STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR PULAU SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR PULAU SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER"

Transkripsi

1 STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR PULAU SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER ACHMAD ZAMRONI C SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi Berdasarkan Mt-DNA Marker adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2012 Achmad Zamroni NIM C i

4

5 ABSTRACT ACHMAD ZAMRONI. Population Genetic Structure of Malalugis Fish (Decapterus macarellus) in The Waters Around The Island of Sulawesi Based on Mt-DNA Marker. Under direction of NEVIATY P. ZAMANI and ESTU NUGROHO. Studies on genetic diversity of Malalugis (Decapterus macarellus) has been undertaken around Sulawesi to obtain population genetic structure of the study area. The study was based on RFLP analysis of mitochondrial genome DNA extracted from fish tissue (meat, fins). Fish samples collected from several populations of small-scale fisheries captured in several locations around Sulawesi. The results showed that the genetic diversity obtained by including low, ie between 0 to Provided two major groups in the population structure Malalugis fish in the waters around Sulawesi Island, namely: the first group is represented by a population of Makassar Strait,Bone Bay, Flores Sea, Banda Sea, Tolo Bay, Molucca Sea and Tomini Bay and the second group is represented by the Celebes Sea population. The population of the Bone Bay, Flores Sea, Banda Sea, Tolo Bay and Molucca Sea has a very close kinship, so that probably originated from the same stock. In the population there Tomini Bay locals, because there is little difference with adjacent populations (Maluku Sea and Banda Sea). Keywords: population genetic, Decapterus macarellus, mt-dna, RFLP iii

6

7 RINGKASAN ACHMAD ZAMRONI. Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi Berdasarkan Mt-DNA Marker. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan ESTU NUGROHO. Ikan Malalugis merupakan ikan pelagis yang bersifat oseanik dan tereksploitasi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur genetika populasi ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di perairan sekitar pulau Sulawesi yang meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Teluk Tolo, Teluk Tomini, Laut Banda, dan Laut Maluku. Informasi yang diperoleh berupa struktur populasi/unit stok ikan Malalugis berdasarkan perbedaan struktur genetika populasi. Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini. Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan Maret 2010 Oktober Analisis sampel dilaksanakan di laboratorium Genetika, Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta. Analisis untuk mendapatkan data polimorfisme fragmen dan situs restriksi dilaksanakan dengan metode RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dengan menggunakan 6 jenis enzim restriksi (restriction endonuclease). Dalam amplifikasi digunakan 2 macam primer, yaitu primer HN20 dan LN20; sedang enzim restriksi yang dipakai 6 jenis, yaitu Mbo I, Alu I, Hind III, Taq I, Rsa I dan Xba I. Untuk analisis data dibantu dengan menggunakan perangkat lunak TFPGA (Tools For Population Genetic Analyses). Hasil penelitian menunjukkan dari enam enzim restriksi (Alu I, Hind III, Mbo I, Rsa I, Taq I dan Xba I) yang digunakan untuk memotong sekuens mtdna ikan malalugis, semuanya dapat memberikan situs pemotongan. Tipe-tipe haplotipe yang diperoleh dari hasil restriksi dapat teridentifikasi 6 jenis alel atau composite haplotype, yaitu AAAAAA, AAAABA, AAAAAB, BAABAC, BABCAC dan BAABCC. Tipe komposit haplotipe AAAAAA terdapat pada semua populasi, hal ini mengindikasikan bahwa ikan malalugis yang mempunyai tipe komposit haplotipe AAAAAA bersifat lebih adaptif. Nilai keragaman haplotipe (haplotype diversity) ikan malalugis yang diperoleh berkisar antara 0 0,3698, dengan nilai terendah (0) pada populasi Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo dan Laut Maluku. Nilai tertinggi keragaman haplotipe ikan Malalugis pada penelitian ini terdapat pada populasi Laut Sulawesi, yaitu sebesar 0,3698. Tingginya nilai keragaman haplotipe diduga disebabkan oleh adanya pengaruh dari populasi yang berasal dari Samudera Pasifik. Berdasarkan analisis berpasangan Fst menunjukkan bahwa terdapat perbedaan genetika yang cukup signifikan antara populasi Laut Sulawesi dengan ketujuh populasi lainnya. Jarak genetika terdekat adalah antara Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo dengan Laut Maluku (0,0000). Hal ini mengindikasikan bahwa kelima populasi tersebut berasal dari asal atau stok populasi yang sama. Berdasarkan dendrogram hubungan kekerabatan dari kedelapan populasi ikan malalugis dapat dipisahkan menjadi dua group populasi yang berasal dari dua garis keturunan mtdna, yaitu group pertama (clade 1) terdiri dari populasi Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini; sedangkan group ke-dua (clade 2) terdiri dari populasi Laut Sulawesi. Diduga populasi group pertama berasal atau terpengaruh dari populasi Samudera Hindia, sedangkan populasi group kedua berasal atau terpengaruh dari populasi Samudera Pasifik. Dalam populasi group pertama v

8 terbagi menjadi dua sub populasi, yaitu sub populasi Selat Makassar dengan sub populasi Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini. Populasi Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini berasal dari satu unit stok (mempunyai stok yang sama). Hal ini terjadi karena kelima populasi tersebut diduga merupakan jalur migrasi dari ikan Malalugis. Teluk Tomini sedikit berbeda dengan lima populasi lainnya (Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo dan Laut Maluku), sedikit perbedaan tersebut diduga di perairan Teluk Tomini terdapat populasi ikan malalugis yang bersifat lokal. Kata kunci: genetika populasi, Decapterus macarellus, mt-dna, RFLP

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. vii

10

11 STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR PULAU SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER ACHMAD ZAMRONI C Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ix

12 x Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA.

13 HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian Nama NRP Program Studi : Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi Berdasarkan Mt-DNA Marker : Achmad Zamroni : C : Ilmu Kelautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian: 13 Januari 2012 Tanggal Lulus: xi

14 xii

15 PRAKATA Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Al-Khaliq Azza wa Jalla yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian yang berjudul Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Perairan Sekitar Pulau Sulawesi Berdasarkan Mt-DNA Marker. Penulisan hasil penelitian ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan, Program Magister Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan, motivasi, diskusi dan arahannya serta ilmu pengetahuan yang telah banyak diberikan kepada kami. Tidak lupa kepada Bapak Drs. Suwarso, M.Si. dan teman-teman peneliti BRPL dari Kelti Pelagis Kecil atas bantuannya dalam pengumpulan data/sampel. Serta kepada Istri dan anak tercinta, atas dorongan semangat, kesabaran serta doa yang tulus. Penulisan hasil penelitian ini telah kami upayakan dengan sebaik mungkin, akan tetapi kemungkinan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharap masukan dan saran yang membangun demi kesempurnaan serta tambahan pengetahuan bagi kami. Atas semua masukan dan sarannya kami ucapkan banyak terimakasih. Bogor, Januari 2012 Achmad Zamroni xiii

16 xiv

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 1 September 1979 sebagai putra pertama dari pasangan H. Imam Hanafi dan Hj. Siti Maisyaroh. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sooko, Mojokerto pada tahun Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh November, lulus pada tahun Pada tahun 2009 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan memilih mayor Ilmu Kelautan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Pada tahun 2003 penulis pernah bekerja menjadi Laboran pada SMP Negeri 19 Surabaya. Kemudian pada tahun yang sama sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah penelitian mengenai perikanan laut pelagis kecil. Penulis pernah terlibat dalam kegiatan penelitian perikanan kerjasama dengan The Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) pada tahun xv

18 xvi

19 DAFTAR ISI HALAMAN PERNYATAAN... ii ABSTRACT... iii RINGKASAN... v HALAMAN HAK CIPTA... vii HALAMAN JUDUL... ix HALAMAN PENGESAHAN... xi PRAKATA... xiii RIWAYAT HIDUP... xv DAFTAR ISI... xvii DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxiii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Pulau Sulawesi Struktur Genetika Populasi Populasi Dalam Arti Genetika Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg DNA mitochondria (mtdna) Analisis DNA Polymerase Chain Reaction (PCR) Enzim Restriksi METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pengambilan Sampel xvii

20 xviii 3.4. Analisis Sampel Interpretasi dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Haplotipe Ikan Malalugis Analisis Berpasangan Fst Jarak Genetika Struktur Genetika Populasi dan Hubungan Kekerabatan (Filogenetik) SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xviii

21 DAFTAR TABEL 1. Pembentukan zigot pada kawin acak Frekuensi haplotipe ikan malalugis (D. macarellus) hasil restriksi dengan menggunakan enzim Alu I, Hind III, Mbo I, Rsa I, Taq I dan Xba I Keragaman genetik (diversitas haplotype, h) sekuen mtdna D-loop dari tujuh populasi ikan layang biru (D. macarellus) hasil restriksi oleh enzim restriksi Alu I, Hind III, Mbo I (Nde II), Rsa I, Taq I dan Xba I Hasil analisis antar populais ikan malalugis berdasarkan metode jarak berpasangan (Fst) Jarak genetika Nei antar populasi ikan malalugis xix

22 xx xx

23 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran penelitian genetika populasi ikan malalugis Ikan malalugis Bentuk maxilla dan supramaxilla A) ikan malalugis; B) ikan layang deles (FAO) Peta Wilayah Wallacea Thermohaline Circulation Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di kawasan Segara Anakan, Cilacap Peta lokasi penelitian dan lokasi sampling Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtdna D-loop ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Mbo I dan Rsa I Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) dari 8 populasi ikan malalugis Pola arus air permukaan laut pada musim barat, a. Rizal et al. (2009) dan b. Wrytki (1961) Pola arus air permukaan laut pada musim timur, a. Rizal et al. (2009) dan b. Wrytki (1961) Kesuburan perairan laut rata-rata musiman tahun Pola arus permukaan laut di Teluk Tomini pada saat musim timur Struktur genetika populasi ikan malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi Pola arus diperairan sekitar Sulawesi dan Maluku xxi

24 xxii xxii

25 DAFTAR LAMPIRAN 1. Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtdna D-loop ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Alu I dan Hind III Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtdna D-loop ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Mbo I dan Rsa I Contoh visualisasi hasil pemotongan sekuen mtdna D-loop ikan layang biru (D.macarellus) oleh enzim Taq I dan Xba I Hasil penghitungan keragaman genetika dengan TFPGA Hasil penghitungan Analisis Berpasangan Fst Hasil penghitungan Jarak Genetika dengan TFPGA xxiii

26 xxiv xxiv

27 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia. Habitatnya terutama di perairan laut dalam (oseanik), membentuk gerombolan (schooling) yang besar di lapisan permukaan dan dalam siklus hidupnya memiliki kebiasaan sebagai ikan peruaya (migrasi). Daerah penyebarannya meliputi perairan Samudera Hindia (lepas pantai barat Sumatra Utara, perairan Mentawai dan selatan Jawa) (Hariati, 2005), juga di perairan Indonesia bagian timur (Suwarso, et al., 2000). Pola distribusi dan sifat migrasi dari ikan layang biru tersebut diduga terdapat penstrukturan genetika dari populasi ikan. Borsa (2003) menerangkan bahwa kemampuan persebaran yang luas dari suatu organisme tidak berarti terjadi homogenitas secara geografis. Menurut Suwarso et al. (1998) ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi dan bersifat exportable (untuk ikan umpan pada perikanan Tuna long-line) serta dikonsumsi secara lokal. Eksploitasi terhadap ikan layang biru telah berlangsung sejak lama, baik oleh perikanan industri (legal maupun illegal) maupun oleh perikanan yang bersifat skala kecil. Peningkatan eksploitasi diperkirakan terus berlangsung di berbagai perairan akibat permintaan pasar yang semakin tinggi, sehingga di beberapa wilayah terlihat tendensi penurunan hasil tangkapan dan ukuran ikan. Tekanan terhadap lingkungan berupa eksploitasi yang semakin meningkat menyebabkan terjadi penurunan kelimpahan stok dan rata-rata ukuran ikan; seleksi genetika yang merugikan terhadap fekunditas yang potensial; mengurangi rata-rata ukuran memijah; mengubah rasio jenis kelamin dan keseimbangan interspesifik; serta hilangnya diversitas genetika (Wilson & Clarke, 1996). 1

28 2 Pulau Sulawesi berada di Indonesia bagian tengah yang dibatasi oleh beberapa perairan yaitu Laut Sulawesi (utara), Selat Makassar (barat), Laut Flores (selatan), Laut Banda dan Maluku (timur). Perairan tersebut termasuk dalam kawasan Segitiga Karang/Coral Triangle yang mempunyai biodiversitas spesies laut yang sangat tinggi (Allen, 2000). Kawasan Segitiga Karang juga merupakan nursery ground dan rute migrasi bagi ikan dan mamalia laut. Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau disebut juga dengan Indonesian Through Flow oleh para ahli oseanografi merupakan arus massa air antar samudera yang melewati Indonesia. Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui perairan di sekitar pulau Sulawesi. Menurut Hasanudin (1998), Arlindo secara dominan masuk dari Laut Sulawesi sebelah selatan Mindanao, kemudian menuju ke Selat Makassar. Ujung dari jalur ini kemudian bercabang menjadi dua, sebagian langsung menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok, dan sebagian lagi berbelok ke timur melewati Laut Flores menuju Laut Banda, kemudian menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Laut Timor. Hasanudin (1998) menerangkan lebih lanjut bahwa jalur lain (kedua) dari Arlindo adalah masuk dari Laut Maluku kemudian menuju Laut Seram dan mengalir ke laut Banda melalui selat Manipa. Pada saat terjadi fenomena El-Nino, pergerakan sebagian dari massa air tadi berbalik arah dari wilayah perairan Indonesia menuju Samudra Pasifik. Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi diduga di masa lampau, pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall 2001). Berbeda halnya dengan Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang pernah bersatu dengan daratan Asia (Sundaland), serta Papua yang pernah bersatu dengan daratan Australia (Sahulland) sebelum kala Pleistosen (Pleistocene) berakhir (Shekelle dan Leksono, 2004). Gaylord dan Gaines (2000) menjelaskan bahwa arus laut dapat mempengaruhi distribusi populasi, perubahan atau perbedaan karakteristik air

29 3 yang dapat mempengaruhi fisiologi organisme untuk selanjutnya mempengaruhi struktur genetikanya. Rute pertukaran gen antara organisme tropis di Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik terus berlangsung hingga saat ini. Pertukaran tersebut secara garis besar melalui perantara Arlindo (Gordon dan Fine, 1996). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa dalam skala geografis variasi kondisi lingkungan diduga dapat menimbulkan variabilitas genetika pada ikan laut (Saunders et. al., 1986; Renno et. al., 1990; Effenberger dan Suchentrunk, 1999). Borsa (2003) menjelaskan bahwa perubahan tinggi muka laut pada kala Pleistosen mempengaruhi struktur genetika. Analisis struktur populasi untuk spesies laut dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti: morfometrik, rata-rata pertumbuhan, komposisi umur, analisis fenotip dan genetika. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun secara umum analisis terhadap gen memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Menurut Utter et al. (1987) marka genetika telah disepakati merupakan alat yang berharga dalam mempelajari struktur populasi, terutama pada ikan laut serta dapat dikombinasikan dengan data fenotip dan ekologi (Nesbo et. al., 2000). Marka molekular genetika seperti allozymes, DNA mitokondria (mtdna), dan microsatellite secara umum digunakan untuk mendeteksi diversitas genetika. Penelitian sebelumnya mengenai struktur populasi ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dengan metode RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) mtdna menunjukkan bahwa populasi Laut Banda berbeda dengan populasi dari Laut Flores, Selat Makassar, Laut Jawa dan Selat Malaka (Suwarso et. al., 2009). Struktur populasi ikan layang biasa (Decapterus russelli) berbeda dengan D. macrosoma, pada D. ruselli menujukkan bahwa populasi dari Laut Jawa dan Laut Flores berbeda dengan populasi Selat Malaka, Selat Makassar, Selat Sunda dan perairan barat Fak-fak (Suwarso et. al., 2009).

30 4 Informasi mengenai struktur populasi ikan layang biru berbasis genetika di perairan sekitar pulau Sulawesi belum tersedia. Struktur genetika populasi sebagai unit biologi sangat penting dipahami untuk menentukan keputusan manajemen perikanan yang tepat. Struktur genetika populasi dipelajari berdasarkan karakter polimorfisme yang terdapat dalam genom DNA mitochondria (mtdna) melalui pemotongan (restriksi) sekuen teramplifikasi dengan menggunakan ezim restriksi. Dalam penelitian ini akan dipelajari variasi genetika populasi ikan malalugis (D. macarellus) di perairan sekitar pulau Sulawesi yang selanjutnya data tersebut dapat digunakan sebagai landasan yang kuat dalam pengelolaan stok ikan Perumusan Masalah Nilai ekonomis yang tinggi pada ikan malalugis menyebabkan eksploitasi ikan tersebut meningkat. Peningkatan eksploitasi dapat berpengaruh terhadap kelimpahan stok, rata-rata ukuran ikan dan struktur genetika. Disamping itu biodiversitas yang tinggi serta kondisi oseanografi berupa pola arus laut dan variasi tinggi muka air laut di kawasan perairan di pulau Sulawesi dapat mempengaruhi struktur genetika populasi dari suatu organisme. Oleh sebab itu informasi mengenai struktur genetika populasi ikan malalugis di perairan sekitar Pulau Sulawesi dan pengaruhnya oleh kondisi oseanografi, sejarah geologi serta eksploitasi yang tinggi perlu dipahami. Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara ringkas dapat disusun kerangka pemikiran dari penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar 1.

31 5 Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian genetika populasi ikan malalugis Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur genetika populasi ikan malalugis (Decapterus macarellus) di perairan sekitar pulau Sulawesi yang meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Teluk Tolo, Teluk Tomini, Laut Banda, dan Laut Maluku. Informasi yang diperoleh berupa struktur populasi/unit stok ikan malalugis berdasarkan perbedaan struktur genetika populasi.

32 Hipotesis Berdasarkan sifat biologi ikan malalugis dan kondisi geografis serta oseanografi perairan di sekitar pulau Sulawesi, penelitian dilakukan dengan landasan hipotesis sebagai berikut: a) Struktur populasi ikan malalugis di Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Maluku dan Teluk Tomini cenderung mempunyai persamaan. b) Struktur populasi ikan malalugis di Teluk Tolo, Laut Banda, Teluk Bone dan Laut Flores cenderung berbeda dengan keempat populasi yang lain, karena pengaruh dari Laut Arafura. c) Struktur populasi ikan malalugis di Laut Banda dan Laut Flores mempunyai kekerabatan yang dekat.

33 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Jenis ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis spesies, yaitu: layang biasa (Decapterus russelli), layang deles (D. macrosoma), layang ekor merah (D. kurroides dan D. tabl) dan malalugis/layang biru (D. macarellus). Spesies ikan malalugis umumnya tertangkap di perairan laut dalam (deep water species) dengan kadar garam paling rendah 34 per mil (Hariati, 2005). Secara morfologis ikan malalugis hampir sama dengan ikan layang lain, sedikit perbedaan dengan spesies layang lain adalah pada warna yang lebih biru (gelap) (Gambar 2). Klasifikasi ikan malalugis adalah sebagai berikut: Domain: Eukaryota - Whittaker & Margulis, eukaryotes Kingdom: Animalia - C. Linnaeus, animals Subkingdom: Bilateria - (Hatschek, 1888) Cavalier-Smith, 1983 Branch: Deuterostomia - Grobben, 1908 Infrakingdom: Chordonia - (Haeckel, 1874) Cavalier-Smith, 1998 Phylum: Chordata - Bateson, Chordates Subphylum: Vertebrata - Cuvier, Vertebrates Infraphylum: Gnathostomata - auct. - Jawed Vertebrates Superclass: Osteichthyes - Huxley, Bony Fishes Class: Actinopterygii - Huxley, Ray-Finned Fishes Subclass: Actinopterygii - Ray-Finned Fishes Infraclass: Actinopteri 7

34 8 Cohort: Clupeocephala Superorder: Acanthopterygii Order: Perciformes Suborder: Percoidei Family: Carangidae - Jacks and pompanos Genus: Decapterus - Berry, 1968 Specific name: macarellus - (Cuvier, 1833) Scientific name: - Decapterus macarellus (Cuvier, 1833) Jenis ikan layang tersebut tertangkap di perairan dengan kedalaman di atas 100 m, antara lain di perairan Selat Malaka bagian utara, Samudera Hindia, Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Laut Banda. Ikan malalugis dan layang deles yang berukuran relatif besar (± 25 cm) sukar dibedakan, karena keduanya mempunyai bentuk dan penampang badan yang hampir sama. Salah satu ciri yang membedakan adalah ikan malalugis tidak bergigi sedangkan layang deles mempunyai gigi-gigi kecil pada rahang bawah (Tarp dan Kailola, 1985). Menurut FAO untuk membedakan antara malalugis dan layang deles bisa dilihat dari bentuk maxilla dan supramaxilla (Gambar 3). Gambar 2. Ikan malalugis.

35 9 A Gambar 3. Bentuk maxilla dan supramaxilla A) ikan malalugis; B) ikan layang deles (FAO). B Analisis contoh isi lambung ikan malalugis di perairan Teluk Tomini diperoleh hasil bahwa makanan ikan malalugis didominasi oleh jenis-jenis fitoplankton terutama Diatomae dan Dinoflagellata serta zooplankton dari kelas Crustacea, Mollusca dan Copepoda (Hariati, 2005). Sesuai dengan sifat hidupnya yang merupakan jenis ikan pelagis, ikan malalugis utamanya tertangkap dengan pukat cincin. Umumnya di setiap daerah penangkapan, ikan malalugis tertangkap sepanjang tahun dengan beberapa puncak hasil tangkapan. Hasil tangkapan tertinggi di perairan Banda Aceh terjadi pada bulan Maret Mei dan bulan Oktober, sedangkan di perairan ZEE Selat Malaka terjadi pada bulan Juni Oktober. Perairan Barat Sumatera puncak hasil tangkapa ikan malalugis terjadi pada Maret dan bulan September. Penangkapan ikan pelagis dengan pukat cincin di perairan Teluk Tomini berlangsung sepanjang tahun dan pada bulan Desember Februari produksi sangat menurun. Pada perairan Parigi dan sekitarnya musim penangkapan berlangsung antara bulan Mei Oktober, sedangkan di perairan Poso antara bulan Maret September (Hariati, 2005) Pulau Sulawesi Sulawesi memiliki luas km 2 dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di daerah biogeografi Wallacea. Daerah biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain yang berada di antara garis Wallace di

36 10 sebelah Barat dan garis Lydekker di sebelah Timur (Gambar 4). Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karena diduga, di masa lampau, pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall 2001). Berbeda halnya dengan Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang pernah bersatu dengan daratan Asia (Sundaland), serta Papua yang pernah bersatu dengan daratan Australia (Sahulland) sebelum kala Pleistosen (Pleistocene) berakhir. Gambar 4. Peta Wilayah Wallacea. Wallacea merupakan daerah peralihan antara daratan Sunda (Asia) dan daratan Sahul (Australia). (putih = daratan, abu-abu tua = daratan sebelum kala Pleistosen berakhir, abu-abu muda = lautan dalam) ( Whitten et al. 2002) Keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang lama memungkinkan terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi. Tingkat endemisitas yang paling tinggi adalah dari taksa vertebrata. Mamalia misalnya, dari 127 jenis hewan menyusui yang

37 11 terdapat di Sulawesi, 61% di antaranya bersifat endemik. Sebagai perbandingan, pulau Kalimantan yang mempunyai endemisitas paling tinggi di Sundaland, hanya mempunyai 18% mamallia endemik (Whitten et al. 2002). Menurut Myers et al. (2000) daerah Wallacea termasuk dalam 25 hotspot paling penting untuk konservasi. Daerah ini mempunyai 529 spesies vertebrata endemik (1,9% dari jumlah di dunia). Spesies-spesies tersebut mengalami ancaman yang serius, sebab hanya 15% habitat alami yang masih tersisa. Dari habitat alami yang masih tersisa tersebut, 39,2% di antaranya terdapat dalam kawasan konservasi. Habitat alami yang masih tersisa tersebut hanya akan efektif untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi, jika tersebar sesuai dengan distribusi biodiversitas tersebut. Oleh sebab itu upaya konservasi di Sulawesi harus dirancang secara komprehensif. Profesor John A. Katili, ahli geologi Indonesia yang merumuskan geomorfologi Pulau Sulawesi bahwa terjadinya Sulawesi akibat tabrakan dua pulau (Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi bagian Barat) antara 19 sampai 13 juta tahun yang lalu, terdorong oleh tabrakan antara lempeng benua yang merupakan fundasi Sulawesi Timur bersama Pulau-Pulau Banggai dan Sula, yang pada gilirannya merupakan bagian dari lempeng Australia, dengan Sulawesi Barat yang selempeng dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa dan Sumatra, Sulawesi menjadi salah satu wilayah geologis paling rumit di dunia. Perairan di sekitar Pulau Sulawesi juga mempunyai keunikan tersendiri, karena perairan tersebut dilalui oleh Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Arlindo merupakan aliran air hangat antar samudera yang merupakan bagian dari Thermohaline circulation atau The Great Ocean Conveyor Belt atau The Global Conveyor Belt (Gambar 5). Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui perairan-perairan di sekitar Sulawesi. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini dapat diketahui bahwa ada 3 pintu

38 12 masuk utama massa air dari Samudera Pasifik ke perairan Indonesia. Yang pertama dan yang dominan adalah Selat Makassar. Massa air yang berasal dari Pasifik Utara memasuki laut Sulawesi lewat sebelah selatan Mindanao, untuk kemudian masuk ke jantung Perairan Indonesia lewat Selat Makassar. Di ujung Selat Makassar, jalur ini bercabang menjadi dua, sebagian langsung menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok, dan yang sebagian lagi berbelok ke timur melewati Laut Flores menuju Laut Banda. Pintu kedua adalah melalui Laut Maluku. Dari Laut Maluku massa air dari Pasifik Utara memasuki Laut Seram dengan melewati Selat Lifamatola yang terletak antara Pulau Lifamatola dan Pulau Obi. Kemudian dari Laut Seram mengalir melalui Selat Manipa ke Laut Banda. Sedangkan pintu ketiga adalah melalui Laut Halmahera. Massa air dari Pasifik Selatan masuk ke Laut Halmahera menuju ke Laut Seram dan Cekungan Aru. Disini terjadi percampuran dengan massa air yang datang dari Laut Banda. Gambar 5. Thermohaline Circulation.

39 Struktur Genetika Populasi Genetika (dari bahasa Yunani γέννω atau genno yang berarti melahirkan ) merupakan ilmu dari cabang biologi yang mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat dan variasi sifat ada organisme maupun suborganisme (Griffiths et al., 2000). Genetika populasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan salah satu dari dua hal: menggambarkan struktur genetik populasi atau berteori pada tekanan evolusi yang bekerja pada populasi (Gillespie, 1998). Windelspecht (2007) menerangkan bahwa seorang ahli genetika populasi mempelajari bagaimana frekuensi dari perubahan alel dalam suatu populasi dari waktu ke waktu, biasanya dalam menanggapi atau merespon suatu tekanan yang selektif. Dalam hal ini, ahli genetika populasi umumnya kurang tertarik dalam mempelajari mekanisme molekuler regulasi gen, melainkan menggunakan matematika dan statistik untuk menggambarkan perubahan populasi. Struktur populasi, sekelompok individu atau sub kelompok dari suatu spesies yang memiliki kesamaan struktur atau pola genetika (genetic pool), dapat dipelajari berdasarkan frekuensi genetika dari setiap gen yang terlibat dalam ekspresi fenotipik. Pada tingkat molekuler (DNA) ikan laut menunjukkan variabilitas genetik walaupun dalam derajat yang lebih rendah disbanding ikan air tawar baik pada level supraspesifik maupun taksa kelompok individu (populasi dan sub-populasi) dimana pada tingkat protein (studi allozyme) tidak terlihat. Menurut Graves et al. in Saunders et al. (1986), terdapat variabilitas genetika yang disebabkan oleh aliran gen (gene flow) inter-oseanik serta menimbulkan diferensiasi genetika. Berdasarkan sifat polimorfisme DNA mitochondria, variabilitas genetika populasi ditunjukkan oleh dua ukuran divergensi, yaitu divergensi di dalam

40 14 populasi (variabilitas intrapopulasi) dan variabilitas antar populasi (divergensi interpopulasi). Variabilitas intrapopulasi dinyatakan dengan parameter diversitas haplotipe atau diversitas nucleon (h), banyaknya neukleomorf (unit polimorfisme pada nucleon yang terdapat dalam bentuk pola situs restriksi), jumlah rata-rata perbedaan situs restriksi, jumlah segregasi situs restriksi atau jumlah situs restriksi polimorfis dalam sejumlah sampel nukleon. Nukleon merupakan suatu segmen DNA, identik dengan gen dalam DNA ini (nuclear DNA), yang dicirikan oleh peta situs restriksi, atau jumlah dan ukuran fragmen DNA. Divergensi interpopulasi dipelajari berdasarkan parameter jarak genetika (δ) dan analisis terhadap perbedaan situs restriksi (Nei dan Tajima, 1981). Nei dan Tajima (1981) menambahkan bahwa variabilitas genetika nucleon berhubungan dengan laju mutasi per-nukleon dimana perubahan situs restriksi terjadi secara evolusioner dan disebabkan oleh substitusi, insersi (insertion) atau penghapusan (deletion) nukleotida. Jenis dan jumlah enzim restriksi yang sama digunakan dalam analisis sampel untuk membandingkan nilai parameter diantara nukleon atau organisme yang berbeda. Variasi mtdna intra dan interspesifik berdasarkan dari analisis enzim restriksi telah banyak dilaporkan, antara lain pada manusia digunakan untuk mencirikan populasi lokal, membedakan cirri individu, variasi etnik, pengelompokan etnik dan menduga hubungan evolusioner dari kelompokkelompok etnik tersebut, serta menentukan bentuk-bentuk morf mtdna khusus untuk kemudian mengelompokkannya ke dalam grup menurut skala geografis (Bermingham, 1990). Studi variabilitas mtdna pada Teleostei dan Invertebrata dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain Bermingham dan Avise (1986), Saunders et al. (1986), Ferris dan Berg (1987), Effenberger dan Suchentrunk (1999).

41 Populasi Dalam Arti Genetika Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi. Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masingmasing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%). Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu yang dapat

42 16 melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya. Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya dapat dihitung sebagai berikut. AA Aa aa Total Banyaknya individu Banyaknya alel A Banyaknya alel a Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga, karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu, pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah = 110. Dengan cara yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu = 90. Oleh karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%).

43 17 Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut. Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pitapita sebagai gambaran mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein (Gambar 6). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul yang berbedabeda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA. Jarak migrasi (cm) Individu Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL Gambar 6. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di kawasan Segara Anakan, Cilacap. Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu

44 18 yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil. Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam amino yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe. Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-duanya akan diekspresikan. Dengan demikian, individu pada Gambar 15.1 yang menampilkan pita lambat dan pita cepat (nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot, yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya menampilkan pita lambat (nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah homozigot LL. Begitu pula individu dengan hanya satu pita cepat (kebetulan pada zimogram tersebut tidak ada) dikatakan mempunyai genotipe homozigot CC. Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita dengan mudah dapat menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan 6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30, sedang frekuensi alel L = 6/15 + ½ (9/15) = 21/30.

45 Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel. Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama dengan frekuensi alel a (q). Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki

46 20 frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel 1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p 2, 2pq, dan q 2. Tabel 1. Pembentukan zigot pada kawin acak Gamet-gamet Ε dan frekuensinya A (p) a (q) A (p) AA Aa Gamet-gamet Γ (p 2 ) (pq) dan frekuensinya a (q) Aa aa (pq) (q 2 ) Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p 2 + ½ (2pq) = p 2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q 2 + ½ (2pq) = q 2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua. Migrasi Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya

47 21 perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya. Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%. Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju migrasi dapat dilihat sebagai persamaan berikut ini. p n - P = (p o - P)(1 - m) n p n = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi P = frekuensi alel pada populasi migran p o = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi) m = laju migrasi n = jumlah generasi Mutasi Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan (fertilitas), yang rendah. Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada.

48 22 Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel dapat dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi awal p o dan q o. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u. Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A akibat mutasi adalah p = vq o - up o, sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah q = up o - vq o. Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai p dan q adalah 0. Oleh karena itu, vq o = up o, atau secara umum vq = up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka akan didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v) DNA mitochondria (mtdna) Mitochondria adalah organel yang bertanggung jawah di dalam metabolisme aerobik pada sel-sel eukariot. Mitochondria memiliki molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan DNA inti. Setiap sel rnengandung satu sampai ratusan mitochondria. DNA mitochondria mempakan DNA utas ganda yang berhentuk sirkuler (Solihin, 1994). Prinsip dari ekstraksi DNA mitochondria ialah memisahkan sitoplasma dari intinya dengan sentrifugasi rendah sehingga hanya didapatkan mitochondria. Untuk menghindari kontaminasi dari DNA inti dilakukan penamhahan DNAase sebelum mitochondria dilisis. Mitokondria tersebut dilisis dengan larutan.tertentu (misalnya detergen) dan proteinnya dihilangkan dengan fenol dan kloroform, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Teknik purifikasi.yang lain dilakukan dengan penggunaan larutan garam yang sangat pekat (konsentrasi tinggi) seperti CsCI. Teknik yang kedua ini dapat memisahkan molekul-molekul RNA, DNA inti, dan DNA mitochondria dalam lapisan yang berbeda (Solihin, 1994).

49 23 Beberapa teknik eksplorasi dapat dimanfaatkan oleh para biologiwan untuk menggali informasi yang terkandung dalam genom mitochondria. Teknik eksplorasi yang pertama didasarkan pada sekuen, basa-basa penyusun genom mitochondria. Hal ini memberikan informasi yang sangat lengkap mengenai urutan basa-basanya, namun cara ini membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar. Alternatif lain yang Iebih efisien dari teknik pertama tadi ialah analisis hanya bagian tertentu dari genom mitochondria. Berkat penemuan Saiki et al. (1985, 1988) mengenai amplifikasi DNA dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), analisis genom mitochondria secara partial dapat dilakukan dengan mudah. Teknik eksplorasi yang kedua didasarkan pada pnggunaan enzim restriksi (restriction endonucleases) untuk membandingkan genom mitochondria antar individu maupun takson. Pemotongan dengan enzim restriksi yang berbada akan menghasilkan potongan DNA yang berbeda dari DNA yang sama. Perbedaan genom mitochondria dapat dibandingkan hanya dangan perbandingan jumlah dan ukuran fragmen-fragmen yang dipotong oleh enzim restriksi tersebut. Variasi yang dihasilkan oleh perbedaan panjang fragmen yang dipotong oleh enzim restriksi ini dikenal sebagai Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Pendekatan ini relatif sederhana dan mampu memberikan informasi dari semua bagian genom mitochondria. Setiap situs restriksi dapat dipetakan pada molekul DNA mitochondria sehingga menghasilkan peta situs restriksi DNA mitochondria (Solihin, 1994). Beberapa hal yang mendukung penggunaan mtdna sebagai penanda dalam studi keragaman genetik dan studi biologi populasi pada hewan yaitu: (i) DNA mitochondria terdapat dalam jumlah kopi yang tinggi. Jumlah kopi yang tinggi ini mnenjadikannya mudah diisolasi dan dipurifikasi untuk berbagai keperluan analisis genom; (ii) Ukuran DNA mitochondria relatif kecil (14-39 kb) sehingga dapat dipeiajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (iii) Bagian-bagian

50 24 dari genom mitochondria berevolusi dengan kecepatan yang berbeda. Diketahui bahwa tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian dari DNA merupakan faktor penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi sistematika dan biogeografi. Gen-gen yang terkonservasi dengan baik dapat dijadikan sebagai dasar penelusuran kesamaan asal muasal (ancient taxa), sedangkan gen-gen yang tak terkonservasi dengan baik yaitu gen-gen yang berevolusi dengan cepat dapat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru. Secara umum evolusi sekuen DNA mitochondria lebih cepat 5 sampai 10 kali dari genom inti (Brown et al., 1979) dan bahkan gen trna seratus kali lebih cepat dari DNA inti (Brown et al., 1982); (iv) DNA mitochondria hewan tidak memiliki intron ataupun spacer yang berukuran besar antar gennya. Hal inilah yang mebyebabkan ukuran genom mitochondria hewan lebih kecil dibandingkan dengan genom mitochondria tanaman; (v) DNA mitochondria bersifat khusus karena diturunkan melalui induk betinanya tanpa mengalami rekombinasi (strict maternal inheritance). Akibatnya afinitas genetik yang diatur oleh genom mitochondria merupakan refleksi dari Phylogeni matriarcale; vi) DNA mitochondria sangat polimorf, baik untuk intrapopulasi maupun untuk interspesies (Solihin, 1994) Analisis DNA Prosedur awal dalam analisis mtdna dilakukan melalui proses ekstraksi, yaitu memecah genom DNA dari sumber sel (jaringan) ke dalam fragmenfragmen spesifik yang berukuran lebih kecil. Tahap berikutnya adalah isolasi, yaitu pemisahan sekuen DNA target (mtdna) dari total DNA (DNA inti dan mtdna) yang diekstraksi; dan amplifikasi, merupakan proses perbanyakan atau sintesis sekuen mtdna melalui proses Polymerase Chain Reaction (PCR). Sekuen DNA yang telah diisolasi dan diamplifikasi kemudian diidentifikasi dan

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaman Haplotipe Ikan Malalugis Panjang sekuens mtdna ikan malalugis (D. macarellus) yang diperoleh dari hasil amplifikasi (PCR) dengan menggunakan pasangan primer HN20

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jenis ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis spesies, yaitu:

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jenis ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis spesies, yaitu: 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Jenis ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis spesies, yaitu: layang biasa (Decapterus russelli), layang deles (D. macrosoma),

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) DI SEKITAR SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER

STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) DI SEKITAR SULAWESI BERDASARKAN MT-DNA MARKER Struktur Genetika Populasi Ikan Malalugis Birudi Sekitar Sulawesi... MT-DNA Marker (Zamroni, A., et al) STRUKTUR GENETIKA POPULASI IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) DI SEKITAR SULAWESI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

Ikan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan

Ikan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan 1. Latar Belakang Ikan Kakap merah (Red Snapper), Lutjanus malabaricus, adalah salah satu ikan demersal berukuran besar yang mempunyai nilai ekonomis penting karena permintaan pasar yang tinggi. Jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaman jenis dan distribusi stok ikan layang (Decapterus spp.) di perairan Selat Makasar: Kajian terkait pengelolaan perikanan pelagis kecil berbasis stok dan habitat

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

Luisa Diana Handoyo, M.Si.

Luisa Diana Handoyo, M.Si. Luisa Diana Handoyo, M.Si. Cabang ilmu genetika yang mempelajari gen-gen dalam populasi dan menguraikan secara matematik akibat dari keturunan pada tingkat populasi. Populasi adalah suatu kelompok individu

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

Analisis Struktur Populasi Tiga Species Layang..di Laut Jawa dan Sekitar Sulawesi ( Suwarso & A. Zamroni)

Analisis Struktur Populasi Tiga Species Layang..di Laut Jawa dan Sekitar Sulawesi ( Suwarso & A. Zamroni) Analisis Struktur Populasi Tiga Species Layang..di Laut Jawa dan Sekitar Sulawesi ( Suwarso & A. Zamroni) ANALISIS STRUKTUR POPULASI TIGA SPECIES LAYANG (Decapterus spp.) DI LAUT JAWA DAN SEKITAR SULAWESI:

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR GENETIK HIU Carcharhinus falciformis (SILKY SHARK) DI INDONESIA BERDASARKAN GEN CONTROL REGION DNA MITOKONDRIA

ANALISIS STRUKTUR GENETIK HIU Carcharhinus falciformis (SILKY SHARK) DI INDONESIA BERDASARKAN GEN CONTROL REGION DNA MITOKONDRIA TESIS ANALISIS STRUKTUR GENETIK HIU Carcharhinus falciformis (SILKY SHARK) DI INDONESIA BERDASARKAN GEN CONTROL REGION DNA MITOKONDRIA ANDRIANUS SEMBIRING NIM 1291261025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masuk dalam urutan ketiga dari ketujuh negara dunia lainnya sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar

Lebih terperinci

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Profil RAPD Keanekaragaman profil RAPD meliputi jumlah fragmen dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan tiga primer (OPA-2, OPC- 2, dan OPC-5)

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT MULYASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen.

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENDAHULUAN Pada tahun 1908, ahli Matematika Inggris G.H. Hardy dan seorang ahli

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA

GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI DENNY SAPUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI

KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI EKO HANDIWIRAWAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151 ABSTRAK Variasi di dalam populasi terjadi sebagai akibat

Lebih terperinci

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

MIGRASI ELVER SIDAT, Anguilla sp. MEMASUKI MUARA SUNGAI POSO, SULAWESI TENGAH

MIGRASI ELVER SIDAT, Anguilla sp. MEMASUKI MUARA SUNGAI POSO, SULAWESI TENGAH MIGRASI ELVER SIDAT, Anguilla sp. MEMASUKI MUARA SUNGAI POSO, SULAWESI TENGAH OLEH: HARYUNI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK HARYUNI. Migrasi Elver Sidat, Anguilla sp. Memasuki

Lebih terperinci

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup B. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Menginventarisasi karakter morfologi individu-individu penyusun populasi 2. Melakukan observasi ataupun pengukuran terhadap

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

Sebaran Unit Stok Ikan Layang. Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni)

Sebaran Unit Stok Ikan Layang. Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni) Sebaran Unit Stok Ikan Layang. Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni) SEBARAN UNIT STOK IKAN LAYANG (Decapterus spp.) DAN RISIKO PENGELOLAAN IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali 41 PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali Sekuen individu S. incertulas untuk masing-masing gen COI dan gen COII dapat dikelompokkan menjadi haplotipe umum dan haplotipe-haplotipe

Lebih terperinci

STUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA

STUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA STUDI TENTANG GENETIKA POPULASI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) HASIL TANGKAPAN TUNA LONGLINE YANG DIDARATKAN DI BENOA BUDI NUGRAHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level biodiversitas tinggi. Tingginya level biodiversitas tersebut ditunjukkan dengan tingginya keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al. 4 II. TELAAH PUSTAKA Jabon (Neolamarckia sp.) merupakan tanaman yang tumbuh di daerah beriklim muson tropika seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Jabon juga ditemukan tumbuh di Sri Lanka,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman organisme laut yang sangat tinggi sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara yang masuk ke dalam

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI Oleh Dina Fitriyah NIM 061810401071 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA.

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA. @2003 Alfret Luasunaung Posted 10 December 2003 Makalah falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA 4.1.1 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vi Daftar Isi... viii Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN. Menyetujui : Ketua Penguji Anggota Penguji I Anggota Penguji II

HALAMAN PENGESAHAN. Menyetujui : Ketua Penguji Anggota Penguji I Anggota Penguji II HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Isolasi DNA Darah Manusia Volume Terbatas pada Beberapa Konsentrasi Sodium Dodesil Sulfat (SDS) Nama Mahasiswa : Imam Mukayat NIM : J2B 006 026 Tanggal Lulus : Menyetujui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Nama : Rohmat Diyono D151070051 Pembimbing : Cece Sumantri Achmad Farajallah Tanggal Lulus : 2009 Judul : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di bumi, merujuk pada keberagaman bentuk-bentuk kehidupan tanaman, hewan dan mikroorganisme, termasuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang

II. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung walet sarang putih Burung walet sarang putih merupakan burung pemangsa serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Sayapnya yang berbentuk sabit, sempit, dan runcing

Lebih terperinci

SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION

SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION Disusun oleh : Vallery Athalia Priyanka NPM : 130801398 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh PEMBAHASAN UMUM Kebutuhan pangan berupa beras di Indonesia terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Akan tetapi di masa datang kemampuan pertanian di Indonesia untuk menyediakan beras

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

EVALUASI DAN OPTIMALISASI PROGRAM PCR DALAM DETERMINASI KELAMIN IKAN BARBIR EMAS Puntius conchonius SECARA MOLEKULAR RADI IHLAS ALBANI

EVALUASI DAN OPTIMALISASI PROGRAM PCR DALAM DETERMINASI KELAMIN IKAN BARBIR EMAS Puntius conchonius SECARA MOLEKULAR RADI IHLAS ALBANI EVALUASI DAN OPTIMALISASI PROGRAM PCR DALAM DETERMINASI KELAMIN IKAN BARBIR EMAS Puntius conchonius SECARA MOLEKULAR RADI IHLAS ALBANI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan langka yang terletak di antara Pantai Selatan Kabupaten Cilacap dan Pulau Nusakambangan (Saputra,2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam, dimana kondisi lingkungan geografis antara suku yang satu dengan suku yang lainnya berbeda. Adanya

Lebih terperinci

Dasar pewarisan sifat pada ternak Factor-faktor yang mempengaruhi fenotif ternak Genetika populasi

Dasar pewarisan sifat pada ternak Factor-faktor yang mempengaruhi fenotif ternak Genetika populasi Dasar pewarisan sifat pada ternak Factor-faktor yang mempengaruhi fenotif ternak Genetika populasi Apabila kita mengawinkan sapi Bali, maka anaknya yang diharapkan adalah sapi Bali bukan sapi madura. Demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi struktur hemoglobin yang menyebabkan fungsi eritrosit menjadi tidak normal dan berumur pendek.

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keragaman bentuk kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati terjadi pada semua lingkungan mahluk hidup, baik di udara, darat, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Genetika. Pewarisan Sifat pada Ekstrakromosom

Ringkasan Materi Genetika. Pewarisan Sifat pada Ekstrakromosom Ringkasan Materi Genetika Pewarisan Sifat pada Ekstrakromosom Nama : Muhammad Shobirin NIM : 140341808629 Genetika ekstranuklear mempelajari bagaimana fungsi dari genom organisme yang terdapat diluar inti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Cyprinid salah satu yang populer diantaranya adalah ikan mas atau common carp (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan cukup

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN

PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat penyelesaian Program Sarjana Sains (S1)

Lebih terperinci

GENETIKA (BIG100) Tempat : R122 Waktu Jam : 7 8 Pukul : Pengajar : Bambang Irawan Hari Supriandono

GENETIKA (BIG100) Tempat : R122 Waktu Jam : 7 8 Pukul : Pengajar : Bambang Irawan Hari Supriandono GENETIKA (BIG100) Tempat : R122 Waktu Jam : 7 8 Pukul : 12.30 14.20 Pengajar : Bambang Irawan Hari Supriandono ISI KONTRAK PERKULIAHAN DESKRIPSI TUJUAN STRATEGI MENGAJAR TUJUAN KOMPETENSI JUMLAH TATAP

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci