II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Kelapa Sawit Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Di samping itu, kelapa sawit melalui produk hasil olahannya memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara melalui ekspor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian (2006) diketahui bahwa pada tahun 2005, total devisa yang dihasilkan industri kelapa sawit ini mencapai US.$ 4.4 milyar atau 5 persen dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US.$ 85.7 milyar. Industri kelapa sawit dibagi menjadi dua, yaitu industri CPO (minyak sawit) dan industri KPO (minyak inti sawit). Dari total devisa yang diperoleh melalui industri kelapa sawit, industri minyak sawit menjadi penyumbang devisa terbesar yaitu sebesar 86.2 persen dari nilai total ekspor industri kelapa sawit. Sisanya, sebesar 13.8 persen disumbangkan oleh industri KPO. Terlihat jelas bahwa industri minyak sawit yang membutuhkan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS) lebih mendominasi industri perkelapasawitan Indonesia dibandingkan industri minyak inti sawit (KPO). Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama tahun Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa

2 14 sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun 1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit (CPO) adalah komoditi yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai komoditi ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari kondisi : (1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik jenuh; (2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit; (3) kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan lainnya. Selain itu (4) minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya permintaan akan minyak sawit. Selain untuk memenuhi kebutuhan luar negeri melalui ekspor, produksi minyak sawit Indonesia juga diperuntukkan bagi industri hilir di dalam negeri. Industri hilir minyak sawit dalam negeri didominasi oleh industri minyak goreng sawit. Industri minyak goreng sawit saat ini telah menggeser kedudukan industri minyak goreng lainnya seperti minyak goreng kelapa. Minyak goreng merupakan bagian dari sembilan bahan pokok. Oleh karena itu, pasokan minyak sawit yang

3 15 merupakan bahan baku bagi industri minyak goreng sawit harus senantiasa terjaga Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, Produksi, Produktivitas dan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Perkembangan luas areal kelapa sawit tahun ditunjukkan pada Gambar 3. Luas areal kelapa sawit sejak tahun 1967 hingga tahun 2007 terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar persen per tahun. Luas areal tahun 2007 mencapai kali lipat dari luas areal pada tahun Perkebunan kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan baru mulai tahun 1979 terdapat pula Perkebunan Rakyat (PR) Luas Areal (Ha) Tahun PR PBN PBS TOTAL Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 3. Perkembangan Luas Areal Kelapa sawit, Tahun Sejalan dengan perkembangan luas areal kelapa sawit, perkembangan produksi minyak sawit juga terus mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit

4 16 Indonesia pada tahun 1967 sebesar 168 ribu ton telah meningkat hingga 105 kali lipatnya pada tahun 2007, yaitu sebesar ribu ton. Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit baik dari dalam maupun luar negeri (permintaan akan minyak sawit meningkat). Perkembangan produksi minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi (Ton) Tahun PR PBN PS TOTAL Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Gambar 4. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Tahun Berdasarkan data rata-rata produksi minyak sawit (CPO) tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009), terdapat 6 propinsi sentra kelapa sawit yang memberikan kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi minyak sawit nasional. Keenam propinsi tersebut adalah Riau (25.68 persen), Sumatera Utara (23.43 persen), Sumatera Selatan (9.98 persen), Jambi (7.42 persen), Kalimantan Barat (6.28 persen), dan Sumatera Barat (5.48 persen). Tabel 2 menunjukkan perkembangan produktivitas minyak sawit dari tahun 2001 hingga Selama tahun , rata-rata produktivitas minyak sawit perkebunan besar swasta lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata produktivitas

5 17 perkebunan besar negara dan perkebunan rakyat. Hal ini terjadi karena perkebunan besar swasta memiliki beberapa keunggulan, yaitu modal yang besar, teknologi yang lebih modern, dan lain-lain. Secara keseluruhan, produktivitas minyak sawit mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas yang terjadi pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Komoditas minyak sawit yang sangat potensial mendorong perkebunan kelapa sawit mencari solusi yang efisien dan efektif dalam rangka peningkatan produktivitas. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas on farm (pengolahan lahan, pemupukan, dan lain-lain). Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Minyak Sawit Indonesia, Tahun Tahun Produktivitas (Ton/Ha) PR PBN PBS Total Rata-Rata Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) setiap tiga tahun sekali, konsumsi per kapita minyak sawit nasional terus mengalami peningkatan sejak tahun 1984 hingga tahun 2005, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar persen. Konsumsi minyak sawit di Indonesia pada tahun 1984 tercatat sebesar 2.29 Kg/kapita terus meningkat menjadi 4.8 Kg/kapita pada tahun Tabel 3 menunjukkan perkembangan konsumsi minyak sawit Indonesia.

