenai tarif Bea Keluar ini tidak hanya berisi komoditi Minyak Sawit dan Produk Turunannya, namun meliputi barang ekspor lain yang dikenakan Bea Keluar yakni Kulit Sapi dan Kambing; Biji Kakao, Produk Kayu; dan Bijih Mineral. Meski PMK 128/PMK.011/2011 telah diubah dua kali, namun tidak ada perubahan tarif Bea Keluar minyak sawit karena yang diubah dalam dua kali perubahan PMK tersebut adalah tarif Bea Keluar produk mineral. Tujuan analisis adalah mengetahui dampak kebijakan Bea Keluar CPO dan produk turunannya terhadap industri hilir kelapa sawit dan mengukur sejauh mana stake holder domestik mampu mendapatkan nilai tambah dari proses pengolahan produk sawit di dalam negeri. B. Hilirisasi Industri Sawit Pasca Kebijakan Bea Keluar : Antara Kepentingan Ekonomi dan Nasionalisme Salah satu cara paling konkret untuk mengukur dampak beban Bea Keluar terhadap industri pengolahan sawit adalah membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan. Kebijakan tarif Bea Keluar versi hilirisasi mulai berlaku 14 September 2011 (PMK 128/PMK.011/2011). Kebijakan ini sudah ditunggu pelaku usaha seiring pernyataan pemerintah tentang hilirisasi industri sawit sehingga saat aturan ini berlaku respon pengusaha dan eksportir minyak sawit sangat cepat. Bulan pertama pasca kebijakan (Oktober 2011) aksi perusahaan sudah mulai berjalan. Untuk itu kondisi sebelum kebijakan dibatasi sebelum tahun 2012 jika data merupakan data tahunan, dan bulan September 2011 (data bulanan). Berdasarkan Tabel I, meski volume ekspor minyak sawit mentah dan produk olahan periode Januari-Oktober 2013 hanya 7,1 juta ton menurun dibanding Januari- Oktober 2012 yang sebesar 17,1 juta ton akibat permintaan Eropa yang lesu, namun proporsi ekspor produk olahan tetap dominan dibanding minyak sawit mentah. Volume ekspor produk olahan tahun 2012 dan 2013 naik hingga dua kali lipat minyak sawit mentahnya. Indikator postif ini bermula sejak akhir tahun Dominasi ekspor bulan September 2011 mengalami pergeseran (shifting) dari CPO ke produk olahannya. Capaian ini sangat positif jika dipandang dari kacamata hilirisasi dan peningkatan nilai tambah produk di dalam negeri.

3 Tabel I. Volume Ekspor CPO dan Produk Turunan (Juta Ton) 5.7 CPO CPKO Turunan CPO & CPKO Jan-Okt Jan-Okt 2013 Sumber : Pusat Data dan Informasi - Kementerian Perdagangan, diolah Peningkatan volume ekspor bisa dipastikan berasal dari peningkatan produksi mengingat permintaan dalam negeri tidak mengalami kenaikan signifikan. Konsumsi domestik atas produk turunan CPO belum menunjukkan peningkatan karena rendahnya inovasi dan kreativitas pengembangan produk olahan pelaku domestik dibandingkan industri Eropa dan Amerika Serikat. Karena konsumsi domestik tak kunjung berubah sementara kebijakan pemerintah membuka lebar peluang bagi industri olahan, maka produk turunan kelapa sawit akhirnya lebih banyak dijual ke luar negeri. B.1. Peningkatan Ekspor Produk Hilir Analisa diatas dikonfirmasi dengan data tentang kapasitas terpasang industri pengolahan (refinery, oleochemical, dan biodiesel) kelapa sawit Indonesia. Utilisasi Industri refinery sampai dengan akhir tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 80% dari yang hanya sekitar 45% di tahun Dari angka besaran kapasitas tercatat penambahan kapasitas refinery, semula 21,5 juta ton/tahun tahun 2011 menjadi 25 juta ton/tahun pada bulan Mei tahun 2012, kemudian makin meningkat pada awal 2014 menjadi 45 juta ton/tahun (Tabel II). Industri ini adalah representasi industri minyak goreng. Kapasitas terpasang industri oleochemical juga menunjukkan kenaikan cukup signifikan baik fatty acid base maupun fatty alcohol base. Dimana akhir tahun 2011, fatty acid base tercatat 650 ribu ton/tahun naik menjadi ribu

4 ton/tahun pada awal tahun Sedangkan fatty alcohol base naik dari 750 ribu ton/tahun akhir 2011 menjadi ribu ton/tahun pada awal tahun Industri oleochemical belum berkembang di Indonesia sebelum Ini merupakan indikator penting untuk mencatat adanya peningkatan investasi baik penambahan kapasitas, perluasan area produksi ataupun pembangunan pabrik baru. Tabel II. Perbandingan Kapasitas Terpasang 2011 dan Proyeksi 2014 Akhir tahun 2011 Awal tahun 2014 Rafinasi/Fraksionasi 21 juta ton/ tahun 45 juta ton/ tahun Oleochemical : Fatty Acid Base Fatty Alcohol Base 650 ribu ton/ tahun 750 ribu ton/ tahun ribu ton/ tahun ribu ton/ tahun Methyl Ester : Biodiesel 3,6 juta ton/ tahun 3,8 juta ton/ tahun Sumber : Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Desember 2013 Berikutnya adalah capaian industri biodiesel dari 3,6 juta ton tahun 2011 naik menjadi 3,8 juta ton tahun Peningkatan ini tergolong lambat dibanding produk turunan lainnya. Perkembangan industri biodiesel di dalam negeri sangat tergantung dari willingness pemerintah. Kenaikan pemakaian biodiesel tak secepat dugaan banyak pihak dan tak seramai yang publik bicarakan. Tabel III. Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit No Nama Produk Harga USD/ton Nilai Tambah (CPO/CPKO) 1 Crude Palm Oil (CPO) % (basis) 2 Crude Palm Kernel Oil (CPKO) % 3 Minyak Goreng Sawit (kemasan/curah) % 4 Margarine/Shortening % 5 Confectionaries *) % 6 Metil Ester % 7 Fatty Acids % 8 Fatty Alcohol *) % 9 Surfaktan % 10 Kosmetik **) % Sumber : Paper Prof. E. Gumbira Said Peranan Hilirisasi Industri Kelapa Sawit bagi Perekonomian Indonesia

5 Rantai produksi dari kelapa sawit menjadi CPO dan CPKO kemudian seterusnya produk turunannya menggambarkan tahapan nilai tambah yang makin besar. Tabel III adalah tabel peningkatan nilai tambah kelapa sawit dengan CPO sebagai basis ukuran awal. Minyak goreng memiliki kenaikan nilai tambah 35% dibanding CPO, sementara Methyl Ester atau biodiesel bernilai tambah 82%. Sebagian produk turunan Indonesia masih berkutat pada minyak goreng dan produk sejenis hasil refinery. Meski investasi di sektor oleochemical yakni fatty acids dan fatty alcohol mulai direalisasikan. Fatty acids dan fatty alcohol merupakan produk turunan kelapa sawit yang sangat tinggi nilai tambahnya. Nilai tambahnya mencapai 141% - 217% jika dibanding dengan CPO. B.2. Multinational Company vs Domestic Company Masuknya pabrikan multinasional (multinational company - MNC) ibarat dua sisi mata uang bagi industri hilir kelapa sawit Indonesia. Selain menguntungkan dari segi investasi, serapan tenaga kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi, juga berpotensi merugikan dengan terbukanya akses pengembangan dan penelitian (Research and Development R&D) mereka terhadap obyek penelitian (kelapa sawit) di dalam negeri. Lembaga riset Indonesia masih sulit mengakses kerjasama R&D dengan pabrikan multinasional tersebut. Padahal R&D sangat penting sebagai strategi dalam memenangkan persaingan pasar. Dilema ini adalah satu bagian resiko yang harus ditanggung Indonesia karena akselerasi program hilirisasi industri kelapa sawit. Investasi tidak mengenal identitas negara. Dimana ada potensi keuntungan maksimal, maka investor akan masuk dan berusaha menguasai semua bidang untuk memaksimalkan keuntungan dan melanggengkannya. Industri hilir kelapa sawit di Indonesia menjanjikan keuntungan optimal karena ketersediaan bahan baku dan pasar yang luas. Dibandingkan dengan pabrikan multinasional, pabrikan sawit domestik masih ketinggalan dalam inovasi dan penciptaan varian produk baru kelapa sawit. Pertanyaannya kemudian apakah pabrikan domestik mampu bersaing? Mampukah pabrikan sawit domestik mendulang manfaat dengan kehadiran pabrikan asing? Tak mudah menjawabnya. Harapan yang muncul tentunya perusahaan domestik mampu bersaing dan berkompetisi dalam hal inovasi dan pengembangan produk kelapa sawit.

6 Gambar I. Negara Penghasil Inovasi Berbasis Paten Agroindustri Kelapa Sawit 2% 1% 13% 3% 3% 3% 3% 4% 6% 7% 55% United State of America Netherlands United Kingdom Switzerland Germany Japan France Denmark European Patent Office Australia Others Sumber : Negara-negara penghasil inovasi berbasis paten untuk agroindustri kelapa sawit (World Intellectual Property Organization-WIPO, 2011, Wibowo dan Gumbira-Sa id, 2011) Amerika Serikat menjadi negara penghasil inovasi terbesar untuk bidang industri kelapa sawit. Lima puluh lima persen inovasi agroindustri kelapa sawit berasal dari Amerika Serikat. Posisi kedua Belanda dengan 7% disusul Inggris dan Swis dengan inovasi 6% dan 4% dari total dunia. Indonesia dan Malaysia sebagai penguasa 80% pasokan minyak sawit mentah dunia tak masuk dalam jajaran inovator produk sawit. Indonesia masih pemain kacangan di industri hilir kelapa sawit. Ini adalah tantangan bagi Indonesia, dengan bahan baku melimpah tapi belum menjadi inovator atau kreator pengembangan produk hilir kelapa sawit. Perusahaan multinasional dengan kekuatan risetnya mampu berinovasi menciptakan produk olahan berbasis kelapa sawit yang bernilai tambah tinggi. Hasil inovasi mereka telah dipatenkan di World Intellectual Property Right Organization (WIPO). Berdasarkan penelusuran data base patentscope tentang jumlah produk kelapa sawit (kata kunci palm oil) yang menjadi hak paten adalah sebanyak 7459 inovasi dengan pembagian negara sebagaimana Gambar I. Apabila dikaji berdasarkan pemohon aplikasi paten (pabrikan), sebagian besar inovasi agroindustri kelapa sawit dunia dikuasai oleh The Procter & Gamble Company (Amerika Serikat), yaitu sebesar 14,35% dari total paten produk sawit dunia. Posisi kedua menjadi milik Unilever dengan total 4%. Pemohon lainnya ratarata menghasilkan inovasi antara 0,20 1,50% dari total inovasi di dunia (Tabel IV).

7 Lima teratas pemegang paten kelapa sawit merupakan pabrikan multinasional, yang sudah lama mendominasi bisnis consumer goods global. Produk consumer goods tersebut adalah barang keperluan sehari-hari yang akrab dikonsumsi masyarakat Indonesia. Kebijakan pemerintah mendorong perkembangan industri hilir kelapa sawit merupakan peluang pabrikan domestik untuk membuat inovasi baru tentang produk kelapa sawit yang pada gilirannya diharapkan mampu bersaing dengan pabrikan multinasional. Tabel IV. Lima Belas Pemohon Paten Terbanyak Bidang Kelapa Sawit di Dunia No. Pemohon paten Total % Dunia* 1 The Procter & Gamble Company ,35 2 Unilever Plc 210 2,82 3 Unilever N.V ,04 4 L'oreal 105 1,41 5 Dsm Ip Assets B.V. 95 1,27 6 Nestec S.A. 87 1,17 7 Colgate-Palmolive Company 59 0,79 8 Societe Des Produits Nestle S.A. 55 0,74 9 Cargill, Incorporated 49 0,66 10 The Lubrizol Corporation 47 0,63 11 Kimberly-Clark Worldwide, Inc. 44 0,59 12 Novozymes A/S 42 0,56 13 Dow Global Technologies Inc. 38 0,51 14 Archer-Daniels-Midland Company 37 0,50 15 Dow Corning Corporation 37 0,50 Keterangan: * Total Permohonan Paten Dunia = Diolah dari WIPO (2011) Sumber : Prof E. Gumbira Said, B.3. Posisi Indonesia di ASEAN Urusan inovasi produk kelapa sawit Indonesia jauh tertinggal di level global. Bagaimana posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara? Berdasarkan data WIPO, ternyata negara-negara yang tergabung dalam ASEAN penghasil inovasi utama produk kelapa sawit adalah Malaysia dan Singapura. Malaysia dan Singapura masing-masing berkontribusi 1,06% dan 0,46% dari total inovasi kelapa sawit dunia. Namun untuk level ASEAN, Malaysia negara penghasil inovasi terbesar produk

8 kelapa sawit dengan 65,83% aplikasi paten dan Singapura 28,33%. Indonesia hanya menghasilkan paten produk berbasis sawit sebanyak 0,04% (dunia) dan 2,5% (ASEAN) (Tabel V). Tabel V. Jumlah Aplikasi Paten Kelapa Sawit Negara ASEAN No Negara Jumlah % Dunia* Asean 1 Malaysia 79 1,06 65,83 2 Singapore 34 0,46 28,33 3 Thailand 4 0,05 3,33 4 Indonesia 3 0,04 2,50 Total Permohonan Paten ASEAN 120 1,61 100,00 Keterangan: * Total Permohonan Paten Dunia sampai tahun 2011 = 7459 Sumber : WIPO, E. Gumbira Said, diolah Hal ini menegaskan bahwa Indonesia baik level dunia maupun ASEAN belum menjadi inovator penting produk kelapa sawit, bahkan bisa dikatakan nyaris tak punya peran. Apakah realisasi investasi besar-besaran pabrikan multinasional dan domestik membuat peran Indonesia sebagai inovator produk kelapa sawit berubah? Penting sekali bagi Indonesia punya peran dalam inovasi dan pengembangan produk baru berbasis kelapa sawit. Selain nilai tambah tinggi dan penerimaan royalty atas pemakaian produk, Indonesia membuka kesempatan bersaing dengan pabrikan multinasional di pasar domestik. B.4. Program National Branding Minyak Goreng Kemasan Dibanding produk turunan yang lain, minyak goreng menjadi salah satu produk favorit produsen. Selain menghasilkan profit menjanjikan, tingkat pengolahan minyak goreng tidak menuntut teknologi tinggi. Sebagai produsen utama CPO, Indonesia dibanding negara lain terlambat mengantisipasi peningkatan kualitas dan varisasi produk minyak goreng. Berdasarkan data GIMNI penggunaan CPO domestik sebagian besar untuk industri minyak goreng 37%, industri margarin 3%, industri sabun 3% dan industri oleokimia 5%. Sedangkan tujuan ekspor masih dominan di atas 50%. Jika menyimak besaran nilai tambah (Tabel III), dominasi penggunaan CPO untuk minyak goreng ini adalah kabar kurang menarik mengingat nilai tambah minyak goreng relatif kecil dibandingkan margarin, sabun dan produk oleokimia.

9 Tabel VI. Komposisi Penggunaan CPO di Indonesia No. Jenis Penggunaan Persentase (%) 1. Ekspor Industri Minyak Goreng Industri Margarin 3 4. Industri sabun 3 5. Industri Oleokimia 5 Sumber : GIMNI, diolah Pasca restrukturisasi tarif Bea Keluar versi hilirisasi tahun 2011, salah satu industri yang menunjukkan peningkatan kapasitas terbesar adalah industri minyak goreng. Demi mengejar keuntungan optimal, rupanya PMK 128/2011 direspon demikian cepat oleh pabrikan minyak goreng domestik maupun luar negeri. Hal ini dipicu antara lain meningkatnya konsumsi minyak goreng dunia untuk pengolahan makanan. Pabrikan minyak goreng domestik bahkan kewalahan memenuhi permintaan pasar internasional. Struktur tarif Bea Keluar (PMK 128/2011) mengakomodasi naiknya nilai tambah karena mengemas minyak goreng dengan membuat perbedaan tarif antara minyak goreng curah dan kemasan. Tarif Bea Keluar minyak goreng curah lebih tinggi 2% - 6% dibanding kemasan bermerek tergantung harga CPO yang berlaku. Dibanding produk hulunya yakni CPO, tarif Bea Keluar minyak goreng kemasan bermerek lebih rendah 7,5% - 12%. Selisih tarif ini layaknya insentif bagi industri minyak goreng kemasan di dalam negeri. Karena selisih tarif yang signifikan, pabrikan domestik segera menambah kapasitas produksi khususnya line produksi minyak goreng kemasan bermerek. Tujuan restrukturisasi tarif Bea Keluar diantaranya adalah menumbuhkan dan membangun merek minyak goreng nasional atau domestik di pasar internasional sambil berupaya keras berinovasi menambah produk hilir kelapa sawit bernilai tambah tinggi lainnya. Ini diharapkan memicu bangkitnya inovasi dalam penciptaan dan pengembangan merek minyak goreng nasional dan dipatenkan di lembaga internasional. Pada masa mendatang diharapkan Indonesia punya merek minyak goreng nasional yang beredar dan menjadi trend-setter produk minyak goreng internasional. Mari kita analisis progress pengembangan merek minyak goreng nasional tersebut (national branding). Jika ekspor minyak goreng kemasan bermerek tarif Bea Keluarnya lebih rendah dari minyak goreng curah, maka produsen minyak goreng kemasan berusaha mendapatkan merek berpaten dengan mendaftarkan mereknya ke Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian produsen mendapatkan tanda terima pendaftaran

10 merek sambil menunggu penelitian dan penelusuran tentang kesamaan dengan merek-merek yang sudah ada, untuk kemudian dinyatakan bahwa merek tersebut sah untuk dipatenkan. Atas tanda terima pendaftaran ini, Kementerian Perdagangan sudah bisa mencantumkan merek yang sedang dilakukan penelitian ini dalam daftar merek minyak goreng kemasan sebagai Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan mengenai Harga Patokan Ekspor (HPE) yang setiap bulan diterbitkan Menteri Perdagangan. Masalahnya waktu tunggu hingga merek disahkan atau ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah dua tahun. Sepanjang belum keluar keputusan tentang pengakuan merek yang sah, merek yang didaftarkan dapat diterima sebagai merek dari produk minyak goreng kemasan. Jika tidak diterima sebagai merek yang sah, produsen dapat mengajukan kembali merek baru kepada Kementerian Hukum dan HAM. Jadi daftar merek dalam Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan tersebut belum tentu menjadi merek yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dari waktu ke waktu jumlah merek minyak goreng kemasan yang didaftarkan semakin banyak. Bertambahnya jumlah merek minyak goreng kemasan sesungguhnya disebabkan oleh beban Bea keluar yang berbeda. Inilah sejatinya pemicu munculnya merek-merek baru yang didaftarkan ke Kemenkum dan HAM, bukan karena munculnya inovasi baru atas produk minyak goreng. Tabel VII. Perkembangan Jumlah Merek Minyak Goreng Kemasan Pasca Restrukturisasi Tarif Bea Keluar (PMK 128/2011) No Periode HPE Berat Kemasan Minyak Goreng Jumlah Merek September Kg Oktober Kg Desember Kg dan Kg September Kg dan Kg 2200 Sumber : Pemendag HPE September 2011, Oktober 2011, September 2014, Desember 2013 Perkembangan jumlah merek minyak goreng dapat dibagi dalam dua periode yakni permulaan kebijakan Bea Keluar versi hilirisasi dan tahun kedua pasca kebijakan. Tabel VII menunjukkan saat mulai berlakunya kebijakan yakni daftar merek minyak goreng kemasan periode September 2011 untuk berat kemasan 0-20 kilogram jumlahnya baru 270 merek. Bulan berikutnya 1-31 Oktober 2011 jumlah kemasan minyak goreng bertambah menjadi 382 merek atau naik 41% dari periode sebelumnya. Setelah berjalan dua tahun jumlah merek berkembang makin

11 banyak. Mulai 1 Oktober 2013 volume minyak goreng kemasan dibedakan menjadi dua yakni berat 0-20 kilogram dan kilogram karena adanya permintaan dari pasar internasional. Lonjakan jumlah merek ini ternyata terus berlangsung dimana pada periode 1-31 Desember 2013 menjadi 1499 merek. Periode HPE 1-30 September 2014 jumlah merek minyak goreng kemasan naik drastis hingga 2200 merek. Kenaikan jumlah merek minyak goreng kemasan setidaknya menyimpulkan dua hal yakni pertama, adanya peningkatan permintaan minyak goreng kemasan yang direspon dengan penambahan kapasitas produksi hingga mendekati optimal. Berdasarkan data dari GIMNI kapasitas terpasang industri minyak goreng domestik naik dari 45% tahun 2010 meningkat hingga mendekati 90% tahun Optimalisasi kapasitas terpasang merupakan indikasi positif bahwa industri minyak goreng kemasan menuju tahap efisiensi produksi dengan profit margin makin tinggi. Industri ini terus menambah line produksi dengan membuka pabrik baru ataupun menambah luasan areal produksi minyak goreng. Diperkirakan industri minyak goreng Indonesia makin berkembang bahkan mampu mengalahkan Malaysia dari sisi kapasitas produksi. Penambahan kapasitas produksi artinya penyerapan tenaga kerja meningkat, kebutuhan CPO untuk industri domestik makin besar yang pada gilirannya menopang pertumbuhan ekonomi domestik. Pembesaran industri minyak goreng menguntungkan bagi penciptaan nilai tambah di dalam negeri yang pada akhirnya potensi penerimaan pajak akan makin besar. Pendek kata capaian positif ini dipicu oleh perubahan struktur tarif Bea Keluar. Tantangannya adalah belum tampak adanya upaya keras dari pelaku usaha untuk berinovasi dan menciptakan produk baru yang makin ke hilir untuk mendapatkan nilai tambah lebih tinggi ekuivalen dengan profit margin makin optimal. Sebab ketika produsen Indonesia terjebak memaksimalkan kapasitas produksi minyak goreng, pabrikan multinasional terus menciptakan inovasi dan berkreasi menambah daftar produk-produk baru dan mematenkan produk tersebut. Tarif Bea Keluar ekspor minyak goreng kemasan bermerek yang lebih rendah, dimanfaatkan produsen domestik untuk menumpuk kapasitas pada produksi minyak goreng. Tarif Bea Keluar minyak goreng bermerek yang rendah dan aturan pendaftaran merek yang sangat longgar menyebabkan lonjakan jumlah merek mencapai lebih dari dua ribu persen, semata-mata karena produsen minyak goreng domestik ingin memaksimalkan profit. Kedua, upaya Indonesia mengangkat merek minyak goreng nasional ke pasar internasional (national branding) tampaknya masih menemui jalan berliku. Kenaikan kapasitas produksi yang diiringi lonjakan jumlah merek minyak goreng

12 ternyata tidak menumbuhkan merek nasional. Justru merek-merek dengan nama asing bertambah signifikan mencapai 70% dari seluruh merek minyak goreng dalam daftar Kementerian Perdagangan. Penciptaan national branding dalam atmosfir globalisasi punya dua dimensi yang bertolak belakang. Globalisasi telah mereduksi batasan negara dan wilayah sehingga produksi bisa dilakukan dimanapun sepanjang memenuhi batasan ongkos produksi pabrikan multinasional penguasa merek. Dengan pandangan ini merek nasional atau national branding hanya menjadi utopia semata karena pabrikan multinasional penguasa merek akan sekuat tenaga menancapkan dominasinya di pasar domestik. Pabrikan penguasa merek akan terus berinovasi agar produknya diterima konsumen domestik. Contoh dari gambaran ini adalah merek mobil Toyota di Indonesia. Pandangan kedua meyakini bahwa otoritas negara mempunyai kehendak agar pelaku usaha domestik dapat memproduksi serta menggunakan domain domestik untuk dipasarkan di pasar domestik maupun internasional. Hasil produk yang diciptakan diharapkan selalu merujuk pada negara tempat produk tersebut pertama kali diciptakan dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Merek mobil Toyota kembali dapat dijadikan contoh. Sejak merek Toyota diciptakan tahun an dan didirikan pabriknya di Jepang, hingga saat ini pabrik dan produknya tersebar di seluruh dunia, Toyota tak pernah lepas national branding negara Jepang. Barangkali seperti inilah maksud national branding minyak goreng kemasan yang digagas oleh pemerintah Indonesia. C. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Bea Keluar mampu mengubah komposisi produksi dan ekspor kelapa sawit Indonesia. Dominasi ekspor produk hulu secara bertahap digantikan produk hilir kelapa sawit sehingga nilai tambah pengolahan produk perlahan dapat dinikmati stake holder kelapa sawit domestik. Meskipun Indonesia menguasai produksi kelapa sawit dunia namun belum berperan penting dalam penciptaan inovasi dan kreasi produk baru di sektor industri kelapa sawit. Pemegang merek dan paten produk consumer goods yang bersumber dari bahan baku kelapa sawit masih didominasi negara maju dengan tangan-tangan multinasional company-nya. Untuk itu pemerintah perlu mempertimbangkan kembali struktur tarif Bea Keluar dengan skema baru. Struktur Bea Keluar nantinya didesain untuk memaksa agar produsen berinovasi dalam pengembangan dan penciptaan produk baru dari kelapa sawit yang bernilai tambah tinggi dan tak merasa puas dengan berproduksi minyak goreng.

13 Pada saat yang sama aturan instansi teknis lainnya mesti disesuaikan agar merekmerek yang didaftarkan produsen bertumpu pada semangat penciptaan inovasi baru bukan semata-mata meraih keuntungan jangka pendek, sehingga pada gilirannya diharapkan kontribusi sektor industri berbasis kelapa sawit dapat mengerek devisa ekspor nasional, bahkan peningkatan ekonomi nasional secara menyeluruh.

TANTANGAN KEBIJAKAN KEBERLANJUTAN RANTAI PASOK MINYAK KELAPA SAWIT

TANTANGAN KEBIJAKAN KEBERLANJUTAN RANTAI PASOK MINYAK KELAPA SAWIT TANTANGAN KEBIJAKAN KEBERLANJUTAN RANTAI PASOK MINYAK KELAPA SAWIT Danang Company Girindrawardana GAPKI 2018 LOGO PREVIEW Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL PUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL PUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA thanks KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL PUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA GEDUNG R. M. NOTOHAMIPRODJO LANTAI 6, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR 1, JAKARTA 10710 Telepon (021) 3840151,3842542;

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk 114 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cendrung berkembang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1205, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN Perdagangan. Harga Patokan. Ekspor. Produk Pertanian. Kehutanan. Penetapan. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2016, No Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, diatur penjualan ke luar negeri dalam jumlah terten

2016, No Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, diatur penjualan ke luar negeri dalam jumlah terten No.1419, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Keluar. Barang Ekspor. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 140/PMK.010/2016 TENTANG PENETAPAN BARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadikan Asean sebagai basis produksi pasar dunia. Dilanjutkan dengan WTO ( World Trade Organization ) yaitu organisasi

BAB I PENDAHULUAN. menjadikan Asean sebagai basis produksi pasar dunia. Dilanjutkan dengan WTO ( World Trade Organization ) yaitu organisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada era globalisasi ini telah menjadikan setiap negara melakukan perdagangan secara bebas, sehingga tingkat persaingan di berbagai sektor perdagangan semakin

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 No.262, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Tarif Bea Keluar. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2017

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

2011, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar; Mengin

2011, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar; Mengin BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.501, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. Penetapan Barang Ekspor. Bea Keluar. Tarif Bea Keluar. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/PMK.011/2011 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/M-DAG/PER/9/2011/M-DAG/PER/3/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 17/M-DAG/PER/5/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF BEA KELUAR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF BEA KELUAR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF BEA KELUAR 1 页共 5 页 2012-5-29 15:15 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PMK.011/2012 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN TARIF

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128/PMK.011/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 67/PMK.011/2010 TENTANG PENETAPAN BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia SIARAN PERS DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Tel: 021 3858216, 23528400. Fax: 021-23528456 www.depdag.go.id Ekspor Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub sektor agroindustri

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian

Lebih terperinci

2015, No Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

2015, No Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1186, 2015 KEMENDAG. Harga Patokan Ekspor. Produk Pertanian. Kehutanan. Bea Keluar. Penetapan. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Kunjungan Kerja ke PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, 17 April 2015

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Kunjungan Kerja ke PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, 17 April 2015 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Kunjungan Kerja ke PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, 17 April 2015 Bismillahirrohmanirrahim Yth.Pimpinan dan Karyawan PT. Wilmar Nabati Indonesia Yth. Pejabat Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Saat ini, dunia memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap sistem perdagangan internasional yang bebas dan lebih terbuka. Keadaan ini memberi peluang sekaligus tantangan

Lebih terperinci

Salam sejahtera bagi kita semua

Salam sejahtera bagi kita semua Menteri Perindustrian Ropublik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI KAKAO INDONESIA JAKARTA, 18 SEPTEMBER 2013 Yth. : 1. Sdr. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rl

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah devisa. Devisa diperlukan untuk membiayai impor dan membayar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA The Business and Investment Forum for Downstream Palm Oil Industry Rotterdam, Belanda, 4 September 2015 Bismillahirrohmanirrahim 1. Yang Terhormat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar) 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Komoditas kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN HARGA EKSPOR UNTUK PENGHITUNGAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, karena didukung oleh ketersediaan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas

PENDAHULUAN. integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis

BAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1998 menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri di Indonesia. Salah satu industri yang dapat bertahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri. PENDAHULUAN Latar Belakang Untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional Indonesia dalam jangka panjang, tentunya harus mengoptimalkan semua sektor ekonomi yang dapat memberikan kontribusinya

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak

BAB I PENDAHULUAN. Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak nabati dunia. Prestasi yang membanggakan sebagai negara perintis budidaya kelapa sawit, Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.675, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Harga Ekspor. Pertanian. Kehutanan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/M-DAG/PER/5/2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya perdagangan antar negara. Sobri (2001) menyatakan bahwa perdagangan internasional adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat dahulu, pada umumnya orang melakukan investasi secara tradisional.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat dahulu, pada umumnya orang melakukan investasi secara tradisional. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat dahulu, pada umumnya orang melakukan investasi secara tradisional. Orang yang memiliki dana berlebih dan tidak menyukai resiko biasanya berinvestasi

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

Tinjauan Pasar Minyak Goreng (Rp/kg) (US$/ton) Edisi : 01/MGR/01/2011 Tinjauan Pasar Minyak Goreng Informasi Utama : Tingkat harga minyak goreng curah dalam negeri pada bulan Januari 2011 mengalami peningkatan sebesar 1.3% dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 2017 /KM.4/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA EKSPOR UNTUK PENGHITUNGAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/M-DAG/PER/9/2011/M-DAG/PER/3/2010 TENTANG

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/M-DAG/PER/9/2011/M-DAG/PER/3/2010 TENTANG MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/M-DAG/PER/9/2011/M-DAG/PER/3/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 17/M-DAG/PER/5/2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI Oleh : Sri Nuryanti Delima H. Azahari Erna M. Lokollo Andi Faisal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit adalah komoditi strategis yang diharapkan dapat memberikan konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa konsumsi minyak nabati

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia Komoditi perkebunan Indonesia rata-rata masuk kedalam lima besar sebagai produsen dengan produksi tertinggi di dunia menurut Food and agriculture organization (FAO)

Lebih terperinci

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010 SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 111 Telp: 21-386371/Fax: 21-358711 www.kemendag.go.id Kinerja Ekspor Nonmigas November 21 Memperkuat Optimisme

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi pertanian yang sangat penting bagi Indonesia. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi kemajuan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Kelapa Sawit Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN. dengan baik bisa mendapatkan hasil yang sangat menguntungkan dari industri produk

BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN. dengan baik bisa mendapatkan hasil yang sangat menguntungkan dari industri produk BAB 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kelapa sawit merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi dan industrinya termasuk padat karya. Negara-negara yang dapat mengolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal mengenai penelitian yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan asumsi, serta sistematika

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 1 TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 I. PENDAHULUAN Pengembangan sektor agribisnis sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Hal ini didorong oleh semakin meningkatnya hubungan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1589/KM.4/2014 TENTANG PENETAPAN HARGA EKSPOR UNTUK PENGHITUNGAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK Sumber: Studi Kelayakan (FS) Kawasan Agro Industri Jambi (JAIP) JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK (JAIP) telah menjadi komitmen Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten terkait pengembangan Kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3098 /KM.4/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA EKSPOR UNTUK PENGHITUNGAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar berasal dari sektor agraris. Utomo (2010) menjelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar berasal dari sektor agraris. Utomo (2010) menjelaskan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Pupuk merupakan produk strategis nasional karena perekonomian Indonesia sebagian besar berasal dari sektor agraris. Utomo (2010) menjelaskan bahwa pupuk merupakan elemen

Lebih terperinci

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik B O K S Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-29 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Zona Sumbagteng terus

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 482 /KM.4/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA EKSPOR UNTUK PENGHITUNGAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN HARGA EKSPOR UNTUK PENGHITUNGAN BEA KELUAR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

VIII. SIMPULAN DAN SARAN VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan Dalam rangka untuk mencapai tujuan negara, yaitu menjadikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka diperlukan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-DAG/PER/11/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-DAG/PER/11/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-DAG/PER/11/2008 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR (HPE) ATAS BARANG EKSPOR TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 36/M-DAG/PER/9/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO Widiastuti *) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 4.1 Gambaran Umum Kesenjangan Tabungan dan Investasi Domestik Negara ASEAN 5+3 Hubungan antara tabungan dan investasi domestik merupakan indikator penting serta memiliki

Lebih terperinci

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan, dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) menjadi negara pengimpor minyak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir mendorong terjadinya perdagangan internasional yang semakin aktif dan kompetitif. Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar perusahaan semakin ketat dalam suatu industri termasuk pada agroindustri. Salah satu produk komoditi yang saat ini sangat digemari oleh perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.196, 2009 DEPARTEMEN PERDAGANGAN. Harga Patokan Ekspor. Ekspor Tertentu.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.196, 2009 DEPARTEMEN PERDAGANGAN. Harga Patokan Ekspor. Ekspor Tertentu. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.196, 2009 DEPARTEMEN PERDAGANGAN. Harga Patokan Ekspor. Ekspor Tertentu. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 11/M-DAG/PER/3/2009 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN JAKARTA, 7 FEBRUARI 2012 OUTLINE I. Pendahuluan II. Peluang Pengembangan Industri Agro III. Hal-hal yang Perlu Dilakukan IV.Contoh Pengembangan

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG PENETAPAN HARGA PATOKAN EKSPOR ATAS BARANG EKSPOR YANG DIKENAKAN BEA KELUAR DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari aktivitas perdagangan international yaitu ekspor dan impor. Di Indonesia sendiri saat

Lebih terperinci