II PANDANGAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II PANDANGAN TEORITIS"

Transkripsi

1 II PANDANGAN TEORITIS 2.1. Keaslian Penelitian Kajian tentang zakat sebagai pranata keagamaan, telah banyak mendapat perhatian para ahli/ulama, mulai dari kitab-kitab fiqh klasik maupun kitab-kitab fiqh kontemporer. Salah satu kitab fiqh zakat yang boleh dipandang lengkap, dengan kajian komprehensif adalah Fiqh az-zakât karya Yusuf Qaradawi (1994). Sungguhpun karya ini dipandang lengkap akan tetapi pembahasannya sangat diwarnai kajian normatif (Idris, 1997). Zakat lebih dilihat dalam kerangka ajaran agama yang menonjolkan dimensi normatif ketimbang dimensi sosialnya. Keberadaan dan bekerjanya sebuah rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang memberi warna bagaimana zakat dipahami atau dikonstruksi secara sosial dalam masyarakat, belum banyak terlihat. Beberapa kajian terdahulu pada level tesis yang mengkaji zakat, misalnya: Khasanah (2001), mengkaji tentang Model Pengelolaan Dana Zakat di Indonesia, yang menemukan dan menggambarkan empat model lembaga tatakelola zakat, yaitu: model birokrasi (pemerintah), model organisasi swasta (industri), model organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan model tradisional. Khasanah (2001) menyatakan bahwa pengelolaan zakat model pertama, kedua dan ketiga mengalami kemajuan dan mampu mengumpulkan dana zakat dalam jumlah besar, sebaliknya lembaga model keempat hanya mampu membuat kinerja konstan. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan oleh perbedaan manajemen tatakelola (negara, bisnis dan ormas berbasis sains modern sedangkan model tradisional berbasis budaya dan pengetahuan lokal). Palmawati (2002), yang meneliti Zakat dan Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, menemukan bahwa konstribusi zakat terhadap pengentasan kemiskinan di Donggala masih sangat lemah. Penyebab utama menurut Palmawati adalah lemahnya manajemen kelembagaan, tidak terlibatnya tokoh masyarakat sehingga kurangnya kepercayaan masyarakat. Tidak ada kepastian hukum karena pemerintah daerah tidak terlibat. Palmawati merekomendasikan agar pemerintah daerah berperan aktif mendukung lembaga zakat dan pengelolaan zakat. Dua penelitian ini mengedepankan sains modern dengan logika politik, sehingga keterlibatan

2 19 pemerintah dianggap sebagai kunci utama untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat. Takidah (2001) meneliti tentang Pengaruh Kualitas Jasa Badan Amil Zakat Nasional pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki, menemukan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat. Temuan yang sama oleh Hardianto (2003), terhadap BAZIS DKI, bahwa rendahnya kepercayaan dikarenakan lemahnya sumber daya manusia pengelola dan kurangnya dukungan negara. Berbeda dengan temuan Firdaus (2004) yang meneliti Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam Oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tahun , menemukan bahwa BAZNAS menghadapi persoalan kepercayaan masyarakat karena keterlibatan negara. Ini ditunjukkan bahwa keterlibatan negara juga bisa membawa persoalan kepercayaan publik.. Indrijatiningrum (2005), dengan menggunakan analisis SWOT (Sthength, Weakness, Opportunity, Threat) dan HAP (Hierarchy Analysis Process), menemukan bahwa; ada gap yang sangat besar antara potensi dan realisasi yang teridentifikasi disebabkan oleh masalah kelembagaan tatakelola zakat berupa masalah kesadaran masyarakat dan masalah sistem manajemen zakat yang belum terpadu. Oleh karena itu Indrijatiningrum (2005) merekomendasikan kebijakan penerapan sanksi bagi muzakki yang tidak berzakat, meningkatkan kualitas SDM pengelola, profesionalitas, kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi pangelolaan zakat dan mengintegralkan pelaksanaan sistem pajak dan zakat secara nasional. Skenario terbaik menurut Indrijatiningrum adalah dengan reformasi perundang-undangan. Zuhraini (2004), mengelaborasi zakat menyangkut Konsepsi Kekuatan Zakat dalam Pemberdayaan Umat, yang mencoba membongkar konsep-konsep zakat terkait dengan pemberdayaan masyarakat miskin. Zuhraini menyimpulkan bahwa; zakat bukanlah sekedar ibadah akan tetapi dalam perintah zakat ditemukan konsep-konsep pemberdayaan yang tergambar dalam delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, yang kesemuanya orang yang lemah (kecuali amil dan fisabilillah) yang butuh diberdayakan. Khatimah (2006), yang mengkaji Community Development Circle (CDC) Dompet Dhuafa Republika Tahun 2001-Maret 2004, menemukan bahwa; ada pengaruh yang signifikan antara distribusi dana zakat dengan peningkatan

3 20 kesejahteraan mustahik. Hal yang sama ditemukan oleh Mufraini (2001) bahwa; tingkat pendapatan dan konsumsi mustahik mengalami perubahan secara signifikan sesudah menerima dana zakat. Hanya saja, belum terlihat perubahan status dari mustahiq menjadi muzakki. Sementara Hidayat (2004), menemukan bahwa masyarakat mandiri yang dikelola oleh Lembaga Amil Dompet Dhuafa di Bekasi, menunjukkan bahwa bantuan pembiayaan meningkatkan pendapatan mustahik. Berbeda dengan temuan Muslim (2005), dalam penelitiannya tentang Pengaruh Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) terhadap Peningkatan Penghasilan Para Mustahik menemukan bahwa bantuan-bantuan dana yang disalurkan ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan perekonomian mustahik. Hal ini dikarenakan kecilnya dana dan kurangnya motivasi kerja para musthik penerima dana zakat. Kajian-kajian di atas, meski memperlihatkan adanya perbedaan basis pengetahuan antara model lembaga tatakelola, namun tidak sampai pada pembahasan bagaimana pengetahuan bekerja dan membangun kekuasaan dalam empat lembaga tersebut. Menemukan kurangnya kepercayaan publik, para peneliti mengabaikan bekerjanya rezim pengetahuan sebagai basis rasionalitas yang mampu membangun kepercayaan publik itu bisa dibangun, padahal kepercayaan publik amat tergantung pada sebuah rezim pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif yang mengarahkan logika publik. Para penelitian di atas juga menemukan kegagalan lembaga zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan rendahnya motivasi mustahik. Persoalan ini tidak dilihat sebagai sebuah fenomena hasil dari konstruksi sosial masyarakat terhadap zakat dan bantuan zakat. Permono (1988) melalui disertasinya : Pendayagunaan Zakat di Samping Pajak dalam Rangka Pembangunan Nasional, yang mengkaji persamaan zakat dan pajak, menyatakan zakat untuk pembangunan nasional, dan pemerintah sebagai amil zakat. Dengan pendekatan normatif, Permono mencoba mengelaborasi unsur-unsur yang menghubungkan zakat dan pajak dalam konteks pembangunan nasional, dan menekankan pentingnya zakat dan pajak dalam konteks penguatan ekonomi dan politik negara menuju pembangunan yang memberdayakan rakyat. Disertasi Permono tersebut merupakan kajian kepustakaan dengan fokus pada kitab-bitab zakat, undang-undang perpajakan dan tulisan-tulisan lainnya yang membahas tentang zakat dan pajak. Permono di

4 21 sini mengabaikan subjektifitas masyarakat zakat, konstruksi sosial zakat dan dinamika pengetahuan serta sistem rasionalitas masyarakat, makanya Permono merekomendasikan negara sebagai pengelola tunggal zakat. Qadir (1998) dalam disertasinya Zakat dalam Dimensi Ibadah Mahdhah dan Sosial, menelaah zakat dari konsep keadilan dengan menggunakan pendekatan filosofis dan kontekstual. Dalam kajiannya, Qadir mencoba melihat zakat dari dua dimensi, yaitu : dimensi Mahdhah dan Ghairu Mahdhah (Sosial) yang dielaborasinya dengan menganalisis dimensi ibadah sebagai perintah agama yang wajib dari Allah SWT dan dimensi sosial. Konsekuensi kehambaan dan keberagamaan terwujud dalam bentuk ibadah yang merupakan bangunan hubungan yang bersifat vertikal (hablun min-allah). Sementara dari dimensi sosial, Qadir mengelaborasi bagaimana fungsi-fungsi sosial zakat dalam bangunan hubungan horzontal (hablun min-al-nas) sebagai bentuk solidaritas sosial kepada kaum lemah (mustahik) dan perwujudan keadilan sosial bernuansa spiritual. Qadir kemudian merumuskan beberapa fungsi sosial zakat, yaitu: a. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam. b. Menghindari kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat. c. Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana alam. d. Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekacauan dalam masyarakat. e. Menyediakan dana teknis dan khusus dalam menanggulangi biaya hidup bagi gelandangan, pengangguran, dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu (Qadir, 1998 : 76). Dasril (2000) dengan disertasinya : Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi Kemiskinan di Jakarta Pusat, yang menfokuskan kajian pada pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZIS DKI Jakarta. Dasril mencoba melihat upaya apa saja yang telah dilakukan berikut faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, Dasril mencoba menganalisis program-program aksi yang telah dilakukan dan menemukan berbagai kendala sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh BASIZ DKI dalam pengelolaan dana zakat, Infaq dan shadaqah (ZIS) menuju upaya pengentasan kemiskinan di Jakarta Pusat. Sayangnya Dasril terlalu fokus pada program-program kerja BASIZ DKI, akibatnya kurang memperhatikan bagaiaman konstruksi sosial terhadap kelembagaan zakat. Padahal berbagai persoalan dan kendala yang

5 22 dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan berbasis zakat, amat terkait bagaimana zakat dikonstruksi secara sosial dan atas kuasa siapa. Hafhidhuddin (2001) dengan disertasi berjudul Zakat dalam Perekonomian Modern, menekankan masalah sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern dengan menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi. Hafhidhuddin mengelaborasi berbagai sumber-sumber dana zakat yang baru dalam konteks ekonomi modern yang berpotensi menunjang pembangunan dan pengentasan kemiskinan umat. Disertasi ini sangat detil menjelaskan berbagai kegiatan ekonomi modern yang bisa menjadi sumber-sumber dana zakat baru, namun di sana beliau masih mengabaikan bagaimana konstruksi sosial zakat dan kaitannya dengan rezim pengetahuan. Hikam (2004), dengan disertasi yang berjudul: Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, memfokuskan pembahasan pada pandangan ulama klasik dan kontemporer berkaitan dengan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif. Relevansi konsep pendayagunaan zakat dikaitkan dengan UU. No. 38 tahun 1999 dengan hukum Islam dan praktek pendayagunaan zakat di beberapa lembaga zakat yang ada di Indonesia. Pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan filsafat hukum Islam yang bernuansa normatif (Hikam, 2004). Di sini Hikam merekomendasikan transformasi zakat dari bantuan zakat konsumtif menjadi bantuan zakat produktif. Penekanan bantuan zakat produktif menunjukkan kalau di sana rezim pengetahuan ekonomi bekerja dengan penekanan pada pencapaian kesejahteraan dan stabilitas politik negara. Yang terlupakan adalah ulasan tentang bagaimana rezim pengetahuan tersebut dibangun dan bekerja membentuk pemahaman dan tindakan berzakat. Miftah (2005) dengan disertasinya : Zakat dalam Perpektif Hukum Diyâni dan Qadâ i membahas zakat sebagai hukum diyâni dan qadâ i, dan mengkaitkannya dengan UU. Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Miftah menganalisis realitas zakat sebagai aturan/hukum agama (diyâni) dan hukum negara (qadâ i). Dengan pendekatan normatif, Miftah berpandangan bahwa zakat sebagai ketentuan agama yang harus ditangani oleh negara dalam konteks kewarganegaraan terkait dengan kepentingan dan kemashlahatan (kebaikan) ummat. Menurut Miftah zakat adalah ibadah yang memiliki tujuan penegakan keadilan sosial dan ekonomi, dan untuk mewujudkannya, negara penting hadir dalam pengelolaan zakat. Negara yang dibayangkan oleh Miftah

6 23 dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki keberpihakan pada kemashlahatan masyarakat dan penegakan hukum secara konsisten. Miftah lupa kalau sebuah negara selalu tunduk pada satu rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas. Rezim pengetahuan bekerja membentuk kostruksi sosial zakat dan menggiring tindakan berzakat dan tatakelolanya pada satu titik yang disertai oleh ragam kepentingan. Selain beberapa tesis dan disertasi yang telah mengkaji zakat dalam berbagai perspektif di atas, terdapat pula sejumlah tulisan terdahulu yang memperbincangkan persoalan zakat. Seperti tulisan Idris (1997) dengan judul Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, tulisan Ali (1988) dengan judul Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, tulisan Ash-Shidiqy (1976) dengan judul Pedoman Zakat, tulisan Mas udi (1993) dengan judul Agama Keadilan; Risalah Zakat (pajak) dalam Islam, tulisan Sofwan Idris (1997) dengan judul: Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Islam, sebuah pendekatan transformatif, dan Bamualim dan Irfan Abu Bakar (2005) sebagai editor buku berjudul : Revitalisasi Filantropi Islam, dan (2006) Filantropi dan Keadailan Sosial. Keseluruhan karya-karya tersebut di atas begitu detil mengkaji persoalan zakat, akan tetapi hampir belum terlihat secara nyata, ada yang mengupas tentang konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dalam kaitannya dengan sistim rasionalitas dan kepentingan (lihat tabel 2 dan 3). Padahal pemahaman zakat dan sistem tatakelola zakat yang ada, merupakan perwujudan dari konstruksi sosial zakat, sebagai hasil kerja kuasa pengetahuan, sistem rasionalitas dan ragam kepentingan yang menyertainya. Kehadiran ragam entitas sosial menyuarakan tatakelola zakat, memunculkan berbagai benturan-benturan dan persaingan hingga pertarungan. Akibatnya model relasi-relasi internal dan eksternal yang terbangunpun akan bervariasi dan mengarah pada terbangunnya relasi independensi, interdependensi, dominasi atau malah kooptasi. Mengamati fenomena ragamanya entitas sosial mewacanakan tatakelola zakat dengan asumsi adanya persaingan dan benturan, maka penelitian ini mencoba melihat konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dengan terlebih dahulu memetakan beberapa kajian tentang zakat terkait, yang dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.

7 IDENTITAS LADANSAN KAJIAN METODOLOG I 24 Tabel 2 : Penelitian (Disertasi) tentang Wacana Zakat REKOMEN DASI TEMUAN INDIKATOR LEMBAGA PENERBIT UIN Yogyakarta PRO NEGARA UIN Jakarta BIAS CIVIL SOCIETY IPB Bogor Nama Penulis dan Hafhidhuddin Abd. Malik Qadir (1998) Permono (1988) Dasril (2000) Hikam (2004) Miftah (2005) Tahun (2001) (2008) Klasifikasi Kajian Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Judul FOKUS KAJIAN Landasan Etika Landasan Teoritis (Paradigma Teoritis) Landasan Normatif Pendayagunaan Zakat di Samping Zakat dalam Pajak dalam Dimensi Ibadah Rangka Mahdhah dan Sosial Pembangunan Nasional optimalisasi fungsi zakat asketik, keadilan & solidaritas zakat keadilan sosial Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi Kemiskinan di Jakarta Pusat Zakat dalam Perekonomian Modern Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif Zakat dalam Perpektif Hukum Diyâni dan Qadâ i fungsi zakat inovasi zakat potensi zakat hukum zakat pemerataan & kesejahteraan keadilan sosial keadilan sosial asketik dan keadilan sosial Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat zakat dan kuasa pengetahuan zakat pembebasan dan kemandirian modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi post-struktukral norma agama, dan hukum negera hukum zakat (agama) agama dan hukum negara agama dan hukum negara agama agama dan hukum negara budaya dan norma sosial Wilayah Penelitian hukum zakat Bazis DKI hukum agama hukum zakat dan Jambi dan (agama) Jakarta dan UU zakat UU zakat Sumatera Barat Metode Kajian pustaka pustaka lapangan data sekunder pustaka pustaka lapangan Pedekatan filsafat hukum hukum ekonomi ekonomi filsafat hukum pemberdayaan hukum dan politik sosiologis Analisis kualitatif kualitatif kualitatif kuantitatif kualitatif hermeneutik konstruktifif Basis Kelembagaan Negara Negara Negara Negara Negara Negara masjid Manajemen modern modern modern modern modern modern hibrid Landasan Politik hukum agama hukum agama hukum agama UU UU dan UU dan UU dan UU komunitas masjid Kuasa Kelembagaan negara negara negara negara negara negara jejaring masjid zakat berdimensi agama bersifat efektifitas zakat konstruksi sosial ke-tuhan-an dan dinamis terhadap harus dengan berdialetika dengan kemanusiaan modernisasi intervensi negara kuasa pengetahuan

8 25 Tabel 3: Penelitian (Thesis) Tentang Wacana Zakat Bias Negara dan Civil Society IDENTITAS LADANSA N KAJIAN METODO- LOGI REKOMEN- DASI INDIKATOR BIAS NEGARA BIAS CIVIL SOCIETY LEMBAGA UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA IPB Bogor Nama Penulis dan Tahun Jenis Tulisan Judul FOKUS KAJIAN Khasanah (2001) Model Pengelolaan Dana Zakat di Indonesia kelembagaan Palmawati (2002) Zakat dan Pengentasan Kemiskinan fungsi ekonomi zakat Fatahillah (2001) Strategi Kebijakan Pengelolaan Zakat di Bazis DKI Jakarta stategi kelembagaan Tesis Magister (Hukum dan Ekonomi) Takidah (2001) Hardianto (2003) Analisis Pengaruh pelayalan Baznas pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki, Analisis Kebijakan BAZIS DKI Jakarta Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Membayar Zakat Indrijatiningrum (2005 Zakat sebagai Alternatif Penggalangan Dana Masyarakat untuk Pembangunan Disertasi Khatimah (2006) Abd. Malik (2008) Pengaruh Zakat Produktif Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Para Mustahik respon pelayanan potensi zakat fungsi sosial zakat fungsi zakat Landasan Etika solidaritas keadilan sosial kesejahteraan pemerataan keadilan sosial keadilan sosial pemberdayaan Landasan Teoritis (Paradigma) Landasan Normatif Wilayah Penelitian Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan pembebasan dan kemandirian modernisasi modrnisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi post-struktukral Norma agama, dan Agama dan hukum Agama dan UU hukum negera negara Kelemabagaan Lembaha zakat BAZIS DKI Zakat Jakarta Donggala Jakarta Agama dan hukum negara Baznas Jakarta Agama Hukum agama dan negara BAZIS DKI Jakarta Kebijakan H. agama, negara & norma Yayasan DD Republika Metode Penelitian Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan Data sekunder Lapangan Budaya dan Norma sosial Jambi dan Sumatera Barat Pedekatan Manajemen Sosial ekonomi Ekonomi kelembagaan Manajemen Manajemen Ekonomi manajemen Sosiologis Analisis Kualitatif Kualitatif AHP kuantitatif AHP SWOT DAN AHP Kuantitatif Konstruktivis Basis Kelembagaan Manajemen Kelembagaan Landasan Politik Negara Komunitas dan negara Negara Berbasis Negara Negara Negara Civil Society Jejaring Masjid Modern Modern Modern Modern Modern Modern Modern Hibrid Hukum agama dan UU Hukum Agama & UU Hukum Agama & UU Undang-Undang Hukum agama dan UU Reformasi Hukum dan UU Dukungan negara Civil Society Kuasa Kelembagaan Negara Negara Negara Negara Negara Negara Civil Society Komunitas KESIMPULAN Ada 4 model lembaga zakat -negara, -bisnis -kemsyarakatan - tradisional Perlu adanya keterlibatan Strategi masyarakat dan Penyaluran Pemerintah Bazis Jkt kurang Daerah agar tujuan tepat sasaran zakat optimal. Pelayanan Baznas tidak berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat BAZIS DKI Jakarta menghadapi empat kendala yaitu SDM, sarana, anggaran dan peraturan Skenario terbaik meningkatkan realisasi potensi zakat adalah reformasi perundangundangan Ada hubungan signifikan antara Jenis kelamin, pendidikan, jenis usaha dan total skim (pembiayaan dari zakat) Konstruksi sosial berdialetika dengan Kuasa Pengetahuan

9 Pada tabel 2 dan 3 terlihat pemetaan kajian terdahulu tentang zakat dan tatakelolanya. Pada tabel 2, semua kajian yang berlevel disertasi dengan wacana kajian yang menonjolkan tatakekola zakat pro negara. Pemetaan kajian pada tabel tersebut, menitikberatkan perhatian pada fokus kajian, landasan kajian, metodologi dan rekomendasi serta temuan. Fokus kajian menunjukkan bahwa penumpukan ada pada kajian fungsi dan optimalisasi serta inovasi kelembagaan zakat. Landasan kajian menekankan pada kajian normatif meski sudah terlihat mencoba menyentuh aspek sosial dengan menonjolkan konsep keadilan sosial di bawah paradigma modernisasi yang sangat strukturalis. Pada tabel 3, kumpulan kajian tesis tentang wacana zakat bias negara dan civil society. Kajian-kajian zakat pada tabel 3 menitikberatkan pada pembahasan zakat dalam konteks kelembagaan yang melihat fungsi zakat, strategi kelembagaan dan respon masyarakat. Landasan kajian kesemuanya berada di bawah payung modernisasi dengan pendekatan ekonomi dan manajemen kelembagaan. Rekomendasi ketatakelolaan zakat, pada tabel 3 terlihat mengarah pada penekanan kuasa tatakelola oleh negara, dengan manajemen modern di bawah legitimasi hukum negara. Akhirnya kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa dibutuhkan keterlibatan negara dan pemerintah yang disertai dengan kebijakan peraturan yang jelas dan berkekuatan hukum untuk mengoptimalkan manajemen dan fungsi serta capaian tujuan zakat, dan mengabaikan kuasa pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif umat. Semua kajian di atas belum ditemukan satupun yang menekankan kajian pada konstruksi sosial zakat terkait dengan kuasa pengetahuan. Bagaimana zakat dikonstruksi dan bagaimana pengetahuan menjadi sebuah kekuatan yang mengarahkan wacana zakat, tindakan berzakat hingga tatakelolanya, belum terlihat sama sekali. Kajian yang menekankan pada aspek sosial dengan menggunakan pendekatan sosiologi juga belum tampak di sana. Memunculkan wacana jejaring masjid sebagai sebuah kekuatan sosial luas dan mengakar dalam budaya zakat dan tatakelolanya, juga tidak muncul dan terkesan terlupakan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut dengan mengangkat kajian tatakelola zakat dengan fokus kajian: Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat, dengan memfokuskan kajian pada tiga lembaga tatakelola zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat.

10 Pandangan Filosofis Secara filosofis, zakat memiliki dua dimensi (As-Shiddiqie, 1991), yaitu: pertama, sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai konsekuensi logis atas makhluk yang percaya kepada Allah dan menganut agama Islam. Maka zakat di sini menjelma dalam tindakan sebagai kepatuhan, penyerahan, dan pengabdian kepada Allah SWT sebagai pencipta (tindakan asketik), tanpa dicampuri oleh pertimbangan-pertimbangan dan pilihan-pilihan yang bersifat duniawi (Idris, 1997). Pemahaman kedua, sebagai ajaran menuju lahirnya kepedulian kepada sesama (khususnya kepada yang lemah/mustahiqin), menjalin hubungan saling membantu dan melindungi secara sosial, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, maka zakat dipahami sebagai ibadah sosial dalam wujud tindakan kemanusiaan yang oleh Idris (1997) diistilahkan dengan paradigma trasformatif. Zakat sebagai perintah agama melembaga karena religious ethics dan kemanusiaan yang di dalamnya bekerja sistem rasionalitas. Dalam pandangan ini kelembagaan zakat menjadi dinamis dan sarat dengan pertimbangan ilmiah dengan dimensi-dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi (Syâtibi, tt). Gambar 2 : Pertemuan Teologisme dan Sekularisme Ruang Diskursus Pemahaman pertama (dimensi spiritual) (Syâtibi, tt) atau dimensi normatif merupakan perwujudan pemahaman zakat dalam ranah teologi atau epistemogi teologisme dengan basis etik teosentrisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus tunduk kepada ajaran agama. Sementara pemahaman kedua (dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi) merupakan perwujudan

11 28 pemahaman berbasis epistemologi sekularisme yang melihat manusia sebagai makhluk yang cerdas dan ivonatif. Paham ini berbasis etika Antroposentrisme. Pemahaman pertama melihat zakat sebagai ajaran agama yang harus dalam kemurnian sebagaimana diterjemahkan nabi atas firman Tuhan, yang disabdakan kepada umat manusia dalam konteks ukhrawi. Pemahaman kedua, melihat zakat sebagai fenomena duniawi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan dan pembebasan. Pemahaman kedua ini kemudian berkembang sehingga zakat yang tadinya berwawasan normatif, bergeser menjadi berwawasan ilmiah (Idris, 1997) yang terbuka dengan wacana pembangunan, kemanusian, dan keadilan (Mas udi, 1993). Zakat sebagai ajaran agama Islam, dalam konteks ibadah ke-tuhan-an (ilahiyah) merupakan perintah tetap dan menyejarah, namun dalam konteks kemanusiaan (muamalah), zakat dipandang sebagai fenomena pembebasan dan instrumen keadilan. Di sini pemahaman zakat sangat dinamis dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan untuk kepentingan perwujudan keadilan dan pembebasan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan dan ketidak berdayaan (Qadir, 1998). Berawal dari pemahaman zakat sebagai ibadah yang memiliki misi kemanusiaan dan pembebasan, maka lahir pemikiran tentang transformasi zakat pada ranah pengetahuan (Kontowijoyo, 1991, Mas ud, 1991 dan Idris, 1997). Kelembagaan zakat tak lepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan rasionalitas bekerja membentuk konstruksi sosial zakat dan melembagakan dalam praktek sosial. Zakat digerakkan oleh semangat spiritualitas dan humanitas dan amat erat kaitannya dengan budaya berderma, makanya zakat selain sebagai ibadah berdimensi teosentrisme di sana juga terkandung dimensi antroposentrisme, sehingga sinergis antara pengetahuan berbasis teologisme dan pengetahuan berbasis sekularisme terbuka untuk saling merajut dalam wacana tatakelola zakat. Melembaganya zakat dalam praktek kehidupan sosial, secara politis dan ekonomi merupakan potensi yang besar bagi berbagai kalangan, dan melihat zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan. Potensi tersebut merupakan salah satu pendorong munculnya wacana pemberdayaan berbasis zakat dari berbagai kalangan: mulai dari akademisi, politis hingga pengusaha. Mereka mencoba ikut bicara dan menawarkan formula masing-masing, hingga

12 29 kemudian mengerucut pada wacana zakat berbasis negara, berbasis industri dan berbasis komunitas dan memunculkan zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial. Persoalan kemudian adalah bahwa manusia memang makhluk sosial yang butuh interaksi, makhluk ekonomi yang tergantung dengan orang lain, namun pada saat yang bersamaan juga sebagai makhluk penuh konflik (Ritzer, 2005), haus kekuasaan dan tindakannya penuh persaingan (Weber) dan pertarungan (Marx). Oleh sebab itu, maka ragamnya wacana zakat membuka peluang lahirnya konflik antar-aktor, apalagi ketika zakat dilihat sebagai sumber daya potensial secara politik dan ekonomi. Wacana zakat bisa terjebak dalam arena kontestasi dan pertarungan untuk saling menguasai dan mendominasi antara satu dengan lainnya, atau paling tidak saling berupaya mencapai kepentingan masing-masing dan menegasikan yang lain. Akibatnya zakat akan lebih dipandang sebagai sumber daya dalam konteks perwujudan tujuan sepihak, ketimbang sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan umat. Zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan berbasis agama, memandang kaum lemah pada posisi yang harus diperhatikan, hal ini memiliki kemiripan dengan teori pembangunan alternatif yang menyuarakan elit tradisional yang terancam terasing oleh industrialisasi (ideologi Marxisme) (Hettne, 2001: 27). Pandangan ini menekankan implikasi etis dan estetis yang negatif dari sebuah perubahan sosial yang sedang berlangsung dan meminggirkan masyarakat tertentu. Marx pada karya awalnya menggambarkan bahaya keterasingan sebagai akibat dari cara produksi kapitalis, dan Weber menyatakan bahwa rasionalisasi masyarakat modern yang tidak dapat diubah, membuat masyarakat itu menjemukan karena kehilangan pesona (entzauberung) (Weber, dalam Albrow, 2005). Hal yang sama dinyatakan oleh Nisbet (1980) bahwa keyakinan terhadap kemajuan sulit diharapkan dalam suatu peradaban, karena di sana semakin banyak kelompok yang mengalami kebosanan terhadap dunia, negara, masyarakat dan bahkan terhadap diri sendiri (Nisbet, 1980). Escobar (1992) melihat pentingnya refleksi pembangunan dengan menekankan pada pendekatan grass root dan pendekatan politik alternatif untuk dunia ketiga. Pendekatan model pembangunan yang menekankan pada pembelaan, perlindungan dan pemberdayaan komunitas lokal (Pieterse, 1998), untuk membangun diri sendiri berdasarkan kemampuan dan karakteristik budaya

13 30 lokal, yang sebelumnya dianggap oleh kaum kelompok modernis sebagai hal yang tidak penting dan bahkan diangggap sebagai penghambat pembangunan. Maka dalam upaya memberdayakan dan melindung masyarakat lokal muncul teori pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development), berwawasan etnis (etno-development), berwawasan budaya (culture-development), dan berwawasan agama (religion-development). Perkembangan pemahaman tentang sosok agama, sains dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagamaan yang lahir belasan abad lalu mengalami perkembangan karena zaman berubah, meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, namun pada urutannya lembagalembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya (Hidayat, 2006) dan mengalami persentuhan dengan sains modern. Persentuhan antara agama dan sains terus berlanjut sebagai wujud kebutuhan manusia terhadap dunia spiritual dan material secara bersamaan. Ini merupakan upaya pencarian untuk menemukan format yang tepat bagi pembangunan yang bisa memposisikan kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan dalam usaha mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dominasi. Proses konstruksi sosial manusia terhadap agama, terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Agama yang semula hanya dicerna dalam kerangka teologisme, perlahan bergeser dan dicerna dalam kerangka sekularisme. Agama yang tadinya hanya dilihat sebagai ajaran wahyu yang statis dan lebih diwarnai dengan orientasi ketuhanan, belakangan banyak diwarnai dengan orientasi kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat dalam masyarakat, yang memunculkan wacana tatakelola zakat yang didominasi gagasan meningkatkan kesadaran berzakat menuju pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan satu gejala yang menunjukkan bahwa, benturan-benturan antara agama dan sains yang pernah ada dalam sejarah perlahan melunak dan semakin cair. Namun perlu disadari bahwa untuk Indonesia, masyarakat muslim berasal dari ragam budaya dengan ragam kearifan lokal, yang tentunya di sana ada banyak sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja. Akibatnya zakat sebagai ajaran agama, dikonstruksi oleh umat secara berbeda berdasarkan rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja pada aras gagasan dengan kepentingan yang berbeda. Maka upaya untuk mewujudkan

14 31 kehidupan bertuhan, beragama dan bernegara dalam satu gagasan pada konteks zakat, agaknya perlu diperhatikan keragaman sistem pengetahuan dan rasionalitas termasuk di dalamnya keragaman kepentingan terhadap zakat. Memandang zakat sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi pemberdayaan masyarakat, hendaklah dalam konteks keragaman budaya (pengetahuan, dan sistem rasionalitas). Memaksakan satu gagasan utuh terhadap suatu komunitas sama halnya meniadakan komunitas itu, apalagi kalau kemudian disertai dengan justifikasi dan menyalahkan yang lain. Agaknya ini merupakan keangkuhan, karena manusia hanya mencari kebenaran dan kebenaran yang ditemukan tidaklah pernah ditemukan secara sempurna, kebenaran sempurna hanya ada pada Tuhan dan manusia hanya berusaha untuk benar dan belum tentu benar. Oleh sebab itu, maka biarkanlah umat beragama dan berzakat sesuai dengan konstruksi yang mereka bangun dalam gagasan, dan biarlah zakat dikelola sesuai dengan konstruksi sosial dan pengetahuan serta budaya dengan kearifan-lokal (local-wisdom) masing-masing. Bagaimanapun mekanisme yang penting adalah kesadaran dan pemahaman bahwa zakat merupakan mekanisme distribusi kesejahteraan masyarakat yang bertujuan mendekatkan hubungan kaum kaya dan miskin dalam relasi yang saling memanusiakan dengan penuh kehangatan. Sehingga kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dari dominasi Pandangan Teoritis Berangkat dari asumsi bahwa tiga model lembaga zakat dikonstruksi oleh aktor-aktornya secara berbeda dengan basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan yang berbeda. Zakat dilihat sebagai sumber daya yang memiliki potensi, baik potensi politik, sosial budaya, maupun ekonomi. Maka kehadiran negara, industri dan komunitas dalam ruang tatakelola zakat, membuat ruang zakat diwarnai oleh kemungkinan berbagai macam relasi. Relasi antara aktor dari tiga entitas sosial bisa bersifat dominasi, kooptasi, kerjasama atau relasi kemitraan, atau bisa jadi berupa negosisasi atau transaksi yang bisa bermuara pada bangunan relasi berbentuk interdependensi atau trans-dependensi. Semua relasi tersebut tergantung bagaimana kuasa pengetahuan zakat dikonstruksi oleh masyarakat. Karena konstruksi sosial zakat sangat dipengaruhi

15 32 oleh bagaimana rezim pengetahuan bekerja membangun pemahaman zakat dan rezim pengetahuan apa yang dianggap memiliki kuasa membentuk wacana zakat dan tatakelolanya. Untuk bisa menjelaskan konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat, maka perlu membahas tentangan Pengetahuan, Rasionalitas dan Kepentingan dalam Tatakelola Zakat. Oleh karena itu diperlukan beberapa landasan teori yang mampu membantu menjelaskan, menganalisa dan membongkar realitas di balik hadirnya wacana tatakelola zakat berbasis negara, industri dan komunitas Konstruksi Sosial (Social Construction) atas Realitas Peter L Berger adalah salah seorang sosiolog yang konsen bicara tentang konstruksi sosial atas realitas. Gagasan Berger terlihat humanis (mengikuti Weber dan Schutz) mudah diterima, mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger cenderung tidak melibatkan pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada historisitas. Benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). Berger dan Luchmann (1990) dalam bukunya yang berjudul; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma (1994) yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Tetapi Berger dan Luchmann tidak menolak kekuatan struktur terhadap aktivitas manusia. Oleh karena itu Berger dan Luchmann dianggap oleh Douglas dan Johnson sebagai Durkheimian dan memberikan justifikasi pada gagasan (Samuel, 1993). Beberapa tokoh yang mewarnai pemikiran sosiologi Berger adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya tentang makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala kemanusiaan. Dalam hubungan dialektik antara masyarakat dan individu, Berger meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif yang mempunyai kekuatan memaksa,

16 33 sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan seharihari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, Mead menjadi rujukan Berger (Poloma, 1994). Teori Berger mendefinisi ulang hakekat dan peranan sosiologi pengetahuan, dengan mendefinisikan kembali pengertian kenyataan dan pengetahuan dalam konteks sosial. Sosiologi menurutnya, harus mampu menjelaskan dan memahami bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk dalam proses-proses yang terus-menerus, yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, maka perhatian terarah pada bentukbentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif). Kenyataan sosial tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, dan bekerja sama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial. Kenyataan sosial, ditemukan dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas). Lewat intersubjektivitas itu dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubjektivitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Berger dan Luchmann (1990) memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi, serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif. Kenyataan sosial oleh Berger dan Luchmann, merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini dan menuju masa depan. Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas objektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subjektif. Pada sisi yang lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu yang nyata oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan (objektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subjektif dan

17 34 membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Konstruksi sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger dan Luchmann, 1990). Masyarakat sebagai realitas objektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Di sinilah terdapat peranan di dalam konstruksi kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Peranan mempresentasikan konstruksi kelembagaan; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Pentradisian sengaja dihadirkan, diformat, diinstitusionalisasikan, diritualkan, dan dikonstruksi kembali untuk kepentingan tertentu sebagai bagian dari pelegitimasian suatu perilaku sosial. Karena, masyarakat sebagai realitas objektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan objektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan, tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat objektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subjektif. Masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas objektif ditafsir secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsir itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk mengambil alih dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder.

18 35 Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat. Menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan perlu ada sebuah universum simbolik. Universum simbolik ini menduduki hierarki yang tinggi, menunjukkan bahwa semua realitas memiliki makna bagi individu dan individu bertindak sesuai dengan makna. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik. Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses legitimasi lembaga sosial menuju lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi terus berlangsung secara dialektik dan ini berdampak pada perubahan sosial Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault (1980) adalah orang yang paling konsen berbicara tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan, dan menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam The Archaeology of Knowledge, konsep discourse sebagai gambaran bagaimana pengetahuan bekerja sebagai kumpulan pernyataan. Konsep discourse yang dimunculkan oleh Foucault dalam beberapa tulisannya berada pada tema sentral yang disebutnya dengan énconcé (statemen). Statemen yang dimaksud oleh Foucault, memiliki kemiripan dengan speech act yang pernah dikemukan oleh Jon Austin (1962) dan John Searle (1979). Statmenstatmen yang terlontar pada dasarnya akan memberikan pengaruh sosial dan pada gilirannya akan menjadi sebuah pengetahuan yang tersebar dan membuat orang lain mengikutinya (Dreyfus and Rabinow, 1982).

19 36 Diskursus sebagai ide pokok dalam pemikiran Foucault, dipahami sebagai penjelasan, pendifinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus tidak terlepas dari relasi kekuasaan, dan bertaut dengan pengetahuan. Oleh karenanya, Foucault berfikir dan mengakui kalau kekuasaan tersebar di mana-mana dan datang dari manamana. Berbeda dengan Marx yang melihat kekuasaan hanya ada pada negara (Haryatmoko, 2002). Konsep diskursus juga memberikan jalan pemikiran tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bebas dari kungkungan intelektual yang berkaitan dengan ideologi. Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktek-perktek yang menghasilkan pernyataan-penyataan (statemen) yang bermakna pada satu rentang sejarah tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendifinisikan dan memproduksi objek pengetahuan yang sekaligus merupakan sebuah undang-undang sosial yang menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu. Hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan. Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan-

20 37 pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai. Kekuasaan (power), oleh Adams (1977) dilihat dalam kerangka kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan melalui kendali. Wolf (2001) menambahkan bahwa kekuasaan yang disadari oleh kemampuan pelaku untuk mempengaruhi dan mengendalikan pelaku lain, adalah kekuasaan taktis (tactical power) atau kekuasaan terorganisir (organizational power). Kekuasaan model ini mengakibatkan pelaku lain terbatas untuk bertindak sesuai keadaan yang sudah ditetapkan. Hubungan kekuatan/kekuasaan antar pelaku oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi kekuasaan bebas (independent power) dan kekuasaan terikat (dependent power). Kekuasaan bebas merupakan hubungan dominasi berdasarkan atas kemampuan dan pengendalian secara langsung oleh pelaku, sementara kekuasaan terikat merupakan pelimpahan hak kekuasaan kepada orang untuk membuat keputusan untuknya. Jenis kekuasaan kedua oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: Kekuasaan yang dihibahkan (power granting), kekuasaan yang dialokasikan (power allocation), dan pendelegasian kekuasaan (power delegation). Pada tiga jenis kekuasaan terakhir, pelaku yang sedang melakukan kontrol kekuasaan tetap terlibat dalam setiap proses pelaksanaan kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam perspektif Adam (1973), Bourdieu (1979), dan Suparlan (2004), dilihat sebagai kekuasaan yang terjadi antara pelaku, dan ditambah oleh Giddens (1984) dalam setiap ruang dan waktu. Kekuasaan oleh Giddens (1984) merupakan kemampuan untuk mencapai hasil, bersifat dinamis, dan dalam bekerjanya kekuasaan, ada struktur yang mendominasi dalam proses reproduksi sosial. Struktur yang dimaksud Giddens (2003) terwujud dalam tiga gugus yang saling terkait yaitu: pertama, struktur penanda (signification) yang

21 38 menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan/dominasi (domination), yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran/legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam hukum. Menurut Giddens (1984 dan 2003), bahwa dalam ilmu sosial melihat kekuasaan cenderung mencerminkan dualisme subjek dan objek. Makanya kekuasaan seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan atau kemauan, yakni sebagai kemampuan mencapai hasil yang diinginkan dan dimaksudkan. Sebaliknya Foucault (1984, 2002), memandang kekuasaan sebagai milik masyarakat atau komunitas, dan tersebar di mana-mana di tengah-tengah masyarakat. Sementara Marx (dalam Giddens, 1993) melihat kekuasaan selalu terkait dengan ekonomi sebagai sebab lahirnya perbedaan kelas (proletar dan borjuis), dan itu terlihat pada means of production. Kekuasan diletakkan pada kepemilikan alat-alat produksi, mulai dari sistem ekonomi feodalisme hingga kapitalisme. Kemudian Weber (dalam (Giddens, 1993), pada sisi yang agak berbeda, melihat kekuasaan tidak hanya ada pada kekuatan ekonomi semata, tapi memasukkan unsur status dan partai (status and party). Jadi kekuasaan menurut Weber bisa karena motif ekonomi dan juga motif lain, yang disebutnya dengan prestise. Meski pandangan Marx dan Weber berbeda tentang kekuasaan, namun keduanya memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya kekuasaan dalam pengaturan kehidupan manusia sekaligus peradaban, sehingga orang selalu terdorong untuk mencari kekuasaan dan memanfaatkan berbagai cara yang paling efektif dan efisien untuk memperoleh kekuasaan. Salah satu cara yang paling menonjol adalah, mengakumulasi potensi atau sumber daya yang dianggap mempu membukakan jalan bagi perolehan kekuasaan. Namun karena terbatasnya sumber daya potensial yang bisa memberikan peluang besar bagi perolehan kekuasaan, menyebabkan seringkali terjadi perebutan, pertikaian hingga pertarungan dalam proses upaya menguasai sumber-sumber potensial. Kekuasaan bagi Foucault (1980, 2002), merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah (Ritzer, 2005), mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah

22 39 sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktek yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu yang di dalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran. Kekuasaan bukan datang dari luar, akan tetapi menentukan susunan, aturanaturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Kekuasaan selalu bertautan dengan pengetahuan dan memproduksi pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang kemudian membangun kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Pernyataan ini menujukkan bahwa ada korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, artinya bahwa pengetahuan mengandung kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan mengandung pengetahuan. Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga ke konsep the concept of govermentality, yang mengarah ada organisasi admisnitratif yang dibentuk untuk mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto, 2005). Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena kelembagaan zakat formal dan informal, modern dan tradisional, berbasis negara dan komunitas, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan atas wacana. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai bentuk restriksi. Dengan demikian, model yang satu menjadi layak untuk mengalahkan dan menguasai yang lainnya dengan alasan-alasan rasionalitas subjektif yang dibangun melalui wacana, mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya yang di dominasi oleh kelompok yang mendominasi arena pertarungan. Strategi kuasa terjelma sebagai aparat, artinya mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu (Foucault, 2002).

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

VIII KESIMPULAN DAN SARAN VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Empirik 8.1.1. Konstruksi Pengetahuan Zakat Konstruksi pengetahuan zakat LAZ Komunitas, BAZDA, dan LAZ Swasta, merupakan hasil dari bekerjanya rezim pengetahuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi 219 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi Islam di Indonesia dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan ibadah yang tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan ibadah yang tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan ibadah yang tidak hanya berhubungan dengan nilai ketuhanan saja namun berkaitan juga dengan hubungan kemanusian yang bernilai

Lebih terperinci

RINGKASAN. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

RINGKASAN. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat RINGKASAN Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat Disertasi ini memfokuskan kajian tentang peran pemerintah Kabupaten Mamuju dalam mengoptimalkan

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang, termasuk Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS)

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bourdieu tentang Habitus Menurut Bourdieu (dalam Ritzer 2008:525) Habitus ialah media atau ranah yang memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Tato merupakan salah satu karya seni rupa dua dimensi yang layak untuk dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu secara finansial. Zakat menjadi salah satu rukun islam keempat setelah puasa di bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zakat dan Infaq merupakan ibadah yang tidak hanya bersifat vertikal (hablun min

BAB I PENDAHULUAN. zakat dan Infaq merupakan ibadah yang tidak hanya bersifat vertikal (hablun min BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat dan Infaq mempunyai peranan sangat besar dalam meningkatan kualitas kehidupan sosial masyarakat kurang mampu. Hal ini disebabkan karena zakat dan Infaq

Lebih terperinci

BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN. A. Pengaruh Fenomenologi Terhadap Lahirnya Teori Konstruksi Sosial

BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN. A. Pengaruh Fenomenologi Terhadap Lahirnya Teori Konstruksi Sosial BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN A. Pengaruh Fenomenologi Terhadap Lahirnya Teori Konstruksi Sosial Teori konstruksi sosial merupakan kelanjutan dari pendekatan fenomenologi,

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Nasional bangsa di Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental spiritual, antara lain

Lebih terperinci

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijauhi. Diantara perintah-perintah tersebut adalah saling berbagi - bagi

BAB I PENDAHULUAN. dijauhi. Diantara perintah-perintah tersebut adalah saling berbagi - bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk besar yang sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, dimana dalam ajaran Islam terdapat perintah yang harus

Lebih terperinci

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut 438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural

Lebih terperinci

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14 Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : 2008 Pertemuan 14 MASYARAKAT MATERI: Pengertian Masyarakat Hubungan Individu dengan Masyarakat Masyarakat Menurut Marx Masyarakat Menurut Max Weber

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akademis serta bermunculannya lembaga perekonomian islam di Indonesia. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. akademis serta bermunculannya lembaga perekonomian islam di Indonesia. Begitu BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang. Perkembangan ekonomi islam telah menjadikan islam sebagai satu-satunya solusi masa depan. Hal ini di tandai dengan semakin banyak dan ramainya kajian akademis serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai

BAB I PENDAHULUAN. pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan terus menjadi topik yang sering diperbicangkan oleh banyak pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai dimensi dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI hanyalah yang tidak mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai partai. Biasanya dalam sistem komunikasi seperti itu, isi media massa juga ditandai dengan sejumlah slogan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dituntut untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dituntut untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas. Organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga zakat adalah lembaga yang berada ditengah-tengah publik sehingga dituntut untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas. Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ) dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Al-Qur an dan Hadist. Dana zakat yang terkumpul akan diberikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. pada Al-Qur an dan Hadist. Dana zakat yang terkumpul akan diberikan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat merupakan salah satu rukun islam yang wajib ditunaikan oleh umat muslim atas harta kekayaan seorang individu yang ketentuannya berpedoman pada Al-Qur an

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sudut pandang teori materialisme historis dalam filsafat sejarah

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sudut pandang teori materialisme historis dalam filsafat sejarah 174 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sudut pandang teori materialisme historis dalam filsafat sejarah Marx yang mengulas arsitektural pemerintahan sebagai objek material membuahkan hasil yang menunjukkan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belaksang Masalah Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab sebelumnya legitimasi legal formal peran serta masyarakat dalam

Lebih terperinci

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme Ada tiga hal penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita; Yakni: Apa yang perlu kita ketahui dan pahami tentang Sosiologi dan Politik? Mengapa kita perlu mengetahui dan memahami Sosiologi dan Politik?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, yaitu kurang dari $ USA. Pada awal tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, yaitu kurang dari $ USA. Pada awal tahun 1997 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Di Indonesia kemiskinan masih menjadi isu utama pembangunan, saat ini pemerintah masih belum mampu mengatasi kemiskinan secara tuntas. Hingga tahun 2008

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 38,4 juta jiwa (18,2%) yang terdistribusi 14,5% di perkotaan dan 21,1% di

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 38,4 juta jiwa (18,2%) yang terdistribusi 14,5% di perkotaan dan 21,1% di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Kemiskinan ini sudah ada sejak lama dan telah menjadi kenyataan dalam kehidupan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara layak. Menurut Siddiqi mengutip dari al-ghazali dan Asy-Syathibi

BAB I PENDAHULUAN. secara layak. Menurut Siddiqi mengutip dari al-ghazali dan Asy-Syathibi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya lembaga filantropi di dalam memberdayakan usaha mikro agar dapat menjadikan manusia yang produktif melalui peran penyaluran dana ZIS yang telah dikumpulkan.

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL 1 2 BAB I Memahami Ekonomi Politik Internasional A. Pendahuluan Negara dan pasar dalam perkembangannya menjadi dua komponen yang tidak terpisahkan.

Lebih terperinci

LRC. Oleh : Harun Azwari (Peneliti LRC) Latar Belakang

LRC. Oleh : Harun Azwari (Peneliti LRC) Latar Belakang Oleh : Harun Azwari (Peneliti ) Latar Belakang Ilmu hukum adalah ilmu yang mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat Center Thoriqotul Jannah (Zakat Center) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Zakat Center Thoriqotul Jannah (Zakat Center) merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat Center Thoriqotul Jannah (Zakat Center) merupakan salah satu Lembaga Amil Zakat (LAZ), yaitu suatu lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER Max Weber (1864-1920), ia dilahirkan di Jerman dan merupakan anak dari seorang penganut protestan Liberal berhaluan sayap kanan. Weber berpendidikan ekonomi, sejarah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Deddy N. Hidayat dalam penjelasan ontologi paradigma kontruktivis, realitas merupakan konstruksi

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak 53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang tercakup atas aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan dunia telah melahirkan suatu perubahan dalam semua aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak tertutup kemungkinan

Lebih terperinci

KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT Pendahuluan

KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT Pendahuluan V KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT 5.1. Pendahuluan Fenomena berzakat merupakan realitas kehidupan sehari-hari yang menyimpan dan menyediakan kenyataan, bekerjanya pengetahuan yang membimbing

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus 195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh : NANANG FEBRIANTO F. 100 020 160 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang dikenal dan diakui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data dari Badan Perencana Pembangunan (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data dari Badan Perencana Pembangunan (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Menurut data dari Badan Perencana Pembangunan (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan selama ini dipercaya sebagai salah satu aspek yang menjembatani manusia dengan cita-cita yang diharapkannya. Karena berhubungan dengan harapan,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN Paparan, analisis, dan argumentasi pada Bab-bab sebelumnya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Video game merupakan permainan modern yang kehadirannya diawali sejak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat 260 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Tinggi rendahnya transformasi struktur ekonomi masyarakat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi hasil penelitian yang telah disajikan pada Bab IV, dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi penelitian sebagai berikut: A. Kesimpulan

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economists and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti Sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada

BAB I PENDAHULUAN. seperti Sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit Umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti Sabda Nabi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.

Lebih terperinci

BAB V PENGEMBANGAN STRATEGI PENGGALANGAN DANA UNTUK PENDIDIKAN. melakukan pengembangan strategi penggalangan dana Rumah Zakat dan Lembaga

BAB V PENGEMBANGAN STRATEGI PENGGALANGAN DANA UNTUK PENDIDIKAN. melakukan pengembangan strategi penggalangan dana Rumah Zakat dan Lembaga BAB V PENGEMBANGAN STRATEGI PENGGALANGAN DANA UNTUK PENDIDIKAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab 4, peneliti mencoba melakukan pengembangan strategi penggalangan dana Rumah Zakat dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan

Lebih terperinci

DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT

DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT VI DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT 6.1. Pendahuluan Foucault ketika membahas tentang kesadaran subjek, dalam masyarakat borjuis, Foucault mengikuti Weber. Bagi Foucault, subjek dipandang

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian ini adalah usaha mikro. Lokasi penelitian terpilih adalah Kota. fakta ini tergambar dalam tabel berikut: Tabel 1.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian ini adalah usaha mikro. Lokasi penelitian terpilih adalah Kota. fakta ini tergambar dalam tabel berikut: Tabel 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan ekonomi dari masa ke masa semakin berkembang dan meningkat. Peningkatan ini dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang ada di tengah masyarakat. Salah

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 400 A. Kesimpulan BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik kepemimpinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan terpaan kapitalisme global dalam sistem dunia, hukum liberal juga semakin mendominasi kehidupan hukum dalam percaturan global. Negara-negara developmentalis,

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas 10FEB Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si Program Studi MANAJEMEN PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hlm Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim,

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hlm Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman modern ini pendidikan keluarga merupakan pendidikan informal yang berperan sangat penting membentuk kepribadian peserta didik untuk menunjang pendidikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan 344 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian tesis berjudul Konstruksi Eksistensialisme Manusia Independen dalam Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, maka

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. (Studi Kasus Pada Lembaga Amil Zakat L-ZIS Assalaam Solo)

PENDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. (Studi Kasus Pada Lembaga Amil Zakat L-ZIS Assalaam Solo) PENDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Pada Lembaga Amil Zakat L-ZIS Assalaam Solo) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT Yang saya hormati: Tanggal, 19 Juni 2008 Pukul 08.30 W IB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Zakat merupakan salah zatu dari rukun Islam, seornag mukmin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Zakat merupakan salah zatu dari rukun Islam, seornag mukmin BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Zakat merupakan salah zatu dari rukun Islam, seornag mukmin yang mampu diwajibkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya yang notabenenya adalah hak orang lain. Zakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minallah atau dimensi vertikal dan hablum minannas atau dimensi horizontal.

BAB I PENDAHULUAN. minallah atau dimensi vertikal dan hablum minannas atau dimensi horizontal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat adalah ibadah yang mengandung dua dimensi yaitu dimensi hablum minallah atau dimensi vertikal dan hablum minannas atau dimensi horizontal. Ibadah zakat

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. POLITIK HUKUM BAB I TENTANG PERSPEKTIF POLITIK HUKUM OLEH: Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. Politik Hukum Secara filosofis, berbicara hukum, berarti berbicara tentang pengaturan keadilan, serta memastikan

Lebih terperinci

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi organisasi petani yang ada

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Teori ini digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesantren dan pangajian taaruf (studi kasus eksistensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis.

Lebih terperinci

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan BAB 5 Penutup 5.1 Kesimpulan Hidup bersama membutuhkan membutuhkan modus operandi agar setiap individu di dalamnya dapat berdampingan meskipun memiliki identitas dan kepentingan berbeda. Perbedaan tidak

Lebih terperinci

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan

Lebih terperinci

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berbeda dengan konsep keadilan sosial Rawls dan Pancasila yang dijabarkan sebagai bentuk kontrak sosial antar anggota masyarakat yang secara tekstual harus dijalankan

Lebih terperinci