6 18 Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia, Tahun Tahun Konsumsi / Kapita (Kg/th) Pertumbuhan (%) Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) Sumber : BPS, Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia Data mengenai produksi dan konsumsi minyak sawit dunia ditunjukkan pada Tabel 4. Prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri, kebijakan pemerintah dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti biodiesel sebagai alternatif dari Bahan Bakar Minyak (BBM) memberi peluang kepada industri ini untuk lebih berkembang. Fenomena biodiesel sebagai pengganti BBM juga terjadi di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kenaikan penggunaan atau konsumsi minyak sawit di pasar dunia. Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia, Tahun Tahun Produksi Konsumsi (juta Ton) (juta Ton) Rata-Rata Pertumbuhan (%) Sumber : Oil World,

7 19 Pertumbuhan penggunaan minyak sawit dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya tren pemakaian bahan dasar oleochemical pada industri makanan dan industri farmasi (kosmetik). Fenomena ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa produksi dan konsumsi minyak sawit dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi dan konsumsi minyak sawit dunia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 8.09 persen dan 8.22 persen per tahun. Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrikpabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Sawit Indonesia Sebagian besar ekspor produk olahan kelapa sawit Indonesia adalah dalam bentuk minyak sawit (CPO). Negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut yang lebih besar dibandingkan ke negara lainnya. Pada tahun 2007, jumlah ekspor Indonesia ke India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan masing-masing sebesar 2 743

8 20 ribu ton, 570 ribu ton, 237 ribu ton, 265 ribu ton, dan 226 ribu ton (Oil World, 2007). Kenaikan permintaan dari negara-negara tersebut akan mendorong peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia. Perkembangan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007 mengalami sedikit fluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Gambar 5 menunjukkan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun Pada tahun 1969 nilai ekspor minyak sawit hanya sebesar US.$ 24 juta meningkat hingga 329 kali lipatnya menjadi US.$ 7.9 milyar pada tahun Volume ekspor minyak sawit pada tahun 1969 yaitu sebesar 179 ribu ton mengalami kenaikan hingga 66 kali lipatnya pada tahun 2007 dengan volume sebesar ribu ton. Ekspor minyak sawit yang tinggi baik dari sisi volume maupun nilainya dalam US.$ salah satunya dipicu oleh maraknya penggunaan biodiesel di pasar dunia yang mendorong kenaikan permintaan minyak sawit dunia. Naiknya permintaan minyak sawit dunia tentunya akan meningkatkan ekspor untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di luar negeri. Volume (Ton) Tahun EKSPOR Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 5. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit, Tahun Ekspor Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap

9 21 komoditas minyak sawit. Pada masa krisis, minyak sawit hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri karena harga dalam negeri yang tidak stabil. Setelah masa krisis berlalu, pemerintah mengubah kebijakan menjadi kebijakan yang pro ekspor sehingga ekspor terus mengalami peningkatan hingga saat ini. Volume (Ton) Tahun IMPOR Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 6. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit, Tahun Volume impor minyak sawit Indonesia tahun 1969 hingga tahun 2007 disajikan dalam Gambar 6. Selain mengekspor minyak sawit, Indonesia juga melakukan impor yang dimulai sejak tahun Namun, berbeda dengan perkembangan volume ekspor minyak sawit Indonesia, volume impor minyak sawit sangat fluktuatif dengan kecenderungan semakin menurun. Volume impor pada tahun 1981 sebesar 33 ribu ton dengan nilai US.$ 17 juta, dimana mengalami penurunan menjadi ton dengan nilai US.$ 1.02 juta pada tahun Impor minyak sawit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri hilir kelapa sawit apabila terjadi kekurangan pasokan minyak sawit dari produsen minyak sawit dalam negeri. Impor minyak sawit yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 1987 disebabkan oleh adanya perbedaan harga antara harga minyak sawit di pasar domestik dan pasar dunia. Pada periode tersebut,

10 22 harga minyak sawit dunia lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak sawit domestik sehingga industri hilir lebih memilih untuk mengimpor minyak sawit dari luar negeri Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga Selain diperuntukkan bagi kepentingan ekspor, produksi minyak sawit juga harus memenuhi permintaan industri minyak goreng sawit yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. Permintaan minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga yang harus dipenuhi oleh industri minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Akibatnya, industri minyak goreng sawit harus meminta pasokan minyak sawit yang semakin meningkat pula. Tabel 5 menunjukkan permintaan minyak goreng sawit pada tingkat rumah tangga dari tahun 1990 hingga tahun Tabel 5. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia, Tahun Permintaan Pertumbuhan Tahun (Ton) (%) Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) Sumber : BPS, 2007 Dari Tabel 5 juga dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar persen. Permintaan minyak goreng sawit pada tahun 1990 hanya sebesar 486 ribu ton meningkat menjadi ribu ton pada tahun Hal ini menunjukkan

11 23 bahwa industri minyak sawit harus bertanggung jawab untuk menjaga pasokan bagi industri minyak goreng sawit karena permintaan minyak goreng sawit cenderung meningkat dari waktu ke waktu Profil Biodiesel Ide penggunaan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel (± tahun 1900). Penelitian di bidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui. Perkembangan ini mencapai puncaknya di pertengahan tahun 80-an dengan ditemukannya alkil ester asam lemak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan minyak diesel fosil yang dikenal dengan nama biodiesel ( Saat ini, industri biodiesel kembali dikembangkan dan semakin penting karena cadangan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui semakin menipis. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan (renewable) atau biasa disebut sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel adalah salah satu bagian dari bahan bakar hayati (biofuel) yang merupakan substitusi dari Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya jenis solar. Biodiesel dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar, dan lain-lain. Bahan bakar nabati ini dapat digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, dan mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada, hampir tanpa modifikasi.

12 24 Keuntungan lain dari penggunaan bahan bakar ini adalah karena biodiesel dikenal ramah lingkungan. Asap buangan biodiesel tidak berwarna hitam, sepuluh kali tidak lebih beracun daripada minyak solar biasa, dapat terdegradasi dengan mudah, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer. Lebih jauh lagi, penggunaan biodiesel akan mengurangi efek pemanasan global. Berbagai keunggulan yang ditawarkan biodiesel menarik perhatian dunia (Bode, 2000). Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia berpeluang untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di pasar dalam negeri dan pasar dunia yang sangat tinggi. Indonesia berpotensi meningkatkan produksi dan mempopulerkan penggunaan biodiesel di dalam negeri. Lebih jauh lagi, apabila industri biodiesel dalam negeri sudah siap, maka ekspor biodiesel bukan tidak mungkin terjadi. Selain itu, penggunaan biodiesel di dalam negeri dapat mengurangi ketergantungan akan impor bahan bakar fosil yang harganya semakin tinggi. Peluang internasional terbuka lebar karena dunia mulai melirik biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Jumlah penduduk yang semakin bertambah dan berbagai keunggulan biodiesel yang telah dijelaskan sebelumnya mendorong negara-negara di berbagai belahan dunia memproduksi biodiesel dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar. Negara-negara yang memproduksi biodiesel dalam skala besar antara lain India, Pakistan, Cina, Jepang, dan negaranegara di Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, dan lain-lain. Tentunya, peningkatan jumlah pabrik biodiesel di negara-negara tersebut akan meningkatkan

13 25 permintaan minyak sawit. Sebagai salah satu negara produsen utama minyak sawit, kondisi ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dengan luas areal kelapa sawit yang masih dapat dikembangkan, produksi dan ekspor Indonesia masih dapat mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor berarti peningkatan penerimaan pemerintah melalui devisa dan peningkatan pendapatan bagi eksportir minyak sawit, serta pelaku agribisnis kelapa sawit (Bode, 2000) Kebijakan di Sektor Minyak Sawit Sejak tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang perluasan areal kelapa sawit dengan memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk menanam investasi di bidang perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut ditopang dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan regulasi perdagangan minyak sawit melalui SKB 3 menteri, Menteri Pertanian, Menteri Koperasi, dan Menteri Perdagangan. SKB tersebut memuat Pertama, produsen minyak sawit diharuskan menjual hasil produksinya kepada produsen di dalam negeri. Kedua, jumlah penjualan tersebut besarnya ditentukan oleh Menteri Pertanian. Ketiga, harga ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Koperasi. Keempat, produsen dapat menjual hasil produksinya ke luar negeri jika produsen dalam negeri tidak menebusnya. Pada tahun 1981 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan ekspor bagi minyak sawit sehingga pada tahun tersebut ekspor minyak sawit kasar turun kembali hingga 61 persen akan tetapi tahun-tahun berikutnya ekspor minyak sawit tetap tinggi walaupun harga pasar cenderung turun. Berikutnya pada tahun 1984 melalui surat keputusan Menteri Perdagangan Nomor 47/KMK/001/84 pemerintah menetapkan pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenisnya sebesar

14 persen sementara tetap mempertahankan kebijakan mengenai harga minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Pada tahun 1986 terjadi penurunan harga minyak sawit yang tajam mencapai US.$ 1.97 CIF Rotterdam sehingga memaksa pemerintah membebaskan pajak ekspor melalui ketetapan Menteri Perdagangan Nomor 549/KMK/001/86. Pada tahun 1990 terjadi peningkatan produksi minyak sawit yang cukup tinggi. Pemerintah membolehkan produsen bebas menjual ke pasar di dalam negeri atau pasar luar negeri melalui Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 1993 masing-masing Menteri Pertanian Nomor 240/Kpts/KB/320/v/1991, Menteri Perindustrian Nomor 11/M/SK/1991, dan Menteri Perdagangan Nomor 136/KPB/V/6/1991 tentang deregulasi atas tata niaga minyak sawit. Adapun sistem tata niaga sebelumnya mengharuskan perusahaan swasta nasional dan asing harus menjual sebagian produksi minyak sawitnya ke Kantor Pemasaran Bersama (KPB) dan Perusahaan Negara menjual seluruh produksinya ke KPB. Selanjutnya KPB minyak sawit dijual kepada konsumen domestik, broker, dan badan pemasaran luar negeri. Dari badan pemasaran luar negeri dan importir luar negeri minyak sawit dijual kepada konsumen luar negeri yang akan diolah menjadi berbagai komoditi kebutuhan akhir. Pada tahun 1994, pemerintah melalui Surat Keputusan Nomor 439/KM/KMK.017/1994 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan kembali memberlakukan pajak ekspor atas minyak sawit kasar dan produk olahannya dengan besarnya 40 persen sampai dengan 60 persen dari selisih harga ekspor dan harga dasar. Kebijakan ini didasarkan atas stabilitas dan ketersediaan harga eceran

15 27 di pasar dalam negeri. Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dikemas dalam paket Deregulasi tanggal 23 Mei 1995 (Pakmei). Kebijakan tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap penawaran minyak goreng nasional yaitu dengan mencabut Daftar Negatif Investasi bagi industri minyak goreng, penurunan bea masuk minyak goreng non minyak sawit dari 20 persen menjadi 15 persen. Kebijakan tersebut dapat menstabilkan harga minyak goreng melalui persaingan industri minyak goreng dalam negeri. Pada tahun 1997, Menteri Keuangan melalui Surat Keputusan Nomor 300/KMK/01/1997 tentang perubahan tarif pajak ekspor bagi minyak sawit kasar dan produk olahan lain seperti : Crude Olein, RBD olein, dan RBD-PO masingmasing sebesar 5 persen, 4 persen, 2 persen dan 4 persen melalui mekanisme : PE = tarif x HPE x jumlah satuan barang x kurs dimana : PE pajak ekspor dan HPE adalah harga patokan ekspor yang ditetapkan secara berkala oleh Menteri Perindustrian. Sehingga pajak ekspor dapat dihitung yakni tarif dikalikan dengan HPE dikalikan jumlah satuan barang dikalikan lagi dengan kurs yang berlaku. Pada akhir tahun 1997 tepat mulai tanggal 24 Desember 1997, pemerintah melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 420/1997 tentang larangan ekspor selama kuartal pertama tahun Tetapi dengan adanya kesepakatan dengan IMF kembali pemerintah mencabut larangan ekspor tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 242/KMK/01/1998 yang berisikan pengenaan pajak ekspor sebesar 40 persen untuk minyak sawit kasar dan persen untuk produk lainnya.

16 28 Pada tahun 2001, Menteri Keuangan mengeluarkan SK Nomor 66/KMK.017/2001 yang menyatakan bahwa tarif ekspor minyak sawit sebesar 3 persen. Tarif ekspor minyak sawit kemudian diturunkan menjadi 1.5 persen pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2005 pada tanggal 23 Desember Kemudian pada tahun 2007, Menteri Keuangan mengeluarkan kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.011/2007 pada tanggal 31 Agustus 2007 yang menetapkan tarif ekspor minyak sawit secara progresif dengan kisaran 0-10 persen yang bergantung pada besarnya harga referensi, yaitu harga minyak sawit CIF Rotterdam. Kebijakan pemerintah terkait minyak sawit harus didasarkan pada kondisi minyak goreng di dalam negeri, stabilitas harga di dalam negeri, dan kebutuhan industri dalam negeri. Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam memegang orientasi kebijaksanaan. Oleh karena itu, sepatutnya kebijaksanaan yang dipilih oleh pemerintah adalah kebijaksanaan yang menyeluruh, tidak hanya memikirkan salah satu pihak dalam industri kelapa sawit pada saat keadaan telah mendesak melainkan meliputi seluruh pihak dengan melakukan perencanaan yang baik sehingga akan diperoleh solusi yang optimal Studi Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (1989) tentang keadaan pasar minyak sawit di pasar domestik dan beberapa negara konsumen dan produsen utama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit bersifat elastis terhadap tingkat pendapatan dengan koefisien sebesar Selanjutnya peneliti juga mengemukakan bahwa antara minyak sawit dengan minyak nabati lain di negara konsumen utama seperti Jepang, Amerika, dan Masyarakat

17 29 Ekonomi Eropa ternyata memiliki sifat komplementer. Elastisitas permintaan impor negara Jepang, Amerika, dan Masyarakat Ekonomi Eropa terhadap perubahan harga minyak sawit di negara tersebut bersifat inelastis. Manurung, et al (1991) telah melakukan penelitian mengenai prakiraan perkembangan perluasan areal kelapa sawit dan kebutuhan bahan tanaman dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, dimana penelitian tersebut membahas prakiraan pengembangan perluasan kelapa sawit dan hubungannya dengan ketersediaan bahan tanaman dari tiga sumber benih di Indonesia sampai tahun Hasil penelitian menjelaskan bahwa sampai dengan tahun 2018 perluasan tanaman kelapa sawit akan tumbuh dengan kisaran antara s/d ha per tahun atau tumbuh rata-rata 3.24 persen per tahun. Prakiraan luasan areal tersebut juga didukung oleh ketersediaan bahan sampai tahun Juliawan (1992) melakukan penelitian mengenai pemasaran minyak sawit Indonesia ke negara Belanda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peubahpeubah yang berpengaruh nyata terhadap ekspor Indonesia ke Belanda adalah produksi, harga ekspor minyak sawit Indonesia dan harga minyak inti sawit. Studi yang dilakukan Simanjuntak (1992) tentang daya saing perusahaan kelapa sawit yang didasarkan pengelolaannya yaitu perkebunan besar swasta nasional, perusahaan perkebunan besar negara (PTP), dan perkebunan besar swasta asing. Kriteria yang digunakan adalah keuntungan finansial (ROI) dan biaya sumberdaya domestik (DRC). Hasil kesimpulan studi tersebut menjelaskan bahwa : (1) perusahaan swasta asing memiliki daya saing sangat kuat dibandingkan dengan perusahaan perkebunan lainnya, (2) komoditi minyak sawit kasar tetap memiliki keunggulan komparatif sebagai komoditi ekspor, dan (3)

18 30 semua kelompok perusahaan mengalami kenaikan efisiensi ekonomi relatif yang hampir sama setiap tahun akibat peningkatan efisiensi teknis. Studi yang dilakukan oleh Manurung (1993) tentang model ekonometrika industri komoditi kelapa sawit Indonesia yang antara lain bertujuan menganalisis berlakunya pembatas, pajak ekspor dan lain-lain. Studi tersebut menghasilkan antara lain : (1) luas areal tanaman dan produktivitas minyak sawit sangat responsif terhadap harga efektif riil ekspor minyak sawit, kebijakan pola pengembangan perkebunan dengan PIR, kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dan tingkat suku bunga, (2) elastisitas harga sendiri dan harga silang permintaan minyak sawit dan inti sawit domestik bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, (3) kebijakan pembatas ekspor tidak efektif jika harga dunia lebih tinggi dari harga domestik, dan (4) bahwa pajak ekspor yang sebesar 5 persen dapat menurunkan surplus devisa sehingga defisit neraca perdagangan meningkat. Susila, et al (1995) melakukan penelitian tentang model domestik ekonomi minyak sawit mentah. Dalam penelitian ini data diagregasi menjadi data perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain : (1) produksi perkebunan rakyat dipengaruhi oleh harga domestik 3 tahun sebelumnya dan jumlah produksi tahun sebelumnya, (2) produksi perkebunan besar negara (PTP) identik dengan perkebunan rakyat, perbedaannya terletak pada koefisien parameter dugaan dan determinasinya, (3) produksi minyak sawit mentah perkebunan besar swasta dipengaruhi oleh harga domestik empat tahun yang lalu dan jumlah produksi minyak sawit mentah tahun sebelumnya, (4) perilaku jumlah ekspor minyak sawit

19 31 mentah Indonesia dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar dan jumlah ekspor tahun sebelumnya, dan (5) harga domestik minyak sawit mentah dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, harga domestik tahun sebelumnya dan tingkat teknologi. Drajat dan Buana (1995) melakukan penelitian tentang konsumsi dunia dan posisi Indonesia dalam produksi dan perdagangan dunia minyak sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit dunia meningkat selama tiga dasa warsa dengan negara-negara Eropa Barat, Amerika dan Jepang sebagai konsumen terbesar. Konsumsi minyak sawit pada dasa warsa sebesar 87.7 ton merupakan peningkatan lima kali lipat dari dasa warsa Posisi Indonesia sebagai pesaing potensial bagi Malayasia mengalami peningkatan produksi yang cukup pesat pada dasa warsa yakni meningkat delapan kali lipat dibandingkan dasa warsa Impor minyak sawit dunia meningkat delapan kali lipat menjadi 66.8 juta ton selama dasa warsa dibanding dasa warsa Adapun ekspor minyak sawit dunia meningkat dari delapan juta ton pada dasa warsa menjadi 66.8 juta ton pada dasa warsa Susila, et al (1995) melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak sawit mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi, konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga minyak sawit dan harga pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga minyak sawit terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan koefisien 1.4. Hasil simulasi dengan skenario baku menunjukkan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor minyak sawit dunia meningkat masing-masing dengan

20 32 laju 6.08 persen, 5 persen, dan 4.12 persen per tahun untuk tahun Suharyono (1996) melakukan penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan ekonomi pada komoditi minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa : (1) produksi minyak sawit domestik secara nyata dipengaruhi harga minyak sawit domestik, harga ekspor minyak sawit Indonesia, teknologi, permintaan minyak sawit domestik, luas areal produktif tiga tahun sebelumnya, (2) permintaan minyak sawit domestik secara statistik dipengaruhi oleh harga minyak sawit domestik, teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik, dalam jangka pendek maupun jangka panjang hanya responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit domestik, (3) permintaan minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek hanya responsif terhadap pendapatan nasional dan perkembangan jumlah penduduk selanjutnya dalam jangka panjang selain responsif terhadap pendapatan nasional dan jumlah penduduk juga responsif terhadap harga minyak goreng sawit domestik dan harga minyak goreng kelapa, (4) penawaran minyak sawit domestik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang memiliki elastisitas masing-masing sebesar dan Sementara terhadap perubahan nilai tukar penawaran minyak sawit hanya responsif dalam jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar , dan (5) penawaran minyak goreng sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan teknologi sedangkan pengaruh produksi minyak terhadap penawaran komoditi ini dalam jangka panjang memiliki elastisitas sebesar Penelitian yang dilakukan oleh Sugema, et al (2007) tentang strategi pengembangan industri hilir kelapa sawit, menyimpulkan : pungutan ekspor

21 33 merupakan buah dari ketidakjelasan strategi industrialisasi serta kebijakan kompetisi. Pengalaman menunjukkan bahwa PE merupakan instrumen yang tidak efektif dalam mencapai sasaran kebijakan yang hendak dicapai. Bahkan PE banyak memberikan dampak negatif bagi industri minyak sawit secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan kearah tersebut yakni sebagai berikut : (1) PE minyak sawit akan menyebabkan terjadinya disparitas harga domestik dengan harga dunia. Turunnya harga minyak sawit domestik akan merugikan produsen minyak sawit dan di lain pihak menguntungkan pelaku di industri hilir. Jumlah kerugian yang terjadi adalah Rp 3.45 triliun per tahun, (2) penurunan harga domestik tersebut akan diikuti dengan penurunan harga yang diterima petani dalam skala yang lebih besar. Petani adalah pihak yang paling dirugikan dimana setiap satu persen penurunan harga minyak sawit domestik akan berakibat pada penurunan harga di tingkat petani sebesar 1.2 persen, (3) karena pendapatan produsen atau petani TBS sawit menurun maka dampak selanjutnya adalah terjadinya involusi di perkebunan sawit. Kemampuan petani untuk membiayai kebun mereka menjadi berkurang sehingga produktivitas kebun sawit akan menurun. Selain itu, ekspansi areal tanam baru juga menjadi terhambat sehingga perkembangan industri sawit secara keseluruhan tidak akan secepat yang terjadi sekarang, (4) dengan adanya involusi di industri hulu maka kesinambungan di industri hilir juga terganggu. Saat ini integrasi hulu-hilir lebih sering terjadi dari hulu dibanding sebaliknya. Industri hulu yang memiliki nilai tambah yang lebih baik merupakan sumber akumulasi modal bagi pengembang di industri hilir. Karena itu pengenaan PE akan berakibat

22 34 pada lemahnya kemampuan pelaku di hulu untuk melakukan integrasi vertikal ke hilir, (5) dengan terjadinya involusi di hulu maka penyerapan tenaga kerja juga akan terganggu. Penyerapan tenaga kerja di hulu jauh lebih baik dibanding di hilir yang padat modal, (6) kenaikan tarif PE juga akan membuat daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia berkurang yang pada gilirannya akan mengurangi pangsa pasar ekspor Indonesia. Tentunya hal tersebut berimplikasi terhadap penerimaan devisa dari ekspor. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pengembangan industri hilir sebaiknya tidak dilakukan dengan cara penerapan PE yang lebih tinggi tetapi lebih tepat menggunakan instrumen sistem insentif. Sistem insentif yang diberlakukan khusus untuk industri hilir tidak akan mengganggu industri hulu. Sistem insentif yang demikian akan sekaligus mampu mendorong industri hilir dan meningkatkan kesinambungan industri hulu. Zulkifli (2000) dalam penelitiannya tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri kelapa sawit Indonesia dan perdagangan minyak sawit dunia menjelaskan antara lain bahwa : (1) respon areal tanaman menghasilkan pada perkebunan besar negara inelastis terhadap perubahan harga minyak sawit kasar, sementara perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta memperlihatkan respon yang sangat elastis, (2) pengembangan areal perkebunan besar negara yang terarah di Kalimantan secara absolut mampu meningkatkan produktivitas. Adapun pengembangan areal kelapa sawit untuk perkebunan besar swasta dan rakyat di Kalimantan dan Sumatera justru menurunkan produksi kelapa sawit. Respon yang negatif tersebut disebabkan oleh umur tanaman yang lebih muda sehingga produktivitasnya masih rendah, (3) harga domestik minyak

23 35 sawit kasar dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor dan permintaan minyak sawit kasar domestik, dan (4) ekspor minyak goreng sawit Indonesia elastis terhadap perubahan harga domestik minyak goreng sawit baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sementara permintaan domestik minyak goreng sawit inelastis terhadap perubahan harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa Kebaruan Penelitian Penelitian mengenai Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia merupakan penelitian lanjutan dari penelitian mengenai minyak sawit sebelumnya. Adapun kebaruan (novelty) dari penelitian ini ditunjukkan pada simulasi peramalan yang bertujuan menganalisis kebijakan domestik yang memberikan dampak peningkatan kesejahteraan netto yang terbesar. Kebijakan domestik yang dianalisis tersebut adalah penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen, kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen), pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia, dan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit Indonesia. Kemudian kebaruan penelitian ini juga ditunjukkan adanya variabel harga minyak mentah dunia dalam persamaan permintaan minyak sawit oleh industri lain. Variabel ini digunakan untuk menunjukkan pengaruh peningkatan harga minyak mentah dunia terhadap perkembangan industri hilir minyak sawit domestik (khususnya industri biodiesel) dan terhadap peningkatan permintaan impor minyak sawit dunia untuk bahan bakar alternatif (biodiesel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih

24 36 responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kenaikan harga minyak mentah dunia menyebabkan peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain di pasar domestik dan permintaan impor minyak sawit dunia; Kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan Peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit terlebih dulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian ini juga dapat dilihat bahwa kebijakan penetapan pajak ekspor pada besaran tertentu ataupun dengan kebijakan kuota ekspor adalah efektif untuk jangka pendek dalam meningkatkan kesejahteraan netto. Namun untuk jangka panjang diperlukan kebijakan kuota domestik yang memastikan terpenuhinya penawaran minyak sawit domestik setelah adanya upaya untuk mengembangkan industri hilir minyak sawit domestik.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

VIII. SIMPULAN DAN SARAN VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah devisa. Devisa diperlukan untuk membiayai impor dan membayar

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT 27 5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit yang menjadi salah satu tanaman unggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk 114 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cendrung berkembang

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA 36 III. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian terdahulu menunjukkan perkembangan yang sistematis dalam penelitian kelapa sawit Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, penelitian kelapa sawit berfokus pada bagian hulu,

Lebih terperinci

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Makalah Disusun Oleh : Imam Anggara 11.12.5617 11.S1SI.04 STMIK AMIKOM Yogyakarta 2012-03-16 KATA PENGANTAR Makalah ini mengangkat judul tentang Peluang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia Menurut Martha Prasetyani dan Ermina Miranti, sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting sebagai suatu sumber minyak nabati. Kelapa sawit tumbuh sepanjang pantai barat Afrika dari Gambia

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN - 6.1. Ramalan Harga Minyak Nabati di Pasar Dunia Pergerakan harga riil minyak kelapa sawit, minyak kedelai,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Minyak Nabati Dunia Minyak nabati (vegetable oils) dan minyak hewani (oil and fats) merupakan bagian dari minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang cukup berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan sejak krisis ekonomi dan moneter melanda semua sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA MUFID NURDIANSYAH (10.12.5170) LINGKUNGAN BISNIS ABSTRACT Prospek bisnis perkebunan kelapa sawit sangat terbuka lebar. Sebab, kelapa sawit adalah komoditas

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian yang mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan. Potensi alam di Indonesia memungkinkan pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan dan industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor usaha yang mendapat pengaruh besar dari gejolak ekonomi global, mengingat sebagian besar (sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kemajuan teknologi dan industri telah memacu pertumbuhan konsumsi enerji yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa terakhir di dunia, sehingga mempengaruhi

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT

OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT ISSN 1907-1507 2014 OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2014 Pusat Data dan Sistem Informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar) 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Komoditas kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, posisi penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan-batasan serta sistematika penulisan laporan yang digunakan dalam penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan cara mengekstark buah sawit tersebut. Selain berupa minyak sawit sebagai produk

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Pengaruh harga dunia minyak bumi dan minyak nabati pesaing terhadap satu jenis minyak nabati ditransmisikan melalui konsumsi (ket: efek subsitusi) yang selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar perusahaan semakin ketat dalam suatu industri termasuk pada agroindustri. Salah satu produk komoditi yang saat ini sangat digemari oleh perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir mendorong terjadinya perdagangan internasional yang semakin aktif dan kompetitif. Perdagangan

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan teknologi tertentu di bidang komunikasi dan informasi telah mengakibatkan menyatunya pasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi. HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 13346.3 7.688 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk turunan kelapa sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Hal ini didorong oleh semakin meningkatnya hubungan

Lebih terperinci

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia April 2015 Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Pendahuluan Sektor perkebunan terutama kelapa sawit memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia karena

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Semakin meningkatnya kebutuhan minyak sedangkan penyediaan minyak semakin terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia harus mengimpor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia selalu berusaha untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. Pembangunan ekonomi dilaksanakan

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI Oleh : Sri Nuryanti Delima H. Azahari Erna M. Lokollo Andi Faisal

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) Oleh : Prajogo U. Hadi Adimesra Djulin Amar K. Zakaria Jefferson Situmorang Valeriana Darwis PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional merupakan komponen penting dalam determinasi pendapatan nasional suatu negara atau daerah, di

Lebih terperinci

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=73776&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang suatu negara sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Dengan kemajuan teknologi yang sangat

Lebih terperinci

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi intermediasi atau memperlancar lalu lintas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

Kebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung?

Kebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung? Hal. 2 Hal. 7 Daftar Isi Dari Redaksi Potensi Kehilangan USD 6,1 Juta Akibat Delisting Produk Karaginan Indonesia di Pasar Amerika Serikat Ekspor rumput laut dan produk olahan rumput laut terus menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan, dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) menjadi negara pengimpor minyak.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT 5.1. Perkebunan Kelapa Sawit Luas Area Kelapa Sawit di Indonesia senantiasa meningkat dari waktu ke waktu. Perk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia masih menjadi primadona untuk membangun perekonomian negara. Kinerja ekspor komoditas pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010.

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sebagai Negara penghasil minyak bumi yang cukup besar, masa keemasan ekspor minyak Indonesia telah lewat. Dilihat dari kebutuhan bahan bakar minyak (BBM)

Lebih terperinci

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

Tinjauan Pasar Minyak Goreng (Rp/kg) (US$/ton) Edisi : 01/MGR/01/2011 Tinjauan Pasar Minyak Goreng Informasi Utama : Tingkat harga minyak goreng curah dalam negeri pada bulan Januari 2011 mengalami peningkatan sebesar 1.3% dibandingkan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 25 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan

Lebih terperinci