HAK-HAK ADAT KELAUTAN MASYARAKAT PESISIR DI PROVINSI MALUKU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HAK-HAK ADAT KELAUTAN MASYARAKAT PESISIR DI PROVINSI MALUKU"

Transkripsi

1 HAK-HAK ADAT KELAUTAN MASYARAKAT PESISIR DI PROVINSI MALUKU Penelitian Studi Hubungan Pusat dan Daerah Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dengan Universitas Pattimura Ambon Lembaga Penelitian Universitas Pattimura Ambon 2009

2 PRAKATA Puji syukur peneliti panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang karena kasih dan penyertaannya telah memungkinkan peneliti untuk melaksanakan penelitian ini. Penelitian ini merupakan kerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang berjudul HAK-HAK ADAT KELAUTAN MASYARAKAT PESISIR DI PROVINSI MALUKU. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini belum menjawab semua permasalahan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat hukum adat. Oleh karena itu penulis menerima dengan tangan terbuka berbagai masukan yang bertujuan untuk menambah bobot ilmiah dari penelitian ini. Kiranya hubungan kerjasama yang telah terbina ini akan berlanjut di waktu-waktu yang akan datang. Ambon, 31 Agustus 2009 Peneliti

3 DAFTAR ISI PRAKATA.. ii DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN 1 II. TINJAUAN PUSTAKA III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN. 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 37 VI. KESIMPULAN DAN SARAN. 61 DAFTAR PUSTAKA

4 I. PENDAHULUAN Perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) telah memberikan paradigma baru dalam penyelenggaraan otonomi daerah, terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat hukum adat. Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dalam perubahan kedua UUD 1945 diatur secara eksplisit dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3). Pengaturan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah, sedangkan pengaturan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Perubahan kedua UUD 1945 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah dalam Bab VI Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi sekarang ini menjadi salah satu agenda nasional. Pengaturan ini diharapkan akan mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta kualitas demokrasi di daerah. Semua ketentuan itu dirumuskan tetap dalam kerangka menjamin dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1 Pengaturan dalam tentang Pemerintahan Daerah dalam Bab VI UUD 1945 terdiri dari beberapa materi pokok, yaitu: (a) pembagian daerah (Pasal 18 ayat (1)); (b) pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat (2) sampai dengan Pasal 18 ayat 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2003, h

5 2 (7)); (c) hubungan wewenang pemerintah pusat dan pemerintahan daerah (Pasal 18B); (d) pengakuan dan penghormatan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18B). Perumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan pengaturan baru dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terutama pengaturannya dalam undang-undang dasar yang di dalamnya mengatur pengakuan dan penghormatan dari negara terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat yang ada diberbagai daerah yang hidup berdasarkan adat dengan hak-haknya seperti hak ulayat (di Maluku dikenal dengan Hak Petuanan). Pemberian pengakuan dan penghormatan ini tidak berarti adanya kebebasan dan peluang bagi masyarakat hukum adat untuk hidup dan berkembang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan dan penghormatan yang diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam UUD 1945 berdasarkan Pasal 18B ayat (2) diatur secara limitatif dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 18B ayat (2) terutama pada rumusan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang. Rumusan ini dimaksudkan sebagai syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan

6 3 dihidup-hidupkan. Selain itu tentu saja dengan suatu pembatasan yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. 2 Berkaitan dengan adanya pembatasan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945, R. Yando Zakaria menyatakan bahwa:...adanya perumusan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (seperti desa, Nagari, Banua, huta dll., misalnya) beserta hak-hak tradisionalnya (hak-hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, seperti sebelum adanya negara ), sebagaimana yang sering disuarakan oleh pendukung gerakan masyarakat adat dan otonomi desa selama ini, masih ada dua jebakan lain. Pertama, siapa yang akan menentukan masyarakat hukum adat itu masih ada dan sesuai dengan perkembangan masyarakat hukum adat itu?; kedua, ukuran-ukuran apa saja yang akan digunakan untuk menentukan masyarakat hukum adat itu masih ada dan masih sesuai atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat? 3 Lebih lanjut R. Yando Zakaria mengemukakan bahwa : Namun, khususnya berkaitan dengan hukum ketatanegaraan, malah yang lebih penting dari kedua masalah di atas adalah telah diubahnya perumusan dan/atau keberadaan hak asal usul pada pasal 18 UUD 1945 menjadi sekedar hak-hak tradisional pada pasal 18B UUD 1945 ayat (2) itu. Dengan perumusan yang demikian, pengakuan hukum dan politik dari satuan-satuan masyarakat hukum adat - sebagaimana yang terkandung dalam konsep hak asal-usul - dirubah menjadi sekedar pengakuan terhadap tradisi dari masa lampau, yang dapat saja disingkirkan jika dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Padahal keharusan bagi pengakuan atas hak hak masyarakat hukum adat tidak terletak pada keaunikan tradisi masa lampau, melainkan terletak pada pengakuan atas hak masyarakat adat untuk mengatur kehidupannnya sendiri dalam konteks waktu saat ini sekalipun. 4 2 Ibid., h R. Yando Zakaria, Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya- Upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa, LAPERA Pustaka Utama berkejasama dengan KARSA, Yogyakarta, 2004, h Ibid.

7 4 Dalam kaitannya dengan hak ulayat dikenal pula istilah petuanan, dimana pengelolaannya dilakukan baik pada wilayah darat maupun pada wilayah laut. Hak petuanan laut memang merupakan topik yang belum terlalu dikenal, meskipun pada kenyataannya sistem pengelolaan sumberdaya laut secara tradisional banyak ditemukan terutama di Provinsi Maluku. Apabila dibandingkan dengan hak petuanan atas tanah, maka tampak bahwa hak petuanan laut sebagai tradisi adat yang sudah berlangsung turun-temurun dan harus dihormati belum banyak dikenal secara luas dan dijadikan sebagai bahan kajian dan penelitian. Selama ini, berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hanya mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah, tetapi masalah hak petuanan laut belum terlalu menjadi konsern bersama. Hak-hak masyarakat hukum adat berkaitan dengan hak petuanan laut hanya dapat ditemukan di dalam Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739 (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007). Namun pengaturan dalam undang-undang tersebut pun belum secara langsung memberikan pengaturan adanya hak petuanan laut, tetapi lebih menekankan pada unsur mempertimbangkan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Apalagi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah - Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

8 5 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), hanya mengakomodir pengaturan wewenang daerah pada wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya alam pada batas wilayah tertentu. Dalam hal ini untuk provinsi seluas 12 (dua belas) mil laut, sedangkan untuk kabupaten/kota 1/3 (sepertiga) dari luas wilayah provinsi. Untuk masyarakat hukum adat yang memiliki wilayah petuanan laut dalam pengelolaan sumber daya alam tidak diatur sama sekali. Dampak dari tidak adanya pengaturan ini akan merugikan masyarakat hukum adat yang secara turun temurun telah memiliki hak-hak tertentu dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut. Tidak adanya dasar legalitas pengaturan wewenang masyarakat hukum adat ini pun merupakan bagian dari pembatasan terhadap hak-hak dan wewenang masyarakat hukum adat itu sendiri. Realitas pengaturan hak-hak masyarakat hukum adat secara konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 di atas, maka hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menjadi tidak jelas dalam konsep pengakuan dan penghormatan oleh negara. Implementasi pengaturan dalam berbagai undang-undang sektoral belum meletakan dasar pengakuan dan penghormatan tersebut, malah adanya pembatasan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat tersebut. Dalam hal ini, di satu pihak adanya peluang dan kesempatan yang diberikan dengan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi

9 6 masyarakat hukum adat, namun di lain pihak negara membatasi ruang masyarakat hukum adat beserta hak-hak konstitusionalnya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah masyarakat hukum adat di Indonesia memenuhi indikator konstitusional menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945? 2. Apakah masyarakat hukum adat memiliki hak dan wewenang dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir (petuanan laut) diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? II. TINJAUAN PUSTAKA A. Masyarakat Hukum Adat Dalam berbagai literatur maupun perundang-undangan seringkali ditemukan adanya terminologi masyarakat hukum adat dan masyarakat adat. Apabila dikaji secara mendalam, terminologi masyarakat hukum adat" lebih diarahkan pada indikator hukum sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan pranata-pranata hukum dan hak-hak yang dimiliki, sedangkan terminologi masyarakat adat lebih diarahkan pada indikator sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat adat tersebut. Penelitian ini lebih difokuskan pada terminologi masyarakat hukum adat dan pengertian masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam beberapa pendapat pakar maupun peraturan perundang-undangan. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa :

10 7 Masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang kemudian disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum tersebut menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya mengambil keputusan yang mengikat warga masyarakat, menyelenggarakan peradilan, mengatur penggunaan tanah, mewarisi dan sebagainya. 5 Menurut Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh Budi Riyanto yang menyatakan bahwa : Masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, di mana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. 6 Lebih lanjut Soepomo mendiskripsikan masyarakat hukum adat/ persekutuan hukum adat menyatakan bahwa persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan menurut dasar susunannya, yaitu: a) yang berdasar pertalian suatu keturunan (genealogi); dan 2) yang mendasar lingkungan daerah (teritorial). 7 Sebagai bahan perbandingan dikemukakan beberapa pengertian mengenai masyarakat adat sebagaimana yand dikemukakan oleh Yones K. Pellokila dan R. Yando Zakaria, yang menyatakan bahwa : Secara sosiologis masyarakat adat adalah masyarakat yang tergolong sebagai persekutuan hidup yang didasarkan pada ikatan kekerabatan turun-temurun (genealogis) dan atau teritorial yang 5 Soejono Soekanto dan Taneko, Hukum Adat Indonesia, Radjawali Press, Jakarta, 1983, h Ter Haar dalam Budi Riyanto, Pengaturan Hutan Adat Di Indonesia Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004, h Ibid, h. 7-8.

11 8 didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan bersama karena memiliki asal leluhur yang sama. Masyarakat adat adalah masyarakat yang mengatur interaksi antar mereka dengan alam berdasarkan pada kaidah, norma dan hukum yang disebut adat. Masyarakat adat hidup dalam persekutuan-persekutuan yang dilandasi ikatan asal-usul leluhur turun-temurun di wilayah geografis tertentu, dengan sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, dan wilayah sendiri. 8 Menurut Konvensi ILO Nomor 169 menggunakan istilah Indegenous People yang dirumuskan sebagai masyarakat pribumi (adat) di negara-negara merdeka dengan penetapan berdasarkan asal-usul keturunan di antara penduduk lain yang mendiami suatu wilayah geografis, di mana suatu Negara terletak saat terjadinya penaklukan ataupun jajahan tanpa menilik pada status hukum mereka dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka. Sepadan dengan itu, menurut rumusan Tribal Peoples adalah sekelompok masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi-kondisi sosial, kultural, dan ekonominya memberdakan mereka dari masyarakat yang lain di negara tersebut dan statusnya diatur oleh seluruh maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus. 9 Menurut hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara merumuskan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah 8 Yones K. Pellokila dan R. Yando Zakaria, Panduan Bekerja Bersama Masyarakat Adat, BSP Kemala, Bandung, 1998, h Konvensi ILO 169, Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negaranegara Merdeka, ELSAM, Jakarta, 1999

12 9 dan kekayaan alam dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 10 Istilah dan pengertian masyarakat adat sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan terjemahan dari istilah indegenous people hasil Konvensi ILO Perserikatan Bangsa-Bangsa. 11 Karena itu dalam penelitian ini digunakan istilah masyarakat hukum adat sebagai istilah juridis terjemahan dari rechtsgemeenschap yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan dapat ditemukan adanya pengakuan masyarakat hukum adat termasuk hak-hak masyarakat adat (adat istiadat), di antaranya : (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Dokumen AMAN, Menyatukan Gerak Langkah Menuju Kedaulatan Masyarakat Adat, Panduan Umum untuk Pengurus, Anggota dan Pendukung, Jakarta, Pada tahun 1993 ILO PBB mencanangkan Indegenous People Decade. Adanya insiatif pencanangan Indegenous People Decade ingin mendorong sebuah proses bagi perbaikan-perbaikan situasi, kebijakan (internasional, regional, nasional atau dalam cakupan wilayah yang cukup kecil), maupun program-program aksi di lapangan, bagi subjek yang bersangkutan. Istilah indegenous people di Indonesia tidak diterjemahkan sebagai masyarakat asli tetapi diterjemahkan sebagai masyarakat adat, sedangkan istilah masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda rechtsgemeenschap dalam pendekatan teoritik oleh para pakar hukum untuk membedakannya dengan tradisi hukum dari sistem hukum Anglo Saxon. Lihat pula R. Yando Zakaria, Op.Cit., h. 52.

13 10 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kelistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4226); (6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); (7) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377), (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

14 11 (10) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 132); (11) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4738); (12) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); dan (13) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959). Pengertian masyarakat hukum adat dijelaskan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Pasal 1 butir 3 disebutkan bahwa: masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

15 12 B. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Secara yuridis, hak ulayat masyarakat hukum adat dikategorikan dalam Hukum Tanah yang merupakan obyek materi dari Hukum Agraria sebagai tanah adat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengaturan tanah adat pun telah diakui dalam hukum tanah kolonial yang diberlakukan bagi orang-orang dari golongan Bumi Putera. Dalam hukum adat, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah yang didudukinya sangat erat. Hubungan tersebut bersumber pada pandangan yang bersifat religio magis. Dalam masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua) macam hak penguasaan atas tanah, yaitu: Hak Ulayat Hubungan yang erat dan bersifat religio magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai seluruh tanah yang menjadi wilayah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, dan berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum adat atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat, yang oleh van Vollenhoven disebut beschkkingsrecht. Objek hak ulayat adalah: a. tanah; b. air, maksudnya adalah perairan; c. tanam-tanaman yang hidup dalam wilayah hak ulayat; d. binatang yang hidup bebas dalam wilayah hak ulayat. Hak ulayat mempunyai sifat komunalistik, yaitu menunjuk adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah. Ruang lingkup hak ulayat masyarakat hukum adat, yaitu: a. selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang Hukum Perdata; juga b. mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk bidang Hukum Publik. 2. Hak Perseorangan atas tanah 12 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, h. 163.

16 13 Hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh hak ulayat. Setiap individu sebagai bagian dari warga persekutuan hukum ada mempunyai hak untuk: a) mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan; b) memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan; c) mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar; d) membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus menerus; e) mengusahakan untuk diurus selanjutnya dibuat suatu kolam ikan. Pada bagian hak ulayat terdapat hak milik atas tanah dari perseorangan warga persekutuan yang membuka dan mengerjakan tanah itu. Artinya, warga persekutuan yang membuka dan mengerjakan tanah itu berhak sepenuh-penuhnya atas tanah tetapi dengan ketentuan wajib menghormati: a. hak ulayat desanya: b. kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah; c. peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang lain masuk dalam tanah pertaniannya selama tanah itu tidak digunakan dan tidak dipagari. Hak milik pada persekutuan yang bersifat terbatas, yaitu hak penguasaan tanahnya dibatasi oleh hak pertuanan atau hak ulayatnya. Hak-hak pertuanan atau hak ulayatnya sangat kuat, maka hak milik atas tanah tersebut hampir tidak mungkin dapat dipindahkan kepada orang lain bahkan hak penguasaan atas tanah tersebut dibatasi jangka waktu tertentu dan pada akhir jangka waktunya tanah harus diserahkan kembali kepada hak pertuanan atau hak ulayat untuk diberikan kepada orang lain. Kalau hak pertuanan atau hak ulayatnya sudah tidak lagi pengaruhnya, maka tanah itu dapat dimiliki terus sampai pemiliknya meninggal dunia dan kemudian oleh masyarakat hukum adat ditetapkan

17 14 lagi siapa yang akan menjadi pemilik baru. Kalau hak pertuanan atau hak ulayatnya sudah sangat lemah, maka hak milik atas tanah setelah meninggal dunianya pemilik tanah dengan sendirinya jatuh kepada ahli warisnya. Hak ahli warisnya untuk memiliki tanah itu hilang apabila ia meninggalkan desanya untuk selama-lamanya. Hak ulayat merupakan hak kepemilikan bersama atau komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola dengan cara gotong-royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undangundang. Menurut van Vollenhoven, ciri-ciri atau tanda-tanda hak ulayat sebagai berikut: 1. Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan, mengeyam kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah persekutuan hukum tersebut; 2. Orang-orang yang bukan anggota persekutuan hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Persekutuan dengan membayar ganti kerugian; 3. Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie); 4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah persekutuan hukumnya apabila si pelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal; 5. Persekutuan tidak boleh memindahtangankan (menjual, memberi) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu dan sangat khusus; 6. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu. 13 Ciri-ciri pokok yang terlihat dengan jelas di luar Jawa menurut Iman Soedijat ialah: 13 van Vollenhoven dalam Budi Riyanto, Op. Cit., h

18 15 a) Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya. b) Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan tersebut; tanpa izin itu ia dianggap melakukan pelanggaran. c) Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba (hak ulayat) dengan restriksi hanya untuk keperluan somah/brayat/ keluarganya sendiri; jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapat izin lebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan izin Kepala Persekutuan Hukum disertai pembayaran, upeti mesi (recognatie) kepada persekutuan hukum. d) Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan delik. e) Hak purba (hak ulayat) tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selamanya. 14 Hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada. Dalam kenyataannya pada waktu ini banyak di daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan, dan penggunaannya didasakan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat. Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat yang terjadi akhir-akhir ini, maka oleh Pemerintah diberikan pedoman yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam menghadap dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan melaksanakan urusan pemerintahan pada umumnya dalam 14 Iman Soedijat dalam Budi Riyanto, Ibid, h. 15.

19 16 hubungan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Untuk itu, dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun Kebijaksanaan tersebut meliputi: i. Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat; ii. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat; iii. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya. Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa hak ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat atau hak petuanan), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat

20 17 hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan di kalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu unsur hukum perdata dan unsur hukum publik. Unsur pertama, adalah unsur perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua, adalah unsur publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan dan penguasaan tanah tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang yang bukan warga atau orang luar. 15 Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan adat setempat. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila meliputi 3 (tiga) unsur, yaitu: 15 Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor tanggal 24 Juni 1999 perihal penyampaian dan penyelesaian Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999.

21 18 1) unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum, yag mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2) unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. 16 C. Konsep Wewenang Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyatakan : Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht. 17 Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan authority dalam bahasa Inggris dan bevoegdheid dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black`s Law Dictionary diartikan sebagai Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require 16 Ibid. 17 F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1986, h. 85.

22 19 obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties. 18 (kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). "Bevoegdheid" dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah wewenang dan bevoegdheid. Istilah "bevoegdheid" digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan "wewenang" selalu digunakan dalam konsep hukum publik. 19 Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu : pengaruh; dasar hukum; dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu). 20 Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas dalam wujudnya "nullum delictum sine lege" dewasa ini masih diperdebatkan asas berlakunya. Dalam hukum administrasi asas 18 Henry Campbell Black, Black S Law Dictionary, West Publishing, l990, p Philipus M. Hadjon, (Philipus M. Hadjon I) Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5&6 Tahun XII, Sep-Des l997, h.1 20 Ibid., h. 1-2

23 20 legalitas dalam wujudnya "wetmatigheid van bestuur" sudah lama dirasakan tidak memadai. 21 Tidak memadainya asas "wetmatigheid van bestuur" pada dasarnya berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan (arti sempit) di Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir pendapatnya N.E. Algra bahwa : pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan istilah "uitvoerende macht", melainkan menggunakan istilah yang populer "bestuur" yang dikaitkan dengan "sturen" dan "sturing". "Bestuur" dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. 22 Konsep "bestuur" membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power). 23 Menurut ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. 24 Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) 21 Philipus M. Hadjon (Philipus M. Hadjon II), Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional "Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004, h Ibid., h Ibid., h Ibid., h. 2.

24 21 menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi pengggunaannya secara sah dipenuhi. Kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi. Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi : 1. kewenangan untuk memutus sendiri 2. kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen). 25 Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas "wetmatigheid" tidaklah memadai. Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidaktidaknya kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum. Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen, pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara. Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan 25 Ibid., h. 6.

25 22 negara atau organ dari negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten). Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai : 1. Bentuk negara 2. Bentuk pemerintahan 3. Pembagian kekuasaan dalam Negara. Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atas pembagian horisontal yang meliputi : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara horisontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun horisontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstitusi. 26 Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan dengan menyatakan bahwa: Hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan ( administratiefrecht atau bestuursrecht ) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum ( improper legal or improper 26 Hubungan vertikal ditunjukan dalam bentuk pengawasan dan pada tahap ini pengawasan yang dilaksanakan oleg badan-badan pemerintah bertingkat lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah. Sedangkan hubungkan horizontal ditunjukan dalam bentuk kerjasama di antara daerah otonom. Lihat Philipus M. Hadjon, at.al. (Philipus M. Hadjon III), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia - Introduction to the Indonesian Administrative Law, Gajah Mada University Press, 2002, h

26 23 illegal ), sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara improper illegal maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan. 27 Hukum administrasi pada hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut. 28 Selanjutnya, beberapa pemikiran tentang wawenang mengungkapkan sebagai berikut: 29 F. A. Stroink : Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Henc van Maarseveen : "Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (recthsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Lebih lanjut P. Nicolai menyatakan bahwa: 30 Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevoelg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu). Dari berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa wewenang merupakan kekuasaan hukum, oleh karena wewenang 27 Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h Philipus M. Hadjon I, Op. Cit. 29 Ibid. 30 Ridwan HR, Op. Cit., h. 102

27 24 sebagai konsep hukum publik selalu harus mendapat pengaturan yang jelas baik dalam hukum tata negara maupun dalam hukum administrasi. Demikian melalui pengaturan dimaksud memberikan kekuasaan atau kemampuan kepada pejabat tata usaha negara untuk melakukan tindakan yang menimbulkan akibat di bidang hukum publik. Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Lebih jauh dikatakan Ridwan HR, 31 bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang. Seperti dikatakan P. Nicolai, et.al; yang mengatakan bahwa: Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen, 32 (kemampuan untuk melakukan tindakantindakan hukum tertentu). Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadangkadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. 33 Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan 31 Ridwan HR, Op.Cit, h Ibid., h Philipus M. Hadjon I, Op.cit.

28 25 bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu dan yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. 34 Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara : 1. yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah; 2. yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. 35 Lebih jauh, Suwoto 36 menyebutkan ciri-ciri atribusi kewenangan sebagai berikut: 1. Pengatribusian kekuasaan menciptakan kekuasaan baru, sehingga sifatnya tidak derivatif; 2. Pemberian kekuasaan melalui atributif tidak menimbulkan kewajiban bertanggung jawab, dalam arti tidak diwajibkan menyampaikan laporan atas pelaksanaan kekuasaan. 3. Pemberian kekuasaan melalui atribusi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan 34 Ibid. 35 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritiik dan Yuridis, Disertasi, Universitas Airlangga, 1990, h. 79

29 26 4. Pada dasarnya pemegang kekuasaan melalui atribusi dapat melimpahkan kekuasaan badan-badan yang lain tanpa memberitahu terlebih dahulu kepada badan yang memberi kekuasaan. Atribusi digambarkan sebagai pemberian kewenangan kepada suatu organ lain yang menjalankan kewenangan-kewenangan itu atas nama dan menurut pendapatnya sendiri, tanpa si pemberi itu sendiri ditunjuk untuk menjalankan kewenangan itu. 37 Pada delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain. Dalam Hukum Administrasi Belanda telah merumuskan pengertian delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam Pasal 10 : 3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit ) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tata usaha negara) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut. 38 Yang memberi/ melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut delegataris. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Dalam pemberian/pelimpahan wewenang ada persyaratan persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu : 1. delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; 2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan; 37 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, 2007, h J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon I, Op.cit., h. 4.

30 27 3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkhi kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 4. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; 5. peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. 39 Jika konsep delegasi seperti itu, maka tidak ada delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Kata delegasi (Delegatie) mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. 40 Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). 39 Ibid., h Agussalim Andi Gadjong, Op. Cit. h. 104

31 28 Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, mandat itu dinyatakan oleh J.G. Brouwer dan A.E.Schilder, bahwa : 1. With attribution, power is granted to an administrative authotity by an independent legilative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously exiting power. The legislative body creates independent and previously not existent powers and assigns them to an authotity. (Pada atribusi, kewenangan diberikan kepada badan administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang berkompoten). 2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one administrative authotity to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name. (Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada yang lainnya, sehingga delegator (badan yang tidak memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya). 3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its name. (Pada mandat, tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat memberikan kewenangan pada badan lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya). 41 Atribusi kewenangan diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumya dan memberikannya kepada yang berkompeten. Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans 41 Brouwer J.G dan Schilder dalam Sutarman Yodo, Kerjasama Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan dan Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007, h. 114.

32 29 (badan yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan yang mendasar yang lain antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi. 42 Dari mana kemampuan melakukan tindakan hukum tertentu atau kekuasaan hukum yang menjadi syarat keabsahan pembuatan keputusan, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyatakan: Wetmatigheid van bestuur: de uitvoerende mach bezit uitsluitend die bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de Grondwet of door een andere wet zijn toegekend. 43 (Pemerintahan menurut undang-undang: pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang atau undang-undang dasar.) Berkaitan dengan sumber wewenang yang dikemukakan, Tatiek Sri Djatmiati menyatakan bahwa kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberi suatu legitimasi kepada badan-badan publik 42 Ibid. 43 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Sutarman Yodo, Op. Cit., h. 113.

33 30 untuk dapat melakukan fungsinya. 44 Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa: Minimal dasar kewenangan harus ditemukan dalam suatu undangundang, apabila penguasa ingin meletakan kewajiban-kewajiban di atas para warga masyarakat. Dengan demikian di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Melalui undang-undang, parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat pemilihnya ikut menentukan kewajiban-kewajiban apa yang pantas bagi warga masyarakat. Dari sini, atribusi dan delegasi kewenangan harus didasarkan undang-undang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu meletakan kewajiban-kewajiban pada masyarakat. 45 Mandat tidak memberikan pengakuan atau pengalihan kewenangan sebagaimana pada atribusi dan delegasi. Pendapat yang sama tentang mandat tersebut, dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon bahwa kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau delegasi. 46 Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat TUN yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intim-hirarkis organisasi pemerintahan Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h Philipus M. Hadjon II, Op. Cit., h Philipus M Hadjon I, Op. Cit., Lihat pula Indroharto, Op. Cit., h Philipus M. Hadjon I, Ibid., h. 7.

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan salah satu upaya renovasi yang dilaksanakan pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin maju. Maksud dari otonomi daerah adalah hak, wewenang,

Lebih terperinci

WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014

WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 sumber gambar: jurnalrakyat.net I. PENDAHULUAN Negara merupakan sebuah organisasi atau badan

Lebih terperinci

Key words: The Nuaulu Tribe Authorization and Existence. 1. Latar Belakang

Key words: The Nuaulu Tribe Authorization and Existence. 1. Latar Belakang HAK-HAK SUKU NUAULU ATAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DI PULAU SERAM PROVINSI MALUKU Nirahua, Salmon E. M. Fakultas Hukum Universitas Pattimura Email: nirahuamon@yahoo.com Abstract The Common Law Authority

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian

Lebih terperinci

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah ini

Lebih terperinci

OLEH : EFIK YUSDIANSYAH

OLEH : EFIK YUSDIANSYAH OLEH : EFIK YUSDIANSYAH ISTILAH KEKUASAAN (LEGISLATIF) KEWENANGAN (EKSEKUTIF) KOMPETENSI (YUDISIAL) KEKUASAAN Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sesuai dengan tujuan dan keinginannya.

Lebih terperinci

Volume 20 Nomor 2 Bulan Juli Desember 2014 A S I. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon

Volume 20 Nomor 2 Bulan Juli Desember 2014 A S I. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon Volume 20 Nomor 2 Bulan Juli Desember 2014 S ISSN 1693-0061 A S I Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon Peraturan Mahkamah Agung Dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Menurut Jenis Peraturan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP WEWENANG ADMINISTRASI PERTANAHAN BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

BAB II KONSEP WEWENANG ADMINISTRASI PERTANAHAN BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN BAB II KONSEP WEWENANG ADMINISTRASI PERTANAHAN BAGI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN A. Konsep Kebijakan Pertanahan Berdasarkan UUPA Konsep kebijakan pertanahan nasional bersumber pada rumusan Pasal 33 ayat (3)

Lebih terperinci

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK TENTANG BENTUK PENGHORMATAN DAN PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM

KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 KEPASTIAN HUKUM HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DAN SUMBERDAYA ALAM Muslim Andi Yusuf 1 Universitas Cokroaminoto Palopo 1 Penelitian ini

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA NASIONAL

HUKUM AGRARIA NASIONAL HUKUM AGRARIA NASIONAL Oleh : Hj. Yeyet Solihat, SH. MKn. Abstrak Hukum adat dijadikan dasar karena merupakan hukum yang asli yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum adat ini masih harus

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013

KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013 KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Jalan Semolowaru

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMERINTAH DAERAH DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENGELOLA LAUT. 1.1.Tinjauan Umum Mengenai Pemerintah Daerah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMERINTAH DAERAH DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENGELOLA LAUT. 1.1.Tinjauan Umum Mengenai Pemerintah Daerah BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMERINTAH DAERAH DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENGELOLA LAUT 1.1.Tinjauan Umum Mengenai Pemerintah Daerah 1.1.1. Pengertian Pemerintah Daerah Sistem pemerintahan daerah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

the Right of Indigenous Peoples, melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote),

the Right of Indigenous Peoples, melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote), POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL 1 OLEH: DR.IR.ADHI SANTIKA, MS, SH BALITBANG HAM DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM 1. Pada

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

SUMBER WEWENANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SUMBER WEWENANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SUMBER WEWENANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dr. Herlambang P. Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga herlambang@fh.unair.ac.id POKOK PEMBAHASAN

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KEDUDUKAN HAN DALAM ILMU HUKUM Charlyna S. Purba, S.H.,M.H Email: charlyna_shinta@yahoo.com Website:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN A. Tinjauan Umum tentang Wewenang 1. Pengertian Wewenang Pelaksanaan tugas oleh setiap pejabat pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara ini lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan Negara kesatuan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan dan Kewenangan Wakil Kepala Daerah dalam Menandatangani Produk Hukum Daerah Ditinjau dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh :

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh : 41 FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh : Gusti Ayu Ratih Damayanti, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Abstract In principle, there were two forms of

Lebih terperinci

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK MASYARAKAT ADAT Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) DEFINISI MASYARAKAT ADAT Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kewenangan 2.1.1. Pengertian Kewenangan Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL

POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM BIDANG HAK SIPOL Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 24 Agustus 2007 POTENSI PELANGGARAN HAM DALAM BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS SEMENTARA ( PLT ) GUBERNUR DALAM PEMERINTAHAN DAERAH. 1. Pengertian Wewenang dan Kewenangan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS SEMENTARA ( PLT ) GUBERNUR DALAM PEMERINTAHAN DAERAH. 1. Pengertian Wewenang dan Kewenangan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS SEMENTARA ( PLT ) GUBERNUR DALAM PEMERINTAHAN DAERAH A. Pengertian Kewenangan 1. Pengertian Wewenang dan Kewenangan Secara konseptual, istilah wewenang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah mempunyai peran yang sangat strategis sebagai sarana pembinaan keluarga dan pendidikan dasar dan juga berfungsi dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 30 BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 1. Pembangunan Unit Pengolahan dan Pemurnian Guna Melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI) NO 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENGGUNA ANGGARAN/KUASA PENGGUNA ANGGARAN ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

TANGGUNG JAWAB PENGGUNA ANGGARAN/KUASA PENGGUNA ANGGARAN ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TANGGUNG JAWAB PENGGUNA ANGGARAN/KUASA PENGGUNA ANGGARAN ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Darmansyah darmansyahwalidar@gmail.com Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM DEMOKRASI

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM DEMOKRASI NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM DEMOKRASI By. FAUZUL FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JATIM 1 PEMBAHASAN Sekilas tentang Negara Hukum Negara Hukum yang Demokratis Istilah dan Pengertian HAN Ruang Lingkup HAN Negara

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa kepada Bangsa Indonesia, dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan bagi kelangsungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011 REPOSISI PERATURAN DESA DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Pendahuluan Ada hal yang menarik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pengaturan Wewenang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut Sherlock Halmes Lekipiouw,S.H.,M.H

RINGKASAN. Pengaturan Wewenang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut Sherlock Halmes Lekipiouw,S.H.,M.H RINGKASAN Pengaturan Wewenang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut Sherlock Halmes Lekipiouw,S.H.,M.H Dalam disertasi ini isu hukum yang dikaji dan dianalisis berkaitan dengan pengaturan wewenang dalam pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT I. Pendahuluan Badan Legislasi telah menerima surat tertanggal 27 Juli 2017 perihal usulan Rancangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

BAB V. PENUTUP. (dua) permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu:

BAB V. PENUTUP. (dua) permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu: BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan kajian tentang Konstruksi Hukum Penguasaan Tanah Negara dalam Sistem Hukum Tanah Nasional maka diajukan jawaban terhadap 2 (dua) permasalahan yang

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG PANDANGAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT JAKARTA 2013 KEPUTUSAN NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014

Lebih terperinci

Abrori, S.H.I., S.H., M.H. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi Jl. Raya Cibeber No. 148, Cimahi Selatan

Abrori, S.H.I., S.H., M.H. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi Jl. Raya Cibeber No. 148, Cimahi Selatan 1 KEABSAHAN PENGGUNAAN KEWENANGAN KEBEBASAN BERTINDAK BAGI PEMERINTAH (DISKRESI) : STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Abrori, S.H.I., S.H., M.H. Sekolah

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibentuklah suatu lembaga yang dikenal dengan nama Lembaga Ombudsman

BAB I PENDAHULUAN. dibentuklah suatu lembaga yang dikenal dengan nama Lembaga Ombudsman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semangat reformasi mengharapkan suatu penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersih dari segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di seluruh wilayah

Lebih terperinci

Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam. menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.

Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam. menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KELURAHAN DAN PERKOTAAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KELURAHAN

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)

KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XIX No. 36, Pebruari-Mei 2013, h.

Lebih terperinci

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA Disusun Oleh: Nama : Maria Alfonsa Chintia Dea P. NIM : A12.2013.04844 Kelompok : A12.6701 FAKULTAS ILMU KOMPUTER PROGRAM STUDI SISTEM

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pelaksanaan Pengertian pelaksanaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal pembuatan atau usaha dan sebagainya (Poerwodarminto, 1986). Soemardjan dalam

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH 2.1 Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

Sistem Pembagian Kekuasaan Negara

Sistem Pembagian Kekuasaan Negara KOMPETENSI DASAR Mensyukuri nilai-nilai Pancasila dalam Praktik penyelenggaraan pemerintahan negara sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Founding fathers bangsa Indonesia telah memberikan ketegasan di dalam perumusan dasar pembentukan negara dimana Indonesia harus dibangun dan dikelola salah satunya dengan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

Kedudukan Diskresi Pejabat Pemerintahan dan Kewenangan Pada Umumnya

Kedudukan Diskresi Pejabat Pemerintahan dan Kewenangan Pada Umumnya Kedudukan Diskresi Pejabat Pemerintahan dan Kewenangan Pada Umumnya Oleh: Akhmad Mahrus, pegawai Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan*) Institusi Pemerintah merupakan institusi

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara Pertemuan XI & XII Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Topik Istilah dan Pengertian Hubungan HAN dengan HTN Sumber HAN Ruang Lingkup HAN Asas Pemerintahan Yang Baik

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

PENGATURAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI LINGKUNGAN. Oleh : Nopyandri 1. Abstrak

PENGATURAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI LINGKUNGAN. Oleh : Nopyandri 1. Abstrak PENGATURAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI LINGKUNGAN Oleh : Nopyandri 1 Abstrak Dalam hukum administrasi negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa sebagai bagian dari bangsa

Lebih terperinci

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DR. Wahiduddin Adams, SH., MA ** Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas adat yang ada di seluruh

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

Macam-macam konstitusi

Macam-macam konstitusi Macam-macam konstitusi C.F Strong, K.C. Wheare juga membuat penggolongan terhadap konstitusi. Menurutnya konstitusi digolongkan ke dalam lima macam, yaitu sebagai berikut: 1. 1. 1. konstitusi tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05 MAKALAH ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK Menganalisis pelanggaran AAUPB terhadap Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci