TINJAUAN AKHIR (PEBRUARI 2005) :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN AKHIR (PEBRUARI 2005) :"

Transkripsi

1 TINJAUAN AKHIR (PEBRUARI 2005) : PERKEMBANGAN DAN PROSPEK KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar (sekitar 210 juta jiwa pada tahun 2000) menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang pangan, pangan dalam arti luas mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/ hari (Suryana, 2002). Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII Tahun 2000 masing-masing sebesar 2500 Kkal/kapita/hari dan 55 gr protein/kapita/ hari ( LIPI, 2000). Walaupun secara makro ketersediaan pangan telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun kecukupan di tingkat nasional tersebut tidak menjamin kecukupan konsumsi di tingkat rumahtangga atau individu. Tingkat konsumsi per kapita per hari rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 1999 sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan (BPS, Susenas 1999). Ketidakcukupan pangan ini tercermin pula adanya fakta (a) masih tingginya IV-75

2 prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masing-masing 24.9 persen dan dan 7.7 persen pada tahun 1999 (Suryana, 2002) dan (b) proporsi rumahtangga rawan pangan di Indonesia tahun1999 yang diukur dengan indikator silang antara tingkat konsumsi energi 80 persen dari standar kecukupan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar 30 persen (Saliem, H.P dkk, 2001), serta (c) jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang juga dapat diidentikkan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan) pada tahun 1998 sebesar persen (Irawan dan Romdiati, 1999). Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pada pertumbuhan penyediaannya (Suryana, 2002). Permintaan yang meningkat cepat tersebut merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta stagnannya pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor ini diterjemahkan sebagai ketidakmadirian dalam penyediaan pangan nasional. PENGUKURAN DAN KERAGAAN KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Kemandirian pangan merupakan salah satu dimensi pengukuran ketahanan pangan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian antara lain (1) ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan domestik, (2) ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada pangan impor dan atau net impor (impor dikurangi ekspor), dan (3) ketergantungan ketersediaan pangan terhadap transfer pangan dari pihak atau negara lain (Simatupang, 2000). Dengan data yang tersedia, tulisan berikut akan mengukur kemandirian pangan nasional dengan menggunakan indikator (1) dan (2). IV-76

3 1. Ketergantungan Ketersediaan Pangan Nasional pada Produksi Pangan Domestik Ketersediaan pangan nasional (KPN) merupakan penjumlahan dari produksi pangan domestik (PPD) dengan impor pangan (IMP), transfer (TRF), stok atau cadangan (STK), dikurangi ekspor pangan (EXP). Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis: KPN = PPD + IMP + TRF + STK EXP (1a) Ketersediaan pangan untuk konsumsi (KPK) merupakan pengurangan antara ketersediaan pangan nasional (KPN) dengan penggunaan pangan untuk bibit (BIT), pakan (PAK), industri pengolahan (IND), tercecer (TCR), dan penggunaan lain (LAN). Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut: KPK = KPN BIT PAK IND TCR LAN (1b) Dalam struktur Neraca Bahan Makanan, KPK tersaji dalam volume agregat (ton), ketersediaan per kapita (kg/kapita/tahun), ketersediaan dalam zat gizi yaitu bentuk energi (Kkal/kapita/hari), protein (gram/kapita/hari) dan lemak (gram/ kapita/hari). Ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap produksi domestik (KKPPD) diukur dari rasio produksi atau ketersediaan pangan domestik yang dapat dikonsumsi (KPK) terhadap ketersediaan pangan nasional (KPN), (Simatupang, 2000). KKPPD = KPK/KPN * 100 % (1c) KKPPD umumnya berkorelasi positif dengan ketersediaan pangan nasional dan juga terhadap ketahanan pangan. Oleh karenanya semakin tinggi KKPPD menunjukkan pula kemandirian pangan nasional yang tinggi. 2. Ketergantungan Ketersediaan Pangan Nasional pada Pangan Impor Dalam mengukur ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada pangan impor (KKPPI) digunakan dua indikator yaitu impor pangan kotor (IMP) dan impor bersih atau net impor (IMP EXP). Ukuran ketergantungan dituliskan sebagai berikut: IV-77

4 KKPPI = IPM/KPN * 100 % KKPPI = (IMP EXP)/KPN * 100 % (2a) (2b) Persamaan (2b) menurut Simatupang (2000) dapat dikatakan pula sebagai rasio ketergantungan pada perdagangan (trade dependency ratio). KKPPI umumnya berkorelasi negatif dengan ketersediaan pangan nasional dan juga ketahanan pangan nasional. Oleh karenanya semakin tinggi KKPPI menunjukkan pula kemandirian pangan nasional yang rendah atau rentan. Dalam analisis akan dikaji ketersediaan pangan secara agregat dalam arti pangan yang berasal dari hasil tanaman maupun hasil ternak serta pangan dalam bentuk hasil primer maupun olahan. Analisis kemandirian pangan secara agregat, satuan yang relevan digunakan untuk ketersediaan pangan, produksi, impor dan ekspor adalah satuan energi (Kkal/kapita/hari). Selain itu akan dikaji pula beberapa jenis atau kelompok pangan yang tingkat kemandiriannya rendah (rentan) dan diidentifikasi faktor-faktor penentu rendahnya kemandirian beberapa jenis pangan tersebut. Untuk kepentingan analisis kemandirian pangan menurut jenis pangan maka satuan volume (ton), nilai maupun energi (Kkal) relevan digunakan. Rentang waktu yang digunakan dalam analisis ini adalah dari tahun dengan menggunakan data neraca bahan makanan yang diterbitkan oleh FAO. Kemandirian Pangan Dalam Bentuk Kalori Dengan menggunakan indikator kemandirian pangan seperti diuraikan di atas, keragaan perkembangan kemandirian pangan secara agregat dalam bentuk kalori (Kkal/kapita/hari) selama kurun waktu dapat disimak pada Tabel 1 dan 1a. Selama kurun waktu analisis, ketersediaan pangan nasional dalam bentuk kalori didominasi oleh produksi dalam negeri. Hal ini ditunjukkan oleh pangsa produksi dalam negeri terhadap ketersediaan pangan nasional rata-rata mencapai lebih dari 95 persen (kecuali pada tahun 1977 dan 1978 sebesar 94 % dan 1995 hanya 92 %). Bahkan selama kurun waktu dan produksi pangan dalam negeri melebihi tingkat ketersediaannya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa secara umum KKPPD (sebagai salah satu ukuran kemandirian pangan) nasional selama kurun waktu dapat dikategorikan cukup baik yang ditunjukkan oleh besarnya rata-rata rasio produksi IV-78

5 domestik terhadap pemenuhan ketersediaan atau kebutuhan pangan nasional sebesar 99 persen. Namun demikian mengingat adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan pangan, fenomena tersebut menuntut semua pihak yang terkait dengan kebijakan pangan nasional untuk bersiap-siap merancang terobosan kebijakan yang dapat memacu peningkatan produksi pangan untuk mengimbangi cepatnya laju permintaan. Volume impor pangan selama kurun waktu terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat. Hal ini terlihat dari rata-rata impor pangan selama kurun waktu yang masih di bawah 10 persen, meningkat menjadi di atas 10 persen (dengan kisaran %) selama kurun waktu Peningkatan volume impor pangan yang terjadi secara konsisten selama kurun waktu analisis menuntut kewaspadaan kita untuk mampu memberikan prioritas kepada pengembangan komoditas pangan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar domestik maupun pasar internasional. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa dalam era perdagangan bebas saat ini kita tidak dapat membendung arus pangan impor masuk ke dalam negeri di luar kebijakan tarif. Kecenderungan peningkatan impor pangan, sebenarnya diikuti juga dengan kecenderungan peningkatan ekspor pangan. Selama kurun waktu , rata-rata ekspor pangan Indonesia telah mencapai di atas 10 persen, dengan kisaran antara 6,0-28,0 persen. Imbangan antara peningkatan impor dengan ekspor pangan mengakibatkan net impor pangan Indonesia relatif kecil. Selama kurun waktu , net impor pangan Indonesia tidak pernah melebihi 10 persen, kecuali kurun waktu dua tahun terakhir ( ) net impor pangan Indonesia mencapai persen. Selanjutnya, pada Tabel 2 dapat disimak pangsa masing-masing komoditas dalam pemenuhan kebutuhan kalori dalam negeri selama kurun waktu Dari berbagai jenis komoditas yang dianalisis, pangsa energi yang berasal dari beras menempati porsi tertinggi (rata-rata lebih dari 50 persen). Pangsa kalori yang berasal dari beras tertinggi terjadi pada tahun 1972 dan 1976 yang mencapai 57 persen lebih dan terendah pada tahun yang mencapai sekitar 49 persen. Dengan demikian, walaupun sangat kecil, namun peran beras dalam menyumbang kebutuhan kalori menunjukkan kecenderungan yang menurun. IV-79

6 Dominasi penyediaan kalori dari beras salah satunya disebabkan oleh semakin menurunnya penyediaan energi yang berasal dari tanaman umbi-umbian. Pada tahun 1970, tanaman umbi-umbian masih menyumbang sekitar 14 persen kebutuhan kalori, namun dalam perkembangannya pangsanya secara konsisten mengalami penurunan hingga mencapai sekitar 6 persen pada tahun Selain beras dan umbi-umbian, komoditas lain yang mempunyai pangsa energi relatif besar terhadap produksi pangan domestik adalah bahan pemanis, minyak nabati, minyak sayur dan gandum. Khusus untuk gandum, yang 100 persen merupakan komoditas impor, selama kurun waktu walaupun lambat, namun secara konsisten pangsanya terhadap pemenuhan kebutuhan kalori semakin meningkat. Perkembangan peningkatan pangsa kalori yang berasal dari gandum perlu diwaspadai mengingat gandum tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Apabila kecenderungan peningkatan ini tidak diperhatikan maka dikhawatirkan di masa yang akan datang kemandirian pangan Indonesia akan tergantung pada negara lain. Dari Tabel 2 juga dapat terlihat bahwa secara norma gizi, proporsi penyediaan pangan menurut komoditas dapat dikatakan kurang terdiversifikasi secara proporsional. Pangsa energi yang berasal dari beras melebihi standar anjuran (anjuran 50%) sementara sumber energi yang berasal dari kacangkacangan, sayuran, buah-buahan serta daging-dagingan masih kurang dari anjuran/ rekomendasi. Rekomendasi yang dianjurkan pangsa energi berasal dari kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan serta daging-dagingan berturut-turut sebesar: 5 persen, 6 persen dan 12 persen dari ketersediaan pangan untuk konsumsi (Hardinsyah, dkk. 2001). Kemandirian Pangan Dalam Bentuk Protein Berdasarkan Tabel 3 terlihat pangsa pemenuhan kebutuhan protein dalam negeri selama kurun waktu Dari berbagai komoditas yang dianalisis, terlihat bahwa beras masih merupakan komoditi yang terbesar pangsanya dalam menyumbang kebutuhan protein. Kondisi ini makin memperkukuh peran penting beras dalam diet konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Walaupun menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, namun pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein sampai dengan tahun tahun 2002 masih mencapai sekitar 40 persen lebih. Pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein sempat mencapai angka terendah sebesar 39 persen pada tahun Namun IV-80

7 krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, telah mendorong peningkatan pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein menjadi sekitar 44 persen. Penurunan pangsa beras dalam pemenuhan kebutuhan protein, salah satunya dipicu oleh kenaikan pangsa kedelai, ikan dan daging, khususnya daging ayam. Pangsa kedelai dalam pemenuhan kebutuhan protein meningkat cukup besar dari sekitar 9 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 13 persen pada tahun Pangsa kedelai sempat mencapai sekitar 16 persen selama kurun waktu , namun kemudian mengalami penurunan hingga konsisten pada kisaran sekitar 12 persen. Peningkatan pangsa kedelai dalam pemenuhan kebutuhan protein cukup wajar mengingat komoditi tersebut merupakan yang paling murah dibandingkan dengan komoditi daging maupun ikan. Masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi kedelai dalam bentuk produk olahan tahun dan tempe. Pangsa ikan, khususnya ikan laut, yang cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan protein cukup wajar mengingat Indonesia mempunyai potensi dan kekayaan sumberdaya perikanan laut yang cukup besar. Mestinya pangsa ikan dapat lebih tinggi lagi apabila pemsyarakatan konsumsi ikan (termasuk ketersediaan dan daya beli) dapat lebih ditingkatkan lagi. Pangsa ikan dalam pemenuhan kebutuhan protein, juga meningkat cukup besar dari sekitar 8 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen pada tahun Pangsa daging dalam pemenuhan kebutuhan protein, secara umum juga mengalami peningkatan selama kurun waktu Dari berbagai jenis daging, pangsa daging ayam merupakan salah satu yang mengalami peningkatan, walaupun cukup lamban, dari sekitar 0,41 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 2 persen pada tahun Peningkatan pangsa daging ayam dalam pemenuhan kebutuhan protein, tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan ayam broiler, sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi daging ayam dengan harga yang relatif terjangkau. Berbeda dengan daging ayam, pangsa daging sapi dalam pemenuhan kebutuhan protein, perkembangannya justru menunjukkan kecenderungan yang menurun. Jika pada tahun 1970, pangsanya masih sekitar 2 persen, pada tahun 2002 hanya sekitar 1 persen. Penurunan pangsa daging sapi ini diduga disebabkan karena harga daging sapi yang relatif mahal, sehingga hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan menengah ke atas. IV-81

8 Analisis Kemandirian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Analisis kemandirian pangan beberapa jenis komoditas secara tunggal menggunakan indikator yang sama dengan pengukuran kemandirian pangan secara agregat, namun demikian faktor pembagi rasio ketergantungan bukan ketersediaan atau kebutuhan pangan secara total tetapi ketersediaan atau kebutuhan domestik masing-masing jenis pangan yang dianalisis. Dengan ukuran seperti itu, kemandirian beberapa jenis atau komoditas pangan dapat diuraikan sebagai berikut (Tabel 4, 5 dan 6). Beras Rasio produksi dalam negeri terhadap ketersediaan beras nasional selama kurun waktu berkisar antara 88 persen hingga 101 persen. Ketersediaan beras dari produksi dalam negeri di bawah 90 persen terjadi pada tahun 1973, 1977, 1979 dan 1999, sementara ketersediaan beras dari produksi dalam negeri di atas 100 persen, terjadi pada tahun 1985, 1986 dan Di luar tahun-tahun tersebut ketersediaan produksi dalam negeri berkisar antara 90 persen hingga 99 persen. Dengan indikator kemandirian pangan seperti di atas, maka untuk komoditas beras menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan beras penduduknya sebagian besar masih ditentukan oleh produksi beras dalam negeri. Ketergantungan Indonesia pada pasar beras internasional selama kurun waktu rata-ratanya masih di bawah 10 persen. Walaupun secara persentase ketergantungan tersebut relatif kecil, namun mengingat jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 240 juta jiwa lebih, maka ketergantungan dalam volume maupun nilai impor beras secara psikologis sangat mengkhawatirkan. Walau bagaimanapun informasi tentang ketergantungan beras tersebut dapat dijadikan salah satu indikator dini dalam perumusan kebijakan perberasan nasional. Dalam hal ini fluktuasi besarnya ketergantungan pada pasar internasional dan adanya kecenderungan terjadi peningkatan dari waktu ke waktu merupakan indikator yang perlu dicermati dan diantisipasi cara mengatasinya. Jagung Dibandingkan dengan beras, perkembangan ketersediaan pangan jagung yang berasal dari produksi dalam negeri selama kurun waktu IV-82

9 kondisinya kurang begitu baik, karena menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Pada tahun 1970, produksi jagung dalam negeri mencapai 111 persen dari total ketersediaan jagung dalam negeri, namun berangsur-angsur mengalami penurunan hingga pada tahun 2002 hanya mencapai sekitar 89 persen dari total ketersediaan produksi dalam negeri. Bahkan kondisi sepuluh tahun terakhir ( ) produksi jagung dalam negeri menunjukkan kinerja yang paling buruk. Selama kurun waktu tersebut, rata-rata impor jagung hampir mencapai sepuluh persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi jagung dalam negeri tidak dapat mengimbangi laju peningkatan permintaan. Kondisi ini perlu diwaspadai, mengingat kebutuhan jagung tidak hanya untuk pangan saja, tetapi juga untuk bahan baku pakan ternak. Kedelai Dibandingkan dengan beras dan jagung, perkembangan kemandirian pangan kedelai merupakan yang terburuk. Kondisi swasembada kedelai yang terjadi selama kurun waktu ternyata tidak dapat dipertahankan dan bahkan kondisinya terus memburuk hingga tahun Sejak tahun 1976, ketergantungan pangan kedelai terhadap impor sudah mencapai 20 persen lebih, dan pada tahun 2002 sudah mencapai 68 persen. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat kedelai merupakan bahan baku utama untuk pembuatan tahu dan tempe, yang merupakan salah satu pangan olahan penyedia protein yang paling banyak dikonsumsi masyakat Indonesia, khususnya masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Apabila suatu saat harga kedelai di pasar internasional tiba-tiba melonjak, maka dikhawatirkan sebagian besar masyarakat Indonesia akan mengalami kekurangan protein. Daging Daging merupakan salah satu sumber pangan protein penting, sehingga ketersediaannya sangat dibutuhkan untuk memenuhi keragaman pangan masyarakat. Dari berbagai kajian empiris, konsumsi daging per kapita akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan atau daya beli masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketersediaan daging untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, selama kurun waktu , sebagian besar (sekitar 99 %) dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan demikian, secara umum juga dapat dikatakan bahwa kemandirian pangan daging Indonesia IV-83

10 selama ini cukup tinggi. Tingginya kemandirian pangan daging Indonesia karena didukung oleh peningkatan produksi yang sangat pesat dari daging ayam dan daging babi, sementara daging sapi walaupun menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun kecil sekali. Selama kurun waktu , produksi daging sapi meningkat relatif kecil, yaitu dari sekitar 200 ribu ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 368 ribu ton pada tahun Produksi daging sapi sempat mencapai 400 ribu ton pada tahun 1994, namun sesudahnya mengalami penurunan kembali. Sebagai konsekuensi dari lambatnya peningkatan produksi daging sapi dalam negeri, impor daging sapi mengalami kecenderungan peningkatan yang cukup besar. Secara absolut, selama kurun waktu , impor daging sapi mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sekitar 5 ribu ton pada tahun 1992, menjadi sekitar 16 ribu ton lebih pada tahun Walaupun secara persentase peningkatan impor daging sapi tersebut masih di bawah 10 persen dari total kebutuhan dalam negeri, namun kecenderungan peningkatannya perlu diwaspadai oleh pemerintah. Berbeda dengan daging sapi, perkembangan produksi daging ayam selama kurun waktu sangat mengesankan. Selama kurun waktu tersebut, produksi daging ayam meningkat lebih dari 13 kali, yaitu dari sekitar 60 ribu ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 842 ribu ton pada tahun Produksi daging ayam mencapai angka tertinggi pada tahun 1996 yaitu mencapai sekitar 946 ribu ton. Namun akibat krisis moneter pada tahun 1997, produksi daging ayam turun drastis menjadi sekitar 621 ribu ton pada tahun 1998 dan seiring dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri, produksi daging ayam kembali menunjukkan kinerja yang cukup baik mendekati sebelum krisis. Telur dan Susu Telur dan susu juga merupakan jenis pangan sumber protein yang cukup penting. Selama kurun waktu , produksi kedua jenis pangan tersebut secara absolut menunjukkan kecenderungan peningkatan yang cukup tinggi. Sama seperti halnya daging ayam, produksi telur selama kurun waktu menunjukkan peningkatan yang cukup spektakuler, yaitu dari sekitar 75 ribu ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 911 ribu ton pada tahun Peningkatan yang cukup tinggi tersebut tidak terlepas dari keberhasilan kebijakan program pembangunan peternakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya dalam pengembangan telur ayam ras. Keberhasilan peningkatan produksi telur dalam IV-84

11 negeri tersebut menjadikan Indonesia secara konsisten tetap mempertahankan swasembada telur selama kurun waktu Impor telur yang dilakukan selama kurun waktu yang sama relatif sangat kecil, yaitu hanya berkisar antara 0,2-0,7 persen dari total kebutuhan telur dalam negeri. Berbeda dengan keragaan kemandirian telur, pangan susu walaupun secara absolut menunjukkan peningkatan produksi, namun jumlahnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri. Selama kurun waktu , rata-rata produksi susu dalam negeri hanya mencukupi sekitar 30 persen dari total kebutuhan susu dalam negeri. Peningkatan produksi susu dalam negeri ternyata juga diikuti oleh peningkatan impor susu yang cukup tinggi. Selama kurun waktu , impor susu Indonesia mencapai 1000 ribu ton lebih. Jumlah tersebut juga pernah terjadi selama kurun waktu Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, mengingat pangan susu semakin dibutuhkan, khususnya sebagai pangan pengganti ASI bagi anak-anak usia balita. Ikan Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebenarnya mempunyai sumberdaya perikanan laut yang sangat besar. Disamping itu, Indonesia juga mempunyai sumberdaya perikanan darat yang cukup besar. Sumberdaya yang cukup besar tersebut, mestinya apabila dimanfaatkan secara optimal dapat menghasilkan pangan ikan yang cukup beragam dan dengan harga yang terjangkau bagi seluruh penduduk Indonesia. Produksi ikan dalam negeri selama kurun waktu menunjukkan peningkatan yang cukup besar, yaitu dari sekitar ribu ton pada tahun 1970 menjadi ribu ton pada tahun Dari sejumlah produksi tersebut, sebagian diekspor dan perkembangannya selama kurun waktu yang sama menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Namun di sisi lain, impor pangan ikan Indonesia selama kurun waktu juga menunjukkan peningkatan. Namun demikian, selama kurun waktu lima tahun terakhir neraca ekspor-impor pangan ikan masih menunjukkan surplus ekspor atau negatif net impor. IV-85

12 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KEMANDIRIAN PANGAN Kebijakan dan strategi peningkatan kemandirian pangan nasional dapat diidentikkan dengan kebijakan pangan yang mengacu pada pencapaian ketahanan pangan yang berkelanjutan. Paradigma ketahanan pangan berkelanjutan (SFSP) menegaskan bahwa ketersediaan pangan yang cukup adalah penting tetapi tidak memadai untuk menjamin ketahanan pangan. Walaupun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang dapat menderita kelaparan karena mereka tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan (Simatupang, 1999). Dalam kaitan ini kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup atau akses melalui pertukaran pasar atau non pasar (bantuan atau transfer) merupakan determinan terpenting dalam ketahanan pangan. Selain itu kerentanan atau vulnerabilitas (vulnerability) juga merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan. Vulnerabilitas dalam ketahanan pangan dibedakan menjadi dua elemen yaitu stabilitas dan keandalan atau reliabilitas. Stabilitas menunjukkan kerentanan internal pada akses dan ketersediaan pangan terhadap gangguan domestik seperti penurunan produksi pangan domestik dan goncangan ekonomi. Sementara itu reliabilitas mengacu pada kerentanan eksternal pada akses dan ketersediaan pangan terhadap perdagangan internasional (Sudaryanto, dkk. 2000). Mengacu pada konsep kerentanan seperti diuraikan di atas serta fakta keragaan dan perkembangan kemandirian pangan seperti telah dibahas sebelumnya, maka dapat dipilih beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, kebijakan yang mempunyai dampak sangat positif dalam jangka pendek adalah subsidi input, peningkatan harga output, dan perdagangan pangan termasuk intervensi distribusi. Kedua, pilihan kebijakan yang sangat positif dalam jangka panjang adalah perubahan teknologi, ekstensifikasi, jaring pengaman ketahanan pangan, investasi infrastruktur, kebijaksanaan makro pendidikan dan kesehatan. Ketiga, Kebijakan pembangunan sektor non pertanian memberikan dampak positif medium, kebijakan diversifikasi pertanian dan pekerjaan umum memberikan dampak positif yang rendah pada produksi pangan dalam jangka panjang. Berdasarkan kinerja kebijaksanaan masa lalu dan antisipasi pertumbuhan ekonomi dan karakteristik pilihan kebijaksanaan, maka prospek kebijaksanaan IV-86

13 pengembangan produksi pangan (khususnya tanaman pangan) adalah : Pertama, meningkatkan produksi dalam negeri melalui perbaikan mutu intensifikasi, perluasan areal, perbaikan jaringan irigasi, penyediaan sarana produksi yang terjangkau oleh petani, pemberian insenif berproduksi melalui penerapan kebijakan harga input maupun harga output; Kedua, pengembangan teknologi panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil; Ketiga, pengembangan varietas tipe baru (ideal plant tipe) untuk padi dan pengembangan varietas dengan produktivitas tinggi untuk komodita pasar lainnya. Tabel 1. Perkembangan Kemandirian Pangan Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Kalori, (Kkal/kapita/hari) Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor Total ,90 117,80 88,05 29, , ,88 78,79 91,43-12, , ,59 100,22 84,12 16, , ,04 204,02 88,00 116, , ,10 148,68 103,54 45, , ,69 108,84 101,65 7, , ,78 183,32 73,87 109, , ,85 207,75 80,56 127, , ,88 215,37 79,18 136, , ,73 211,32 98,15 113, , ,66 236,02 115,45 120, , ,69 181,65 56,55 125, , ,91 168,33 66,95 101, , ,36 180,87 87,57 93, , ,08 129,04 71,27 57, , ,92 94,09 195,87-101, , ,96 107,32 120,23-12, , ,58 139,58 159,14-19, , ,07 166,58 204,11-37, , ,82 173,02 209,82-36, , ,82 126,23 232,25-106, , ,51 177,05 250,35-73, , ,58 219,79 213,47 6, , ,45 192,52 295,55-103, , ,22 278,96 321,35-42, , ,48 405,24 182,30 222, , ,39 356,53 223,74 132, , ,19 290,06 418,66-128, , ,25 348,10 220,87 127, , ,30 474,98 435,19 39, , ,63 391,55 571,94-180, , ,65 304,52 679,55-375, , ,72 411,36 821,07-409, ,00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) IV-87

14 Tabel 1a. Perkembangan Pangsa Pemenuhan Kebutuhan Kalori Dari Beberapa Sumber Pangadaan, (%) Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor ,40 6,33 4,73 1, ,67 4,15 4,82-0, ,17 5,19 4,35 0, ,25 10,12 4,36 5, ,79 7,29 5,08 2, ,65 5,36 5,01 0, ,56 9,12 3,67 5, ,81 10,11 3,92 6, ,52 10,26 3,77 6, ,75 9,80 4,55 5, ,51 10,74 5,25 5, ,53 7,95 2,47 5, ,57 7,36 2,93 4, ,02 7,71 3,73 3, ,58 5,41 2,99 2, ,22 3,91 8,13-4, ,53 4,40 4,93-0, ,79 5,61 6,39-0, ,45 6,45 7,90-1, ,41 6,63 8,04-1, ,04 4,81 8,85-4, ,73 6,59 9,31-2, ,77 7,95 7,72 0, ,70 6,91 10,61-3, ,49 9,80 11,29-1, ,40 13,81 6,21 7, ,39 12,37 7,76 4, ,47 10,08 14,55-4, ,61 12,01 7,62 4, ,64 16,20 14,85 1, ,22 13,49 19,71-6, ,92 10,49 23,40-12, ,11 14,17 28,28-14,11 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) IV-88

15 Tabel 2. Perkembangan Pangsa Pemenuhan Kebutuhan Kalori Dalam Negeri, (%) Produk Rice (Milled Equivalent) 54,52 56,31 57,01 53,75 53,64 56,49 57,25 55,75 55,17 56,59 55,55 53,80 Maize 7,08 6,32 6,90 8,53 7,26 6,52 5,90 6,75 8,39 7,00 7,04 6,84 cereal Other 1,64 1,10 1,49 2,45 2,11 1,91 2,56 2,02 2,00 1,80 3,25 2,89 Starchy Roots 13,62 12,73 12,44 13,54 13,31 12,33 12,13 11,72 10,76 9,78 10,22 9,43 Sugarcrops 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sugar (Raw Equivalent) 3,59 3,93 3,63 3,29 3,82 4,00 4,26 4,54 4,65 4,89 4,95 5,08 Sugar & Sweeteners,other 2,49 2,51 2,43 2,00 2,36 2,02 2,05 1,78 1,62 1,43 1,21 1,89 Pulses 1,04 1,06 1,09 1,08 1,22 0,95 0,66 0,73 0,76 0,83 0,90 0,79 Treenuts 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 Soyabeans 2,02 2,03 1,95 1,77 2,00 2,05 2,33 1,95 2,30 2,52 2,12 2,91 Oilcrops,other 3,65 3,94 3,14 3,92 4,26 3,88 2,96 4,26 4,32 4,48 3,41 4,86 Vegetable Oils 4,14 3,96 3,83 3,68 4,05 4,06 4,57 4,78 4,68 5,06 5,43 5,63 Vegetables 0,93 0,94 0,92 0,87 0,86 0,88 0,66 0,61 0,64 0,65 0,66 0,63 Fruits - Excluding Wine 2,01 1,86 1,90 2,02 1,91 1,75 1,31 1,63 1,32 1,47 1,61 1,61 Stimulants 0,06 0,07 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,03 0,03 0,04 Spices 0,18 0,16 0,16 0,17 0,17 0,19 0,18 0,22 0,19 0,18 0,18 0,20 Alcoholic Beverages 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 0,04 0,05 0,04 0,04 0,05 0,05 Bovine Meat 0,47 0,45 0,44 0,44 0,47 0,48 0,49 0,49 0,47 0,43 0,42 0,41 Poultry Meat 0,10 0,11 0,12 0,11 0,12 0,13 0,13 0,13 0,14 0,16 0,19 0,19 Meat,other 0,64 0,70 0,73 0,60 0,60 0,56 0,62 0,59 0,56 0,64 0,60 0,65 Offals 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 Animal Fats 0,22 0,23 0,24 0,24 0,24 0,22 0,25 0,26 0,27 0,28 0,28 0,27 Milk Excluding Butter 0,25 0,26 0,25 0,25 0,26 0,22 0,27 0,32 0,34 0,31 0,35 0,31 Eggs 0,11 0,12 0,11 0,11 0,12 0,14 0,14 0,15 0,17 0,17 0,27 0,27 Fish, Seafood 1,09 1,06 1,03 0,98 1,01 1,01 1,07 1,09 1,07 1,14 1,15 1,12 Aquatic Products, Other 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 IV-89

16 Tabel 2. Lanjutan ,06 53,96 53,73 56,33 53,23 55,48 54,44 55,05 55,32 53,58 51,90 51,99 50,85 49,15 49,95 50,35 51,78 52,03 51,38 50,51 4,93 7,25 7,37 5,83 7,78 6,47 7,77 6,71 7,31 6,92 7,16 7,52 7,66 8,00 7,91 8,20 8,02 7,82 7,98 9,10 3,00 3,27 2,56 2,28 2,70 2,71 2,41 2,73 2,57 3,26 3,42 3,45 4,26 5,21 5,05 4,39 4,09 3,66 4,82 3,41 8,74 8,64 8,51 8,39 8,24 7,41 7,28 6,92 6,18 6,91 7,13 6,79 6,54 6,63 7,20 6,81 6,57 6,39 6,57 6,45 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,35 5,08 4,88 4,88 4,98 4,89 4,68 4,59 4,55 4,66 4,72 4,73 4,66 4,37 4,60 5,01 5,54 5,62 5,53 5,61 1,25 1,21 1,19 0,82 0,65 0,65 0,63 0,63 0,62 0,61 0,56 0,60 0,71 0,66 0,59 0,39 0,74 0,66 0,70 0,34 0,69 1,37 1,29 1,24 1,19 1,03 1,20 1,17 1,30 1,13 1,39 1,30 1,51 1,33 1,29 1,29 1,23 1,24 1,23 0,39 0,05 0,05 0,10 0,15 0,10 0,09 0,08 0,09 0,10 0,11 0,11 0,15 0,13 0,15 0,15 0,15 0,13 0,13 0,16 0,09 2,35 1,87 2,81 2,76 3,24 2,84 3,05 3,00 3,36 3,82 4,17 3,82 3,86 3,62 2,90 3,20 2,61 2,68 2,69 3,02 3,73 4,14 4,10 4,26 4,77 4,68 4,50 5,21 4,47 4,79 5,53 5,53 5,39 6,20 5,63 5,80 5,01 5,19 4,32 5,23 6,95 7,17 7,24 6,87 6,47 7,24 7,53 7,45 7,55 7,53 7,34 7,37 7,27 7,31 7,42 7,22 7,72 7,44 7,90 8,72 0,58 0,57 0,59 0,63 0,70 0,72 0,69 0,75 0,74 0,70 0,75 0,75 0,78 0,81 0,88 0,76 0,81 0,95 0,83 0,99 1,62 1,46 1,57 1,46 1,65 1,49 1,46 1,34 1,46 1,43 1,36 1,30 1,43 1,89 1,50 1,55 1,41 1,46 1,55 1,61 0,03 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,04 0,05 0,04 0,04 0,05 0,04 0,04 0,06 0,05 0,04 0,04 0,03 0,07 0,08 0,18 0,17 0,19 0,18 0,20 0,20 0,22 0,24 0,25 0,22 0,18 0,15 0,15 0,17 0,15 0,16 0,15 0,14 0,18 0,27 0,05 0,05 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03 0,04 0,03 0,03 0,04 0,04 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,41 0,35 0,36 0,36 0,35 0,34 0,33 0,34 0,34 0,33 0,36 0,41 0,38 0,34 0,38 0,39 0,36 0,37 0,37 0,35 0,20 0,25 0,25 0,28 0,29 0,31 0,31 0,33 0,37 0,40 0,36 0,45 0,51 0,52 0,57 0,53 0,36 0,40 0,41 0,45 0,67 0,84 0,94 1,00 1,08 1,05 1,10 1,13 1,21 1,22 1,19 1,24 1,26 1,05 1,10 1,15 1,09 1,26 0,72 0,79 0,09 0,10 0,11 0,11 0,12 0,12 0,12 0,12 0,13 0,13 0,13 0,15 0,15 0,14 0,16 0,15 0,12 0,14 0,13 0,13 0,28 0,32 0,32 0,33 0,35 0,32 0,34 0,33 0,33 0,36 0,35 0,38 0,37 0,33 0,34 0,34 0,32 0,38 0,25 0,25 0,34 0,34 0,32 0,30 0,30 0,29 0,27 0,26 0,26 0,28 0,29 0,29 0,31 0,34 0,32 0,31 0,27 0,39 0,37 0,35 0,28 0,28 0,31 0,31 0,35 0,35 0,32 0,32 0,33 0,33 0,36 0,34 0,40 0,41 0,44 0,43 0,29 0,29 0,38 0,42 1,17 1,25 1,20 1,18 1,20 1,23 1,21 1,21 1,18 1,19 1,16 1,21 1,33 1,24 1,39 1,34 1,31 1,27 1,39 1,37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) IV-90

17 Tabel 3. Perkembangan Pangsa Pemenuhan Kebutuhan Protein Dalam Negeri, (%) Produk Rice (Milled Equivalent) 50,83 52,34 52,63 50,18 50,24 52,26 52,64 51,80 50,10 50,89 49,91 47,55 51,71 Maize 8,50 7,64 8,30 10,37 8,79 7,85 7,05 8,16 9,90 8,20 8,31 8,05 5,94 cereal Other 2,10 1,41 1,90 3,17 2,72 2,45 3,30 2,67 2,57 2,27 4,10 3,64 3,87 Starchy Roots 3,91 3,76 3,58 3,89 3,84 3,64 3,56 3,41 2,82 2,55 2,40 2,26 2,09 Sugarcrops 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sugar (Raw Equivalent) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sugar & Sweeteners,other 0,29 0,31 0,28 0,24 0,29 0,24 0,24 0,24 0,20 0,17 0,15 0,25 0,15 Pulses 3,27 3,32 3,40 3,41 3,84 2,97 2,06 2,30 2,32 2,53 2,76 2,40 2,16 Treenuts 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,06 Soyabeans 8,99 9,07 8,70 7,95 8,96 9,11 10,33 8,76 10,06 10,92 9,28 12,68 10,47 Oilcrops,other 4,30 4,42 3,95 4,23 4,53 4,90 4,16 5,21 5,23 5,01 4,73 5,28 4,88 Vegetable Oils 0,00 0,00 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 Vegetables 1,87 1,92 1,85 1,74 1,72 1,76 1,36 1,28 1,31 1,31 1,32 1,24 1,18 Fruits - Excluding Wine 1,19 1,12 1,13 1,23 1,14 1,05 0,79 0,97 0,79 0,85 0,95 0,95 0,95 Stimulants 0,41 0,51 0,35 0,24 0,21 0,21 0,19 0,19 0,18 0,24 0,24 0,29 0,19 Spices 0,26 0,23 0,25 0,24 0,24 0,26 0,26 0,31 0,25 0,24 0,24 0,23 0,23 Alcoholic Beverages 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 Bovine Meat 1,58 1,51 1,50 1,55 1,62 1,64 1,67 1,61 1,49 1,39 1,36 1,32 1,37 Poultry Meat 0,41 0,49 0,53 0,51 0,52 0,55 0,57 0,57 0,59 0,70 0,84 0,85 0,89 Meat,other 1,19 1,25 1,30 1,11 1,12 1,07 1,12 1,11 1,04 1,18 1,10 1,14 1,21 Offals 0,70 0,72 0,73 0,68 0,71 0,71 0,74 0,76 0,70 0,70 0,71 0,70 0,74 Animal Fats 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 Milk - Excluding Butter 0,88 0,89 0,88 0,85 0,91 0,74 0,96 1,14 1,24 1,09 1,34 1,20 1,40 Eggs 0,39 0,43 0,40 0,41 0,45 0,50 0,50 0,57 0,59 0,61 0,97 0,97 1,06 Fish, Seafood 8,84 8,59 8,25 7,90 8,06 7,99 8,37 8,83 8,50 9,05 9,19 8,90 9,39 Aquatic Products, Other 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO(2002) IV-91

18 Tabel 3. Lanjutan ,84 46,06 48,46 44,32 47,28 45,84 46,48 45,50 43,82 41,78 42,03 40,24 39,28 40,56 40,83 44,04 43,94 42,88 42,72 8,62 8,54 6,80 8,76 7,48 8,87 7,69 8,17 7,65 7,78 8,23 8,18 8,62 8,66 8,98 9,21 8,87 8,99 10,38 4,18 3,18 2,86 3,27 3,36 2,95 3,37 3,06 3,85 3,99 4,03 4,87 6,02 5,92 5,13 5,02 4,45 5,81 4,17 2,20 2,15 2,14 2,02 1,92 1,88 1,90 1,78 1,72 1,76 1,72 1,64 1,70 1,77 1,65 1,76 1,65 1,70 1,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,14 0,14 0,10 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,05 0,06 0,08 0,07 0,06 0,03 0,08 0,08 0,08 0,03 4,24 3,90 3,75 3,49 3,08 3,55 3,49 3,76 3,27 3,94 3,70 4,19 3,75 3,70 3,68 3,67 3,67 3,60 1,17 0,06 0,14 0,17 0,11 0,11 0,09 0,11 0,12 0,15 0,14 0,19 0,15 0,18 0,18 0,18 0,17 0,17 0,20 0,13 8,26 12,08 11,91 13,53 12,16 12,92 12,73 13,90 15,65 16,80 15,49 15,30 14,47 11,76 12,97 11,11 11,25 11,23 12,78 4,91 4,95 4,91 5,36 4,88 4,77 5,08 4,84 5,00 5,28 5,07 4,93 5,61 5,42 5,32 4,74 4,78 4,63 4,91 0,00 0,00 0,02 0,02 0,00 0,02 0,00 0,02 0,02 0,02 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,18 1,21 1,34 1,43 1,49 1,38 1,48 1,45 1,35 1,44 1,45 1,45 1,55 1,71 1,47 1,64 1,90 1,64 2,07 0,86 0,90 0,84 0,93 0,86 0,83 0,76 0,80 0,78 0,74 0,71 0,77 1,02 0,82 0,84 0,81 0,84 0,89 0,92 0,20 0,18 0,14 0,19 0,24 0,21 0,23 0,21 0,20 0,24 0,24 0,24 0,34 0,27 0,29 0,33 0,26 0,36 0,50 0,20 0,23 0,21 0,24 0,26 0,28 0,28 0,29 0,25 0,21 0,17 0,17 0,19 0,17 0,18 0,17 0,17 0,22 0,35 0,02 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 1,16 1,15 1,17 1,10 1,10 1,03 1,06 1,04 1,02 1,06 1,21 1,12 1,02 1,16 1,19 1,13 1,17 1,17 1,09 1,12 1,11 1,24 1,24 1,38 1,37 1,46 1,59 1,73 1,53 1,92 2,14 2,19 2,41 2,26 1,59 1,76 1,82 2,02 1,55 1,60 1,67 1,80 1,75 1,81 1,85 1,90 1,88 1,83 1,92 1,84 1,58 1,69 1,77 1,72 1,93 1,17 1,26 0,77 0,78 0,82 0,82 0,84 0,83 0,86 0,89 0,92 0,90 1,02 1,02 0,97 1,07 1,04 0,89 1,01 0,92 0,95 0,06 0,06 0,08 0,07 0,07 0,07 0,07 0,09 0,08 0,08 0,08 0,08 0,07 0,08 0,08 0,08 0,09 0,05 0,06 1,39 1,23 0,99 0,91 0,88 0,83 0,71 0,65 0,76 0,79 0,79 0,86 0,99 0,90 0,87 0,78 1,31 1,08 1,07 1,02 1,11 1,13 1,22 1,25 1,14 1,13 1,13 1,14 1,23 1,17 1,34 1,39 1,50 1,47 1,02 1,01 1,32 1,50 10,01 9,29 9,23 9,08 9,53 9,23 9,18 8,72 8,67 8,40 8,78 9,40 8,95 10,17 9,76 10,02 9,67 10,24 10,24 0,00 0,02 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) IV-92

19 Tabel 4. Perkembangan Kemandirian Pangan Beras Indonesia, (%) Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor ,93 7,07 0,00 7, ,29 3,71 0,00 3, ,50 5,50 0,00 5, ,23 11,77 0,00 11, ,81 7,19 0,00 7, ,46 4,55 0,00 4, ,09 7,91 0,00 7, ,49 11,51 0,00 11, ,10 9,90 0,00 9, ,89 10,11 0,00 10, ,59 9,46 0,05 9, ,53 2,47 0,00 2, ,59 1,41 0,00 1, ,14 4,86 0,00 4, ,33 1,67 0,00 1, ,82 0,20 1,02-0, ,33 0,19 0,52-0, ,83 0,30 0,13 0, ,77 0,23 0,00 0, ,40 0,96 0,36 0, ,77 0,25 0,02 0, ,33 0,68 0,00 0, ,16 1,97 0,14 1, ,02 0,11 1,13-1, ,50 2,05 0,55 1, ,11 8,89 0,00 8, ,93 6,07 0,00 6, ,06 0,97 0,03 0, ,72 8,29 0,01 8, ,79 12,23 0,02 12, ,23 3,78 0,01 3, ,13 1,91 0,04 1, ,50 5,52 0,02 5,51 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) IV-93

20 Tabel 5. Perkembangan Kemandirian Pangan Jagung Indonesia, (%) Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor ,24 0,01 11,25-11, ,15 0,02 9,17-9, ,65 0,02 3,66-3, ,12 1,00 5,12-4, ,98 0,01 6,99-6, ,77 0,01 1,78-1, ,52 2,62 0,13 2, ,87 0,46 0,33 0, ,38 1,14 0,52 0, ,89 2,29 0,19 2, ,51 0,87 0,37 0, ,03 0,19 0,22-0, ,36 2,65 0,02 2, ,68 0,67 0,35 0, ,76 1,32 3,08-1, ,85 1,23 0,08 1, ,00 1,07 0,07 1, ,86 4,23 0,09 4, ,52 1,04 0,56 0, ,21 0,81 4,03-3, ,86 0,35 2,21-1, ,33 5,19 0,52 4, ,10 0,96 2,06-1, ,42 7,46 0,88 6, ,77 14,71 0,47 14, ,72 11,15 0,86 10, ,83 6,44 0,28 6, ,82 11,37 0,19 11, ,12 3,31 6,43-3, ,44 6,52 0,95 5, ,49 11,76 0,26 11, ,41 10,47 0,88 9, ,94 11,21 0,16 11,06 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) IV-94

21 Tabel 6. Perkembangan Kemandirian Pangan Kedelai Indonesia, (%) Tahun Produksi Impor Ekspor Net Impor ,80 0,00 0,80-0, ,09 0,05 0,14-0, ,56 0,03 0,59-0, ,11 0,02 7,13-7, ,68 0,03 0,71-0, ,08 2,93 0,00 2, ,30 24,78 0,08 24, ,44 14,56 0,00 14, ,53 17,47 0,00 17, ,38 20,62 0,00 20, ,61 13,39 0,00 13, ,10 33,90 0,01 33, ,09 40,91 0,00 40, ,76 29,24 0,00 29, ,74 34,26 0,00 34, ,23 25,77 0,00 25, ,32 22,68 0,00 22, ,19 19,82 0,00 19, ,17 26,84 0,00 26, ,10 22,91 0,01 22, ,33 26,68 0,01 26, ,81 30,21 0,02 30, ,04 27,12 0,16 26, ,27 29,78 0,05 29, ,17 33,85 0,02 33, ,46 26,56 0,02 26, ,05 33,00 0,05 32, ,78 31,26 0,04 31, ,19 20,82 0,01 20, ,52 48,51 0,03 48, ,38 55,71 0,09 55, ,18 57,99 0,17 57, ,37 67,72 0,09 67,63 Sumber : Food Balance Sheet, FAO (2002) D:\data\data\Anjak-2005 \Tinjauan Akhir IV-95

PERKEMBANGAN DAN PROSPEK KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL

PERKEMBANGAN DAN PROSPEK KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL PERKEMBANGAN DAN PROSPEK KEMANDIRIAN PANGAN NASIONA andewi P.S. Rachman, Sudi Mardianto, Pantjar Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 PENDAUUAN Indonesia

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan.  [10 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kedelai merupakan komoditas strategis yang unik tetapi kontradiktif dalam sistem usaha tani di Indonesia. Luas pertanaman kedelai kurang dari lima persen dari seluruh

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1)

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PROSPEK KETAHANAN PANGAN NASIONAL (ANALISIS DARI ASPEK KEMANDIRIAN PANGAN)

PROSPEK KETAHANAN PANGAN NASIONAL (ANALISIS DARI ASPEK KEMANDIRIAN PANGAN) PROSPEK KETAHANAN PANGAN NASIONAL (ANALISIS DARI ASPEK KEMANDIRIAN PANGAN) Handewi P.S. Rachman, Sri Hastuti Suhartini, dan Gatoet Sroe Hardono Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl.

Lebih terperinci

ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN

ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN Achmad Suryana 1 PENDAHULUAN Pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional sudah bukan lagi topik perdebatan. Pemerintah dan rakyat, yang diwakili

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan

Lebih terperinci

Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional.

Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional. Analisis Kebijakan 31 Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional. Pendahuluan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN P R O S I D I N G 69 KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN Condro Puspo Nugroho 1*, Fahriyah 1, Rosihan Asmara 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka mempertinggi taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian yang mempunyai peranan yang strategis dan penting adalah sektor tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung

Lebih terperinci

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA Oleh : I Wayan Rusast Abstrak Pertumbuhan ekonomi telah menggeser pola konsumsi dengan penyediaan produk pangan ternak yang lebih besar.

Lebih terperinci

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2010-2014 Oleh Prof. Dr.Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Disampaikan pada (KIPNAS) Ke-10 diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara agraris di dunia, peranan tanaman pangan juga telah terbukti secara

I. PENDAHULUAN. negara agraris di dunia, peranan tanaman pangan juga telah terbukti secara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pangan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memiliki peranan sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah,

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara mampu memenuhi sendiri kebutuhannya. Sehingga hal yang lazim disaksikan adalah adanya kerjasama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL ISBN : 979-3566-20-5 DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA KETAHANAN PANGAN NASIONAL Handewi P. Saliem Sri Hastuti Suhartini Adreng Purwoto Gatoet Sroe Hardono PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

Pangan Nasional Tahun

Pangan Nasional Tahun Ketahanan Pangan Nasional Tahun 23Pembangunan 2000-2004 Pendahuluan Ketahanan pangan merupakan salah satu isu paling strategis dalam pembangunan suatu negara, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia

Lebih terperinci

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010 Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010 Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan memperingatkan adanya penyusutan luas panen lahan padi nasional. Tahun ini saja

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN Diah Winiarti Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sematera Utara Abstract This study aimed to analysis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia, karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per

Lebih terperinci

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN P R O S I D I N G 125 ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG Farah Ainun Jamil 1, Pudji Purwanti 2, Riski Agung Lestariadi 2 1 Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 I. LATAR BELAKANG Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan menetapkan bahwa Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mengadakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian harus dipandang dari dua pilar utama secara terintegrasi dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm agriculture/agribusiness)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut,

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KONSUMSI PROTEIN HEWANI DI INDONESIA (Analisis Hasil Susenas ) Nugraha Setiawan

PERKEMBANGAN KONSUMSI PROTEIN HEWANI DI INDONESIA (Analisis Hasil Susenas ) Nugraha Setiawan PERKEMBANGAN KONSUMSI PROTEIN HEWANI DI INDONESIA (Analisis Hasil Susenas 1999-2004) Nugraha Setiawan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006 KATA PENGANTAR Mulai sekitar pertengahan tahun 2005

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci