Bab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah Lokasi dari daerah penambangan nikel laterit di daerah Tanjung Buli Epa secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba Selatan, kabupaten Halmahera Timur, provinsi Maluku Utara ( Lihat Gambar 2.1 ). Secara Geografis PT. Yudhistira Bumi Bhakti terletak antara 128º º 21 Bujur Timur (BT) sampai dengan 00 o o 00 Lintang Utara (LU). Untuk mencapai lokasi penambangan tersebut dapat ditempuh melalui rute sebagai berikut : 1. Jakarta Makasar Manado Ternate Perjalanan pada rute ini menggunakan pesawat udara dengan waktu tempuh kurang lebih 4-5 jam dengan waktu transit 12 jam. 2. Ternate Buli Perjalanan pada rute ini dapat ditempuh dengan 3 cara. Rute darat dengan menyeberang melalui pelabuhan Ternate sampai ke pelabuhan Sofifi. Dilanjutkan dengan jalan darat selama 7 jam dikarenakan kondisi jalan yang masih sangat buruk. Rute perairan dengan waktu tempuh 24 jam menempuh lingkar utara Maluku Utara. Serta lewat udara dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit menggunakan pesawat udara sampai ke Bandara Buli. 3. Buli Tanjung Buli 9

2 Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit, bergantung akan infrastruktur jalan yang saat ini sudah teraspal dengan baik Iklim dan Curah Hujan Seperti daerah di Indonesia pada umumnya daerah Tanjung Buli beriklim tropis, sehingga mengalami dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan data curah hujan dari tahun curah hujan rata-rata tertinggi pada bulan Juni yaitu mm sedangkan rata-rata curah hujan terendah yaitu pada bulan Agustus yaitu mm Sedangkan berdasarkan data hari hujan tertinggi rata-rata pada bulan Juli yaitu 18 hari dan jumlah hari hujan terendah rata-rata pada bulan Oktober yaitu 10,2 hari Temperatur udara berkisar antara o C dengan kelembaban udara %, kecepatan angin perjam maksimal 17 knot dengan tinggi gelombang laut maksimal 2 meter. Hal ini terjadi pada waktu angin bertiup dari arah barat kearah timur. 10

3 PT Yudhistira Bumi Sumber : Microsoft Encarta Gambar 2.1 Peta Lokasi Daerah Penelitian 11

4 2.2 Geografi Daerah Penelitian j a b c d e f PETA TOPOGRAFI TG.BULI IV Skl 1 ; KETERANGAN III Pantai Sungai B C TIM EKSPLORASI NIKEL BULI Sumber : PT Antam tbk Unit Geomin Gambar 2.2 Peta Topografi Daerah Penelitian 12

5 2.2.1 Topografi Ciri khas yang menonjol pada daerah Tanjung Buli adalah topografi yang landai ditandai dengan kemiringan lereng yang tidak terlalu curam. Hutannya sangat lebat dan di pinggir pantai ditumbuhi pohon bakau dan sebagian ditanami pohon kelapa sebagai mata pencaharian masyarakat sekitar lokasi penambangan. Dan pada bagian bukit, hutannya tidak lebat sebagai ciri khas endapan nikel laterit pada umumnya. Daerah perbukitan merupakan daerah penambangan dengan ketinggian sekitar m. Pada tiap daerah perbukitan terlihat adanya punggung utama yang kemudian bercabang antara bukit tersebut dibatasi oleh lembah dan lereng dengan kedalaman yang bervariasi. Seperti yang terlihat pada peta diatas, topografi landai yang berada di tengah-tengah Tanjung Buli semakin curam ke arah pantai, yang merupakan singkapan dari batuan ultrabasa yang ada di Halmahera Timur. Daerah perbukitan di daerah Tanjung Buli sendiri merupakan daerah lateritisasi yang baik, terakumulasi pada lereng-lereng dekat pantai dengan batuan yang terlapukkan secara bervariasi dari kuat sampai terlapukkan lemah Vegetasi Kondisi tempat vegetasi tumbuh pada daerah penelitian sangat mempengaruhi komunitas dari vegetasi. Kondisi tanah yang berasal dari batuan seperti ultrabasa dan endapan sangat mempengaruhi tipe komunitas vegetasi. Ditambah lagi daerah penelitian Tanjung Buli termasuk daerah di Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan dan kelembaban tinggi sehingga menyebabkan vegetasi yang lebat dan beragam. Berdasarkan tempat tumbuh tersebut maka terdapat beberapa tipe komunitas vegetasi antara lain komunitas hutan daratan dengan kondisi 13

6 kandungan mineral logam seperti Al dan Ni, komunitas hutan mangrove (bakau) dengan tempat tumbuh berupa endapan lumpur dan pasir, serta komunitas hutan pantai. Pembagian tipe komunitas ini juga didasarkan oleh perbedaan elevasi tempat tumbuh tiap komunitas vegetasi. Komunitas vegetasi daerah mangrove terdiri dari tumbuhan bakau jenis Rhizopora stylosa, Rhizopora mucranata, Bruguiera sp, dan Xylocarpus granatum. Sementara vegetasi hutan pantai menempati hampir seluruh garis pantai Tanjung Buli. Vegetasi yang ada merupakan asosiasi yang terdiri dari jenis Terminalia catappa, pandan (Pandanus sp.), kelapa (Coconus nucifera), dan pohon nyamplung. Pohon kelapa cukup dominan di kawasan ini, hanya pada tempat-tempat tertentu yang tidak memungkinkan dibudidayakan tanaman kelapa, ditumbuhi tanaman ketapang dan nyamplung. Vegetasi hutan pegunungan disusun oleh sebagian vegetasi yang ada di Pulau Halmahera dan sekitarnya. Pada bagian punggungan gunung, vegetasi yang ada merupakan asosiasi jenis tumbuh-tumbuhan berdaun jarum seperti gaharu, linggua, kayu cina, bintang samudra, kenari hutan, kayubesi, cemara, pinus Irian, bintagor, dan sebagian kecil tumbuhan yang berdaun lebar. Pada vegetasi ini juga terdapat tumbuhan bawah yang terdiri dari tanaman pandan, rumput-rumputan, alang-alang, dan sejenis liana daun lebar. Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan tidak berkayu, sebagai salah satu tumbuhan penyusun vegetasi kawasan ini yang dibedakan menjadi dua bagian. Pada daerah punggungan gunung, tumbuhan bawah yang hidup adalah jenis pakis, pinang, kantong semar, anggrek, dan bunga delima. Sedangkan pada daerah yang lembab, tumbuhan bawah yang hidup adalah rotan, pandan hutan, jenis anggrek pinang, dan sebagian jenis rumputrumputan. Indeks keanekaragaman vegetasi Tanjung Buli yang diukur menggunakan indeks Shannon-weiner termasuk tinggi jika dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Pada lokasi ini terdapat 41 jenis vegetasi yang teridentifikasi 14

7 (Laporan Analisis Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Rencana Pengembangan Bijih Nikel pada Kuasa Pertambangan PT. ANTAM Tbk, Kab. Halmahera Timur). 2.3 Geologi Daerah Penelitian Geologi Regional Sumber : PT. Antam tbk. Unit Geomin Gambar 2.3 Mendala Fisiografi Daerah Halmahera Halmahera dan pulau-pulau sekitar Indonesia bagian timur merupakan suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil dari pertumbukan lempeng di bagian barat Pasifik. Pulau ini dicirikan oleh double arc system, dibuktikan oleh vulkanik di lengan barat dan non vulkanik di bagian timur. Berdasarkan kondisi Geologi dan Tektonik, Halmahera terbentuk akibat pertemuan tiga lempeng yaitu : Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Di bagian selatan pulau ini terdapat zona sesar Sorong yang merupakan 15

8 strike-slip fault ( JA Katili, 1974 ). Sepanjang zona sesar ini Halmahera bergerak ke arah barat bersamaan dengan lempeng Indo-Australia ( Hamilton, 1979 ). Daerah Halmahera sendiri terdiri dari Mendala Geologi Halmahera Timur, Mendala Geologi Halmahera Barat dan Busur Kepulauan gunung api kuarter. Mendala Geologi tersebut berbeda dalam batuan dan tektoniknya. Mendala Geologi Halmahera Timur, batuan tertua terbentuk oleh Satuan Batuan Ultrabasa dan Satuan Batuan Beku Basa yang mengintrusi Satuan Batuan Ultrabasa serta Batuan Beku Intermediate yang mengintrusi kedua satuan batuan sebelumnya. Satuan Batuan Ultrabasa terdiri dari Serpentinit, Piroksenit, dan Dunit umumnya berwarna hitam atau hitam kehijauan, getas, terbreksikan, mengandung asbes dan Garnierit. Pada satuan ini teramati batuan metasedimen dan rijang, posisinya terjepit di antara sesar di dalam batuan ultrabasa. Satuan batuan ini oleh Bessho, 1994 dinamakan Formasi Watileo dan hubungannya dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang ketidakselarasan atau bidang sesar naik. Satuan Batuan Beku Basa, terdiri dari Gabro piroksin, Gabro hornblend, dan Gabro olivin, tersingkap di dalam komplek satuan batuan ultrabasa dan ini dinamakan seri Wato wato ( Bessho, 1994 ). Satuan Batuan Intermediate, terdiri dari batuan Diorit kuarsa dan Diorit hornblend, tersingkap juga dalam komplek batuan ultrabasa. Selain itu teramati sejumlah retas Andesit dan Diorit yang tidak terpetakan, berhubungan dengan barik Kuarsa dan Pirit di daerah formasi Bacan. Secara tidak selaras, batuan tertua ini tertutupi oleh Formasi Dodaga yang berumur Kapur, tersusun oleh serpih berselingan dengan batugamping coklat muda dan sisipan rijang. Selain itu, ditutupi pula oleh batuan yang 16

9 berumur Paleosen Eosen, yaitu formasi Dorosagu, Satuan Konglomerat, dan Satuan Batugamping. Satuan Batugamping, berumur Paleosen Eosen dan dipisahkan dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) oleh ketidakselarasan dan dengan batuan yang lebih muda oleh sesar, tebal kurang lebih 400m. Formasi Dorosagu, terdiri dari batu pasir berselingan dengan serpih merah dan batugamping. Formasi ini berumur Paleosen Eosen. Hubungan dengan batuan yang lebih tua ( ultrabasa ) berupa ketidakselarasan dan sesar naik, tebal kurang lebih 250 m. Formasi ini identik dengan Saolat Series ( Bessho 1994 ). Satuan Konglomerat, tersusun oleh batuan konglomerat dengan sisipan batupasir, batulempung, dan batubara. Satuan ini berumur Kapur Atas dan tebalnya > 500 m. Hubungannya dengan batuan yang lebih tua dan batuan yang lebih muda ( Formasi Tingteng ) adalah ketidakselarasan sedangkan dengan satuan Batugamping hubungannya menjemari. Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir Oligosen Awal, baru terjadi aktivitas gunung api selama Oligosen Atas Miosen Bawah, membentuk rempah-rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan. Formasi Bacan, tersusun oleh batuan gunung api berupa lava, breksi dan tufa dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Adanya sisipan batupasir dapat diketahui dengan umur formasi Bacan yaitu Oligosen-Miosen Bawah. Dengan batuan yang lebih tua ( Formasi Dorosagu ) dibatasi oleh bidang sesar sedangkan dengan batuan yang lebih muda ( Formasi Weda ) dengan bidang ketidakselarasan. Formasi Bacan identik dengan Tegitegi Series (Bessho,1994 ). Sebaran batuan gunung api formasi Bacan ini terhampar luas baik di Mendala Halmahera Timur maupun Mendala Halmahera Barat. Bersamaan dengan pengendapan 17

10 Formasi Bacan, diendapkan pula batugamping Formasi Tutuli. Formasi ini berumur Oligosen-Miosen Bawah, kontak dengan Formasi Weda berupa sesar, dan identik dengan formasi Parepara Series ( Bessho, 1994 ). Setelah rumpang pengendapan Miosen Bawah Bagian Atas, terbentuk cekungan luas yang berkembang sejak Miosen Atas Pliosen. Pada cekungan tersebut diendapkan Formasi Weda, Satuan Konglomerat, dan Formasi Tingteng. Formasi Weda, terdiri dari batu pasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat, dan batugamping, berumur Miosen Tengah Awal Pliosen, bersentuhan secara tidak selaras dengan Formasi Kayasa yang berumur lebih muda dan hubungannya secara menjemari dengan Formasi Tingteng. Formasi ini identik dengan Weda Series ( Bessho,1994 ). Satuan Konglomerat, berkomponen batuan ultrabasa, basal, rijang, diorit, dan batusabak tebal 100m, menutupi satuan batuan ultrabasa secara tidak selaras, diduga berumur Miosen Tengah-Awal Pliosen. Apabila dilihat letak stratigrafinya batuan ini kemungkinan merupakan anggota Formasi Weda. Formasi Tingteng, tersusun oleh batugamping hablur dan batugamping pasiran dengan sisipan napal dan batupasir berumur Akhir Miosen-Awal Pliosen, tebal 600m. Setelah pengendapan Formasi Tingteng terjadi pengangkatan pada Kuarter, sebagaimana ditunjukkan oleh batugamping terumbu, di pantai di daerah lengan timur Halmahera. Batuan tertua di daerah Mendala Geologi Halmahera Barat berupa batuan gunung api Oligo Miosen Formasi Bacan. Batuan sedimen dan Karbonat berumur Miosen Pliosen tersebar luas di Mendala ini, yang kebanyakan bersifat tufaan. Selain itu di bagian utara ditemukan batuan gunung api kuarter yaitu Formasi Kayasa dan Satuan Tufa. 18

11 Formasi Kayasa, berupa batuan gunung api terdiri dari Breksi, lava dan tufa diduga berumur Pliosen, identik dengan basal kayasa ( Bessho, 1994 ). Satuan Tufa, utamanya adalah tufa batuapung berwarna putih dan kuning. Deretan pulau yang membentuk busur kepulauan gunung api di Barat Halmahera, sebagian besar tertutup oleh rempah-rempah gunung api Holosen, hanya di P. Kayoa Selatan tersingkap batuan gunung api Oligo- Miosen, formasi Bacan dan tertindih batugamping terumbu terdiri dari batu gamping koral dan breksi batugamping. (Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin) Gambar 2.4 Peta Geologi Regional Daerah Halmahera 19

12 2.3.2 Geologi Lokal Daerah Penelitian Secara garis besar struktur geologi daerah penambangan endapan bijih nikel laterit Tanjung Buli terletak dalam Circum Pacivic Orogenic Belt dimana batuan dasar dari lingkungan jalur ini terdiri dari batuan pratersier (strata uppermesozoic sampai dengan lower tersier). Secara keseluruhan daerah penelitian Tanjung Buli ditempati oleh satuan batuan ultrabasa dengan susunan : Mineral Serpentin, Olivin, dan Piroksen berbutir sedang sampai kasar, pada susunan mineral tersebut diperkirakan terkandung unsur nikel, silikat besi, dan magnesium. Akibat adanya dekomposisi mekanik maupun kimia pada batuan ultrabsa tersebut terjadi pelapukan dan membentuk lapisan laterit yang mengandung nikel. Lapisan laterit yang terdapat di Tanjung Buli dan P.Pakal mempunyai ketebalan yang bervariasi. Lereng yang relatif terjal cenderung mempunyai lapisan laterit yang menipis. Di Pulau Pakal dan Tanjung Buli ini terdapat singkapan batuan segar ultrabasa, regholit yang terdiri dari bongkahan-bongkahan batuan ultrabasa dan lapisan laterit yang dapat diamati pada peta litologi. Mengenai adanya endapan nikel secara geologi dapat disebutkan bahwa pelapukan batuan ultrabasa membentuk lapisan laterit yang menghasilkan residual serta pengkayaan nikel yang tidak mudah larut dan membentuk endapan nikel dan magnesium (MgO) dalam bentuk mineral Garnierit (Ni,Mg) 3 Si 2 O 5 (OH) 4 pada lapisan saprolit terbentuk pula mineral Hematit (Fe 2 O 3 ) pada lapisan limonit. Singkapan batuan ultrabasa umumnya telah mengalami pelapukan berwarna kuning kecokelatan berbentuk hitam atau abu-abu putih dengan warna kehijauan pada bagian tepi atau pinggir. Tampak pula batuan ultrabasa pada daerah penelitian ini telah mengalami proses serpentinisasi yang cukup kuat. Selain oleh keadaan morfologi, pembentukan endapan bijih nikel laterit breccia sangat banyak pula terpengaruh oleh tektonik setempat. Pelapukan batuan pada hakekatnya dipermudah karena adanya bagian yang lemah seperti rekahan, retakan, sesar dan sebagainya. Pada pengamatan di lapangan terlihat bahwa banyak 20

13 rekahan-rekahan kecil yang umumnya telah terisi oleh mineral-mineral sekunder (Silika dan Magnetit) Tektonik Mendala Geologi Halmahera Timur dicirikan oleh batuan ultrabasa, sedangkan Halmahera Barat oleh batuan gunung api. Zona perbatasan antara dua mendala tersebut terisi oleh batuan Formasi Weda yang sangat terlipat dan tersesarkan. Struktur Lipatan berupa Sinklin dan Antiklin terlihat pada formasi Weda, sumbu lipatan berarah Utara-Selatan, Timur Laut-Barat Daya, dan Barat Laut-Tenggara. Struktur sesar normal dan sesar naik umumnya berarah Utara-Selatan dan Barat-Tenggara. Kegiatan Tektonik Kemungkinan dimulai pada zaman Kapur Akhir dan Awal tersier ditandai dengan adanya batu lempung berumur Kapur dan batuan ultrabasa pada konglomerat formasi Dorosagu. Ketidakselarasan antara batuan berumur Paleosen-Eosen yaitu formasi Dorosagu dengan batuan lebih muda terjadi kira-kira pada Eosen Akhir sampai Oligosen Awal, mencerminkan kegiatan tektonik yang diikuti kegiatan gunung api terbentuk Formasi Bacan. Pensesaran naik mungkin terjadi pada peristiwa tektonik Eosen-Oligosen. Struktur pada peta terbentuk pada peristiwa tektonik berikutnya terutama yang terjadi pada Akhir Piosen dan Awal Pleistosen. Hal ini tampak dari sesaran batuan yang lebih tua ke atas Formasi Weda, yang berumur Mio- Pliosen. Peristiwa tektonik terakhir ( Holosen ) berupa pengangkatan seperti yang ditunjukkan oleh terumbu terangkat dan sesar normal yang memotong batugamping terumbu. 21

14 (Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin) Gambar 2.5 Gambaran Tektonik Indonesia Timur 2.4 Genesa Endapan Nikel Laterit Genesa Endapan bijih nikel yang terdapat di daerah penelitian termasuk jenis nikel laterit, yang terdiri dari hasil pelapukan batuan ultrabasa. Pembentukan nikel laterit umumnya langsung mengalami proses serpentinisasi oleh larutan hydrothermal atau larutan residual. Menurut Bolt (1979), kandungan yang terdapat pada batuan Peridotit adalah seperti pada tabel berikut ini : 22

15 Tabel 2.1 Batuan Asal Bijih Nikel dengan Kandungan Unsur Masing - Masing Batuan Ni (%) Besi Oksida + Magnesium (%) Aluminium + Silika + (%) Peridotit 0, ,5 45,9 Gabro 0, ,6 66,1 Diorit 0, ,7 33,4 Granit 0,0020 4,4 78,7 Sumber : Bolt ( 1979 ) Proses terbentuknya endapan nikel ini dimulai dari Peridotit sebagai batuan induk yang mengandung nikel primer 0,20%. Batuan ini terdiri dari Olivin yang mengandung unsur-unsur Mg, Fe, Ni dan Silika. Batuan induk ini akan berubah menjadi Serpentin karena pengaruh larutan hydrothermal pada proses serpentinisasi dan akan merubah batuan Peridotit menjadi batuan Serpentinit atau batuan Serpentinit Peridotit. Selanjutnya terjadi proses pelapukan dan laterit yang menghasilkan Serpentin dan Peridotit lapuk. Adanya proses kimia dan fisika dari udara, air, serta perbedaan temperatur yang drastik dan kontinu, akan menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Batuan asal yang mengandung unsur-unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni dan Co akan mengalami dekomposisi. Air tanah yang kaya Co 2 dari udara dan hasil pembusukan tumbuhtumbuhan merupakan pelarut yang baik. Air tanah ini meresap ke bawah sampai ke permukaan air tanah sambil melindikan mineral primer yang tidak stabil seperti Olivin, Serpentin, dan Piroksen. Yang pertama-tama terlarut dalam unsur Ca dan Mg adalah Alkalin yang disusul dengan penghancuran senyawa-senyawa silika sebagai koloid sehingga memungkinkan terbentuknya mineral baru melalui pengendapan 23

16 kembali unsur-unsur tersebut. Semua hasil penghancuran ini terbawa oleh larutan yang turun ke bagian bawah mengisi celah-celah dan pori-pori batuan. Bahan-bahan yang sukar atau tidak mudah larut akan tinggal pada tempatnya dan sebagian turun ke bawah bersama larutan sebagai larutan koloid. Bahan-bahan ini membentuk konsentrasi residu dan konsentrasi celah, konsentrasi residu seperti Fe, Ni, Co dan Si pada zona yang disebut dengan zona saprolit. Batuan asal ultramafik pada zone ini selanjutnya diimpregnasi oleh Ni melalui larutan yang mengandung Ni, sehingga kadar Ni dapat naik hingga mencapai 7 %-berat. Dalam hal ini, Ni dapat mensubstitusi Mg dalam Serpentin atau juga mengendap pada rekahan bersama dengan larutan yang mengandung Mg dan Si sebagai Garnierit dan Krisopras. Sementara Fe di dalam larutan akan teroksidasi dan mengendap sebagai Ferri-Hidroksida, membentuk mineral-mineral seperti Goethit, Limonit, dan Hematit yang dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini selalu ikut serta unsur Co dalam jumlah kecil. Semakin ke bawah, menuju bed rock maka Fe dan Co akan mengalami penurunan kadar. Pada zona saprolit Ni akan terakumulasi di dalam mineral Garnierit. Akumulasi Ni ini terjadi akibat sifat Ni yang berupa larutan pada kondisi oksidasi dan berupa padatan pada kondisi silika. Berdasarkan tingkat penyebarannya maka saprolit terbagi atas dua bagian yaitu : Saprolit oksidasi yang penyebarannya tidak nampak mineral saprolit dan saprolit garnerite yang penyebarannya sangat didominasi dan selalu bersama-sama dengan silika. Sedangkan berdasarkan tingkat kekerasannya maka saprolit dapat dibedakan atas empat bagian yaitu: 24

17 1. Saprolite Ore (So) Ni 2.0. Fe Low Grade Saprolite Ore (LGSO) Ni 1,7-2,0. Fe Limonite 1,4 Ni 1,7 Fe 25 Co 0,1 4. Waste/OB/BR Ni 1,2 Fe 25 Setelah konsentrasi-konsentrasi tadi, maka larutan sisa akan kaya dengan Ca dan Mg karbonat. Karbonat-karbonat ini merupakan konsentrasi celah sebagai akar dari pelapukan dan merupakan batas antara zona pelapukan dengan zona batuan segar (Roof of weathering). Semakin kebawah dari profil maka Fe akan mengalami penurunan sesuai dengan kedalaman sampai ke bed rock. Sedangkan Co akan terakumulasi pada zona limonit dan akan turun terus menuju ke bed rock. Pada zona saprolit Ni akan terakumulasi berupa mineral Garnierit Peridotite zone. Akumulasi Ni ini terjadi akibat sifat Ni yang akan berupa larutan pada kondisi oksidasi dan akan berupa padatan pada kondisi silika (lihat gambar 2.6). Endapan laterit biasanya terbentuk melalui proses pelapukan kimia yang intensif, yaitu di daerah dengan iklim tropis-subtropis. Proses pelindian batuan lapuk merupakan proses yang terjadi pada pembentukan endapan laterit, dimana proses ini memiliki penyebaran unsur-unsur yang tidak merata dan menghasilkan konsentrasi bijih yang sangat bergantung pada migrasi air tanah. 25

18 PERIDO TIT SERPENTINIT PROSES PELAPUKAN DAN LATERISASI SERPENTIN PERIDOTIT LAPUK BAHAN - BAHAN TERBAWA BERSAMA LARUTAN BAHAN - BAHAN TERTINGGAL Fe, Al, Cr, Mn, Co TERLARUT SEBAGAI LARUTAN Ca - Mg Karbonat TERLARUT SEBAGAI PARTIKEL KOLOIDAL KONSENTRASI RESIDU Fe - Oksida Al - Hidroksida Ni - Co KONSENTRASI CELAH DARI SENYAWA - SENYAWA KARBONAT KONSENTRASI RESIDU KONSENTRASI CELAH ZONE ATAS ( I ) URAT - URAT Fe, Ni, Co SAPROLIT Ni, SiO2, Mg - MAGNESIT MgCo3 - DOLOMIT(Ca2Mg)Co3 SEBAGAI " ROOF OF WEATHERING " ZONE BAWAH ( I I I ) - SOFT BROWN ORE - URAT - URAT GARNERIT - HARD BROWN ORE - URAT - URAT KRISOPRAS ZONE TENGAH ( I I ) Sumber : PT Antam tbk. Unit Geomin Gambar 2.6 Bagan proses pembentukan endapan nikel Proses pembentukan endapan nikel laterit juga dikontrol oleh beberapa faktor. Secara lengkap faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Batuan asal, adalah kelompok batuan ultramafik yang tersusun dari beberapa jenis batuan, akan memberikan perbedaan komposisi, rasio Olivin dan Piroksen, tekstur dan gejala deformasi sebelumnya akan berakibat pada kecepatan jalannya proses lateritisasi. Batuan asal ini hanya sebagai salah satu faktor untuk keterdapatan endapan nikel laterit, bukan merupakan penentu akan didapatkannya endapan nikel laterit yang baik. Suatu daerah dengan sebaran batuan ultramafik, rasio Olivin yang cukup 26

19 besar, namun intensitas pelapukannya kecil, nikel yang dihasilkan juga akan kecil. Akibat pelapukan pada mineral Piroksen dan Olivin akan dihasilkan Fe, Mg, dan Ni yang larut serta silika cenderung membentuk suspensi koloid. Fe akan teroksidasi mengendap sebagai mineral Goethit, Limonit, dan Hematit. Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si akan meresap ke bawah, selama larutan bersifat asam hingga netral ada kecenderungan membentuk endapan hidrosilikat dan Ni akan mengendap pada celah atau rekahan yang dikenal sebagai urat Garnierit atau Krisopras. Sedangkan larutan residunya akan membentuk endapan menjadi saprolit. 2. Iklim, dimana iklim yang sesuai dengan pembentukan endapan nikel laterit adalah iklim tropis dan subtropis. Curah hujan dan sinar matahari dalam hal ini akan berperan penting dalam proses pelapukan dan pelarutan unsurunsur yang terdapat pada batuan asal. Adanya pergantian musim kemarau dan penghujan yang mengakibatkan terjadinya penaikan dan penurunan muka air tanah menyebabkan terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur. Sedangkan perbedaan temperatur membantu terjadinya pelapukan mekanis seperti terjadinya pengembangan sewaktu panas dan pengkerutan sewaktu dingin. Juga adanya perbedaan daya serap yang berbeda pada masing-masing permukaan mineral menyebabkan timbulnya rekahan atau rekahan yang ada akan melebar. Hal ini mempermudah reaksi kimia terjadi terutama pada dekomposisi batuan. 3. Reagen-reagen kimia dan vegetasi, dimana faktor yang berpengaruh adalah sisa-sisa tumbuhan akan membentuk asam humus ( asam organik ). Asam humus ini akan bereaksi dengan permukaan batuan asal yang bersifat basah, sehingga terurai dan menyebabkan proses dekompoisi pada batuan tersebut sampai menjadi lapuk. Reagen kimia seperti CO 2 yang terlarut bersama air hujan dan asam humus juga menyebabkan dekomposisi batuan dan merubah ph larutan. Akumulasi air hujan akan 27

20 lebih banyak pada humus yang tebal, sebagai petunjuk lingkungan yang baik untuk endapan bijih nikel. Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis. 4. Struktur, adalah struktur geologi yang penting dalam pembentukan endapan bijih nikel laterit seperti rekahan dan patahan ( fault ). Seperti diketahui bahwa batuan beku dengan porositas dan permeabilitas kecil menyebabkan penetrasi air akan sulit. Dengan banyaknya rekahan tersebut akan lebih mudah bagi masuknya air dan pelapukan akan semakin intensif. 5. Morfologi/Topografi, adapun dalam proses lateritisasi air memegang peranan penting dan diperlukan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya sirkulasi dan perkolasi air serta reagen-reagennya sebagai proses pelarutan, oksidasi, pemisahan dan pengendapan berjalan dengan intensif. Hal tersebut erat kaitannya dengan morfologi setempat. Untuk daerah landai, air bergerak perlahan-lahan sehingga mempunyai kesempatan untuk berpenetrasi melalui rekahan dan pori-pori batuan. Dengan demikian, akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah landai sampai dengan sedang. Secara teoritis, daerah yang baik untuk tempat pengendapan bijih nikel adalah punggung-punggung bukit yang landai dengan kemiringan antara Waktu, proses pelapukan, transportasi dan konsentrasi suatu endapan memerlukan waktu yang lama sampai terbentuknya akumulasi laterit nikel yang baik Profil Endapan Nikel Laterit Daerah Penelitian Batuan induk sebagai batuan penyusun daerah Tanjung Buli merupakan batuan Peridotit dan Dunit serta sebagian lainnya merupakan laterit hasil pelapukan batuan ultrabasa tersebut. Ada juga sebagian daerah yang sudah ditutupi Serpentinit hasil ubahan batuan asal (Gambar 2.7) di barat laut tanjung. Hal inilah yang menjadikan daerah Tanjung Buli kaya akan laterit 28

21 hasil pelapukan ultrabasa dan selanjutnya kaya akan mineral-mineral yang mengandung nikel. Secara morfologi, daerah Tanjung Buli mempunyai bentuk lahan perbukitan struktural terdenudasi. Satuan bentuk lahan tersebut ditempati oleh kompleks Ophiolite (batuan kerak samudera) yang berupa batuan ultramafik seperti Dunit dan Peridotit serta alterasinya berupa Serpentinit dan setempat - setempat Rijang. Batuan daerah penelitian juga tersusun atas endapan melange ( batuan campur aduk ) yang merupakan tektonik aktif saat pembentukannya. Dengan sendirinya batuan daerah Buli ini umumnya diikuti dengan fracture yang rapat dan diikuti pula oleh breksiasi yang akan mempercepat proses laterisasi. Singkapan batuan ultrabasa tersebut umumnya telah mengalami pelapukan berwarna kuning kecokelatan, sedikit warna hitam atau abu-abu putih dengan warna kehijauan pada bagian tepi atau pinggir. Pelapukan batuan ultrabasa membentuk endapan laterit yang menghasilkan residual serta pengkayaan nikel yang tidak mudah larut dan membentuk endapan nikel dan magnesium dalam bentuk mineral Garnerit (Ni,Mg) 6 Si 4 O 10 (OH) 8 pada zona saprolit, terbentuk pula mineral Hematit (Fe 2 O 3 ) pada zona limonit. Secara umum lapisan paling atas dari profil laterite ini kaya akan unsur Fe dengan kandungan Ni < 1,2 %. Unsur Ni pada lapisan atas mempunyai prosentase yang rendah dan akan mengalami peningkatan sesuai dengan kedalaman sampai pada zona saprolit kemudian turun sampai mencapai bedrock. 29

22 Peta Geologi Tanjung Buli Halmahera Timur Keterangan : Peridotit Serpentinit Laterit Basalt Aluvial Sumber : PT Antam tbk. Unit Geomin Gambar 2.7 Peta Geologi Lokal Tanjung Buli 30

23 Pada tabel 2.2 akan memperlihatkan kelimpahan unsur kimia dari setiap zona dalam profil endapan laterit di Tanjung Buli. Umumnya Fe terakumulasi pada bagian atas (over burden) sebagai Fe oksida. Pengkayaan unsur Fe ini diakibatkan karena berat jenis unsur Fe yang besar dan mempunyai mobilitas yang rendah. Semakin ke bawah dari profil, Fe akan mengalami penurunan sesuai dengan kedalaman sampai ke bed rock. Sedangkan Co akan terakumulasi pada zona limonit dan akan turun kemudian menuju ke bed rock. Pada zona saprolite Ni akan terakumulasi di dalam mineral Garnierit. Akumulasi Ni ini terjadi akibat sifat Ni yang akan berupa larutan pada kondisi oksidasi dan akan berupa padatan pada kondisi silika. Tabel 2.2 Diagram Kelimpahan Unsur Kimia pada Profil Endapan Nikel Laterit di Tanjung Buli ( Sumber : PT Yudhistira Bumi Bhakti ) OB Limonit Ni Co FeO Mn O SiO2 & MgO MGL Saprolit Blue Zone Bed Rock 31

24 Untuk profil laterit daerah penelitian, secara umum endapan nikel laterit ini berada pada punggungan dan lereng-lereng bukit dengan kemiringan yang landai sampai dengan sedang ( ), tetapi umumnya endapan terkaya terdapat pada punggung bukit dengan kemiringan tidak terlau landai dan tidak terlalu curam, kurang lebih 15. Profil endapan nikel laterit buli maupun tempat lainnya umumnya tidak teratur baik bentuk, sebaran horizontal dan vertikal, maupun sifat-sifat fisis dan komposisi kimianya. Dari data titik bor dan karakteristik umum profil endapan nikel laterit ke arah vertikal dan lateral adalah sebagai berikut : 1. Lapisan Tanah penutup ( Top Soil ) Menempati bagian permukaan yang cukup landai atau cekungan dengan memperlihatkan tanah penutup yang cukup tebal, sedangkan pada lereng sedang tanah penutup relatif tipis. Untuk daerah lereng yang terjal tidak dijumpai adanya tanah penutup. Karakteristik tanah penutup : berwarna coklat tua-kehitaman, besar butir halus-sedang, kekerasan lunak-sedang, pada bagian atas biasanya gembur mengandung lapisan humus organik, mengandung fragmen material lepas berupa pisolit Fe, konkresi Fe, fragmen silika dan fragmen batuan asal. Biasa disebut dengan iron capping. Tidak terlihat adanya indikasi mineralisasi, gradasi ke arah bawah/limonit ditunjukkan dengan berkurangnya fragmen dan perubahan warna menjadi coklat kekuningan-coklat kemerahan dan munculnya mineralisasi tertentu seperti MnOx, FeOx, dan AlOx. Dari analisis tanah penutup mempunyai kadar Ni 1.2% dan Fe 25%. 2. Limonit Umumnya berwarna coklat kemerahan-kekuningan, berbutir haluskasar, kekerasan lunak-sedang, terlihat adanya mineralisasi dan 32

25 cenderung homogen. Tingkat elasitisitas lebih tinggi dibandingkan zona lainnya. Sering dijumpai fragmen batuan asal atau silika. Mineral utama berupa Goethit dan mineral lempung serta mineral oksida MnOx, AlOx, Magnetit, dan Kromit. Gradasi kearah zona saprolit dapat terlihat dari perubahan warna menjadi coklat kekuningan-coklat kehijauan dan hijau. Bijih nikel limonit mempunyai parameter kandungan unsur Ni 1.2 % dan Fe 25%. Penyebaran ke arah vertical maupun lateral kadangkadang terselingi adanya waste limonit dimana kadar Ni 1.2 % tetapi Fe 25%. 3. Saprolit Lapisan paling bawah laterit adalah zona saprolit berwarna coklat kekuningan, berbutir sedang-kasar, kekerasan sedang-cukup keras, umumnya masih terlihat relic mineral batuan asal, atau fragmen silika cenderung homogen. Semakin ke arah bawah terlihat adanya gradasi ukuran butir menjadi lebih kasar, perselingan dengan boulder sering dijumpai pada zona ini. Ke arah bawah kondisi fracture semakin intensif dan biasanya terisi oleh mineral silikat berupa Garnierit, Krisopras, atau Serpentin. Laterit pada zona ini biasanya disusun oleh mineral lepas dan terkadang terurai. Mineral utama berupa mineral silikat : Garnierit, Krisopras, dan Serpentin, sedangkan mineral tambahan berupa : lempung, mineral oksida berupa : Goethit, MnOx, Magnetit, Kromit, Krisotil, dan Asbestos yang umumnya bercampur dalam bijih saprolit sebagai pengotor. Bijih saprolit mempunyai parameter Ni 2.0% dan Fe 25%, kontinuitas ke arah vertikal sangat fluktuatif kadang-kadang terselingi oleh saprolit waste yaitu Ni 2.0% dan Fe 25%, demikian juga ke arah lateral, lapisan saprolit terkadang tidak menerus terselingi oleh limonit atau saprolit waste. Kontinuitas ketebalan saprolit secara lateral agak sulit ditentukan karena sangat dipengaruhi oleh morfologi 33

26 setempat. Apabila berupa punggungan terpotong oleh lembah sungai, otomatis ketebalannya akan menurun atau terputus. Sedangkan kontinuitas ke arah vertikal dipengaruhi oleh kerapatan struktur yang berbeda. Zona ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Soft Saprolit, mengandung fragmen-fragmen berukuran boulder kurang dari 25%. Hard Saprolit, mengandung fragmen-fragmen berukuran boulder lebih dari 50%. Gradasi ke arah bedrock diindikasikan oleh munculnya fragmen batuan asal berukuran couble-boulder dengan tingkat pelapukan yang semakin berkurang ke arah bedrock 4. Blue Zone Merupakan zona di bawah zona saprolit, berupa batuan asal (batuan beku ultra basa) yang mengalami pengkekaran yang sangat intensif. Tekstur batuan telah sama dengan tekstur batuan asal dan kekar-kekar umumnya terisi oleh urat Garnierit dan Silika. 5. Bedrock Lapisan ini merupakan batuan asal ( batuan beku ultrabasa ), pada umumnya batuan ini berupa bongkahan-bongkahan masif, berwarna kuning pucat sampai abu-abu kehijauan. Tekstur batuan telah sama dengan tekstur batuan asal dan kekar-kekar umumnya terisi oleh urat Garnierit dan Silika. Ketebalan dari masing-masing lapisan tidak merata, mempunyai kadar Ni rata rata 1,7 %, dan Fe 10 %. 34

27 Top soil Over Burden Limonit, Soft Saprolit 1-3 m, Ni<1,2%, Fe 40,9 49% 1-3 m, Ni 1,3 1,48%, Fe 32,5 50,20% Hard Saprolit 5-8 m, Ni 2,16 3,2%, Blue Zone Ni 0,23 0,30 %, Fe Bed Rock Ni < 1.7% dan Fe < Gambar 2.8 Profil endapan nikel laterit Tanjung Buli 2.5 Sistem Penambangan di Lokasi Penelitian Metode penambangan yang diterapkan oleh PT. Yudhistira Bumi Bhakti yaitu sistem penambangan Back Filling Bottom To Up dengan metode selective mining. Tahapan-tahapan sistem penambangan yang dilakukan, diantaranya sebagai berikut (lihat gambar 2.9) : Persiapan Penambangan Untuk memulai suatu kegiatan penambangan maka terlebih dahulu diketahui peta tambangnya yaitu peta geologi, peta topografi, peta penyebaran titik bor yang dilengkapi dengan data eksplorasi dan keterangan endapan serta peta rencana penambangan. Pembersihan Lahan ( Land Clearing ) dan Pengupasan ( Stripping ) Kegiatan ini dimaksudkan untuk membersihkan semak belukar dan pepohonan yang tumbuh di lokasi yang akan di tambang kemudian 35

28 dilakukan pengupasan tanah penutup (overburden). Tanah yang telah dikupas ditempatkan pada tempat penimbunan overburden (dumping area) yang akan ditempatkan pada lahan bekas tambang nanti (disposal area) atau pada waste dump. Penggalian Bijih Nikel Penggalian bijih nikel di Tanjung Buli dapat dilakukan dengan cara selective mining atau memilih titik bor yang diketahui kadarnya, sehingga pada saat pengupasan tanah penutup (overburden) disesuaikan dengan rencana penambangan pertitik bor tersebut. Biasanya ketebalan (tinggi) blok penggalian ditetapkan 2 m. Sistem penggaliannya diarahkan untuk menggali sesuai dengan bench atau elevasi yang diinginkan serta rata (flat). Hal ini dikarenakan sangat penting untuk menjaga lantai penggalian tetap rata agar alat angkut lebih produktif dan lebih aman (safety). Pada umumnya, penggalian dilakukan pada kedalaman 2 m dengan kemiringan jenjang (bench) 70 dengan tinggi jenjang 6 m dengan catch berm 2 m. Pemuatan ( Loading ) Setelah kegiatan penggalian selesai maka dilanjutkan dengan kegiatan pemuatan. Kegiatan ini bertujuan untuk memuat ore maupun waste/ob yang telah digali ke dalam ADT. Pengangkutan ( Hauling ) Pengangkutan bijih nikel hasil penambangan dapat dilakukan dengan ADT, yang diangkut ke stock yard ETO ( Exportable Transit Ore ) yang jaraknya dekat dengan lokasi penambangan. Sedangkan DT ( dump truck ) dan ADT dapat digunakan untuk pengangkutan dari stock yard ETO ke Grizzly untuk memisahkan material yang berukuran +20 cm ( boulder ) dan -20cm ( ore ). Apabila masih didapatkan material yang berukuran +20 cm maka akan diangkut ke crusher dan kemudian akan diangkut ke stock yard EFO ( Exportable Fine Ore ). Untuk material yang berukuran 20 cm kemudian 36

29 diangkut ke stock yard EFO. Dari stock yard EFO kemudian dilakukan pengangkutan ke dermaga curah untuk dilakukan pengapalan. Sampling Sampling material tambang dilakukan baik itu di front tambang, stockyard ETO, setelah melewati Grizzly, stockyard EFO, dan di dermaga curah sebelum pengapalan (shipping). Pengambilan sampel bijih dilakukan beberapa kali untuk menjaga kualitas bijih nikel dan untuk penghitungan kadar produksi setiap hari. Pada tambang nikel site Tanjung Buli, proses sampling yang diterapkan mengacu standar JIS (Japanese Industrial Standard). Sumber : PT Yudhistira Bumi Bhakti Gambar 2.9. Skema Penambangan PT. Yudhistira Bumi Bhakti 37

30 38

BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi Penelitian yaitu Pulau Gee yang merupakan daerah operasi penambangan Nikel milik PT. ANTAM Tbk yang terletak di Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Umum

Bab II Tinjauan Umum Bab II Tinjauan Umum 2.1 Lokasi Penelitian Daerah penelitian berada di Pulau Gee secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara. Secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi penelitian merupakan daerah operasi penambangan nikel milik PT ANTAM. Tbk dengan kontraktor PT Minerina Bhakti dan PT Dian Nickel Mining yang

Lebih terperinci

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM Adi Prabowo Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta MENDALA METALOGENIK (Metallogenic Province) suatu area yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT I. PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan galian merupakan salah satu sumber daya alam non hayati yang keterjadiannya disebabkan oleh proses proses geologi. Berdasarkan

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas dua data, yaitu data primer yang meliputi data mentah sebagai data utama dalam pengolahan data, sedangkan data

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. FISIOGRAFI Geologi regional P.Obi ditunjukkan oleh adanya dua lajur sesar besar yang membatasi Kep.Obi yaitu sesar Sorong-Sula di sebelah utara dan sesar Sorong Sula mengarah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah PT. International Nickel Indonesia (PT. INCO) merupakan sebuah perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi sekitar 165

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA Kisman 1 dan Ernowo 1 1 Kelompok Program dan Penelitian Mineral SARI Tektonik regional Pulau Halmahera

Lebih terperinci

PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA. Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik

PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA. Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik Kelompok Program Penelitian Mineral S A R I Satuan batuan ultrabasa terdiri

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar, Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang ada yang seyogyanya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan

BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan Banyak dari mineral bijih, terutama mineral sulfida dan sulfosalt terbentuk pada lingkungan yang tereduksi serta pada temperatur

Lebih terperinci

BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO

BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO 11 BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO 3.1. Letak Daerah Penelitian Sorowako merupakan daerah yang dikelilingi oleh tiga buah danau, yaitu Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona. Sorowako terletak

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... v vi vii x xiv DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan. Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 8 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Singkat CV Jasa Andhika Raya CV Jasa Andhika Raya (CV JAR) merupakan perusahaan yang bergerak dibidang usaha pertambangan batubara dan berkedudukan di Desa Loa Ulung,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit

BAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit BAB II DASAR TEORI 2.1. Genesa Endapan Nikel Laterit 2.1.1. Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit Nikel laterit merupakan material dari regolit (lapisan yang merupakan hasil dari pelapukan batuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Secara administratif wilayah IUP Eksplorasi CV Parahyangan Putra Mandiri, termasuk di dalam daerah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT PUSAT SUMBERDAYA GEOLOGI B A D A N G E O L O G I DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL 1.1. Latar

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi penambangan batubara PT Milagro Indonesia Mining secara administratif terletak di Desa Merdeka Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara,

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 07 SUMBERDAYA MINERAL Sumberdaya Mineral Sumberdaya mineral merupakan sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan atau pelapukan p batuan (tanah). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Perusahaan CV. Putra Parahyangan Mandiri adalah salah satu perusahaan batubara yang terletak di Kec. Satui, Kab. Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, yang didirikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

Integrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Integrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan ultramafik. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik tersingkap

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 KESAMPAIAN DAERAH 2.1.1 Kesampaian Daerah Busui Secara geografis, daerah penelitian termasuk dalam daerah administrasi Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA Moe tamar Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencari data primer maupun data sekunder potensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

JTM Vol. XVI No. 3/2009

JTM Vol. XVI No. 3/2009 JTM Vol. XVI No. 3/2009 HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DAN MORFOLOGI DALAM DISTRIBUSI KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA ENDAPAN NIKEL LATERIT : STUDI KASUS ENDAPAN NIKEL LATERIT DI PULAU GEE DAN PULAU PAKAL,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Keadaan Geografi Daerah Penelitian 2.1.1 Lokasi Penambangan Daerah penyelidikan berdasarkan Keputusan Bupati Tebo Nomor : 210/ESDM/2010, tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Keadaan Umum 2.1.1 Lokasi Kesampaian Daerah Lokasi CV JBP secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak. Provinsi Banten. Secara geografis lokasi

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Secara administratif PT BJA berlokasi di Desa Sungai Payang, Dusun Beruak, Kecamatan Loakulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci