BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi Penelitian yaitu Pulau Gee yang merupakan daerah operasi penambangan Nikel milik PT. ANTAM Tbk yang terletak di Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara (Gambar 2.1). Luasan daerahnya sekitar 200 Ha yang terletak di tengah tengah laut dan letaknya berada diseberang dari daerah Tanjung Buli. Secara umum, Kabupaten Halmahera Timur merupakan daerah hasil pemekaran dari kabupaten induk Halmahera Tengah, sehingga infrastruktur jalan dan perkantoran masih dalam tahap pembangunan. Alat transportasi yang digunakan untuk menuju lokasi dapat melalui jalan darat, laut, maupun udara. Daerah penelitian dapat ditempuh dari Jakarta dengan jalur sebagai berikut : a) Jakarta Makassar Manado - Ternate Menggunakan pesawat udara dengan waktu tempuh sekitar 4,5 jam. b) Ternate Buli Dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat, laut maupun udara. Jalur darat (Ternate Sofifi Buli), dapat ditempuh selama 8 (delapan) jam dengan kondisi jalan masih relatif sulit dilalui jika hujan. Jalur laut dapat ditempuh selama ± 24 jam (satu hari satu malam) dengan jadwal pelayaran tiga kali dalam seminggu. Sedangkan untuk jalur udara dapat ditempuh selama ± 45 menit menggunakan pesawat udara dengan jadwal penerbangan satu minggu terdapat 4-6 kali penerbangan dengan jenis pesawat Cassa 212. c) Buli Pulau Gee Ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. 9

2 2.2 Kondisi Umum Lokasi dan Lingkungan Geografis Secara geografis, daerah operasi penambangan nikel PT Antam Tbk di Pulau Gee terletak di pulau Halmahera Timur pada garis bujur Bujur Timur dan Lintang Utara. P. Gee Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Pulau Gee (Sumber : Microsoft Encarta 2005) 10

3 Keadaan Topografi Ciri ciri topografi Pulau Gee merupakan daerah perbukitan dengan topografi yang relatif terjal, ditandai dengan kemiringan yang curam di bagian Barat, Selatan dan Timur dari daerah penelitian. Tetapi daerah yang relatif sangat terjal terdapat di daerah selatan tenggara. Sedangkan di bagian Utara memiliki topografi yang relatif agak landai. Pada daerah ini terdapat beberapa punggungan besar dengan kemiringan lereng yang curam berada di wilayah yang terletak di tengah dan selatan pulau. Daerah penelitian ini terdapat ketinggian mínimum di saat elevasi sama dengan nol dikarenakan daerah tersebut terdapat di tengah laut. PETA TOPOGRAFI PULAU GEE U 20 B T 70 S m KETERANGAN : 70 = Garis Kontur = Nilai Kontur Gambar 2.2 Peta Topografi Pulau Gee 11

4 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan Iklim di daerah penelitian adalah tropis, dicirikan oleh curah hujan yang tinggi. Suhu udara sangat panas di siang hari karena daerah ini sangat berdekatan dengan laut. Berdasarkan tabel klasifikasi iklim menurut Schmidt and Fergusson (1951) yaitu tabel 2.1, Pulau Gee merupakan daerah yang memiliki tipe iklim C atau agak basah dengan nilai Q = 0,333. Nilai parameter tersebut didapat dari perbandingan / rasio rata rata antara tiga bulan kering (curah hujan < 60 mm) terhadap bulan basah sembilan bulan basah (curah hujan > 100 mm). Suhu ratarata bulanan adalah 27,6 C, kelembaban rata-rata 82,58%, dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson (Sumber : Jawatan Meteorologi dan Geofisika) Tipe hujan Q Klasifikasi iklim A 0 Q < 0,143 Sangat Basah B 0,143 Q < 0,333 Basah C 0,333 Q < 0,6 Agak basah D 0,6 Q < 1,0 Sedang E 1,0 Q < 1,67 Agak Kering F 1,67 Q < 3,0 Kering G 3,0 Q < 7,0 Sangat Kering H Q 7,0 Luar Biasa Kering 12

5 2.2.4 Vegetasi Daerah penelitian banyak ditumbuhi berbagai jenis vegetasi yang lebat. Sesuai dengan karakteristik curah hujan dan iklim pada daerah ini yaitu tipe iklim C (agak basah), jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau. (Syamsulbahri, 1987). Ada 3 tipe komunitas vegetasi yang tumbuh di daerah ini antara lain: vegetasi bakau, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi hutan pegunungan. Vegetasi hutan pantai menempati hampir seluruh garis pantai Pulau Gee dimana vegetasi yang tumbuh pada lingkungan ini merupakan asosiasi pohon kelapa, ketapang dan nyamplung. Pohon kelapa cukup dominan di kawasan ini dan pada tempat-tempat tertentu yang tidak memungkinkan untuk dibudidayakan pohon kelapa, ditumbuhi oleh tanaman ketapang dan nyamplung. Vegetasi hutan pegunungan, tumbuh di daerah dengan kandungan mineral logam seperti Al dan Ni, didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum dan tumbuhan bawah atau tumbuhan tidak berkayu. Tumbuhan berdaun jarum yang ada seperti Gaharu, Linggua, Kayu Kina, Bintang Samudra, Kenari hutan, Kayubesi, Cemara, Pinus Irian, Bintagor, dan sebagian kecil tumbuhan yang berdaun lebar. Tumbuhan bawah terdiri dari tanaman Pandan, rumput-rumputan, alang-alang, dan sejenis Liana berdaun lebar. Tumbuhan bawah dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan daerah tumbuhnya, yaitu tumbuhan bawah pada daerah punggungan gunung dan pada daerah lembab. Tumbuhan bawah pada daerah punggungan gunung adalah jenis Pakis, Pinang, Kantong Semar, Anggrek, dan Bunga Delima. Sedangkan pada daerah yang lembab, tumbuhan bawah yang hidup adalah Rotan, Pandan hutan, jenis Anggrek Pinang dan sebagian jenis rumput-rumputan. 13

6 2.3 Kondisi Geologi Regional Fisiografi Daerah Halmahera yang meliputi Halmahera bagian tengah, deretan pulau di sebelah barat, dan beberapa pulau kecil di sebelah timurnya dibagi menjadi 3 mendala fisiografi (T. Apandi dan D. Sudana, 1976). Halmahera bagian tengah yaitu termasuk sebagian dari lengan utara, sebagian dari lengan selatan, sebagian dari lengan timur laut, dan seluruh lengan tenggara. Lengan timur laut dan lengan tenggara Halmahera, termasuk beberapa pulau kecil di sebelah timurnya, merupakan Mendala Fisiografi Halmahera Timur. Lengan utara dan lengan selatan membentuk Mendala Fisiografi Halmahera Barat, dan deretan pulau di sebelah baratnya merupakan Busur Kepulauan Gunung Api Kuarter yang membentuk Mendala Busur Kepulauan. Semua mendala fisiografi ini berhubungan erat dengan mendala geologinya. Bagian terbesar Mendala Fisiografi Halmahera Timur terdiri dari pegunungan berlereng curam dengan torehan sungai yang dalam dan sebagian bermorfologi karst. Morfologi pegunungan berlereng curam merupakan cerminan batuan ultrabasa, batuan sedimen, serta batuan gunung api Oligo-Miosen dan yang lebih tua. Morfologi karst terdapat pada daerah batu gamping, baik yang berumur Paleosen-Eosen, Oligo-Miosen maupun Miosen-Paleosen. Batuan sedimen Miosen-Pliosen membentuk morfologi dengan perbukitan yang relatif lebih rendah dan lerengnya yang lebih landai daripada batuan yang lebih tua. Hubungan antara Mendala Halmahera Timur dan Mendala Halmahera Barat berupa jalur tektonik yang kuat berbatuan sedimen Neogen. Perlipatan kuat dan persesaran terdapat pada jalur ini. Mendala Busur Kepulauan merupakan deretan pulau di sebelah barat Halmahera yang membentuk busur kepulauan gunung api Kuarter. Sebagian besar pulaunya berbentuk kerucut gunung api yang masih bekerja, seperti G. Ternate, G. Tidore, dan G. Makian. 14

7 Physiographic and geologic province of the region ( after Silver & Moore, 1978, Hamilton, 1979; Sukamto et al, 1981 ) Gambar 2.3 Mendala Fisiografi Daerah Halmahera Stratigrafi T. Apandi dan D. Sudana (1986) membagi daerah Halmahera menjadi 2 (dua) Mendala Geologi, yaitu mendala geologi Halmahera Timur dan mendala geologi Halmahera Barat. Batuan tertua di mendala geologi Halmahera timur tersusun oleh satuan batuan ultrabasa yang sebarannya cukup luas dan satuan batuan beku basa yang mengintrusi satuan batuan ultrabasa serta satuan batuan beku Intermediate yang mengintrusi kedua satuan batuan sebelumnya. Satuan batuan ultrabasa terdiri dari serpentinit, piroksenit dan dunit, umumnya berwarna hitam atau hitam kehijauan, getas, terbreksikan, mengandung asbes dan garnierit. Pada satuan ini teramati batuan metasedimen dan rijang, posisinya terjepit diantara sesar di dalam batuan ultrabasa. Satuan batuan ini oleh Bessho (1994) dinamakan Formasi Watileo (Watileo Series) dan hubungannya dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang ketidakselarasan atau bidang sesar naik. 15

8 Satuan batuan beku basa terdiri dari gabro piroksin, gabro hornblende dan gabro olivine, tersingkap didalam komplek satuan batuan ultrabasa dan ini dinamakan seri Wato-wato (Bessho, 1944). Satuan batuan intermediate terdiri dari batuan diorit kuarsa dan diorit hornblende, tersingkap juga dalam komplek batuan ultrabasa. Selain itu teramati sejumlah retas andesit dan diorit yang berhubungan baik dengan kuarsa dan pirit di daerah Formasi Bacan. Batuan tertua ini ditutupi oleh formasi dodaga yang berumur Kapur secara tidak selaras. Batuan ini tersusun oleh serpih berselingan dengan batugamping coklat muda dan sisipan rijang. Selain itu ditutupi pula oleh batuan yang berumur Paleosen Eosen yaitu batuan dari Formasi Dorosagu, satuan konglomerat dan satuan batugamping. Satuan batugamping berumur Paleosen-Eosen dan dipisahkan dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) oleh ketidakselarasan sedangkan dengan batuan yang lebih muda dipisahkan oleh sesar. Formasi ini memiliki ketebalan 400 meter. Formasi Dorosagu yang berumur Paleosen Eosen terdiri dari batupasir berselingan dengan serpih merah dan batugamping. Hubungan dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) berupa ketidakselarasan dan sesar naik. Formasi ini memiliki ketebalan 250 meter. Formasi ini identik dengan Saolat series ( Bessho, 1944). Satuan konglomerat tersusun oleh batuan konglomerat dengan sisipan batupasir, batulempung dan batubara. Satuan ini berumur Kapur Atas dengan ketebalan > 500 meter. Hubungannya dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) dan batuan yang lebih muda (Formasi Tingteng) adalah ketidakselarasan sedangkan dengan satuan batugamping hubungannya menjemari. Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir hingga Oligosen Awal, baru terjadi aktivitas gunung api selama Oligosen Atas hingga Miosen Bawah, membentuk rempah rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan. 16

9 Formasi Bacan tersusun oleh batuan gunung api berupa lava, breksi dan tufa dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Karena adanya sisipan batupasir maka dapat diketahui umur Formasi Bacan yaitu Oligosen sampai dengan Miosen Bawah. Dengan batuan yang lebih tua (Formasi Dorosagu) dibatasi oleh bidang sesar sedangkan dengan batuan yang lebih muda (Formasi Weda) dibatasi oleh bidang ketidakselarasan. Formasi Bacan identik dengan Tegitegi series (Bessho, 1944). Sebaran batuan gunung api Formasi Bacan ini terhampar luas baik di Mendala Halmahera Timur maupun Mendala Halmahera Barat. Bersamaan dengan pengendapan Formasi Bacan, diendapkan pula batugamping Formasi Tutuli. Formasi ini berumur Oligosen Miosen Bawah, kontak dengan Formasi Weda berupa sesar, dan identik dengan Formasi Parepara series ( Bessho, 1944 ). Setelah rumpang pengendapan Miosen Bawah Bagian Atas, terbentuk cekungan luas yang berkembang sejak Miosen Atas Pliosen. Pada cekungan tersebut diendapkan Formasi Weda, satuan konglomerat dan Formasi Tingteng. Formasi Weda terdiri dari batupasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat dan batugamping, berumur Miosen Tengah Awal Pliosen, bersentuhan secara tidak selaras dengan Formasi Kayasa yang berumur lebih muda dan berhubungan secara menjemari dengan Formasi Tingteng. Formasi ini identik dengan Weda series (Bessho, 1944). Satuan Konglomerat berfragmen batuan ultrabasa, basal, rijang, diorit dan batusabak dengan ketebalan 100 meter, menutupi satuan batuan ultrabasa secara tidak selaras yang diduga berumur Miosen Tengah sampai dengan Awal Piosen. Apabila dilihat letak statigrafinya kemungkinan batuan ini merupakan anggota Formasi Weda. Formasi Tingteng tersusun oleh batugamping hablur dan batugamping pasiran dengan sisipan napal dan batupasir berumur Akhir Miosen Awal Pliosen, memiliki ketebalan 600 meter. Setelah pengendapan Formasi Tingteng terjadi pengangkatan pada Kuarter di pantai pada daerah lengan Timur Halmahera sebagaimana ditunjukkan oleh batugamping terumbu. 17

10 Batuan tertua di daerah Mendala Geologi halmahera Barat berupa batuan gunung api Oligo Miosen dan Formasi Bacan. Batuan sedimen dan karbonat berumur Miosen Pliosen tersebar luas di Mendala ini, kebanyakan bersifat tufaan. Selain itu di bagian utara ditemukan batuan gunung api kuarter yaitu Formasi Kayasa dan satuan Tufa. Formasi Kayasa berupa batuan gunung api terdiri dari breksi, lava dan tufa yang diduga berumur Pliosen, identik dengan Basal Kayasa (Bessho, 1944). Penyusun utama satuan tufa adalah tufa batuapung berwarna putih dan kuning. Deretan pulau yang membentuk busur kepulauan gunung api di Barat Halmahera sebagian besar tertutup oleh rempah rempah gunung api Holosen. Hanya di P. Kayoa di selatan, tersingkap batuan gunung api Oligo sampai dengan Miosen. Formasi Bacan berada di bawah batugamping terumbu yang terdiri dari Batugamping koral dan Breksi Batugamping. Gambar 2.4 Peta geologi regional Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah (Sumber : P.T. ANTAM Tbk, Unit Geomin) 18

11 2.3.3 Tektonik Halmahera dan pulau-pulau sekitar Indonesia bagian timur merupakan suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil pertumbukan lempeng di bagian barat Pasifik. Berdasarkan kondisi geologi dan tektonik, pulau Halmahera cukup unik, karena pulau ini terbentuk akibat pertemuan tiga lempeng yaitu : Eurasia, Pasifik dan Indo Australia. Di bagian Selatan Halmahera terdapat zona sesar Sorong yang merupakan strike slip fault (JA Katili, 1974). Sepanjang zona sesar ini Halmahera bergerak ke arah barat bersamaan dengan lempeng Indo Australia (Hamilton, 1979). tecthalm.c dr PROSPECT AREA km SULAWESI Early Tertiary Magmatic Arc Early Tertiary Subduction Area Active Subduction Zone HALMAHERA Late Tertiary Magmatic Arc Late Tertiary Subduction Zone Early Tertiary Magmatic Arc Late Tertiary Subduction Zone Spreading Center In the Pacific Ocean Transform Fault Active Volcano Direction of plate Movement Early Tertiary Magmatic Arc Late Tertiary Subduction Zone PTANEKA TAMBANG Gambar 2.5 Gambaran tektonik Indonesia Timur (Sumber : PT. ANTAM Tbk Unit Geomin) 19

12 Selain itu, pada zona perbatasan antara Mendala Halmahera Timur dan Halmahera Barat terisi oleh batuan Formasi Weda yang sangat terlipat dan tersesarkan. Zona ini disebut garis median. Struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin terlihat jelas pada Formasi Weda yang berumur Miosen Tengah-Pliosen Awal. Sumbu lipatan berarah utara-selatan, timur laut-barat daya, dan barat lauttenggara. Struktur sesar terdiri dari sesar normal dan sesar naik, umumnya berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara. Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan Awal Tersier ditandai adanya batu lempung berumur Kapur dan batuan ultra basa pada konglomerat Formasi Dorosagu. Ketidakselarasan batuan berumur Paleosen- Eosen yaitu Formasi Dorosagu dengan batuan lebih muda terjadi kira-kira pada Eosen Akhir-Oligosen Awal, mencerminkan kegiatan tektonik yang diikuti kegiatan gunung api terbentuk Formasi Bacan. Pensesaran naik mungkin terjadi pada peristiwa tektonik Eosen-Oligosen. Struktur pada peta terbentuk pada peristiwa tektonik berikutnya terutama yang terjadi pada Akhir Pliosen dan Awal Pleistosen. Hal ini tampak dari sesaran batuan yang lebih tua ke atas Formasi Weda, yang berumur Mio-Pliosen. Peristiwa tektonik terakhir (Holosen) berupa pengangkatan seperti yang ditunjukan oleh terumbu terangkat dan sesar normal yang memotong batugamping terumbu. 20

13 2.4 Genesa Endapan Nikel Laterit Proses pembentukan nikel laterit berawal dari terjadinya proses pelapukan yang terjadi pada batuan asal (protolith) yaitu batuan ultra basa/peridotit yang banyak mengandung mineral olivin, magnesium silikat dan besi silikat yang pada umumnya mengandung 0,3 % nikel. Batuan peridotit sangat mudah terpengaruh oleh proses pelapukan dimana air tanah yang kaya CO 2 yang berasal dari udara luar dan tumbuh-tumbuhan akan menghancurkan olivin. Penguraian olivin, magnesium, besi, nikel, dan silikat kedalam larutan cenderung untuk membentuk suspensi koloid dari partikel-partikel yang submikroskopik. Dalam larutan, besi akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap sebagai feri hidroksida. Akhirnya endapan ini akan menghilangkan air dengan membentuk mineral-mineral seperti Goetit (FeO(OH)), Hematit (Fe 2 O 3 ), dan Cobalt (Co) dalam jumlah kecil. Kemudian besi oksida mengendap dekat dengan permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika tertinggal dalam larutan selama air masih asam. Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi dengan batuan dan tanah, maka zat-zat tersebut akan cenderung mengendap sebagai hydrosilikat. Mineralisasi terjadi melalui rekahan pada strata ini, sebagai akibat pencucian dan penggumpalan pada lapisan saprolit yang disebut pengkayaan maka tertahan pada batuan induk (batuan dasar). Nikel mempunyai sifat kurang kelarutannya dibandingkan dengan magnesium. Perbandingan antara nikel dan magnesium didalam endapan lebih besar daripada larutan, karena adanya larutan silikat magnesium yang terbawa oleh air tanah. Kadang-kadang olivin didalam batuan diubah menjadi serpentin sebelum tersingkap dipermukaan, dimana serpentin terurai kedalam komponen-komponen bersama-sama dengan terurainya olivin. Adanya erosi air tanah asam dan erosi dipermukaan bumi akan menyerang mineral-mineral yang telah diendapkan. Zat-zat tersebut dibawa ketempat yang lebih dalam, selanjutnya diendapkan sehingga terjadi pengkayaan pada bijih nikel. Kandungan nikel pada saat terendapkan akan semakin bertambah banyak dan selama itu magnesium tersebar pada aliran tanah. Dalam hal ini proses 21

14 pengkayaan bersifat kumulatif, dimana proses dimulai dari suatu batuan yang mengandung 0,25 % nikel, sehingga akan dihasilkan 1,50 % bijih nikel. Keadaan ini merupakan kadar nikel yang sudah dapat ditambang, dimana waktu yang diperlukan untuk proses pengkayaan tersebut mungkin dalam beberapa ribu tahun bahkan berjuta-juta tahun. Sedangkan kadar nikel pada endapan laterit yang mempunyai kadar paling tinggi terjadi pada zona pelapukan dan diendapkan pada retakan-retakan dibagian atas dari lapisan dasar batuan (Bed Rock). PERIDOTIT SERPENTINIT PROSES PELAPUKAN DAN LATERISASI SERPENTIN PERIDOTIT LAPUK BAHAN - BAHAN TERBAWA BERSAMA LARUTAN BAHAN - BAHAN TERTINGGAL Fe, Al, Cr, Mn, Co TERLARUT SEBAGAI LARUTAN Ca - Mg Karbonat TERLARUT SEBAGAI PARTIKEL KOLOIDAL KONSENTRASI RESIDU Fe - Oksida Al - Hidroksida Ni - Co KONSENTRASI CELAH DARI SENYAWA - SENYAWA KARBONAT KONSENTRASI RESIDU KONSENTRASI CELAH ZONE ATAS ( I ) URAT - URAT Fe, Ni, Co SAPROLIT Ni, SiO2, Mg - MAGNESIT MAGNESIT MgCo3 MgCO3 - DOLOMIT(Ca2Mg)Co3 (Ca2Mg)CO3 SEBAGAI " ROOF OF WEATHERING " ZONE BAWAH ( I I I ) - SOFT BROWN ORE - URAT - URAT GARNERIT - HARD BROWN ORE - URAT - URAT KRISOPRAS ZONE TENGAH ( I I ) Gambar 2.6 Genesa Endapan Bijih Nikel Laterit (TA Alfin, 2008) 22

15 Endapan nikel laterit terdapat pada lapisan bumi yang kaya akan besi, dimana pembagian yang sempurna dari besi dan nikel kedalam zona-zona yang berbeda tidak pernah ada. Pengkayaan besi dan nikel terjadi melalui pemindahan magnesium dan silikat dimana besi dalam material ini paling banyak terbentuk gumpalan (disebut limonit). Sehingga endapan nikel dapat ditunjukkan dengan adanya jenis limonit tersebut atau sebagai nikel ferrous iron ore. Hal ini berlawanan dengan nikel bertipe silikat (yang kadang-kadang disebut sebagai bijih serpentin) dimana pemisahan nikel lebih baik. Jenis pelapukan yang melarutkan unsur-unsur logam dari batuan induk akan menghasilkan bijih nikel limonit, bijih nikel silikat kebanyakan terjadi pada daerah beriklim tropis. Dimana pada daerah tersebut banyak turun hujan dan banyak tumbuh-tumbuhan yang teruraikan sehingga menimbulkan asam organik dan CO 2 pada air tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bijih nikel laterit ini adalah: A. Batuan asal Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan nikel laterit. Batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada batuan ultra basa tersebut : - Terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya - Mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksin - mempunyai komponen-komponen yang mudah larut dan memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel. B. Iklim Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur yang cukup besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahanrekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan. 23

16 C. Reagen - reagen kimia dan vegetasi Reagen - reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung CO 2 memegang peranan penting didalam proses pelapukan kimia. Asam-asam humus menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat merubah ph larutan. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan : Penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan. Akumulasi air hujan akan lebih banyak. Humus akan lebih tebal. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana hutannya lebat pada lingkungan yang baik akan terdapat endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis. D. Struktur Struktur yang sangat dominan yang terdapat didaerah ini adalah struktur kekar (joint) dibandingkan terhadap struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan beku mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif. E. Topografi Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run off) lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat menyebabkan pelapukan kurang intensif. 24

17 F. Waktu Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi Penyebaran Endapan Bijih Nikel Batuan Peridotit yang mengalami serpentinisasi akan memberikan zona saprolit dengan inti batuan biasanya agak keras dan rapuh. Hal ini diakibatkan adanya hujan dan panas sehingga terjadi pelapukan dan rekahan-rekahan yang memudahkan air masuk melalui celah-celah (Rongga-rongga) batuan oleh suatu mineral kuarsa, garnierit, sedangkan serpentinit akan menghasilkan zona saprolit yang relatif homogen dengan kuarsa dan garnierit. Air permukaan yang mengandung CO 2 dari atmosfir dan terkayakan kembali oleh material organik di permukaan dan meresap kebawah sampai zona pelindian dimana fluktuasi air berlangsung. Sebagai akibat fluktuasi ini air yang kaya CO 2 akan kontak dengan zona saprolit dan batuan yang mengandung batuan asal dan mineral-mineral tidak stabil seperti olivin, serpentin dan piroksin. Tabel 2.2 Kandungan Unsur Ni Dalam Batuan Ultrabasa Sampai Asam Batuan Nikel (%) Besi Oksida + Magnesium (%) Silikat + Alumina (%) Peridotit Gabro Diorit Granit Sumber : The Mining Of Nikel (Joseph. R. Bold Jr) 25

18 Gambar 2.7 Penampang Endapan Nikel Laterit (Sumber : PT. ANTAM Tbk Unit Geomin) Pada zona saprolit dijumpai rekahan-rekahan antara lain garnierit, kuarsa dan krisopras sebagai hasil pengendapan Hydrosilikat dari Mg, Si, dan Ni. Unsurunsur mineral lainnya yang tertinggal adalah besi, aluminium, mangan, cobalt, krom serta nikel di zone limonit yang terikat sebagai mineral oksida atau hidroksida seperti hematit, magnesium dan mineral lainnya. Hasil analisa kimia menunjukkan bahwa zona tengah yang paling banyak mengandung nikel, sedangkan unsur Ca, Mg dan C akan terus mengalir kebawah, pada tempat yang tidak dapat mengalir lagi dan terendapkan sebagai urat-urat dolomit dan magnesit yang mengisi rekahan pada batuan asal. 26

19 Sebagai gambaran umum penampang endapan bijih nikel di Pulau Gee adalah sebagai berikut : a. Lapisan Overburden Lapisan ini merupakan lapisan paling atas, terdiri dari tanah laterit yang berwarna coklat kemerahan. Biasanya terdapat sisa tumbuh-tumbuhan serta konkresi oksida besi, dan kandungan nikelnya relatif rendah. Tebal lapisan ini bervariasi umumnya berkisar antara 1 sampai 10 meter dengan ketebalan rata rata 3 meter. b. Lapisan Limonit Lapisan berwarna coklat muda dengan kandungan nikelnya lebih tinggi dari lapisan pertama yaitu 1 sampai 2 %. Lapisan ini kadang-kadang dapat dianggap sebagai lapisan bijih yang ekonomis. Dikategorikan dalam low grade ore atas yang tebalnya bervariasi antara 1 sampai 15 meter. c. Lapisan Saprolit Lapisan yang sama sekali merupakan batuan yang telah lapuk, berwarna coklat kekuningan sampai kehijauan. Kadar nikel lapisan ini relatif paling tinggi dari keseluruhan lapisan dengan kadar Ni berkisar 2-3 % yang merupakan lapisan bijih yang mengandung urat-urat Garnierit dan Krisopras. d. Lapisan Bed Rock Lapisan ini terdiri dari dua yaitu : 1. Lapisan yang terdiri dari batuan yang kurang lapuk, berwarna hijau terang sampai tua. Pada lapisan ini kadar nikelnya sudah mulai turun. Sering didapat sebagai bongkahan yang dilapisi urat Garnierit. Lapisan ini dikategorikan sebagai low grade ore bawah yang kadang-kadang cukup ekonomis untuk ditambang. 2. Lapisan ini berupa batuan yang sedikit lapuk dan berwarna hitam kehijauan. Pelapukan baru berjalan pada bidang rekahan yang sering terdapat urat Dolomit dan Magnesit. 27

20 2.4.2 Pembentukan Zona Limonit Dan Saprolit Proses pelapukan laterit pada batuan ultrabasa dari suatu laterit fosil, mempunyai arti sebagai suatu proses pelapukan laterit yang berlangsung tidak dimulai dari batuan segar yang kemudian menghasilkan profil laterit baru, tetapi bertolak dari suatu profil laterit yang sudah terbentuk, dimana saprolit silikat yang selalu berada dibawah permukaan air tanah sudah ada dan terletak dibawah zona limonit. Fluktuasi muka air tanah yang berlangsung secara kontinue akan melarutkan unsur-unsur magnesium yang terdapat pada bongkah-bongkah batuan asal di zona saprolit, sehingga memungkinkan penetrasi air tanah yang lebih dalam. Sehingga sedikit demi sedikit zona saprolit akan berubah porositasnya dan akhirnya menjadi zona limonit. Dengan penambahan porositas, maka air tanah akan lebih leluasa bergerak sehingga permukaan air tanah akan turun, menyebabkan air permukaan laterit juga akan turun akibat proses kompaksi dan erosi pada permukaan. Penurunan muka air tanah ini akan berbeda-beda dan sangat tergantung dari struktur batuan asal, morfologi yang mempengaruhi intensitas pelindian, intensitas curah hujan, iklim dan waktu. Pembentuk zona laterit akibat berlanjut proses laterisasi ini akan berlangsung dengan berbedanya penurunan permukaan air tanah, walaupun sifat batuan asalnya serupa. Pada penurunan muka air tanah yang dalam, zona limonit akan terbentuk lebih tebal, sementara itu ketebalan zona saprolit tidak berubah. Demikian pula pada penurunan permukaan air tanah yang sama akan memberikan profil laterit yang berbeda jika struktur batuan asalnya berbeda. Dalam hal ini struktur batuan asal (masif atau bercelah) sangat berperan dalam pembentukan zona saprolit. Di daerah cekungan aktif ini intensitas air tanah membesar akibat arah aliran yang konvergen dan akan memberikan proses pelindian yang lebih intensif dari proses pengendapan kembali, sehingga memungkinkan pembentukan zona limonit yang tebal. 28

21 Air hujan kaya CO 2 dari atmosfir Sedikit pelindian zone limonit di musim hujan ZONE LIMONIT Konsentrasi residu dari Fe dan khromit Fe-hidroksida (+Ni,Al) Al-hidroksida mineral lempung Mn-hidroksida (+Co) Cr-spinel Penguapan, pengendapan Si, Al selama musim kering naiknya air tanah akibat gaya kapiler Pengurangan larutan pembawa Ni, Mg, Si ZONE PELINDIAN silikat yang mengandung nikel terurai Mg, Si, dan Ni larut Penambahan larutan pembawa Ni, Mg, Si ZONE SAPROLIT Pengendapan kembali sebagian Ni, Mg, Si, pada rekahan mis. sebagai : - garnierit - krisopras BATUAN ASAL Sebagian Mg mengendap kembali pada rekahan di batuan asal mis. : - gel magnesit PERIDOTIT-SERPENTINIT - serpentin Serpentinisasi BATUAN ULTRAMAFIK Gambar 2.8 : Skema Pembentukan Endapan Nikel Laterit (Totok Darijanto, 1986) 29

22 2.4.3 Profil Nikel Laterit Secara umum, jika suatu endapan nikel laterit dilihat secara vertikal maka akan terdapat beberapa komponen utama, sebagai berikut: 1. Iron cap atau tudung besi Material lapisan berukuran lempung, berwarna coklat kemerahan, dan biasanya terdapat juga sisa-sisa tumbuhan. lapisan dengan konsentrasi besi yang cukup tinggi dan kandungan nikel yang rendah, atau merupakan laterit residu yang dapat terbentuk pada bagian atas dari profil dan melindungi lapisan endapan nikel laterit dibawahnya. 2. Zone limonit Merupakan lapisan berwarna coklat muda, berukuran butir lempung sampai pasir. Pada zone limonit hampir seluruh unsur yang mudah larut hilang terlindi, kadar MgO hanya tinggal kurang dari 2 % berat dan kadar SiO 2 berkisar 2-5 % berat. Sebaliknya kadar Fe 2 O 3 menjadi sekitar % berat dan kadar Al 2 O 3 maksimum 7 % berat. Zone yang mengandung oksida besi dominan. Gambar 2.9 : Profil Ideal Laterit dan Presentase Analisa Kandungan Logam (Ahmad Prijono, 1977) 30

23 3. Zone Saprolit Merupakan lapisan dari batuan dasar yang sudah lapuk, berupa bongkahbongkah lunak berwarna coklat kekuningan sampai kehijauan. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat, tetapi mineral-mineralnya pada umumnya sudah terubah. Pada beberapa endapan nikel laterit, zona ini dicirikan dengan keberadaan pelapukan mengulit bawang yang terjadi sepanjang joint dan fracture yang memperlihatkan bagian batuan yang masih segar dikelilingi oleh material teralterasi (boulder saprolite). Perubahan geokimia zone saprolit yang terletak di atas batuan asal ini tidak banyak, H 2 O dan Nikel bertambah, dengan kadar Ni keseluruhan lapisan antara 2-4 %, sedangkan Magnesium dan Silikon hanya sedikit yang hilang terlindi. Zona ini terdiri dari vein-vein Garnierite, Mangan, Serpentin, Kuarsa sekunder bertekstur boxwork, Ni-Kalsedon, dan di beberapa tempat sudah terbentuk limonit yang mengandung Fe-hidroksida. Berdasarkan kandungan fragmen batuan, zona ini dibagi menjadi dua yaitu: a. Sub Soft-Saprolit Mengandung fragmen - fragmen berukuran boulder kurang dari 25%. b. Sub Hard-Saprolit Mengandung fragmen - fragmen berukuran boulder lebih dari 50%. 4. Bedrock Pada bagian terbawah dari penampang vertikal endapan nikel laterit ini disebut dengan protolith, berwarna hitam kehijauan, terdiri dari bongkah - bongkah batuan dasar dengan ukuran > 75 cm, dan secara umum sudah tidak mengandung mineral ekonomis. Protolith merupakan batuan asal yang berupa batuan ultramafik. Pada umumnya berupa peridotit ataupun dunit. Nikel muncul bersamaan dengan struktur mineral silikat dari magnesium olivin. Kadar mineral mendekati atau sama dengan batuan asal, yaitu dengan kadar Fe ± 5% serta Ni dan Co antara %. 31

Bab II Tinjauan Umum

Bab II Tinjauan Umum Bab II Tinjauan Umum 2.1 Lokasi Penelitian Daerah penelitian berada di Pulau Gee secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara. Secara

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah

Bab II Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN UMUM. 2.1 Keadaan Umum Lokasi dan Ketersampaian Daerah BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Keadaan Umum 2.1.1 Lokasi dan Ketersampaian Daerah Lokasi dari daerah penambangan nikel laterit di daerah Tanjung Buli Epa secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi penelitian merupakan daerah operasi penambangan nikel milik PT ANTAM. Tbk dengan kontraktor PT Minerina Bhakti dan PT Dian Nickel Mining yang

Lebih terperinci

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM Adi Prabowo Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta MENDALA METALOGENIK (Metallogenic Province) suatu area yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. FISIOGRAFI Geologi regional P.Obi ditunjukkan oleh adanya dua lajur sesar besar yang membatasi Kep.Obi yaitu sesar Sorong-Sula di sebelah utara dan sesar Sorong Sula mengarah

Lebih terperinci

PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA. Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik

PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA. Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik PENELITIAN BATUAN ULTRABASA DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA Djadja Turdjaja, Martua Raja P, Ganjar Labaik Kelompok Program Penelitian Mineral S A R I Satuan batuan ultrabasa terdiri

Lebih terperinci

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT

EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT EKSPLORASI ENDAPAN BIJIH NIKEL LATERIT I. PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan galian merupakan salah satu sumber daya alam non hayati yang keterjadiannya disebabkan oleh proses proses geologi. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KAB. HALMAHERA TIMUR DAN KAB. HALMAHERA TENGAH PROVINSI MALUKU UTARA Kisman 1 dan Ernowo 1 1 Kelompok Program dan Penelitian Mineral SARI Tektonik regional Pulau Halmahera

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data

Bab IV Pengolahan dan Analisis Data BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas dua data, yaitu data primer yang meliputi data mentah sebagai data utama dalam pengolahan data, sedangkan data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 KESAMPAIAN DAERAH 2.1.1 Kesampaian Daerah Busui Secara geografis, daerah penelitian termasuk dalam daerah administrasi Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 8 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Singkat CV Jasa Andhika Raya CV Jasa Andhika Raya (CV JAR) merupakan perusahaan yang bergerak dibidang usaha pertambangan batubara dan berkedudukan di Desa Loa Ulung,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan

BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Endapan serta Hubungannya dengan Pelapukan Banyak dari mineral bijih, terutama mineral sulfida dan sulfosalt terbentuk pada lingkungan yang tereduksi serta pada temperatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan. Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan

Lebih terperinci

BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO

BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO 11 BAB III. KONDISI UMUM PT. INCO SOROWAKO 3.1. Letak Daerah Penelitian Sorowako merupakan daerah yang dikelilingi oleh tiga buah danau, yaitu Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona. Sorowako terletak

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT PUSAT SUMBERDAYA GEOLOGI B A D A N G E O L O G I DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL 1.1. Latar

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Secara administratif wilayah IUP Eksplorasi CV Parahyangan Putra Mandiri, termasuk di dalam daerah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit

BAB II DASAR TEORI Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit BAB II DASAR TEORI 2.1. Genesa Endapan Nikel Laterit 2.1.1. Pembentukan Zona Pada Endapan Nikel Laterit Nikel laterit merupakan material dari regolit (lapisan yang merupakan hasil dari pelapukan batuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Nikel Laterit Nikel laterit merupakan salah satu sumber nikel dan feronikel yang penting, dimana endapan ini merupakan hasil dari pelapukan intensif dari batuan ultrabasa pembawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 07 SUMBERDAYA MINERAL Sumberdaya Mineral Sumberdaya mineral merupakan sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi batuan atau pelapukan p batuan (tanah). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... xvii. DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI SARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... v vi vii x xiv DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Kesampaian Daerah Daerah penelitian secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Seibanbam II, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Perusahaan CV. Putra Parahyangan Mandiri adalah salah satu perusahaan batubara yang terletak di Kec. Satui, Kab. Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, yang didirikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

Integrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Integrasi SIG dan citra ASTER BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nikel laterit adalah produk residual pelapukan kimia pada batuan ultramafik. Proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik tersingkap

Lebih terperinci

PROVINSI MALUKU UTARA

PROVINSI MALUKU UTARA PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROVINSI MALUKU UTARA Syahya Sudarya dan Dwi Nugroho Sunuhadi Kelompok Penyelidikan Mineral SARI Secara administratif daerah prospeksi termasuk ke

Lebih terperinci

INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA INVENTARISASI ENDAPAN NIKEL DI KABUPATEN KONAWE, PROVINSI SULAWESI TENGGARA Moe tamar Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencari data primer maupun data sekunder potensi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

JTM Vol. XVI No. 3/2009

JTM Vol. XVI No. 3/2009 JTM Vol. XVI No. 3/2009 HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DAN MORFOLOGI DALAM DISTRIBUSI KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA ENDAPAN NIKEL LATERIT : STUDI KASUS ENDAPAN NIKEL LATERIT DI PULAU GEE DAN PULAU PAKAL,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah PT. International Nickel Indonesia (PT. INCO) merupakan sebuah perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi sekitar 165

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci