Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif"

Transkripsi

1 Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Pola Konveksi Diurnal IV.1.1 Pengamatan Data OLR Pengolahan data OLR untuk periode September 2005 Agustus 2006 menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan antara Oktober Februari terlihat di atas wilayah 6º LU - 6º LS terdapat tutupan awan yang besar. Tutupan awan yang besar ini dapat diasosiasikan dengan adanya konveksi yang besar. Pengolahan ini secara tidak langsung menunjukkan juga bahwa pada bulan-bulan tersebut Pulau Sumatra mengalami konveksi besar. Pada bulan-bulan konveksi besar dikarakteristikkan dengan terjadinya konveksi skala besar sepanjang bulan (Gambar IV.1). Pada bulan antara Maret Mei konveksi yang terjadi relatif lebih kecil dibanding dengan bulan sebelumnya. Meskipun demikian masih terlihat konveksi skala besar. Karakteristik pada bulan-bulan ini konveksi tidak terjadi sepanjang hari. Skala besar konveksi kadang tidak terlihat pada hari tertentu. Pada bulan ini dikelompokkan sebagai konveksi peralihan. Konveksi pada bulan antara Juni Agustus tidak terlihat dalam skala besar. Pada bulan ini konveksi yang terjadi digolongkan pada skala kecil. Pada bulan-bulan ini dianggap konveksi hanya terjadi pada skala lokal sehingga tidak terlihat dengan data OLR yang mempunyai resolusi rendah. Pengolahan data OLR memberikan gambaran pola konveksi di Pulau Sumatra secara global. Dari gambaran data ini secara intuitif pola diurnal konveksi dapat dikelompokkan berdasarkan bulan yaitu bulan yang dipengaruhi oleh konveksi besar, masa peralihan dan kecil. Untuk mengetahui pola diurnal tiap tahun di Pulau Sumatra dilakukan penentuan bulan yang mewakili keadaan diurnal sepanjang tahun. Berdasarkan analisis data OLR dipilih dua bulan; Juli dan November yang masing-masing mewakili keadaan konveksi lokal dan skala besar. Untuk memperoleh gambaran pola diurnal yang lebih jelas ditambah dua bulan lagi untuk dianalisis. Bulan tersebut adalah Januari dan April dengan asumsi dua bulan tersebut berada diantara keadaan konveksi lokal dan skala besar. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif Identifikasi pola diurnal tiap bulan dilakukan dengan melakukan komposit jam-an setiap bulan selama lima tahun ( ) yang selanjutnya disebut sebagai pola konveksi komposit. Domain perhitungan dapat dilihat pada Gambar III.1. Domain ini sengaja dilakukan miring untuk mengikuti posisi Pulau Sumatra. Dengan demikian distribusi laut dan darat merupakan garis sejajar, sehingga akan memudahkan analisis. Proses komposit dilakukan untuk masing-masing bulan yang telah dipilih sebelumnya. Dari hasil komposit terlihat ada pola background yang selalu muncul setiap bulan. Pola

2 ini menunjukkan adanya maksimum konveksi di sekitar darat dan tepi pantai pada malam hari sekitar pukul waktu setempat (LT). Konveksi maksimum darat bergerak menuju lepas pantai sampai pagi hari. Pola ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Mori (2004) meskipun dengan parameter uji yang berbeda. Beberapa hal yang tidak didapatkan dari penelitian Mori (2004) adalah penelitian tersebut tidak dapat menunjukkan perbedaan pola tiap bulan. Puncak aktivitas konveksi menunjukkan pergeseran waktu dan tempat pada setiap bulannya. Dari sini diketahui bahwa pola diurnal konveksi maksimum tidak sepenuhnya berasal dari darat, tetapi berada di daerah pantai. Dari hasil ini dicurigai efek pulau-pulau kecil yang berada di dekat Pulau Sumatra berperan penting dalam pembentukan pola diurnal. Dari pola migrasi ke arah timur Pulau Sumatra masih belum jelas apakah migrasi berasal dari darat, atau merupakan sistem konveksi yang berbeda. Selain itu dari gambar terlihat adanya pola double core (inti ganda) konveksi untuk bulan tertentu. Pola ini terlihat jelas pada bulan April dan Juli. Meskipun demikian masing-masing bulan menunjukkan posisi yang berbeda. Pada bulan April kedua inti berada di atas Pulau Sumatra. Sementara itu, pada bulan Juli inti terpisah, yaitu satu inti berada di atas Pulau Sumatra dan inti lainnya berada di sekitar Semenanjung Malaysia. Penampang melintang indeks konveksi dari IR1 menunjukkan bahwa konveksi yang kuat terjadi pada bulan November. Pada bulan November dapat diasosiasikan dengan aktivitas konveksi yang kuat. Hal ini seiring dengan puncak hujan Pulau Sumatra yang terjadi juga pada bulan November. Jika dihubungkan dengan indeks konvektif dari OLR dapat dikatakan bahwa konvektif yang kuat di bulan November terkait dengan adanya aktivitas konvektif skala besar. Pada bulan Juli aktivitas konvektif paling lemah diantara bulanbulan yang lain. Hal ini juga berhubungan positif dengan OLR. Pada data OLR bulan Juli diketahui bahwa aktivitas konvektif cenderung bersifat lokal. Hal ini yang memungkinkan aktivitas konveksi bulan Juli relatif lebih lemah dibandingkan dengan bulan yang lain. Pada gambar pola melintang data IR1 untuk setiap bulan terlihat adanya pergerakan ke arah barat aktivitas konveksi di darat menuju laut. Pergerakan ini mampu menempuh jarak sampai ratusan km (~300 km) pada setiap bulannya. Pola ini terlihat kuat, berbeda dengan pergerakan ke arah timur aktivitas konveksi darat. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut apakah pola pergerakan ke barat dan ke timur sistem konveksi masih merupakan satu sistem atau sistem yang berbeda. Begitu juga dengan pola pergeseran puncak aktivitas konveksi diurnal, memerlukan penyelidikan lebih lanjut faktor apa saja yang menyebabkan pergeseran ini terjadi. serupa dengan penelitian Mori (2004). Namun demikian pergerakan konveksi ke arah timur tidak terlihat jelas. Hal ini menandakan bahwa migrasi sistem konveksi ke arah timur tidak terjadi dan merupakan sistem yang berbeda. Pada bulan November pola diurnal di Pulau Sumatra terjadi merata diseluruh pulau. Hal ini terlihat dari pola konveksi yang terjadi di sepanjang Pulau Sumatra khususnya di daerah bagian barat

3 Pulau Sumatra. Pada gambar komposit bulan November 2006 dianggap mewakili pola konveksi pada periode lima tahun Pola konveksi bulan November 2006 dapat dilihat pada Gambar IV.4. Selanjutnya pola ini disebut sebagai pola konveksi Nov06. Pola konveksi Nov06 menunjukkan puncak konveksi yang sama untuk masing-masing tempat, yaitu puncak konveksi di laut pada pagi hari pukul 07 LT, dan puncak konveksi di darat pada malam hari pukul 19 LT. Hasil ini sesuai dengan pola komposit konveksi lima tahun bulan November. Perbedaan yang signifikan terlihat antara pola konveksi komposit lima tahun dan pola konveksi Nov06 adalah pada puncak konveksi darat. Pola komposit konveksi menunjukkan puncak konveksi darat merata sepanjang Pulau Sumatra sedangkan pada pola konveksi Nov06 puncak konveksi tidak terjadi pada tempat yang sama. Puncak konveksi darat antara bagian utara Pulau Sumatra berbeda dengan bagian selatan. Bagian utara (sekitar 6º LU - 0º) Pulau Sumatra puncak konveksi cenderung berada di sepanjang garis pantai. Sementara itu, pada bagian selatan (sekitar 0º - 6º LS) puncak konveksi lebih jauh masuk ke dalam daratan. Perbedaan ini dapat dipahami karena pola komposit konveksi merupakan hasil peratarataan selama lima tahun. Pola rata-rata menunjukkan kecenderungan puncak konveksi darat berada di sepanjang pantai terjadi pada pukul 19 LT. Pola ini dapat berbeda pada kasus bulan pada tahun tertentu. Sebagai contoh adalah pola konveksi Nov06 menunjukkan adanya perbedaan dengan pola kompositnya, meskipun masih menunjukkan pola-pola yang bersesuaian. Perbedaan yang kontras kedua pola baik komposit maupun bulanan dapat terjadi jika dibandingkan dengan pola hariannya. Pola harian konveksi pada tanggal 7 November 2006 dapat digunakan untuk memperkuat argumen di atas. Pada tanggal 7 November 2006 terlihat adanya konveksi kuat di darat yang dimulai pada pukul 16 LT dan semakin meluas pada pukul 19 LT. Tetapi pola kuat tersebut hanya terjadi disekitar 0º - 4º LS. Pada pukul 22 LT konveksi kuat terjadi lagi di atas darat tetapi pada daerah yang berbeda yaitu sekitar 2º LU - 0º. Puncak konveksi di laut juga bergeser lebih awal yaitu pada pukul 4 pagi hari. Pergeseran puncak konveksi ini mengindikasikan adanya proses-proses dalam dinamika atmosfer yang berbeda-beda dan mempengaruhi sistem konveksi. Proses dominan yang mempengaruhi sistem konveksi ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Mekanisme yang telah diajukan oleh beberapa peneliti antara; Houze et.al (1981), Satomura (2000) dan Mapes et.al (2003) masih sulit untuk menjelaskan variasi konveksi diurnal yang terjadi di Pulau Sumatra. Masih perlu dicari faktor apa yang dominan berpengaruh pada pola diurnal yang terjadi. IV.2 Analisis Pola Konveksi Diurnal dari Luaran Model Pada bagian Bab IV.2 ini dibahas hasil analisis luaran model yang dilakukan dengan cara melakukan korelasi silang antara data IR1 dengan parameter CTT yang diturunkan dari

4 variabel-variabel luaran model. Sebelum simulasi model dilakukan langkah pertama yang diambil adalah melakukan uji konsistensi data syarat awal dan batas model. Langkah ini dilakukan untuk mengecek apakah data masukan sesuai dengan data pengamatan permukaan pada stasiun yang berada di sekitar Pulau Sumatra. Langkah selanjutnya adalah pengujian kombinasi parameterisasi. Hal ini mengingat adanya banyak pilihan parameterisasi yang didukung oleh model WRF-ARW. Penjelasan lebih rinci langkah ini dapat dilihat pada Bab III Setelah kombinasi parameterisasi yang terbaik terpilih, langkah selanjutnya adalah melakukan simulasi beberapa studi kasus. Penentuan periode studi kasus berdasarkan data ORG yang ada di Kototabang. Periode yang dipilih mewakili empat keadaan yang berbeda, yaitu; hujan lebat, sedang, kecil dan tidak ada hujan. Hasil luaran model dari masing-masing studi kasus diolah untuk memperoleh parameter CTT dengan menggunakan metode yang telah dikemukakan pada Bab III IV.2.1 Uji Konsistensi Data Syarat Awal Data masukan awal yang berfungsi sebagai syarat awal dan batas yang digunakan untuk model WRF adalah data FNL seperti yang telah dikemukakan pada Bab III.1.3. Pengecekan data ini dilakukan dengan cara membanding dengan data pengukuran udara atas (radiosonde) pada stasiun yang telah dipilih. Variabel yang dibandingkan adalah komponen angin u dan v, dan temperatur.. Perbandingan kedua profil vertikal pada Gambar IV.6 menunjukkan adanya proses penghalusan data FNL dari data radiosonde. Hal ini menunjukkan bahwa asimilasi data berhasil dilakukan sehingga data radiosonde kedua stasiun masuk kedalam data FNL. Untuk mendapatkan data radiosonde yang halus dapat dilakukan proses filtering. Dalam penelitian ini data radiosonde dihaluskan dengan menggunakan filter Lanczos dengan pembobotan 9 titik. Hasil dari penghalusan tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.7. Pola yang mirip antara profil data radiosonde dan FNL dapat terlihat jelas. Oleh karena itu data FNL valid untuk digunakan sebagai data syarat awal dan batas. IV.2.2 Uji Kombinasi Parameterisasi Simulasi uji parameterisasi dilakukan selama tiga hari dengan satu hari digunakan sebagai spin-up. Tanggal simulasi dipilih dari 6 8 November Pemilihan ini berdasarkan analisis pola konveksi diurnal tanggal 7 November 2006 yang menyerupai dengan pola komposit dan konveksi Nov06. Kombinasi parameterisasi yang digunakan dalam pengujian dapat dilihat pada Tabel IV.1.

5 Tabel IV.1 Kombinasi Parameterisasi Mikrofisika dan Lapisan Batas Planeter No. Nama Skema Parameterisasi Kombinasi Mikrofisika Lapisan Batas Planeter 1. C1 WSM3 YSU 2. C2 Lin et al. YSU 3. C3 Thompson et al. YSU 4. C4 WSM6 YSU 5. C5 WSM6 MRF Hasil uji parameterisasi dianalisis dengan metode statistik korelasi silang. Parameter yang diuji dikorelasikan dengan data radiosonde yang tersedia. Dari hasil korelasi yang ada kemudian dirata-ratakan untuk keseluruhan simulasi. Hasil uji kelima kombinasi parameterisasi menghasilkan nilai korelasi masing-masing kombinasi yang mirip antara satu dengan lainnya. Koefisien korelasi yang tinggi diperoleh parameter temperatur (T), temperatur potensial (θ) dan mixing ratio. Koefisien korelasi untuk parameter-parameter tersebut rata-rata diatas 0,9. Koefisien korelasi kelembaban relatif (RH) tinggi untuk stasiun Singapura, untuk masing-masing kombinasi rata-rata diatas 0,9 kecuali untuk kombinasi C3 hanya 0,89. Sementara itu, untuk stasiun Padang, koefisien korelasi RH, hanya mencapai sekitar 0,6., kecuali kombinasi C1 yang hanya 0,56. Koefisien korelasi dibawah 0,5 diperoleh parameter U dan V, terutama stasiun Padang. Koefisien korelasi U diatas 0,7 pada stasiun Singapura, namun demikian tidak untuk parameter V. Koefisien korelasi V untuk stasiun Singapura relatif kecil yaitu sekitar 0,3. Dari hasil korelasi silang diperoleh kombinasi C5 mempunyai korelasi relatif lebih tinggi dan konsisten untuk kedua stasiun uji dibandingkan dengan kombinasi yang lainnya. Hasil uji parameterisasi diringkas dalam Tabel IV.2 dan juga digambarkan dalam diagram Taylor pada Gambar IV.8. Dengan menggunakan diagram Taylor dapat dilihat perbandingan variansi luaran model dengan data radiosonde. Cara pembacaan diagram Taylor dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut; nilai korelasi antara pengamatan dan variabel luaran model dibaca dari sumbu jari-jari terluar yang berlabel correlation dengan menarik garis lurus dari pusat radian (titik 0.00). Standard deviasi luaran model tegak lurus jarak radial dari titik awal. Perbandingan variansi antara pengamatan dan variabel luaran model mempunyai cara pembacaan yang sama dengan standard deviasi. Keterangan lebih detail dapat dilihat pada Taylor (2001). Dari diagram Taylor ditunjukkan secara jelas nilai parameter T dan θ selain mempunyai koefisien korelasi yang tinggi (mencapai 0,99) juga mempunyai variansi yang kecil,

6 kurang dari 0,5. Variansi T lebih kecil dari pada data radiosonde sedangkan variansi θ lebih besar dari data radiosonde. Parameter mixing ratio dekat dengan data pengamatan untuk stasiun Singapura sedangkan stasiun Padang meskipun mempunyai koefisien korelasi yang tinggi (lebih dari 0,9) tetapi mempunyai variansi lebih besar dari data pengamatan yaitu sebesar 1,3. Parameter RH mempunyai koefisien korelasi yang besar diatas 0,7 tapi mempunyai variansi yang lebih kecil dari data pengamatan yaitu sekitar 0,75. Hanya variansi kombinasi C5 yang mempunyai nilai positif terlihat pada stasiun Padang. Parameter U dan V menunjukkan koefisien korelasi yang kecil. Hanya parameter U pada stasiun Singapura yang mempunyai korelasi yang tinggi melebihi 0,7. Koefisien korelasi yang tinggi dari parameter temperatur dapat dipahami mengingat fluktuasi temperatur di daerah equator yang relatif kecil. Parameter RH dan mixing ratio disinyalir mempunyai korelasi yang baik karena kedua parameter ini diturunkan dari parameter temperatur. Komponen U dan V sulit untuk diikuti dimungkinkan karena parameter ini dihitung dari model global yang mempunyai grid 1. Selain itu dimungkinkan angin yang berhembus di kedua stasiun bersifat lokal sehingga tidak tertangkap oleh model. Dari hasil uji statistik ini diputuskan untuk menggunakan kombinasi C5, karena dianggap kombinasi ini lebih baik dibandingkan dengan kombinasi yang lainnya. IV.2.3 Simulasi dengan Kombinasi Parameterisasi Terpilih Kombinasi parameterisasi yang terpilih selanjutnya digunakan untuk simulasi empat kasus. Pemilihan kasus berdasarkan data ORG yang terdapat di Kototabang dengan mencari empat keadaan yang berbeda. Empat keadaan tersebut adalah hujan lebat, sedang, kecil dan tidak ada hujan. Masing-masing keadaan tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.9. Lebih jelas lagi tanggal kasus simulasi yang mewakili keadaan ini dapat dilihat pada Tabel IV.3. Pada rentang antara tanggal November 2006 tercatat adanya hujan dengan laju curah hujan rata-rata lebih dari 10 mm/jam. Puncaknya pada tanggal 12 pukul 01 LT terjadi hujan yang tertinggi selama bulan November tahun tersebut dengan nilai mendekati 25 mm/jam. Pada rentang tanggal hujan yang tercatat sangat kecil, dengan rata-rata dibawah 1 mm/jam. Bahkan pada rentang tanggal tidak tercatat adanya hujan. Rentang tanggal menunjukkan adanya aktivitas hujan meskipun dengan laju yang tidak tinggi. Pada rentang ini terjadi hujan dengan laju sedang yaitu sekitar 10 mm/jam. Demikian juga pada rentang tanggal 26-29, cukup sering terjadi hujan. Meskipun pada rentang tanggal ini terdapat hujan dengan laju yang tinggi melebihi 20 mm/jam, namun pada waktu-waktu yang lain hujan terjadi dengan laju yang kecil. Laju hujan rata-rata tidak melebihi 5 mm/jam, hanya mencapai diatas 3 mm/jam. Oleh karena itu pada rentang ini dimasukkan dalam kategori hujan kecil. Parameter yang dikaji untuk analisis hasil simulasi adalah temperatur puncak awan.

7 Parameter ini dipilih agar dapat dibandingkan secara langsung dengan data IR1. Dan parameter ini dianggap dapat digunakan sebagai indikasi adanya proses konveksi. Meskipun parameter ini bukan merupakan luaran langsung dari model tetapi diturunkan dari parameter yang lain. Analisis parameter CTT dilakukan pada wilayah melintang pada Gambar IV.10. Pada gambar tersebut ditunjukkan bagaimana model dapat mengikuti pola konveksi yang terjadi pada malam hari dilihat dari parameter CTT. Terlihat bahwa model dapat mensimulasikan konveksi yang terjadi di darat dan sepanjang pantai. Namum model tidak dapat mensimulasikan konveksi yang terjadi dilepas pantai. Konveksi yang terjadi pada model seakan-akan hanya berhenti di sepanjang garis pantai dan tidak dapat terus bergerak ke lepas pantai. Efek keberadaan pulau-pulau kecil di sebelah barat Pulau Sumatra seolah-olah memblok penjalaran awan. Sehingga konveksi yang terjadi hanya sampai di atas pulau kecil tetapi tidak bisa melewati pulau-pulau ini. Hasil ini menunjukkan bahwa proses dinamika atmosfer di darat dapat terwakili dalam perhitungan model. Proses interaksi dengan permukaan seperti interaksi dengan topografi dapat disimulasikan dengan baik. Dari hasil model dapat disimpulkan juga bahwa sistem angin gunung dapat terwakili dalam model, dikarakteristikan dengan adanya penjalaran CTT ke arah laut sedangkan efek termal pada pagi sampai siang hari yang menggerakkan sistem angin laut, terlihat kurang dapat diwakili dalam model. Efek resolusi model yang diharapkan dapat memperbaiki hasil ternyata kurang memuaskan. Perubahan resolusi model dari 10 km menjadi 5 km tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Terlihat bahwa hanya dengan meninggikan resolusi tidak dapat meningkatkan kualitas luaran model secara drastis. Namun demikian, efek resolusi dapat berpengaruh pada peningkatan koefisien korelasi di daerah laut. Hasil simulasi keempat kasus menunjukkan kemiripan hasil uji korelasi statistik parameter CTT untuk fase darat. Sementara itu, pada saat fase laut, koefisien korelasi yang diperoleh sangat kecil (dibawah 0,2) bahkan menunjukkan adanya korelasi negatif (lihat Gambar IV.11). Hal ini ditunjukkan bahwa model dapat mensimulasikan konveksi pada malam hari di darat, tetapi gagal menunjukkan adanya pembentukan sistem konveksi di laut pada pagi hari. Pada Gambar IV.12 ditunjukkan lebih jelas lagi bahwa pada jarak sekitar 400 km yang bertepatan dengan daerah pegunungan, mempunyai korelasi diatas 0,6 yang ditunjukkan dengan kontur yang diarsir terutama pada malam hari. Pada siang hari korelasi turun sampai mencapai nilai negatif. Fase konveksi darat yang lebih baik dari laut terlihat jelas pada Gambar IV.13. Pada gambar ini ditunjukkan pada malam hari korelasi yaitu pada jam LT diatas 0,2. Sementara itu, pada pagi hari, dari jam LT korelasi dibawah 0,2. Bahkan korelasi pada resolusi 10 km mencapai nilai minus. Korelasi ini terus naik seiring pergantian hari menuju malam hari. IV.3 Uji Sensitifitas Pembentukan Pola Konveksi Diurnal Pada bab ini dilakukan percobaan untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pembentukan pola konveksi diurnal pada luaran model. Faktor yang diuji adalah parameterisasi lapisan batas planeter dan ketersediaan data pengamatan.

8 IV.3.1 Pengaruh Parameterisasi Lapisan Batas Planeter Simulasi yang dilakukan pada bab IV.2.3 ditekankan pada pemakaian konfigurasi parameter hasil seleksi uji parameterisasi. Penetuan kombinasi parameterisasi sematamata hanya didasarkan pada analisis statistik dengan memperhatikan nilai koefisien korelasi yang terbaik. Penerapan metode korelasi silang ini hanya dilakukan pada titik. Dari hasil analisis pada bab IV.2.3 menunjukkan bahwa hasil korelasi titik yang baik tidak menjamin korelasi wilayahnya juga baik. Oleh karena itu perlu dilakukan analasis lanjut parameter yang berpengaruh pada pembentukan pola konveksi diurnal. Pada bagian ini, parameter yang dianggap berpengaruh terhadap pembentuk pola konveksi diurnal adalah parameterisasi lapisan batas planeter. Parameterisasi lapisan batas planeter yang digunakan pada eksperimen sebelumnya adalah parameterisasi MRF. Pada bagian selanjutnya parameterisasi lapisan batas planeter yang dipakai adalah parameterisasi YSU. Hasil perbandingan koefisien korelasi antara parameter PBL MRF dan YSU dapat dilihat pada Gambar IV.14. Gambar ini menunjukkan waktu lag maksimum koefisien korelasi pada area sama dengan yang ditunjukkan oleh garis putus-putus pada Gambar IV.10. Gambar IV.14 a) dan b) menggunakan parameterisasi PBL MRF sedangkan c) dan d) menggunakan parameterisasi PBL YSU. Gambar IV.14 a) dan c) untuk resolusi 10 km sedangkan b) dan d) resolusi 5 km. Kontur topografi untuk Gambar IV.14 ditunjukkan pada Gambar IV.16. Dari gambar a) dan c) ditunjukkan di daerah sebelah kiri Pulau Sumatra (0-400 km) koefisien korelasi maksimum terjadi pada lag negatif (-4 sampai -6) jam. Artinya bawah di daerah laut puncak fase dalam model mengalami keterlambatan antara 4-6 jam dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya. Sementara itu, untuk daerah dengan jarak sekitar km, waktu lag cenderung positif. Pada jarak sekitar km lag korelasi rata-rata adalah nol, khususnya untuk parameterisasi YSU. Hal ini menunjukkan bahwa parameterisasi YSU mensimulasikan fase diurnal konveksi lebih baik daripada MRF. Pada jarak ini nilai koefiensi korelasi masing-masing parameterisasi mencapai 0,6. Nilai koefisien korelasi pada Gambar IV.14 dapat dilihat pada Gambar IV.15. Pada resolusi 5 km, seperti analisis sebelumnya efek resolusi dapat meningkatkan korelasi di daerah laut. Hal ini terlihat dari pergeseran lag maksimum koefisien korelasi di sekitar pantai. Pada PBL MRF di daerah berjarak km pada sumbu y, dan jarak km sumbu x menunjukkan waktu lag adalah positif dan lebih dekat dengan lag 0 dibandingkan dengan pada resolusi 10 km yang mempunyai waktu lag -4. Sementara itu, pada PBL YSU perubahan ini terjadi di sekitar jarak km sumbu x. Pada jarak ini terlihat adanya perubahan waktu lag yang cukup signifikan, dari lag negatif menjadi positif dan lebih mendekati lag 0. Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan parameterisasi lapisan batas planeter berpengaruh kecil terhadap pembentukan pola konveksi diurnal dan pengaruhnya tidak signifikan. Pada penelitian sebelumnya (mis. Anzhar, 2006) ditunjukkan bahwa MRF cocok untuk daerah tropis karena mampu menghasilkan ketinggian PBL yang sesuai dengan pengamatan, penelitian lebih lanjut skema YSU perlu

9 juga dilakukan. Hal ini mengingat hasil yang ditunjukkan skema YSU pada analisis diatas mampu memperbaiki waktu lag, meskipun mempunyai koefisien korelasi yang lebih kecil dari skema MRF. IV.3.2 Peranan Data dalam Peningkatan Hasil Luaran Model Pada pembahasan sub-sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa daerah yang mempunyai koefisien korelasi yang besar berada di darat. Hal ini menimbulkan kecurigaan baru, apakah ada kaitannya dengan keberadaan data. Perlu diingat kembali bahwa data yang digunakan sebagai syarat awal dan syarat batas adalah data FNL yang merupakan data asimilasi. Data ini memasukkan data pengamatan permukaan yang sebagian besar tersedia di atas darat. Untuk wilayah Sumatra sendiri data pengamatan yang masuk kedalam asimilasi data FNL sangat minim. Penelitian peranan data dalam peningkatan hasil luaran model dilakukan dengan mengambil sampel tiga wilayah di Pulau Sumatra yang mewakili daerah bagian atas, tengah dan bawah dari Pulau Sumatra. Daerah yang menjadi kajian dapat dilihat pada Gambar IV.17. Daerah A mewakili bagian utara Pulau Sumatra, B mewakili bagian tengah dan C mewakili bagian selatan. Hasil kontur penampang melintang ketiga daerah dapat dilihat pada Gambar IV.18. Bagian a), b) dan c) gambar tersebut menunjukkan daerah A, B dan C berturutan. Bagian a) menunjukkan pada jarak sekitar 600 km koefisien korelasi mempunyai nilai positif. Pada daerah ini koefisien korelasi melebihi 0,6. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini hasil luaran model signifikan. Penjelasan yang rasional kenapa di daerah ini koefisien korelasinya tinggi adalah karena di sekitar jarak ini terdapat stasiun pengamatan, yaitu stasiun Penang/Bayan Lepas. Dapat dilihat untuk daerah lain yang tidak terdapat stasiun pengamatan, misalnya pada jarak km pada sumbu x koefisien korelasinya kecil, bahkan nilainya negatif. Pada bagian b) ditunjukkan untuk jarak km pada sumbu x dan km sumbu y koefisien korelasi mempunyai nilai positif. Hal ini menunjukkan pada daerah ini dapat disimulasikan dengan model cukup baik. Begitu juga untuk daerah pada jarak sekitar 500 km pada sumbu x dan km pada sumbu y menunjukkan nilai koefisien korelasi positif. Hal ini disinyalir karena adanya peran stasiun Sepang dan Padang/Tabing yang mampu memperbaiki kualitas data asimilasi. Sementara itu, pada bagian lain yang tidak terdapat stasiun pengamatan rata-rata memiliki koefisien korelasi negatif. Pada bagian c) untuk jarak km pada sumbu x menunjukkan adanya nilai koefisien korelasi positif. Di daerah tertentu korelasinya bahkan melebihi 0,6. Pada jarak km sumbu x juga terdapat daerah yang mempunyai koefisien korelasi lebih dari 0,6. Jika diperhatikan, pada daerah km korelasi yang tinggi lebih dipengaruhi oleh ketersediaan data yaitu dengan adanya stasiun Pangkal Pinang. Sementara itu, pada daerah km lebih dipengaruhi oleh model yang dengan baik mensimulasikan efek topografi, karena pada daerah ini tidak terdapat stasiun pengamatan. Ketiga hasil tersebut menunjukkan adanya peran penting data pengamatan dalam hal ini

10 karena data tersebut menjadi masukan model sebagai syarat awal dan batas. Ditunjukkan bahwa peran data dalam model dapat meningkatkan kualitas luaran model hingga lebih dari 60%. Dengan berpegang pada hasil ini untuk meningkatkan kualitas luaran model yang lebih baik lagi maka diperlukan lebih banyak stasiun pengamatan permukaan. Diharapkan pula dengan adanya penambahan data, model dapat lebih meresolve proses yang berkaitan dengan interaksi darat dan laut. Sehingga fase pola konveksi diurnal dari model mampu mengikuti pola dari data pengamatan. Gambar IV.10 Perbandingan data IR1 dengan luaran model. Plot pada tanggal 12 November 2006 pukul 22 LT. Gambar atas: data IR1, bawah: luaran model. Gambar kiri: resolusi 10 km, kanan: resolusi 5 km. Gambar IV.11 Kontur korelasi antara data IR1 dan luaran model terhadap waktu selama 24 jam untuk wilayah kajian. Atas: resolusi 10 km, bawah: resolusi 5 km. Daerah arsiran menunjukkan korelasi lebih dari 0,6. Garis putus-

11 putus: korelasi negatif, garis tebal: korelasi 0, garis padat: korelasi positif. Gambar IV.12 Kontur korelasi antara jarak dan waktu. Atas: resolusi 10 km, tengah: resolusi 5 km, bawah: plot ketinggian dan jarak untuk wilayah kajian.blok hitam menunjukkan tidak ada data IR1. Keterangan lain sama seperti Gambar IV.11.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

Data dan Metodologi. III.1 Data III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR)

Data dan Metodologi. III.1 Data III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR) Bab III Data dan Metodologi III.1 Data III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR) Outgoing Longwave Radiation (OLR) merupakan fluks gelombang panjang yang diemisikan dari bumi dan awan ke luar angkasa.

Lebih terperinci

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE Eusebio Andronikos Sampe, Achmad Zakir Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA Erma Yulihastin Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN e-mail: erma@bdg.lapan.go.id; erma.yulihastin@gmail.com RINGKASAN Makalah ini mengulas hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015)

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015) SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015) Rahma Fauzia Y *, Hariadi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA EKSTRIM ANGIN KENCANG (22 Knot)

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN e-mail: sumary.bdg@gmail.com,maryati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Pengelolaan polusi udara pada prinsipnya adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013)

PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013) PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013) Ramadhan Nurpambudi (1) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (1) e-mail

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA EKSTRIM STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016 TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016 I. PENDAHULUAN Merdeka.com - Bencana banjir bandang dan tanah longsor dilaporkan terjadi di kawasan wisata Air

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO

STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO Reslyna Abdullah 1, Ana Oktavia Setiowati 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail: reslynaabdullah11@gmailcom

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN ANALISIS. Karakteristik Hasil Evolusi

HASIL DAN ANALISIS. Karakteristik Hasil Evolusi Bab VII HASIL DAN ANALISIS Sintesis populasi dengan simulasi Monte Carlo memberikan sekitar 220.000 percobaan untuk 1300 sistem bintang ganda progenitor. Sistem bintang progenitor sebelumnya telah diseleksi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

STUDI POLA KONVEKSI DIURNAL DI PULAU SUMATRA MENGGUNAKAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING-ADVANCED RESEARCH WRF (WRF-ARW)

STUDI POLA KONVEKSI DIURNAL DI PULAU SUMATRA MENGGUNAKAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING-ADVANCED RESEARCH WRF (WRF-ARW) STUDI POLA KONVEKSI DIURNAL DI PULAU SUMATRA MENGGUNAKAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING-ADVANCED RESEARCH WRF (WRF-ARW) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data batimetri, garis pantai dan data angin. Pada Tabel 3.1 dicantumkan mengenai data yang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA S STASIUN METEOROLOGI MARITIM KENDARI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA S STASIUN METEOROLOGI MARITIM KENDARI BADBAD BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA S STASIUN METEOROLOGI MARITIM KENDARI J Jl. Jend. Sudirman No. 158 Kendari, Tlp / Fax (0401) 3131479 BMKG ANALISA HUJAN LEBAT DI KOTA KENDARI TANGGAL

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Beberapa hasil pengolahan data simulasi model kopel akan ditampilkan dalam Bab IV ini, tetapi sebagian lainnya dimasukkan dalam lampiran A. IV.1 Distribusi Curah Hujan Berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017 ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL 18-19 NOVEMBER 2017 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOSFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I LOMBOK BARAT-NTB NOVEMBER 2017

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016 ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016 Eka Suci Puspita W. (1) Yudha Nugraha (2) Stasiun Meteorologi Klas

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Suaydhi 1) dan M. Panji Nurkrisna 2) 1) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN. 2) Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA,

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI KEJADIAN

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR WILAYAH PASAR YOUTEFA JAYAPURA DAN SEKITARNYA TANGGAL 07 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISA

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II) HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST. MT 5. Penyebaran Suhu Menurut Ruang dan Waktu A. Penyebaran Suhu Vertikal Pada lapisan troposfer,

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA I. INFORMASI KEJADIAN LOKASI TANGGAL DAMPAK Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara 02 November 2017 jam 23.50

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Konveksi

Tinjauan Pustaka. II.1 Konveksi Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Konveksi Pengetahuan mengenai struktur dan sifat sistem konveksi di daerah monsun dunia, baik di darat maupun di laut diperoleh dari studi kasus dan kegiatan lapangan (field

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total 8 Frekuensi siklon 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total Gambar 6 Frekuensi siklon tropis di perairan sekitar Indonesia (Pasifik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. Sebagian besar Wilayah Jawa Timur sudah mulai memasuki musim kemarau pada bulan Mei 2014. Termasuk wilayah Sidoarjo dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS IV.1 Uji Sensitifitas Model Uji sensitifitas dilakukan dengan menggunakan 3 parameter masukan, yaitu angin (wind), kekasaran dasar laut (bottom roughness), serta langkah waktu

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN PUTING BELIUNG DI KABUPATEN BANGKALAN TANGGAL 14 MARET Stasiun Meteorologi Nabire

ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN PUTING BELIUNG DI KABUPATEN BANGKALAN TANGGAL 14 MARET Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN PUTING BELIUNG DI KABUPATEN BANGKALAN TANGGAL 14 MARET 2017 BADAN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, DAN GEOFISIKA S.Tr STASIUN PMG METEOROLOGI Pelaksana Lanjutan NABIRE

Lebih terperinci

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB IKLlM INDONESIA HANDOKO Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB Secara umum, daerah tropika terletak di antara lintang 23,5O LU (tropika Cancer) sampai 23,5O LS (tropika Capricorn). Batasan ini berdasarkan

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI SERUI TANGGAL 10 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISIS KEJADIAN CUACA

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram alir penelitian

Gambar 4 Diagram alir penelitian 10 Gambar 4 Diagram alir penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini periode yang digunakan dibagi dua, yaitu jangka panjang; Januari 2007 sampai dengan Juli 2009 dan jangka pendek. Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA EKSTRIM NTB HUJAN LEBAT TANGGAL 31 JANUARI 2018 LOMBOK BARAT, LOMBOK UTARA, DAN LOMBOK TENGAH Oleh : Joko Raharjo, dkk

ANALISIS CUACA EKSTRIM NTB HUJAN LEBAT TANGGAL 31 JANUARI 2018 LOMBOK BARAT, LOMBOK UTARA, DAN LOMBOK TENGAH Oleh : Joko Raharjo, dkk ANALISIS CUACA EKSTRIM NTB HUJAN LEBAT TANGGAL 31 JANUARI 2018 LOMBOK BARAT, LOMBOK UTARA, DAN LOMBOK TENGAH Oleh : Joko Raharjo, dkk I. INFORMASI CUACA EKSTREM LOKASI 1. Desa Banyu Urip Kec Gerung Lombok

Lebih terperinci

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI KOTA MATARAM DAN KABUPATEN LOMBOK BARAT TANGGAL JUNI 2017

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI KOTA MATARAM DAN KABUPATEN LOMBOK BARAT TANGGAL JUNI 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I LOMBOK BARAT NTB Jl. TGH. Ibrahim Khalidy Telp.(0370)674134, Fax.(0370)674135, Kediri-Lobar, NTB 83362 Website : http://iklim.ntb.bmkg.go.id

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN KENCANG DI RANTEPAO TANA TORAJA TANGGAL 16 MARET Stasiun Meteorologi Nabire

ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN KENCANG DI RANTEPAO TANA TORAJA TANGGAL 16 MARET Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN KENCANG DI RANTEPAO TANA TORAJA TANGGAL 16 MARET 2017 BADAN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, DAN GEOFISIKA S.Tr STASIUN PMG METEOROLOGI Pelaksana Lanjutan NABIRE Stasiun

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA STASIUN EKSTRIM METEOROLOGI TERKAIT

Lebih terperinci

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA 4 BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Evaluasi Persamaan Rain Rate 4.1.1 Hasil Estimasi curah hujan untuk satu titik (Bandung) perjam diakumulasi selama 24 jam untuk memperoleh curah hujan harian, selama rentang

Lebih terperinci

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b) 9 Kasus 2 : - Top of model : 15 m AGL - Starting time : 8 Juni dan 3 Desember 211 - Height of stack : 8 m AGL - Emmision rate : 1 hour - Pollutant : NO 2 dan SO 2 3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN BMKG Bandara H.AS. Hanandjoeddin Tanjungpandan 33413 Telp. : 07199222015 Email: stamettdn@yahoo.com IDENTIFIKASI CUACA TERKAIT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana. BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI 2017 BADAN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, DAN GEOFISIKA S.Tr STASIUN PMG METEOROLOGI Pelaksana Lanjutan NABIRE Stasiun

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016 BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH II STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG Bandar Udara Depati Amir, PangkalPinang 33171 P.O.

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Penelitian sejenis mengenai Kajian Kebutuhan Air Irigasi Pada Jaringan Irigasi sebelumnya pernah ditulis oleh (Oktawirawan, 2015) dengan judul Kajian

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Iskandar Muda Banda Aceh

Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Iskandar Muda Banda Aceh BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN ISKANDAR MUDA BANDA ACEH Alamat : Bandara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang Aceh Besar Telp : (0651) 24217 Fax : (0651)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016 ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016 Eka Suci Puspita W. (1) Herlan Widayana (2) Stasiun Meteorologi Klas II Minangkabau

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI RADIN INTEN II BANDAR LAMPUNG Jl. Alamsyah Ratu Prawira Negara Km.28 Branti 35362 Telp. (0721)7697093 Fax. (0721) 7697242 e-mail : bmglampung@yahoo.co.id

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017)

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017) BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI WAI OTI MAUMERE Jln. Angkasa Maumere Flores Telp : ( 0382 ) 21349 B M K G Fax: ( 0382 ) 22967 PO. BOX 100 Kode Pos 86111 e-mail : met_mof@yahoo.com

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten II Bandar Lampung

Lebih terperinci

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN KENCANG DI KECAMATAN UNDAAN KABUPATEN KUDUS BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA TANGGAL 13 MARET 2017 STASIUN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, NABIRE S.Tr PMG Pelaksana Lanjutan

Lebih terperinci