KERUSAKAN PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KERUSAKAN PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR"

Transkripsi

1 KERUSAKAN PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR Belinda Natasya S. Hum. dan Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 16431, Indonesia Abstrak Penelitian ini membahas mengenai bentuk kerusakan yang terdapat pada relief Lalitavistara Candi Borobudur dengan tujuan untuk mengidentifikasi bentuk kerusakan pada relief cerita Lalitavistara, mengetahui jumlah kerusakan pada panil-panil relief Lalitavistara, dan mengetahui sisi dinding mana yang mengalami kerusakan terbanyak.tahapan penelitian dimulai dari pengidentifikasian jenis kerusakan seluruh panil relief Lalitavistara menggunakan satuan blok batu kemudian jumlah kerusakan diintegrasikan dengan adegan dan dinding candi agar diketahui dinding mana yang mengalami kerusakan terbanyak. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kerusakan di setiap dinding hampir sama dan tidak ada satupun blok batu yang tidak mengalami kerusakan. THE DAMAGES OF LALITAVISTARA S RELIEF AT BOROBUDUR TEMPLE Abstract The focus consists of the forms of damages found on the Lalitavistara s relief of Borobudur to identifying the forms of the damages, find out the quantity of the damages in every panels, and find out which side has the largest amount of damages. The first step of research is identifying the type of damage throughout Lalitavistara relief panels using the unit block of stone then it will be integrated with the amount of damage in scenes and the wall of the temple in order to know where the wall is damaged most. Research results showed average of damages on every wall in the same amount approximately and the damages occur in every block of stone. Key words: Borobudur Temple, Lalitavistara s relief, relief s damages, stone s damages 1

2 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Benda arkeologi merupakan produk masa lalu yang masih bertahan hingga saat ini. Hakekat data arkeologi yaitu terbatas dari segi jumlah, tidak dapat diperbaharui, mudah rapuh, dan seringkali ditemukan dalam keadaan yang tidak utuh (Anom, 1996: 426). Kerusakan adalah salah satu proses degradasi yang terjadi pada benda cagar budaya. Kerusakan benda cagar budaya dapat diartikan sebagai perubahan bentuk yang terjadi pada benda cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan jenis, sifat fisik, dan sifat kimianya. Di sisi lain terdapat bentuk yang memiliki pengertian yang sama dengan kerusakan namun secara teknis berbeda, yaitu pelapukan. Jika kerusakan adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas maka pelapukan dapat disederhanakan menjadi perubahan bentuk suatu material ke material lain yang diikuti perubahan jenis, sifat fisik, dan sifat kimianya (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15). Kerusakan benda cagar budaya disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Samidi (1996: 439) faktor internal penyebab kerusakan benda cagar budaya berasal dari dalam benda cagar budaya itu sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan di mana benda cagar budaya itu berada. Faktor internal misalnya saja berasal dari bahan penyusun benda cagar budaya itu sendiri atau dalam kasus bangunan cagar budaya, sistem bangunan, tanah dasar, dan lokasi geotopografis juga termasuk dalam faktor internal penyebab kerusakan. Sementara itu, faktor eksternal dapat berasal dari iklim, air, pertumbuhan mikrobiologi, ulah manusia, dan bencana alam (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15). Kerusakan benda cagar budaya berbeda-beda karena bahan penyusunnya yang berbeda. Berdasarkan bahan penyusunnya, benda cagar budaya dibedakan atas dua jenis yaitu organik dan non-organik. Benda organik adalah benda yang berasal dari hewan dan tumbuhan seperti kayu, daun, tulang, gading, serat kapas, dan berbagai serat tumbuhan. Sementara itu, benda nonorganik adalah benda-benda yang bukan berasal dari hewan dan tumbuhan seperti misalnya bahan mineral, logam murni maupun campuran, dan batu (Joetono, 1996: 447). Untuk benda cagar budaya berbahan dasar batu meskipun kuat, namun rentan terhadap faktor-faktor penyebab kerusakan (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15). Salah satu benda tinggalan arkeologis berbahan dasar batu yang masih bertahan hingga masa sekarang ini adalah relief. Relief merupakan benda tinggalan arkeologis yang menyatu dengan bangunan di mana relief itu dipahatkan. Umumnya di Jawa, relief banyak ditemukan di candi yang baik bangunan maupun reliefnya berasal dari bahan penyusun yang sama. Berdasakan penjelasan ini dapat dilihat bahwa masalah kerusakan yang terjadi pada relief maupun bagian candi yang lain hampir sama karena bahan penyusunnya yang sama. Salah satu bangunan cagar budaya berbahan dasar batu yang sangat rentan terhadap kerusakan yang berasal dari alam adalah Candi Borobudur. Candi Borobudur merupakan bangunan yang terbuat dari batuan andesitpiroksen yang vetrofiris 1 (Sampurno, 1969: 20). Batuan jenis ini dapat menyimpan air di dalamnya dalam waktu yang lama (Sampurno, 1969: 23). Air merupakan sarana yang dapat mempercepat proses kerusakan (Joetono, 1996: 450). Jika dibandingkan dengan usia Candi Borobudur yang menurut Bernet Kempers didirikan di bawah pemerintahan Dinasti Syailendra pada tahun 800 Masehi (1959: 45) maka pada tahun 2013 ini usianya kurang lebih mencapai 1213 tahun. Fakta ini menunjukan bahwa sudah sekitar 1213 tahun batuan Candi Borobudur mengalami proses kerusakan akibat alam yang sifatnya tidak bisa dicegah. Bagian dari Candi Borobudur yang juga rentan terhadap kerusakan akibat faktor eksternal maupun faktor internal adalah reliefnya. Relief merupakan salah satu sumber data arkeologi yang sangat penting karena relief merupakan dokumentasi visual mengenai peristiwa yang bisa memperkaya pengetahuan kita tentang gaya hidup masa lalu (Joesoef, 2004: 49). Sebagai suatu dokumentasi visual yang dipahatkan pada media batu, sudah dapat dipastikan bahwa relief tidak terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia. Kerusakan yang terjadi pada relief sifatnya adalah tidak bisa dicegah atau ditanggulangi. Kerusakan akibat faktor alam sulit ditangani hingga tuntas karena Candi Borobudur berada di alam terbuka sehingga material bangunannya sangat dipengaruhi oleh iklim (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15). Seperti juga yang diungkapkan oleh Joetono (1996: 452) bahwa upayaupaya yang dilakukan hanya bersifat menghambat kerusakan bukan menghentikannya. Hal ini juga 1 Masa padat batuan bertekstur porfiris dengan fenokris plagioklas dan piroksen, dan matriks-matriks kaca dengan kristal-kristal kripto. Matriks batuan candi Borobudur sebagian terdiri dari masa kaca yang rapuh dan porositasnya yang sangat besar (Sampurno, 1969: 20) 2

3 diperkuat oleh pernyataan Atmadi (1979: 7) yang menyatakan bahwa Relief Candi Borobudur pada dasarnya mengalami proses kerusakan yang berjalan lambat namun pasti. Hal tersebut disebabkan oleh keausan yang telah dialami selama beratus-ratus tahun, yang disebabkan oleh hujan, panas, kelembaban maupun gempa bumi. Kerusakan relief akibat perubahan suhu dan kelembaban yang tinggi yang berlangsung terusmenerus menyebabkan kondisi batu menjadi tidak stabil dan akhirnya dapat mengakibatkan keretakan, pecah, pertumbuhan jasad, kerapuhan, keausan dan lain sebagainya (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15). Menurut Soekmono (1969:2) adalah tidak mungkin mencegah kerusakan Candi Borobudur akibat faktor alam. Candi Borobudur setiap harinya terkena sengatan cahaya matahari dan terkadang basah akibat air hujan. Hal ini terjadi terus menerus sehingga kerusakan terusmenerus terjadi. Proses kerusakan pada relief Candi Borobudur menurut Sampurno (1969: 23) berjalan perlahan-lahan namun diikuti oleh kerusakan mendadak dimana hal ini akan terjadi terus-menerus. Salah satu dampak yang dihasilkan dari kerusakan ini adalah terendapkannya garam pada permukaan batu. Penggaraman merupakan salah satu dampak kerusakan yang banyak terjadi pada permukaan dan nat-nat batu candi. (Santosa dkk, 2010: 45). Selain faktor eksternal yang berasal dari alam, faktor penyebab kerusakan juga datang dari tangan manusia sendiri. Contohnya adalah penggunaan lapisan oker kuning yang memiliki tujuan meratakan warna relief untuk keperluan pendokumentasian foto (Soekmono, 1972: 9). Fakta yang ada sekarang ini menunjukan bahwa pengelupasan terbanyak terjadi pada batu yang menggunakan lapisan oker (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 18). Kerusakan pada relief Candi Borobudur sangat mungkin untuk diteliti. Terlebih terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa semakin ke atas atau ke arah arupadhatu, kerusakan semakin sedikit terutama pada relief 2. Pada Candi Borobudur, relief dipahatkan pada bagian kamadhatu dan rupadhatu. Namun kerusakan relief pada bagian kamadhatu (relief cerita Karmavibhangga) tidak dapat diamati karena memang ditutup. Oleh karena itu relief yang memungkinkan untuk diteliti adalah relief yang terdapat di bagian rupadhatu. Rupadhatu terdiri dari empat teras yang masing-masing terpahatkan relief pada bagian dinding maupun pagar langkan. Mengacu pada pendapat di atas, kerusakan pada relief yang memungkinkan untuk diteliti adalah relief yang terdapat pada teras 1 untuk 2 Informasi diperoleh dari Nahar Cahyandaru S. Si (Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKP Borobudur) mengetahui kerusakan terbanyak yang terjadi pada relief Candi Borobudur. Pada teras pertama Candi Borobudur terdapat relief Lalitavistara, relief Manohara, dan Jataka Avadana pada dinding candi dan relief Jataka Avadana pada pagar langkan. Data pada tahun 1911 menyebutkan bahwa relief Lalitavistara mengalami kerusakan yang parah. Pada proyek restorasi yang dilakukan pada tahun 1971 didapatkan data bahwa foto-foto relief 60 tahun sebelumnya (sekitar tahun 1911) jauh lebih baik daripada foto yang diambil pada tahun Hal ini terjadi karena batuan Candi Borobudur sudah mengalami keausan (Soekmono, 1972: 6). Pernyataan ini juga diperkuat oleh data yang menyebutkan bahwa sebelum tahun 1929, terdapat 40 dari 120 panil relief Lalitavistara mengalami kerusakan akibat pengaruh iklim (Soekmono, 1972: 9). Pada tahun ini juga dilaporkan bahwa relief Jataka Avadana yang berada tepat di bawah relief Lalitavistara, mengalami kerusakan di 38 tempat. Kerusakan serupa juga terjadi pada relief yang menghiasi dinding-dinding lain (Soekmono, 1978: 97-98) hanya saja tidak disebutkan jumlah kerusakannya. Hal yang kemudian perlu digarisbawahi adalah tidak adanya kepastian mengenai keterangan tempat terjadinya kerusakan relief Jataka Avadana, hanya disebutkan 38 tempat (tempat yang dimaksudkan mengacu pada panilkah atau mengacu pada titik-titik yang mengalami kerusakan?). Tidak seperti data kerusakan pada relief Lalitavistara yang menyebutkan kerusakan parah pada 40 panil. Jika kembali kepada sifat kerusakan yang tidak bisa diperbaiki kembali maka saat ini kemungkinan yang ada adalah bertambahnya kerusakan. Berdasarkan data ini, dapat diketahui bahwa di antara semua relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur, relief Lalitavistara diketahui mengalami kerusakan sejak sebelum tahun Selain itu, pemilihan relief Lalitavistara sebagai obyek pengamatan juga didasarkan pada tidak adanya penelitian yang pasti menyebutkan mengenai bagian mana dari Candi Borobudur yang mengalami kerusakan terbanyak. Pemilihan relief Lalitavistara hanya sebagai contoh kasus penelitian mengenai kerusakan yang terjadi di Candi Borobudur. Tidak tertutup kemungkinan bahwa relief di teras 2, 3, 4, dan pagar langkan memiiliki bentuk kerusakan yang sama dengan relief Lalitavistara. Mengacu pada fakta dan sifat kerusakan yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, dapat diketahui bahwa kemungkinan yang ada sekarang ini adalah bertambahnya kerusakan pada relief cerita Lalitavistara. Relief cerita Lalitavistara menceritakan perjalanan hidup Sang Buddha di dunia (Moertjipto dan Prasetyo, 1993: 48; Marzuki dan Heraty, 1993: 42) dan hanya terdapat di Candi Borobudur. Sejak pemugaran pertama yang dilakukan 3

4 Van Erp pada tahun , pendokumentasian terhadap seluruh panil relief berhasil dilakukan sehingga memungkinkan untuk diteliti perkembangan kerusakan yang terjadi pada reliefnya terutama relief Lalitavistara. Seiring dengan perkembangannya, Candi Borobudur terutama reliefnya terus terancam oleh faktor-faktor penyebab kerusakan. Faktor internal penyebab kerusakan Candi Borobudur sudah dapat ditangani pada pemugaran kedua yang dilakukan pada tahun Sementara itu, kerusakan akibat faktor eksternal tidak bisa ditangani secara tuntas karena memang Candi Borobudur berada di alam terbuka (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15). Seperti perubahan suhu akibat iklim, gempa bumi dan letusan Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 lalu tentu saja akan mempengaruhi keutuhan relief-relief yang ada di Candi Borobudur. Selain karena relief Lalitavistara hanya terdapat di Candi Borobudur, keutuhannya harus tetap dijaga karena kerusakan pada benda cagar budaya tidaklah sama dengan kerusakan benda-benda lain pada umumnya karena terdapat nilai budaya dan sejarah yang melekat pada benda cagar budaya. B. Ph. Groslier (ahli pemugaran candi dari Perancis) dan C. Voute (ahli hidrogeologi dari Nederland) memberikan pendapatnya bahwa keausan batu-batu relief Candi Borobudur akan menghapus keindahan seni ukir yang tiada bandingnya (Soekmono, 1972: 17). Meskipun kita tidak dapat mengerti cerita pada relief secara spesifik, setidaknya kita tetap bisa mengidentifikasi tokoh utama pada relief (John Miksic, 1999: 20). Oleh karena itu, keutuhan relief harus terus dijaga, terlebih sekarang ini Candi Borobudur sudah ditetapkan menjadi salah satu Warisan Budaya Dunia (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: 15) dan merupakan tempat pemujaan Buddha Mahayana terbesar di dunia (Joesoef, 2004: 50). Lebih lanjut juga ditambahkan oleh Sedyawati (2009: 1) bahwa Candi Borobudur adalah suatu karya yang memperlihatkan kejeniusan masyarakat masa lalu dalam mengkonstruksi suatu bangunan. 1.2 Riwayat Penelitian Penelitian yang secara khusus meneliti mengenai kerusakan pada keseluruhan relief Candi Borobudur belum pernah dilakukan. Penelitian-penelitian yang sudah ada sebelum ini, membahas mengenai kerusakan relief Candi Borobudur yang kurang mendalam. Penelitian mengenai kerusakan relief Candi Borobudur pertama kali dilakukan pada saat pemugaran pertama Candi Borobudur ( ). Pada pemugaran pertama ini, upaya-upaya konservasi telah dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan terus menerus mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap Candi Borobudur. Pada saat yang bersamaan proses kerusakan dan pelapukan batuan terus berlangsung. J.L.A Brandes sebagai ketua pelaksana menekankan perlunya menjaga keutuhan relief-relief Candi Borobudur dari bahaya kerusakan dan pelapukan. Menurutnya relief adalah sebuah adegan abadi perwujudan sejarah kebudayaan adat dan kebiasaan Jawa kuno yang dipentaskan kembali (Marzuki dan Heraty, 1993: 79). Pada tahun 1929 Pemerintah membentuk suatu panitia khusus yang bertugas untuk meneliti penyebab kerusakan dan pelapukan batuan pada relief maupun seluruh bagian Candi Boroudur. Penelitian ini dilakukan karena pada pemeriksaan yang dilakukan pada tahun 1926 diketahui bahwa berdasarkan foto yang dihasilkan Van Erp pada tahun 1911, terdapat 40 bidang relief dari 120 bidang relief Lalitavistara mengalami kerusakan berat dalam jangka waktu 16 tahun (Soekmono, 1978: 98). Hasil yang didapat pada penelitian ini diketahui bahwa sebab-sebab kerusakan bersumber dari korosi, kerja mekanis, serta kekuatan tekanan dan tegangan di dalam batu-batu itu sendiri (Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (Untuk selanjutnya akan disingkat menjadi BKP Borobudur), 2009: 19). Pada tahun 1956 seorang utusan UNESCO bernama P. Coremans datang ke Candi Borobudur untuk meneliti kerusakan-kerusakan yang ada pada Candi Borobudur (Soekmono, 1978: 100). Coremans adalah seorang profesor yang bekerja di Laboratorium Pusat untuk museum-museum di Belgia. Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian Coremans tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (Soekmono, 1978: 100). Menurut Soekmono (1978: 107), antara tahun 1961 dan 1965 terdapat suatu penelitian yang sifatnya tidak arkeologis dan juga tidak teknis. Penelitian ini berkenaan dengan proses ausnya batu-batu candi. Kekeringan yang terjadi pada batuan mengakibatkan retak-retak baru. Kesimpulan sementara yang didapat dari penelitian ini adalah bertambah keringnya batuan candi tidak menjamin proses kerusakan akan berhenti (Soekmono, 1978: 107). Selanjutnya pada tahun 1969 seorang ahli Biologi asal Perancis yang bernama Nn. Dr. G. Hyvert mengkhususkan diri dalam masalah pengawetan batu demi kepentingan mempelajari keadaan fisik batu-batu Candi Borobudur. Hyvert dibantu oleh Netherlands Engineering Consultants untuk mempelajari serta mendalami pelaksanaan teknis pemugaran yang direncanakan. Kajian yang dilakukan oleh Hyvert menghasilkan penyusunan perencanaan penelitian mikro biologi dan percbaan-percobaan merawat batu (Soekmono, 1978: 109). 4

5 Penelitian yang selanjutnya dilakukan pada pemugaran kedua tahun Sesudah usaha pemugaran Van Erp pada tahun 1911, pemeliharaan terhadap Candi Borobudur terus dilakukan. Berdasarkan perbandingan antara kondisi saat itu dengan foto-foto yang dibuat Van Erp 10 tahun sebelumnya, diketahui ternyata proses kerusakan pada Candi Borobudur terus terjadi dan semakin parah, terutama pada dinding relief batu-batunya rusak akibat pengaruh iklim. Selain itu bangunan candinya juga terancam oleh kerusakan (BKP Borobudur, 2009: 20). Setelah Pemugaran kedua selesai dilaksanakan, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan (BKP Borobudur, 2009: 21-22). Penelitian terbaru yang dilakukan terhadap kerusakan batuan Candi Borobudur dalam hal ini relief dilakukan oleh Kasiyati dan Brahmantara (2010: 18-19). Penelitian ini mencoba melihat dampak pemanasan global terhadap keterawatan Candi Borobudur. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa kerusakan dan pelapukan batuan Candi Borobudur terjadi akibat pertumbuhan jasad, bisul dan lubang alveol, pengelupasan (Pengelupasan terbanyak terjadi pada batu yang beroker), penggaraman dan sementasi, retakan, dan keausan. 1.3 Rumusan Permasalahan Penelitian Hakekat data arkeologi yang terbatas dari segi jumlah dan kualitas membuat penelitian terhadap tinggalan arkeologi memerlukan upaya yang cukup keras. Upaya merekonstruksi kebudayaan masa lalu menggunakan tinggalan arkeologis seringkali memerlukan usaha yang tidak mudah meskipun tinggalan tersebut dalam keadaan yang utuh. Arkeologi sebagai kajian ilmu yang bergerak dari benda budaya yang dihasilkan pada masa lalu dan bertahan hingga masa sekarang, sudah dapat dipastikan memerlukan tinggalan fisik yang dapat diteliti atau dijadikan sebagai suatu identitas bangsa. Banyak tinggalan arkeologis yang masih bertahan hingga masa sekarang dan berada di alam terbuka. Umumnya benda tinggalan arkeologis tersebut berupa benda atau bangunan berbahan dasar batu yang keberadaannya terancam oleh faktor lingkungan seperti iklim maupun manusia. Selain diteliti untuk keperluan rekonstruksi kebudayaan masa lalu, benda tinggalan arkeologis juga wajib untuk dilestarikan agar kelestariannya terjaga dan terbuka untuk berbagai penelitian lainnya. Hal ini terjadi pada batuan penyusun Candi Borobudur pada umumnya dan relief Lalitavistara pada khususnya. Faktor alam yang menyebabkan kerusakan pada batuan penyusun Candi Borobudur tidak dapat dicegah akan tetapi tidak mustahil untuk dihambat. Upaya yang dilakukan selama ini adalah untuk menghambat kerusakan akibat faktor alam meskipun faktor internal bangunan dan batuan penyusun candi maupun relief juga turut berpengaruh dalam menyebabkan kerusakan. Hakekat kerusakan adalah tidak dapat dikembalikan pada bentuknya yang semula, jika diperbaiki pun pasti akan meninggalkan jejak yang dapat mengganggu penggambaran tokoh/non-tokoh pada relief. Sehingga dapat dipastikan bahwa kerusakan terus bertambah bukan berkurang. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah kerusakan yang terjadi pada relief Lalitavistara. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk kerusakan pada relief cerita Lalitavistara, mengetahui jumlah kerusakan pada panil-panil relief Lalitavistara, dan mengetahui sisi dinding mana yang mengalami kerusakan terbanyak. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Kerusakan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kerusakan baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Kerusakan mengakibatkan perubahan bentuk batuan penyusun relief Lalitavistara. Perubahan bentuk yang dimaksud adalah kerusakan yang mengakibatkan berkurangnya material batuan. Bentuk kerusakan pada Candi Borobudur pada umumnya yaitu penggaraman, sementasi, retak, hilang, aus, bisul dan lubang alveol, patinasi (biopatina), pertumbuhan jasad, vandalisme dan pengelupasan (Kasiyati dan Brahmantara, 2010: dan BKP Borobudur, 2010a: 8-10). Akan tetapi untuk kepentingan penelitian ini, bentuk kerusakan yang akan diidentifikasi pada relief Lalitavistara yaitu penggaraman, pengelupasan, hilang, retak, bisul dan lubang alveol, dan aus. Pertumbuhan jasad dan biopatina tidak disertakan dalam identifikasi karena menurut peneliti, pertumbuhan jasad dan biopatina tidak mempengaruhi bentuk fisik batu penyusun relief Lalitavistara selain perubahan warna dan estetika. Untuk vandalisme mengapa juga tidak disertakan dalam identifikasi karena bentuk nyata vandalisme yang dapat disaksikan hingga sekarang ini adalah penggunaan oker pada relief di Candi Borobudur yang mana sekarang ini menyebabkan pengelupasan di beberapa bagian batuan penyusun relief. 5

6 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat ganda, yaitu manfaat teoretik dan manfaat praksis. Manfaat teoretik kajian ini adalah sebagai contoh kajian mengenai kerusakan relief berbahan dasar batu andesit sehingga kajian ini dapat dimanfaatkan untuk meneliti kerusakan relief lainnya. Manfaat praksis kajian ini yaitu sebagai sumbangan bahan pemikiran bagi upaya pelestarian candi pada umumnya dan relief pada khususnya. 2. Metode Peneltian Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan serangkaian tahapan penelitian yang digunakan oleh peneliti. Menurut Sharer dan Ashmore (2003: 156) 3 dalam suatu penelitian arkeologi terdapat tujuh tahapan yang harus dilalui. Tahapan-tahapan tersebut yaitu formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, interpretasi, dan publikasi. Ketujuh tahapan yang disebutkan oleh Sharer dan Ashmore terdiri dari hal-hal mendasar. Pada tahapan formulasi hal-hal yang harus diperhatikan adalah merumuskan permasalahan penelitian, menentukan latar belakang penelitian, dan studi kelayakan. Pada tahapan implementasi hal-hal yang harus diperhatikan adalah perijinan, pendanaan, dan perlengkapan. Pada tahapan pengumpulan data, rangkaian kegiatan yang harus dilakukan adalah penjajakan, survei, dan ekskavasi. Pada tahapan pengolahan data kegiatan yang harus dilakukan adalah pembersihan dan konservasi, katalogisasi, dan klasifikasi awal. Pada tahapan Analisis terdapat kegiatan klasifikasi analitik, analisis kerangka kerja sementara, dan analisis kerangka kerja spasial. Pada tahapan interpretasi terdapat kegiatan mengaplikasikan sejarah kebudayaan, prosesual kebudayaan, dan teori baru. Pada tahapan terakhir yaitu publikasi. Kegiatan ini memungkinkan hasil penelitian dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya. Untuk kepentingan penelitian ini, penulis mencoba mengadaptasi tahapan penelitian yang dikemukakan oleh Sharer dan Ashmore. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan beberapa tahapan penelitian yang dikemukakan oleh Sharer dan Ashmore dan menyesuaikannya dengan latar belakang, rumusan permasalahan penelitian, dan tujuan penelitian ini. Tahapan yang akan penulis adaptasi adalah pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. 3 Pada Figure 5.2 Diagram of stages of archaeological research 2.1 Pengumpulan Data Menurut Sharer dan Ashmore (2003: 158) tahapan pengumpulan data arkeologi terdiri dari tiga langkah yaitu penjajakan, perekaman, dan ekskavasi. Kegiatan penjajakan dilakukan untuk memetakan dan mengidentifikasi situs. Situs dapat ditemukan melalui pengamatan langsung atau menggunakan alat penginderaan jauh seperti foto udara (citra satelit), radar, ataupun instrumen lain. Begitu lokasi situs didapatkan, hal yang kemudian dilakukan adalah survei permukaan. Dalam kegiatan survei perlu dilakukan perekaman. Hal yang termasuk dalam kegiatan perekaman adalah fotografi (udara atau permukaan tanah), pemetaan, dan mengambil sampel. Langkah terakhir yang dilakukan dalam kegiatan pengumpulan data adalah ekskavasi. Ekskavasi dilakukan untuk mengetahui tinggalan arkeologi di bawah tanah. Oleh karena konteks penelitian yang dikemukakan oleh Sharer dan Ashmore adalah penelitian arkeologi berupa ekskavasi maka peneliti mencoba mengadaptasi kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam tahapan pengumpulan data guna menunjang kepentingan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bentuk kerusakan pada relief cerita Lalitavistara, mengetahui jumlah kerusakan pada panil-panil relief Lalitavistara, dan mengetahui sisi dinding mana yang mengalami kerusakan terbanyak. Berdasarkan tujuan penelitian ini, langkah-langkah dalam tahapan pengumpulan data yaitu penjajakan berupa pengamatan secara langsung di lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan survei lapangan, perekaman yang meliputi foto (pemetaan dan pengambilan sampel tidak dilakukan karena hal tersebut tidak diperlukan dalam penelitian ini). Kegiatan ekskavasi juga tidak dilakukan dalam penelitian ini karena tidak sesuai dengan perumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dengan kegiatan penjajakan berupa penelusuran kajian kepustakaan yang difokuskan kepada laporan penelitian dan buku-buku yang memuat kerusakan benda cagar budaya berbahan dasar batu pada umumnya dan kerusakan batuan Candi Borobudur pada khususnya. Hasil penjajakan melalui kepustakaan memperlihatkan fakta bahwa relief Lalitavistara mengalami kerusakan sebanyak 40 dari 120 panil relief pada tahun Tidak ada data yang menyebutkan mengenai kerusakan pada relief lainnya. Ada kemungkinan kerusakan pada relief lain tidak disebutkan karena tidak ada datanya atau kerusakannya tidak separah relief Lalitavistara. Kerusakan pada relief perlu untuk diteliti karena kerusakan dapat mempengaruhi pahatan relief pada panil. Oleh karena itu, fokus penelitian diarahkan kepada kerusakan relief dan relief tersebut adalah Lalitavistara. Relief 6

7 Lalitavistara dipilih karena kerusakannya sudah disebutkan sejak tahun 1929 dan hanya sebagai contoh kasus penelitian mengenai kerusakan yang terjadi di Candi Borobudur. Setelah kerusakan batuan penyusun relief Lalitavistara ditentukan sebagai obyek penelitian, kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah survei. Survei dilakukan secara langsung di lapangan dan kepustakaan. Survei secara langsung di lapangan difokuskan pada pengamatan bentuk-bentuk kerusakan batuan penyusun relief Lalitavistara. Baik survei di lapangan ataupun kepustakaan, kerusakan yang diamati yaitu penggaraman, pengelupasan, hilang, retak, bisul dan lubang alveol, dan aus. Survei yang dilakukan di lapangan yaitu dengan mengambil foto bentuk kerusakan yang terdapat pada batuan penyusun relief Lalitavistara. Terdapat berbagai macam bentuk kerusakan pada relief Lalitavistara namun perekaman berupa foto difokuskan kepada endapan berwarna putih (garam), bagian batu yang terkelupas (pengelupasan), bagian batu yang hilang (pecah), retak, lubang-lubang pada batu yang ditumbuhi jasad (bisul dan lubang alveol), bagian relief yang pahatannya semakin tidak jelas (aus). Dalam memotret detil kerusakan lensa yang digunakan yaitu lensa fix yang memiliki focus length 50 mm. Keseluruhan foto detil kerusakan digunakan menggunakan resolusi large dan menggunakan mode automatic. Setelah foto detil kerusakan dikumpulkan, foto setiap panil diambil untuk mengetahui letak dan seberapa banyak kerusakan pada batuan penyusun satu panil relief. Pengambilan foto panil dilakukan secara pradaksina untuk memudahkan perekaman dan mengetahui urutan panil relief Lalitavistara. Karena panil relief Lalitavistara mengelilingi dinding tubuh candi, pemotretan dilakukan dengan cara memotret panil-panil yang terdapat pada dinding utara dan barat pada pagi hari ( WIB) dan panil-panil yang terdapat pada dinding timur dan selatan pada siang hari ( WIB). Hal ini dilakukan agar sinar matahari tidak menghasilkan bayangan pigura panil pada panil. Pemotretan panil-panil dilakukan menggunakan kamera canon 60D dengan lensa yang memiliki focus lenght mm. Sebenarnya untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal, lensa wide (focus length = mm) baik untuk digunakan akan tetapi lensa yang memiliki focus lenght mm cukup baik untuk digunakan pada jarak minimal 2,5 m dari dinding candi (posisi badan menempel pada pagar langkan candi menghadap ke arah dinding). Selain itu pemotretan panil relief juga harus menggunakan alat bantu seperti bangku atau tangga lipat untuk mendapatkan gambar yang tegak lurus karena relief Lalitavistara berada di atas (pada dinding candi teras satu terdapat dua relief yang dipahatkan yaitu jataka avadana dan Lalitavistara. Lalitavistara terdapat di atas Jataka Avadana). Keseluruhan foto diambil menggunakan resolusi medium hingga large dan menggunakan mode automatic. Selain survei lapangan, kegiatan survei kepustakaan juga dilakukan untuk menunjang data penelitian. Survei kepustakaan difokuskan kepada bentuk-bentuk kerusakan (penggaraman, pengelupasan, hilang, retak, bisul dan lubang alveol, dan aus) yang terjadi pada batuan penyusun Candi Borobudur pada umumnya, faktor penyebab kerusakan batuan pada umumnya dan batuan penyusun Candi Borobudur pada khususnya, dan sifat batuan penyusun Candi Borobudur. Hal ini dilakukan sebagai referensi bentuk dan faktor penyebab kerusakan pada batuan penyusun relief Lalitavistara. 2.2 Pengolahan Data Pengolahan data adalah tahapan yang harus segera dilakukan begitu data sudah selesai dikumpulkan (Sharer dan Ashmore, 2003: 159). Data yang sudah terkumpul harus diolah sedemikian rupa seperti disortir, dibersihkan, disimpan, dan dilabel sebelum data tersebut dapat berfungsi seutuhnya sebagai data arkeologi. Proses ini sangat penting untuk dilakukan terhadap temuan yang ditemukan sebelum dianalisis. Sebelum dianalisis, temuan juga harus diklasifikasi agar dapat mempermudah proses analisis yang lebih mendalam (Sharer dan Ashmore, 2003: 288). Mengacu pendapat Sharer dan Ashmore, pengolahan data dalam penelitian ini difokuskan kepada klasifikasi awal bentuk penggaraman, pengelupasan, hilang, retak, bisul dan lubang alveol, dan aus pada batuan penyusun relief Lalitavistara. Masing-masing kerusakan memiliki bentuk yang berbagai macam, oleh karena itu dalam tahapan ini, kerusakan diklasifikasikan berdasarkan ciri-cirinya. Berikut adalah tabel yang berisi mengenai pengklasifikasian bentuk kerusakan berdasarkan ciri-cirinya. Tabel 1. Klasifikasi Bentuk Kerusakan Berdasarkan Ciri 7

8 Untuk memudahkan pemahaman mengenai letak blok batu pada panil relief, dalam penelitian ini setiap foto panil relief Lalitavistara diedit menggunakan aplikasi paint. Pengeditan dilakukan dengan cara mempertegas keliling blok batu menggunakan rectangle shape, warna dark red, dan ketebalan 8px. Setelah letak dan sebaran kerusakan diketahui, hal yang selanjutnya dilakukan adalah menghitung jumlah blok batu yang rusak (garam, terkelupas, hilang, retak, bisul dan lubang alveol, dan aus). Hal ini dilakukan untuk tahapan interpretasi. 2.4 Interpretasi Data Tahapan pengolahan data seperti sortir, pembersihan, penyimpanan, dan pemberian label tidak digunakan dalam penelitian ini karena tahapan tersebut tidak diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian ini. 2.3 Analisis Data Analisis data adalah tahapan lanjutan pengolahan data sebelum menginterpretasikan data. Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, kerusakan yang terdapat pada batuan penyusun relief Lalitavistara dapat diasumsikan sebagai fitur. Menurut Sharer dan Ashmore (2003: 412), hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisis suatu fitur adalah letak dan sebarannya. Oleh karena itu untuk keperluan penelitian ini, tahapan analisis data yang dilakukan adalah dengan cara mengidentifikasi letak dan sebaran kerusakan pada panil relief. Setiap panil memiliki kerusakan yang bermacammacam dan letaknya tersebar di seluruh panil. Panil relief tersusun dari beberapa blok batu. Untuk memudahkan pengidentifikasian letak dan sebaran kerusakan (penggaraman, pengelupasan, hilang, retak, bisul dan lubang alveol, dan aus) pada panil relief, maka blok batu digunakan sebagai satuan letak dan sebaran kerusakan. Dalam satu blok batu tidak hanya terdapat satu keusakan saja. Seringkali beberapa bentuk kerusakan terakumulasi dalam satu blok batu. Menurut Sharer dan Ashmore (2003: 159), tahapan interpretasi data tersusun atas sintesis seluruh hasil pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data untuk keperluan menjawab permasalahan penelitian. Oleh karena itu pada tahapan akhir penelitian akan dilakukan sintesis data berupa pengintegrasian jumlah, letak, dan faktor penyebab kerusakan. Tujuannya adalah agar didapatkan gambaran mengenai bagian sisi mana yang memiliki kerusakan terbanyak dibanding sisi-sisi lainnya. Faktor penyebab kerusakan dijabarkan agar dapat diketahui alasan mengapa suatu bentuk kerusakan terakumulasi pada suatu bagian. 3. Analisis Kerusakan pada panil relief Lalitavistara bermacammacam bentuknya. Kerusakan yang dimaksud berupa penggaraman, pengelupasan, hilang, retak, aus, bisul dan lubang alveol. Bentuk kerusakan ini merupakan hasil pengamatan secara langsung di lapangan maupun melalui foto tiap panil relief Lalitavistara. Jika mengikuti terminologi ICOMOS, maka bentuk kerusakan yang dapat diidentifikasi akan lebih banyak jumlahnya. Untuk itu sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai bentuk kerusakan pada tiap panil relief Lalitavistara, akan dijabarkan terlebih dahulu mengenai kerusakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini pada seluruh panil relief Lalitavistara Candi Borobudur. 3.1 Pedoman Klasifikasi Bentuk Kerusakan Kerusakan yang akan dijabarkan pada bab ini adalah kerusakan yang dapat diamati secara kasat mata di lapangan bukan kerusakan yang telah dianalisis lebih lanjut. Hanya saja dapat dipastikan bahwa kerusakan yang terjadi pada panil relief Lalitavistara merupakan akumulasi dari satu atau lebih penyebab kerusakan. Berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan 8

9 dan hasil wawancara dengan staff 4 BKP Borobudur dapat diketahui bahwa bentuk kerusakan pada relief Lalitavistara adalah seperti yang akan dijelaskan sebagai berikut. Penggaraman Penggaraman yang terjadi pada relief Lalitavistara memiliki beberapa ciri khas yang dapat dijadikan acuan untuk proses identifikasi kerusakan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, penggaraman pada relief Lalitavistara (atau efflorescence menurut pendapat ICOMOS 5 ) terdiri dari beberapa ciri. Ciri penggaraman akan dijelaskan (dalam foto) sebagai berikut. Pengelupasan Pengelupasan yang terjadi pada relief Lalitavistara berdasarkan pengamatan di lapangan terdiri dari empat ciri. Ciri pengelupasan yang dapat diamati pada relief Lalitavistara berikut ini. Foto 1. Penggaraman pada relief Lalitavistara Foto 1. Penggaraman pada relief Lalitavistara Ciri penggaraman yang pertama sesuai dengan definisi yang diajukan oleh BKP Borobudur yang mengatakan bahwa penggaraman adalah suatu keadaan dimana terdapat endapan garam pada permukaan batu yang diakibatkan oleh adanya aliran air yang membawa mineral sehingga menutup pori dan permukaan batu. Jika dilihat dari bentuknya maka tampak seperti aliran air yang mengering dan kandungan mineral garam yang dibawa bersama air tersebut akhirnya mengendap pada permukaan batu (lihat foto 1.a). Ciri yang berikutnya yaitu akumulasi endapan garam yang mengerak pada permukaan batu. Biasanya pada tipe penggaraman seperti ini akan memicu pengelupasan batu dan timbulnya bisul dan lubang alveol (lihat foto 1.b). Ciri yang berikutnya yaitu penggaraman yang dikenal dengan sementasi. Sementasi adalah jenis penggaraman yang umumnya terjadi pada nat-nat batu atau mengisi bagian batu yang retak sehingga tampak seperti semen yang menyatukan kedua buah batu di antaranya. Sementasi adalah kelanjutan dari penggaraman itu sendiri akan tetapi untuk mengdentifikasi kerusakan yang ada pada relief Lalitavistara, sementasi akan dimasukkan ke dalam bentuk penggaraman (lihat foto 1.c). 4 Nahar Cahyandaru S. Si selaku Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan Foto 2. Pengelupasan pada relief Lalitavistara Ciri pengelupasan yang pertama tampak seperti pengelupasan tingkat awal yang terjadi pada permukaan batu (lihat foto 2.a). Diameter kelupasan tidak terlalu besar, hanya dalam kisaran millimetersentimeter. Ciri pengelupasan yang kedua tampak seperti pengelupasan tingkat menengah dimana permukaan batu yang berelief terkelupas dan menyebabkan pahatan menjadi tidak jelas namun masih dapat terlihat bentuk pahatan aslinya (lihat foto 2.b). Ciri pengelupasan yang ketiga tampak seperti pengelupasan tingkat lanjut karena pada tingkatan ini permukaan batu yang berelief terkelupas sedemikian rupa dan menyebabkan bentuk asli pahatan relief terebut tidak dapat diketahui lagi bentuknya (lihat foto 2.c). Ciri pengelupasan yang keempat adalah pengelupasan pada permukaan batu yang mengakibatkan batu menjadi terlihat seperti tergerus atau sekilas tampak seperti aus (lihat foto 2.d). Biasanya jenis pengelupasan ini disebut dengan pengelupasan mengulit bawang. Hilang Hilang yang terjadi pada relief Lalitavistara pada dasarnya adalah suatu keadaan dimana bagian batu penyusun panil relief terlepas atau sudah tidak menempati tempat dimana bagian itu seharusnya berada. Meskipun bentuknya bermacam-macam akan tetapi masing-masing bentuk tidak memliki pola tertentu. Hanya saja memang dapat dilihat perbedaan 9

10 antara hilang yang terjadi sebelum pemugaran I ( ) dan yang terjadi setelah pemugaran I. Indikator yang dapat dilihat adalah bagian yang hilang tersebut ada di atas lapisan oker atau terselimuti lapisan oker (lihat foto 3.a). Penggunaan oker pada pemugaran I meninggalkan jejak berupa lapisan kuning yang menutup seluruh relief yang ada di Candi Borobudur. Dari indikator ini maka dapat diketahui bagian hilang mana yang terjadi sebelum atau sesudah pemugaran I. Untuk kepentingan penelitian ini bentuk kerusakan pembagian tipe kerusakan akan dibagi sebagai berikut. Foto 5. Bisul dan Lubang Alveol pada relief Lalitavistara Aus Bentuk aus yang dapat diamati adalah aus yang berada di atas lapisan oker. maupun aus yang berada di bawah lapisan oker. Bentuk aus yang dapat diamati pada relief Lalitavistara adalah sebagai berikut. Foto 3. Hilang pada relief Lalitavistara Retak Retak yang terjadi pada relief Lalitavistara umumnya terisi oleh endapan garam ataupun sudah mengalami proses penyambungan. Bentuknya yang sangat tipis dan kecil seringkali tidak cukup kasat mata. Walaupun begitu, retak dapat dijadikan indikasi adanya tekanan dari dalam atau atas batu. Berikut adalah bentuk retak yang ada pada relief Lalitavistara (lihat foto 4). Foto 6. Aus pada relief Lalitavistara Untuk mengetahui bentuk aus pada relief Lalitavistara, indikator yang dapat dilihat adalah berkurangnya atau semakin melandainya pahatan pada tokoh ataupun gambar yang dipahatkan pada relief. Foto 4. Retak pada relief Lalitavistara Bisul dan lubang alveol Bisul dan lubang alveol dapat diamati pada permukaan batu berupa lubang-lubang yang di dalamnya terdapat lumut/ganggang. Bisul dan lubang alveol pada relief Lalitavistara juga banyak ditemukan pada daerah permukaan batu yang terselimuti oleh endapan garam (lihat foto 5). 3.2 Pedoman Identifikasi Pada bab ini akan diuraikan mengenai bentuk-bentuk kerusakan yang terjadi pada setiap panil relief Lalitavistara. Penjelasan mengenai kerusakan akan dideskripsi per blok batu dalam setiap panil relief. Jumlah dan ukuran blok batu dalam setiap panil tidak sama oleh karena itu penomoran blok batu akan dimulai dari kiri atas dan terus ke kanan. Jika penomoran blok batu sudah sampai bagian paling kanan panil maka penomoran akan dilanjutkan dari bagian kiri baris di bawahnya, demikian seterusnya. 10

11 Foto ke-120 panil akan dimasukkan ke dalam bab ini untuk diidentifikasi bentuk kerusakannya. Foto yang digunakan adalah foto yang diambil pada tahun 2013, sehingga bentuk kerusakan yang akan diidentifikasi berupa kerusakan yang terjadi pada relief Lalitavistara hingga tahun Gambar 1. Penomoran Blok Batu 3.3 Integrasi Jumlah Kerusakan Pada Panil Relief Lalitavistara Relief cerita Lalitavistara terletak di teras pertama rupadhatu, berjumlah 120 panil yang mengelilingi dinding tubuh candi di sepanjang teras. Pada dinding timur terdapat panil 1-15 dan Secara keseluruhan dinding timur tersusun atas 771 blok batu. Berdasarkan pengamatan kerusakan pada ke-30 panil relief, dapat diketahui jumlah kerusakan berupa penggaraman pada dinding timur berjumlah 747 blok batu, pengelupasan berjumlah 714 blok batu, hilang berjumlah 368 blok batu, retak berjumlah 30 blok batu, bisul dan lubang alveol berjumlah blok batu 107, dan aus berjumlah 375 blok batu. Secara detil jumlah kerusakan pada dinding timur dapat dilihat pada tabel 2. Pada dinding selatan terdapat 30 panil relief Lalitavistara. Ke-30 panil ini adalah panil Secara keseluruhan dinding selatan tersusun atas 751 blok batu. Berdasarkan pengamatan kerusakan pada ke- 30 panil relief, dapat diketahui jumlah kerusakan berupa penggaraman pada dinding selatan berjumlah 743 blok batu, pengelupasan berjumlah 711 blok batu, hilang berjumlah 213 blok batu, retak berjumlah 30 blok batu, bisul dan lubang alveol berjumlah blok batu 330, dan aus berjumlah 349 blok batu. Secara detil jumlah kerusakan pada dinding selatan dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Integrasi Kerusakan Pada Dinding Selatan Tabel 2. Integrasi Kerusakan Pada Dinding Timur 11

12 Pada dinding utara terdapat 30 panil relief Lalitavistara. Ke-30 panil ini adalah panil Secara keseluruhan dinding utara tersusun atas 818 blok batu. Berdasarkan pengamatan kerusakan pada ke30 panil relief, dapat diketahui jumlah kerusakan berupa penggaraman pada dinding utara berjumlah 814 blok batu, pengelupasan berjumlah 803 blok batu, hilang berjumlah 426 blok batu, retak berjumlah 31 blok batu, bisul dan lubang alveol berjumlah blok batu 392, dan aus berjumlah 636 blok batu. Secara detil jumlah kerusakan pada dinding timur dapat dilihat pada tabel 5. Pada dinding barat terdapat 30 panil relief Lalitavistara. Ke-30 panil ini adalah panil Secara keseluruhan dinding barat tersusun atas 784 blok batu. Berdasarkan pengamatan kerusakan pada ke30 panil relief, dapat diketahui jumlah kerusakan berupa penggaraman pada dinding barat berjumlah 783 blok batu, pengelupasan berjumlah 766 blok batu, hilang berjumlah 340 blok batu, retak berjumlah 21 blok batu, bisul dan lubang alveol berjumlah blok batu 274, dan aus berjumlah 640 blok batu. Secara detil jumlah kerusakan pada dinding barat dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 5. Integrasi Kerusakan Pada Dinding Utara Tabel 4. Integrasi Kerusakan Pada Dinding Barat 12

13 Berdasarkan penjabaran dari paragraf-paragraf di atas, dapat diketahui bahwa kerusakan berupa penggaraman terjadi paling banyak di dinding barat (terdapat pada 783 dari 784 blok batu penyusun dinding barat). Pengelupasan terjadi paling banyak di dinding utara (terdapat pada 803 dari 818 blok batu penyusun dinding utara). Hilang terjadi paling banyak di dinding utara (terdapat pada 340 dari 818 blok batu penyusun dinding utara). Retak terjadi paling banyak di dinding selatan (terdapat pada 30 dari 751 blok batu penyusun dinding selatan). Bisul dan alveol terjadi paling banyak di dinding utara (terdapat pada 426 dari 818 blok batu penyusun dinding utara). Aus terjadi paling banyak di dinding barat (terdapat pada 640 dari 784 blok batu penyusun dinding barat). Tabel 6. Integrasi Kerusakan Seluruh Dinding 4. Sintesis Hubungan Kerusakan Relief Lalitavistara dengan Letak Relief dan Faktor Penyebab Kerusakan Kerusakan yang terjadi pada relief Lalitavistara sangat berkaitan erat dengan letak dan faktor penyebab kerusakan. Berikut akan dijabarkan bagaimana hubungan per bentuk kerusakan dengan letak relief Lalitavistara dan faktor penyebab kerusakan. Penggaraman Jika dilihat dari tabel 4.5 dapat diketahui bahwa penggaraman adalah kerusakan yang mendominasi blok batu penyusun relief Lalitavistara. Dari total 3124 blok batu penyusun relief Lalitavistara, 3087 di antaranya mengalami penggaraman, baik penggaraman tingkat awal maupun tingkat lanjut. Pada dinding timur penggaraman terjadi pada 747 dari 771 blok batu, dinding selatan pada 743 dari 751 blok batu, dinding barat pada 783 dari 784 blok batu, dan dinding utara pada 814 dari 818 blok batu. Meskipun secara perbandingan jumah penggaraman dengan blok batu penyusun masingmasing dinding dapat diketahui bahwa penggaraman terjadi paling banyak di dinding barat, namun jika dilihat secara umum penggaraman terjadi cukup merata di setiap dinding. Penggaraman sendiri dapat terjadi akibat serangkaian proses yang melibatkan beberapa faktor penyebab kerusakan. Candi Borobudur terletak di daerah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Di saat hujan turun, air akan masuk ke dalam batuan penyusun Candi Borobudur yang memang sangat berporus. Air hujan akan terakumulasi pada bagian dasar candi karena memang bentuk Candi Borobudur yang berundakundak tidak memungkinkan air bertahan lama pada undakan atas. Meskipun pasti ada air yang terperangkap pada teras atas, sebagian besar pasti akan langsung turun ke undakan di bawahnya melalui nat-nat atau pori batu dan akhirnya terakumulasi pada bagian bawah struktur Candi Borobudur yang merupakan tanah bukit dan tanah urug. Air yang sudah tercampur dengan tanah urug maupun tanah bukit akhirnya merembes ke dalam batuan penyusun relief Lalitavistara yang memang terletak di teras pertama Candi Borobudur. Air rembesan tersebut membawa mineral-mineral ke dalam pori-pori batu. Selain air tanah, air hujan atau embun yang lebih dahulu terperangkap dalam pori-pori batu juga dapat melarutkan senyawa terlarut dalam batu. Penyinaran matahari yang cukup intens menyebabkan air yang terperangkap dalam pori batu menguap ke permukaan batu dengan membawa garam-garam mineral terlarut. Air yang mengandung garam-garam mineral tersebut akhirnya mengendap pada permukaan batu dan terakumulasi terus menerus. Menurut Subagjo (2012: 224) air yang menguap tersebut mengandung senyawa terlarut dalam bentuk ion Ca + dan Si ++. Endapan tersebut bereaksi dengan karbondioksida dari udara sehingga membentuk endapan garam yang berwarna putih, keras, dan terus menerus terakumulasi. Data yang menyatakan bahwa secara umum penggaraman tersebar secara merata pada relief Lalitavistara memperlihatkan bahwa di setiap dinding mengalami proses yang sama dengan intensitas yang relatif sama. Fakta yang menunjukkan bahwa penggaraman adalah kerusakan terbanyak pada dinding relief Lalitavistara memperlihatkan air merupakan faktor utama penyebab kerusakan yang akhirnya berinteraksi dengan suhu, sinar matahari, dan sifat batuan itu sendiri. 13

14 Pengelupasan Pengelupasan adalah kerusakan terbanyak kedua yang terjadi pada batuan penyusun relief Lalitavistara. Dapat dilihat pada tabel 4.5 bahwa dari 3124 batuan penyusun relief Lalitavistara, sebanyak 2994 di antaranya mengalami pengelupasan. Pada dinding timur pengelupasan terjadi pada 714 dari 771 blok batu, dinding selatan pada 711 dari 751 blok batu, barat pada 766 dari 784 blok batu, dan utara pada 803 dari 818 blok batu. Data ini semakin memperkuat anggapan yang menyatakan bahwa pengelupasan yang terjadi pada relief Lalitavistara salah satu di antaranya disebabkan oleh penggaraman. Garam yang sudah mengendap dan terakumulasi pada permukaan batu, akan menghalangi sirkulasi udara dan air di dalam batu. Saat air terakumulasi dalam jumlah yang cukup pada pori batu ditambah dengan suhu batu akibat penyinaran matahari, membuat air yang ada di dalam batu mendesak keluar akibat penguapan. Proses ini mengakibatkan batuan menjadi terkelupas akibat desakan air dari dalam batuan penyusun. Kasiyati dan Brahmantara (2010: 18) juga menyebutkan bahwa pengelupasan terbanyak terjadi pada bagian relief yang tertutup lapisan oker. Lapisan oker menyebabkan dampak yang sama terhadap batuan seperti halnya penggaraman. Pori-pori batu tertutup oleh lapisan oker tersebut. Meskipun ada anggapan yang menyatakan bahwa lapisan oker mungkin sekali digunakan untuk tujuan mempreserve batuan, namun dalam penelitian ini oker dikategorikan sebagai salah satu penyebab kerusakan. Hal ini didasarkan pada data hasil penelitian dan fakta bahwa lapisan oker memang mengurangi faktor kerusakan yang berasal dari luar batuan penyusun hanya saja faktor eksternal lainnya tetap terproses di dalam internal struktur candi maupun batuan dan akhirnya menyebabkan kerusakan. Kasiyati dan Brahmantara (2010: 18) juga menambahkan bahwa pengelupasan dapat terjadi akibat amplitudo suhu pada siang dan malam hari yang menyebabkan batu menjadi mengembang dan menyusut kemudian menjadi terkelupas. Berdasarkan penjelasan ini dapat diketahui bahwa penggaraman memang mengakibatkan pengelupasan di samping faktorfaktor lainnya. Dalam penelitian ini juga dibuktikan bahwa hampir di semua blok batu yang mengalami penggaraman terdapat juga bentuk pengelupasan. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa faktor-faktor penyebab pengelupasan mempengaruhi setiap dinding dalam proses yang sama juga intensitas yang relatif sama. Tidaklah mengherankan jika pengelupasan tercatat sebagai kerusakan terbanyak kedua yang terjadi pada relief Lalitavistara setelah penggaraman. Gambar 2. Ilustrasi Terjadinya Pengelupasan Sumber: BKP Borobudur (2010) (telah diolah kembali) Hilang Kerusakan berupa hilangnya bagian batu yang merupakan media pemahatan relief Lalitavistara cukup banyak terjadi pada batuan penyusun Candi Borobudur dan relief Lalitavistara pada khususnya. Kerusakan berupa hilang sangat wajar terjadi karena memang saat Candi Boroudur ditemukan kembali pada tahun 1814 dalam keadaan yang tertimbun dan melesak (Cahyandaru, 2012: 36). Dituliskan oleh Tukidjan (2012: ) berdasarkan kondisi Candi Borobudur akhirnya diambil langkah pemugaran yang berlangsung pada tahun Pada pemugaran yang pertama ini, perbaikan difokuskan kepada pagar langkan dan gapura lorong 1 sampai dengan 5, stupa-stupa di arupadhatu, dan saluran air di halaman lereng bukit. Sementara itu, dinding-dinding lorong tetap dibiarkan dalam posisi miring dan melesak. Batuan penyusun dinding ini semakin lama semakin melesak karena struktur tanah bukit Candi Borobudur merupakan tanah lempung yang jika terkena air, daya dukungnya melemah dan menyebabkan struktur candi mengalami penurunan. Kondisi yang seperti ini menyebabkan batuan penyusun Candi Borobudur menjadi lemah, rentan pecah (hilang dalam terminologi BKP Borobudur) dan retak. Data yang didapatkan dari penelitian ini juga menempatkan hilang sebagai bentuk kerusakan terbanyak ke-4 setelah penggaraman, pengelupasan, dan aus. Hilang terjadi pada 1347 dari 3124 blok batu penyusun relief Lalitavistara. Pada dinding timur hilang terjadi pada 368 dari 771 blok batu, dinding selatan pada 213 dari 751 blok batu, dinding barat pada 340 dari 784 blok batu, dan dinding utara pada 426 dari 818 blok batu. Dari data ini dapat terlihat bahwa hilang terjadi paling banyak di dinding utara. Hasil penelitian ini sesuai dengan fakta yang dipaparkan oleh Tukidjan (2012: 238) yang menyatakan bahwa 14

KONDISI CANDI BOROBUDUR SEBELUM PEMUGARAN II

KONDISI CANDI BOROBUDUR SEBELUM PEMUGARAN II 233 KONDISI CANDI BOROBUDUR SEBELUM PEMUGARAN II Oleh : Tukidjan Wakil Kepala Sektor Tekno Arkeologi Proyek Pemugaran Candi Borobudur CCandi Borobudur merupakan warisan dunia PENDAHULUAN (World Heritage)

Lebih terperinci

lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks

lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks 3 Relief menjadi media penyampaian pesan karena merupakan media yang lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks lebih sulit karena diperlukan pengetahuan tentang bahasa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

MATERIAL KONSERVASI PADA PEMUGARAN VAN ERP

MATERIAL KONSERVASI PADA PEMUGARAN VAN ERP Material Konservasi 35 MATERIAL KONSERVASI PADA PEMUGARAN VAN ERP Oleh : Nahar Cahyandaru Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Candi Borobudur yang saat ini bisa

Lebih terperinci

Kajian Penanganan Nat Terbuka Pada Selasar Candi Borobudur

Kajian Penanganan Nat Terbuka Pada Selasar Candi Borobudur Kajian Penanganan Nat Terbuka Pada Selasar Candi Borobudur Hari Setyawan Balai Konservasi Borobudur Jl. Badrawati, Borobudur, Magelang 56553 Email : Abstrak: Sejak dibangun sekitar abad VIII IX Masehi,

Lebih terperinci

PERSIAPAN PEMUGARAN II CANDI BOROBUDUR

PERSIAPAN PEMUGARAN II CANDI BOROBUDUR Persiapan Pemugaran II 207 PERSIAPAN PEMUGARAN II CANDI BOROBUDUR Oleh : Dukut Santoso Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur 1999-2006 TTidak dapat dipungkiri bahwa LATAR BELAKANG kelihatan utuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan BAB I PENDAHULUAN Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan langsung dengan keadaan yang kini dapat ditemukan di Jawa atau di tempat lain, tetapi sebagian lainnya hanya dapat ditelusuri

Lebih terperinci

Karakteristik Batu Penyusun Candi Borobudur

Karakteristik Batu Penyusun Candi Borobudur Karakteristik Batu Penyusun Candi Borobudur Leliek Agung Haldoko, Rony Muhammad, dan Al. Widyo Purwoko Balai Konservasi Borobudur leliek_agung@yahoo.co.id Abstrak : Candi Borobudur merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI 1. PENGERINGAN Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada sekitar abad IV sampai pada akhir abad XV M, telah meninggalkan begitu banyak peninggalan arkeologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debit Banjir Rencana Debit banjir rencana adalah debit maksimum di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang (rata-rata) yang sudah ditentukan yang dapat dialirkan tanpa

Lebih terperinci

BOROBUDUR : Masalah Puncak Stupa Induk

BOROBUDUR : Masalah Puncak Stupa Induk 21 BOROBUDUR : Masalah Puncak Oleh : Mundardjito Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia KKita tidak tahu persis sudah berapa juta PENGANTAR pengunjung yang datang melihat Candi

Lebih terperinci

Upaya Penanganan Kayu Secara Tradisional Studi Kasus: Tradisi Masyarakat Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah

Upaya Penanganan Kayu Secara Tradisional Studi Kasus: Tradisi Masyarakat Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah Upaya Penanganan Kayu Secara Tradisional Studi Kasus: Tradisi Masyarakat Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah A. Pengantar Tinggalan Cagar Budaya berbahan kayu sangat banyak tersebar di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa kaya akan peninggalan-peninggalan purbakala, di antaranya ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini tersebar di

Lebih terperinci

Pelestarian Cagar Budaya

Pelestarian Cagar Budaya Pelestarian Cagar Budaya KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA JAWA TIMUR 2016 Sebelum kita bahas pelestarian cagar budaya, kita perlu tahu Apa itu Cagar Budaya? Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan ANALISIS BATU BATA Berdasarkan pada hasil penelitian ini dapat dipastikan bahwa di Situs Sitinggil terdapat struktur bangunan berciri masa prasejarah, yaitu punden berundak. Namun, berdasarkan pada hasil

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami proses dan faktor pembentukan tanah. 2. Memahami profil,

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET

METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET METODE PENGUJIAN KEPADATAN BERAT ISI TANAH DI LAPANGAN DENGAN BALON KARET SNI 19-6413-2000 1. Ruang Lingkup 1.1 Metode ini mencakup penentuan kepadatan dan berat isi tanah hasil pemadatan di lapangan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak awal kehidupan manusia, sumberdaya alam sudah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak awal kehidupan manusia, sumberdaya alam sudah merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal kehidupan manusia, sumberdaya alam sudah merupakan sumber kehidupan manusia dan sebagai pendukung kelangsungan hidup manusia sekaligus merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar

Lebih terperinci

BOROBUDUR: catatan restorasi candi terbesar dalam sejarah dunia

BOROBUDUR: catatan restorasi candi terbesar dalam sejarah dunia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Konservasi Borobudur BOROBUDUR: catatan restorasi candi terbesar dalam sejarah dunia Panggah Ardiyansyah panggah.ardiyansyah@kemdikbud.go.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemeliharaan Pemeliharaan adalah salah satu usaha dari pelestarian benda cagar budaya yang nampaknya mempunyai sejarah yang panjang dan tidak terlepas dari dinamika

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN MASALAH KERETAKAN PADA BETON. Beton merupakan elemen struktur bangunan yang telah dikenal dan banyak

BAB VII PEMBAHASAN MASALAH KERETAKAN PADA BETON. Beton merupakan elemen struktur bangunan yang telah dikenal dan banyak BAB VII PEMBAHASAN MASALAH KERETAKAN PADA BETON 7.1 Uraian Umum Beton merupakan elemen struktur bangunan yang telah dikenal dan banyak dimanfaatkan sampai saat ini. Beton banyak mengalami perkembangan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

Kajian Pengujian Bahan Aditif Semen Untuk Aplikasi Konservasi dan Pemugaran Candi

Kajian Pengujian Bahan Aditif Semen Untuk Aplikasi Konservasi dan Pemugaran Candi Kajian Pengujian Bahan Aditif Semen Untuk Aplikasi Konservasi dan Pemugaran Candi Oleh: Puji Santosa, Sarman, Ajar Priyanto Balai Konservasi Peninggalan Borobudur A. Pendahuluan Salah satu fenomena yang

Lebih terperinci

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH Proses Pembentukan Tanah. Tanah merupakan lapisan paling atas pada permukaan bumi. Manusia, hewan, dan tumbuhan memerlukan tanah untuk tempat hidup. Tumbuh-tumbuhan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan tempat wisata, meliputi wisata alam, budaya hingga sejarah ada di Indonesia. Lokasi Indonesia yang berada di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Prambanan yang meliputi Kabupaten Sleman DIY dan. Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah merupakan suatu wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Prambanan yang meliputi Kabupaten Sleman DIY dan. Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah merupakan suatu wilayah yang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah Prambanan yang meliputi Kabupaten Sleman DIY dan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah merupakan suatu wilayah yang kaya akan situs-situs arkeologi baik yang

Lebih terperinci

IRIGASI dan DRAINASI URAIAN TUGAS TERSTRUKSTUR. Minggu ke-2 : Hubungan Tanah-Air-Tanaman (1) Semester Genap 2011/2012

IRIGASI dan DRAINASI URAIAN TUGAS TERSTRUKSTUR. Minggu ke-2 : Hubungan Tanah-Air-Tanaman (1) Semester Genap 2011/2012 Nama : Yudhistira Wharta Wahyudi NIM : 105040204111013 Kelas : J, Jumat 09:15 Dosen : Dr. Ir. Zaenal Kusuma, SU IRIGASI dan DRAINASI URAIAN TUGAS TERSTRUKSTUR Minggu ke-2 : Hubungan Tanah-Air-Tanaman (1)

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses meningkatnya suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk

BAB I PEDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk mendistribusikan aliran fluida dari suatu tempat ketempat yang lain. Berbagi jenis pipa saat ini sudah beredar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari

Lebih terperinci

STANDAR PENGUJIAN KUALITAS BATA PENGGANTI

STANDAR PENGUJIAN KUALITAS BATA PENGGANTI STANDAR PENGUJIAN KUALITAS BATA PENGGANTI Oleh Ari Swastikawati, S.Si, M.A Balai Konservasi Peninggalan Borobudur A. Pengantar Indonesia merupakan negara yang kaya akan tinggalan cagar budaya. Tinggalan

Lebih terperinci

Seri Terbitan Candi Borobudur - 5. TINJAUAN KEMBALI REKONSTRUKSI CANDI BOROBUDUR Sektor Tekno Arkeologi Proyek Pemugaran Candi Borobudur

Seri Terbitan Candi Borobudur - 5. TINJAUAN KEMBALI REKONSTRUKSI CANDI BOROBUDUR Sektor Tekno Arkeologi Proyek Pemugaran Candi Borobudur ii Seri Terbitan Candi Borobudur - 5 TINJAUAN KEMBALI REKONSTRUKSI CANDI BOROBUDUR Sektor Tekno Arkeologi Proyek Pemugaran Candi Borobudur 1973-1983 Diterbitkan oleh : Balai Konservasi Borobudur Jalan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1O TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1O TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1O TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA UMUM Perlindugan benda cagar budaya sebagai salah satu upaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan metalurgi yaitu pada struktur mikro, sehingga. ketahanan terhadap laju korosi dari hasil pengelasan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan metalurgi yaitu pada struktur mikro, sehingga. ketahanan terhadap laju korosi dari hasil pengelasan tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelasan merupakan proses penyambungan setempat dari logam dengan menggunakan energi panas. Akibat panas maka logam di sekitar lasan akan mengalami siklus termal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas

Lebih terperinci

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk didalamnya agribisnis. Kesepakatankesepakatan GATT, WTO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandung merupakan kota kecil yang terletak di sebelah selatan Ibu Kota Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai citarum

Lebih terperinci

Situs Gunung Padang. Nopsi Marga Handayani Gregorian Anjar Prastawa

Situs Gunung Padang. Nopsi Marga Handayani Gregorian Anjar Prastawa Situs Gunung Padang Nopsi Marga Handayani 14148118 Gregorian Anjar Prastawa - 14148136 Situs Gunung Padang terletak di kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan,Desa Karyamukti Kecamatan Cempakan, Cianjur.

Lebih terperinci

BAB I 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I 1.1 LATAR BELAKANG BAB I 1.1 LATAR BELAKANG Beton sangat banyak dipakai secara luas sebagai bahan bangunan. Bahan tersebut diperoleh dengan cara mencampurkan semen portland, air dan agregat (dan kadang-kadang bahan tambah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan sejumlah bangunan antara lain; Alun alun Utara, Pagelaran, Sitihinggil Utara, Cepuri, Keputren, Keputran,

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga menjadi bisnis yang cukup bersaing dalam perusahaan perbajaan.

BAB I PENDAHULUAN. juga menjadi bisnis yang cukup bersaing dalam perusahaan perbajaan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk mendistribusikan aliran fluida dari suatu tempat ketempat yang lain. Berbagi jenis pipa saat ini sudah beredar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Indonesia yang strategis terletak di antara benua Asia dan Australia, sehingga menyebabkan berbagai suku bangsa telah memasuki kepulauan nusantara mulai dari

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

FAQ. Pengisi Nat (Tile Grout):

FAQ. Pengisi Nat (Tile Grout): FAQ Pengisi Nat (Tile Grout): Q: Apa kelebihan pengisi nat AM dengan pengisi nat semen konvensional? A: Kelebihan pengisi nat AM dibandingkan dengan pengisi nat semen konvensional adalah mengandung bahan

Lebih terperinci

ANALISIS KEKUATAN BETON PASCABAKAR DENGAN METODE NUMERIK

ANALISIS KEKUATAN BETON PASCABAKAR DENGAN METODE NUMERIK ANALISIS KEKUATAN BETON PASCABAKAR DENGAN METODE NUMERIK Yuzuar Afrizal Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Bengkulu Staf Pengajar Program Studi Teknik Sipil Universitas Bengkulu Jl. Raya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada era modern saat ini, dalam pembuatan rumah tinggal dan sarana umum

I. PENDAHULUAN. Pada era modern saat ini, dalam pembuatan rumah tinggal dan sarana umum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era modern saat ini, dalam pembuatan rumah tinggal dan sarana umum bukan hanya dilihat dari estetika keindahannya saja tapi juga dilihat dari kekuatan bangunannya

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, hasil pengolahan data untuk analisis jaringan pipa bawah laut yang terkena korosi internal akan dibahas lebih lanjut. Pengaruh operasional pipa terhadap laju korosi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. portland atau semen hidrolik yang lain, dan air, kadang-kadang dengan bahan tambahan

BAB I PENDAHULUAN. portland atau semen hidrolik yang lain, dan air, kadang-kadang dengan bahan tambahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beton adalah batuan yang terjadi sebagai hasil pengerasan suatu campuran tertentu. Beton merupakan satu kesatuan yang homogen. Beton didapatkan dengan cara mencampur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bentuk bencana alam geologis yang sering terjadi di Indonesia.Hardiyatmo (2006), menyatakan bahwa longsoran adalah gerakan

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph) KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami sifat kimia tanah. 2. Memahami vegetasi tanah. 3. Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUANb Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUANb Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUANb A. Latar Belakang Permasalahan Dalam Perkembangan teknologi dan kemajuan industri saat ini yang sangat pesat memacu peningkatan pembangunan dari segala sektor kehidupan. Dan ini berdampak

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini dibahas mengenai pemaparan analisis dan interpretasi hasil dari output yang didapatkan penelitian. Analisis penelitian ini dijabarkan dan diuraikan pada

Lebih terperinci

Metode Analisis Kestabilan Lereng Cara Yang Dipakai Untuk Menambah Kestabilan Lereng Lingkup Daerah Penelitian...

Metode Analisis Kestabilan Lereng Cara Yang Dipakai Untuk Menambah Kestabilan Lereng Lingkup Daerah Penelitian... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 267, 2000 LINGKUNGAN HIDUP.TANAH.Pengendalian Biomasa. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah Tektur Tanah = %pasir, debu & liat dalam tanah Tektur tanah adalah sifat fisika tanah yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Lempung Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air (Grim,

Lebih terperinci

RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3 Februari 2018

RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3 Februari 2018 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Konservasi Borobudur RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3

Lebih terperinci

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si.

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. TANAH Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. Tanah memberikan dukungan fisik bagi tumbuhan karena merupakan tempat terbenamnya/ mencengkeramnya akar sejumlah tumbuhan. Selain itu tanah merupakan sumber nutrien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsorlahan merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau mineral campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 75 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perpustakaan BPHN merupakan perpustakaan khusus dalam bidang hukum. Namun, keberadaannya sebagai sebuah lembaga pembinaan hukum nasional dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan. Tanah yang terdiri dari campuran butiran-butiran mineral dengan atau

BAB I PENDAHULUAN. bangunan. Tanah yang terdiri dari campuran butiran-butiran mineral dengan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Dalam dunia geoteknik tanah merupakansalah satu unsur penting yang yang pastinya akan selalu berhubungan dengan pekerjaan struktural dalam bidang teknik sipil baik sebagai bahan

Lebih terperinci