mengambil peran lebih aktif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "mengambil peran lebih aktif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di"

Transkripsi

1 kontrol. Modul Aku Anak Baik dinyatakan valid untuk meningkatkan moral reasoning pada anak usia dini usia 5-6 tahun. Kata Kunci: moral reasoning, repeated interactive read aloud, validitas Permasalahan moral yang terjadi di Indonesia saat ini terbilang cukup kompleks. Permasalahan moral adalah permasalahan yang berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dikatakan berperilaku baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada di lingkungan masyarakat. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidahkaidah yang ada, maka ia akan dikatakan buruk secara moral (Soenarjati & Cholisin, 1989). Penyimpangan perilaku secara moral tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak yang berada pada usia sekolah di Indonesia, baik pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Dasar (SD) juga sering melakukan perilaku yang kurang atau tidak bermoral. Sepanjang awal tahun sampai akhir bulan oktober tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) telah mencatat ada sejumlah kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak usia sekolah di Indonesia, dengan rincian sebagai berikut : 1) kasus adalah kasus kekerasan, seperti pemerasan dan pencurian; 2) 229 kasus tawuran; 3) dan sisanya berupa kasus asusila, penggunaan minuman keras dan obat-obatan terlarang (Ridwan, 2013). Banyaknya pelanggaran moral yang dilakukan oleh anak-anak di Indonesia salah satunya disebabkan oleh lemahnya moralitas kolektif masyarakat. Lemahnya moralitas menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) dapat disebabkan oleh kurangnya pendidikan moral baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) pendidikan moral sebaiknya dimulai sejak usia dini.pendidikan moral sejak usia dini merupakan upaya preventif agar kelak ketika dewasa mereka dapat mengontrol perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Seorang anak dapat memahami nilai-nilai moral dan membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai moral tersebut, jika mereka diberi kesempatan untuk dapat 2

2 mengambil peran lebih aktif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat (Colby & Kohlberg, 1987). Salah satu lingkungan yang dapat memfasilitasi anak untuk dapat mengambil peran lebih aktif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan untuk bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat adalah sekolah. Dengan proses pendidikan moral di sekolah, maka moral anak dapat berkembang lebih cepat (Colby & Kohlberg, 1987). Dalam hal pendidikan moral terhadap anak usia dini, maka pra-sekolah TK dapat menjadi lingkungan pertama di luar lingkungan keluarga yang dapat memfasilitasi berkembangnya moral anak (Rahim & Rahiem, 2012). Akan tetapi, belum semua pra-sekolah TK di Indonesia memberikan pendidikan moral di dalam proses pembelajarannya (Rahim & Rahiem, 2012). Berdasarkan pengamatan peneliti selama Praktek Kerja Profesi pada jenjang pendidikan prasekolah TK dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 12 orang guru TK di Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa guru belum memfasilitasi siswa untuk bertukar pendapat atau perspektif mengenai nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat dan alasan-alasan mengapa suatu perilaku dikatakan bermoral baik. Upaya yang selama ini dilakukan adalah dengan memberikan pengarahan, pembiasaan, dan larangan untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itulah pendidikan moral di lingkungan sekolah, khususnya pada jenjang pendidikan pra-sekolah TK, masih dirasakan perlu untuk diberikan. Pembahasan mengenai pendidikan moral, menurut Gibbs (2003) akan melibatkan 3 konsep, yang masing-masing merupakan komponen terpisah, yaitu : 1) Moral behavior, adalah bagaimana seseorang bertingkahlaku, apakah tingkahlaku tersebut bermoral atau tidak. 2) Moral emotion atau moral feeling, melibatkan perasaan atau bagaimana seseorang merasakan, apakah merasa bersalah, sedih, dan lain-lain. 3) Moral judgement, adalah suatu keputusan yang melibatkan pikiran atau penalaran yang digunakan seseorang dalam bertindak atau alasan mengapa seseorang memilih sesuatu. 3

3 Dari ketiga komponen di atas, maka komponen yang terpenting dari pendidikan moral, adalah mengajarkan logika-logika dasar atau moral judgment untuk mengevaluasi mengapa suatu perilaku dikatakan baik atau buruk (Benoit, 2009; Mercier, 2011; Nunner & Winkler, 2007). Begitu pula menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987), bahwa hal terpenting dari pendidikan moral adalah pemberian pemahaman logika-logika dasar mengenai perilaku yang baik dan buruk. Suatu logika ideal dasar yang digunakan untuk mengevaluasi apakah suatu perilaku bernilai baik atau buruk disebut oleh Kolhberg sebagai moral reasoning atau penalaran moral (Colby & Kohlberg, 1987). Dengan memiliki moral reasoning seseorang akan memiliki landasan berpikir yang kuat untuk membuat sebuah keputusan untuk berperilaku baik atau buruk. Dengan demikian, Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) menegaskan bahwa moral reasoning dapat disebut sebagai prediktor dalam berperilaku. Pernyataan Kohlberg (Colby& Kohlberg, 1987) yang menegaskan bahwa moral reasoning dapat dijadikan sebagai prediktor dalam berperilaku juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Malti, Gasser & Buchmann (2009). Melalui penelitiannya yang berjudul Aggressive and Prosocial Children s Emotion Attributions and Moral Reasoning, Malti, Gasser & Buchmann (2009) mendapatkan hasil bahwa anak usia dini yang memiliki perilaku agresif cenderung memberikan moral reasoning yang berorientasi pada hukuman atau sanksi. Jika mengacu pada konsep moral reasoning Kohlberg, dapat disimpulkan bahwa anak usia dini yang memiliki perilaku agresif cenderung memiliki moral reasoning yang rendah (pada tahap punishment and obidience orientation) dibandingkan dengan anak yang menunjukkan perilaku prososial (Malti, Gasser & Buchmann, 2009). Menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987), ada tiga tahapan moral reasoning yang dilalui manusia, yaitu : 1. Moralitas Prakonvensional a. Tingkat I (Punishment and obedience orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh hukuman. 4

4 b. Tingkat II (Relativism-intrumental orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh imbalan yang didapatkan, alasan timbal balik, dan kepentingan pribadi. 2. Moralitas Konvensional a. Tingkat 3 (Interpersonal norms orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh norma interpersonal. b. Tingkat 4(Social system morality orientation). Baik dan buruk suatu perilaku ditentukan oleh peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. 3. Moralitas Pascakonvensional a. Tingkat 5 (Social legality/contract orientation). Baik dan buruk perilaku ditentukan oleh kontrak sosial, hak-hak bersama, dan ukuranukuran yang telah diuji dan disepakati oleh masyarakat. b. Tingkat 6 (Universal ethic principles orientation). Baik dan buruk ditentukan oleh keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, mengacu pada pemahaman logis universalitas dan konsistensi. Pada hakikatnya moral reasoning adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan berkembang melalui pertukaran pandangan dengan orang-orang di lingkungan sekitar (Colby & Kohlberg, 1987). Colby & Kohlberg (1987) juga meyakini bahwa semakin cepat anak diajarkan untuk memahami logika moral maka akan semakin cepat pula perkembangan logika moralnya sebagai dasar untuk berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai moral yang berlaku di lingkungan masyarakat. Hasil penelitian mengenai perspective-taking menyatakan bahwa anakanak di atas empat tahun sudah mampu memahami pendapat orang lain, mampu mengungkapkan pendapatnya (Hong, 2004; Wu & Keysar, 2007). Begitupula menurut Thompson (2011), siswa taman kanak-kanak yang berumur di bawah lima tahun sudah cukup mampu untuk memahami nilai-nilai moral. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Hooli dan Al-Shammari (2009) menunjukkan bahwa siswa taman kanak-kanak sudah mampu memberikan pendapat atau penilaian terhadap situasi yang melibatkan nilai-nilai moral. 5

5 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mengajarkan seseorang mengenai nilai-nilai moral dan logika moral (moral reasoning), sudah dapat dimulai sejak usia dini. Moral reasoning seorang anak dapat berkembang jika terjadi suatu proses dimana anak dapat berperan aktif dalam bertukar pendapat dengan teman sebaya mengenai nilai-nilai moral dan moral reasoning yang melandasinya, serta ada peran seseorang yang dapat mengungkapkan moral reasoning yang lebih tinggi tahapannya dari tahapan moral reasoning anak-anak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kolhberg (Colby & Kohlberg, 1987) bahwa lingkungan yang dapat memfasilitasi proses tersebut adalah sekolah. Hal ini dikarenakan lingkungan sekolah dapat memfasilitasi anak bertemu dengan teman sebaya untuk bertukar pendapat secara langsung mengenai nilai moral dan moral reasoning yang melandasinya, serta ada peran guru yang dapat memfasilitasi anak untuk melihat dan memahami moral reasoning yang tahapannya lebih tinggi daripada yang dimiliki anak. Kohn (dalam Heydenberk, Heydenberk & Bailey, 2003) menyatakan bahwa dengan memiliki pemahaman moral reasoning yang lebih tinggi maka seorang anak dapat memahami logika moral yang lebih baik pula berdasarkan nilai-nilai yang berlaku universal sehingga anak dapat berperilaku yang baik sesuai nilai-nilai tersebut. Selain itu, dengan moral reasoning yang lebih baik, maka ia akan cenderung mematuhi peraturan meskipun tidak diawasi oleh orangtua atau guru. Metode yang tepat dan menarik sangat dibutuhkan dalam mengajarkan dan mengembangkan moral reasoning kepada anak-anak. Dengan metode yang tepat, maka moral reasoning seorang anak yang mulanya berada pada tahapan prakonvensional, yaitu punishment & obedience orientation dan relativismintrumental orientation, dapat berkembang atau meningkat ke tahapan konvensional. Berdasarkan pengamatan peneliti selama Praktek Kerja Profesi pada jenjang pendidikan pra-sekolah TK dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 12 orang guru TK Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, diketahui bahwa 6

6 di dalam proses pendidikan moral di sekolah guru belum menggunakan metode yang dapat memfasilitasi anak untuk secara aktif mengetahui dan memahami berbagai nilai moral dan logika yang mendasarinya. Begitu pula menurut Rahim dan Rahiem (2012) bahwa masih sedikit pra-sekolah TK di Indonesia yang menggunakan metode yang tepat untuk melakukan pendidikan moral. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mencari metode yang tepat untuk memfasilitasi anak untuk secara aktif mengetahui dan memahami berbagai nilai moral dan logika yang mendasarinya Penelitian yang sebelumnya mengenai metode stimulasi untuk perkembangan moral reasoning pada anak usia pra-sekolah TK sudah pernah dilakukan oleh Rachmawati (2002), yaitu mengenai metode dongeng untuk meningkatkan penalaran moral pada anak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat penalaran moral antara subjek yang diberi perlakuan dongeng dengan yang tidak mendapatkan perlakuan dongeng. Tidak adanya perbedaan tingkat penalaran tersebut disebabkan karena perlakuan mendongeng ini tidak dilanjutkan dengan sesi diskusi sehingga dongeng yang diberikan belum berhasil memberi stimulasi kognitif pada subjek. Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Hong (2003), yang berupaya mengajarkan moral reasoning pada siswa pra-sekolah TK di Korea melalui diskusi kelompok mengenai situasi problematik. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa siswa sudah dapat mengungkapkan pendapat dalam diskusi dan mampu menemukan solusi dari permasalahan moral yang mereka diskusikan. Dengan demikian Hong (2003) menyarankan agar sejak usia prasekolah TK anak-anak lebih sering dilibatkan dalam diskusi mengenai situasi yang problematik untuk meningkatkan perkembangan moral reasoning. Mengacu dari hasil penelitian-penelitian tersebut, maka untuk meningkatkan moral reasoning anak-anak, selain dibutuhkan suatu metode yang tepat, juga harus diiringi dengan diskusi yang dapat menstimulasi kognitif anak. Menurut Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987) diskusi yang dimaksud adalah diskusi dilema moral. Melalui diskusi dilema moral seorang anak belajar memahami bagaimana moral yang baik, melihat beberapa pilihan perilaku, alasan- 7

7 alasan untuk berperilaku, konsekuensi dari masing-masing pilihan, dan bagaimana membuat pilihan berdasarkan kesadaran akan pilihan perilaku dan konsekuensi yang menyertainya (Simon & Olds, dalam Hunter & Eder, 2010). Proses perkembangan moral reasoning ini dapat dijelaskan melalui equilibrium model (Colby & Kohlberg, 1987). Peningkatan moral reasoning terjadi karena adanya proses diskusi dilema moral. Pada diskusi tersebut seseorang diminta untuk seolah-olah menjadi tokoh utama di dalam cerita dilema moral. Dengan seolah-olah mengalami situasi moral yang dilematis (experiencing the moral dilemma), seseorang dapat menggunakan perannya secara lebih aktif untuk mengungkapkan sikap yang akan ia lakukan dan moral reasoning yang melandasinya. Di dalam proses tersebut seseorang akan melihat berbagai macam perspektif moral dengan moral reasoning yang berbeda pula tingkatannya, sehingga terjadilah kondisi disekuilibrium. Disekuilibrium berfungsi untuk menimbulkan konflik kognitif dan sosial. Konflik kognitif terjadi karena prinsip moral yang dimiliki tidak dapat digunakan lagi pada situasi baru, dan konflik sosial pun terjadi karena prinsip moral yang dimiliki berbeda dengan prinsip moral yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kondisi inilah seseorang akan menggunakan penalaran untuk memberikan penjelasan, dan ini merupakan usaha seseorang untuk mendapatkan suatu keadaan seimbang (ekuilibrium). Ekuilibrium tercapai karena pada individu ada proses pengaturan diri (self-regulatory process) untuk memelihara keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Pada kondisi yang demikian, Johnson & Johnson (dalam Heydenberk, Heydenberk, & Bailey, 2003) menyatakan bahwa seseorang dapat menangkap perspektif orang lain (taking other perspective) dan berpikir analitis untuk melihat logika-logika yang mendasari perspektif tersebut. Berikut adalah gambar proses perkembangan moral reasoning: 8

8 Diskusi dilema moral Aware of other s perspective Sikap moral sama, serta logika moral sama Sikap moral sama, serta logika moral berbeda Sikap moral berbeda, serta logika moral berbeda Disequilibrium Konflik kognitif & sosial Self regulatory : Asimilasi dan akomodasi Equilibrium Gambar 1. Proses Perkembangan Moral Reasoning Untuk melaksanakan diskusi yang bertemakan cerita dilema moral kepada anak-anak, maka dibutuhkan suatu media pengantar yang dapat menyampaikan cerita dengan menarik. Dengan cara yang demikian maka anakanak akan tertarik, mampu memusatkan perhatian, memahami isi cerita, berpikir logis untuk menyelesaikan suatu masalah atau tugas, dan mampu mengungkapkan pendapatnya (Hong, 2004). Cerita merupakan media pengantar yang potensial dan berkontribusi secara signifikan dalam pendidikan moral (Rahim & Rahiem, 2012). Melalui cerita seseorang dapat melihat contoh peran yang baik atau buruk, peraturan dan hukuman, belajar merefleksikan dirinya pada karakter di dalam cerita, belajar mengenai logika-logika moral dan belajar memecahkan suatu masalah (Hunter & Eder, 2010). Selain itu, melalui cerita seseorang dapat belajar memahami pendapat orang lain, berempati dan belajar keterampilan sosial (Verden, 2005; Wright, Bcigalupa, Black & Burton, 2008). 9

9 Agar suatu cerita lebih menarik, maka seorang pencerita dapat menggunakan media visual berupa gambar sehingga permasalahan yang dihadirkan tampak lebih nyata dan mudah dipahami oleh anak-anak (Hong, 2004). Selain itu, agar anak-anak dapat terlibat aktif dalam diskusi moral setelah sesi bercerita, maka tema cerita yang disajikan haruslah cerita yang biasa dialami, atau dilihat dan atau didengar oleh anak-anak di lingkungan kesehariannya (Hong, 2004; Muthukrishna & Govender, 2011). Tidak hanya media yang digunakan dalam bercerita dan tema cerita yang harus dipertimbangkan. Dalam bercerita pun harus menggunakan teknik yang tepat. Menurut Berk & Winsler (dalam Hong, 2003), untuk mengembangkan moral reasoning anak maka suatu teknik bercerita yang digunakan harus memberikan kesempatan kepada anak untuk menginterpretasi apa yang terjadi di dalam gambar, mengarahkan anak untuk melihat penyebab dari kejadian, memberikan pertanyaan yang membuat mereka dapat melihat perspektif seseorang dalam berperilaku, mengajak anak melihat akibat dari suatu perbuatan terhadap orang lain, serta mengajak anak untuk mencari solusi atas permasalahan. Ada berbagai macam teknik bercerita untuk anak-anak. Salah satu teknik bercerita yang sering digunakan di pra-sekolah TK untuk mengajarkan perilaku sosial yang baik adalah read aloud (Duursma, Augustyn, & Zuckerman, 2010). Selain itu, menurut Schickedanz (1999) dan Trelease (2011) read aloud dapat digunakan sebagai metode untuk menyampaikan masalah sosial, mengajarkan perilaku moral yang baik, dan cara memecahkan masalah sosial atau moral. Konsep mengenai read aloud, menurut Christenson (2009), adalah suatu kegiatan membacakan cerita dengan suara yang lantang, diiring intonasi dan mimik, menggunakan media buku cerita. Teknik berceritanya adalah pendengar diajak untuk menggunakan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) untuk memahami isi cerita dan pendengar diajak untuk berpikir analitis dalam menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lainnya (think aloud). Repeated interactive read aloud adalah salah satu metode pengembangan dari read aloud yang bertujuan untuk mengajak siswa terlibat aktif (interactive) di dalam cerita dengan cara menggunakan pengetahuan sebelumnya mengenai tema 10

10 cerita untuk mengintepretasi cerita, memahami isi cerita, sehingga terbentuklah pemahaman yang komprehensif mengenai suatu cerita. Tidak hanya itu, dengan adanya pengulangan (repeated) maka memungkinkan pendengar untuk membangun pemikiran kritis dan analitisnya untuk melihat hubungan sebabakibat di dalam suatu cerita. Selain itu, melalui metode repeated interactive read aloud anak-anak diberi kesempatan untuk berdiskusi mengungkapkan pendapatnya mengenai cerita, tokoh, dan alasan yang melandasi pendapatnya tersebut. Melalui diskusi tersebut anak-anak dapat belajar untuk memahami perspektif atau pandangan orang lain (Christenson, 2009; Mcgee & Schickedanz, 2007). Oleh karena itu, menurut Lane & Wright (2007), repeated interactive read aloud adalah salah satu metode yang dinilai paling efektif dalam menyampaikan pesan atau makna dari suatu cerita. Melalui teknik bercerita repeated interactive read aloud maka suatu cerita yang mengandung dilema moral akan lebih mudah dipahami. Selain itu, anak juga akan lebih mudah menganalisis hubungan sebab dan akibat dari perilaku yang dilakukan tokoh dalam cerita karena cerita disampaikan secara interaktif dan berulang-ulang. Metode repeated interactive read aloud juga memfasilitasi anak untuk berdiskusi. Pada diskusi tersebut anak diminta untuk seolah-olah menjadi tokoh utama di dalam cerita dilema moral. Dengan seolaholah mengalami situasi moral yang dilematis (experiencing the moral dilemma), anak dapat menggunakan perannya secara lebih aktif untuk mengungkapkan sikap yang akan ia lakukan dan moral reasoning yang melandasinya. Melalui diskusi ini anak dapat dihadapkan pada berbagai perspektif sehingga dapat menstimulasi terjadinya disekuilibrium. Pada kondisi disekuilibrium ini akan terjadi konflik kognitif, dimana prinsip moral yang dimiliki tidak dapat dipakai pada situasi baru di dalam cerita. Selain itu, terjadi pula konflik sosial, dimana prinsip moral yang dimiliki berbeda dengan teman di dalam kelompok diskusi. Untuk mengatasi hal ini maka anak melakukan self regulatory dengan cara menggunakan penalarannya untuk melakukan asimilasi atau akomodasi dalam rangka mencapai kondisi ekulibrium. Dalam kondisi yang demikian maka anak dapat memahami dan menangkap perspektif orang lain (taking other perspective) dengan moral 11

11 reasoning yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknike repeated interactive read aloud dapat meningkatkan moral reasoning anak. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merancang sebuah modul bercerita dengan teknik repeated interactive read aloud sebagai salah satu alternatif metode stimulasi. Untuk selanjutnya modul bercerita repeated interactive read aloud akan disebut dengan modul bercerita Aku Anak Baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan validasi modul bercerita Aku Anak Baik untuk meningkatkan moral reasoning anak usia dini. Validasi dilakukan dengan meminta penilaian dari para ahli dan melakukan uji coba modul. Uji coba modul dilakukan di dua sekolah TK, dimana pada satu sekolah akan diberikan intervensi bercerita Aku Anak Baik dan di sekolah lain tidak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan TK untuk menanamkan nilai-nilai moral dan moral reasoning menggunakan metode bercerita repeated interactive read aloud. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perubahan peningkatan moral reasoning pada subyek yang mendapatkan perlakuan bercerita Aku Anak Baik (kelompok eksperimen) dibandingkan subyek yang tidak mendapatkan perlakuan (kelompok kontrol). Tingkat moral reasoning pada kelompok eksperimen akan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan bercerita. METODE Variabel Penelitian Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah : 1. Variabel tergantung : Moral reasoning Moral reasoning merupakan logika-logika yang digunakan untuk mengevaluasi apakah suatu perilaku baik atau buruk, dan benar atau salah. Moral reasoning diukur menggunakan Instrumen Pengukuran Moral Reasoning dari Kohlberg (Colby & Kohlberg, 1987). Berikut ini adalah definisi moral reasoning pada tiap tahapan menurut Kohlberg : 12

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA oleh: Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA ANAK oleh: Triana Noor Edwina D.S Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

Sejak tingkat taman kanak-kanak, permasalahan perilaku anak sudah mulai dikeluhkan. Studi yang dilakukan oleh Fahrunnisa (2014) menunjukkan bahwa 91

Sejak tingkat taman kanak-kanak, permasalahan perilaku anak sudah mulai dikeluhkan. Studi yang dilakukan oleh Fahrunnisa (2014) menunjukkan bahwa 91 Sejak tingkat taman kanak-kanak, permasalahan perilaku anak sudah mulai dikeluhkan. Studi yang dilakukan oleh Fahrunnisa (2014) menunjukkan bahwa 91 guru TK di Yogyakarta menghadapi perilaku bertengkar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia sekolah Menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja yang berkisar antara 12-15 tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan bahwa secara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA Menurut Santrock (1999), moral development adalah tahap perkembangan yang menekankan pada aturan dan nilai-nilai tentang apa yang harus dilakukan oleh individu pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Remaja 2.1.1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescare (kata menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Remaja adalah suatu masa yang dianggap

Lebih terperinci

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM 0 KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM (Kompasiana, 2010) Melihat kondisi bangsa saat ini dimana banyak terjadi penyimpangan moral di kalangan remaja dan generasi muda, maka perlu

Lebih terperinci

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK Artikel MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK Oleh: Drs. Mardiya Masalah moral dan agama merupakan salah satu aspek penting yang perlu di tumbuh kembangkan dalam diri anak. Berhasil tidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan, Desain, dan Teknik Pengumpulan Data 1. Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah. Kebudayaan Indonesia seringkali disebut sebagai bagian dari budaya timur, dimana kebudayaan tersebut menjungjung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti

BAB II LANDASAN TEORI. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti BAB II LANDASAN TEORI A. Penalaran Moral 1. Moral Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Daradjad (1983) mengemukakan bahwa moral adalah kelakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development/R&D). Menurut Sugiyono (2012)

Lebih terperinci

PERANAN METODE BERCERITA DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MORAL PADA ANAK DI KELOMPOK B2 TK PERTIWI PALU ABSTRAK

PERANAN METODE BERCERITA DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MORAL PADA ANAK DI KELOMPOK B2 TK PERTIWI PALU ABSTRAK PERANAN METODE BERCERITA DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MORAL PADA ANAK DI KELOMPOK B2 TK PERTIWI PALU Mega Yulianti 1 ABSTRAK Pengembangan nilai moral adalah pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan selanjutnya (PKBTK, 2004:4). Didalam Undang-Undang. dijelaskan bahwa pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-Kanak) adalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan selanjutnya (PKBTK, 2004:4). Didalam Undang-Undang. dijelaskan bahwa pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-Kanak) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan pendidikan prasekolah yang mempersiapkan anak didik memasuki pendidikan Sekolah Dasar, bertujuan untuk membantu meletakkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Etika Keraf (1998) dalam Bakri dan Hasnawati (2015) menyebutkan bahwa ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. a. Etika Deontologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi utama bagi seorang anak untuk mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan anak untuk menerjemahkan

Lebih terperinci

S A N T I E. P U R N A M A S A R I, M. S I, P S I K O L O G F A K U L T A S P S I K O L O G I U M B Y

S A N T I E. P U R N A M A S A R I, M. S I, P S I K O L O G F A K U L T A S P S I K O L O G I U M B Y Perkembangan Moral S A N T I E. P U R N A M A S A R I, M. S I, P S I K O L O G F A K U L T A S P S I K O L O G I U M B Y Pendahuluan Saat kita melihat anak-anak bermain maka akan tampak bagaimana perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di Indonesia terjadi beberapa permasalahan dalam berbagai bidang. Beberapa kasus terjadi di bidang hukum, politik dan tata pemerintahan. Dalam ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki potensi diri serta perilaku yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimen, bisa juga diartikan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimen, bisa juga diartikan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan atau eksperimen, bisa juga diartikan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa

Lebih terperinci

Peranan Keluarga Dalam Menginternalisasikan Nilai Moral Untuk Anak Usia Dini

Peranan Keluarga Dalam Menginternalisasikan Nilai Moral Untuk Anak Usia Dini Peranan Keluarga Dalam Menginternalisasikan Nilai Moral Untuk Anak Usia Dini Oleh: Wuri Wuryandani, M.Pd. Jurusan PPSD FIP UNY Abstrak Anak merupakan investasi masa depan yang harus dikembangkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini disebut juga sebagai usia emas atau golden age. Pada masamasa

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini disebut juga sebagai usia emas atau golden age. Pada masamasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia dini disebut juga sebagai usia emas atau golden age. Pada masamasa ini merupakan masa kritis dimana anak membutuhkan rangsanganrangsangan yang tepat untuk mencapai

Lebih terperinci

PERANAN KELUARGA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK USIA DINI Oleh: Wuri Wuryandani, (Jurusan PPSD FIP UNY)

PERANAN KELUARGA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK USIA DINI Oleh: Wuri Wuryandani, (Jurusan PPSD FIP UNY) 76 Peran Keluarga Dalam Menanamkan Nilai Moral Pada Anak Usia Dini...Wuri W.. PERANAN KELUARGA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK USIA DINI Oleh: Wuri Wuryandani, (Jurusan PPSD FIP UNY) ABSTRAK Anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya fitrah yang suci. Sebagaimana pendapat Chotib (2000: 9.2) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya fitrah yang suci. Sebagaimana pendapat Chotib (2000: 9.2) bahwa 26 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling penting dalam perkembangan manusia. Pada fase inilah seorang pendidik dapat menanamkan prinsip-prinsip yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Hurlock (1980:10) mengemukakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITASS KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK DENGAN PENALARAN MORAL PADA PERIODE ANAK AKHIR DI SEKOLAH DASAR PERCOBAAN NEGERI SABANG BANDUNG

HUBUNGAN EFEKTIVITASS KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK DENGAN PENALARAN MORAL PADA PERIODE ANAK AKHIR DI SEKOLAH DASAR PERCOBAAN NEGERI SABANG BANDUNG HUBUNGAN EFEKTIVITASS KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK DENGAN PENALARAN MORAL PADA PERIODE ANAK AKHIR DI SEKOLAH DASAR PERCOBAAN NEGERI SABANG BANDUNG WAFDA SHALANNANDIA Dalam bimbingan Dr. Poeti Joefiani, M.Si

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah proses. pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya

BAB I PENDAHULUAN. Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah proses. pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah proses pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya pemberian makna atas data sensori baru

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas dapat

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN Dahlia Novarianing Asri* Tyas Martika Anggriana* Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika BAB III METODELOGI PENELITIAN Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika yang jelas tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapainya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang berusia nol tahun atau sejak lahir hingga berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal di

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERSONAL DAN SOSIAL FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SOSIAL PERKEMBANGAN PERASAAN DAN EMOSI PERKEMBANGAN MORAL

PERKEMBANGAN PERSONAL DAN SOSIAL FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SOSIAL PERKEMBANGAN PERASAAN DAN EMOSI PERKEMBANGAN MORAL Disusun oleh: PERKEMBANGAN PERSONAL DAN SOSIAL FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SOSIAL PERKEMBANGAN PERASAAN DAN EMOSI PERKEMBANGAN MORAL No Tahap Perkembangan 1. Kepercayaan vs ketidakpercayaan TAHAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pendidikan di Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pendidikan di Indonesia harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkualitas harus berlandaskan tujuan yang jelas, sehingga dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pendidikan di Indonesia harus sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari bantuan dan mengadakan interaksi sosial.

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari bantuan dan mengadakan interaksi sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makluk sosial yang mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan sosial dengan orang lain. Selain sebagai makhluk individu yang memenuhi kebutuhannya

Lebih terperinci

MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI

MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL Menurut perspektif pengembangan kognitif, teori kedewasaan dan pengalaman sosial menjurus kepada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. Hakikat Keterampilan Menyimak a. Pengertian Keterampilan Menyimak Menyimak adalah salah satu kemampuan untuk berkomunikasi selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tempat ibadah merupakan salah satu wadah dimana orang-orang berkumpul dengan teman-teman seiman, memuji, dan menyembah Tuhan yang mereka percayai. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tahun fenomena kriminalitas yang dilakukan oleh remaja semakin meningkat. banyak kasus yang di timbulkan oleh remaja yang dapat membuat orang bertanya dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap orangtua menginginkan yang terbaik

BAB I PENDAHULUAN. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap orangtua menginginkan yang terbaik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hampir dapat dipastikan bahwa setiap orangtua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk dalam hal pendidikan. Orangtua berharap anaknya bisa mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertolongan orang lain dalam menjalani kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertolongan orang lain dalam menjalani kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain dalam menjalani kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas

Lebih terperinci

PENGARUH LAYANAN KONSELING KELOMPOK ADLERIAN DALAM MENINGKATKAN PENALARAN MORAL SISWA KELAS IV SDN 07 PAGI UJUNG MENTENG

PENGARUH LAYANAN KONSELING KELOMPOK ADLERIAN DALAM MENINGKATKAN PENALARAN MORAL SISWA KELAS IV SDN 07 PAGI UJUNG MENTENG Pengaruh Layanan Konseling Kelompok Adlerian Dalam Meningkatkan... SDN 07 Pagi Ujung Menteng PENGARUH LAYANAN KONSELING KELOMPOK ADLERIAN DALAM MENINGKATKAN PENALARAN MORAL SISWA KELAS IV SDN 07 PAGI UJUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum

BAB I PENDAHULUAN. yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum memasuki pendidikan dasar,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian tentang efektivitas program bimbingan pribadi untuk

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penelitian tentang efektivitas program bimbingan pribadi untuk BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Penelitian tentang efektivitas program bimbingan pribadi untuk meningkatkan penalaran moral siswa kelas tinggi SDN Lengkong Besar Bandung tahun ajaran 2010/2011

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian yang membahas mengenai nilai sosial dalam karya sastra sebelumnya dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi. Hal ini menunjukkan sastra sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan classroom action research atau sering disebut

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan classroom action research atau sering disebut BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan classroom action research atau sering disebut Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian tindakan

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL

BAB IV PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL BAB IV PARADIGMA PERKEMBANGAN MORAL Kata paradigma secara etimologis diartikan sebagai pola, model, kerangka. Meminjam Thomas S. Kuhn (1989:187), paradigma merupakan keseluruhan konstelasi kepercayaan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI METODE CERITA DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK

BAB IV ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI METODE CERITA DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK BAB IV ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI METODE CERITA DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK A. Penerapan Metode Cerita dalam Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini di PAUD Cahaya Gunungpati Semarang 1. Persiapan 1 a. Persiapan

Lebih terperinci

TAHAPAN ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA

TAHAPAN ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA TAHAPAN ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA Aspek-aspek perkembangan PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET Perkembangan Moral Jean Piaget yang terkait perkembangan kognitif Tahap realisme moral (0-12 thn) Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak adalah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak adalah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak adalah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayakan pada setiap keluarga. Mengasuh dan mendidik mereka agar memiliki ahlak mulia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini seorang anak mulai bertumbuh dan berkembang menuju kematangan, misalnya

BAB I PENDAHULUAN. ini seorang anak mulai bertumbuh dan berkembang menuju kematangan, misalnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja merupakan suatu tahap menuju ke arah kedewasaan. Pada masa ini seorang anak mulai bertumbuh dan berkembang menuju kematangan, misalnya kematangan fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan keramahtamahannya serta budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa. Hal ini tercermin dari semakin

BAB I PENDAHULUAN. ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa. Hal ini tercermin dari semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia kini mengalami krisis moral yang menegaskan terjadinya ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa. Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya kriminalitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan merpakan hal yang sangat mendasar bagi kehidupan mansia, salah satunya adalah pendidikan anak usia dini. PAUD merupakan pendidikan pertama dan utama dalam

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENERAPAN TEKNIK DISIPLIN DI TK X DENGAN KEMAMPUAN PENALARAN MORAL ANAK USIA 4-6 TAHUN FINA DWI PUTRI ABSTRAK

HUBUNGAN PENERAPAN TEKNIK DISIPLIN DI TK X DENGAN KEMAMPUAN PENALARAN MORAL ANAK USIA 4-6 TAHUN FINA DWI PUTRI ABSTRAK HUBUNGAN PENERAPAN TEKNIK DISIPLIN DI TK X DENGAN KEMAMPUAN PENALARAN MORAL ANAK USIA 4-6 TAHUN FINA DWI PUTRI ABSTRAK FINA DWI PUTRI. Hubungan Penerapan Teknik Disiplin Di Tk X Dengan Kemampuan Penalaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI

PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI Apa yang dimaksud dengan Etika? Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) berarti karakter, watak kesusilaan atau dapat juga berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidahkaidah

Lebih terperinci

Pembelajaran dan Pembiasaan Aspek (Keterampilan) Sosial Peserta Didik di Institusi Prasekolah

Pembelajaran dan Pembiasaan Aspek (Keterampilan) Sosial Peserta Didik di Institusi Prasekolah Pembelajaran dan Pembiasaan Aspek (Keterampilan) Sosial Peserta Didik di Institusi Prasekolah (Rita Eka Izzaty) A. Apakah Keterampilan Sosial Itu? Keterampilan seseorang untuk mempertahankan tujuan pribadi

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Kemampuan yang harus dikembangkan bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya peningkatan sumber daya

Lebih terperinci

Perkembangan Moral. Oleh : Farida Harahap Tim Nanang Erma Gunawan, S.Pd.

Perkembangan Moral. Oleh : Farida Harahap Tim Nanang Erma Gunawan, S.Pd. Perkembangan Moral Oleh : Farida Harahap Tim Nanang Erma Gunawan, S.Pd. PERKEMBANGAN MORAL Moral = mores : Tata cara, adat istiadat, kebiasaan. Bayi yang baru lahir dikatakan belum memiliki moral karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Variabel tergantung Variabel bebas : Empati : Bermain peran (roleplay) B. Definisi Operasional 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia

BAB I PENDAHULUAN. Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia remaja yaitu berkisar antara 15-18 tahun. Santrock (2005) mengemukakan usia remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan cara berpikir dan penalaran yang kuat. Pendeta adalah individu

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan cara berpikir dan penalaran yang kuat. Pendeta adalah individu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendeta merupakan sebuah profesi. Walaupun banyak orang memandang sebelah mata profesi ini, namun segala sesuatu tentang profesi ini sebenarnya membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah sebagai lembaga pendidikan mempunyai kebijakan tertentu yang dituangkan dalam bentuk aturan. Salah satunya adalah aturan sekolah yang disebut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 125 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan dari penelitian Penggunaan Teknik Assertive Training untuk Mereduksi Kebiasaan Merokok Pada Remaja diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang 1 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Be1akang Masalah Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan penurunan moralitas masyarakat, terutama di kalangan remaja. Sebuah

Lebih terperinci

BE ETHICAL AT WORK. Part 9

BE ETHICAL AT WORK. Part 9 BE ETHICAL AT WORK Part 9 POKOK BAHASAN An ethics framework Making ethical decisions Social responsibility An ethics framework Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia banyak orang-orang yang cerdas secara akademik namun rendah empatinya. Rendahnya empati membuat individu melakukan tindakan-tindakan yang egois,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode survei. Menurut Sukmadinata (2013),

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

BAB II KAJIAN TEORETIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Komunikasi Matematis a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis Agus (2003) komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan masuk dalam aspek perilaku prososial. Prososial memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan masuk dalam aspek perilaku prososial. Prososial memiliki arti 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia hakikatnya adalah mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial. Manusia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama, bergantung dan membutuhkan manusia

Lebih terperinci

PENGARUH METODE BERCERITA TERHADAP PERILAKU MORAL ANAK DI KELOMPOK B TK KARYA THAYYIBAH II DESA WOMBO KABUPATEN DONGGALA DIAN MITRAWATI 1 ABSTRAK

PENGARUH METODE BERCERITA TERHADAP PERILAKU MORAL ANAK DI KELOMPOK B TK KARYA THAYYIBAH II DESA WOMBO KABUPATEN DONGGALA DIAN MITRAWATI 1 ABSTRAK PENGARUH METODE BERCERITA TERHADAP PERILAKU MORAL ANAK DI KELOMPOK B TK KARYA THAYYIBAH II DESA WOMBO KABUPATEN DONGGALA DIAN MITRAWATI 1 ABSTRAK Masalah dalam kajian ini adalah apakah ada pengaruh metode

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah antara dua atau lebih dari dua kelompok ada perbedaan

Lebih terperinci

Pandangan Kognitif Sosial mengenai Pembelajaran

Pandangan Kognitif Sosial mengenai Pembelajaran Pandangan Kognitif Sosial mengenai Pembelajaran Bab 10 Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Edisi Ke-6 Asumsi-asumsi Dasar mengenai Teori Kognitif Sosial Orang dapat belajar dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH...

TINJAUAN MATA KULIAH... Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... i Modul 1: HAKIKAT PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK-KANAK... 1.1 Kegiatan Belajar 1: Pengertian Pendidikan dan Komponenkomponen Pendidikan.. 1.3 Latihan...

Lebih terperinci

KODE ETIK PSIKOLOGI. Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI

KODE ETIK PSIKOLOGI. Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI Modul ke: KODE ETIK PSIKOLOGI Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif Fakultas PSIKOLOGI Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Questions 1. Apa yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kedisiplinan A. 1. Pengertian Kedisiplinan Menurut Hurlock (2000) kedisiplinan berasal dari disciple yang berarti bahwa seseorang belajar secara sukarela mengikuti seorang pemimpin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Erni Purnamasari, 2015 PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ETIKA PADA SISWA KELAS XI MIA 4 DAN XI IIS 2 SMA NEGERI 14 KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Erni Purnamasari, 2015 PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ETIKA PADA SISWA KELAS XI MIA 4 DAN XI IIS 2 SMA NEGERI 14 KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN AFEKTIF

PERKEMBANGAN AFEKTIF PERKEMBANGAN AFEKTIF PTIK PENGERTIAN AFEKTIF Afektif menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Kondisi ekonomi saat ini telah banyak menimbulkan permasalahan sosial, terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas menggejala secara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP MAKALAH PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP Disusun Sebagai Syarat Pelaksanaan Presentasi Kelompok Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik Disusun oleh: YULI ARDIKA P. DESTYANA KHAIRUNISA WINDA FITRIFITANOVA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gaya kehidupan anak-anak remaja sekarang ini banyak mengalami perubahan. Perubahan itu meliputi cara berpikir, tata cara bertingkah laku, bergaul dan berbagai

Lebih terperinci

MK Etika Profesi. Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law

MK Etika Profesi. Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law MK Etika Profesi Pertemuan 5 Ethics, Morality & Law Moralitas Definisi Descriptive: seperangkat aturan yang mengarahkan perilaku manusia dalam memilah hal yang baik dan buruk, contoh: nilai-nilai moralitas

Lebih terperinci

KERANGKA TEORI. dilarang. 1 Teori labeling memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang bukan

KERANGKA TEORI. dilarang. 1 Teori labeling memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang bukan I. DESKRIPSI MASALAH Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti dilalui oleh seseorang. Anak-anak merupakan aset penting milik negara yang akan menjadi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA. Asmika Madjri

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA. Asmika Madjri PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA Asmika Madjri PENGERTIAN PERKEMBANGAN PERKEMBANGAN- Proses terus menerus- kedepan- tidak dapat diulang- serangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung

Lebih terperinci

TEORI BELAJAR & PEMBELAJARAN. Dr. Ratnawati Susanto, MM,M.Pd

TEORI BELAJAR & PEMBELAJARAN. Dr. Ratnawati Susanto, MM,M.Pd 1 TEORI BELAJAR & PEMBELAJARAN Dr. Ratnawati Susanto, MM,M.Pd SIKAP ERAT KAITANNYA DENGAN NILAI YG DIMILIKI SESEORANG SIKAP SEBAGAI REFLEKSI DARI NILAI YANG DIMILIKI PENDIDIKAN SIKAP ADALAH PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kondisi pembelajaran awal siswa sebelum diterapkan metode pembelajaran

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kondisi pembelajaran awal siswa sebelum diterapkan metode pembelajaran 132 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dibuat peneliti mengacu pada permasalahan: pertama, kondisi pembelajaran awal siswa sebelum diterapkan metode pembelajaran cooperative learning

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori atribusi ini dikembangkan oleh Kelley pada tahun 1967, kemudian dilanjutkan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori atribusi ini dikembangkan oleh Kelley pada tahun 1967, kemudian dilanjutkan oleh BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Atribusi Teori atribusi ini dikembangkan oleh Kelley pada tahun 1967, kemudian dilanjutkan oleh Green serta Mitchell

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Erni Nurfauziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Erni Nurfauziah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penentu kehidupan pada masa mendatang. Seperti yang diungkapkan Dr.Gutama (2004) dalam modul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi hak setiap anak. Pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya

Lebih terperinci

Hasil Rapat Tim RIP 19 April 2016 mengenai Pelaksanaan RIP UMJ. MEMUTUSKAN

Hasil Rapat Tim RIP 19 April 2016 mengenai Pelaksanaan RIP UMJ. MEMUTUSKAN Memperhatikan: Hasil Rapat Tim RIP 19 April 2016 mengenai Pelaksanaan RIP UMJ. MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN REKTOR TENTANG KODE ETIK PELAKU PENELITIAN DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan pembelajaran yakni membentuk peserta didik sebagai pebelajar

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan pembelajaran yakni membentuk peserta didik sebagai pebelajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan paradigma pembelajaran menuntut langkah kreatif guru sebagai fasilitator pembelajaran. Esensi perubahan tersebut berorientasi pada usaha pencapaian tujuan

Lebih terperinci

ETIKA. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

ETIKA. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. PENGERTIAN ETIKA ETIKA Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Fungsi Etika Sebagai subjek : Untuk menilai apakah tindakan-tindakan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN BERHITUNG DI TK GIRIWONO 2

PENINGKATAN KEMAMPUAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN BERHITUNG DI TK GIRIWONO 2 PENINGKATAN KEMAMPUAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN BERHITUNG DI TK GIRIWONO 2 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Oleh: LILIS SUHARYANI A.520085055

Lebih terperinci