BAB II PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Gender dan Tri Peranan (Tripple Roles)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Gender dan Tri Peranan (Tripple Roles)"

Transkripsi

1 27 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka Pengertian Gender dan Tri Peranan (Tripple Roles) Sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2005), konsep gender -dibaca jender- dalam Kamus Oxford diartikan sebagai fakta menjadi laki-laki dan perempuan serta isu-isu yang berhubungan dengan perbedaan relasi dan peranan gender. Menurut Wood (2001), Mary Wollstonecraft diakui sebagai orang pertama (1792) yang menyatakan gender sebagai suatu karakteristik sosial. Berbeda dari konsep seks atau jenis kelamin, gender diperoleh individu melalui proses interaksi dalam dunia sosial. Banyak ahli mengemukakan bahwa gender itu dikonstruksikan, karena gender bukanlah suatu fakta alamiah, akan tetapi mengambil bentuk kongkrit yang secara historis mengubah hubungan sosial. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebagai sebuah istilah atau konsep, gender berasal dari Barat, namun sebagai suatu fakta sosial, gender merupakan fenomena yang ditemukan pada hampir semua masyarakat di dunia (Mugniesyah, 2005). Selain definisi yang telah dikemukakan di depan, pemerintah Indonesia melalui Kantor Meneg PP (2001) mengartikan gender sebagai pandangan masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Moser (1993) dalam Mugniesyah (2005) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple

2 28 roles) yang mencakup peranan produktif, reproduktif dan pengelolaan masyarakat. Adapun pengertian masing-masing sebagai berikut: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya (natura). 2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. 3. Peranan Pengelolaan Masyarakat dan Politik, dibedakan ke dalam dua kategori : a. Peranan Pengelolaan Masyarakat (Kegiatan Sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah. b.peranan Pengelolaan Politik (Kegiatan Politik), yakni peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status Pengertian dan Pembentukan Persepsi Identitas Gender Menurut Verderber (1981) dalam Mugniesyah (2000), persepsi adalah proses memberikan makna terhadap informasi yang diperoleh indera kita, atau dapat dikatakan sebagai apa yang dikerjakan otak dengan informasi yang diperolehnya. Adapun menurut Applbaum dkk (1973) dan Louisser dan Poulos (1997), persepsi mengacu pada interpretasi seseorang terhadap kenyataan

3 29 (Mugniesyah, 2000). Ahli komunikasi lain (DeVito, 1997) mendefinisikan persepsi sebagai proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Mugniesyah, para ahli memandang persepsi adalah proses yang dialami atau digunakan setiap individu untuk mencoba mengetahui dan memahami orang lain. Sandra Bem (1974) dalam Mugniesyah (2005) mengidentifikasikan identitas gender, diantaranya mencakup identitas maskulin, feminin, dan androgini. Identitas gender adalah sejumlah aspek penampilan dan perilaku personal yang secara budaya diatributkan menjadi maskulin dan feminin (Children s Health Encyclopedia, 2008). Persepsi atas gender individu dipengaruhi oleh sosialisasi identitas jenis kelamin yang dimiliki individu sejak kecil dan peran yang dimainkan orang tua sesuai dengan kebudayaannya, sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi identitas gender bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin dan sistem kekerabatan dimana keluarga dari setiap individu menjadi anggotanya (Wood, 2001 dalam Mugniesyah, 2005). Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2000) mengemukakan lima tipe/jenis bias yang mempengaruhi persepsi, dua diantaranya adalah stereotipe dan harapan. Stereotipe diartikan sebagai suatu proses penyederhanaan dan generalisasi perilaku individu-individu dari anggota kelompok tertentu (etnis, agama, suku bangsa, bangsa, jenis kelamin, gender, pekerjaan, dan lain sebagainya). Stereotipe digunakan pada saat kita sedang menilai seseorang, juga digunakan oleh individu dalam berkomunikasi dengan maksud untuk humor, perlakuan diskriminatif bahkan pelecehan, yang seluruhnya akan menghasilkan pengaruh negatif terhadap hubungan antar manusia (komunikasi interpersonal).

4 30 Adapun harapan dipandang sebagai kunci untuk mengerti penilaian negatif individu terhadap orang lain dan emosi negatif yang menyertainya (Cohen, 1981). Dalam hal ini, setiap individu mencoba untuk menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi informasi sesuai dengan harapannya Teori-teori Pembentukan Identitas Gender Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan pembentukan identitas gender pada setiap individu, diantaranya adalah teori pembelajaran sosial dan teori perkembangan kognitif. Menurut teori pembelajaran sosial, anak-anak belajar perilaku yang dihubungkan dengan orangtuanya melalui observasi dan komunikasi. Anak-anak -laki-laki dan perempuan- belajar perilaku hubungan gender (gender-related behavior) dari kontak sosial, terutama dengan orangtua mereka dan teman sebayanya. Dengan perkataan lain, peranan yang dikembangkan oleh anak laki-laki atau anak perempuan diperolehnya melalui proses belajar dari lingkungannya. Setiap individu, sejak masa anak-anak, meniru dan mengambil peran dari orang-orang yang ada di sekitarnya, mulai dari keluarga inti, keluarga besar (keluarga luas, sistem kekerabatan), hingga kemudian dalam lingkungan masyarakat dimana dia menjadi dewasa. Selanjutnya Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005) menyatakan bahwa menurut teori belajar sosial individuindividu belajar menjadi maskulin dan feminim melalui komunikasi dan observasi. Melalui proses komunikasi, orang lain mengajarkan kepada setiap individu perilaku gender yang pantas baginya. Teori perkembangan kognitif memfokuskan pada bagaimana individu-individu belajar dari interaksi dengan

5 31 orang lain untuk mendefinisikan diri mereka sendiri termasuk gender mereka. Namun demikian, berbeda dari teori pembelajaran sosial, teori ini beranggapan bahwa anak-anak memainkan peranan aktif dalam mengembangkan identitas mereka sendiri. Setiap individu juga menggunakan orang lain untuk mendefinisikan identitas gender dan konsep diri gender mereka sendiri karena mereka dimotivasi oleh keinginan internal untuk menjadi kompeten -sesuai identitas dan konsep dirinya- sesuai budayanya Pengertian dan Pembentukan Konsep Diri Peranan Gender Konsep diri merupakan kebutuhan individu untuk mendefinisikan dirinya sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang lain dimana mereka terlibat didalamnya (Johnson, 1986). Individu tidak dilahirkan dengan suatu konsep diri, karena konsep diri diperoleh individu secara bertahap dalam interaksinya dengan orang lain. Menurut Johnson (1986), pada dasarnya, konsep diri merupakan jawaban individu atas pertanyaan Siapa Aku?. Mead (1977) dalam Pearson (1985) dan Johnson (1986) menyatakan bahwa konsep diri merupakan kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung atau dalam suatu komunitas yang terorganisasi. Berdasarkan teori empati yang dikemukakan Berlo (1960), seseorang membentuk konsep diri oleh dirinya sendiri, berdasarkan observasi dan interpretasi perilaku dengan berkomunikasi dengan orang lain. Terkait dengan konsep diri peranan gender, Mead dalam Johnson (1986) membedakan tiga fase dalam suatu proses dimana individu belajar mengambil perspektif orang lain dan melihat dirinya sebagai objek yang meliputi:

6 32 1. Tahap bermain, yaitu tahap dimana anak-anak memainkan peran sosial dari orang lain. 2. Tahap pertandingan (games), yaitu tahap dimana anak-anak mampu menjalankan peran dari beberapa orang lain secara serentak dan mengorganisasinya dalam suatu keseluruhan yang lebih besar. Pada tahap ini, konsep diri individu terdiri dari kesadaran subjektif individu terhadap peranan khusus dalam kegiatan bersama itu, termasuk persepsi-persepsi mengenai harapan dan respon dari orang lain. 3. Tahap dimana anak-anak mengambil peran dari apa yang disebut generalized other, anak-anak mampu mengontrol dirinya sendiri menurut peran-peran umum yang bersifat impersonal. Generalized other terdiri dari harapan-harapan dan standar-standar umum yang dipertentangkan dengan harapan-harapan individu secara khusus, menurut harapan-harapan umum ini individu merencanakan dan melaksanakan berbagai tindakan. Melalui tahapan-tahapan tersebut, anak-anak belajar mengenai melihat dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai dan harapan-harapan dari masyarakat Konsep Psikologi Androgini Sandra Bem (1974) mempopulerkan suatu konsep psychology androginy yang beranggapan bahwa seseorang dapat mengombinasikan atau melumatkan kedua identitas psikologis yang maskulin dan feminin. Menurut Bem, sebagaimana dikutip Mugniesyah (2005), terminologi androgini berasal dari bahasa Yunani, yaitu andros yang berarti laki-laki dan gyne berarti perempuan. Istilah androgini digunakan untuk merepresentasikan seseorang yang mempunyai sifat-sifat asertif, mandiri serta juga memiliki sifat hangat dan lemah-lembut.

7 33 Selanjutnya Bem menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas tidak menggambarkan suatu konstruk yang bipolar, akan tetapi membangun konstruk yang memungkinkan seseorang bisa menunjukkan/menampilkan karakteristik yang secara stereotipe bersifat maskulin maupun feminin. Terdapat 3 asumsi yang mendasari Teori Androgini Bem, yaitu : (1) Androgini memungkinkan seseorang untuk berperilaku lebih fleksibel (2) Fleksibilitas tersebut memungkinkan seseorang dapat beradaptasi lebih baik dalam beragam situasi sosial, dan (3) Keduanya, baik laki-laki maupun perempuan dapat mencapai fleksibilitas situasional tersebut. Selanjutnya Bem mengidentifikasi adanya empat orientasi psikologis individu, tiga diantaranya yang dominan berada pada psikologis seseorang : (a) Androgynous, berarti seseorang berasosiasi tinggi dengan kedua karakteristik stereotipe, maskulin dan feminin, seperti seseorang yang mempunyai kepemimpinan tinggi tapi dia juga sensitif terhadap kebutuhan orang lain. (b) Masculine, seseorang berasosiasi tinggi dengan karakteristik stereotipe maskulin dan berasosiasi rendah dengan karakteristik stereoripe feminin; seperti orang yang mempunyai kepribadian tinggi dan tidak memiliki sifat iba atau kasihan pada orang lain. (c) Feminine, berarti seseorang berasosiasi tinggi dengan karakteristik stereotipe feminin dan berasosiasi rendah dengan karakteristik stereoripe maskulin; seperti seseorang yang sangat penolong tapi tidak mandiri. Bem juga mengemukakan bahwa konsep androgini menawarkan suatu orientasi hidup yang lebih sehat dibandingkan dengan orientasi gender yang

8 34 terpolarisasi secara tradisional, karena individu yang androgini mempunyai karakteristik yang lebih luas, dan karenanya dapat beradaptasi lebih efektif terhadap lebih banyak situasi Pelaku Sosialisasi Gender (Significant Others) Sebagaimana dikemukakan di depan, terdapat sejumlah aktor atau agen sosialisasi yang mendukung konstruksi sosial budaya gender dalam masyarakat. Di bawah ini dikemukakan secara rinci masing-masing agen sosialisasi tersebut : 1. Keluarga / Rumahtangga Keluarga dianggap sebagai arena relasi gender yang utama dan dalam keluarga pula sejak masa kanak-kanak, individu disosialisasikan kepada berbagai konsep yang menunjuk pada betapa kuat dan berkuasanya laki-laki dibanding perempuan. Keluarga merupakan agen sosialisasi utama yang mempengaruhi identitas gender individu. Anak-anak belajar peran gender yang diperoleh dari beragam perilaku dan melalui pengamatan serta pemodelan lainnya. Secara tipikal, anak perempuan didorong untuk memperkuat kerjasama, tolongmenolong, pengasuhan dan perilaku-perilaku lain yang konsisten dengan makna sosial kefemininan. Pada anak laki-laki, cenderung didorong untuk berperilaku secara kompetitif, mandiri, dan asertif. Orang tua mengkomunikasikan gender melalui permainan yang diberikan kepada anak-anak. Pada saat menginjak umur enam tahun, sosialisasi ketenagakerjaan dimulai. Anak perempuan membantu ibunya dalam peran reproduktif, sedangkan anak laki-laki pada peranan produktif dan kemasyarakatan. Cara lain dalam mengkomunikasikan gender adalah melalui pemodelan orangtua, tetapi cara ini sangat bergantung dengan struktur keluarga

9 35 yang ada, apakah keberadaan orang tua lengkap, single parent perempuan atau laki-laki atau individu berada di lingkungan lain seperti panti asuhan (Mugniesyah, 2005). 2. Sekolah Sekolah memainkan peran yang memperkuat apa yang sudah diperoleh dari lingkungan keluarga. Di sekolah terjadi sosialisasi yang bias gender yang memandang bahwa mata ajaran ilmu-ilmu dasar hanya pantas untuk laki-laki (mata ajaran maskulin) sebaliknya ilmu-ilmu sosial termasuk bahasa dianggap pantas untuk perempuan (mata ajaran feminin). Buku-buku pelajaran sekolah dasar memuat pembagian peran yang memuat stereotipe pria dan wanita. Sekolah mempunyai kontribusi besar dalam proses pengenderan individuindividu, mulai dari kelompok bermain (playgroup) atau Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Komunikasi dalam kelembagaan pendidikan mereproduksi pandangan-pandangan budaya mengenai perempuan sebagai subordinat, pasif, berbeda, dan kurang berprestasi, sedangkan laki-laki dominan, bebas, dan berprestasi. Proses komunikasi yang terjadi di sekolah menyebabkan menguatnya stereotipe gender dalam pendidikan merupakan suatu proses yang tidak disadari oleh kebanyakan pendidik. Terdapat kurikulum tersembunyi yang memperkuat atau mengekalkan konsepsi seksisme -tentang perempuan dan laki-laki- mencakup organisasi kelembagaan, materi bahan ajar dan gaya mengajar yang merefleksikan stereotipe gender dan berpengaruh dalam melestarikan ketidakadilan gender (Wood dalam Mugniesyah, 2005). Wood mengemukakan bahwa sistem pendidikan (kurikulum tersembunyi) telah menjadikan siswa perempuan kurang mampu menemukan

10 36 potensi dirinya daripada laki-laki. Guru/dosen cenderung melanjutkan sosialisasi stereotipe gender dalam kurikulum sekolah/perguruan tinggi. 3. Grup sebaya (Peer group) Pada tingkat masyarakat, kelompok sebaya turut berperan melembagakan perilaku gender. Hasil observasi menunjukkan bahwa stereotipe gender yang dihubungkan dengan komunikasi persahabatan antara laki-laki dan perempuan relatif konsisten. Perempuan dipandang relatif lebih terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang cenderung fasilitatif dan ekspresif, sebaliknya laki-laki kurang terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang mengontrol dan instrumental. Teman sebaya merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembentukan perilaku individu sesuai dengan jenis kelamin. Ketika anak perempuan dan anak laki-laki mulai bermain dan membentuk persahabatan dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, dimulailah pembelajaran tentang jenis kelamin dan tingkah laku tertentu yang berlaku dan diharapkan oleh kelompoknya. Menurut Rawlins (1992), dalam persahabatan antara perempuan dan laki-laki, terdapat harapan-harapan budaya tentang maskulin dan feminin yang sangat menonjol. Kebanyakan perempuan dan laki-laki berlanjut memelihara peranan-peranan gender tradisional mereka terutama berhubungan dengan gaya komunikasi antara keduanya, perempuan relatif lebih terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang cenderung fasilitatif dan ekspresif, sedangkan laki-laki kurang terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang cenderung mengontrol dan instrumental (Mugniesyah, 2005).

11 37 4. Organisasi Jumlah pemimpin dan politisi perempuan lebih rendah dibanding pria. Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif sangat rendah. Menurut Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005), karena laki-laki mendominasi kehidupan kelembagaan maka bentukbentuk maskulin dalam berkomunikasi merupakan standar atau baku dalam kebanyakan lingkungan kerja. Tempat kerja mempunyai pengaruh tergantung dari pandangan manajer di tempat individu bekerja. Pekerjaan dapat membuat individu lebih aktif, fleksibel, terbuka dan demokratis, jika manajer mempunyai pandang yang modern. Jika perempuan memiliki status yang lebih rendah daripada lakilaki dalam pekerjaan, hal ini lebih disebabkan karena kurangnya kesempatan, akibat pandangan manajer yang tradisional. 5. Media massa Media massa, baik radio, surat kabar, dan televisi gencar mempromosikan acara dan iklan yang memperkuat idiologi gender. Sebagai contoh, iklan reproduktif selalu mengambil model perempuan dan sebaliknya peran produktif dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, iklan sering menggambarkan bahwa wanita selalu menjadi objek seksual laki-laki. Stewart dkk (1996) dan Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005) sependapat bahwa media massa mengkomunikasikan imej/citra gender, yang banyak diantaranya justru mengekalkan persepsi stereotipe dan terbatas pada citra perempuan yang tidak realistik. Secara umum, media merepresentasikan stereotipe laki-laki dan perempuan yang membatasi persepsi individu. Media memperkuat stereotipe maskulinitas laki-laki dengan menampilkan laki-laki

12 38 sebagai sosok yang kuat, aktif, petualang, agresif secara seksual, dan kurang terlibat dalam hubungan atau urusan kemanusiaan. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai objek seksual yang selalu tampil muda, ramping, jelita, cantik, pasif, tergantung/tidak mandiri, dan sering kali tidak kompeten dan bodoh Pengertian dan Teori-teori Sistem Kekerabatan Kekerabatan mengacu pada hubungan diantara orang tua dan anak, baik anak perempuan maupun laki-laki, dan pada jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk dari hubungan orang tua dan anak tersebut (Keesing, 1975 dalam Tampubolon, 1985). Menurut Djojodigoeno 4 (1959) sistem kekerabatan dapat ditelaah dari segi batas lingkungan pergaulan yang dilacak secara parental (hubungan baik melalui bapak atau ibu), dan adat menetap dari individu-individu anggota kerabat setelah perkawinan (bilokal, patrilokal, matrilokal, dan sebagainya) yang berkaitan dengan usaha untuk memelihara kelangsungan hak dan kewajiban tertentu pada suatu golongan kerabat terbatas (adat penggantian kedudukan/status dalam golongan itu, adat waris, dan lain sebagainya). Sependapat dengan Djojodigoeno, Koentjaraningrat (1981) menyatakan bahwa sistem kekerabatan terbentuk berdasar perkawinan dan garis keturunan. Selanjutnya, Koentjaraningrat membedakan sistem kekerabatan menurut garis keturunan ke dalam empat tipe, yaitu: patrilineal, matrilineal, bilineal, dan bilateral. Sistem kekerabatan patrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, oleh karena itu mengakibatkan kaum kerabat ayah masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibu berada di 4 Djojodigoeno. Sistem Kekerabatan. Dalam Bagian Sosiologi Pedesaan. Jilid 2.

13 39 luar batas tersebut. Sebaliknya, sistem matrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui perempuan saja, sehingga kaum kerabat ibu masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ayah berada di luar batas tersebut. Sistem kekerabatan bilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan melalui perempuan saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain. Sebaliknya, sistem kekerabatan bilateral menghitung hubungan-hubungan kekerabatan melalui lakilaki maupun perempuan. Levy (1949) 5 menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan ketika menelaah sistem kekerabatan, diantaranya adalah : 1. Diferensiasi peranan, yaitu cara mendudukan anggota-anggota kerabat pada berbagai posisi dalam sistem kekerabatan menurut fungsinya masingmasing atas pertimbangan perbedaan umur, jenis kelamin, generasi, posisi ekonomi, dan pembagian kekuasaan. 2. Alokasi atau penempatan fungsi solidaritas, yaitu perbedaan tingkat solidaritas yang didudukan dalam berbagai hubungan antara anggotaanggota kerabat menurut makna dan kuatnya hubungan tersebut dan daya tarik timbal-balik serta sampai berapa dalam orang terlibat didalamnya. 3. Alokasi kekuasaan/kewibawaan dengan memberi kekuasaan dan tanggung jawab kepada tokoh-tokoh tertentu untuk mengontrol tindakan anggotaanggotanya. Menurut Jenkins (1997) dalam Harmita (2006), etnisitas memiliki karakteristik yang mencakup: (1) diferensiasi kultural, (2) berkaitan dengan 5 M.J. Levy. The Family Revolution of Modern China. Dalam Materi Kuliah Sosiologi Keluarga.

14 40 budaya -berbagai pemaknaan- yang berakar dari dan merupakan hasil interaksi sosial, (3) merupakan budaya dengan komponen atau situasi yang diproduksi dan direproduksi, (4) Etnisitas mencakup tindakan kolektif dalam interaksi sosial dan individu. Berikut pemaparan contoh kelompok etnis dengan tipe sistem kekerabatannya. Masyarakat Batak tergolong sistem kekerabatan patrilineal, dimana prinsip keturunannya disebut marga (Toba) atau merga (Karo). Dalam hal perjodohan, berlaku exogami, dimana perjodohan menjadi suatu unsur dalam perhubungan satu marga dan marga lainnya. Ketunggalan silsilah dan marga atau merga yang patrilineal berarti ketunggalan laki-laki terhadap perempuan, dimana istri akan berpindah ke dalam marga suami dan anak-anak menjadi anggota marga bapak, dan laki-laki berkuasa dan mendominasi (Djojodigoeno, 1959). Masyarakat Minangkabau merupakan contoh sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Dalam masyarakat ini perempuan berfungsi sebagai penerus keturunan, baik dalam paruik (satu perut) maupun suku, karena anak akan mewarisi suku ibunya. Perempuan menjadi inti keluarga, dan dianggap sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (tiang keluarga dan sebagai pendidik anak-anak) yang merupakan lambang penerus keturunan (Rasjid Manggis, 1971 dalam Tampubolon 1985). Dalam sistem hak waris, harta keluarga berbentuk tanah/sawah dan rumah tetap berada dalam lingkungan garis keturunan ibu secara turun menurun; sementara suami (urang sumado) tidak mempunyai otoritas di rumah gadang isterinya, tetapi ia berkuasa di rumah gadang milik saudara perempuannya. Dalam masyarakat ini, perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan mamaknya atau

15 41 antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayah (Tampubolon, 1985). Masyarakat Jawa dan Sunda tergolong sistem kekerabatan bilateral. Djojodigoeno (1959) menjelaskan bahwa pada masyarakat bilateral, status suami dan istri sama dan masing-masing dapat bertindak. Kekuasaan atas anak dan harta diurus dan dikelola bersama-sama sesuai dengan kesepakatan. Dalam sistem pewarisannya, anak-anak -laki-laki dan perempuan- menerima waris dari ayah dan ibu serta dari kerabat bapak dan kerabat ibu, bahkan suami-istri saling warismewaris. Pada masyarakat Jawa dan Sunda juga terdapat solidaritas yang kuat dan luas pada kerabat inti. Dalam kebudayaan Jawa, sebagai kelanjutan dari perkawinan terbentuk beberapa macam kelompok-kelompok kekerabatan, seperti keluarga batih dan keluarga luas, sanak-sadulur, dan alurwaris. Tidak berbeda jauh dengan masyarakat Jawa, masyarakat Sunda juga mempunyai beberapa istilah dalam jaringan hubungan kekerabatan, yaitu kulawarga (keluarga), warga, dulur (saudara), baraya (saudara), saderek (saudara), kulawedet, bondoroyot, golongan (Ekadjati, 1995) Kerangka Pemikiran Penelitian berjudul Persepsi Identitas dan Konsep Diri Tentang Peranan Gender di kalangan Mahasiswa TPB IPB ini mengacu pada hasil sintesis beragam konsep dan teori yang telah dikemukakan di depan. Dengan mengacu pada pengertian, teori persepsi dan teori pembentukan identitas gender, serta konsep Sandra Bem, persepsi identitas gender mahasiswa TPB diukur dengan variabel Kategori Psikologi Androgini (Y1). Selain itu, dalam konteks pendidikan tinggi,

16 42 dimana ada gender dalam konteks bidang-bidang ilmu, persepsi identitas gender tersebut juga diukur melalui variabel Persepsi Mahasiswa TPB IPB tentang domain program-program studi di lingkungan IPB (Y2). Dalam penelitian ini, identitas gender itu melekat pada diri individu mahasiswa TPB dianggap akan digunakan oleh individu mahasiswa tersebut dalam berkomunikasi interpersonal untuk mengembangkan konsep dirinya, khususnya berkenaan peranan gender mereka. Selanjutnya, konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB tersebut akan diukur dengan peranan dan relasi gender yang dikembangkan mahasiswa dalam konteks tri peranan (triple roles) yang dikemukakan Moser (1993). Terdapat lima variabel yang diukur, yaitu variabelvariabel Konsep Diri Dalam Peranan Reproduktif (Y3), Konsep Diri Dalam Peranan Produktif (Y4), Konsep Diri Dalam Peranan Berorganisasi (Y5), Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Reproduktif (Y7), Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Produktif dan Pola Relasi Kekuasaan dalam Kegiatan Berorganisasi (Y8). Dalam penelitian ini, semua variabel yang mengukur persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender tersebut merupakan variabelvariabel tidak bebas (dependent variables). Mengacu pada teori perkembangan kognitif dari Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005), setiap individu mahasiswa TPB dipandang aktif mengembangkan persepsi identitas gendernya sejalan dengan perkembangan kognitif mereka sejak kanak-kanak hingga menjadi dewasa dan menjadi mahasiswa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, karakteristik individu mahasiswa TPB IPB diduga mempengaruhi variabel-varibel tidak bebas di atas. Lebih lanjut, mengingat persepsi atas identitas gender individu dipengaruhi oleh

17 43 sosialisasi berkenan identitas jenis kelamin dan peran yang dimainkan orang tua sesuai dengan kebudayaannya, maka karakteristik individu yang diduga mempengaruhi identitas dan konsep peranan gender adalah variabel-variabel Orientasi Jenis Kelamin (X1) dan Suku Bangsa (X2) dari mahasiswa TPB IPB. Selanjutnya, mengacu pada pendapat Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2000), variabel-variabel persepsi identitas gender juga dipengaruhi oleh stereotipe, pengalaman, harapan individu atas identitas gender mereka. Oleh karena itu, variabel-variabel tidak bebas tersebut di atas diduga dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terdiri atas: Stereotipe Gender (X3), Keragaman Lingkungan Pergaulan Menurut Etnik (X4), dan Preferensi Teman Menurut Jenis Kelamin (X5). Adapun persepsi identitas gender terhadap domain program studi, diduga dipengaruhi oleh variabel Motivasi Mahasiswa dalam memilih program studi Mayor-Minor di IPB (X6). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya gender merupakan hasil konstrusi sosial budaya, yang diperoleh individu melalui proses sosialisasi. Mengacu pada pendapat para ahli, dalam penelitian ini keluarga dan sistem kekerabatan merupakan agen sosialisasi atau significant others yang dipandang dominan mempengaruhi persepsi dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPP IPB, Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini variabel-variabel pada keluarga dan sistem kekerabatan yang diduga berpengaruh adalah Tingkat Pendidikan Orangtua (X7), Tipe Sistem Kekerabatan (X8), Status Bekerja Orangtua (X9), Status Perkawinan (X10), Pola Sub-Struktur dalam Keluarga (X11), Tokoh Dominan Dalam Keluarga (X12) dan Pola Pembagian Kerja (X13), serta Spesifikasi Jenis Permainan (X14).

18 44 Selain orang tua, lembaga pendidikan mempunyai kontribusi dalam pembentukan identitas dan konsep diri gender. Secara umum Lembaga pendidikan mereproduksi dan mengekalkan pandangan-pandangan budaya mengenai perempuan sebagai subordinat, pasif, berbeda, dan kurang berprestasi, sedangkan laki-laki dominan, bebas, dan berprestasi; serta cenderung mengekalkan ketimpangan gender, khususnya dalam menduduki posisi pemimpin dalam organisasi. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini variabel-variabel pada lembaga pendidikan yang diduga berpengaruh adalah: Tokoh Dominan di Sekolah TK-SMU (X15), Gaya kepemimpinan Guru Laki-Laki (X16), dan Gaya Kepemimpinan Guru Perempuan (X17). Dengan mempertimbangkan bahwa setiap individu mahasiswa TPB IPB juga menjadi anggota dari beragam kelompok/organisasi sosial. Sehubungan dengan itu, variabel-variabel bebas dari karakteristik organisasi yang diduga berpengaruh terhadap persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender adalah Tokoh Dominan dalam Organisasi (X18), Gaya Kepemimpinan Tokoh Laki-laki dalam Organisasi (X19), dan Gaya Kepemimpinan Tokoh Perempuan dalam Organisasi (X20). Lebih lanjut, dengan mempertimbangkan bahwa media massa juga berperan sebagai agen sosialisasi gender, dalam penelitian ini variabel Penilaian Muatan Nilai Gender dalam Media Massa (X21) juga diduga berpengaruh terhadap persepsi identitas gender dan konsep diri gender. Berdasar pada penjelasan tersebut di atas, hubungan antar variabel-variabel bebas dengan tidak bebas dalam penelitian ini dituangkan ke dalam suatu diagram sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.

19 45 Gambar 1. Diagram Hubungan Antara Variabel Bebas dengan Variabel Tidak Bebas dalam Penelitian Karakteristik Individu X1. Jenis Kelamin X2. Suku Bangsa X3. Stereotipe Gender X4. Keragaman Lingkungan Pergaulan Menurut Etnik X5. Preferensi Teman Menurut Jenis Kelamin X6. Motivasi Karakteristik Keluarga X7. Tingkat Pendidikan Orang Tua X8. Tipe Sistem Kekerabatan X9. Status Bekerja Orang Tua X10. Status Perkawinan X11. Pola Sub-struktur Dalam Keluarga X12. Tokoh Dominan Dalam Keluarga X13. Pola Pembagian Kerja X14. Spesifikasi Jenis Permainan Persepsi Identitas Gender Y1. Kategori Psikologi Androgini Y2. Persepsi Mahasiswa TPB IPB Tentang Domain Program Studi Mayor-Minor IPB Konsep Diri Tentang Peranan Gender Y3. Peranan Dalam Kegiatan Reproduktif Y4. Peranan Dan Kegiatan Produktif Y5. Peranan Dan Kegiatan Berorganisasi Y6. Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Reproduktif Y7. Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Produktif Y8. Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Berorganisasi Peranan Media Massa X21. Penilaian Muatan Gender Dalam Media Massa Karakteristik Organisasi X18. Tokoh Dominan Dalam Organisasi X19. Gaya Kepemimpinan Tokoh Laki-laki Dalam Organisasi X20. Gaya Kepemimpinan Tokoh Perempuan Dalam Organisasi Karakteristik Lembaga Pendidikan X15. Tokoh Dominan di Sekolah TK-SMU X16. Gaya Kepemimpinan Guru Lakilaki X17. Gaya Kepemimpinan Guru Perempuan

20 Hipotesa Penelitian 1) Karakteristik individu berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB. 2) Karakteristik Keluarga berhubungan positif dengan pembentukan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB. 3) Karakteristik lembaga pendidikan berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB. 4) Karakteristik organisasi berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan dan relasi gender mahasiswa TPB IPB. 5) Media massa berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB. 2.9 Definisi Operasional Definisi operasional variabel-variabel pada penelitian ini sebagai berikut : 1) Kategori psikologi androgini (Y1) adalah preferensi sifat-sifat psikologi gender di kalangan mahasiswa, yang dibedakan ke dalam tiga kategori: maskulin, feminin, dan androgini berdasar hasil pengukuran skor Bem dengan menggunakan rumus tes androgini menurut Bem, dimana : sifat maskulin-sifat feminin= skor Bem Berdasarkan hasil skor Bem yang diperoleh mahasiswa, identitas gender mahasiswa dibedakan ke dalam (1) feminin, jika nilai skor Bem -20, (2) androgini, jika skornya antara -9 sampai dengan +9, dan (3) maskulin jika mencapai skor Bem +20.

21 47 2) Persepsi Mahasiswa TPB IPB tentang domain program studi di IPB (Y2) adalah preferensi mahasiswa TPB IPB dalam menentukan kepantasan mahasiswa untuk memasuki program studi di lingkungan menurut jenis kelaminnya; dibedakan ke dalam tiga kategori dengan memodifikasi konsep Bem : (1) maskulin, jika mahasiswa cenderung menilai program studi tertentu sebagai lebih pantas bagi laki-laki dari pada perempuan, (2) feminin, jika mahasiswa cenderung menilai program studi tertentu sebagai lebih pantas bagi perempuan dari pada laki-laki, dan (3) androgini, jika mahasiswa cenderung menilai program studi tertentu sebagai pantas bagi perempuan dan laki-laki. 3) Peranan dalam kegiatan reproduktif (Y3) adalah aktivitas yang dikerjakan individu laki-laki dan perempuan dalam domain domestik (kegiatan rumahtangga), dengan pemberian skor satu untuk setiap aktivitas; dibedakan ke dalam tiga kategori : (a) rendah, untuk total skor 1-8; (b) sedang jika skor 9-17, (c) tinggi, untuk total skor ) Peranan dalam kegiatan produktif (Y4) adalah aktivitas yang dikerjakan mahasiswa (laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan-kegitan di sektor publik yang menghasilkan pendapatan (upah/bayaran), dengan pemberian skor satu untuk setiap aktivitas; dibedakan ke dalam tiga kategori : (a) rendah, untuk total skor 1-5; (b) sedang jika skor 6-10, (c) tinggi, untuk total skor ) Peranan dalam kegiatan berorganisasi (Y5) adalah aktivitas yang dikerjakan mahasiswa (laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan-kegitan organisasi dan kelembagan masyarakat, dengan pemberian skor satu untuk setiap aktivitas;

22 48 dibedakan ke dalam tiga kategori : (a) rendah, untuk total skor 1-15, (b) sedang jika skor 16-30, (c) tinggi, untuk total skor ) Pola relasi kekuasaan dalam kegiatan reproduktif (Y6) adalah kewenangan yang dimiliki anggota keluarga mahasiswa TPB IPB, laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan yang menentukan partisipasi individu mahasiswa dalam melakukan kegiatan domestik; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah jika hanya melibatkan tokoh laki-laki atau perempuan saja, (b) sedang, jika melibatkan tokoh laki-laki dan perempuan, namun ada dominasi dari salah satunya, dan (c) tinggi, jika melibatkan laki-laki dan perempuan secara setara. 7) Pola relasi kekuasaan dalam kegiatan produktif (Y7) adalah pengambilan keputusan dominan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga untuk menentukan/mengikuti kegiatan yang menghasilkan upah/bayaran; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah jika hanya melibatkan tokoh laki-laki atau perempuan saja, (b) sedang, jika melibatkan tokoh laki-laki dan perempuan, namun ada dominasi dari salah satunya, dan (c) tinggi, jika melibatkan lakilaki dan perempuan secara setara. 8) Pola relasi dalam kegiatan berorganisasi (Y8) adalah pengambilan keputusan dominan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga untuk menentukan/mengikuti/menjadi bagian dari kelembagaan masyarakat; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah jika hanya melibatkan tokoh laki-laki atau perempuan saja, (b) sedang, jika melibatkan tokoh laki-laki dan perempuan, namun ada dominasi dari salah satunya, dan (c) tinggi, jika melibatkan laki-laki dan perempuan secara setara

23 49 9) Jenis kelamin (X1) adalah karakteristik biologis individu berdasar genital eksternal, yang dibedakan ke dalam (a) laki-laki dan (b) perempuan. 10) Suku bangsa (X2) adalah preferensi etnik mahasiswa TPB IPB yang diwarisi dari etnik dari salah satu atau kedua orangtuanya, dibedakan ke dalam kategori: Batak, Minangkabau, Jawa, Sunda, Tionghoa, dan etnik lainnya. 11) Stereotipe gender (X3) adalah generalisasi yang dilakukan mahasiswa TPB IPB dalam menilai karakteristik identitas gender individu dengan kategori etnik yang berbeda dari mereka dan dibedakan ke dalam: feminin, maskulin dan androgini. 12) Keragaman lingkungan pergaulan menurut etnik (X4) adalah preferensi individu mahasiswa dalam memilih teman bergaul interaksi dengan individu lain di luar etniknya sendiri. Pengukuran terlihat dari nilai skor tertinggi yang diperoleh dari kumulatif jawaban responden mengenai sifat yang diangap khas yang dimiliki oleh suatu etnis tertentu. 13) Preferensi teman menurut jenis kelamin (X5) adalah kecenderungan yang dilakukan mahasiswa TPB IP dalam memilih individu lain, baik laki-laki dan/atau perempuan sebagai sahabat dan tempat berbagi perasaan; dibedakan kedalam tiga kategori (a) tinggi, jika responden bermain dengan teman sesama jenis, (b) rendah jika responden bermain dengan teman berbeda jenis dan bermain dengan kedua jenis kelamin. 14) Motivasi (X6) adalah alasan yang melatarbelakangi responden memilih program studi mayor-minor di IPB.

24 50 15) Tingkat pendidikan orang tua (X7) adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh kedua orang tua responden; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, SD/setara), (b) sedang (SLTP/setara, SMU/setara), dan (c) tinggi (Diploma, dan Sarjana). 16) Tipe sistem kekerabatan (X8) mengacu pada kategori hubungan baik secara parental (suami-isteri), hubungan orang tua dan anak, dan hubungan saudara yang menghubungkan darah mereka; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) patrilineal, (b) matrilineal, dan (c) bilateral. 17) Status bekerja orang tua (X9) adalah kondisi bekerja yang dilakukan ayah dan atau ibu yang dikategorikan menjadi (a) rendah, jika baik ayah maupun ibu tidak bekerja, (b) sedang, jika diantara ayah atau ibu saja yang bekerja tetapi dominan salah satunya, dan (c) tinggi, jika baik ayah maupun ibu, keduanya bekerja. 18) Status perkawinan orang tua (X10) adalah kondisi individu dalam perkawinan yang dilihat dari bentuk dan pengalaman perkawinannya. Bentuk perkawinan, dibedakan menjadi monogami dan poligami, sedangkan pengalaman perkawinan dikategorikan menjadi 4 kategori : (a) bercerai, (b) tidak cerai, (c) single parent perempuan, dan (d) single parent laki-laki. 19) Pola sub-struktur dalam keluarga (X11) mengacu pada tipe keluarga dimana individu dominan dibesarkan pada kategori (a) keluarga inti, (b) keluarga inti dan kakek-nenek, dan (c) keluarga inti dan kerabat dari pihak orang tua. Keberadaan saudara kandung, dikategorikan menjadi (a) hanya laki-laki saja, (b) hanya perempuan saja, (c) terdapat saudara dari kedua jenis kelamin, dan (d) anak tunggal.

25 51 20) Tokoh dominan dalam keluarga (X12) adalah aktor agen sosialisasi dalam dalam lingkungan keluarga menurut jenis kelaminnya, dikategorikan ke dalam (a) dominan laki-laki, (b) dominan perempuan, dan (c) dominan laki-laki dan perempuan keduanya. 21) Pola pembagian kerja (X13) adalah aktivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga, terdiri dari pekerjaan domestik, produktif, organisasi, dan kursus yang dikategorikan menjadi : (a) tinggi, jika pekerjaan domestik, produktif, organisasi dilakukan oleh laki-laki dan perempuan setara, (b) sedang jika lakilaki dan perempuan tetapi salah satu diantaranya dominan, dan (c) rendah jika laki-laki dan perempuan saja yang melakukan. 22) Spesifikasi jenis permainan (X14) adalah pengalaman responden dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang meliputi kegiatan bermain, kelompok belajar, dan kegiatan olahraga. Pengukuran spesifikasi jenis permainan menjadi : (a) tinggi, jika responden melakukan <4 aktivitas pada masingmasing kategori, (b) sedang jika responden melakukan 4-8 aktivitas pada masing-masing kategori, dan (c) rendah jika responden hanya melakukan >8 aktivitas. 23) Tokoh dominan di sekolah SD-SMU (X15) adalah individu antara perempuan dan laki-laki yang menduduki posisi/jabatan tertentu di sekolah yang menjadi favorit dan mempengaruhi responden, dikategorikan menjadi (a) dominasi laki-laki dan (b) dominasi perempuan. 24) Gaya kepemimpinan guru laki-laki (X16) adalah peranan guru laki-laki dalam mempengaruhi perilaku responden. Pengukuran dikategorikan menjadi (a)

26 52 gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas. 25) Gaya kepemimpinan guru perempuan (X17) adalah peranan guru perempuan dalam mempengaruhi perilaku responden. Pengukuran dikategorikan menjadi (a) gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas. 26) Tokoh dominan dalam organisasi (X18) adalah individu antara perempuan dan laki-laki yang menduduki posisi/jabatan tertentu dalam organisasi, dikategorikan menjadi (a) dominasi laki-laki, (b) dominasi perempuan. 27) Gaya kepemimpinan tokoh laki-laki dalam organisasi (X19) adalah peranan tokoh laki-laki dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam suatu organisasi, dikatgorika menjadi (a) gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas. 28) Gaya kepemimpinan tokoh perempuan dalam organisasi (X20) adalah kecenderungan perilaku tokoh perempuan dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam suatu organisasi. Pengukuran dikategorikan menjadi (a) gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas. 29) Penilaian muatan nilai gender dalam media massa (X21) dikategorikan menjadi (a) menyukai acara yang mengandung nilai maskulin saja, (b) menyukai acara yang mengandung nilai feminin saja, (c) menyukai acara yang mengandung nilai gender, maskulin dan feminin.

BAB V PROFIL GENDER DAN AGEN SOSIALISASI MAHASISWA TPB TAHUN AJARAN 2007/2008. Komposisi mahasiswa TPB IPB menurut jenis kelamin disajikan pada

BAB V PROFIL GENDER DAN AGEN SOSIALISASI MAHASISWA TPB TAHUN AJARAN 2007/2008. Komposisi mahasiswa TPB IPB menurut jenis kelamin disajikan pada 68 BAB V PROFIL GENDER DAN AGEN SOSIALISASI MAHASISWA TPB TAHUN AJARAN 2007/2008 5.1 Karakteristik Individu 5.1.1 Jenis Kelamin Komposisi mahasiswa TPB IPB menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 7.

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN AGEN SOSIALISASI YANG MEMPENGARUHINYA

BAB VI PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN AGEN SOSIALISASI YANG MEMPENGARUHINYA 82 BAB VI PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN AGEN SOSIALISASI YANG MEMPENGARUHINYA 6.1 Identitas Gender Mahasiswa Sub-bab ini bertujuan menjawab salah satu tujuan penelitian, yaitu untuk mengidentifikasi identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia. Hal

Lebih terperinci

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN KONSEP DIRI TENTANG PERANAN GENDER (Kasus Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2007/2008) Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A 14204030 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gender Gender adalah kodrat perempuan yang secara perlahan-lahan tersosialisaiskan secara evolusional dan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin merupakan konsep

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga 7 Definisi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian BAB 6 PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian terhadap hipotesis yang telah diajukan. Penjelasan secara diskripsi tentang hasil pnelitian ini menekankan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan bahwa dalam kerangka pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel kabapaan. Stelsel kebapaan ini yang dianut masyarakat Karo ini dapat dilihat dari kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu keturunan ditarik dari ayahnya. Dilihat dari marga yang dipakai oleh orang batak yang diambil dari

Lebih terperinci

SELF & GENDER. Diana Septi Purnama.

SELF & GENDER. Diana Septi Purnama. SELF & GENDER Diana Septi Purnama Email: dianaseptipurnama@uny.ac.id www.uny.ac.id KONSEP DIRI Penghayatan individu terhadap identitasnya, sekumpulan keyakinan mengenai dirinya sebagai seorang individu

Lebih terperinci

PERSEPSI REMAJA TERHADAP PEMBAGIAN PERAN GENDER DALAM KELUARGA

PERSEPSI REMAJA TERHADAP PEMBAGIAN PERAN GENDER DALAM KELUARGA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PEMBAGIAN PERAN GENDER DALAM KELUARGA (Kasus: Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Kota Bogor) RIZQI SUCI LESTARI A14204039 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ). BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI 2.1. Masyarakat Agraris Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat

Lebih terperinci

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu penyelenggara pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mengasah keterampilan para siswa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar 8.2 Pengertian Keluarga

BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar  8.2 Pengertian Keluarga BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat dan merupakan gejala yang universal. Dewasa ini, lembaga keluarga banyak mengalami perubahan baik dalam struktur maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan menurut Sumner dan Keller

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan menurut Sumner dan Keller BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Keluarga Keluarga adalah ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antar suami istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan menurut Sumner dan Keller merumuskan keluarga

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan manusia mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Contohnya, perubahan kebudayaan, adat istiadat, peradaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender

Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender 1 Tujuan belajar 1. Memahami arti stereotip dan stereotip gender 2. Mengidentifikasi karakter utama stereotip gender 3. Mengakui stereotip gender dalam media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/ menyebutkan bahwa perusahaan yang go

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/ menyebutkan bahwa perusahaan yang go BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peraturan BAPEPAM Nomor Kep-36/PM/2003 dan Peraturan Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/07-2004 menyebutkan bahwa perusahaan yang go public diwajibkan

Lebih terperinci

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN KONSEP DIRI TENTANG PERANAN GENDER (Kasus Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2007/2008) Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A 14204030 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 145 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan dan mengenai Ethnic Identity terhadap 107 remaja akhir Batak Karo yang lahir dan tinggal di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kebudayaan sebagai warisan leluhur yang dimiliki oleh masyarakat setempat, hal ini memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

Lebih terperinci

BAB III. Perbedaan individual

BAB III. Perbedaan individual BAB III Perbedaan individual aprilia_tinalidyasari@uny.ac.id Tujuan Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan individual yang ada pada siswa meliputi : Perbedaan gender Kemampuan Kepribadian Gaya belajar Aplikasinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, masalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial sudah makin kompleks dan terdiri dari berbagai aspek yang mana hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan orang lain. Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran, keinginan, pendapat, dan perasaan seseorang kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja atau dikenal dengan istilah adolescene adalah suatu transisi proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu dalam keseluruhan hidupnya. Transisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas masyarakat matrilineal

Lebih terperinci

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER OLEH WAYAN SUDARTA Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan (hak

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. umumnya manusia dilihat dari jenis kelamin ada dua yaitu laki-laki dengan

PENDAHULUAN. umumnya manusia dilihat dari jenis kelamin ada dua yaitu laki-laki dengan PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk evolutif, tumbuh tahap demi tahap yaitu dari bayi menjadi kanak kemudian dewasa, lalu tua dan pada akhirnya meninggal. Pada umumnya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terdiri atas lebih kurang pulau ini dihuni oleh lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terdiri atas lebih kurang pulau ini dihuni oleh lebih dari 300 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Indonesia merupakan negara kepulauan. Penduduk Indonesia tahun 2010 sejumlah 237.556.363 jiwa, terdiri atas 119.507.580 pria dan 118.048.783 wanita. Negara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan BAB V PENUTUP Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesimpulan dan saran sebagai penutup dari pendahuluan hingga analisa kritis yang ada dalam bab 4. 5.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER By : Basyariah L, SST, MKes Kesehatan Reproduksi Dalam Persfektif Gender A. Seksualitas dan gender 1. Seksualitas Seks : Jenis kelamin Seksualitas : Menyangkut

Lebih terperinci

Pertanyaan awal : mengapa pembangunan merupakan isu gender?

Pertanyaan awal : mengapa pembangunan merupakan isu gender? Pertanyaan awal : mengapa pembangunan merupakan isu gender? o o o o o Kesenjangan jender di berbagai bidang pembangunan itu misalnya dapat dilihat dari : Masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat lebih dari 500 etnis di Indonesia (Suryadinata, 1999). Suku Batak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ini bisa dilihat dengan begitu maraknya shopping mall atau pusat

BAB I PENDAHULUAN. Ini bisa dilihat dengan begitu maraknya shopping mall atau pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan fashion, model busana, rancangan pakaian, gaya kostum dan lain-lain di Indonesia sudah sampai dititik yang mengesankan. Ini bisa dilihat dengan begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas membentang dari kota Sabang Provinsi Nanggro Aceh Darussalam hingga kota Merauke Provinsi Papua. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu sama lain, yakni sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. struktur sosial dan sistemnya sendiri (Widianingsih, 2014). Di dalam rumah

BAB I PENDAHULUAN. struktur sosial dan sistemnya sendiri (Widianingsih, 2014). Di dalam rumah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Rumah Tangga merupakan sub sistem dari masyarakat yang memiliki struktur sosial dan sistemnya sendiri (Widianingsih, 2014). Di dalam rumah tangga peran suami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini berfokus pada penggambaran peran perempuan dalam film 3 Nafas Likas. Revolusi perkembangan media sebagai salah satu sarana komunikasi atau penyampaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Konteks Masalah Penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru dijajaki merupakan proses awal untuk dapat bertahan hidup dalam sebuah lingkungan baru. Berbagai masalah-masalah akan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu: Tingkat kecenderungan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Difusi Inovasi Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam subbab ini

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Kepribadian manusia sejatinya telah ditentukan berdasarkan jenis kelaminnya. Namun dalam kenyataanya, masih sering kita menemukan orang orang yang berpenampilan atau

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. komunikasi bahkan hampir seluruh waktu yang kita habiskan adalah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. komunikasi bahkan hampir seluruh waktu yang kita habiskan adalah untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan keseharian kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan komunikasi bahkan hampir seluruh waktu yang kita habiskan adalah untuk berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Peran Gender Menurut Bem (dalam Wathani 2009), gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ketakutan Sukses. Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ketakutan Sukses. Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ketakutan Sukses 1. Pengertian Ketakutan Sukses Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah disposisi yang bersifat stabil dan mulai muncul sejak awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan berarti perbedaan itu diperuntukkan untuk saling menindas, selain dari jenis kelamin, laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Siswoyo (2007) mahasiswi adalah individu yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Siswoyo (2007) mahasiswi adalah individu yang sedang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Siswoyo (2007) mahasiswi adalah individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan

Lebih terperinci