PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA"

Transkripsi

1 KEDUDUKAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 SKRIPSI OLEH : ANTON SUBEKTI PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013

2 KEDUDUKAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 SKRIPSI DI SUSUN OLEH : ANTON SUBEKTI NPM : PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013

3 KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : ANTON SUBEKTI NPM : PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013

4 KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 NAMA : ANTON SUBEKTI NPM : JURUSAN FAKULTAS : ILMU HUKUM : HUKUM DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH : PEMBIMBING Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum

5 Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya, 05 Agustus 2013 Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani S.H., C.N., M.H ( ) ( Dekan) 2. Sekretaris : Dr. H. Taufiqurrahman S.H., M.Hum ( ) (Pembimbing) 3. Anggota : 1. Tri Wahyu Andayani S.H C.N., M.H( ) (Dosen Penguji I) 2. H. Arief Syahrul Alam S.H., M.Hum ( ) (Dosen Penguji II)

6 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua saya Bapak/Ibu yang sudah memberikan do a restu dan dukungan baik moriil maupun sprituiil. 2. Bapak Budi Endarto S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya sekaligus dosen Pembimbing skripsi penulis. 4. Bapak H. Arief Syahrul Alam SH., M.Hum Selaku sekretaris Rektor. 5. Ibu Tri Wahyu Andayani S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 6. Bapak Andy Usmina Wijaya S.H., M.H Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. i

7 7. Bapak Dr. Wahyu Kurniawan SH., LL.M Selaku pemberi saran untuk jadinya penulisan skripsi ini. 8. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 9. Bapak/Ibu Dosen Penguji Skripsi Penulis banyak terima kasih. 10. Istri dan anak-anak ku yang telah memberikan do a restu kepada saya untuk menulis skripsi. 11. Keluarga saya Adik-adikku sekalian yang telah memberikan semangat dan motivasi penuh kepada saya untuk menyelesaikan penulisan skripsi saya ini. 12. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Tetap semangat semua dan sukses selalu. Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan berkat yang melimpah dari ALLAH S.W.T Surabaya, 05 Agustus 2013 Terima kasih, Penulis ii

8 DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN....i KATA PENGANTAR....iii DAFTAR ISI..... vi BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Penjelasan Judul Alasan Pemilihan Judul Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Metode Penelitian Sistematika Pertanggung Jawaban BAB II : KEDUDUKAN HUBUNGAN KERJA Hubungan Kerja Menurut KUH Perdata Syarat-syarat Perjanjian Kerja Menurut KUH Perdata Kewajiban Pengusaha Menurut KUH Perdata Kewajiban Pekerja Menurut KUH Perdata Hubungan Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan Ketentuan Upah Menurut UU Ketenagakerjaan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan Beberapa Perjanjian Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Perselisihan Hubungan Industrial Penyelesaian Melalui Bipartit... 38

9 2.3.3 Penyelesaian Melalui Mediasi Penyelesaian Melalui Konsiliasi Penyelesaian Melalui Arbitrase BAB III : PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PUTUSAN NOMOR 012/PUU-I/ Terhadap pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat UU Ketenagakerjaan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/ BAB IV : PENUTUP KESIMPULAN SARAN... 57

10 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) Departemen Tenaga Kerja pada waktu kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) II Tahun Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut diatas, menurut penulis istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sector non formal seperti kuli, tukang, dan sejenisnya, tetapi juga sektor formal, seperti Bank, hotel dan lain lain. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan Penjelasan Pasal 28 UUD 1945 (setelah amandemen), Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Namun karena pada Orde Baru istilah pekerja khususnya yang banyak di intervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehinga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah,maka istlah tersebut disandingkan. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang selanjutnya disebut (UU Ketenagakerjaan) Pasal 1 angka (3) memberikan pengertian Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja

11 menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. 1 Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka (4) UU Ketenagakerjaan adalah : 1. Adanya pekerjaan (arbeid); 2. Dibawah perintah pengusaha (gesag ver houding); 3. Adanya upah tertentu yang sesuai peraturan perundangan yang ditentukan pemerintah daerah yang disebut UMK (Upah Minimum Kota) dalam provinsi, kotamadya/kabupaten; 4. Dalam waktu (tijd) dapat tanpa batas waktu/pension atau berdasarkan waktu tertentu. Maksud dari unsur yang pertama adanya pekerjaan (arbeid) pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Unsur kedua dibawah perintah pengusaha (gesag ver houding) di dalam hubungan kerja kedudukan pengusaha adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaannya, kedudukan buruh sebagai pihak yang menerima perintah untuk melaksanakan perintah untuk melaksanakan pekerjaan, hubungan pekerja 2010, hal Lalu Husni, Pengantar Hukkum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

12 dan pengusaha adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan sehingga bersifat subordinasi hubungan yang bersifat vertikal, yaitu atasan dan bawahan. Unsur ketiga adanya upah (loan) tertentu yang menjadi imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (30) UU Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan ditanyakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan pekerja. Unsur yang keempat adalah waktu (tijd) adalah pekerja/buruh bekerja untuk waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak ditentukan atau selama-lamanya. Waktu kerja pekerja dalam satu minggu atau tujuh (7) hari adalah 40 jam. untuk 6 hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam 5 hari dan 5 jam dalam 1 hari. Adapun untuk 5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila kebutuhan proses produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maximal 3 jam perhari atau 14 jam perminggu. Kenyataannya lembur yang terjadi didalam praktik melebihi batas maximal tersebut. Selama bekerja setiap 4 jam pekerja yang bekerja harus diberikan istirahat selama setengah jam. Dalam satu minggu harus ada istirahat minimal 1 hari kerja. Dalam satu tahun pekerja harus diberikan istirahat 12 hari kerja/tahun.

13 Apabila pekerja telah telah bekerja selama 6 tahun maka wajib diberikan istirahat cuti besar selama satu bulan dengan menerima upah penuh. 2 Hubungan kerja terjadi karena Perjanjian kerja dalam undang-undang ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat digolongkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjajian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), dalam perjanjian kerja meski ada UU yang khusus mengaturnya tetapi ada pula peraturan perundangan yang umum untuk mengatur masalah perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang diatur dalam Pasal 1601 Huruf (b) KUH Perdata yang disebutkan bahwa Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dimana pihak yang satu sipemborong, mengikatkan untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Mengenai pekerjaan waktu tertentu lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan Pasal 57 Ayat (2) dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu, perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya,masa kerja percobaan, dalam hal diisyaratkan masa percobaan kerja, masa percobaan kerja tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (2) UU ketenagakerjaan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya bisa dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat kegiatan kerjaannya, perjanjian kerja waktu hal Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,

14 tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap karena perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau pun diperbaharui dalam arti perjanjian waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) Tahun, perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian waktu tertentu tersebut berakhir diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Berdasarkan ketentuan pasal 62 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjajian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan yang disebut penyerahan pelaksanaan pekerjaan ke perusahaan lain atau yang beberapa waktu ini sering disebut Outsourcing. Dalam bidang ketenagakerjaan outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan melalui perusahaan penyedia jasa /pengerah tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan ini mengatur dan melegalkan outsourcing dan dalam pengikatan perjajian kesepakatan kerjanya adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh, dalam Pasal 64 UU ketenagakerjaan disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

15 Perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, apabila persyaratan diatas tidak dipenuhi demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. 3 Pada tahun 2003 ada sebanyak 37 orang menamakan para aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang dengan swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi pekerja/buruh yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya. Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dimaksud Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Pemohon para aktivis organisasi serikat buruh ini menuangkan hak uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 dengan Nomor 012/PUU-I/2003 Judicial Review. Para pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaan adalah Undang-Undang Pokok Perburuhan yang mengatur mengenai perburuhan di Indonesia dan memiliki dampak langsung kepada semua buruh /pekerja yang ada di Indonesia karena mempunyai kepentingan langsung dengan UU Ketenagakerjaan, yang oleh para pemohon dipandang merugikan hak-hak buruh/pekerja yang diatur 2010, hal Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

16 dalam UUD 1945 Pasal 28 antara lain hak untuk berserikat, hak mogok, dan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama didepan hukum. 4 Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas maka penulis membuat skripsi ini dengan judul KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 di Negara Kesatuan Republik Indonesia Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, penulis dapat menarik suatu rumusan masalah yang akan menjadi pokok permasalahan dalam melakukan suatu penelitian antara lain rumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana kedudukan hubungan kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU Ketenagakerjaan? 2. Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasalpasal pada putusan Judicial Review Nomor 012/PUU-I/2003 yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terkait UU ketenagakerjaan? 1.3. Penjelasan Judul Untuk menghindari pemultitafsiran dalam penelitian ini. Maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini berjudul : KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 Ruang Lingkup Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di 4 Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 28 Oktober 2004, Hal 35.

17 Negara Republik Indonesia, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/ Alasan Pemilihan Judul Dengan pemilihan judul pembuatan proposal skripsi tentang penelitian tersebut penulis mempunyai alasan dengan adanya uji materi UU ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 mengenai pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan pasal-pasal yang mempunyai kekuatan hukum mengikat Tujuan Penelitian 1. Untuk menjelaskan kedudukan hubungan kerja berdasarkan KUHPerdata dan UU Ketenagakerjaan. 2. Meneliti substansi pasal-pasal UU Ketenagakerjaan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/ Manfaat Penelitian Penulis berharap bawha kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini dapat menambah literatur dan referensi dalam dunia pekerja tentang ketenagakerjaan dan memperluas substansi pasal-pasal yang mempunyai hukum mengikat. 2. Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum ketenagakerjaan khususnya mengenai pelaksanaan terhadap UU ketenagakerjaan.

18 b. Manfaat Praktis 1. Memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap permasalahan yang diteliti. 2. Sebagai sarana penulis mengembangkan penalaran hukum, membentuk pola pikir ilmiah serta melatih soft skill berargumentasi dalam menghadapi suatu permasalahan hukum yang timbul dimasyarakat dan mengukur kemampuan penulis terhadap ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam perkulihaan Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian dari penulisan ini adalah menggunakan normatif dengan menelaah UU Ketenagakerjaan terhadap UUD b. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah statuta approach, yaitu pendekatan dengan melihat dan menelaah suatu perundang-undangan dan regulasi yang ada di Indonesia terkait dengan isu hukum yang timbul dan dihadapi dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis pada saat ini. c. Langkah Penelitian Adapun dalam penelitian normatif ini langkah penelitian adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dan diperoleh dengan mencari dan memperoleh bahan hukum yang relevan. Bahan-bahan hukum tersebut yaitu: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat. Seperti, UUD 1945 sesudah amandemen, UU No. 13

19 Tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 21 Tahun 2000, UU No. 24 Tahun 2003 serta peraturan perundang-undangan yang terkait, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/ Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan perundangundangan, literatur, jurnal, hasil penelitian, buku-buku, teks-teks tentang hukum. d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang diperlukan sesuai dengan pokok pembahasan. Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah: - UUD 1945 original beserta Perubahannya. Adalah sebagai sumber hukum primer yaitu sebagai dasar landasan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis dengan dasar UUD 1945 yang asli (original) dan perubahannya inilah sebagai dasar acuan penulis dalam pembuatan penelitian hukum. - Buku dan artikel yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan khususnya tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melalui sumber buku,literatur, hasil penelitian hukum, risalah rapat yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini. Dari kedua bahan hukum primer dan sekunder ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap

20 bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan tersebut berhasil dikumpulkan dilanjutkan dengan wilayah-wilayah yang menjadi pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, artikel, risalah-risalah, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar serta peraturan perundangundangan yang mempunyai keterkaitan dengan penulisan ini Sistematika Pertanggungjawaban Dalam pembuatan proposal penulisan hukum (skripsi) ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggung jawaban. BAB II adalah menjelaskan bagaimana kedudukan hubungan kerja sesuai undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan KUHPerdata. BAB III adalah menjelaskan dari hasil penelitian pendapat Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 mengenai pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis. BAB II KEDUDUKAN HUBUNGAN KERJA

21 2.1. Hubungan Kerja Menurut KUHPerdata Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata pada hakikatnya yang memegang peranan penting di dalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya yaitu buruh dan majikan saja. Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hubungan hukum privat. Hubungan itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata dijelaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat diantaranya : a. Sepakat antara kedua belah pihak; b. Cakap; c. Suatu hal tertentu; d. Objek yang halal. Sedangkan pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaannya muncul suatu perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan secara musyawarah untuk mufakat dalam permasalahan antara buruh/pekerja dan pengusaha. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Di dalam Pasal 1601 a KUH Perdata yaitu Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh/pekerja) mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Imam Soepomo (53 : 1983 ) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan

22 menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. 5 Dari pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah Dibawah perintah pihak lain, di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja KUHPerdata dengan perjanjian kerja yang lain. Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja : a. Adanya unsur pekerjaan (Work) Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) pekerjaan tersebut haruslah dilakukan oleh pekerja hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. yang dalam hal ini dijelaskan dalam pasal 1603 huruf (a) yang berbunyi Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga dalam menggantikannya. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus dan harus batal demi hukum. 2010, hal Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

23 b. Adanya Unsur Perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikankepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja wajibpada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah terjadi perbedaan hubungan kerja dengan bermacam-macam hubungan kerja dengan hubungan lainnya suatu missal hubungan antara pengacara dengan kliennya, hubungan dokter dengan pasiennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau kliennya. c. Adanya Bentuk Upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja) bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja yang bekerja pada pengusaha adalah untuk menerima upah. Sehinggga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yangdiharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik dilapangan hotel Syarat-syarat sahnya perjanjian kerja menurut KUH Perdata Didalam suatu perjanjian, baik itu perjanjian kerja menurut KUHPerdata maupun UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang harus memenuhi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 1320 KUHPerdata yang wajib memenuhi empat syarat yaitu dengan penjelasan sebagai berikut : 2010, hal Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

24 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak adanya paksaan, kekeliruan, dan ataupun unsur penipuannya. Adanya kesepakatan dari pihakpihak yang membuat perjanjian yang dimaksud adalah dengan kesepakatan persetujuan secara bebas dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kehendak satu pihak haruslah juga kehendak yang lainnya juga. Kesepakatan harus diberikan dalam keadaan sadar, bebas dan tanggung jawab. tiga hal yang dapat menyebabkan tidak tercapainya kesepakatan secara bebas yaitu paksaan, khilaf, dan unsur penipuan. 1. Paksaan, terjadi yang dimaksud adalah dengan paksaan dapat berupa fisik dan paksaan phisikis. Paksaan phisikis sudah terjadi apabila ada ancaman menakut-nakuti, ancaman yang dimaksud disini adalah ancaman yang melawan hukum. Apabila tidak melawan hukum seperti ancaman gugatan atas kelalaian, maka tidak dapat dikatakan paksaan sesuai Pasal 1323 s/d Pasal 1325 KUH Perdata. 2. Kekhilafan, terjadi yang dimaksud dengan khilaf apabila pihak yang membuat perjanjian keliru menenai sifat, harga, dan jenis obyek yang diperjanjikan yang sesuai Pasal 1322 KUH Perdata. Kekeliruan disini haruslah yang tidak diduga dan disadari serta adanya kecenderungan siapapun yang memberi persetujuan akan berada dalam kekeliruan. Atas hal ini dapat dimintakan pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat.

25 3. Penipuan, yang dimaksud dengan penipuan apabila salah satu pihak memberikan informasi yang tidak benar mengenai subyek maupun obyek yang diperjanjikan dengan tujuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk memberikan persetujuan yang sesuai pasal 1328 KUH Perdata. 7 Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya kesepakatan kedua belah pihak. Orang yang membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu sepakat. b. Cakap dalam membuat suatu perjanjian Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sesuai Pasal 1329 KUH Perdata. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu mempunyai kemauan untuk menginsafi segala tanggung jawab yang akan dipikulnya karena perbuatannya. 8 Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap 7 R.Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, PT.Internusa, Jakarta, 2003, hal Ibid, hal 18.

26 untuk hal itu. Pihak-pihak yang dianggap tidak mempunyai kemampuan (tidak cakap) dalam membuat perjanjian adalah orang-orang yang dinyatakan sesuai pasal 1330 KUH Perdata adalah berbunyi sebagai berikut : a) Orang-orang yang belum dewasa; b) Mereka yang ditaruh dalam pengampuan; c) Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat perjanjian tertentu. Orang-orang yang dikatakan belum dewasa adalah dibawah 21 tahun KUH Perdata. Didalam Pasal 1601 huruf (h) KUH Pwrdata dikatakan bahwa Jika anak yang belum dewasa yang belum mampu membuat suatu perjanjian kerja, telah membuat perjanjian kerja dan karena itu selama enam minggu telah melakukanpekerjaan pada pengusaha/majikan tanpa rintangan dan walinya menurut undang-undang, maka ia dianggap telah diberi kuasa dengan lisan oleh walinya untuk membuat perjanjian kerja tersebut. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan yang disebut anak adalah setiap orang yang berumur 18 tahun (delapan belas) tahun. Undang- undang ketenagakerjaan hanya mengatur ketentuan umur saja yang tertuang dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 76 (ayat) 1. Orang-orang yang dibawah pengampuan adalah orang yang sakit ingatan dan apabila melakukan perbuatan hukum harus mengetahui walinya. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat perjanjian tertentu. Undang-

27 undang ketenagakerjaan menyatakan perjanjian kerja dibuat atas dasar kemampuan atau kesepakatan melakukan perbuatan hukum yaitu sesuai dengan Pasal 52 huruf (b). yang berbunyi kemampuan atau kecakapan seseorang melakukan perbuatan hukum. c. Suatu hal tertentu Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atas tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menentukan kewajiban siberhutang jika terjadi perselisihan. menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, tidak diharuskan oleh undang-undang bahwa barang itu harus ada atau sudah ada ditangan siberutang pada waktu perjanjian dibuat. Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Hal ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah artinya tidak bertentangan dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak, perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 52 huruf (c) UU ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja dibuat berdasarkan atas dasar adanya pekerjaan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang berkepentingan untuk melakukan perjanjian tersebut. d. Suatu sebab yang halal

28 Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat yang keempat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Menurut Pasal 52 huruf (d) UU ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerjaan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu sebab yang diperbolehkan atau apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. sebab yang tidak diperbolehkan ialah yang bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain perjanjian berisikan perikatan lain Kewajiban pengusaha menurut KUH Perdata Kewajiban pokok dari pengusaha hubungan kerja adalah membayar upah kepada pekerja/buruh menurut Pasal 1602 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut Si majikan diwajibkan membayar kepada siburuh upahnya pada waktu yang telah ditentukan, yang dalam hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1602 huruf (a) Upah yang ditetapkan menurut lamanya waktu harus dibayar sejak saat siburuh mulai bekerja hingga saat berakhirnya hubungan kerja. Selain membayar upah pekerja/buruh, pengusaha/majikan juga berkewajiban mengurus 9 J.Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 5.

29 pengobatan dan perawatan pekerja, dan juga memberikan surat keterangan sifat pekerjaan yang diperjanjikan. a. Kewajiban membayar upah Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah sesuai Pasal 1602 KUH Perdata kepada pekerjanya tepat waktu. ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan kearah hukum publik. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan upah minimum. Campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah ini penting guna menjaga agar jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlalu rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja meskipun upah tersebut upah paling minimum sekalipun. b. Mengurus pengobatan dan perawatan pekerja Pengusaha wajib mengurus perawatan pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan sesuai dengan Pasal 1602 huruf (x) yang berbunyi sebagai berikut Si majikan diwajibkan, jika seorang buruh yang bertinggal padanya sakit ataupun mendapat kecelakaan, selama berlangsungnya perhubungan kerja tetapi paling lama untuk waktu enam minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya yang sepantasnya diterima oleh buruh, sekedar tentang itu tidak telah diadakanaturan atas dasar yang lain. Ia berhak menuntut kembali biayanya dari si buruh, tetapi yang mengenai biaya

30 selama empat minggu yang pertama hanyalah apabila sakit atau kecelakaan itu disebabkan kesengajaan atau tak susila siburuh atau akibat dari suatu cacat badan tentang dimana siburuh sewaktu membuat perjanjian dengan sengaja telah memberikan keteranganketerangan palsu kepada simajikan. Tiap janji yang kiranya akan mengakibatkan bahwa kewajibankewajiban si majikan ini dikecualikan atau dibatasi adalah batal demi hukum. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan saja, tetapi juga pekerja yang tidak bertempat tinggal di rumahnya. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian, telah dijamin melalui perlindungan jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek. c. Kewajiban memberikan surat keterangan Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan pasal 1602 huruf (z) K UH Perdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memeberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tandatangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja), surat keterangan itu juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja. Surat baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.

31 Kewajiban pekerja/buruh menurut KUH Perdata Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, Pasal 1603 huruf (a,b,c) KUH Perdata yang pada intinya adalah sebagai berikut : a. Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan Melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukannya sendiri, meskipun demikian dengan seijin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK demi hukum). b. Buruh/Pekerja wajib mentaati aturan atau petunjuk pengusaha/majikan Dalam melakukan pekerjaannya buruh/pekerja wajib mentaati peraturan atau petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut. c. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda Jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian maka sesuai dengan prinsip hukum Pasal 1365 KUH Perdata yaitu, Perbuatan yang melanggar hukum dan

32 membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahan untuk mengganti kerugian tersebut pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda kepada majikan/pengusaha Hubungan kerja menurut UU Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan pasal 1 angka (4) memberikan pengertian pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum tetapi maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan-badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu dikaji karena upah selama ini diidentikan dengan uang, padahal ada pula yang menerima imbalan berbentuk barang Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat sahnya perjanjian sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (30) UU 10 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, op.cit Hal 74

33 Ketenagakerjaan Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau dilakukan oleh pekerja Ketentuan Upah Menurut UU Ketenagakerjaan Bagi pekerja khususnya yang bekerja diperusahan swata terdapat ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, besarnya tidak sama setiap Kabupaten/Kota, yang menjadi petanyaan apakah UMK sudah sesuai dengan kebutuhan hidup pekerja? yang menjadi pemikiran selanjutnya apakah besarnya upah yang diterima pekerja itu sudah adil sesuai beban kerja yang diterima oleh pekerja tersebut? Dari kriteria yang diberikan UU Ketenagakerjaan besarnya upah amatlah jauh dari kehidupan yang layak karena itu marilah kita melihat ketentuan SK Menaker No.Kep- 81/M/BW/1995 tentang penetapan komponen kebutuhan hidup manusia, berdasarkan ketentuan itu upah didasarkan pada Komponen Hidup Minimum Pekerja (KHMP) dan bukan kebutuhan fisik dari informasi dalam kenyataan sesungguhnya lagi. Sebagai bahan perbandingan adalah besarnya upah minimum tenagakerja Indonesia yang bekerja diluar negeri, berdasarkan ketentuan SKDirjen P2TKLN No.Kep-314/D.P2TKLN/X/2002 tentang pedoman pelaksanaan penempatan TKI dalam kendali lokasi minimal gaji netto (bersih) yang diterima TKI $ (US Dollar) dengan satu Dollar = Rp 8000 maka besarnya gaji adalah Rp apabila dikaitkan dengan penetapan

34 besarnya UMK rata-rata di Indonesia pada saat itu Rp bahwa UMK ratarata di Indonesia dibawah jauh upah standar Pekerja secara Internasional. Akibatnya Indonesia dituding sebagai suatu Negara yang melakukan kemiringan faktor upah berkaitan dengan rendahnya upah pekerja didalam dunia ketenagakerjaan Internasional. Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dasar dari pemberian upah adalah waktu kerja dan dari ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yang diatur dalam pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan : a. 7 (tujuh) jam, 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu, untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja kerja dalam 1(satu minggu). Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja diatur dalam Pasal 88 ayar (3) UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut : 1. Upah minimum; 2. Upah kerja lembur; 3. Upah tidak masuk kerja yang berhalangan; 4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya; 5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

35 6. Bentuk dan tata cara pembayaran upah; 7. Denda dan potongan upah; 8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; 9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; 10. Upah untuk pembayaran pesangon; 11. Upah untuk penghitungan pajak penghasilan; Ketentuan upah minimum yang diatur dalam Pasal 88 ayat (3) huruf (a) UU Ketenagakerjaan terdiri atas : a. Upah minimum berdasarkan atas wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota 11 Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur dengan keputusan menteri dan pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagai mana Pasal 89 UU Ketenagakerjaan dapat dilakukan pengguhan, tata cara pengguhan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur oleh keputusan menteri. Pemerintah menetapkan ketentuan upah minimum yang dujelaskan oleh Furqon Karim bahwa Upah minimum yang diatur pemerintah yang ide awalnya merupakan jarring pengaman agar perusahaan minimal membayar upah dengan 11 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,hal 109

36 harapan kebutuhan dasar bagi kehidupan pekerja relative mendekati terjangkau. Namun dalam kenyataanya upah minimum masih jauh dari kebutuhan dasar pekerja, sehingga kehidupan dalam hubungan industrial belum menciptakan keharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Apabila pengusaha mewajibkan pekerja untuk bekerja lembur, berdasarkan ketentuan Pasal (6) dan Pasal (7) Kemenakertrans No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan. Adapun cara penghitungan upah lembur diatur dalam Pasal (8) sampai dengan Pasal (11) Kepmenakertrans No.KEP.102/MEN/VI/2004. Selanjutnya sebagai upaya memberikan peningatan perlindungan hukum dibidang upah, berdasarkan Pasal 98 UU Ketenegakerjaan diatur mengenai Dewan Pengupahan yang berperan untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah serta untuk mengembangkan sistem pengupahan nasional dibentuk dewan pengupahan nasional. Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional sebagaimana yang dimaksud terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja, perguruan tinggi, dan pakar hokum. Keanggotaan dewan pengupahan sebagaiman yang dimaksud di tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh presiden sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi Kabupaten Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota sedangkan ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan,

37 serta tugas, dan tata kerja Dewan Pengupahan diatur dengan Keputusan Presiden Syarat sahnya perjanjian kerja menurut UU Ketenegakerjaan Dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materil diatur dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 UU Ketenagakerjaan. Syarat materil dari perjanjian kerja berdasarkan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan dibuat atas dasar : a. Kesepakatan kedua belah pihak; b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau perundang-undangan yang berlaku. Apabila kita kaji lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Selanjutnya berdasarkan Pasal 53 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa segala hal dan atau biaya yang diperlikan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha, perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat-syarat formil, berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU Ketenagakerjaan yaitu : 12 ibid hal 119

38 1. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat : a. Nama,alamat perusahaan, dan jenis usaha b. Nama,jenis kelamin, umur dan alamat pekerja c. Jabatan atau jenis pekerjaan d. Tempat pekerjaan e. Besarnya upah dan cara pembayarannya f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja g. Mulai dan jangka waktu perjanjian kerja h. Tempat dan tangal perjanjian kerja dibuat i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja 2. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (e) dan (f) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan perundang-undangan yang berlaku. 3. Perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua yang mempunyai hukum yang sama, serta pekerja dan pengusaha masing-masing mendapatkan (1) satu perjanjian kerja Beberapa perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan Di dalam melakukan hubungan kerja antara pengusaha atau majikan dengan pekerja, pengusaha lebih senang memilih pekerja dengan sistem kontrak kerja dari pada pekerja tetap. Hubungan kerja yang didasarkan pada sistem kontrak kerja lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan pekerja tetap. Hubungan kerja yang tidak dibatasi pada jangka waktu cenderung tidak efisien. Anggapan pengusaha menggunakan pekerja tetap tidak efisien karena harus memperhatikan banyak hal yang berkaitan dengan ketenangan kerja,

39 misalnya beberapa ketentuan dari peraturan yang mengatur mengenai upah, kesejahteraan, kenaikan upah berkala, tunjangan sosialnya, hari istirahat atau cuti, dan tidak mudah untuk memutuskan hubungan kerja secara sepihak apabila dikemudian hari ternyata pekerja yang bekerja pada pengusaha itu malas. Hubungan kerja yang didasarkan pada kontrak kerja lebih efisien, karena pengusaha bisa dengan sekehendak hati membuat atau menetapkan syaratsyarat kerja yang disepakati juga oleh pekerja. Dengan suatu misal disepakati hubungan kerja akan berlangsung selama dua (2) tahun dengan upah tertentu untuk jenis pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha. Didalam kontrak kerja tersebut juga ditetapkan hal-hal yang berkaitan dengan tunjangan kesejahteraan dan hari istirahat. Sistem tersebut membawa dampak yang kurang baik didalam penerapan kontrak kerja, karena lamanya kontrak kerja relative dapat dilakukan dalam jangka pendek. misal kontrak kerja dengan satu bulan kontrak, apabila lolos bisa diperpanjang tiga bulan kontrak kerja, apabila lolos lagi bisa diperpanjang enam bulan, dan selanjutnya bisa ditetapkan kontrak kerja dalam masa satu tahun. Begitu seterusnya dapat diterapkan untuk masa kerja satu setengah tahun dan masa kontrak kerja selama dua tahun. 13 Selanjutnya jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Ketenagakerjaan dibedakan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu selanjutnya juga disebut (PKWTT). 13 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hal 49.

40 1. Lingkup PKWT dan PKWTT Mengenai perjanjian kerja PKWT lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu antara lain yaitu : a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak cukup lama dan paling lama (3) tiga tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman dan atau; d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat di adakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat di perpanjang dan di perbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun, hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan ayat (1),ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum perjanjian kerja tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 2. PKWT untuk perjanjian yang bersifat musiman

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1. Tenaga Kerja Perempuan Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar 1945Pasal 27 ayat (2) berbunyi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) 1.1 Tenaga Kerja 1.1.1 Pengertian Tenaga Kerja Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK 2.1 Perjanjian Kerja 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kerja Secara yuridis, pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak 2.1.1 Pengertian pekerja Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat

Lebih terperinci

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Hubungan Kerja Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN 37 BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN A. Pengaturan tentang Hubungan Kerja Pada dasarnya hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh : Ruben L. Situmorang 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam menghadapi perkembangan era globalisasi pekerja dituntut untuk saling berlomba mempersiapkan dirinya supaya mendapat pekerjaan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 PENGUSAHA PEMERINTAH UU NO 13 TAHUN 2003 UU KETENAGAKERJAAN PEKERJA MASALAH YANG SERING DIHADAPI PENGUSAHA - PEKERJA MASALAH GAJI/UMR MASALAH KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA, PEMBERI KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja 2.1.1. Pengertian pekerja rumah tangga Dalam berbagai kepustakaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan patokan patokan perilaku, pada kedudukan kedudukan tertentu dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 2.1 Pengertian Tentang Tenaga Kerja Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundangundangan sebagaimana

Lebih terperinci

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Oleh: Arum Darmawati Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Hukum Ketenagakerjaan Seputar Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja (Perjanjian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN 1.1 Tenaga Kerja 1.1.1 Pengertian tenaga kerja Dalam Bab I Pasal 1 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengenai tenaga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa, Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK A. Perjanjian pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata (Burgerlijke Wetboek) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Perjanjian Kerja Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dasri perjanjian yang dimana masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, yang keseluruhan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 25 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang sangat penting dalam suatu kegiatan produksi.

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang sangat penting dalam suatu kegiatan produksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya tidak akan dapat menghasilkan produk tanpa adanya pekerja. Pekerja tidak dapat diabaikan eksistensinya dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedua belah

Lebih terperinci

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Oleh Suyanto ABSTRAK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai

Lebih terperinci

PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA/PERBURUHAN

PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA/PERBURUHAN PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA/PERBURUHAN Disusun Oleh : Arina Idzna Mardlillah (135030200111022) Silvia Indra Mustika (135030201111158) Nur Intan Maslicha (135030207111008)

Lebih terperinci

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.237, 2015 TENAGA KERJA. Pengupahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN

Lebih terperinci

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian kerja waktu tertentu. Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013 MK. ETIKA PROFESI ETIKA BISNIS Smno.tnh.fpub2013 Pengertian Etika Pengertian; Etika kata Yunani ethos, berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika flsafat moral, ilmu yang membahas nilai dan norma yang

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN U M U M

BAB I KETENTUAN U M U M UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG K E T E N A G A K E R J A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Hubungan Industrial Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA 2.1 Serikat Pekerja 2.1.1 Pengertian Serikat Pekerja Pengertian serikat pekerja/buruh menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang

Lebih terperinci

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum Rahasia Dagang 1. Penjelasan Rahasia Dagang Rahasia Dagang (Trade Secret) memegang peranan penting dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Rahasia Dagang

Lebih terperinci

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI RISMAN FAHRI ADI SALDI. NIM : 0810015276. Analisis Terhadap Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Outsourcing 1. Pengertian Outsourcing Outsourcing dalam bidang ketenagakerjaan, diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana perlindungan tersebut menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana perlindungan tersebut menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Di dalam Kamus Umum khususnya bidang hukum dan politik hal. 53 yang ditulis oleh Zainul Bahry, S.H., Perlindungan Hukum terdiri dari 2 suku kata yaitu: Perlindungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam

BAB I PENDAHULUAN. pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerja merupakan aset utama dalam sebuah perusahaan karena tanpa adanya pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam menghasilkan barang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang 11 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak, sehingga membutuhkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk menyerap tenaga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN Industrial Relation in Indonesia UU No. 13, Tahun 2003 HRM - IM TELKOM 1 DEFINISI KETENAGAKERJAAN. Segala yang berhubungan dengan tenaga kerja pada saat sebelum, selama, dan

Lebih terperinci

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN 1 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 560 2492 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA 31 CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA SURAT PERJANJIAN KERJA Nomer: ---------------------------------- Yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama : Jabatan : Alamat : Dalam hal ini bertindak atas nama direksi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERLINDUNGAN BURUH/PEKERJA INFORMAL DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN III) HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 HUBUNGAN KERJA Hubungan Kerja adalah suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah

Lebih terperinci

H U B U N G A N K E R J A

H U B U N G A N K E R J A IX H U B U N G A N K E R J A HUBUNGAN KERJA TERJADI KARENA ADANYA PERJANJIAN KERJA Pengusaha Pekerja/buruh Secara tertulis / lisan ps 51 (1) Untuk waktu tertentu ps 56 (1) Untuk waktu tidak tertentu Perjanjian

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang sangat sering dihadapi oleh negara-negara seperti halnya Indonesia. Persoalan yang paling mendasar

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah

BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah hubungan kerja berdasarkan perjanjian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1. Pengertian Tenaga Kerja Pengertian Tenaga Kerja dapat di tinjau dari 2 (dua)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian kerja merupakan awal dari lahirnya hubungan industrial antara pemilik modal dengan buruh. Namun seringkali perusahaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

Lebih terperinci

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4

Perselisihan dan Pemutusan. hubungan kerja. berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan BAB 4 BAB 4 Perselisihan dan Pemutusan Hubungan Kerja 1. Perselisihan dan Pemutusan Hubungan Kerja Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. P. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan. a. Pihak Pihak yang Terlibat dalam Ketenagakerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. P. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan. a. Pihak Pihak yang Terlibat dalam Ketenagakerjaan 28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA P. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan a. Pihak Pihak yang Terlibat dalam Ketenagakerjaan 1) Pekerja/buruh Sebelum Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Lebih terperinci

HUKUM KETENAGAKERJAAN

HUKUM KETENAGAKERJAAN HUKUM KETENAGAKERJAAN Oleh Suripno Pengantar Istilah : 1. Buruh 2. Pekerja 3. Karyawan 4. Pegawai Pengertian hukum ketenagakerjaan Secara yuridis Pengertian buruh: 1. Buruh: setiap orang yg bekerja pd

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha di Indonesia semakin berkembang dan berdaya saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerja

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

SURAT PERJANJIAN KERJA

SURAT PERJANJIAN KERJA SURAT PERJANJIAN KERJA No. 168/SPK-01/AMARYAI/I/2017 Pada hari... tanggal... bulan... tahun... telah dibuat dan disepakati perjanjian kerja antara : Nama : PT.... Alamat : Jln.... Kemudian dalam hal ini

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja

Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja HAK TENAGA KERJA ATAS JAMSOSTEK YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh: Marlina T. Sangkoy 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah Hak Tenaga Kerja atas Jamsostek yang mengalami

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TENTANG KONDISI KERJA, HUBUNGAN KERJA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN PERBURUHAN/ INDUSTRIAL DI INDONESIA 1 Oleh : Noveria Margaretha Darongke 2 ABSTRAK Obyek dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN Bagian Kesatu Perlindungan Paragraf 1 Penyandang Cacat Pasal 67 1. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial I. PEMOHON 1. Joko Handoyo, S.H.,.. Pemohon I 2. Wahyudi, S.E,. Pemohon II 3. Rusdi Hartono, S.H.,. Pemohon III 4. Suherman,.....

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA

CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJA SURAT PERJANJIAN KERJA Nomer: Yang bertanda tangan di bawah ini: 1. Nama : Jabatan : Alamat : Dalam hal ini bertindak atas nama direksi ( nama perusahaan ) yang berkedudukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING 24 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING 2.1. Tinjauan Umum Tentang Pekerja 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Pekerja Pemakaian istilah tenaga kerja, pekerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci