LATERITISASI NIKEL PULAU PAKAL, KAB. HALMAHERA SELATAN PROVINSI MALUKU UTARA
|
|
- Leony Budiman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 LATERITISASI NIKEL PULAU PAKAL, KAB. HALMAHERA SELATAN PROVINSI MALUKU UTARA Heru Sigit Purwanto & Sari Agustini Program Pascasarjana Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRACT Laterite nickel study area in the southern part of the Pakal island is nickel mine owned by PT Antam ( presero ) Tbk, which has been done in mining ore for export.ultramafic rocks are part of a series of regional ophiolite that formed as a plate collision obduction ocean crust on the island arc in the western Pacific plate. Minerals analysis with XRD and petrography are olivine and pyroxene which partially altered into serpentine as lizardite, chrysotile and talc. Olivine is a mineral that most carriers element Ni to 0.3 %. Ultramafic rocks classification based on mineral composition of olivine and piroksen are dunite and peridotite which is weak-strong serpentinize. Weathering process is strongly influenced by the origin of rock types, minerals and elements stability, mobilization ions, residual concentration and enrichment. Relative concentration of elements Mg and SiO 2 which is inversely proportional to the mobile elements that are immobile Fe. Alteration of olivine and pyroxene due to weathering processes starts from the unstable nature altered into smectite in the saprolite and transition zone. Chrysopras is quartz vein that is formed on the associated with nickel saprolite zone between the boulders filled fractures. Serpentine and talc have altered slower and more stable at acidic ph but in alkaline ph more acid was forming secondary minerals such as oxidation minerals (hematite and gibbsite) and hydroxide minerals as goethite. Ni unstable in acidic ph was close to the surface and then tends to bind elements also form a ferro magnesian garnierite.weathering process of unserpentine rocks was faster than serpentines rocks. The relative concentration of Ni in unserpentine rocks more than weak until strong serpentinize rocks, with a ratio of 3-6 : 2-3.Enriched Ni > 1.5 % occurred in the saprolite zone and transition zone with Fe < 13 %, % Mg, with a range of 0.03% Co. Concentration of nickel study area can be classified as a potential Hydrous silicate Deposits (saprolite zone) and Oxide deposite (zone limonite - transition), the fix system processing nickel laterite ore for study area is a combination of propagators pyrometalurgical and hydrometallurgy.
2 PENDAHULUAN Laterit nikel di Pulau Pakal berasal dari batuan ultramafik, series ofiolit yang sebagian terserpentinkan dan tersingkap ke permukaan kemudian terlapukan secara kimiawi, dipengaruhi oleh faktor kekar, air permukaan, stabilitas mineral, mobilitas unsur dan Ph, menyebabkan terurainya ikatan ion, termobilisasi unsur dan pembentukan mineral baru yang lebih stabil, serta terjadinya proses pengayaan Ni. Lokasi daerah penelitian Gambar 1. Lokasi penelitian Studi literatur, dilakukan di Jakarta, adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang teori pembentukan laterit, penelitian yang dilakukan sebelumnya, adalah 1. Subiyanto dan E Rusmana, 2001, Daerah Buli dan sekitarnya termasuk Pulau Pakal termasuk dalam mintakat Waigeo Halmahera Timur, merupakan komplek ofiolit dengan litologi penyusun batuan mafik dan ultramafik. Kromit primer bentuk pod berasosiasi dengan dunit terdapat di Pulau Pakal. 2. PT Antam (persero) Tbk Unit Geomin, tidak di publikasikan, daerah penelitian tersusun oleh batuan ultramafik yang sudah terlapukan dan membentuk laterit nikel. Batuan ultramafik disetarakan dengan batuan ultramafik berumur Tersier dari satuan batuan ultrabasa. Pengumpulan data sekunder, pada tahap pendahuluan dilakukan di Jakarta, antara lain peta geologi regional, data bor daerah penelitian yang sudah ada, termasuk data diskripsi, data hasil analisa kimia, koordinat bor dan peta topografi. Pengumpulan data dilakukan di Jakarta dan di lapangan. Pengumpulan data percontoan di Jakarta berupa duplikat preparasi analisa kimia berupa bubuk 200#. Pengumpulan data dilapangan berupa percontoan di lokasi kegiatan, yang sebagian sudah terbuka karena aktifitas tambang terbuka dan lokasi MBT. Analisa yang dilakukan terhadap conto yang telah dikumpulkan adalah Analisa mineral menggunakan XRD d8 Advance milik PT Antam (persero) Tbk Unit Geomin Analisa petrografi menggunakan mikroskop polarisasi milik PT Antam (persero) Tbk Unit Geomin
3 Pengolahan data dilakukan di Jakarta, menggunakan beberapa software yaitu map info, surfer, exel dan minitab, dilanjutkan dengan evaluasi dan pembuatan laporan. Alur kerja penelitian seperti pada diagram di Gambar 2. Gambar 2. Diagram alir kegiatan penelitian
4 LANDASAN TEORI Golightly (dalam Elias, 2002:hal 205), laterit nikel adalah produk dari lateritisasi batuan kaya Mg atau ultramafik dengan kandungan Ni 0,2-0,4%. Brand et al (dalam Elias, 2002: 205), batuan ultramafik jenis dunites, harzburgites dan peridotite terjadi di komplek ofiolit dan pada bagian lebih dalam hadir mineral komatiites dan layer intrusives batuan mafik - ultramafik pada lempeng benua. Hasil proses lateritisasi berupa konsentrasi nikel dan cobalt 3-30% pada skala regional dan lokal hasil interaksi dinamis dari beberapa faktor seperti iklim, topografi, tektonik, jenis batuan dasar dan struktur (Elias, 2002:hal 205) Unsur nikel pada mineral mafik, berkadar semakin kecil sesuai urutan adalah olivin > orthopiroksen > clinopiroksen dan pada batuan ultramafik berkadar semakin kecil sesuai urutan adalah dunit> peridotit>piroksenit. Kromit dan magnetit primer dapat juga sebagai pembawa unsur nikel dalam jumlah kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan kimiawi menurut Ahmad (2006: bab 5 hal 30) adalah : 1. Kestabilan mineral (struktur kristal, melting points) 2. ph (asam / basa) 3. Reduksi / oksidasi 4. Ukuran butir dan kekar 5. Kecepatan pelarutan 6. Iklim 7. Topografi 8. Waktu 9. Struktur batuan 10. Permukaan air tanah Pembentukan nikel laterite menurut Ahmad,2006, membutuhkan beberapa faktor, yaitu: 1. Batuan induk yang mengandung besi dan alumunium. 2. Temperatur relatif tinggi 3. Tinggi curah hujan 4. Intense leaching 5. Lingkungan yang teroksidasi kuat 6. Gentle topography Mobilitas unsur kimia di air tanah, menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut : Polynov (di dalam Ahmad, 2006: bab 5 hal 8), membandingkan komposisi ratarata dari material terlarut di air sungai dengan komposisi rata-rata batuan beku. Berdasarkan data tersebut, dibuatlah urutan komponen yang mempunyai kemampuan mobilitas dengan urutan Cl, SO4, Ca, Na, Mg, K, SiO 2, Fe 2 O 3,Al 2 O 3 Hudson (di dalam Ahmad, 2006:bab 5 hal 9), melanjutkan Polynov, berdasar perbandingan komposisi kimia di air sungai berdasar komposisi rata-rata dari batuan. Elemen berurut berdasar kemampuan mobilitasnya adalah Cl > SO4 > Na > Ca > Mg > K > Si > Fe +++ > Al, Ca ++, Mg ++, Na + adalah unsur yang mudah larut dan hilang pada saat pencucian, Unsur Fe ++ (ferrous iron) pada saat pencucian akan termobilisasi. Si adalah unsur yang pada saat proses pencucian berlangsung membentuk larutan H 4 SiO 4. Silica akan mudah terlarut pada kisaran Ph tertentu, tetapi lebih mudah dibawah kondisi asam. Kristal dari
5 Quartz akan terlarut dan menjadi silica amorf. Silica biasanya berkombinasi dengan Al, Mg dan Fe pada mineral clay pada kondisi yang tepat. Fe 3+ (ferric iron) adalah unsur yang immobile dibawah kondisi oksidasi. Ratio Fe 2 O 3 /FeO meningkat selama proses pelapukan dengan proses oksidasi. Pada kondisi yang bersifat oksidis, maka akan terbentuk mineral goethite. Pada kondisi asam (high organic matter) dan lingkungan yang kurang oksidasinya maka mineral ferrihydrite akan terbentuk. Al 3+ adalah unsur yang bersifat immobile pada Ph normal atau Proses pengolahan laterit nikel pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 menurut Ahmad (2006: bab 7 hal 7), yaitu Pyrometallurgical, Hydrometallurgical dan Combine Pyromet / Hydromet, yaitu : 1. Pyrometallurgical : Nikel di pisahkan oleh proses pada molten stage, biasa di gunakan untuk proesesing laterit nikel zona saprolit, tanpa memperhitungkan potensi kobalt. 2. Hydrometallurgical : Ni di pisahkan oleh proses leaching and represipitasi, laterit nikel yang diolah adalah zona non saprolit (konsumsi asam rendah); power yang digunakan dapat di minimalkan, kehadiran kobalt sangat penting dalam keeonomian. 3. Combine Pyromet / Hydromet : dimana proses reduksi terjadi pada kilns tetapi calcine terleaching dari smelter. GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian termasuk dalam Mandala Fisiografi Halmahera Timur, meliputi lengan timurlaut, lengan tenggara dan beberapa pulau kecil di sebelah timur Pulau Halmahera. Morfologi mandala ini terdiri dari pegunungan berlereng terjal dan torehan sungai yang dalam, serta sebagian mempunyai morfologi karst. Morfologi pegunungan berlereng terjal merupakan cerminan batuan keras. Jenis batuan penyusun pegunungan ini adalah batuan ultrabasa. Morfologi karst terdapat pada daerah batugamping dengan perbukitan relatif rendah dan lereng yang landai. Basemen Halmahera bagian Timur meliputi ofiolit, batuan metamorf, dan batuan sedimen. Ofiolit terbentuk oleh gerusan kuat dan mafik terbreksikan dan batuan ultramafik meliputi peridotit terserpentinisasi, gabbro, basalt, dan diabas (Sukamto et al., 1981). Hall et al (1988) mencatat bahwa kompleks basemen tidak hanya didominasi oleh batuan ultrabasa, meskipun jenis batuan terlihat bervariasi dari daerah ke daerah, dan kompleks basemen meliputi rijang radiolaria berwarna merah dan batulumpur berwarna merah. Batuan beku basa dan batuan ultrabasa, membentuk basemen pada lengan timur Halmahera. Pulau Pakal secara regional tersusun oleh batuan ultrabasa berumur Pra-Tersier. Komplek batuan ultramafik terdiri dari dunit, harsburgite, lersolit dan serpentinit (Subiyanto & Rusmana, 2001). Dunit berbutir halus sampai menengah, sebagian telah mengalami serpentinisasi. Butiran kromit halus umumnya terdapat secara tersebar dalam jumlah <1%. Topografi pulau Pakal pada bagian puncak dengan kontur yang tidak rapat, dan semakin mendekati ke pantai kontur semakin rapat atau semakin terjal. Interpretasi kelurusan dari analisa topografi, berarah Timurlaut Baratdaya dan Tenggara Baratlaut.
6 Gambar 3. Gambar 3D Pulau Pakal dan interpretasi kelurusan Analisa Geokimia Hasil ploting dari 3 unsur oksida SiO 2, MgO dan FeO, menunjukkan mineral mafik penyusun batuan adalah forsterit dan enstantite (Gambar 4). Gambar 4. Ploting lomposisi kimia olivin dari komposisi SiO 2, MgO dan FeO Hasil ploting terhadap MgO-NiO-SiO2 maka termasuk dalam kelompok mineral serpentin garnierite Mg, dengan Ni<1% (Gambar 5). Gambar 5. Diagram terniery SiO2, MgO dan NiO jenis garnierit
7 Analisa Mineralogi XRD Komposisi mineral hasil analisa XRD, (Gambar 6), secara umum dikelompokkan menjadi : a. Serpentin terdiri dari lizardite, chrysotile, antigorite, talc. b. Olivin Piroksen terdiri dari forsterite, enstantite, diopside c. Oksida berupa goethite, hematite, gibbsite, bayerite, maghemite d. Clay berupa nontronite e. Mineral silika quartz f. Mineral hornblende adalah tremolit dapat Gambar 6. Analisa mineral XRD Analisa Petrografi Core CIII-h2/ 24-23, kedalaman 52 m, berupa batuan piroksenit (olivin ortho pyroksenit), komposisi : olivin, dan orthopiroksen, mineral sekunder serpentin (antigorit) mengisi retakan, dan mineral opak sekunder (magnetit), dan oksida besi sebagai lapukan. Mineral aksesories kromit, XRD Enstantite = 27.57%; Antigorite = %, Quartz= 50.58%; XRF Ni= 0.36; CO=-; Cr 2 O 3 =0.60; CaO=1.55; Fe=7.15; SiO 2 =49.42; MgO=32.84; Al 2 O 3 =1.88.
8 Core CIII-h2/ 30-2, kedalaman 46 m, berupa batuan peridotite (harzburgite), komposisi : olivin, mineral sekunder serpentin (antigorit), magnesit, dan magnetit mengisi retakan. Mineral aksesories kromit, pentlandit, magnetit, mineral XRD Lizardite = 30.94; Enstantite = 30.89%; Forsterite = 24.85%; Ferro actinolite = 2.40%; Talc = 10.93% ; XRF Ni= 0.25; CO= -; Cr2O3=0.58; CaO=1.51; Fe=6.45; SiO2=45.50; MgO=37.35; Al2O3=2.61, foto IV.17. Core CIII-h2/11-16, kedalaman 53,5 m, berupa batuan peridotite (harzburgite), komposisi mineral mafik, olivine dominan, orthopiroksen pada masa dasar afanitik; XRD Lizardite = 65.01%; Quartz = 24.87%; Ferro actinolite 10.12%, XRF Ni= 0.5; CO=0.01; Cr2O3=0.63; CaO=0.30; Fe=7.41; SiO2=45.59; MgO=37.85; Al 2 O 3 =1.24 Mobilitas dan konsentrasi unsur Mobilitas unsur dapat terlihat dari faktor konsentrasi unsur pada lingkungan yang sesuai. Nilai faktor konsentrasi besar menunjukkan adanya perbedaan nilai dari nilai asal (Tabel 1 dan Gambar 7). Tabel 1. Faktor konsentrasi relatif unsur data bor CIII-i3/22-8 RC, harzburgite terserpentinkan lemah Konsentrasi Relatif MgO Al 2 O 3 Fe SiO 2 Ni Cr 2 O 3 Co MnO Lim : Bedr Tran : Bedrock Sap : Bedrock Gambar 7. Grafik Grafik histogram faktor konsentrasi relatif unsur bor CIII-i3/22-8 RC, harzburgite terserpentinkan lemah. SiO 2 dan MgO bersifat mobile sebagai fungsi dari kandungan Fe yang bersifat immobile pada profil laterit menunjukkan bahwa SiO 2 dan MgO pada saat pembentukan mineral dari Fe seperti goethite / haematite sudah terlarutkan dan selain itu dapat menunjukkan bahwa MgO lebih mudah larut pada awal pelapukan dan SiO 2, akan terlarutkan sampai tahap akhir pelapukan (Gambar 8).
9 Gambar 8. SiO 2 dan MgO % sebagai fungsi dari Fe %, bor CIII-i3/22-8RC Jejak unsur mobile dan immobile pada laterit Jalur pembentukan lateritisasi dapat digambarkan sebagai fungsi dari unsur SiO 2 dan MgO terhadap Fe Tabel 2. Perbandingan prosentase perubahan unsur pada batuan terserpentinkan (Ser) dan tidak terserpentinkan (Non Ser) Zona SiO 2 MgO FeO Ser Non Ser Ser Non Ser Ser Non Ser Limonite Transisi Saprolite Bedrock Perbandingan jumlah dalam prosen perubahan unsur setiap zona pada batuan yang terserpentinkan dan tidak terserpentinkan, Tabel V.2, menunjukkan perbedaan di MgO pada zona saprolit, lebih besar di batuan tidak terserpentinkan karena terbentuk formasi saprolit, dengan boulder yang masih membawa tekstur batuan asal dan dibatasi oleh bidang kekar yang dapat dilalui air sebagai media pelapukan kimia, sehingga FeO meningkat. Zona transisi SiO 2 pada batuan tidak terserpentinkan berasosiasi dengan mineral lempung yang merupakan mineral sekunder ubahan olivine (Gambar 9). Gambar 9. Jalur pembentukan laterit batuan terserpentinkan (A) dan tidak terserpentinkan (B).
10 Diagram terniery antara SiO 2, MgO dan NiO, zona bedrock dan saprolit dengan Ni<1%, kemudian di zona limonite 1,2-2,5% dan pada zona transisi rata-rata >2%., lihat Gambar 10, dan tidak termasuk dalam jenis mineral garnierite. Supergene Ni Gambar 10. Diagram terniery unsur SiO2, MgO dan NiO perzona bor CIII-i2/22-8 RC supergene Ni, ada kick nilai Ni<1.5% dan bahkan cenderung mendekati nilai 0.3% yang merupakan jumlah kandungan Ni pada olivine. Hal ini dapat dikorelasikan dengan data bor dan data mineral, adalah boulder batuan asal yang belum terlapukan dan terdapat di zona saprolit (Gambar 11) Kadar Ni yang tinggi dapat di interpretasikan berasosiasi dengan quartz (XRD) diperkirakan sebagai krisopras, di bagian bawah saprolit, dan beberapa nilai tinggi yang lainnya adalah garnierite (XRD). Gambar 11. Supergene / pengayaan unsur Ni profil laterit bir CIII-i2/22-8RC
11 Stabilitas unsur pada laterit Gambaran stabilitas unsur pada laterit seperti pada gambar 12. Gambar 12. Supergene Ni pada laterit batuan ultramafik (modifikasi Taylor & Eggleton, 2001). PROSES LATERITISASI Proses mineralisasi laterit karena pelapukan kimia biasanya terjadi karena adanya ketidakseimbangan air yang dekat permukaan, temperature dan aktivitas biologi. Pelapukan kimia dapat berupa proses hydrolysis, oxidation, hydration dan solution, yang akan menghasilkan mineral baru yang berbeda dari mineral asalnya. Perubahan mineral-mineral asal dan pembentukan mineral baru dapat digambarkan pada Gambar 13. Gambar 13. Sketsa perubahan dari batuan asal menjadi laterit (modifikasi). Perubahan yang terjadi pada batuan ultramafik menjadi laterit pada zona bedrock, saprolit, transisi dan limonit dengan tahapan sebagai berikut : Tahap 1 : Batuan ultramafik, dominan olivin (forsterit), piroksen (enstantite) dan serpentin (lizardit), terkekarkan dan terlapukkan daerah sekitar kekar terlebih dahulu. Mineral serpentine berupa hydrothermal mafic mineral (Ahmad, 2006), seperti lizardit dan mineral talk. Talk dapat terbentuk karena ubahan dari serpentin pada temperature
12 C, karena proses hydration, dengan reaksi kimia dibawah ini, melepaskan air dan ion Mg terlarutkan 3MgO.2SiO2.2H2O 3MgO.4SiO2.H2O + 3H2O + 3MgO Serpentine talc + air + ion Mg (Ahmad, 2006) Talc pada bor CIII-i3/22-8, pada zona bedrock hadir 14.17% dan semakin keatas semakin kecil menjadi 0.94%, dan pada batas dengan saprolit naik menjadi 9.35%, dan pada boulder 2.2%. Hal ini menunjukkan bahwa talk adalah mineral hasil proses serpentinisasi dari olivin. Tahap 2 : Pelapukan tahap pertama ini akan melepaskan unsur Mg 2+ dan Si 2+, Fe, Ni, Al menjadi ion-ion yang bersifat lepas. Mineral olivin akan terlarutkan lebih dahulu, dilanjutkan oleh piroksen dan serpentin menurut Golightly (di dalam Ahmad, 2006). Olivin yang lapuk, akan membentuk mineral smectite atau bisa langsung menjadi goethite, sedangkan pelapukan piroksen dapat menghasilkan talk atau serpentin. 8(MgFe) 2 SiO4 + 16H + + O 2Mg 3 Si 4 O 10 (OH) 2 2FeO(OH) + 8Mg H 2 O Olivin Saponite (Taylor & Eggleton, 2001) (Fe,Mg) 2 SiO 4 + 5H + 2FeOOH + H 4 SiO 4 + Mg 2+ Olivin + ion hydrogen Goethite + molekul silicic acid + ion Mg (Golightly) (Mg, Fe)SiO3 + 2 H + + H2O Mg 2+ + Fe 2+ + H 4 SiO 4 Piroksen + ion hidrogen + air Ion Mg, Fe + molekul silicic acid (Golightly) Jika pada proses pelapukan terdapat mineral yang bersifat tidak stabil seperti olivin (cepat larut) dan mineral yang lebih stabil (tidak mudah larut), maka cenderung akan terbentuk mineral sekunder, karena adanya ketidakstabilan yang bersifat ekstrim (Golightly). Perubahan ph merupakan faktor yang dapat menyebabkan suatu mineral menjadi tidak stabil. ph air tanah menjadi lebih basa / alkalin karena kontak langsung dengan mineral-mineral mafik seperti olivin dan piroksen semakin ke permukaan dan pengaruh air hujan dan air tanah akan menjadi lebih bersifat netral sampai asam. Olivin dan piroksen adalah termasuk mineral yang tidak stabil dan mudah larut pada PH 5-9 Golightly (di dalam Ahmad, 2006). Si yang terlepas dari mineral olivin atau piroksen dari ikatan struktur silikat, kemudian silica yang telah bebas terikat dengan molekul air membentuk silicid acid / asam silikat. Silica larutan ini akan mengikat kation yang lain seperti Fe dan Al SiO2 + 2H2O H 4 SiO 4 Sisa Silica + air asam silikat Al, Fe, Cr termasuk unsur yang bersifat stabil. Al tidak stabil pada kondisi lingkungan PH <4 atau >8, sehingga mudah larut. Al yang terlepas dari ikatan mineral ferro magnesian dapat bergabung dengan silica atau kation lainnya membentuk mineral lempung, seperti nontronit (Fe-smectite). Cr tidak terlarutkan, sehingga akan menjadi residu pada setiap zona dalam bentuk mineral-mineral spinel.
13 Mineral serpentine yang lebih bersifat stabil dari pada olivin dan piroksen, tidak mudah terlapukkan, sehingga hampir di temukan pada zona saprolit sampai batas atas. Mineral talk lebih bersifat stabil dari serpentine, mineral ini hadir pada zona saprolit. Mineral talk yang hadir di zona ini di perkirakan adalah mineral talk primer yang ridak mengalami proses pelapukan, karena sifatnya yang stabil di bandingkan mineral yang lainnya. Ni yang bersifat setengah mobile akan tertinggal dan mengikatkan diri dengan H4SiO 2 mengisi rekahan diantara boulder menjadi vein-vein krisopras. Tahap 3 : Pada tahap ini terjadi proses oksidasi, berupa penambahan O 2-, di bagian atas laterit dekat permukaan. Pengaruh air permukaan menyebabkan PH lingkungan bagian atas menjadi lebih asam. Fe akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap sebagai ferri hidroksida (Fe 3+ ), membentuk mineral goethite FeOOH dan hematit Fe2O3. Cobalt hadir dalam jumlah kecil, Al yang membentuk mineral bauksit menunjukkan ph pembentukan antara 4 8 pada bagian atas laterit. Mineral-mineral yang tidak stabil pada lingkungan asam menjadi tidak stabil dan terlarutkan. Menurut Golightly (di dalam Ahmad, 2006) dan dikorelasikan dengan ph pembentukan gibbsite, maka beberapa mineral seperti olivin, piroksen, serpentin, talk dan silica amorf menjadi mudah larut. Butiran mineral chromit yang berkomposisi dominan goethite + chromite+mineral aksesories. Tahap 4 : Pada tahap ini, unsur-unsur yang bersifat mobile sudah melarut dalam air, dan tinggal beberapa unsur yang bersifat semi mobile seperti Ni dan Co, menyababkan ph menjadi lebih bersifat asam. Ni relatif lebih gampang terlarutkan dari Mn 2+ dan Co 2+ pada kondisi air permukaan yang bersifat asam dan akan cenderung turun ke bawah dengan ph nya sedikit lebih basa, menggantikan ion Mg yang lebih mudah larut dalam mineral serpentine dan terjadi pengayaan dalam bentuk mineral garnierite yang mengisi rekahan-rekahan. Tahap 5 : Ni pada goethite di zona limonit pada ph rendah menjadikannya bersifat mobilitas rendah dan cenderung turun ke zona transisi dan zona saprolit yang mempunyai ph lebih alkalin terhadap kedalaman sehingga menjadi zona pengayaan. Selain itu Ni, yang menggantikan unsur Mg pada mineral serpentine, membentuk mineral Ni serpentine atau nickeliferous serpentine. H 4 Mg 3 Si 2 O 9 + 3Ni 2+ H 4 Ni 3 Si 2 O Mg 2+ (Ahmad, 2006) Serpentine + Ni Ni serpentine + Mg Ni yang berasosiasi dengan silica menjadi krisopras dan mengisi rekahan. Co yang bersifat mobilitas rendah pada kondisi asam akan cenderung turun dan terendapkan pada zona transisi yang merupakan batas bawah zona limonit dan bagian atas zona saprolit.
14 Gambar 14. Skema pembentukan mineral sekunder, mobilitas dan konsentrasi unsur pada laterit nikel hasil pelapukan. Potensi Nikel di batuan terserpentinkan Potensi Ni pada batuan terserpentinkan pada batuan harzburgit terserpentinkan kuat sedang lemah. Batuan harzburgite yang terserpentinkan (lemah), berkomposisi forsterit 40.50%, enstantite 25.04%, tremolite 3.67%, lizardit 16.63%, talc 14.17%, terbentuk formasi saprolit (zona saprolit) yang berpotensi terjadinya pelapukan kimia pada bidang retakan antar boulder yang rendah Mg dan kaya akan SiO2 amorf (XRD) dengan relatif konsentrasi Ni mencapai 6x dari bedrock dan pada bagian atas zona saprolit pengaruh fluktuasi muka air tanah, sehingga menjadi zona yang lebih lapuk, sehingga Ni dapat terkayakan. Batuan harzburgit yang terserpentinkan (sedang), berkomposisi lizardit = 30.94; enstantite = 30.89%; forsterite = 24.85%; ferro actinolite = 2.40%; talc = 10.93%, dimana serpentine > enstantite > forsterit, terbentuk formasi saprolit, dengan rekahan yang membatasi boulder sebagai jalan proses pelapukan kimiawi oleh air tanah, Mg dan Si rendah, Fe mulai meningkat, dan Ni terkonsentrasi pada zona saprolit. Batuan harzburgite yang terserpentinkan (kuat) berkomposisi lizardit = 65.01%; Quartz = 24.87%; ferro actinolite 10.12%, mineral serpentine > piroksen, terbentuk formasi saprolit dengan boulder yang lebih sedikit (karena lebih keras) sehingga pelapukan kimiawi di rekahan antar boulder menjadi tidak efektif di cirikan dengan kandungan Mg dan Si di luar boulder masih tinggi. Pada zon transisi di bagian atas zona saprolit dipengaruhi fluktuasi air permukaan mengakibatkan pelapukan kimiawi lebih inetnsif dan Ni lebih dapat terkonsentrasi. Potensi nikel laterit berkembang baik pada batuan harzburgite yang terserpentinkan lemah dibandingkan batuan yang terserpentinkan sedang kuat. Hal ini di karenakan mineral olivin system kristal single tetrahedral lebih tidak stabil dibandingkan serpentine yang system kristal sheet silicon tetrahedral.
15 KESIMPULAN 1. Koefisien relatif unsur SiO 2 dan MgO sebagai fungsi Fe, adalah indikator proses pelapukan kimiawi dalam pembentukan laterit nikel. 2. Perilaku unsur dipengaruhi oleh stabilitas mineral, Ph lingkungan, proses reduksi / oksidasi, air permukaan dan topografi. 3. Batuan ultramafik terserpentinkan lebih lama terlapukan dibandingkan batuan ultramafik yang tidak terserpentinkan. 4. Potensi Ni, laterit batuan ultramafik tidak terserpentinkan lebih besar dibandingkan batuan yang terserpentinkan hal ini di pengaruhi oleh jenis mineral, stabilitas mineral, stabilitas unsur dan Ph lingkungan. 5. Proses pengolah bijih Ni pada daerah penelitian yaitu kombinasi hydrometalurgi dan pyrometalurgi, dengan Ni %, Co %, Fe 10-25%, MgO 15-35% dan Cr2O3 1-2%. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, W. 2008, Nickel Laterites : Fundamental of chemistry, mineralogy, weathering process, formation and exploration, Tidak di publikasikan, Vale Inco VISTL, hal 330 Apandi dan Sudana, 1980, Peta Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, hal 1 Augusman, R., 2009, Estimasi dan Simulasi Sumberdaya nikel laterit menggunakan metode geostatistik, studi kasus enadapan nikel laterit di Pulau Pakal, Halmahera Timur, Maluku Utara, Tidak di publikasikan, ITB, hal VI-2 Elias, M., 2002, Nickel laterite deposits geologic overview, resources and exploitation in Giant ore Deposits: characteristics, genesis, and exploration, Cooke, D.R., Pongratz, J.,eds Centre for ore deposits research special Publication 4. University of Tasmania, hal Golightly, J.P. 1979, Nickeliferous laterite : A General Description, International laterite Symposium, New Orleans 1979, Society of Mining Engineers American Institute of Mining and Metallurgical, and Petroleum Engineers, Incorporated, hal Kadarusman, A., 2008, Nickel Laterite Potenstial in Eastern Indonesia, Tidak di publikasikan, power point, hal 39 Taylor, G. and Eggleton, R.A. 2001, Regolith geology and geomorphology, Wiley, New York, hal 375
Jakarta, Januari 2014 Penulis. Sari Agustini
KATA PENGANTAR Allhamdulillah, puji syukur hanya kepada Allah yang telah meridhoi penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dalam bentuk Tesis ini. Shallawat dan salam semoga
Lebih terperinciDAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN...
DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... v vi vii x xiv DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi
Lebih terperinciBAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT
BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working
Lebih terperinciBAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan
BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan Banyak dari mineral bijih, terutama mineral sulfida dan sulfosalt terbentuk pada lingkungan yang tereduksi serta pada temperatur
Lebih terperinciBab IV Pengolahan dan Analisis Data
BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas dua data, yaitu data primer yang meliputi data mentah sebagai data utama dalam pengolahan data, sedangkan data
Lebih terperinciSURVEI GEOLISTRIK METODE RESISTIVITAS UNTUK INTERPRETASI KEDALAMAN LAPISAN BEDROCK DI PULAU PAKAL, HALMAHERA TIMUR
SURVEI GEOLISTRIK METODE RESISTIVITAS UNTUK INTERPRETASI KEDALAMAN LAPISAN BEDROCK DI PULAU PAKAL, HALMAHERA TIMUR Roswita, Lantu a, Syamsuddin b Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika
Lebih terperinciBAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit
BAB II DASAR TEORI 2.1. Genesa Endapan Nikel Laterit 2.1.1. Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit Nikel laterit merupakan material dari regolit (lapisan yang merupakan hasil dari pelapukan batuan
Lebih terperinciPENGAMATAN UNSUR GEOKIMIA BATUAN ULTRAMAFIK DI DAERAH PERTAMBANGAN PT. BINTANG DELAPAN MINERAL
Pengamatan Unsur Geokimia Batuan Ultramafik (Jance Murdjani Supit dan Muhammad Amril Asy ari) PENGAMATAN UNSUR GEOKIMIA BATUAN ULTRAMAFIK DI DAERAH PERTAMBANGAN PT. BINTANG DELAPAN MINERAL Jance Murdjani
Lebih terperinciBAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN
BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan. Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan
Lebih terperinciENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM
ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM Adi Prabowo Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta MENDALA METALOGENIK (Metallogenic Province) suatu area yang dicirikan oleh
Lebih terperinciGEOLOGI DAN STUDI PENGARUH BATUAN DASAR TERHADAP DEPOSIT NIKEL LATERIT DAERAH TARINGGO KECAMATAN POMALAA, KABUPATEN KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA
GEOLOGI DAN STUDI PENGARUH BATUAN DASAR TERHADAP DEPOSIT NIKEL LATERIT DAERAH TARINGGO KECAMATAN POMALAA, KABUPATEN KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA Ernita Nukdin Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN
Lebih terperinciKata kunci : batuan ultramafik, laterit nikel, serpentinisasi
ATLAS MINERAL DAN BATUAN ENDAPAN NIKEL Oleh : Sukaesih/Nip. 196409121990032001 Sari Laterit nikel merupakan hasil pelapukan batuan ultramafik. Batuan ultramafik berkomposisi olivin, piroksen, kaya akan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI SEBAAN NIKEL LATERIT DAN VOLUME BIJIH NIKEL DAERAH ANOA MENGGUNAKAN KORELASI DATA BOR
IDENTIFIKASI SEBAAN NIKEL LATERIT DAN VOLUME BIJIH NIKEL DAERAH ANOA MENGGUNAKAN KORELASI DATA BOR Eltrit Bima Fitrian*, Dr.Muh.Altin Massinai.MT.Surv, Dra.Maria,M.Si Program Studi Geofisika Jurusan Fisika
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN PUSTAKA
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Nikel Laterit Nikel laterit merupakan salah satu sumber nikel dan feronikel yang penting, dimana endapan ini merupakan hasil dari pelapukan intensif dari batuan ultrabasa pembawa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi Penelitian yaitu Pulau Gee yang merupakan daerah operasi penambangan Nikel milik PT. ANTAM Tbk yang terletak di Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten
Lebih terperinciDOMAIN GEOLOGI SEBAGAI DASAR PEMODELAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT PERBUKITAN ZAHWAH, SOROWAKO, KABUPATEN LUWU TIMUR, PROVINSI SULAWESI SELATAN
DOMAIN GEOLOGI SEBAGAI DASAR PEMODELAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT PERBUKITAN ZAHWAH, SOROWAKO, KABUPATEN LUWU TIMUR, PROVINSI SULAWESI SELATAN Deni Hernandi 1, Mega Fatimah Rosana 2, Agus Didit
Lebih terperinciEKSPLORASI AWAL NIKEL LATERIT DI DESA LAMONTOLI DAN LALEMO, KECAMATAN BUNGKU SELATAN, KABUPATEN MOROWALI, PROPINSI SULAWESI TENGAH
EKSPLORASI AWAL NIKEL LATERIT DI DESA LAMONTOLI DAN LALEMO, KECAMATAN BUNGKU SELATAN, KABUPATEN MOROWALI, PROPINSI SULAWESI TENGAH Sri Ayu Ningsih Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta
Lebih terperinciSt. Hastuti Sabang*, Adi Maulana*, Ulva Ria Irvan* *) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin
ANALISIS PENGARUH TIPE BOULDER TERHADAP RECOVERY SCREENING STATION PRODUCT PT. VALE INDONESIA TBK SOROAKO St. Hastuti Sabang*, Adi Maulana*, Ulva Ria Irvan* *) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Sari:
Lebih terperinciResiduAL CONCENTRATION OLEH : ARSYIL M. (D IKA ASTUTI (D VICTOR J. P. (D62112 ARAFAH P. (D RUDIANTOM (D
ResiduAL CONCENTRATION OLEH : ARSYIL M. (D621 12 005 IKA ASTUTI (D621 12 252 VICTOR J. P. (D62112 ARAFAH P. (D621 12 256 RUDIANTOM (D621 12 273 Syarat residual deposit dikatakan ekonomis ialah apabila
Lebih terperinciJTM Vol. XVI No. 3/2009
JTM Vol. XVI No. 3/2009 HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DAN MORFOLOGI DALAM DISTRIBUSI KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA ENDAPAN NIKEL LATERIT : STUDI KASUS ENDAPAN NIKEL LATERIT DI PULAU GEE DAN PULAU PAKAL,
Lebih terperinciIntegrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan ultramafik. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik tersingkap
Lebih terperinciINVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA Moe tamar Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencari data primer maupun data sekunder potensi
Lebih terperinciANALISIS PELAPUKAN SERPENTIN DAN ENDAPAN NIKEL LATERIT DAERAH PALLANGGA KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA
PROS ID I NG 0 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK ANALISIS PELAPUKAN SERPENTIN DAN ENDAPAN NIKEL LATERIT DAERAH PALLANGGA KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Lebih terperinciPENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA. Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik
PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik Kelompok Program Penelitian Mineral S A R I Satuan batuan ultrabasa terdiri
Lebih terperinciPEMETAAN GEOLOGI NIKEL LATERIT DAERAH SP UNIT 25 DAN SEKITARNYA KECAMATAN TOILI BARAT, KABUPATEN BANGGAI, PROPINSI SULAWESI TENGAH
PEMETAAN GEOLOGI NIKEL LATERIT DAERAH SP UNIT 25 DAN SEKITARNYA KECAMATAN TOILI BARAT, KABUPATEN BANGGAI, PROPINSI SULAWESI TENGAH Geni Dipatunggoro Laboratorium Geologi Teknik, Fakultas Teknik Geologi,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah PT. International Nickel Indonesia (PT. INCO) merupakan sebuah perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi sekitar 165
Lebih terperinciINVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA
INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA Kisman 1 dan Ernowo 1 1 Kelompok Program dan Penelitian Mineral SARI Tektonik regional Pulau Halmahera
Lebih terperinci48 INFO TEKNIK, Volume 12 No. 2, Desember 2011
48 INFO TEKNIK, Volume 12 No. 2, Desember 2011 IDENTIFIKASI POTENSI ENDAPAN BIJIH BESI LATERIT DI BAGIAN TENGAH PULAU SEBUKU, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Nurhakim, M. Untung Dwiatmoko, Romla NH, Adip M.
Lebih terperinciUniversitas Gadjah Mada 36
5) Pelapukan 5.1) Pelapukan Fisik Pelapukan secara umum mengacu pada sekelompok proses dengan mana batuan permukaan terpecah belah menjadi partikel-partikel halus atau terlarutkan ke dalam air karena pengaruh
Lebih terperinciKARAKTERISTIK ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA BLOK X PT. BINTANGDELAPAN MINERAL KECAMATAN BAHODOPI KABUPATEN MOROWALI PROVINSI SULAWESI TENGAH
KARAKTERISTIK ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA BLOK X PT. BINTANGDELAPAN MINERAL KECAMATAN BAHODOPI KABUPATEN MOROWALI PROVINSI SULAWESI TENGAH Mubdiana Arifin 1, Sri Widodo 2, Anshariah 1 1. Jurusan Teknik
Lebih terperinciBAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel V.1 Batasan Kadar Zona Endapan Nikel Laterit. % berat Ni % berat Fe % berat Mg. Max Min Max Min Max Min
BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Penentuan Zona Endapan Nikel Laterit Penentuan zona endapan nikel laterit dilakukan setelah preparasi data selesai dimana zona dikonstruksi berdasarkan parameter yang
Lebih terperinciUNIVERSITAS DIPONEGORO
UNIVERSITAS DIPONEGORO KONTROL GEOMORFOLOGI TERHADAP KETEBALAN ENDAPAN NIKEL LATERIT DI BUKIT TTC TAMBANG TENGAH PT.ANTAM UBPN POMALAA KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA TUGAS AKHIR TRISNA JAYANTI
Lebih terperinciEKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT
EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT I. PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan galian merupakan salah satu sumber daya alam non hayati yang keterjadiannya disebabkan oleh proses proses geologi. Berdasarkan
Lebih terperinciBab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Keadaan Umum 2.1.1 Lokasi dan Ketersampaian Daerah Lokasi dari daerah penambangan nikel laterit di daerah Tanjung Buli Epa secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona
BAB IV PENGOLAHAN KOMPOSIT ZONA, ANALISIS STATISTIK DAN PENYAJIAN DATA HASIL OLAHAN 4.1. Konstruksi Zona Endapan dan Optimasi Zona Penentuan zana endapan dilakukan setelah data dianalisis secara statistik
Lebih terperinciBab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Endapan nikel laterit di Pulau Gee terbentuk akibat dari proses pelindian pada batuan ultrabasa. Air hujan yang mengandung CO 2 dari udara meresap ke bawah sampai ke
Lebih terperinciBab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar, Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang ada yang seyogyanya
Lebih terperinciLaterit. mineral jejak : Au. Mg, Li Ca, Mg, Na. Ca, Cs, K, Na, Rb. Mo, Ni, Zn, S
Laterit 1. Formasi Laterit Laterit didefinisikan sebagai produk dihasilkan dari pelapukan kuat pada daerah-daerah tropis, lembab, hangat kaya akan lempung kalolinit sebagai oksida oksihidroksida dari Fe
Lebih terperinciAPLIKASI STATISTIK KOMPONEN UTAMA LOGAM BERAT PADA KOLAM PENGENDAPAN TAMBANG NIKEL LATERIT KONAWE UTARA SULAWESI TENGGARA
PROSIDING TPT XXIII PERHAPI 2014 1 APLIKASI STATISTIK KOMPONEN UTAMA LOGAM BERAT PADA KOLAM PENGENDAPAN TAMBANG NIKEL LATERIT KONAWE UTARA SULAWESI TENGGARA Adi Tonggiroh*) Muhardi Mustafa**) Asri Jaya
Lebih terperinciPENINGKATAN KADAR NIKEL BIJIH LIMONIT MELALUI PROSES REDUKSI SELEKTIF DENGAN VARIASI WAKTU DAN PERSEN REDUKTOR
PENINGKATAN KADAR NIKEL BIJIH LIMONIT MELALUI PROSES REDUKSI SELEKTIF DENGAN VARIASI WAKTU DAN PERSEN REDUKTOR Muhammad Ikhwanul Hakim 1,a, Andinnie Juniarsih 1, Iwan Setiawan 2 1 Jurusan Teknik Metalurgi,
Lebih terperinciKeywords: ERT 3D Method, Gradient Configuration, Profile laterite, Trapezoidal Method
PENENTUAN VOLUME LAPISAN SAPROLIT DAERAH X MENGGUNAKAN METODE ERT 3D M. Khaerul As ad 1, Makhrani, S.Si, M.Si 2, Sabrianto Aswad, S.Si, MT 3 e-mail : khaerulasad@gmail.com Jurusan Fisika Program Studi
Lebih terperinciSURVEY TINJAU BAHAN GALIAN NIKEL DAERAH SOLIGI, KECAMATAN OBI SELATAN KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, MALUKU UTARA
SURVEY TINJAU BAHAN GALIAN NIKEL DAERAH SOLIGI, KECAMATAN OBI SELATAN KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, MALUKU UTARA Geni Dipatunggoro Laboratorium Geologi Teknik, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Lebih terperinciPENENTUAN BESAR BOULDER YANG EKONOMIS PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI MORONOPO, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA
PENENTUAN BESAR BOULDER YANG EKONOMIS PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI MORONOPO, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara
BAB V PEMBAHASAN Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara horizontal dan vertikal akibat intrusi basalt maka perlu dikorelasikan antara hasil analisis kimia, tekstur (ukuran
Lebih terperinciANALISIS GEOKIMIA LOGAM Cu, Fe PADA BATUAN DASIT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
PROSIDING 20 13 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK ANALISIS GEOKIMIA LOGAM Cu, Fe PADA BATUAN DASIT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Jurusan Teknik Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan
Lebih terperinciBab II Tinjauan Umum
Bab II Tinjauan Umum 2.1 Lokasi Penelitian Daerah penelitian berada di Pulau Gee secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara. Secara
Lebih terperinciPENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari PT Semen Padang Untuk menunjang dan melengkapi penelitian ini antara lain berupa : 1. Peta topografi skala 1
Lebih terperinciA. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK)
A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK) Batuan Beku Ultrabasa (Ultramafik) adalah batuan beku dan meta -batuan beku dengan sangat rendah kandungan silika konten (kurang dari 45%), umumnya > 18% Mg O, tinggi
Lebih terperinciBAB I: PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN
BAB I: PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Bangka memiliki batuan granitik yang melampar luas dengan beberapa variasi sifat (Cobbing et al., 1992). Granit di Pulau Bangka merupakan bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. komposisi utama berupa mineral-mineral aluminium hidroksida seperti gibsit,
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bauksit adalah material yang berupa tanah atau batuan yang tersusun dari komposisi utama berupa mineral-mineral aluminium hidroksida seperti gibsit, buhmit dan diaspor.
Lebih terperinciberukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.
berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan
Lebih terperinciPEMODELAN DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT DAERAH X MENGGUNAKAN SOFTWARE DATAMINE STUDIO 3 PADA PT. VALE INDONESIA LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN
PEMODELAN DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT DAERAH X MENGGUNAKAN SOFTWARE DATAMINE STUDIO 3 PADA PT. VALE INDONESIA LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN Diansyah Afriandi 1, Djamaluddin 2, Hasbi Bakri 1 1.Jurusan
Lebih terperinciSTUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI
STUDI PERBANDINGAN ANTARA METODE POLIGON DAN INVERSE DISTANCE PADA PERHITUNGAN CADANGAN Ni PT. CIPTA MANDIRI PUTRA PERKASA KABUPATEN MOROWALI Sri Widodo 1, Anshariah 2, Fajar Astaman Masulili 2 1. P ro
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan ultramafik. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. 5.1 Penyusunan Basis Data Assay
BAB V PEMBAHASAN 5.1 Penyusunan Basis Data Assay Basis data Assay dan data informasi geologi adalah data data dasar di dalam proses permodelan dan estimasi sumberdaya bijih. Prosedur awal setelah data
Lebih terperinciCEBAKAN NIKEL LATERIT DI PULAU GAG, KABUPATEN RAJA AMPAT, PROVINSI PAPUA BARAT
ABSTRAK CEBAKAN NIKEL LATERIT DI PULAU GAG, KABUPATEN RAJA AMPAT, PROVINSI PAPUA BARAT LATERITIC NICKEL DEPOSIT ON GAG ISLAND, RAJA AMPAT REGENCY, WEST PAPUA PROVINCE Sam Permanadewi 1, Joko Wahyudiono
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sumber daya bauksit di Indonesia mencapai 3,47 miliar ton, yang terdapat di dua
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Bauksit merupakan salah satu komoditas tambang yang penting di Indonesia. Berdasarkan data dinas Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2011, jumlah sumber daya bauksit
Lebih terperinciPOTENSI ENDAPAN BIJIH BESI DI KUSAN HULU KABUPATEN TANAH BUMBU, KALIMANTAN SELATAN
POTENSI ENDAPAN BIJIH BESI DI KUSAN HULU KABUPATEN TANAH BUMBU, KALIMANTAN SELATAN Oleh : Bambang Pardiarto dan Wahyu Widodo Kelompok Kerja Mineral, Pusat Sumber Daya Geologi S A R I Cebakan bijih besi
Lebih terperinciCitra LANDSAT Semarang
Batuan/Mineral Citra LANDSAT Semarang Indonesia 5 s/d 7 km 163 m + 2 km QUARRY BARAT LAUT Tidak ditambang (untuk green belt) muka airtanah 163 m batas bawah penambangan (10 m dpl) 75-100 m dpl Keterangan
Lebih terperinciDASAR-DASAR ILMU TANAH WIJAYA
DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 2.1 Penggolongan Batuan Menurut Lingkungan Pembentukan : 1. Batuan Beku (Batuan Magmatik) 2. Batuan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ANALISIS MINEROLOGI DAN KOMPOSISI KIMIA BIJIH LIMONITE Tabel 4.1. Komposisi Kimia Bijih Limonite Awal Sampel Ni Co Fe SiO 2 CaO MgO MnO Cr 2 O 3 Al 2 O 3 TiO 2 P 2 O 5 S
Lebih terperinciPENENTUAN VOLUME LAPISAN SAPROLIT DAERAH PENELITIAN DENGAN. MENGGUNAKAN METODE ERT (Electrical Resistivity Tomography)
PENENTUAN VOLUME LAPISAN SAPROLIT DAERAH PENELITIAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ERT (Electrical Resistivity Tomography) Jarwinda 1, Syamsuddin, S.Si, MT 2, Dra. Maria, M.Si 2, Drs. Hasanuddin, M.Si 2 e-mail
Lebih terperinciDASAR-DASAR ILMU TANAH
DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2011 PEMBENTUKAN TANAH 2.1 Penggolongan Batuan Menurut Lingkungan Pembentukan : 1. Batuan Beku (Batuan Magmatik)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)
Lebih terperinciINTERPRETASI ANALISA CITRA SATELIT POTENSI NIKEL PULAU WAIGEO, KABUPATEN RAJA AMPAT, PROPINSI IRIAN JAYA BARAT
INTERPRETASI ANALISA CITRA SATELIT POTENSI NIKEL PULAU WAIGEO, KABUPATEN RAJA AMPAT, PROPINSI IRIAN JAYA BARAT Safitri Dwi Wulandari Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Abstract Based
Lebih terperinciGEOLOGI DAERAH SORONG KOTA SORONG, PAPUA BARAT
GEOLOGI DAERAH SORONG KOTA SORONG, PAPUA BARAT TUGAS AKHIR A Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses
Lebih terperinciPENENTUAN BESAR BOULDER UNTUK MENCAPAI NILAI CUT-OFF GRADE PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI TANJUNG BULI, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA
PENENTUAN BESAR BOULDER UNTUK MENCAPAI NILAI CUT-OFF GRADE PADA OPERASI PENAMBANGAN NIKEL LATERIT DI TANJUNG BULI, HALMAHERA TIMUR, MALUKU UTARA TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
Lebih terperinciPROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA NIKEL LATERIT DI KAWASAN TIMUR INDONESIA. Ediar Usman
PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA NIKEL LATERIT DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Ediar Usman Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan ediar.usman@gmail.com S A R I Secara geologi Kawasan Timur Indonesia
Lebih terperinciMagma dalam kerak bumi
MAGMA Pengertian Magma : adalah cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah bersifat mobil, suhu antara 900-1200 derajat Celcius atau lebih yang berasal dari kerak bumi bagian bawah.
Lebih terperinciFORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM
FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten
Lebih terperinciBab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal
Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk
Lebih terperinciBAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR
BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume
Lebih terperinciBAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian
Lebih terperinciBAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO
11 BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO 3.1. Letak Daerah Penelitian Sorowako merupakan daerah yang dikelilingi oleh tiga buah danau, yaitu Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona. Sorowako terletak
Lebih terperinciPEMETAAN POTENSI NIKEL LATERIT BERDASARKAN ANALISIS SPASIAL STUDI KASUS: KEC. ASERA KAB.KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA
PEMETAAN POTENSI NIKEL LATERIT BERDASARKAN ANALISIS SPASIAL STUDI KASUS: KEC. ASERA KAB.KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA Muhammad Apriajum a) Yuyun Sulistiawati Aznah b) Reinaldy Oksa Putra Raivel Jurusan
Lebih terperincilajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian
Lebih terperinciEKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo*, Rudy Gunradi* dan Juju Jaenudin** *Kelompok Penyelidikan Mineral, **Sub Bidang Laboratorium
Lebih terperinciIII.1 Morfologi Daerah Penelitian
TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur
Lebih terperinciPENELITIAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MIERAL IKUTAN PADA WILAYAH PER- TAMBANGAN KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PENELITIAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MIERAL IKUTAN PADA WILAYAH PER- TAMBANGAN KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA Suhandi, Heri Susanto, R. Hutamadi Kelompok Penyelidikan Konservasi dan Unsur Tanah
Lebih terperinciUNIVERSITAS DIPONEGORO
UNIVERSITAS DIPONEGORO KARAKTERISTIK BATUAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MINERALISASI ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA DAERAH MADANG DAN SERAKAMAN TENGAH, PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah administrasi di Kabupaten Temanggung, Kabupaten dan Kota Magelang. Secara morfologi CAT ini dikelilingi
Lebih terperinciPERILAKU PELARUTAN LOGAM NIKEL DAN BESI DARI BIJIH NIKEL KADAR RENDAH SULAWESI TENGGARA
PERILAKU PELARUTAN LOGAM NIKEL DAN BESI DARI BIJIH NIKEL KADAR RENDAH SULAWESI TENGGARA Solihin 1,* dan F. Firdiyono 2 1 Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI Komplek LIPI, Jl. Sangkuriang, Bandung 2 Pusat
Lebih terperinciPOTENSI BIJI BESI DI DAERAH AMBULANGAN, BANJAR, KALIMANTAN SELATAN
POTENSI BIJI BESI DI DAERAH AMBULANGAN, BANJAR, KALIMANTAN SELATAN Cecep Yandri Sunarie Lab Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, UNPAD ABSTRACT Research area is located in Ambulangan, Banjar
Lebih terperinciMuhammad Amril Asy ari (1)
Jurnal INTEKNA, Tahun XII, No. 1, Mei 2012 : 17-22 GEOLOGI DAN ESTIMASI SUMBERDAYA NIKEL LATERIT DENGAN METODE IDW (INVERSE DISTANCE WEIGHT) DAN KRIGING PADA DAERAH BAHODOPI KABUPATEN MOROWALI PROVINSI
Lebih terperinciPOTENSI NIKEL SULPHIDA DAERAH IUP HARITA DI PULAU OBI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, PROVINSI MALUKU UTARA
POTENSI NIKEL SULPHIDA DAERAH IUP HARITA DI PULAU OBI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, PROVINSI MALUKU UTARA Boyke Muhammad Khadafi, C. Danisworo & Heru Sigit Purwanto Program Pascasarjana Teknik Geologi UPN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan di bidang otomotif, elektronik dan sebagainya. Endapan timah dapat ditemukan dalam bentuk bijih timah primer dan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Timah merupakan salah satu mineral ekonomis yang sangat penting dan potensial di dunia karena mempunyai manfaat yang sangat melimpah. Timah banyak digunakan di bidang
Lebih terperinciAfdal, Elio Nora Islami. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang
KARAKTERISASI MAGNETIK BATUAN BESI DARI BUKIT BARAMPUANG, NAGARI LOLO, KECAMATAN PANTAI CERMIN, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT (MAGNETIC CHARACTERIZATION OF IRON STONE OF BARAMPUANG HILL, NAGARI LOLO,
Lebih terperinciPOTENSI ENDAPAN LATERIT KROMIT DI DAERAH DOSAY, KABUPATEN JAYAPURA, PAPUA POTENTIAL DEPOSITS LATERITE CHROMITE IN DOSAY AREA, JAYAPURA REGENCY, PAPUA
POTENSI ENDAPAN LATERIT KROMIT DI DAERAH DOSAY, KABUPATEN JAYAPURA, PAPUA POTENTIAL DEPOSITS LATERITE CHROMITE IN DOSAY AREA, JAYAPURA REGENCY, PAPUA Bambang Nugroho Widi Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara
Lebih terperinciBAB IV UBAHAN HIDROTERMAL
BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan
Lebih terperinciBAB II TATANAN GEOLOGI
BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa
Lebih terperinciPENYELIDIKAN MINERAL LOGAM DASAR DAN LOGAM BESI DAN PADUAN BESI DI DAERAH LELOGAMA KABUPATEN KUPANG (TIMOR BARAT) PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR S A R I
PENYELIDIKAN MINERAL LOGAM DASAR DAN LOGAM BESI DAN PADUAN BESI DI DAERAH LELOGAMA KABUPATEN KUPANG (TIMOR BARAT) PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : Franklin, Sahat Simanjuntak, Dwi Nugroho Sunuhadi dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bantarkawung merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes bagian selatan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap di sebelah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBP) Maluku Utara PT.Antam (persero) Tbk, adalah pemegang izin usaha pertambangan dengan salah satu lokasi penambangan berada di Pulau
Lebih terperinciGeologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /
BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah
Lebih terperinciUNIVERSITAS DIPONEGORO
UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI KARAKTERISTIK PETROLOGI DAN GEOKIMIA BATUAN BEKU ULTRABASA DAN BATUAN BEKU BASA DI DAERAH SERAKAMAN, PULAU SEBUKU, KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR ZUHDI AZMI FAUZI 21100113120043
Lebih terperinciTINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN
BAB III TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Tambang Zeolit di Desa Cikancra Tasikmalaya Indonesia berada dalam wilayah rangkaian gunung api mulai dari Sumatera, Jawa, Nusatenggara, Maluku sampai Sulawesi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bidang perindustrian. Salah satu konsumsi nikel yang paling besar adalah sebagai
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nikel merupakan salah satu bahan penting yang banyak dibutuhkan dalam bidang perindustrian. Salah satu konsumsi nikel yang paling besar adalah sebagai bahan baku pembuatan
Lebih terperinciBAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel
Lebih terperinciBAB III METODA PENELITIAN
BAB III METODA PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah pengamatan dan pengambilan sampel pada lubang bor DCT 05 dan DCT 11A urat Cibitung. Kemudian mengolah dan menganalisis data-data
Lebih terperinci