PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)"

Transkripsi

1 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh AMANDA ANGGRAINI I DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRAC Poverty is an important problem that must be resolved. The problem of poverty in Indonesia started sticking since the economic crisis in Various measures taken by the government to solve the problem of poverty, one of them by issuing the Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) in collaboration with the World Bank in 1997 by providing loan funds to the poor. P2KP considered successful in alleviating poverty so that by the year 2008 the government entered into an integrated program P2KP PNPM Mandiri The implementation of the PNPM-P2KP unlike other programs that focus on community empowerment. The success of the program be seen from the increasing prosperity of the poor, but in practice the success of the program is only seen from the smoothness level of loan repayment. One goal of this program is to empower women. Unfortunately that meant the empowerment of the program is the provision of loans to women without a more in-depth follow-up. Empowerment of women must be seen from the extent of the development program is able to meet practical gender needs and strategic gender needs. Keywords: poverty, development programs, PNPM-P2KP, gender, gender anlysis, women empowerment

3 RINGKASAN AMANDA ANGGRAINI. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP. Kasus KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA). Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga faktor sosial, budaya, dan politik. Permasalahan kemiskinan mulai mencuat saat krisis ekonomi yaitu pada tahun BPS (2000) menyebutkan bahwa setelah krisis ekonomi melanda, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 79,4 juta orang. Bertolak dari kenyataan tersebut, maka pemerintah merancang berbagai program pembangunan yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Pada tahun 2009, BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang menjadi 32, 5 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Salah satu program pengentasan kemiskinan tersebut adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang merupakan program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia pada tahun P2KP adalah program pemberian pinjaman dana kepada masyarakat miskin yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta sebagai modal untuk membuka usaha. Sesuai dengan namanya, awalnya P2KP hanya dilaksanakan di wilayah perkotaan saja, mengingat tingkat kemiskinan di perkotaan saat itu lebih tinggi daripada di pedesaan (BPS, 2000). Kemudian seiring berjalannya waktu, P2KP dinilai berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan di perkotaan sehingga pada tahun 2008 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mengadopsi P2KP menjadi salah satu program unggulan. Sejak bergabung dalam PNPM Mandiri, jangkauan P2KP mulai meluas yakni menuju wilayah-wilayah di kabupaten serta sasaran program juga tidak hanya berupa pinjaman dana usaha, tetapi juga pinjaman dana untuk lingkungan dan sosial.

4 Desa Srogol yang terletak di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat telah menjadi salah satu desa sasaran Program PNPM-P2KP selama dua periode yaitu dari tahun 2007 hingga sekarang. Pelaksanaan program tersebut di Desa Srogol sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pedoman Umum PNPM-P2KP, yaitu terdapat Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Unit Pengelola (UP), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang semuanya dibentuk sendiri oleh masyarakat. Berdasarkan pengakuan dari BKM dan UP, selama dua periode berjalannya program, Desa Srogol menjadi desa yang paling berhasil dalam Program PNPM-P2KP dibandingkan dengan desa-desa lain di wilayah Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Keberhasilan tersebut dilihat dari tiga hal antara lain (1) dalam bidang lingkungan, pembangunan jalan dan drainase sudah mencapai seluruh wilayah desa; (2) dalam bidang sosial, Kursus Sewing telah menghasilkan banyak tenaga kerja untuk pabrik garmen; (3) dalam bidang ekonomi, tingkat pengembalian dana pinjaman bergulir terbilang paling lancar di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini khusus untuk melihat pengembalian pinjaman pada KSM Ekonomi. Tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol yang tergolong lancar, belum menggambarkan keberhasilan program dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti yang tercantum dalam tujuan umum Program PNPM-P2KP. Terlebih program tersebut mengaku sebagai program yang telah memberdayakan kelompok perempuan, maka perlu dilihat sejauhmana keterlibatan dan peran perempuan dalam program. Kerangka Analisis Mosher digunakan untuk melihat sejauhmana program berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan keberhasilan pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol, yakni meliputi relasi gender masyarakat, besar pinjaman, dan tingkat pendidikan. Pelaksanaan Program PNPM-P2KP dilihat berdasarkan akses perempuan terhadap program dan tingkat pengembalian pinjaman. Akses perempuan dalam pelaksanaan Program PNPM-P2KP dilihat dari sejauhmana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam program mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan program. Pada tahap

5 perencanaan program yaitu pembentukan BKM, peran perempuan tidak terlihat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan program yaitu mendapatkan pinjaman dana, mayoritas perempuan memiliki akses terhadap program yang cukup tinggi. Terdapat hubungan negatif antara besar pinjaman dengan akses perempuan terhadap program, yang berarti jika responden mendapatkan pinjaman dengan jumlah besar, maka seharusnya akses responden terhadap program juga besar. Sayangnya, mayoritas anggota KSM hanya mendapatkan pinjaman dengan jumlah kecil. Tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan dengan akses perempuan terhadap program, artinya baik berpendidikan tinggi maupun berpendidikan rendah, semua orang memiliki akses yang sama di dalam pogram. Besar pinjaman juga tidak memiliki hubungan dengan pengembalian pinjaman, artinya jumlah pinjaman yang besar maupun kecil, anggota KSM masih mampu untuk melunasinya. Sedangkan tingkat pendidikan memiliki hubungan positif dengan pengembalian pinjaman, yaitu semakin tinggi pendidikan perempuan maka semakin lancar dalam mengembalikan pinjaman. Pemberdayaan perempuan tidak dilihat dari sejauhmana program mampu membuat perempuan menjadi berdaya dalam memenuhi kebutuhuan hidupnya serta meningkatkan kesejahteraannya, tetapi lebih pada peran perempuan dalam program sehingga perempuan menjadi berdaya untuk menentukan dan memutuskan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangganya. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh perempuan berkaitan dengan relasi gender mereka, sehingga relasi gender juga menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan Program PNPM-P2KP. Relasi gender masyarakat Desa Srogol cenderung rendah, artinya sudah tidak terlalu membedakan peran laki-laki dan perempuan, sehingga relasi gender memiliki hubungan positif dengan akses perempuan terhadap program. Sedangkan terhadap pengembalian pinjaman, relasi gender memiliki hubungan yang negatif. Hal ini berarti relasi gender yang rendah lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman. Berdasarkan analisis gender, peningkatan kesejahteraan masyrakat setelah mengikuti Program PNPM-P2KP merujuk pada pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender. Tujuan program yang ingin memberdayakan kelompok perempuan mengacu pada pemenuhan kebutuhan strategis. Dari penelitian,

6 didapat kesimpulan bahwa akses perempuan terhadap program dan lancarnya pengembalian pinjaman tidak memiliki hubungan dengan pemenuhan kebutuhan praktis. Hal ini berarti bahwa tingginya akses dan pengembalian pinjaman belum berarti kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Kemudian dalam pemenuhan kebutuhan strategis pun, akses dan pengembalian pinjaman tidak memiliki hubungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol gagal. Kegagalan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol perlu menjadi perhatian karena merupakan cerminan bagi pelaksanaan program tersebut di daerah lain. Lancarnya pengembalian pinjaman menjadi indikator keberhasilan program dan mengesampingkan peningkatan kesejahteraan warga miskin. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah indikator untuk peningkatan kesejahteraan yang dimaksud agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menilai keberhasilan program. Sebagai program pemberdayaan kelompok perempuan, pemenuhan kebutuhan strategis menjadi fokus utama dalam program, sehingga pelaksanaan program harus lebih melibatkan perempuan. Sejatinya, pemberdayaan perempuan tidak hanya dengan memberikan pinjaman pada perempuan, tetapi lebih pada upaya membuat perempuan menjadi berdaya terhadap pengambilan keputusan di dalam rumah tangga dan perkembangan usaha mereka dengan dana yang dipinjamkan.

7 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh AMANDA ANGGRAINI I Skripsi Sebagai Bahan Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

8 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Amanda Anggraini NRP : I Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP (Studi Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dra Winati Wigna, MDS NIP Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP Tanggal Pengesahan:

9 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, 9 Februari 2011 Amanda Anggraini I

10 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Semarang, 24 April 1989 sebagai anak tertua dari dua bersaudara pasangan Bambang Supriyatna dan Siti Nuraini. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas pada SMU Negeri 5 Semarang pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti organisasi dan kepanitiaan, disamping kegiatan asistensi. Penulis aktif dalam beberapa organisasi yakni Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Patra Atlas Semarang, UKM Century, PSM AGRIASWARA, dan Himpunan Profesi (HIMPRO) HIMASIERA. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti Upgrading UKM Century, Masa Perekenalan Departemen (MPD), Bukti Cinta Lingkungan, Panitia Gebyar Nusantara 2009, dan lain-lain. Penulis menjadi Asisten M.K. Dasar-Dasar Komunikasi selama dua semester. Selain aktif dalam organisasi dan kepanitiaan, penulis juga aktif dalam perkumpulan teater UP2DATE KPM dan berhasil memenangkan perlombaan IPB Art Contest dua kali berturut-turut. Penulis juga sebagai pendiri dan masih tergabung dalam vokal group Voice Of Communication (VOC) KPM.

11 KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan anugerah-nya serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul Pemberdayaan Perempuan Melalui PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ini mengupas tentang penilaian pemberdayaan perempuan sebagai kunci keberhasilan program pembangunan dalam mengatasi kemiskinan dengan menggunakan alat analisis gender. Semoga penulisan Skrispi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.. Bogor, Februari 2011

12 UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada: 1. Allah SWT, pemilik semesta alam, penentu segala kebijakan, tempat mengadu, tiada waktu terindah dan ternyaman selain curhat padamu Ya Rabb. 2. Dosen Pembimbing Skripsi, Dra. Winati Wigna, MDS yang tidak pernah lelah membimbing, memberi saran dan kritik yang membangun, serta motivasi kepada penulis sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Dosen Penguji Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS dan Ir. Nuraini W Prasodjo, MS yang bersedia menguji dan memberikan kritikan serta masukan yang membangun. 4. Dosen Penguji Petik, Martua Sihaloho, SP.M.Si, yang telah memberikan kritikan dan masukan pada penulisan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik. 5. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Djuara P. Lubis yang selama ini telah memberikan saran dan kritik serta semangat disetiap langkah penulis. 6. Ibunda tersayang dan tercinta Siti Nuraini yang telah mengiringi setiap langkah dengan doa dan semangat, serta Ayahanda tercinta Bambang Supriyatna yang selalu mendukung penulis baik moril maupun materil, dan tak lupa adik tersayang Ibnu Fauzar yang selalu menyemangati penulis. 7. Teman menjalani hidup, Taufiq Perdana yang selalu ada dalam suka dan duka, selalu sabar menunggu, membimbing dan memberi cinta dalam setiap langkah penulis. 8. Seluruh masyarakat Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan pengurus BKM, UPK serta anggota KSM Ekonomi khususnya yang telah berbagi dan memberikan informasi mengenai Program PNPM-P2KP. 9. Keluarga Sidoarjo, Bapak Wahyudhi, Ibu Soeryatini, dan Kakak Ovie yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan kuliah dan skripsi. 10. Sahabat seperjuangan dalam Akselerasi, Yunita, Ummi, Dewi, Nyimas, Nava,

13 Thresa, dan lainnya yang saling memberi semangat untuk tak putus asa dan mempersembahkan yang terbaik. 11. Teman terdekat, Bagus, Tri Marlita, Saleh, dan Hirma yang selalui menyemangati penulis dalam setiap langkah penyusunan skripsi, serta selalu mengingatkan bahwa hal terindah adalah cinta dan persahabatan. 12. Teman-teman KPM 44, Dyah, Ali, Wiwit, Ira, Christin, dan Dedy yang senantiasa membantu penulis ketika sedang sangat membutuhkan bantuan. Teman tak disangka, bukan pahlawan kesiangan. 13. Teman-teman Rangers Monyet, Anza, Argya, Besta, dan Aisyah, yang tetap dan terus menjadi sahabat penyemangat selama di IPB. 14. Teman-Teman satu kosan Bateng 23, Ka Indri, Ka Beybi, Ka Nana, dan Nyoman, yang selalu menyemangati penulis dan terkadang mengganggu penulis dalam bekerja. 15. Teman-teman Up2Date dan VOC (Rajib, Fera, Asri, Arsyad, Lukman, Haidar, Yoshinta, Laras, Yuvita, Dian, Gian, Hendra, Diadji, dan lain-lain) yang selalu memberikan penampilan terbaik dalam setiap perform, memberikan banyak pengalaman dalam teater dan menyanyi. Berkat kalian, saya dapat memahami bahwa ada banyak hal yang lebih penting daripada mencari ketenaran. 16. Teman-teman KPM 44, dari kecerewetan kita inilah akan lahir pemikirpemikir besar, pemimpin-pemimpin baru. Tunjukkan bahwa tak selamanya banyak omong pertanda otak kosong. You Rock guys! Segala pihak yang terlewatkan dan tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, menyemangati, dan mengisi hari-hari penyusunan skripsi saya dengan tawa, semangat, dan doa.

14 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR.. Halaman BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian 7 BAB II. PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Gender dan Jenis Kelamin Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender Marginalisasi Subordinasi Terhadap Perempuan Stereotype Beban Kerja Ganda Kekerasan Terhadap Perempuan Analisis Gender Kerangka Analisis Harvard Kerangka Analisis Mosher Kerangka Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan Berdasarkan Analisis Gender Kesejahteran dan Pembangunan Gambaran Umum PNPM-P2KP Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Nilai-Nilai dan Prinsip Yang Mendasari PNPM- 23 P2KP Sasaran PNPM-P2KP Penelitian Sebelumnya Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional Tingkat Relasi Gender Tingkat Pendidikan Tingkat Besarnya Pinjaman Pinjaman Dana Program PNPM-P2KP Tingkat Akses Terhadap Program Tingkat Pengembalian Pinjaman Pemberdayaan Perempuan Kebutuhan Praktis Gender Kebutuhan Strategis Gender. 35 viii x xiii

15 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3. Teknik Pemilihan Populasi dan Sampel Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data BAB IV. KEADAAN UMUM DESA SROGOL Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kondisi Fisik Desa Srogol Keadaan Umum Pendudukan Kelembagaan Profil Responden Umur Responden Tingkat Pendidikan Mata Pencaharian BAB V. KERAGAAN PROGRAM PNPM-P2KP DI DAERAH 52 PENELITIAN Gambaran Umum Program PNPM-P2KP di Desa Srogol Pelaksanaan Program PNPM-P2KP Pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Unit Pelaksana (UP) Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). BAB VI. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP 6.1. Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman Dana Pinjaman Bergulir di Desa Srogol KSM dan Pengembalian Pinjaman Analisis Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Program Relasi Gender Masyarakat Desa Srogol Gender dalam Program PNPM-P2KP 6.3. Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP Pemenuhan Kebutuhan Praktis dan Kebutuhan Strategis Gender Hubungan Keberhasilan Program PNPM-P2KP Dengan Pemberdayaan Perempuan.. 92 BAB VII. PENUTUP Kesimpulan Saran 100 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 Nomor DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Matriks Alat Analisis Gender dan Pembangunan.. 15 Tabel 2. Daftar Nama KSM Bidang Ekonomi PNPM-P2KP Desa 38 Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tabel 3. Luas Tanah Desa Berdasarkan Penggunaannya, Tabel 4. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan 44 Tingkat Umur dan Jenis Kelamin, Tabel 5. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan 45 Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, 2008 Tabel 6. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Usia 45 Kerja dan Jenis Kelamin, Tabel 7. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Mata Pencaharian Utama dan Jenis Kelamin, Tabel 8. Nama Kampung Berdasarkan Rukun Warga (RW) Desa 48 Srogol, Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Umur, Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Mata 51 Pencaharian, Tabel 12. Komposisi Pengurus BKM Desa Srogol, Tabel 13. Distribusi Perguliran Dana Pinjaman Program PNPM-P2KP di 65 Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 14 Jenis dan Jumlah KSM Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 15. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden 68 Berdasarkan Tingkat Kekayaan di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usaha Yang 69 Dimiliki di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perkembangan Usaha Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarakan Tingkat 71 Besarnya Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses 72 Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat 72 Pengembalian Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa 73

17 Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dengan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dalam Rumah Tangga Responden, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender yang Dianut di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Tingkat Akses Terhadap Program Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Tingkat Besar Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 30. Persentase Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tabel 31. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 32. Persentase Responden Berdasarkan Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Strategis Gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 35. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,

18 Tabel 37. Tabel 38. Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,

19 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Perempuan Melalui 30 Program PNPM-P2KP, Gambar 2. Bagan Pencairan Dana PNPM-P2KP Desa Srogol, Gambar 3. Pembangunan Drainase di RW 04, Desa Srogol, Gambar 4. Kursus Sewing di Desa Srogol, Gambar 5 Jenis Usaha Warung yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, Gambar 6 Jenis Usaha Jahit yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, Gambar 7. Kegiatan Pengajian Ibu-Ibu di RW 03,

20 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman Lampiran 1. Gambar Denah Desa Srogol Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor, Lampiran 2. Matriks Alokasi Waktu Pelaksanaan Penelitian 105 Lampiran 3. Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam Kepada Pengurus BKM Desa Srogol, Lampiran 4. Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam Kepada UPK 107 Desa Srogol, Lampiran 5. Kuesioner Penelitian Lampiran 6. Data Potensi Sumber Daya Alam Desa Srogol, Lampiran 7. Data Kependudukan Desa Srogol, Lampiran 8. Data Tabungan KSM Ekonomi Tahun Lampiran 9. Data Register Tabungan KSM Tahun Lampiran 10. Pengolahan Data 133

21 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial, budaya, dan politik. Menurut Ellis (1984) dalam Suharto (2005), dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis, sementara Nainggolan (2005) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah pembangunan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan aspek-aspek pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan pada penduduk miskin. Sejatinya, hakikat pembangunan adalah pengubahan dan pembaharuan. Dalam konteks tersebut, Mosse (1993) menyatakan bahwa pembangunan sebaiknya mencakup sejumlah hal berkenaan: (1) penanggulangan kemiskinan, (2) keterlibatan semua orang secara adil dalam perekonomian, (3) perbaikan kualitas hidup perempuan dan laki-laki, khususnya untuk akses terhadap barang dan jasa esensial, yang bersama-sama dengan informasi diperlukan mereka untuk membuat pilihan, (4) penciptaan berbagai macam basis kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan memungkinkan keadaan perekonomian negara berubah dalam perekonomian internasional, (5) pembentukan kembali pembagian kerja secara seksual, (6) penciptaan pranata politik yang melindungi dan memungkinkan pelaksanaan hak azasi warga negara dan sosial (termasuk hak-hak perempuan), dan menyediakan kondisi-kondisi bagi akses terhadap hak-hak ini dalam cara yang memungkinkan konflik sosial dipecahkan secara damai, (7) penghargaan terhadap nilai kultural dan aspirasi pelbagai kelompok sosial. Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, memasuki era reformasi pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan dan program untuk mengembalikan keadaan ekonomi negara supaya menjadi stabil kembali, terutama berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dewasa ini, penduduk miskin di Indonesia relatif masih besar. Data BPS tahun 2000, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin

22 2 di Indonesia adalah 79,4 juta orang (BPS, 2000). Jumlah dan persentasenya menurun menjadi 37,2 juta orang 2007, dan pada tahun 2009 menjadi 32,5 juta orang (BPS, 2009). Menurunnya jumlah penduduk miskin di Indonesia ini tidak luput dari usaha-usaha pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Berbagai kebijakan dan program-program pembangunan dibuat oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Sajogyo (1999) dalam Nur (2004) mengungkapkan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah sebuah kebijakan strategis yang mau tidak mau mesti diambil oleh pemerintah sebagai agen pembangunan yang bertanggung jawab atas terselenggaranya perbaikan sosial pada segenap lapisan masyarakat. Sejumlah program pembangunan yang telah diintroduksikan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, antara lain berupa Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S), Program Mandiri Pangan. Selain itu, terdapat program-program pemberdayaan perempuan diantaranya melalui Pelatihan Kepemimpinan Wanita (LKW), Bimbingan Usaha Swadaya Wanita Desa (USWD), Pengembangan Usaha Kelompok (PUK), Bimbingan Pencegahan Desa Rawan Masalah Sosial (PDR), Proyek Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin (PPFM), Pengembangan Dasa Wisma, Pengembangan Masyarakat oleh Perusahaan, Inpres Desa Tertinggal (IDT), serta Pengembangan Karang Taruna. Pasca krisis ekonomi 1997, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia mengintroduksikan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), untuk mengatasi permasalahan kemiskinan penduduk di wilayah perkotaan, dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk di wilayah pedesaan. Dalam pelaksanaannya, P2KP diwadahi oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 saat ini telah terbentuk sekitar BKM yang tersebar di kecamatan di 235 kota/kabupaten, telah memunculkan lebih dari relawan-relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui KSM (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008).

23 3 Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini menjadi program terpadu yang menaungi seluruh program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, yang tujuan umumnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Untuk selanjutnya P2KP berubah nama menjadi PNPM-P2KP. Secara umum, PNPM-P2KP menganut tujuan dan pendekatan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pedoman Umum PNPM Mandiri. Salah satu tujuan PNPM-P2KP adalah untuk meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Berdasarkan rumusan tujuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa sepertinya program pembangunan PNPM-P2KP telah berwawasan gender, karena di dalam pelaksanaan program, peran dan kedudukan laki-laki maupun perempuan adalah setara. Lebih lanjut, oleh karena, salah satu sasaran PNPM-P2KP adalah kelompok perempuan, maka sepertinya dapat dipastikan bahwa program ini mampu untuk memberdayakan perempuan. Hal ini antara lain dikemukakan Sari (2003) dalam Nainggolan (2005), yang menyatakan bahwa P2KP merupakan program yang mengadopsi mekanisme perencanaan bottom-up planning yang dimulai dari level komunitas dan secara khusus melibatkan partisipasi perempuan dalam semua kegiatannya, mulai dari perencanaan maupun pelaksanaan proses pembangunan. Namun demikian, faktanya menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan belum memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan praktis gender yakni pemenuhan kebutuhan sekarang dan kebutuhan strategis gender yang berupa penyetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Merujuk pada tata cara pelaksanaan Program PNPM-P2KP -yang tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan P2KP, perempuan tampaknya menjadi salah satu subyek program yang cukup penting, sehingga dapat dikatakan bahwa

24 4 Program PNPM-P2KP telah berwawasan gender. Akan tetapi, berdasarkan beberapa studi dan hasil observasi sebelumnya, diketahui bahwa perempuan sering tidak dilibatkan dalam pelaksanaan program. Hal tersebut diantaranya dikemukakan Lu Lu (2005) yang dalam,studinya menemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan P2KP di Kelurahan Kedung Badak tidak berhasil adalah karena tidak dilibatkannya perempuan dalam program, baik pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan. Hal itu tercermin diantaranya dari sedikitnya perempuan yang hadir dalam rapat atau musyawarah desa pada tahap persiapan program, yaitu hanya dua sampai tiga orang dari jumlah seluruh peserta musyawarah desa. Demikian halnya pada tahap pelaksanaan, dalam tataran keorganisasian BKM dan KSM, keterlibatan perempuan pada kedua lembaga tersebut masih kurang, bahkan dijumai adanya perempuan yang tidak dilibatkan dalam struktur kepengurusan BKM. Demikian pula pada tataran kelompok sasaran (penerima kredit) masih didominasi oleh laki-laki (Nainggolan, 2005). Berbeda dengan P2KP, pemilihan daerah sasaran PNPM-P2KP juga mencakup sejumlah kelurahan di kabupaten. Berdasarkan data Podes 2005, telah dipilih sejumlah kecamatan di perkotaan dan kecamatan yang menjadi ibukota kabupaten untuk ditetapkan menjadi daerah sasaran program. Pada tahun 2005 terdapat 1072 kecamatan perkotaan sebagai calon kecamatan sasaran Program PNPM-P2KP (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Diantara sejumlah desa penerima PNPM-P2KP, Desa Srogol, merupakan salah satu desa penerima bantuan Program PNPM-P2KP dari tahun 2007 yang dinilai berhasil dari segi administrasi dan memperoleh peringkat yang cukup baik di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Keberhasilan Desa Srogol ini berkaitan dengan tingginya tingkat kelancaran pengembalian pinjaman dari anggota-anggota KSM. Permasalahannya adalah bahwa keberhasilan dalam kelancaran pengembalian pinjaman dari para anggota KSM tersebut belum menggambarkan kemampuan PNPM-P2KP dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol yang terbilang lancar berkaitan dengan jumlah nominal dana pinjaman yang sangat kecil. Dana pinjaman yang kecil tersebut hanya bermanfaat bagi anggota KSM yang sudah memiliki usaha

25 5 karena dapat digunakan untuk menambah modal usaha. Namun demikian, faktanya banyak usaha yang dimiliki oleh anggota KSM tersebut tidak berkembang, sementara bagi anggota KSM yang tidak memiliki usaha, dana pinjaman hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena tidak cukup jika digunakan untuk membuka usaha baru. Sebagai program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol belum mampu untuk meningkatkan peran perempuan dalam program. Walaupun jumlah KSM yang beranggotakan perempuan di Desa Srogol jumlahnya lebih banyak dibanding KSM yang beranggotakan laki-laki, belum menggambarkan bahwa Program PNPM-P2KP telah berhasil memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan dalam program dilihat dari sejauhmana program tersebut mampu memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan program. Terlebih lagi program mampu membuat perempuan menjadi berdaya dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan program dan pengembangan usaha yang dimilikinya. Pemberdayaan perempuan tidak hanya dilihat dari sejauhmana program mampu memenuhi kebutuhan praktis gender, yaitu meningkatkan kesejahteraan perempuan, tetapi yang lebih utama adalah program mampu mencukupi kebutuhan strategis gender, yakni menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pemasalahan di atas, penting untuk melakukan kajian untuk menelaah keberhasilan atau kemampuan PNPM-P2KP dalam memberdayakan perempuan berdasarkan pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

26 6 1.2 Perumusan Masalah Misi utama program-program pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah berjalan dari tahun P2KP merupakan program kerjasama antara pemerintah dengan Bank Dunia yang awalnya bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun P2KP dinilai berhasil dalam mengentaskan kemiskinan sehingga pemerintah mengadopsi program tersebut ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) pada tahun PNPM Mandiri merupakan program terpadu yang menaungi seluruh program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu tujuan Program PNPM-P2KP adalah untuk meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Pelaksanaan program P2KP dari tahun 1999 hingga kini berubah menjadi Program PNPM-P2KP, masalah yang paling penting dan sering dirasakan oleh pengurus BKM dan UPK adalah sulitnya mengembalikan pinjaman atau kredit macet. Beberapa studi dan observasi yang telah dilakukan sebelumnya (Lu Lu, 2005 dan Nainggolan, 2005) mengenai pengembalian kredit P2KP menunjukkan bahwa banyak anggota KSM yang menunggak kredit atau terlambat mencicil. Berbeda halnya dengan pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol yang terbilang cukup lancar dalam mengembalikan pinjaman. Jumlah pinjaman yang tidak terlalu besar menjadi salah satu penyebab lancarnya pengembalian pinjaman anggota KSM. Akan tetapi, tingkat pengembalian pinjaman yang cukup tinggi belum tentu menunjukkan peningkatan kesejahteraan anggota. Banyak juga kasus yang menunjukkan bahwa dana pinjaman tidak digunakan untuk menjalankan usaha tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun anggota KSM di Desa Srogol mayoritas adalah perempuan, belum menggambarkan program tersebut berhasil dalam memberdayakan perempuan.

27 7 Pemberdayaan perempuan dilihat dari sejauhmana perempuan mampu menjadi pengambil keputusan dalam rumah tangga, terutama dalam pengembangan usahanya. Pada kenyataannya, pengambil keputusan dalam rumah tangga untuk mengikuti program dan mengembalikan pinjaman masih dipegang oleh laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman? 2. Adakah dan bagaimana hubungan tingkat relasi gender dengan tingkat pengembalian pinjaman? 3. Apakah Program PNPM-P2KP berhasil memberdayakan perempuan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Bagaimana tingkat keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman; 2. Bagaimana hubungan tingkat relasi gender tingkat pengembalian pinjaman; dan 3. Apakah Program PNPM-P2KP berhasil memberdayakan perempuan. 1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari kajian penelitian ini adalah: 1. Memberikan wawasan tentang analisis gender terhadap program-program partisipatif bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih dalam. 2. Memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan dalam menyusun dasardasar program pembangunan dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin agar lebih memperhatikan aspek gender dan keragaman dalam masyarakat. 3. Bagi peneliti kajian ini dapat bermanfaat sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang program pemberdayaan masyarakat yang berbasis gender.

28 8 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka Gender dan Jenis Kelamin Pada umumnya, masyarakat menganggap bahwa gender merupakan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai refleksi dari perbedaan jenis kelamin, bahkan pada masyarakat tertentu, gender dianggap sebagai kodrat Tuhan. Pengertian seperti ini sangat keliru, namun telah berkembang dan mengakar dalam budaya masyarakat. Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Fakih (1999) dalam Qoriah (2008) mendefinisikan jenis kelamin sebagai pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat secara permanen pada diri seseorang yang tidak dapat dipertukarkan. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mosse (1993) bahwa jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Handayani (2008) bahwa laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ reproduksi, sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda. Mosse (1993) menjelaskan bahwa jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang disebut dengan gender. Istilah gender merupakan penafsiran yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari proses pembentukan struktur sosial dan kultural (Hadiprakoso, 2005). Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Fakih (1999) dalam Qoriah (2008) yakni gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum

29 9 laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mugniesyah (2002) bahwa konsep gender adalah perbedaan sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Holzner (1997) dalam Saptari (1997) menyatakan bahwa ideologi gender ialah segala aturan, nilai-nilai stereotipe yang mengatur hubungan antara wanita dan pria, melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria, sedangkan feminin merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Feminitas dan maskulinitas berkaitan dengan stereotipe peran gender. Lebih lanjut Mosse (1996) menjelaskan bahwa peran gender dapat berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran juga dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani, 2008).

30 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender bisa berakar dari ketimpangan hubungan gender tradisional (misalnya akses perempuan terhadap lahan) atau muncul dalam bentuk baru (masalah segregasi gender dalam industri modern) (Nainggolan, 2005). Kesenjangan peran gender merupakan kontruksi sosial yang secara sistematis terbentuk melalui budaya dan pendidikan, dan telah berjalan dalam waktu yang lama sehingga ketidakadilan gender dianggap sebagai hal biasa saja. Anggapan seperti ini bukan hanya milik laki-laki, sebagian besar perempuan juga berpikir demikian. Fakih (2003) dalam Nainggolan (2005) menyatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequlities). Diperkuat dengan pendapat Hadiprakoso (2005), jika secara biologis perempuan dapat hamil lalu melahirkan sehingga perempuan memiliki peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, sesungguhnya tidak menjadi masalah dan tidak perlu digugat. Namun persoalannya perbedaan peran gender tersebut telah terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga terbentuk anggapan bahwa peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus dan merawat anak. Perbedaan peran tersebut menghasilkan ketidakadilan gender. Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) kemudian menjelaskan bahwa ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai korban dari sistem. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah mempersepsi, memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan beberapa bentuk ketidakadilan gender sebagai berikut: Marginalisasi Perempuan Bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah proses merginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi

31 11 ilmu pengetahuan. Nainggolan (2005) menyebutkan terdapat beberapa contoh marginalisasi perempuan antara lain: a. Marginalisasi dalam Negara Dalam praktik kehidupan bernegara pemimpin birokrasi jarang diberikan kepada perempuan, walaupun dalam pernyataannya dikatakan bahwa pimpinan birokrasi itu dapat dijabat perempuan. Akibat marginalisasi terjadi proses domestifikasi, sehingga pekerjaan perempuan di sektor publik dianggap ketidaknormalan, sekedar mencari pekerjaan tambahan. Selain itu marginalisasi juga menyebabkan perempuan menjadi obyek, seperti obyek alat kontrasepsi. b. Marginalisasi dalam Masyarakat Dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut serta mengambil keputusan. Pendapat perempuan jarang didengarkan. Perempuan diberi tugas melaksanakan pekerjaan hasil keputusan laki-laki. c. Marginalisasi dalam Organisasi atau tempat kerja Penerimaan kerja dalam suatu lembaga/organisasi, diutamakan untuk laki-laki dengan alasan perempuan kurang produktif (misalnya cuti hamil dan sakit karena haid). Apabila ada lowongan jabatan pimpinan, pihak laki-laki lebih mendapat prioritas, sementara perempuan disingkirkan dari jabatan kepemimpinan sekalipun ia mampu melaksanakannya. d. Marginalisasi dalam Keluarga Perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami, sekalipun suami tidak bisa memimpin. Walaupun yang menyediakan makan ibu, tetapi bapak dan anak laki-laki yang didahulukan. Ibu dan anak perempuan juga membereskan semuanya, seperti mencuci piring, membersihkan meja makan, dan lain sebagainya. Apabila keuangan terbatas, pilihan yang harus sekolah adalah anak laki-laki, walaupun anak perempuannya lebih pandai. Istri dinyatakan berdosa bila tidak tersedia melayani kebutuhan seks suami, walaupun ia sangat penat karena bekerja, dan lain sebagainya.

32 12 e. Marginalisasi dalam Diri Sendiri Dalam diri perempuan sendiri ada perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri, karena tidak percaya diri Subordinasi Terhadap Perempuan Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktorfaktor yang dikonstruksikan secara sosial. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai lelaki Stereotype Stereotype adalah pelabelan negatif terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu, biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yag kuat, rasional, jantan, dan perkasa sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipe yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan lelaki dan perempuan. Oleh karena perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri Beban Kerja Ganda Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik

33 13 menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu, perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang bersumber dari anggapan gender disebut sebagai gender-related violence, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat. Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) menyatakan bahwa ketidakadilan gender dapat bersifat: 1. Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku. 2. Tidak langsung, seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu. 3. Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma, atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membedabedakan. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi

34 14 penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan Analisis Gender Analisis Gender adalah kerangka kerja yang dipergunakan untuk mempertimbangkan dampak suatu program pembangunan yang mungkin terjadi terhadap laki-laki dan perempuan, serta terhadap hubungan ekonomi dan sosial di antara mereka (Handayani, 2008). Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) menyatakan bahwa analisis gender mencakup kegiatan-kegiatan yang dibangun secara sistemik untuk mengidentifikasikan dan memahami pembagian kerja/peran antara perempuan dan laki-laki; akses dan kontrol yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki atas sumber-sumber daya serta hasil kinerja mereka; pola relasi sosial diantara perempuan dan laki-laki yang asimetris, dan dampak kebijakan, program, proyek, kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki. Analisis gender memperhitungkan pula bagaimana faktor-faktor lain seperti kelas sosial, ras, suku, ekonomi-politik makro atau faktor-faktor lainnya berinteraksi dengan gender untuk menghasilkan keadaan yang diskriminatif. Analisis gender biasanya dilakukan pada tingkat mikro seperti keluarga, kelompok-kelompok kecil atau komunitas, dan pada semua sektor. Hadiprakoso (2005) menyatakan bahwa analisis gender merupakan analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan lain sebagainya) yang melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dari segi kondisi/situasi dan kedudukan/posisi di dalam keluarga dan masyarakat. Secara garis besar terdapat tiga kategori alat yang dapat digunakan untuk menganalisis situasi dan posisi gender di dalam masyarakat dan keluarga (Handayani, 2008). Melalui teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan dapat teridentifikasi. Ketiga teknik analisis gender tersebut adalah: (1) Kerangka Analisis Harvard, (2) Kerangka Analisis Moser, dan (3) Kerangka Pemberdayaan. Ketiga alat analisis gender tersebut secara singkat dijelaskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

35 15 Tabel 1. Matriks Alat Analisis Gender dan Pembangunan Tiga Kategori Utama Alat Analisis Gender Kerangka Harvard* Kerangka Moser** Kerangka Pembagian Kerja: produktif, reproduktif, dan sosial budaya. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat. Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam masyarakat. Pembagian peran produktif, reproduktif, dan sosial budaya. Kebutuhan praktis (menyangkut kondisi). Kebutuhan strategis (menyangkut posisi) Pemberdayaan*** Penguasaan (kontrol). Partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Penyadaran. Akses terhadap sumberdaya manfaat. Kesejahteraan dan Alat ini dapat digunakan untuk analisa sebelum membuat perencanaan program pembangunan. Sumber: Wigna, 2002 Alat ini dapat digunakan untuk perencanaan program/proyek pembangunan. Alat untuk melihat tahapan pemberdayaan (semakin bertahap ke arah dari kesejahteraan sampai ke penguasaan. Menggambarkan adanya pemerataan dan peningkatan perempuan Kerangka Analisis Harvard Kerangka analisis Harvard memadai untuk menggali data yang berguna pada tahap analisa situasi. Data yang dikumpulkan dapat bersifat umum maupun sangat rinci tergantung kebutuhan. Kerangka analisis ini juga mudah diadaptasi untuk beragam situasi. Selain itu kerangka merupakan alat baru untuk meningkatkan kesadaran gender dan alat latihan yang efektif untuk menganalisis situasi hubungan gender di dalam komunitas (masyarakat) atau suatu organisasi pembangunan. Kerangka analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama yaitu: 1. Pembagian Kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan laki-laki dan perempuan). 2. Profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses, dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan.

36 Kerangka Analisis Moser Teknik analisis Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender, dengan menggunakan perdekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi kebutuhan gender praktis-strategis. Alat analisis gender yang dipakai oleh Moser adalah pembagian peran: produktif, reproduktif, dan sosial budaya; pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Peran atau kegiatan produktif adalah kegiatan yang menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang, misalnya bertani, berkebun, beternak, berdagang, kerajinan tangan, dsb. Kegiatan reproduktif adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga, misalnya melahirkan dan mengasuh anak, pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci, mengambil air, mencari bahan bakar, dsb. Kegiatan sosial adalah kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga, tetapi yang menyangkut kegiatan masyarakat, misalnya berorganisasi dalam kelompok tani, koperasi, PKK, LKMD, kelompok simpan pinjam, dan partisipasi dalam kelompok agama dan sosial budaya. Pembagian peran dan kebutuhan praktis gender menggambarkan akses perempuan terhadap program sedangkan kebutuhan strategis gender menggambarkan kontrol perempuan terhadap program Kerangka Analisis Pemberdayaan Pembangunan perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai pemerataan/persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada setiap tingkat proses pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik analisis Longwe sering dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan khususnya dalam pembangunan. Tingkatan proses pembangunan tersebut secara hierarkhis diawali dengan (1) tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3) tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan), dan (5) tingkat penguasaan (kontrol).

37 17 Wigna (2002) menyatakan bahwa pemahaman akses (peluang) dan kontrol (penguasaan) perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol (penguasaan) diartikan sebagai kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya tersebut, dan sebaliknya. Dicontohkan Wigna bahwa seorang buruh yang menggarap tanah milik orang lain atau seorang anak yang disekolahkan orangtuanya di sekolah unggulan berarti memiliki akses, sementara seorang tuan tanah yang memanfaatkan lahannya atau seorang ayah yang memutuskan sekolah mana yang akan dimasuki anaknya ataupun seorang ibu yang memutuskan apa saja yang boleh dimakan oleh anggota keluarganya Pemberdayaan Perempuan Berdasarkan Analisis Gender Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) bahwa pemberdayaan merupakan bentuk tindakan kolektif yang berfokus pada upaya menolong anggota masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminasi kelas sosial, gender) yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan. Lebih lanjut, Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya. Konsep pemberdayaan perempuan menurut Zothraa Nadaa (1999) dalam Riana (2003) adalah suatu kondisi atau langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kemitrasejajaran antara pria dan wanita dalam pembangunan. Kemitrasejajaran dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban, yang terwujud dalam

38 18 kesempatan, kedudukan, dan peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan saling mengisi di semua bidang kehidupan (Riana, 2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan perempuan bukanlah sebatas upaya menjadikan perempuan menjadi berdaya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan sebuah upaya agar perempuan memiliki kesempatan dan status yang setara dengan laki-laki dalam berbagai bidang. Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan, tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender, Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan praktis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan (Moser 1993 dalam Wigna 2002). Suatu program pembangunan yang berwawasan gender seharusnya berusaha untuk mengidentifikasi ataupun memperhatikan kebutuhan komunitas. Dengan menggunakan pendekatan Gender And Development, kebutuhan komunitas tadi dibedakan antara kebutuhan laki-laki dan perempuan baik bersifat praktis maupun strategis. Kebutuhan praktis berkaitan dengan kondisi (misalnya: kondisi hidup yang tidak memadai, kurangnya sumberdaya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak, pendapatan, dll), sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi (misalnya: posisi yang tersubordinasi dalam komunitas atau keluarga). Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses tersebut melibatkan input, antara lain seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau program pemberian kredit. Umumnya kegiatan yang bertujuan

39 19 memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar memperoleh kesempatan lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang seimbang dengan lakilaki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu relatif lebih panjang Kesejahteraan dan Pembangunan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), miskin adalah tidak berharta benda atau serba kurang. World Bank (2003) menyatakan bahwa kemiskinan diukur dari pendapatan tertentu yakni dua dolar AS perhari. Sementara menurut Soekanto dalam Handayani (2009), kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidaksesuaian penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara terus-menerus dengan waktu relatif lama seiring dengan ritme kehidupan sehari-hari dan akan mempengaruhi tingkat konsumsi, kesehatan, dan proses pengambilan keputusan. Diperkuat oleh Hadiprakoso (2005) bahwa kemiskinan merupakan fenomena sosial yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi standar kebutuhan dasar sehari-hari. Supriyatna (1997) mengungkapkan bahwa suatu keadaan disebut miskin ditandai dengan kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer (mencakup pengetahuan dan ketrampilan) dan sekunder (mencakup jaringan sosial, sumber keuangan, dan sebagainya). Jika ditarik benang merah, maka dapat disimpulkan, kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana individu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, pakaian dan rumah karena tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah merancang berbagai program pembangunan yang bermuara pada pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat. Menurut Suharto (2005), kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti

40 20 makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Wattimena (2009) mengungkapkan bahwa tingkat kesejahteraan mengacu pada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbatasan dari kemiskinan, dsb. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk investasi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 2005). Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut: 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya. 2. Kesehatan dan Gizi Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. 3. Pendidikan Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antar lain ditandai dengan tingkat pendidikan. Aspek yang dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan yaitu anka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus sekolah.

41 21 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan diantaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja, dan pekerja anak. 5. Taraf dan Pola Konsumsi Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya jumlah pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Indikator distribusi pendapatan, walau didekati dengan pengeluaran, akan memberi petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non makanan. 6. Perumahan dan Lingkungan Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, dan fasilitas tempat buang air besar. 7. Sosial Lainnya Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah. Hakikat pembangunan adalah pengubahan dan pembaharuan, maka pembangunan merupakan proses yang dinamis dan berorientasi pada upaya tanpa akhir (Dudung, 2001). Pembangunan juga menyangkut proses bagaimana manfaat

42 22 itu diperoleh. Didukung oleh pendapat Sen dalam Prasodjo dan Wigna (2003), pembangunan seharusnya merupakan kapasitas yang berkelanjutan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Suharto (2005) menjelaskan bahwa fungsi pembangunan nasional dirumuskan ke dalam tiga tugas utama yang mesti dilakukan sebuah negara-bangsa, yakni pertumbuhan ekonomi, perawatan masyarakat, dan pengembangan manusia. Pembangunan yang berkelanjutan hendaknya adalah program yang berperspektif gender, yakni program pembangunan yang melibatkan seluruh warga baik laki-laki maupun perempuan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Pada kenyataannya, hingga sampai saat ini, dalam implementasi program pembangunan masih terjadi bias gender terutama meminggirkan kaum perempuan dalam program. Perempuan tidak dilibatkan dalam program karena dipengaruhi oleh budaya patriakhi yang masih kental dalam masyarakat (Nainggolan, 2005) Gambaran Umum PNPM-P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 pada tahun 2000, telah terbentuk sekitar BKM yang tersebar di kecamatan di 235 kota/kabupaten. Program ini telah memunculkan lebih dari orang relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui KSM. Dengan mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Tujuan Umum dan Khusus PNPM-P2KP Tujuan umum PNPM-P2TP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Adapun tujuan khusus program ini meliputi:

43 23 a. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, reperesentatif dan akuntabel. c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor). d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. e. Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal. g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip yang melandasi PNPM-P2KP Pelaksanaan P2KP dilandasi oleh nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsipprinsip kemasyarakatan yang bersifat universal, dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sistem nilai yang mendasari P2KP adalah Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Gerakan Moral) di mana semua pelaku P2KP harus menjunjung tinggi dan melestarikan nilai-nilai kemanusian, antara lain: (1) jujur, (2) dapat dipercaya, (3) ikhlas/kerelawanan, (4) adil, (5) kesetaraan, dan (6) kesatuan dalam keragaman. Program ini harus dilandasi oleh Prinsip-Prinsip Universal Kemasyarakatan (Good Governance) dimana semua pelaku P2KP harus menjunjung tinggi, menumbuhkembangkan prinsip-prinsip tata kelola

44 24 pemerintahan yang baik, diantaranya (1) demokrasi, (2) partisipasi, (3) transparansi dan akuntabilitas, dan (4) desentralisasi. Selanjutnya, Prinsip-Prinsip Universal Pembangunan Berkelanjutan (Tridaya) harus merupakan prinsip keseimbangan pembangunan, yang dalam konteks P2KP diterjemahkan sebagai keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan yang tercakup dalam konsep Tridaya, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection) Kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan lingkungan baik lingkungan alami maupun buatan termasuk perumahan dan permukiman, yang harus layak, terjangkau, sehat, aman, teratur, serasi dan produktif. Termasuk didalamnya adalah penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan yang kondusif dalam membangun solidaritas sosial dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. 2. Pengembangan Masyarakat (Social Development) Berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan keswadayaan masyarakat sehingga dapat tercipta masyarakat efektif secara sosial sebagai pondasi yang kokoh dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan masyarakat juga berarti upaya untuk meningkatkan potensi segenap unsur masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable groups) dan marjinal yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat; 3. Pengembangan Ekonomi (Economic Development); dalam upaya menyerasikan kesejahteraan material, maka upaya-upaya kearah peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat miskin dan atau penganggur perlu mendapat porsi khusus termasuk upaya untuk mengembangkan peluang usaha dan akses ke sumberdaya kunci untuk peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan fisik dan sosial.

45 Sasaran PNPM-P2KP Pada dasarnya, kelompok sasaran P2KP mencakup empat sasaran utama, yakni masyarakat, pemerintah daerah, kelompok peduli setempat dan para pihak terkait (stakeholders) Penelitian Sebelumnya Lu Lu (2005) dalam penelitiannya mengenai keberhasilan P2KP di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, melaporkan kan bahwa P2KP tidak berhasil mengentaskan kemiskinan,. Ketidakberhasilan ini ditunjukkan oleh fakta-fakta: (a) kesulitan penerima dalam mengembalikan dana pinjaman dari pemerintah karena banyak peminjam yang menunggak, (b) Pelaksanaan program bias gender, yakni perempuan tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan P2KP, sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Dengan perkataan lain, laki-laki lebih akses terhadap dana stimulan P2KP daripada perempuan. Demikian halnya dalam hal kontrol terhadap P2KP, dominan dilakukan laki-laki atau suami, bahkan pada beberapa rumah tangga, jika istri atau perempuan ingin mengambil kredit harus mendapat persetujuan dari suami terlebih dahulu. Dalam hal pemenuhan kebutuhan gender berdasarkan Teknik Analisis Moser, P2KP baru memenuhi kebutuhan praktis gender yakni peningkatan pendapatan, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan strategis gender, P2KP belum dapat memenuhinya. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa P2KP Kedung Badak tidak berhasil dalam mengentaskan kemiskinan. Tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Lu Lu, Nainggolan (2005) menemukan kegagalan P2KP di Kelurahan Ciseureuh, Kota Bandung, yakni dalam hal pengembalian pinjaman. Hampir seluruh anggota KSM di kelurahan tersebut menunggak cicilan pinjaman dana P2KP. Pengembalian pinjaman yang macet tentu saja tidak dapat menggambarakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, justru menambah beban yakni hutang baru yang harus segera dilunasi. Kegagalan program disebabkan oleh masih terjadinya bias gender dalam pelaksanaan P2KP di kelurahan tersebut. Budaya patriarkhi lah yang menjadi faktor utama macetnya pengembalian pinjaman. Dengan kata lain, laki-laki masih

46 26 dominan dalam pengambilan keputusan baik di dalam rumah tangga, maupun di dalam pelaksanaan program. Hal yang hampir serupa mengenai ketidakberhasilan program pembangunan diungkapkan oleh Hardianti (2008), yang meneliti mengenai keberhasilan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini mengungkapkan bahwa P3S adalah program pemberdayaan pertanian bagi petani miskin atau buruh tani. Program inipun juga dinilai tidak berhasil dilihat berdasarkan analisis gender. P3S hanya diakses oleh petani laki-laki dikarenakan masih lekatnya budaya patriarkhi sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam program. Program pembangunan lain yang dinilai tidak berhasil berdasarkan Analisis Gender adalah pada penelitian Qoriah (2008) mengenai Program Desa Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan, masih terjadi bias gender yang terlihat dalam pembagian kelompok afinitas yang didominasi oleh laki-laki. Hampir serupa dengan dua kasus sebelumnya, Program Desa Mandiri Pangan dapat dinilai tidak berhasil jika dilihat dari segi analisis gender. Program tersebut hanya sekadar memenuhi kebutuhan praktis gender, yakni mengatasi kerawanan pangan pada masyarakat miskin, tetapi belum memenuhi kebutuhan strategis gender yakni menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat Kerangka Pemikiran Gender berbeda dengan jenis kelamin. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial, maupun budaya sehingga lahirlah anggapan tentang peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi jenis kelamin pada laki-laki dan perempuan mengakibatkan munculnya perbedaan peran sosial diantara keduanya. Perbedaan peran sosial ini terbentuk melalui proses yang sangat panjang sehingga umumnya masyarakat menganggapnya sebagai kodrat Tuhan, seperti misalnya, perempuan memiliki sel telur sehingga perempuan bisa melahirkan, maka tak

47 27 heran jika perempuan memiliki sikap penyayang, lemah lembut, mampu merawat anak. Anggapan seperti ini melalui proses yang sangat panjang dan terjadi terusmenerus sehingga menjadi kebudayaan masyarakat tertentu. Pemahaman yang keliru mengenai perbedaan peran sosial inilah yang disebut dengan ideologi gender yang tinggi yakni membeda-bedakan peran sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Kemiskinan bagi Indonesia masih merupakan isu penting yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu, pemerintah gencar mengeluarkan berbagai program pembangunan yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, salah satunya adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). P2KP dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program P2KP dinilai berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, sehingga pada tahun 2008 program tersebut bergabung ke dalam Program PNPM Mandiri yakni sebuah program terpadu yang khusus menangani permasalahan kemiskinan. P2KP yang saat ini lebih dikenal sebagai Program PNPM-P2KP tidak hanya bergerak di wilayah perkotaan saja, tetapi juga mulai merambah ke kelurahan-kelurahan di wilayah kabupaten. Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang semakin menurun, yakni dari 79,4 juta orang (BPS, 2000) menjadi 32,5 juta orang pada tahun 2009 (BPS, 2009), menunjukkan bahwa program pembangunan pengentasan kemiskinan dinilai berhasil dalam pelaksanaannya. Sayangnya, keberhasilan program ini hanya dilihat secara general saja, artinya program pengentasan kemiskinan dikatakan berhasil jika program tersebut mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Misalnya PNPM-P2KP, program ini dikatakan berhasil dilihat dari semakin banyaknya pemanfaat atau munculnya KSM-KSM baru serta lancarnya pengembalian pinjaman dana usaha yang diberikan selama satu periode. Mengacu pada salah satu tujuan khusus yang ada dalam Pedoman Umum Pelaksanaan PNPM-P2KP, disebutkan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi kelompok perempuan dalam upaya pengentasan

48 28 kemiskinan, sehingga dapat disimpulkan bahwa PNPM-P2KP merupakan program pemberdayaan perempuan. Artinya, dalam setiap pelaksanaan program, peran perempuan sama pentingnya dengan laki-laki. Sayangnya, sampai saat ini peran perempuan dinilai masih rendah dibanding laki-laki. Sejauhmana keterlibatan perempuan dalam Program PNPM-P2KP dapat dianalisis dengan menggunakan alat analisis gender yakni akses dan kontrol terhadap pelaksanaan program PNPM-P2KP baik dalam tataran keorganisasian (KSM) maupun sasaran program (individu). Tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi anggota KSM dan mendapat pinjaman dari Program PNPM-P2KP diduga memiliki hubungan dengan pengembalian pinjaman, yakni jika tingkat pendidikan tinggi maka tingkat pengembalian pinjaman juga tinggi. Besarnya pinjaman menggambarkan nominal uang yang diterima oleh anggota KSM setiap periode. Besarnya pinjaman diduga berhubungan dengan pengembalian pinjaman, yakni jika nominal dana pinjaman kecil, maka pengembalian pinjaman lebih lancar dibanding dengan anggota yang mendapat pinjaman lebih besar. Kemudian besarnya pinjaman juga diduga berhubungan dengan ideologi gender yang dimiliki oleh anggota KSM, yaitu jika nominal pinjaman kecil, maka kontrol laki-laki terhadap besarnya pinjaman kecil, dan sebaliknya jika nilai nominal pinjaman besar, maka kontrol laki-laki terhadap besarnya pinjaman besar. Pengembalian pinjaman diduga berhubungan dengan pemberdayaan perempuan yang menjadi kunci keberhasilan Program PNPM-P2KP. Pemberdayaan perempuan diukur dengan menggunakan analisis gender berupa pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Jika pengembalian lancar diduga kebutuhan praktis gender telah terpenuhi. Hal ini berarti dengan kemampuan mengembalikan pinjaman, menggambarkan usaha yang dimiliki oleh anggota KSM berhasil atau berkembang. Dengan berkembangnya usaha yang dimiliki diduga akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan strategis gender yakni kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan terutama dalam pengambilan keputusan pengembangan usaha.

49 29 Jadi untuk melihat sejauhmana Program PNPM-P2KP dapat memberdayakan perempuan, digunakan Analisis Gender dari Moser (1985) yakni melihat keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender dilihat dari sejaumana program tersebut mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek perempuan seperti sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan strategis gender dilihat dari sejauhmana program mampu menyetarakan status perempuan dan laki-laki dalam perkembangan usahanya serta dalam rumah tangganya sebagai dampak dari keikutsertaannya dalam program. Kebutuhan strategis gender juga dilihat melalui pengalokasian pengambilan keputusan suami dan istri dalam rumah tangga.

50 30 Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP, Tingkat Besarnya Pinjaman Tingkat Relasi Gender Pinjaman Bergulir PNPM-P2KP Tingkat Akses Tingkat Pengembalian Pinjaman Tingkat Pemberdayaan Perempuan Pemenuhan Kebutuhan Praktis Pemenuhan Kebutuhan Strategis Tingkat Pendidikan Keterangan: : ada hubungan dan diuji menggunakan uji statistik. : ada hubungan dan tidak diuji menggunakan uji statistik.

51 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, diajukan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan yang nyata antara ideologi gender dengan akses terhadap program; 2. Terdapat hubungan yang nyata antara ideologi gender dengan pengembalian pinjaman; 3. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan individu dengan akses terhadap program; 4. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan individu dengan pengembalian pinjaman; 5. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan ideologi gender; 6. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan akses terhadap program; 7. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan pengembalian pinjaman; 8. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat besarnya pinjaman dengan pemberdayaan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender; 9. Terdapat hubungan yang nyata antara akses terhadap program dengan pemberdayaan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender; dan 10. Terdapat hubungan yang nyata antara pengembalian pinjaman dengan pemberdayaan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender.

52 Definisi Operasional Untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti konsep/variabel menjadi konkrit untuk diukur, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut: Tingkat Relasi Gender Tingkat relasi gender adalah pola hubungan antara laki-laki dan perempuan terhadap kegiatan dan peran gender dalam rumah tangga responden. Tingkat relasi gender dilihat dari 13 sifat, kegiatan, dan peran responden, yang dapat merujuk pada relasi gender tidak setara atau setara. Tingkat relasi gender yang tidak setara menunjukkan masih terjadi perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, begitupula sebaliknya. Ideologi gender dapat diukur dari pernyataan berdasarkan aktivitas menurut Kerangka Analisis Moser sebagai berikut: a. Kegiatan Reproduktif 1. Perempuan mengasuh anak; 2. Perempuan tidak boleh memimpin laki-laki; 3. Perempuan tidak boleh mengatur keuangan keluarga; 4. Perempuan tidak boleh memutuskan masalah keluarga; 5. Perempuan tidak boleh menentukan pendidikan anak; b. Kegiatan Produktif 6. Perempuan tidak boleh menjadi kepala keluarga; 7. Perempuan tidak boleh mencari nafkah/bekerja; 8. Perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah; 9. Perempuan tidak boleh berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki; 10. Perempuan tidak boleh berpenghasilan lebih tinggi daripada laki-laki; c. Kegiatan Sosial Kemasyarakatan 11. Perempuan tidak boleh ikut serta dalam kegiatan publik/organisasi; 12. Perempuan tidak boleh menyampaikan pendapat; dan 13. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin organisasi.

53 33 1. Setuju = Skor 1 = Membedakan 2. Tidak Setuju = Skor 2 = Tidak Membedakan. Pengukuran: a. Skor 13 n 19 = ideologi gender tradisional. b. Skor 20 n 26 = ideologi gender egalitarian Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal respoden yang dibedakan menjadi: 1. SMP = skor 1 = rendah 2. > SMP = skor 2 = tinggi Tingkat Besarnya Pinjaman Tingkat besarnya pinjaman adalah besarnya dana pinjaman (dalam rupiah) yang diterima oleh responden setiap satu kali periode pinjaman. 1. Rp ,- = skor 1 = rendah 2. Rp ,- = skor 2 = tinggi Pinjaman Dana Program PNPM-P2KP Pinjaman dana Program PNPM-P2KP adalah program pinjaman dana bergulir yang dilihat dari tingkat akses terhadap program serta tingkat pengembalian pinjaman Tingkat Akses Terhadap Program Tingkat Akses terhadap program adalah sejauhmana responden mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam mengikuti program PNPM-P2KP. Pengukuran: 1. Tinggi = skor 1 2. Rendah = skor 2

54 Tingkat Pengembalian Pinjaman Tingkat Pengembalian pinjaman adalah besarnya dana yang dapat dikembalikan oleh responden dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan lamanya PNPM-P2KP berjalan, biasanya dalam satu periode yakni selama 10 bulan. Pengukuran: 1. Tidak terlunasi/macet = skor 1 2. Terlunasi = skor Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan Perempuan adalah sejauhmana Program PNPM-P2KP dapat memberdayakan perempuan dilihat dari pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender Kebutuhan Praktis Gender Kebutuhan praktis gender adalah terpenuhinya kebutuhan mendasar responden setelah mengikuti program yang diukur dari pernyatan berikut: 1. Makan lebih dari dua kali dalam sehari; 2. Mengkonsumsi makanan bergizi; 3. Berobat ke dokter atau rumah sakit; 4. Memperbaiki kerusakan dalam rumah; 5. Memiliki MCK sendiri; 6. Memiliki modal usaha; 7. Melunasi iuran sekolah anak; 8. Melunasi hutang/tagihan; 9. Berkembangnya Usaha; dan 10. Meningkatnya keeratan organisasi/ksm. Pengukuran: 1. Tidak = skor 1 2. Ya = skor 2 Pengukuran kebutuhan praktis gender: 1. Skor 10 n 15 = skor 1 = tidak terpenuhi 2. Skor 16 n 20 = skor 2 = terpenuhi

55 Kebutuhan Strategis Gender Kebutuhan strategis gender adalah perubahan peranan dan status responden dalam perkembangan usaha dan rumah tangganya setelah mengikuti program. Kebutuhan strategis gender dapat diukur berdasarkan pengambilan keputusan dalam hal: 1. Menentukan frekuensi makan sehari-hari; 2. Menentukan menu makan sehari-hari; 3. Menentukan besarnya biaya untuk makan; 4. Menentukan besarnya biaya untuk belanja bulanan; 5. Menentukan berobat dimana ketika ada keluarga yang sakit; 6. Menentukan pengurusan anak; 7. Menentukan pendidikan/sekolah anak; 8. Menentukan uang saku/jajan anak; 9. Menentukan komoditi/jenis usaha; 10. Menentukan besarnya uang yang digunakan untuk melunasi hutang/tagihan; 11. Menentukan ikut KSM; 12. Menentukan pengelolaan dana pinjaman; 13. Menentukan siapa yang menjalankan usaha; 14. Menentukan usaha akan lanjut atau berhenti; dan 15. Menentukan dana investasi/tabungan. Pengukuran: 1. Suami = skor 1 2. Istri = skor 2 Total skor adalah: 1. Skor sama dengan 15 = skor 1 = tetap 2. Skor 16 n 22 = skor 2 = kurang berubah 3. Skor 23 n 30 = skor 3 = berubah Pertanyaan dalam pemenuhan kebutuhan strategis ini ditujukan kepada responden sebelum dan sesudah mengikuti program untuk melihat apakah terjadi perubahan peranan dan status perempuan. Jadi ada selisih antara total skor sebelum dan sesudah mengikuti program, maka program berhasil dalam memenuhi kebutuhan strategis gender, begitupun sebaliknya.

56 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Penelitian kuantitatif dilaksanakan dengan menggunakan desain survei yaitu mengumpulkan informasi dengan cara mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data kualitatif digunakan untuk mendukung data kuantitatif yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif. Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan terkait untuk memahami proses pelaksanaan PNPM-P2KP Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang tertinggi dan terlancar dalam pengembalian pinjaman dana PNPM-P2KP di Kecamatan Cigombong. Selain itu, desa tersebut merupakan desa binaan Posdaya IPB sekaligus tempat Kuliah Kerja Profesi (KKP) peneliti, sehingga diharapkan dapat memudahkan peneliti dalam memperoleh data dan informasi. Pengambilan data dilakukan dalam dua bulan yaitu pada bulan Oktober dan November Teknik Pemilihan Populasi dan Sampel Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberhasilan program PNPM- P2KP pada setiap anggota KSM Bidang Ekonomi sehingga pengambilan sampel dilakukan dengan dua metode yakni Frame Sampling dan Propotional Sampling. Frame Sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel dengan cara membuat sebuah kerangka sampling berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Frame Sampling dalam penelitian ini dilakukan

57 37 dengan langkah berikut: pertama, peneliti menggunakan data seluruh KSM yang ada di UPK PNPM-P2KP Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah KSM yang ada di Desa Srogol yakni sebanyak 39 KSM. Kedua, dipilih KSM yang ada anggota perempuan, baik KSM yang anggotanya laki-laki dan perempuan maupun KSM perempuan semua, maka didapat 28 KSM. Langkah selanjutnya adalah dari 28 KSM yang ada anggota perempuannya tersebut dipilih KSM yang jumlah anggotanya relatif cukup untuk menggambarkan sebuah kelompok, yakni empat sampai enam orang, maka didapat 21 KSM. Kemudian 21 KSM inilah yang akan menjadi subyek penelitian. Setelah menentukan KSM yang akan menjadi subyek penelitian, metode kedua yang digunakan adalah Proportional Sampling, yakni teknik pengambilan sampel yang bertujuan untuk lebih memenuhi keterwakilan sampel yang diambil terhadap populasi. Dalam penelitian ini, teknik proporsional sampling digunakan untuk melihat keterwakilan anggota KSM dalam KSM mereka yang nantinya akan menggambarkan bentuk hubungan yang ada dalam kelompok seperti tangung renteng. Proportional Sampling dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah sebagai berikut: pertama, dari 21 KSM campuran yang telah didapat pada metode frame sampling, diketahui bahwa setiap KSM memiliki empat sampai enam orang anggota. Kedua, dari setiap KSM diambil secara proporsional sebesar 50 persen dari jumlah anggota. Pengambilan sampel ini hanya ditujukan pada anggota perempuan saja. Oleh karena itu, didapat sampel sebanyak 48 orang perempuan. Pemilihan sampel secara proporsional sampling tersaji dalam Tabel 2. berikut.

58 38 Tabel 2. Daftar Nama KSM Bidang Ekonomi PNPM-P2KP Hasil Penarikan Sampel Proporsional di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. KSM RT/RW Jumlah Anggota Jumlah Sampel 1. KSM 1 01/ KSM 2 01/ KSM 4 03/ KSM 6 04/ KSM 9 05/ KSM 11 05/ KSM 14 08/ KSM 15 08/ KSM 17 08/ KSM 21 09/ KSM 22 09/ KSM 27 12/ KSM 28 12/ KSM 31 13/ KSM 32 13/ KSM 33 13/ KSM 35 16/ KSM 36 16/ KSM 37 17/ KSM 38 17/ KSM 39 18/ Jumlah Sumber: Data Primer, 2010 Selain kedua teknik pemilihan sampel di atas, dilakukan pula penguatan data kuantitatif dengan menggali data kualitatif dengan responden. data kualitatif didapatkan melalui cara probing kepada beberapa orang (7 orang) responden yang memiliki karakteristik khusus baik dari pendidikan, pekerjaan, jumlah pengeluaran dan sebagainya. Pertanyaan digali untuk mendapatkan data kualitatif berdasarkan panduan pertanyaan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang mencakup semua variabel bebas dan variabel tidak bebas dalam penelitian ini yang diperoleh melalui survey yang menggunakan kuesioner terstruktur, wawancara mendalam dan pengamatan.

59 39 Kuesioner terstruktur dimaksudkan untuk memperoleh informasi dari responden yang berkaitan dengan tujuan penelitian, sedangkan wawancara mendalam digunakan agar dapat menangkap pengalaman, persepsi, pemikiran, perasaan, dan pengetahuan dari responden. Informasi yang digali melalui wawancara mendalam antara lain, ideologi gender serta akses dan kontrol dalam mempengaruhi pengembalian pinjaman dana PNPM-P2KP. Data sekunder mencakup informasi dan data sekunder yang diperoleh dari perpustakaan (literatur-literatur), dan dari sejumlah instansi (Kantor Desa Srogol, 2008) yang diperlukan untuk mendukung kelengkapan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data primer yang berhasil dikumpulkan secara kuantitatif terlebih dahulu diolah dan ditabulasikan. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Selanjutnya, data kuantitatif yang telah ditampilkan dalam tabulasi silang dilakukan dengan pengujian statistik dengan korelasi Rank Spearman untuk data dengan skala minimal ordinal. Data tersebut kemudian dianalisis dan dinterpretasikan untuk melihat kasus yang terjadi. Pengolahan data masingmasing variabel diproses dengan menggunakan software SPSS 16.0 dan Microsoft Excel Analisa kualitatif dilakukan dengan cara mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena yang ada di lapang. Uji Rank Spearman yang berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala ordinal (Sarwono, 2006). Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel bebas dan terikat yang berskala ordinal (non parametrik). Hasil uji korelasi Rank Spearman juga menghasilkan nilai probabilitas atau p-value. Penetapan taraf nyata α 0,2 dipilih mengingat unit analisis yang diambil adalah individu yang bersifat dinamis. Menurut Black and Champion (1997) dalam Ciptoningrum (2009), nilai kepercayaan dapat berkisar antara 0.01 hingga 0.3. jika p-value lebih kecil dari nilai α (0,2), maka tolak H0 terima H1 hubungan tersebut nyata. Sedangkan bila nilai p-value lebih besar dari α (0,2), maka terima H0 tolak H1, hubungan tersebut tidak nyata.

60 40 H0: Tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel-variabel yang diuji. H1: terdapat hubungan yang nyata antara variabel-variabel yang diuji. Koefisien Rank Spearman menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi untuk mengaktegorikan nilai r. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Korelasi yang menghasilkan angka positif berarti hubungan kedua variabel bersifat searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat juga besar. Korelasi yang menghasilkan angka negatif berarti hubungan kedua variabel tidak searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat menjadi kecil.

61 41 BAB IV KEADAAN UMUM DESA SROGOL Bab ini mendeskripsikan keadaan umum wilayah penelitian dan profil responden. Dalam penelitian ini kondisi potensi sosial Desa Srogol dijadikan sebagai bahan untuk menganalisis aspek-aspek kehidupan masyarakat Desa Srogol yang meliputi kondisi fisik desa, kependudukan, sistem ekonomi, dan lembaga kemasyarakatan. Adapun profil responden yang dideskripsikan dalam bab ini adalah karakteristik individu yang meliputi umur, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kondisi Fisik Desa Srogol Desa Srogol merupakan salah satu desa di wilayah di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak sekitar tiga kilometer dari ibukota kecamatan, 41 kilometer dari ibukota kabupaten/kota Bogor, dan 141 kilometer dari ibukota provinsi, Bandung. Dengan menggunakan kendaraan bermotor, desa ini dapat ditempuh dalam waktu lima sampai sepuluh menit dari kota kecamatan, atau sekitar dua jam dari Kota Bogor. Adapun dari ibukota provinsi dapat ditempuh dalam waktu 5-6 jam. Untuk mencapai Desa Srogol dapat dilakukan dengan menempuh trayek Jalan Raya Bogor-Sukabumi melewati wilayah Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, sebuah jalur lintas luar kota yang sangat padat, sehingga untuk mencapai desa ini, baik itu menggunakan mobil pribadi atau angkutan kota dapat memakan waktu sekitar satu hingga dua jam. Kantor Balai Desa Srogol terletak sekitar dua kilometer dari gerbang desa.. Secara geografis Desa Srogol Kecamatan Cigombong berbatasan dengan masing-masing sebuah desa di empat kecamatan yang terletak masih di Kabupaten Bogor, yaitu: (a) di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Buncir, di Kecamatan Caringin, (b) di sebelah Selatan dengan Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, (c) di sebelah Timur dengan Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin, dan (d) di sebelah Barat dengan Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong.

62 42 Merunut dari sejarah berdirinya desa yang diceritakan oleh pegawai desa setempat, pada mulanya Desa Srogol merupakan bagian dari Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong. Oleh karena terjadi perluasan dan pemekaran wilayah serta pertambahan penduduk yang cukup pesat, maka Desa Srogol memisahkan diri dari Desa Ciburuy pada tahun Secara administratif, Desa Srogol terdiri dari enam Rukun Warga (RW) dan 18 RT. Secara topografis, desa ini terletak di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Desa Srogol memiliki wilayah seluas 131,985 hektar, dengan rincian alokasi penggunaan lahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini. Tabel 3. Wilayah Desa Grogol Menurut Alokasi Penggunaan Lahan, 2008 No. Kategori Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persen (%) 1. Pemukiman 17,7 13,40 2. Persawahan 25 18,94 3. Perkebunan 12 9,09 4. Makam/kuburan 2,3 1,74 5. Pekarangan Perkantoran 5 3,79 7. Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido dan 60 45,46 Pesantren Al Kahfi Jumlah Sumber: Monografi Desa Srogol, 2008 Sebagaimana terlihat pada Tabel 3. persentase terluas wilayah desa ini digunakan sebagai area bangunan pendidikan Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido dan Pesantren Al Kahfi. Kedua lembaga pendidikan ini sebenarnya tidak termasuk ke dalam wilayah Desa Srogol, karena meskipun secara administratif Gedung SPN Lido terletak di wilayah RW 07, namun karena SPN Lido merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan tersendiri mengelola kegiatan yang menjadi tanggung-jawabnya, sumberdaya manusia di lingkungan SPN tidak diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan desa. Selain lahan yang dialokasikan untuk SPN dan Pesantren Al-Kahfi, mayoritas berikutnya dari wilayah Desa Srogol digunakan sebagai areal pertanian (28,03 persen). Oleh karena letaknya yang tepat di pinggir jalur luar kota Bogor- Sukabumi yang cukup padat, kondisi di desa ini lebih menyerupai perkotaan, setidaknya hal ini tercermin dari persentase tertinggi ketiga dari lahan desa ini yang digunakan untuk pemukiman. Meskipun demikian, yang menarik adalah

63 43 bahwa rumah-rumah penduduk masih memiliki lahan pekarangan yang pada Tabel 3. mencakup seluas hampir delapan persen dari luas total desa atau sekitar 27 persen dari lahan pertanian. Kondisi pemukiman di desa Srogol dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yakni modern dan tradisional-semi modern. Pemukiman penduduk yang modern terletak di sekitar SPN Lido yang ditandai dengan bangunan rumah yang permanen, berdinding tembok, berlantai ubin, sedangkan pemukiman penduduk yang tergolong semi-permanen berada jauh dari pusat pemerintahan desa, ditandai dengan bangunan rumah semi permanen, berdinding campuran dari tembok dan kayu dengan fasilitas jalan dari tanah dan sempit Keadaan Umum Pendudukan Jumlah penduduk di Desa Srogol adalah sebanyak jiwa, dengan penduduk laki-laki relatif dominan (51,6 persen), dan sisanya adalah penduduk perempuan (48,4 persen). Menurut kelompok umurnya, persentase terbesar penduduk Desa Srogol berada pada kelompok umur tahun (9,92 persen), sementara persentase terendah penduduk desa terdiri dari penduduk usia lanjut (75 tahun ke atas), yaitu sekitar 0,49 persen. Hal ini menandakan bahwa di Desa Srogol lebih banyak penduduk dalam usia muda. Data lengkap mengenai komposisi jumlah penduduk Desa Srogol berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.

64 44 Tabel 4. Komposisi Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Srogol Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2008 No. Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ke atas 18 0, , ,49 Jumlah , , Sumber: Monografi Desa Srogol, 2008 Keadaan umum penduduk Desa Srogol menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 5. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Srogol secara keseluruhan dapat dikatakan rendah. Hal ini dilihat dari besarnya persentase jumlah penduduk yang menamatkan pendidikannya pada jenjang sekolah dasar (SD) dan sederajat sebesar 41,8 persen. Hanya 23,9 persen penduduk Desa Srogol yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat. Proporsi tingkat pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan di Desa Srogol terlihat sangat timpang yakni sebesar 38,77 persen penduduk lakilaki telah menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD) dan sederajat, sedangkan penduduk perempuan hanya sebesar 46,11 persen. Ketimpangan tingkat pendidikan penduduk laki-laki dan perempuan lebih terjadi pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat, yakni sebesar 28,41 persen penduduk laki-laki telah menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah pertama sedangkan penduduk perempuan hanya sebesar 20,41 persen. Komposisi tingkat pendidikan penduduk Desa Srogol tersaji dalam Tabel 5.

65 45 Tabel 5. Komposisi Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, 2008 No. Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan Total Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) 1. SD/Sederajat , , ,81 2. SMP/Sederajat , , ,09 3. SMA/Sederajat , , ,94 4. D3/S , , ,16 Jumlah , , Sumber: Monografi Desa Srogol, 2008 Jumlah penduduk usia kerja di Desa Srogol cukup besar yakni 53,51 persen dari jumlah penduduk. Penduduk usia tahun yang bekerja sebesar 62,97 persen yang terdiri atas penduduk laki-laki sebesar 61,25 persen dan perempuan sebesar 64,74 persen. Hal ini menandakan bahwa penduduk Desa Srogol cukup produktif. Jumlah penduduk laki-laki usia kerja yang tidak bekerja lebih banyak (38,75 persen) daripada penduduk perempuan (35,26 persen). Sebagian penduduk yang tidak bekerja ini umumnya masih sekolah, sebagian lagi pengangguran. Data selengkapnya mengenai sebaran penduduk usia kerja yang bekerja dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Usia Kerja dan Jenis Kelamin, 2008 No. Tenaga Kerja Laki-laki Perempuan Total Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) 1. Penduduk usia , , , tahun yang bekerja 2. Penduduk usia , , , tahun yang tidak bekerja Jumlah , , Sumber: Monografi Desa Srogol, 2008 Sebaran mata pencaharian penduduk Desa Srogol cukup merata, tetapi mayoritas penduduk bekerja sebagai karyawan swasta yakni sebesar 34,70 persen. Penduduk perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta lebih banyak daripada penduduk laki-laki, yakni sebesar 21,57 persen. Pada umumnya, penduduk perempuan bekerja sebagai buruh di pabrik garmen dan tekstil. Mata pencaharian utama penduduk yang kedua setelah karyawan swasta adalah sebagai

66 46 petani atau buruh tani, yakni sebesar 14,99 persen, terdiri atas 9,16 persen penduduk laki-laki dan 5,84 persen penduduk perempuan. Hal ini menandakan bahwa Desa Srogol masih merupakan desa pertanian. Mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani/buruh tani adalah petani sawah irigasi dan petani tegalan. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian tersaji dalam Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Mata Pencaharian Utama dan Jenis Kelamin, 2008 No. Mata Pencaharian Laki-Laki Perempuan Total Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) Jumlah (orang) Persen (%) 1. Pegawai Negeri Sipil 101 6, , ,01 2. TNI 39 2,59 0 0,0 39 2,59 3. Polri 45 2, , ,31 4. Swasta/BUMN/ , , ,70 BUMD 5. Wiraswasta/Pedagang , , ,93 6. Petani/Buruh Tani 138 9, , ,99 7. Pensiunan 105 6, , ,94 8. Jasa/lain-lain 10 0, , ,51 Jumlah , , Sumber: Monografi Desa Srogol, Kelembagaan Meskipun desa Srogol tergolong relatif baru diresmikan, namun kondisi lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa ini relatif cukup lengkap dan beragam, sesuai ketetapan Undang-Undang Pemerintah Desa. Walaupun masih berstatus desa, sebenarnya berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor, desa Srogol seharusnya berstatus Kelurahan, namun penduduk desa ini telah terbiasa dan lebih nyaman dengan sebutan desa, dengan alasan agar merasa tidak kehilangan identitas mereka sebagai satu kesatuan (entitas). Lembaga-lembaga sosial ekonomi yang ada di Desa Srogol meliputi lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan desa, lembaga ekonomi, dan lembaga pendidikan. Lembaga pemerintahan desa merujuk pada aparat pemerintah desa. Kantor pemerintahan desa atau yang biasa disebut sebagai Balaidesa/Kantor Lurah beralamat di Jalan Desa Srogol No.1 Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jumlah aparat pemerintahan desa sebanyak tujuh orang,terdiri atas kepala desa/lurah, sekretaris desa, kepala urusan pemerintahan, kepala urusan pembangunan, dan kepala urusan umum. Menurut jenis kelaminnya, aparat

67 47 pemerintah desa terdiri atas lima orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dengan jumlah aparat desa yang minim tersebut, terkadang seorang aparat desa merangkap lebih dari satu jabatan, sebagaimana dijumpai yakni aparat Bagian Umum merangkap Bagian Keuangan; hal ini bisa berpengaruh pada kinerja pegawai kelurahan Desa Srogol. Sesuai dengan jumlah RW dan RT di desa ini, terdapat sejumlah kepala dusun/lingkungan, terdiri atas tiga orang laki-laki. Selain itu, terdapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berjumlah tujuh orang terdiri atas enam orang laki-laki dan satu orang perempuan. Meskipun jumlah lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Srogol ini cukup beragam, namun banyak yang tidak berjalan. Lembaga Kemasyarakatan Desa Srogol meliputi Lembaga Kemasyarakatan Desa/Kelurahan (LKD/LKK), PKK, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT), Karang Taruna, dan Kelompok Tani/Nelayan. Keberadaan LKD/LKK di Desa Srogol dapat dikatakan kurang produktif, terlihat dari semakin jarangnya anggota-anggota LKD/LKK yang melakukan rapat-rapat koordinasi seputar masyarakat, padahal kantor LKD/LKK ini tepat di samping Kantor Lurah/Balaidesa. Jumlah anggota LKD/LKK saat ini belum jelas, sehingga dapat dikatakan bahwa LKD/LKK Desa Srogol tidak berjalan. Demikian halnya dengan PKK yang ada di Desa Srogol, dapat dikatakan tidak berjalan. Walaupun jumlah anggotanya mencapai 30 orang, namun kegiatankegiatan PKK hampir tidak ada. Berbeda dengan Karang Taruna Desa Srogol yang beranggotakan 15 orang, terlihat lebih aktif dalam setiap kegiatan desa. Karang Taruna ini terdiri atas anak-anak muda yang umumnya pengangguran. Kelompok Tani Desa Srogol dapat dikatakan sebagai lembaga sosial ekonomi yang paling aktif dan produktif dari lembaga kemasyarakatan lainnya. Kelompok Tani ini merupakan pecahan dari Kelompok Tani Desa Ciburuy. Walaupun luas lahan pertanian Desa Srogol tidak seluas Desa Ciburuy, sehingga hasil produksi pertanian pun tidak sebesar Desa Ciburuy, kelompok tani ini masih aktif dalam memproduksi hasil-hasil pertanian, seperti padi, singkong. Banyak diantara anggota petani dari kelompok tani tersebut yang memanfaatkan lahan SPN Lido, karena mereka tidak memiliki lahan sendiri.

68 48 Desa Srogol terdiri atas enam RW dan 18 RT, masing-masing RW memiliki sebutan kampung masing-masing. Pada umumnya penduduk desa lebih mengenal nama kampung daripada nama RW mereka. Jumlah kampung yang ada di Desa Srogol adalah delapan kampung. Jumlah ini lebih banyak daripada jumlah RW karena terkadang dalam satu RW terdapat dua kampung, seperti di RW 04, terdapat Kampung Sawah Asep dan Kampung Babakan Keluarga. Berikut Tabel 8. yang berisi nama-nama kampung di Desa Srogol. Tabel 8. Nama Kampung Berdasarkan Rukun Warga (RW) Desa Srogol, 2008 No. Nama Kampung RW 1. Pangkalan Cibandawa Cisalopa Sawah Asep Babakan Keluarga Srogol Sunglapan Pangarakan 06 Sumber: Monografi Desa Srogol, 2008 Lembaga ekonomi yang terdapat di Desa Srogol cukup banyak dan beragam, antara lain Koperasi Simpan Pinjam, Usaha jasa pengangkutan, usaha jasa perdagangan, dan usaha jasa ketrampilan. Koperasi simpan pinjam di Desa Srogol tidak berjalan dengan lancar atau gagal, terlihat dari jumlah anggota koperasi yang hanya 65 orang. Pengurus koperasi menyatakan bahwa kegagalan koperasi simpan pinjam ini dikarenakan banyaknya anggota yang meminjam namun tidak dikembalikan atau berhutang, sedangkan anggota yang menyimpan hanya beberapa orang saja. Usaha jasa pengangkutan di Desa Srogol merujuk pada pemilik angkutan desa/kota yang berjumlah lima orang. Selain pemilik angkutan kota, mayoritas penduduk Desa Srogol bekerja sebagai pengojek, sehingga seharusnya jasa pengangkutan darat tidak hanya terbatas pada mobil angkutan desa/kota, tetapi juga motor yang digunakan untuk mengojek. Usaha jasa perdagangan di Desa Srogol dapat dikatakan cukup banyak yakni terlihat dari banyaknya toko kelontong warga dan pedagang keliling. Hampir di setiap RW terdapat dua sampai empat toko kelontong yang menjual kebutuhan rumah tangga. Usaha jasa ketrampilan merupakan lembaga ekonomi yang paling maju, terdiri atas tukang kayu, tukang batu, tukang jahit/bordir,

69 49 tukang cukur, tukang service elektronik, tukang besi dan tukang pijat/urut/pengobatan. Tukang kayu menempati posisi tertinggi diantara usaha jasa ketrampilan lainnya yakni sebanyak 30 orang, disusul kemudian tukang jahit/bordir yakni sebanyak 17 orang. Pada usaha jasa pijat/urut/pengobatan hanya satu orang yang menjadi pemilik, namun usaha ini berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak lima orang. Lembaga pendidikan di Desa Srogol dapat dikatakan rendah. Hal ini dikarenakan hanya terdapat satu sekolah menengah atas (SMA) yang statusnya masih terdaftar, serta satu sekolah menengah pertama (SMP) yang statusnya juga masih terdaftar. Di wilayah desa ini, terdapat pesantren yakni AL Kahfi dan Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido, namun kedua lembaga pendidikan besar ini tidak menyerap siswa-siswi dari penduduk Desa Srogol. Mayoritas siswa di kedua lembaga ini berasal dari luar desa bahkan luar kota. Jumlah tenaga pengajar di desa ini terbilang cukup banyak, yakni sebanyak 85 guru mengajar SD dan SMP, serta 35 guru mengajar SMA. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Srogol menunjukkan bahwa desa ini terbilang cukup maju, walaupun banyak lembaga yang pada akhirnya tidak aktif lagi. Namun perlu diketahui bahwa kesadaran masyarakat terhadap kemajuan desa terlihat cukup tinggi, ditandai dengan adanya LKD/LKK di Desa Srogol, padahal desa ini masih tergolong desa baru. Kemudian semakin berkembangnya lembaga ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ditandai dengan banyaknya toko-toko kelontong dan usaha jasa lainnya. Pendidikan menjadi hal yang penting bagi penduduk Desa Srogol dilihat dari semakin berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan di desa tersebut Profil Responden Umur Responden Responden dalam Responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang telah menikah dan menjadi anggota KSM PNPM-P2KP Bidang Ekonomi di Desa Srogol Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Responden dalam penelitian ini berjumlah 48 orang perempuan yang terdiri dari 21 KSM Campuran. Sebanyak 33,3 persen dari jumlah responden, berumur 35 sampai 44

70 50 tahun, menyusul kemudian responden yang berumur 25 sampai 34 tahun sebanyak 29,2 persen. Hal ini menandakan bahwa pemanfaat pinjaman PNPM-P2KP di Desa Srogol adalah penduduk usia muda dan tergolong ke dalam usia angkatan kerja. Sebaran responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Umur, 2010 No. Rentang Umur (Tahun) Jumlah Persen (%) , , , , ,4 Jumlah Sumber: Data Primer, Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan responden dapat dikatakan rendah, yakni hanya 22,9 persen dari jumlah responden, yang menamatkan pendidikan hingga jenjang sekolah menengah atas atau sederajat. Mayoritas responden adalah tamatan sekolah dasar atau sederajat, bahkan ada dua orang responden yang hanya sampai sekolah rakyat (SR). Untuk sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2010 No. Pendidikan Jumlah Persen (%) 1. Di bawah atau lulusan 36 75,0 SMP/Sederajat 2. SMA/D ,0 Jumlah Sumber: Data Primer, Mata Pencaharian Mayoritas mata pencaharian atau pekerjaan responden adalah pedagang makanan (25 persen) disusul kemudian ibu rumah tangga (18,7 persen). Responden yang berdagang makanan mayoritas berdagang di sekitar sekolah dan warung makan kecil di rumahnya. Responden yang bekerja sebagai pedagang kredit sebanyak 16,6 persen umumnya berdagang barang elektronik. Sebaran responden berdasarkan mata pencaharian tersaji dalam Tabel 11. berikut.

71 51 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Mata Pencaharian, 2010 No. Mata Pencaharian Jumlah Persen (%) 1. Wiraswasta a. Pedagang pakaian b. Warung c. Kreditan d. Makanan e. Jasa f. Lainnya ,2 12,5 16,6 25 4,2 12,5 2. Karyawan 3 6,3 3. Ibu Rumah Tangga 9 18,7 Jumlah Sumber: Data Primer, 2010

72 52 BAB V KERAGAAN PROGRAM PNPM-P2KP DI DAERAH PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Program PNPM-P2KP di Desa Srogol Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan sebuah program alternatif pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia pada tahun Program ini dinilai berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, sehingga pada tahun 2008 Program P2KP diadopsi oleh Program PNPM Mandiri sebagai salah satu program unggulan dengan nama Program PNPM-P2KP. Program PNPM-P2KP di Desa Srogol telah berjalan selama tiga tahun yakni dari tahun 2007 hingga saat ini. Program PNPM-P2KP merupakan salah satu program pengentasan kemiskinan yang ada di Desa Srogol. Program ini berbeda dengan program-program pemerintah lain karena program ini mengacu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat, yakni masyarakat yang menjadi subyek dan obyek dalam program tersebut. Di dalam Program PNPM-P2KP terdapat tiga bidang yang menjadi sasaran program yakni bidang lingkungan, bidang sosial, dan bidang ekonomi. Penelitian ini khusus untuk membahas Program PNPM-P2KP bidang ekonomi. Pelaksanaan Program PNPM-P2KP tidak terlepas dari peran Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang merupakan lembaga lokal desa yang khusus menangani permasalahan kemiskinan. Walaupun telah berjalan cukup lama, yakni hampir tiga tahun dan sudah melalui dua tahap pencairan dana, BKM Desa Srogol tidak memiliki tempat khusus sebagai kantor Program PNPM-P2KP Desa Srogol. Para anggota BKM biasa berkumpul dan melakukan segala kegiatan yang berkaitan dengan Program PNPM-P2KP di rumah Bapak Mn, ketua koordinator Program PNPM-P2KP Desa Srogol, yang beralamat di RW 03, Kampung Cisalopa, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Anggota BKM Desa Srogol berjumlah 13 orang, namun yang masih aktif hanya tujuh orang. Komposisi pengurus BKM tersaji dalam Tabel 12.

73 53 Tabel 12. Komposisi Pengurus BKM dan UPK di Desa Srogol, 2009 No. Jabatan Jenis Kelamin 1. Ketua Koordinator BKM Laki-laki 2. Sekretaris Laki-laki 3. Bendahara Perempuan 4. UPK Lingkungan Laki-laki 5. UPK Ekonomi Perempuan 6. UPK Sosial Perempuan 7. Koordinator Tagihan Laki-laki Sumber: BKM Desa Srogol, 2009 Berdasarkan Tabel 12. terlihat bahwa jumlah perempuan dalam kepengurusan BKM Desa Srogol lebih sedikit daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam organisasi kemasyarakatan masih terbilang rendah. Perempuan merasa bahwa kurang pantas jika mereka sering ikut kegiatan-kegiatan desa. Seperti yang dituturkan oleh ketua koordinator BKM, Bapak Mn berikut: Perempuan di sini mah kurang aktif, neng. Kalau ada rapat-rapat di desa, pada ngga mau dateng. Alasannya mah ngurus anak, ngurus rumah. Cuma Bu Ns dan Bu Sh aja nih yang mau repot ngurusin desa. Pernyataan yang sama juga dituturkan oleh Ibu Nn, salah satu anggota BKM, yang mengatakan: Saya juga bingung ngajak nya kumaha deui neng. Pada ngga mau, pada takut. Ngurusin rumah aja udah susah apalagi ngurusin desa. Kalau saya mah orangnya emang seneng kumpul-kumpul neng. Suka ikutan rapat-rapat di desa, biar nambah ilmu. Walaupun telah tergolong ke dalam kategori desa modern yang ditandai dengan semakin berkurangnya penduduk desa yang bekerja di bidang pertanian, serta ditambah pula dengan adanya lembaga pendidikan Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido, tampaknya modernisasi dalam keterlibatan perempuan di berbagai bidang belum terlihat. Perempuan di Desa Srogol masih beranggapan bahwa lakilaki atau suami lah yang berhak ikut ke acara-acara di Balaidesa. Kemudian budaya patriarkhi yang masih kental menjadi salah satu faktor penghambat bagi perempuan untuk mengikuti berbagai kegiatan di desa.

74 Pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol Pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Unit Pelasana (UP) di Desa Srogol Pada bulan Juli tahun 2007, Desa Srogol mendapat tawaran dari pemerintah untuk menjadi wilayah sasaran Program P2KP. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan program tersebut dalam mengurangi tingkat kemiskinan di perkotaan sehingga pemerintah berencana untuk mengembangkan program tersebut ke wilayah kabupaten. Program P2KP masuk ke Desa Srogol diawali dengan adanya penyuluhan dari sukarelawan Program P2KP pusat kepada masyarakat yang dilaksanakan pada bulan Juli Dari penyuluhan tersebut didapatkan keputusan bahwa masyarakat Desa Srogol menerima Program P2KP. Program P2KP merupakan program pengentasan kemiskinan yang berbeda dengan program-program lain, karena Program P2KP lebih mengedepankan pada pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, program tersebut harus direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi oleh masyarakat sendiri. Artinya tidak ada campur tangan pemerintah dalam program, kecuali dalam pencairan dana pinjaman. Pelaksanaan Program P2KP di Desa Srogol terdiri dari beberapa tahap yakni sosialisasi program, pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), serta pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Sosialisasi Program PNPM-P2KP dilaksanakan oleh sukarelawan PNPM- P2KP Pusat dibantu oleh pemerintah atas desa. Sosialisasi tahap awal diadakan di Balaidesa dengan mengundang ketua RW, ketua RT, pengurus PKK, dan Karang Taruna. Dalam sosialisasi tahap awal, diharapkan ketua RW dan ketua RT dapat menyampaikan informasi mengenai Program PNPM-P2KP kepada warganya masing-masing. Kemudian di dalam tahap awal tersebut juga diinformasikan bahwa perlu dibentuk sebuah lembaga khusus untuk menangani permasalahan kemiskinan, yakni Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). BKM dapat berupa lembaga lokal yang telah lama terbentuk, seperti LKMD, atau sebuah lembaga yang dibentuk baru. Desa Srogol memilih untuk membuat BKM baru. KSM merupakan sebuah kelompok sasaran yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan dana pinjaman.

75 55 Sosialisasi tahap kedua dilaksanakan di masing-masing RW di Desa Srogol yang dipimpin oleh sukarelawan PNPM-P2KP Pusat dan diwakili oleh pejabat desa. Pada tahap kedua, kegiatan sosialisasi mengundang seluruh warga, baik laki-laki maupun perempuan. Faktanya, kehadiran perempuan saat itu sangat minim, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Lh, pedagang kredit, sebagai berikut: Waktu itu teh ada acara penyuluhan P2KP. Karena bapak waktu itu masih ketua RW, ya ibu ikut diundang. Ibu dateng neng ke acara itu, tapi ibu-ibu lainnya mah sedikit. Padahal udah diumumin di pengajian ge, kalau ada acara penyuluhan. Kemudian tidak sedikit perempuan yang merasa tidak perlu ikut kegiatan sosialisasi tersebut. Seperti yang dituturkan oleh ibu Sr, pedagang makanan kecil, berikut: Dulu pernah ada acara-acara penyuluhan gitu, tentang program pinjaman uang kan yah? Tapi ibu mah ngga hadir, biar bapak aja yang hadir. Itu kan kewajiban laki-laki atuh neng, ikut acara-acara begituan mah. Ibu mah di rumah aja ngurus anak. Kehadiran perempuan yang minim dalam kegiatan sosialisasi tahap kedua di masing-masing RW menjadikan banyak perempuan tidak begitu paham mengenai program P2KP. Pengambilan keputusan di tingkat RW dan RT pun lebih didominasi oleh laki-laki. Padahal Program PNPM-P2KP merupakan program yang telah berwawasan gender, sehingga perempuan juga memiliki andil dan peranan yang setara dengan laki-laki dalam menentukan keberhasilan program. Pada sosialisasi tahap kedua tersebut disampaikan kembali kepada masyarakat mengenai pembentukan BKM. Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk memilih sendiri orang yang dianggap memiliki komitmen tinggi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dalam tahap ini disampaikan pula mengenai tata cara pembentukan KSM dan cara mendapatkan pinjaman. Pembentukan BKM diawali pada tingkat RT yakni masing-masing warga dalam satu RT memilih tiga orang perwakilan, baik laki-laki dan perempuan, yang dapat dipercaya dan diakui komitmennya terhadap program. Pelaksanaan pemilihan perwakilan dilakukan seperti Pemilu, namun tidak ada calon dalam pemilihan tersebut. Bapan Sk, ketua RW 04 menuturkan sebagai berikut:

76 56 Pada waktu itu, masing-masing warga di tingkat RT memilih tiga orang untuk perwakilan. Bebas dek, siapa saja boleh dicalonkan. Boleh mencalonkan diri sendiri. Tapi ya diharapkan yang orangnya bersih, jujur dan mau diajak repot. Nama-nama yang dicalonkan oleh seluruh warga kemudian diseleksi oleh ketua RT. Dari beragam nama yang dicalonkan, maka dipilih tiga orang yang namanya paling sering muncul. Jumlah perwakilan RT untuk pembentukan BKM tahun 2008 adalah 51 orang yang terdiri dari laki-laki maupun perempuan. Seluruh perwakilan RT yang berjumlah 51 orang tersebut kemudian dibawa ke tingkat desa untuk memilih 13 orang anggota BKM Desa Srogol. Pelaksanaan pemilihan untuk anggota BKM serupa dengan pemilihan sebelumnya, yakni masing-masing orang bebas memilih siapapun dari 51 perwakilan yang hadir untuk dicalonkan menjadi anggota BKM. Masing-masing orang memilih 5 orang dari 51 orang. Dari pemilihan tersebut didapat 13 orang yang akan menjadi anggota BKM. Setelah pembentukan BKM, maka anggota BKM melakukan rapat untuk menentukan ketua BKM dan Unit Pengelola (UP) yang terdiri atas Unit Pengelola Lingkungan (UPL), Unit Pengelola Sosial (UPS), serta Unit Pengelola Ekonomi (UPK). Semenjak awal kemunculannya, yakni pada tahun 1997, P2KP merupakan program pengentasan kemiskinan yang memberikan pinjaman dana kepada masyarakat miskin untuk menjalankan usahanya, sehingga pada saat itu hanya ada UPK saja. Pada tahun 2007 pemerintah mulai mengembangkan unit sasaran kegiatan P2KP menjadi lingkungan dan sosial, sehingga dibentuklah UPL dan UPS. Dalam pelaksanaan BKM di Desa Srogol, agak berbeda dengan BKM di daerah lain, yakni tidak adanya ketua BKM. Hal ini disebabkan oleh setiap anggota BKM memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam lembaga ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa BKM merupakan majelis pertimbangan yang khusus menangani permasalahan kemiskinan, sehingga tidak ada jabatan apapun sesama anggota. Akan tetapi, dalam sebuah lembaga atau organisasi, penting adanya seorang pemimpin yang akan mengarahkan para anggotanya dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu anggota BKM sepakat untuk

77 57 tetap memilih pemimpin dalam lembaga ini. Seperti yang dututurkan oleh Bapak Mn sebagai berikut: Di dalam BKM tidak ada ketua. Semua anggota BKM memiliki hak yang sama. Cuma yang namanya organisasi pasti harus ada yang mimpin kan, biar jalannya organisasi terarah. Jadi anggota BKM sepakat agar ada satu orang koordinator. Saya sendiri ngga mau dek disebut ketua, kesannya kok terlalu birokrasi yah? Lebih enak disebut koordinator. Diperkuat oleh pernyataan Bapak Nm, anggota BKM lainnya, berikut: Kami memang sengaja memilih Bapak Mn, karena kami menganggap bahwa beliaulah yang paling pantas memimpin BKM ini dek. Beliau juga dulu pernah menjadi dosen, jadi mungkin lebih tahu tentang peraturanperaturan dibanding kami. Pemilihan koordinator dilakukan dengan cara musyawarah yakni masingmasing anggota BKM memilih orang yang pantas untuk menjadi koordinator. Sehingga pada tahun 2008 dipilihlah Bapak Mn sebagai koordinator BKM Desa Srogol. Tahap selanjutnya adalah anggota BKM memilih UPL, UPS, dan UPK. Unit pelaksana (UP) merupakan orang-orang yang memiliki kompetensi tertentu dalam bidang lingkungan, sosial, dan ekonomi. UP berasal dari warga desa yang dipilih oleh anggota BKM. Pada tahun 2008 terpilih tiga orang untuk menjadi UP yakni Bapak Sk sebagai UPL, Ibu Sh sebagai UPS, dan Ibu Ns sebagai UPK. Masing-masing UP membantu warga untuk membuat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pada tahun 2008, pemerintah mengganti P2KP menjadi PNPM-P2KP, namun tata cara pelaksanaan program tidak banyak berubah. Berikut ini merupakan bagan yang menggambarkan tata cara pencairan dana pinjaman yang berlaku di Desa Srogol.

78 58 Gambar 2. Bagan Pencairan Dana PNPM-P2KP Desa Srogol, 2008 Relawan PNPM- P2KP Pusat Refleksi Kemiskinan Masyarakat Desa Srogol Pemetaan Swadaya (mendata warga miskin) BKM Perencanaan Jangka Panjang (PJM) Unit Pelaksana (UP): UPL, UPS, UPK KSM Pengajuan Proposal Pinjaman Pencairan Dana Pinjaman Sumber: BKM Desa Srogol, 2008

79 59 Di Desa Srogol tidak terjadi pergantian Unit Pelaksana seperti BKM yang telah mengalami pergantian hingga dua kali. Jumlah anggota BKM selama dua periode adalah tetap 13 orang. Penggantian anggota BKM didasarkan pada ketidakaktifan anggota tersebut. Periode kedua yakni tahun 2009, ada empat orang yang mengganti anggota BKM sebelumnya. Bapak Mn, koordinator BKM, menuturkan: Untuk tahun 2009 kita mengganti empat orang anggota BKM dengan orang lain. Karena pada kenyataannya empat orang itu kurang aktif di BKM. Memang sih dek, disini kan atas dasar kerelaan, tidak ada gaji, jadi ya bagi yang motivasinya cari untung pasti tidak bertahan lama. Berbeda dengan BKM yang mengalami pergantian anggota, UP Desa Srogol baik UPL, UPS maupun UPK tidak mengalami penggantian anggota. Hal ini dikarenakan BKM menganggap kinerja para UP sangat bagus sehingga tidak perlu diganti. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Nm, anggota BKM, sebagai berikut: Kami sengaja memilih UP sesuai dengan kompetensinya. Misalnya untuk UPL, kan Pak Sk yang mengelola, karena Pak Sk itu ahli bangunan. Jadi beliau tahu tentang harga material, pasir yang bagus, biar jalan dan jembatan di desa juga tahan lama. Trus juga UPS, Ibu Sh ini. Beliau termasuk orang yang punya jiwa sosial tinggi, kebetulan Ibu Sh juga punya keahlian menjahit, jadi UPS Desa Srogol itu berupa kursus sewing. Begitu juga dengan yang diungkapkan oleh Ibu Ns, UPK Desa Srogol, berikut: Awalnya teh saya ditawari oleh kakak saya, katanya BKM lagi nyari orang yang bisa komputer untuk bikin data warga miskin. Karena saya bisa, saya langsung ditawari sama Pak Mn untuk jadi UPK. Sejak itulah saya jadi UPK sampai sekarang, UPL bertugas untuk memperbaiki jalan-jalan desa, saluran irigasi, jembatan, dan drainase desa. Menurut Bapak Sh, saat ini hampir 85 persen jalanjalan desa tidak ada yang jalan tanah, semua sudah jalan aspal dan jalan semen. Berikut merupakan gambar hasil kerja KSM Lingkungan yang dibina oleh UPL yang terdapat di setiap RT/RW di Desa Srogol.

80 60 Gambar 3. Pembangunan Drainase di RW 04, Desa Srogol, 2008 Telah dikemukakan oleh Bapak Nm sebelumnya bahwa UPS Desa Srogol berpusat pada kursus jahit atau oleh masyarakat desa disebut Kursus Sewing. Kursus Sewing berhasil menarik pemuda-pemudi desa untuk mengikuti kursus tersebut. Banyaknya lulusan yang dihasilkan dari kursus sewing ini membuat Desa Srogol menjadi salah satu penyuplai tenaga kerja untuk pabrik garmen yang letaknya tidak jauh dari desa. Berikut ini merupakan gambar lokasi kursus sewing yang dikelola oleh UPS. Gambar 4. Kursus Sewing di Desa Srogol, 2010 Sedangkan untuk UPK masih berupa pemberian pinjaman dana kepada warga miskin untuk menjalankan usahanya. Pengembalian pinjaman di Desa Srogol terbilang paling lancar jika dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Cigombong.

81 Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Ekonomi Desa Srogol Pembentukan KSM merupakan langkah selanjutnya dari proses sosialisasi program. Dalam hal ini, masyarakat membentuk kelompok-kelompok kecil sebagai syarat menerima dana pinjaman. Biasanya anggota KSM terdiri atas orang-orang yang berdomisili di satu RW bahkan di satu RT. Pembentukan KSM seperti ini bertujuan untuk memudahkan interaksi anggota ketika terjadi kemacetan dalam pengembalian pinjaman. Langkah awal yang dilakukan oleh BKM dan UPK adalah mendata warga miskin yang ada di desa. Kriteria miskin dibuat sendiri oleh BKM dan UPK dengan disesuaikan dengan aturan umum Program PNPM-P2KP. Tahun 2008 juga merupakan tahun awal dilaksanakannya program dan merupakan masa percobaan, sehingga jumlah KSM di Desa Srogol tidak terlalu banyak yakni hanya 12 KSM yang tersebar di lima RW. Penentuan jumlah KSM yang tidak banyak ini dilakukan dengan beberapa tahap yakni: pertama, UPK dibantu dengan ketua RW setempat menawarkan bantuan pinjaman kepada masyarakat miskin yang memiliki usaha. Masing-masing RW hanya ada dua hingga tiga KSM saja yang bertujuan sebagai kelompok pioneer yang diharapkan dapat berhasil. Kedua, masyarakat yang tertarik mengikuti program, kemudian didata dan langsung dibuat kelompok-kelompok. Pada awalnya, pembentukan kelompok-kelompok ini dilakukan oleh UPK, namun untuk selanjutnya masyarakat sendiri yang menentukan kelompok mereka. Jumlah anggota KSM pada saat itu adalah minimal tiga orang. Selama berjalannya program pada masa percobaan, ternyata 12 KSM pertama tidak berjalan dengan mulus, dilihat dari macetnya pengembalian pinjaman oleh beberapa KSM. Tidak lancarnya beberapa KSM dalam pengembalian pinjaman tersebut tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk ikut mendapatkan pinjaman. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya masyarakat yang mendaftar untuk menjadi anggota KSM dan menerima pinjaman. Oleh UPK, masyarakat yang mendaftar dan umumnya telah membuat KSM sendiri, dimasukkan ke dalam daftar tunggu yang nantinya akan dimasukkan ke tahap dua.

82 62 Persyaratan untuk menjadi penerima pinjaman atau menjadi anggota KSM antara lain: (1) merupakan warga miskin yang memiliki usaha dan dirasa mampu untuk mengembalikan pinjaman, (2) menyertakan KTP dan Kartu Keluarga, serta (3) membayar biaya administrasi yang berasal dari pemotongan dana pinjaman sebesar 70 ribu rupiah. Persyaratan tersebut sedikit bertentangan dengan syaratsyarat penerima bantuan menurut Ketentuan Pelaksanaan PNPM-P2KP yang menetapkan bahwa kelompok sasaran penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah warga kelurahan yang miskin menurut kriteria kemiskinan setempat yang disepakati warga, termasuk yang telah lama miskin, yang penghasilannya menjadi tidak berarti karena inflasi, yang kehilangan sumber penghasilannya (Pedoman Umum Program PNPM-P2KP, 2008). Persyaratan penerima pinjaman haruslah warga miskin yang memiliki usaha ini dibenarkan oleh Bapak Mn, koordinator BKM, sebagai berikut: Yang mendapatkan pinjaman itu warga miskin yang punya usaha. Warga miskin yang tidak punya usaha ya kita tidak kasih dek, karena kalau mereka tidak punya usaha trus gimana cara melunasinya? Yang punya usaha saja kadang masih suka macet, apalagi yang sama sekali tidak punya usaha. Pernyataan tersebut diperkuat oleh UPK bahwa: Syaratnya adalah warga miskin yang sudah punya usaha. Kenapa yang sudah punya usaha, karena dana pinjaman yang 500 ribu itu kan ngga cukup kalau buat bikin usaha baru. Jadi pinjaman itu buat nerusin usaha. Atau bolehlah yang dulu pernah punya usaha tapi gagal, terus mau coba lagi. Persyaratan yang mengutamakan warga yang memiliki usaha tentu saja berdampak pada keterpinggiran warga miskin pada umumnya. Karena pada kenyataannya, warga miskin tidak memiliki usaha sendiri. Persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh perempuan adalah adanya persetujuan dari suami. Persetujuan dari suami ini bertujuan agar ketika terjadi sesuatu hal seperti macet mengembalikan pinjaman, suami mengatahui dan bertanggung jawab. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa responden, salah satunya adalah Ibu Sr, pedagang makanan, sebagai berikut:

83 63 Iyalah neng, harus minta ijin suami dulu. Nanti kalau ada apa-apa kan suami yang tanggung jawab. Suami harus tahu istrinya ngapain aja, tibatiba saya mati, trus suami ngga tahu saya punya hutang, ya kumaha atuh? Persyaratan ini jelas tidak sesuai dengan Prinsip dan Nilai-Nilai PNPM- P2KP yakni kesetaraan dan keadilan gender, dimana laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahap pembangunan dan dalam menikmati secara adil manfaat kegiatan pembangunan. Persyaratan tersebut jelas semakin memarginalkan perempuan dalam pelaksanaan program. Pada kenyataannya, persyaratan untuk menjadi anggota KSM yang disusun oleh BKM dan UPK tersebut tidak sepenuhnya berlaku. Masyarakat yang menjadi anggota KSM tidak semuanya warga miskin. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa warga yang menerima bantuan pinjaman dana bergulir dari PNPM-P2KP adalah masih saudara dekat dengan ketua RT, ketua RW, BKM bahkan UPK sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program yang berkaitan dengan sasaran program tidak tercapai. Warga miskin yang seharusnya mendapatkan pinjaman, justru tidak mendapatkan pinjaman karena tidak memiliki usaha. Sampai saat ini telah terbentuk 39 KSM yang terdiri atas KSM perempuan, KSM laki-laki, dan KSM campuran. Anggota KSM minimal berjumlah lima orang, namun faktanya banyak KSM yang berjumlah tiga orang. Jumlah anggota kelompok yang tidak banyak ini jelas berpengaruh pada pengembalian pinjaman. UPK menuturkan bahwa anggota KSM yang jumlahnya sedikit lebih berhasil daripada yang jumlahnya besar. RW 03 merupakan wilayah yang memiliki KSM terbanyak dan pengembalian pinjaman terlancar, sedangkan RW 05 merupakan wilayah yang paling tidak lancar dalam pengembalian pinjaman.

84 64 BAB VI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP 6.1. Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman Tujuan Program PNPM-P2KP adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui pemberian dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membuka usaha. Program PNPM-P2KP dinilai berhasil jika telah memenuhi tujuan program yakni mengentaskan kemiskinan. Pelaksanaan Program PNPM- P2KP di Desa Srogol tidak jauh berbeda dengan tata aturan pelaksanaan program sesuai dengan pedoman umum, yakni dilaksanakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat, namun indikator keberhasilan program sedikit berbeda dengan indikator yang tercantum dalam pedoman umum. Keberhasilan Program PNPM- P2KP di Desa Srogol dilihat dari lancarnya pengembalian pinjaman dari anggota KSM. Desa Srogol merupakan desa yang paling lancar dalam mengembalikan pinjaman dana bergulir dibanding desa-desa lain di Kecamatan Cigombong, sehingga Desa Srogol disebut desa yang berhasil dalam pelaksanaan Program PNPM-P2KP. Lancarnya tingkat pengembalian pinjaman belum menjamin meningkatnya kesejahteraan peminjam atau anggota KSM. Terdapat beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kelancaran pengembalian pinjaman seperti Tingkat Relasi Gender peminjam, besarnya pinjaman, dan pendidikan peminjam Dana Pinjaman Bergulir Desa Srogol Program PNPM-P2KP di Desa Srogol telah berjalan selama dua kali periode yakni dari tahun 2008 hingga tahun Selama dua kali periode tersebut, Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dikatakan paling berhasil dibanding desa-desa lain di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (BKM Desa Srogol, 2010). Keberhasilan program dilihat dari beberapa hal, antara lain: (1) dalam bidang lingkungan, pembangunan jalan dan drainase sudah mencapai seluruh wilayah desa; (2) dalam bidang sosial, Kursus Sewing telah menghasilkan banyak tenaga kerja untuk pabrik garmen; (3) dalam bidang ekonomi, tingkat pengembalian dana pinjaman bergulir terbilang paling

85 65 lancar di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini khusus membahas keberhasilan program dalam bidang ekonomi. Pada tahun 2008 BKM Desa Srogol baru terbentuk setelah mengalami proses pemilihan yang cukup panjang. Pada tahun ini pula BKM menunjuk UPK yang sampai saat ini masih dipegang oleh Ibu Ns. Setelah terbentuk, BKM mengajukan proposal permohonan dana pinjaman kepada PNPM-P2KP Pusat, sehingga di tahun 2008 Desa Srogol mendapatkan pinjaman sejumlahrp 200 juta yang dibagi ke dalam tiga bidang, yakni lingkungan, sosial, dan ekonomi. Bidang ekonomi mendapat dana pinjaman sebesar Rp 58 juta. Berbeda dengan bidang lingkungan dan bidang sosial yang langsung mendapatkan dana pinjaman pada pertengahan tahun 2008, bidang ekonomi baru mendapat pinjaman pada akhir tahun 2008 yaitu di bulan November. Hal ini dikarenakan proses mendata warga miskin belum selesai sepenuhnya selain karena alasan perbaikan jalan desa yang menjadi fokus utama saat itu. Ibu Ns, UPK, mengungkapkan: Tahun 2008, lingkungan dulu yang dapat dana, karena jalan-jalan di desa harus segera dibenerin, diaspal, disemen. Setelah itu baru sosial, itu mah beli mesin jahit. Itu juga karena orang-orang yang mau ikut kursus sudah banyak, jadi langsung gitu. Baru terakhir, ekonomi, dapat 58 juta di bulan November, karena jumlah KSM nya masih sedikit, 12 KSM saja. Itu juga belum terdata semuanya, sama kebanyakan orang-orang masih pada takut mau pinjam. Pinjaman dana sebesar 58 juta rupiah tersebut dibagi ke dalam dua periode program. Perguliran dana pinjaman di Desa Srogol untuk bidang ekonomi tersaji dalam Tabel 13. Tabel 13. Distribusi Perguliran Dana Pinjaman Program PNPM-P2KP di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Periode Bulan Jumlah Pinjaman (Rp) Pengembalian Pinjaman Total Pinjaman (Rp) 1. I November 34 juta Macet Rp 58 juta ,- April juta Lunas 2 II September 58 juta Lunas 92 juta 2009 Maret juta Sedang Berjalan Total 150 juta Sumber: UPK Desa Srogol, 2010

86 66 Tabel 13. mengenai perguliran dana pinjaman Program PNPM-P2KP di Desa Srogol, memperlihatkan bahwa dana pinjaman yang diberikan pemerintah kepada desa tersebut selama dua periode terbilang cukup besar yakni Rp 150 juta. Pada periode pertama, bidang ekonomi mendapat pinjaman dana sebesar Rp 58 juta yang dibagi menjadi dua tahap yakni tahap pertama di bulan November 2008 sebesar Rp 34 juta dan tahap kedua di bulan April 2009 sebesar Rp 24 juta. Pembagian dana pinjaman ke dalam dua tahap ini bertujuan untuk melihat sejauhmana kemampuan masyarakat dalam mengembalikan pinjaman. Terbukti pada periode I tahap pertama ada tunggakan sebesar Rp ,- dan terlunasi pada tahap kedua. Periode II mulai berjalan pada bulan September 2009 dengan menggunakan dana bergulir yang telah terlunasi pada periode I yakni sebesar Rp 58 juta. Ternyata respon masyarakat cukup baik dalam mengembalikan pinjaman, terlihat di bulan September 2009, pengembalian pinjaman tidak ada tunggakan. Tingkat kelancaran pengembalian pinjaman yang tinggi membuat pemerintah kembali memberikan dana pinjaman sebesar Rp 34 juta di bulan April 2010, sehingga total dana pinjaman untuk periode II adalah sebesar Rp 92 juta. Saat ini pinjaman periode II tahap kedua bulan Maret 2010 sedang berjalan, sehingga belum dapat dilihat sejauhmana tingkat pengembalian pinjaman di desa tersebut KSM dan Pengembalian Pinjaman Keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol tidak hanya dilihat dari tingkat kelancaran pengembalian pinjaman, tetapi juga perkembangan KSM. Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa jumlah KSM di tahun 2008 hanya 12 KSM yang tersebar di lima RW. Pembentukan 12 KSM tersebut dilakukan oleh BKM dan UPK dengan harapan dapat menjadi KSM pioneer yang berhasil. Sayangnya, sampai tahap kedua, yakni bulan April 2009, hanya 10 KSM yang bertahan atau dapat mengembalikan pinjaman dengan lancar. Ketertarikan masyarakat terhadap program mulai terlihat di bulan Januari 2009 ditandai dengan munculnya KSM-KSM baru yang dibentuk sendiri oleh masyarakat. KSM-KSM baru tersebut telah mengajukan diri kepada UPK untuk mendapatkan dana pinjaman. Dikarenakan belum memasuki tahap kedua pencairan dana pinjaman,

87 67 KMS-KSM baru tersebut dimasukkan ke dalam daftar tunggu. Seperti yang dituturkan oleh UPK sebagai berikut: Awal pinjaman hanya 12 KSM. Semuanya kita yang bentuk, setiap RW ada satu sanpai dua KSM. Yang paling berhasil hanya dua KSM. Tahap dua di bulan April berkurang jadi 10 KSM, karena dua KSM macet. 10 KSM yang lama ditambah KSM baru. Kan Desember Januari banyak tuh yang berminat, tapi masuk ke daftar tunggu dulu. Baru di bulan April kita kasih mereka pinjaman. Sampai sekarang, 12 KSM yang paling awal, berkurang lagi jadi 8 KSM, itu juga kebanyakan di RW 03. Perkembangan KSM yang cukup pesat ini menggambarkan besarnya animo masyarakat terhadap program. Kemacetan pengembalian pinjaman yang dialami oleh beberapa KSM pioneer bukanlah penghalang masyarakat untuk ikut mendapatkan pinjaman. Sampai periode II tahap kedua atau April 2010, jumlah KSM di Desa Srogol adalah 39 KSM. Data lengkap mengenai jumlah KSM di Desa Srogol dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Jenis dan Jumlah KSM Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Jenis KSM Jumlah (buah) Persen (%) 1. Laki-Laki 11 28,2 2. Perempuan 18 46,2 3. Campuran 10 25,6 Total Sumber: UPK PNPM-P2KP, 2010 Berdasarkan Tabel 14. tentang jenis dan jumlah KSM di Desa Srogol tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah KSM perempuan lebih banyak (46,2 persen) dibanding dengan KSM laki-laki (28,2 persen). Hal ini menggambarkan bahwa perempuan lebih membutuhkan pinjaman daripada laki-laki. Seperti yang dituturkan UPK sebagai berikut: Kita sengaja memperbanyak perempuan dalam KSM agar perempuan itu bisa bantu suami menambah pendapatan. Tapi tetap perempuan dari golongan Pra Sejahtera yang sudah punya usaha. Biasanya sih mereka punya warung kecil. Penuturan UPK ini didukung oleh Bapak Mn, koordinator BKM yaitu: Awalnya program pinjaman bergulir ini memang untuk perempuan dari keluarga miskin dengan tujuan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Tapi seiring berjalannya program, ternyata banyak juga warga laki-laki yang berminat.

88 68 Sesuai dengan tujuan program dalam Pedoman Umum Program PNPM- P2KP, sasaran program adalah warga miskin atau pra sejahtera. Pelaksanaan program di Desa Srogol telah memenuhi persyaratan Program PNPM-P2KP yakni hanya warga miskin yang mendapat bantuan pinjaman dana. Data selengkapnya mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kekayaan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Kekayaan Jumlah (orang) Persen (%) 1. Pra sejahtera Sejahtera Total Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 15. menunjukkan bahwa perbandingan antara responden yang tergolong pra sejahtera (58,3 persen) dengan responden yang tergolong sejahtera (41,7 persen) hampir sama besar. Hal ini menunjukkan terjadi ketidtingkat aksesuaian dalam sasaran program. Menurut Pedoman Umum PNPM-P2KP, program tersebut ditujukan pada warga miskin atau pra sejahtera, namun penerima pinjaman di Desa Srogol hampir separuhnya adalah warga golongan sejahtera. Menurut pengakuan UPK, banyaknya warga golongan sejahtera yang menerima pinjaman dana adalah warga yang dulunya miskin, kemudian memiliki usaha dan usaha tersebut telah berkembang. Sedangkan warga pra sejahtera, umumnya tidak memiliki usaha atau usaha tersebut tidak berkembang. Salah satu persyaratan yang diajukan oleh BKM dan UPK pada masyarakat yang ingin mendapatkan pinjaman adalah harus memiliki usaha. Persyaratan ini pula tidak sesuai dengan Pedoman Umum Program PNPM-P2KP yang hanya mensyaratkan penerima program adalah warga miskin. Berikut adalah Tabel 16. yang menunjukkan sebaran responden berdasarkan usaha yang dimiliki.

89 69 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usaha Yang Dimiliki di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Usaha Jumlah Persen (%) 1. Tidak Memiliki 9 18,8 2. Memiliki 39 81,2 Total Sumber: Data Primer, 2010 Persyaratan yang diajukan oleh BKM dan UPK yakni memiliki usaha agaknya memang dipenuhi oleh anggota KSM. Sebanyak 81,2 persen responden memiliki usaha sedangkan 18,8 persen tidak memiliki usaha. Responden yang tidak memiliki usaha, umumnya adalah ibu rumah tangga. Berikut ini adalah gambar-gambar usaha yang dimiliki oleh responden. Gambar 5. Jenis Usaha Warung yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, 2010 Gambar 6. Jenis Usaha Jahit yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, 2010

90 70 Dengan mengikuti Program PNPM-P2KP dan mendapatkan pinjaman, diharapkan masyarakat miskin mampu mengembangkan usaha yang dimilikinya agar menjadi lebih maju. Hal ini dikarenakan pinjaman dana tersebut dapat digunakan untuk menambah modal usaha. Data selengkapnya mengenai sebaran responden berdasarkan perkembangan usaha dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perkembangan Usaha Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Perkembangan Usaha Jumlah Persen (%) 1. Tidak Punya Usaha 9 18,8 2. Tidak Berkembang 12 25,0 3. Usaha Berkembang 27 56,2 Total Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 17. Memperlihatkan bahwa sebanyak 56,2 persen responden memiliki usaha yang berkembang sebagai dampak dari mengikuti program. Sedangkan 25 persen responden mengaku bahwa usahanya tidak berkembang bahkan bangkrut. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Lh pedagang kredit, sebagai berikut: Wah usaha ibu mah sekarang sudah bangkrut neng. Ngga berkembang, banyak yang ngutang. Uang segitu mah mana cukup buat modal lagi, pan cuma Rp Lamun dulu mah ibu masih berani ngredit sampai kampung sebelah, gara-gara banyak yang ngutang, ngga muter lagi nyak duitnya, ya sudah ibu ngredit di sekitar sini saja. Ya modalnya dari duit PNPM itu. Besar pinjaman yang diberikan UPK kepada anggota KSM berkisar antara Rp ,- hingga Rp ,-. Pada periode I setiap anggota KSM mendapat pinjaman sebesar Rp ,-. Tingkat kelancaran pengembalian pinjaman pada periode I, membuat BKM dan UPK sepakat menaikkan nominal dana pinjaman. Bagi KSM yang seluruh anggotanya lancar, maka diberi pinjaman sebesar Rp ,-. KSM yang telah mendapatkan pinjaman Rp ,- berada di RW 03. Data selengkapnya mengenai sebaran responden berdasarkan besar pinjaman tersaji dalam tabel berikut.

91 71 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarakan Besarnya Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Besarnya Pinjaman Jumlah (orang) Persen (%) 1. Kecil 45 93,8 2. Besar 3 6,2 Total Sumber: Data Primer, 2010 Data di dalam Tabel 18. menunjukkan bahwa hanya 6,2 persen responden yang sudah mendapat pinjaman dengan nominal lebih besar, sedangkan 93,8 persen respoden masih mendapat pinjaman sebesar Rp ,-. Hal ini dibenarkan oleh Ibu Wt, pedagang gado-gado salah seorang responden sebagai berikut: Ibu masih diberi pinjaman Rp ,-. Yah memang itu kecil atuh neng, ngga cukup kalau buat bikin usaha. Uang itu juga ibu pakai buat nambah modal, tapi ya kadang masih ngga cukup. Sedangkan Ibu Ms, pedagang warung kelontong, yang telah mendapatkan pinjaman Rp ,- menuturkan sebagai berikut: Alhamdulillah neng, ibu sudah dapat pinjaman Rp ,-. Itu karena teman-teman satu kelompok pada lancar semua. Ngga ada yang macet. Program pinjaman dana bergulir dari PNPM-P2KP pada awalnya memang ditujukan bagi warga miskin, namun dalam pelaksanaan program di Desa Srogol, program tersebut lebih ditujukan pada perempuan. Pemilihan perempuan sebagai penerima pinjaman memiliki tujuan yaitu agar perempuan dapat membantu suaminya dalam meningkatkan pendapatan keluarga sehingga tercapainya suatu keadaan sejahtera. Berdasarkan tujuan tersebut, maka perlu dilihat pula tingkat tingkat akses perempuan dalam program selain pengembalian pinjaman yang menjadi kunci keberhasilan program di Desa Srogol. Akses perempuan dalam pelaksanaan Program PNPM-P2KP dilihat dari sejauhmana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam program mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan program. Pada tahap perencanaan program yaitu pembentukan BKM, peran perempuan tidak terlihat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan program yaitu mendapatkan pinjaman dana, mayoritas perempuan memiliki tingkat akses yang tinggi terhadap program. Data selengkapnya

92 72 mengenai jumlah responden berdasarkan tingkat akses terhadap program dapat dilihat di Tabel 19. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Akses Jumlah Persen (%) 1. Rendah 7 14,6 2. Tinggi 41 85,4 Total Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 19. tentang akses terhadap pinjaman, menunjukkan bahwa akses perempuan terhadap program cukup tinggi yaitu sebesar 85,4 persen. Angka ini menggambarkan bahwa program telah memberikan kesempatan yang besar kepada perempuan untuk meminjam dana bergulir. Sama halnya dengan pengembalian pinjaman yang dinilai paling lancar di Kecamatan Cigombong, terbukti memang pengembalian pinjaman di desa ini lancar. Berikut merupakan data sebaran responden berdasarkan lancarnya pengembalian pinjaman. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Pengembalian Jumlah Persen (%) Pinjaman 1. Macet 10 20,8 2. Tidak Macet 38 79,2 Total Sumber: Data Primer, 2010 Dari Tabel 20. di atas, diketahui bahwa 79,2 persen respoden berhasil mengembalikan pinjaman dengan lancar. Angka ini juga membuktikan pernyataan BKM dan UPK desa setempat yang menyatakan bahwa Desa Srogol memiliki tingkat pengembalian pinjama terlancar di Kecamatan Cigombong. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol cukup berhasil, dilihat dari tingginya akses perempuan terhadap program serta tingginya tingkat pengembalian pinjaman.

93 Analisis Keberhasilan Program PNPM-P2KP Berdasarkan Pengembalian Pinjaman Keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari tingkat kelancaran pengembalian pinjaman dan berkembangnya usaha yang dimiliki oleh anggota KSM, namun perlu dilihat pula bagaimana akses memberikan kontribusi pada keberhasilan program. Telah diketahui pada subbab sebelumnya, bahwa akses perempuan terhadap pinjaman tergolong tinggi, sehingga perlu melihat sejauhmana hubungan faktor-faktor lain seperti besar pinjaman dan pendidikan responden terhadap keberhasilan program jika dilihat berdasarkan akses perempuan. Berikut ini merupakan tabel hubungan besar pinjaman dengan akses perempuan terhadap program. Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Akses Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Terhadap Kecil Besar Program Rendah (11,1) (66,7) (14,6) Tinggi (88,9) Total 45 (100) Sumber: Data Primer, 2010 (33,3) 3 (100) (85,4) 48 (100) Tabel 21. memperlihatkan hubungan yang negatif (-0,381) antara besar pinjaman dan akses responden dengan kekuatan hubungan sebesar 0,008 dimana α < 0,2. Penetapan taraf nyata α < 0,2 dipilih mengingat unit analisis yang diambil adalah individu yang bersifat dinamis. Hal ini menggambarkan bahwa walaupun jumlah pinjaman kecil, namun akses responden tergolong tinggi (88,9 persen). Begitupula dengan faktor pendidikan responden yang memiliki hubungan dengan akses responden terhadap program yang tersaji pada Tabel 22. berikut.

94 74 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Akses Tingkat Pendidikan (%) Jumlah (%) Terhadap Program Rendah Tinggi Rendah 4 (11,1) 3 (25) 7 (14,6) Tinggi (88,9) Total 36 (100) Sumber: Data Primer, 2010 (75) 12 (100) (85,4) 48 (100) Berdasarkan Tabel 22. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan responden dengan akses responden terhadap program. Hal ini berarti baik berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi, tetap memiliki akses yang tinggi terhadap program. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol berhasil karena dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat baik berpendidikan tinggi maupun berpendidikan rendah. Telah disebutkan sebelumnya yakni keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari lancarnya pengembalian pinjaman. Oleh karena itu, perlu dilihat sejauhmana faktor-faktor lain seperti besar pinjaman dan pendidikan responden memiliki hubungan dengan tingkat pengembalian pinjaman. Berikut ini adalah Tabel 23. yang menggambarkan hubungan antara besar pinjaman dengan pengembalian pinjaman. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dengan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Pengembalian Kecil Besar Pinjaman Macet (22,2) (0,0) (20,8) Lancar (77,8) Total 45 (100) Sumber: Data Primer, 2010 (100) 3 (100) (79,2) 48 (100)

95 75 Tabel 23. menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar pinjaman dengan pengembalian pinjaman. Nampaknya hal ini berarti baik responden dengan pinjaman yang kecil yakni sebesar Rp ,- maupun pinjaman yang cukup besar yakni Rp ,- mampu mengembalikan pinjaman dengan lancar. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, berikut: Saya ibu rumah tangga saja neng, ngga punya usaha apa-apa. Tapi saya ngga pernah nunggak bayar cicilan pinjaman. Kan pinjaman cuma Rp ,- sebulan bisa dicicil Rp ,-. Ibu Tt, seorang pengusaha katering dan makanan kecil, juga menuturkan: Dulu awal-awal pernah nunggak bayarnya, karena lagi sepi pesenan kue. Sekarang mah Alhamdulillah tidak pernah macet lagi. Kalau satu bulan dicicil Rp ,- mah masih sanggup atuh. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kecilnya nominal pinjaman yang diterima oleh responden bukan merupakan masalah besar bagi mereka, sehingga kontrol laki-laki dalam pelunasan pinjaman juga tidak terlihat. Akan berbeda jika nominal pinjaman menjadi lebih besar misalnya menjadi Rp setiap periode, peran dan kontrol laki-laki terhadap pengembalian pinjaman mungkin terlihat jelas. Faktor lain yang memiliki hubungan dengan tingkat kelancaran pinjaman adalah tingkat pendidikan responden. Data yang menunjukkan hubungan antara pengembalian pinjaman dengan tingkat pendidikan responden tercantum dalam Tabel 24. Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Tingkat Pendidikan (%) Jumlah (%) Pengembalian Rendah Tinggi Pinjaman Macet 9 (25) 1 (8,3) 10 (20,8) Lancar (75) Total 36 (100) Sumber: Data Primer, 2010 (91,7) 12 (100) (79,2) 48 (100)

96 76 Berdasarkan Tabel 24. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengembalian pinjaman, yang ditunjukkan dari tingginya persentase respoden yang lancar dalam mengembalikan pinjaman. Angka dalam Tabel 24. Menunjukkan bahwa baik responden yang berpendidikan rendah maupun tinggi ternyata dapat mengembalikan pinjaman dengan lancar. Jadi dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP dapat diakses oleh setiap orang di Desa Srogol baik berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa program dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Berkaitan dengan besar pinjaman, dapat disimpulkan bahwa walaupun besar pinjaman hanya 500 ribu rupiah, akses perempuan terhadap perempuan tetap tinggi. Dalam hal pengembalian pinjaman, tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan kelancaran pengembalian, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka semakin lancar dalam mengembalikan pinjaman. Berbeda dengan besar pinjaman yang tidak berhubungan dengan pengembalian pinjaman, hampir seluruh responden mampu untuk mengembalikan pinjaman dengan lancar. Hal ini dikarenakan jumlah pinjaman yang kecil, sehingga untuk mencicil pinjaman setiap bulannya dirasa mudah oleh sebagian besar responden.

97 Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Program Keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat berdasarkan lancarnya pengembalian pinjaman. Pada subbab sebelumnya telah dikemukakan bahwa pengembalian pinjaman berhubungan dengan usaha yang dimiliki oleh responden, perkembangan usaha responden dan tingkat pendidikan responden. Besar pinjaman tidak berhubungan dengan lancarnya pengembalian pinjaman karena besar pinjaman yang diterima oleh anggota KSM hanya Rp ,-. Faktor lain yang berhungan dengan pengembalian pinjaman adalah Tingkat Relasi Gender yang dianut oleh responden Relasi Gender Masyarakat Desa Srogol Desa Srogol merupakan desa yang sedang mengalami proses peralihan, yakni dari desa tradisional menuju desa modern. Perubahan ini ditandai dengan semakin berkurangnya penduduk desa yang bekerja sebagai petani. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan dan fasilitas umum di wilayah Kecamatan Cigombong, memberikan dampak pada pergeseran perspektif masyarakat Desa Srogol terhadap peran perempuan dan laki-laki. Terlebih lagi dengan kehadiran Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido di wilayah desa tersebut yang memperlakukan siswanya sama dan setara antara lakilaki dan perempuan, secara tidak langsung mulai memberikan pengaruh pada masyarakat terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Penyetaraan lakilaki dan perempuan diawali dari diberikannya kesempatan yang sama antara lakilaki dan perempuan dalam menempuh pendidikan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah perempuan yang telah menamatkan pendidikan hingga jenjang sekolah menengah pertama. Selain dalam hal pendidikan, perempuan juga mulai dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan publik seperti rapat desa, kegiatan penyuluhan, dan keorganisasian. Saat ini para perempuan juga diundang dalam setiap perundinganperundingan di desa, namun kehadiran perempuan masih sedikit dibanding lakilaki. Ketidakhadiran perempuan mengakibatkan pendapat dan aspirasi perempuan jarang didengar karena lebih didominasi oleh laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sh, anggota BKM, sebagai berikut:

98 78 Sekarang mah perempuan selalu dapat undangan untuk hadir di acaraacara desa. Dulu pan ngga pernah, laki-laki saja yang diundang. Apalagi kalau lagi ada penyuluhan, pasti ibu-ibu diundang, tapi jarang yang hadir. Peralihan dari tradisional menuju desa semi modern, membuat hubungan atau relasi gender masyarakat Desa Srogol berubah. Relasi gender yang setara antara peran dan status laki-laki dan perempuan mulai terlihat hampir seluruh masyarakat Desa Srogol. Relasi gender yang setara tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat Desa Srogol sudah tidak terlalu membeda-bedakan peran lakilaki dan perempuan. Tingkat relasi gender responden dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dalam Rumah Tangga Responden, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Relasi Gender Jumlah (orang) Persen (%) 1. Tidak Setara 13 27,1 2. Setara 35 72,9 Total Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 25. menunjukkan bahwa sebagian besar responden (72,9 persen) tergolong pada tingkat relasi gender setara, yakni tidak membeda-bedakan peran laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga maupun kegiatan publik, seperti mengikuti Program PNPM-P2KP. Bagi perempuan, ada beberapa hal yang harus mendapat persetujuan dari suami dan beberapa hal yang dapat diputuskan sendiri. Hal-hal yang dapat diputuskan sendiri berkaitan dengan mengatur rumah tangga sedangkan yang membutuhkan persetujuan suami berkaitan dengan keuangan dan kegiatan publik. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan pada Tabel 26. berikut.

99 79 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender yang Dianut di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Tingkat Relasi Gender Persentase (%) Tidak Setuju Setuju 1. Perempuan mengasuh anak 4 (8,3) 44 (91,7) 2. Perempuan tidak boleh memimpin laki-laki 13 (27,1) 35 (72,9) 3. Perempuan tidak boleh menjadi kepala keluarga 14 (29,2) 34 (70,8) 4. Perempuan tidak boleh mencari nafkah/bekerja 37 (77,1) 11 (22,9) 5. Perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah 6. Perempuan tidak boleh berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki 7. Perempuan tidak boleh berpenghasilan lebih tinggi daripada laki-laki 8. Perempuan tidak boleh mengatur keuangan keluarga 9. Perempuan tidak boleh memutuskan masalah keluarga 10. Perempuan tidak boleh menentukan pendidikan anak 11. Perempuan tidak boleh ikut serta dalam kegiatan publik/organisasi 12. Perempuan tidak boleh menyampaikan pendapat 13. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin organisasi Sumber: Data Primer, 2010 (58,3) 37 (77,1) 32 (66,7) 34 (70,8) 28 (58,3) 40 (83,3) 37 (77,1) 38 (79,2) 38 (79,2) (41,7) 11 (22,9) 16 (33,3) 14 (29,2) 20 (41,7) 8 (16,7) 11 (22,9) 10 (20,8) 10 (20,8) Berdasarkan Tabel 26. terlihat bahwa walaupun telah terjadi pergeseran perspektif mengenai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari modernisasi, ternyata masih terdapat beberapa hal yang tidak berubah. Masih adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan berakibat pada masih terjadinya ketidakadilan gender baik marginalisasi, stereotype, maupun subordinasi. Marginalisasi terjadi di dalam keluarga yakni perempuan tidak boleh memimpin laki-laki (72,9 persen) dan perempuan tidak boleh menjadi kepala

100 80 keluarga (70,8 persen). Hal ini dituturkan oleh Bapak Lk, suami Ibu Lh sebagai berikut: Ya memang tidak boleh atuh dek. Di dalam Al Quran tertulis, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, sebagai imam dalam segala hal. Laki-laki lah yang memimpin perempuan dan keluarga. Makanya istri harus patuh sama suami. Penuturan yang sama juga dikemukakan oleh Ibu Tt, pedagang katering, berikut: Setuju neng, memang harus begitu, laki-laki lah yang jadi pemimpin. Kan di ajaran agama ada yah, laki-laki yang menjadi imam dalam keluarga. Ya pokoknya mah perempuan tidak boleh memimpin laki-laki, itu namanya kurang ajar. Stereotype atau pelabelan terhadap perempuan masih dialami oleh responden dan masyarakat Desa Srogol pada umumnya. Sebanyak 91,7 persen responden setuju bahwa perempuan adalah makhluk lemah lembut dan tidak rasional (66,7 persen). Hal ini menandakan bahwa walaupun telah menjadi desa modern, stereotype terhadap perempuan masih terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rd, seorang ibu rumah tangga, sebagai berikut: Iya atuh neng, perempuan mah emang harus begitu, lemah lembut. Ntar kalau kasar, laki-laki pada takut. Perempuan kan sebagai ibu, jadi harus lemah lembut sama anaknya. Tapi yah ada saatnya perempuan mah harus tegas, apalagi waktu anak nakal, yah harus dimarahin Pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut menjadi dasar dalam menentukan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Pekerjaan mengurus rumah tangga yang harus dilakukan oleh perempuan menunjukkan masih terjadi subordinasi terhadap perempuan, yaitu perempuan hanya melakukan kegiatan-kegiatan domestik saja. Mengasuh dan merawat anak diyakini sebagai kodrat perempuan oleh sebagian besar responden (91,7 persen). Hal ini dibenarkan oleh Ibu Lh, pedagang kredit, yaitu: Mengasuh anak itu memang kodrat perempuan neng. Ibulah yang harus mengasuh anak dari kecil, kan ibu juga yang mengandung anak. Yang membentuk sikap anak itu ya ibu. Kalau bapak mah, kan harusnya cari nafkah buat keluarga, kalau istri ya mengasuh anak. Saling bantu lah. Begitupula yang diungkapkan oleh Ibu Rd, ibu rumah tangga, sebagai berikut:

101 81 Ya harus perempuan lah yang mengasuh anak. Suami mah tugasnya kerja cari duit buat makan, lamun perempuan ya ngurus anak, beresberes rumah. Masa suami kita suruh mengurus anak, ya mana bisa atuh, ngurus diri sendiri saja kadang ngga bisa, makanya perlu ada istri, biar semua kerjaan beres. Selain mengurus anak, pekerjaan mengatur keuangan keluarga juga dibebankan pada perempuan. Hal ini ditunjukkan dari sebanyak 70,8 persen perempuan setuju bahwa perempuan yang harus mengelola keuangan keluarga. Dalam hal ini, perempuan diberi kesempatan untuk mengatur keluar masuknya uang dalam rumah tangga, namun laki-laki masih menjadi pengambil keputusan berapa uang yang akan diberikan kepada istri dan berapa uang yang digunakan untuk keperluan bulanan. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Tt, pedagang katering, sebagai berikut: Ya memang kerjaan perempuan atuh neng yang mengatur keuangan keluarga. Kan perempuan mah lebih teliti. Kalau dipegang laki-laki, bakal habis tuh, buat beli macem-macem yang tidak penting, kayak rokok. Pengungkapan tersebut diperkuat oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, berikut: Selama ini pendapatan cuma dari suami, kan saya tidak bekerja. Tapi suami selalu memberi uang buat bulanan, nah saya yang mengatur, mau dipakai apa saja. Biasanya mah buat beli belanja sayur, beras, kebutuhan dapur saja neng. Dari beberapa pemaparan di atas mengenai peran perempuan yang tidak berubah setelah terjadi modernisasi di Desa Srogol, dapat disimpulkan bahwa peran-peran perempuan yang tidak berubah umumnya berkaitan dengan pekerjaan domestik perempuan, yakni dalam hal mengurus rumah tangga. Sedangkan dalam pekerjaan atau kegiatan publik masih didominasi oleh laki-laki, walaupun saat ini perempuan mulai terlihat aktif dalam perundingan dan keorganisasian di desa. Adapun peran yang berubah meliputi perempuan bekerja dan perempuan dalam organisasi. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh bekerja dan berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki berdampak pada jenis pekerjaan yang dapat diambil oleh perempuan lebih beragam daripada laki-laki sehingga tidak ada salahnya jika

102 82 penghasilan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (66,7 persen). Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sr, pedagang, berikut: Tidak setuju lah neng, siapa bilang perempuan tidak boleh lebih pinter daripada laki-laki? Justru sekarang pan lebih banyak murid perempuan daripada laki-laki di sekolah-sekolah. Itu karena perempuan lebih pinter daripada laki-laki, makanya naik kelas terus. Penuturan yang sama diungkapkan juga oleh Ibu Lh, seorang pedagang kredit sebagai berikut: Boleh kalau pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan itu juga pengaruh ke pekerjaan kan. Kalau perempuan pintar ya pasti dapat pekerjaan bagus. Makanya tidak apa-apa kalau ternyata penghasilan istri lebih tinggi daripada suami. Kan pekerjaan istri lebih bagus daripada suami. Di sini banyak kok neng, istrinya kerja jadi karyawan, suaminya ngojek. Perubahan peran lain yang terjadi di Desa Srogol adalah mulai dilibatkannya perempuan dalam organisasi atau kegiatan-kegiatan desa. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh mengikuti kegiatan publik dan menyampaikan pendapat (79,2 persen). Bahkan 79,2 persen responden mengungkapkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin organisasi, seperti yang dituturkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, bahwa: Ya boleh boleh saja kalau perempuan jadi pemimpin organisasi. Pan sekarang banyak yah, perempuan jadi ketua organisasi. Presiden dulu juga ada yang perempuan. Selama memimpinnya bener mah, boleh-boleh saja atuh. Walaupun banyak responden yang menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi anggota organisasi bahkan dapat menjadi pemimpin organisasi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam organisasi di desa masih minim. Jumlah perempuan yang menjadi anggota organisasi desa seperti LPM, BKM, masih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Begitupula dalam setiap kegiatan publik seperti perundingan-perundingan desa, laki-laki masih mendominasi. Keterlibatan perempuan dalam organisasi hanya terlihat pada kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik seperti pengajian dan PKK.

103 83 Berikut ini adalah gambar salah satu kegiatan publik yang dilakukan oleh perempuan di Desa Srogol, yaitu pengajian rutin ibu-ibu di RW 03. Gambar 7. Kegiatan Pengajian Ibu-Ibu di RW 03, 2010 Telah diberinya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan publik tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh perempuan. Kehadiran perempuan yang tidak lebih banyak daripada laki-laki mengakibatkan suara atau aspirasi perempuan kurang didengar, sehingga program-program yang berjalan di desa, umumnya merupakan program yang berdasarkan keputusan dan kebutuhan laki-laki Gender dalam Program PNPM-P2KP Dewasa ini, gender telah menjadi salah satu aspek yang memiliki peranan penting dalam keberhasilan program-program pembangunan. Terbukti dalam setiap rumusan perencanaan program mulai dari visi, misi, tujuan, prinsip, hingga pelaksanaan program, gender menjadi perhatian penting. Pada umumnya aspek gender yang ada pada setiap program lebih merujuk pada peranan dan partisipasi perempuan. Kemudian aspek gender yang ada dalam rumusan tujuan program merujuk pada pemberdayaan perempuan. Seperti halnya pada tujuan Program PNPM-P2KP yaitu memberdayakan kelompok perempuan. Tingkat Relasi Gender yang dianut oleh sebagian besar responden yakni Setara menggambarkan bahwa saat ini masyarakat Desa Srogol tidak terlalu membeda-bedakan antara peran perempuan dan laki-laki. Tingkat Relasi Gender

104 84 yang dianut oleh respoden menjadi faktor berikutnya yang memiliki hubungan dengan akses perempuan terhadap program dan pengembalian pinjaman. Data selengkapnya mengenai hubungan Tingkat Relasi Gender dengan akses perempuan terhadap program dapat dilihat dalam Tabel 27. Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Akses Terhadap Program Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Akses Tingkat Relasi Gender (%) Jumlah (%) Terhadap Program Tidak Setara Setara Rendah 1 (7,7) 6 (17,1) 7 (14,6) Tinggi 12 (92,3) 29 (82,9) 41 (85,4) Total 13 (100) 35 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer, 2010 Data di dalam Tabel 27. menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat relasi gender dengan tingkat akses terhadap program dan semakin diperkuat dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman. Artinya, baik responden dengan tingkat relasi gender yang tidak setara (92,3 persen) maupun yang setara (82,9 persen), ternyata memiliki tingkat akses terhadap program yang tinggi. Keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari tingginya tingkat kelancaran pinjaman serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat pengembalian pinjaman berhubungan dengan tingkat pendidikan anggota. Sayangnya, tingkat pendidikan responden belum mampu menggambarkan keberhasilan program secara utuh jika tidak dilihat berdasarkan tingkat relasi gender yang dimiliki oleh responden. Tabel 28. berikut menunjukkan hubungan tingkat relasi gender responden dengan pengembalian pinjaman.

105 85 Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Ideologi Gender dan Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Pengembalian Pinjaman Macet 6 (46,2) Lancar 7 (53,8) Total 13 (100) Sumber: Data Primer, 2010 Tingkat Relasi Gender (%) Jumlah (%) Tidak Setara Setara 4 (11,4) 31 (88,6) 35 (100) 10 (20,8) 38 (79,2) 48 (100) Berdasarkan Tabel 28. dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif (0,380) antara tingkat relasi gender dan tingkat pengembalian pinjaman dengan kekuatan hubungan sebesar 0,008 dimana α < 0,2. Penetapan taraf nyata α < 0,2 dipilih mengingat unit analisis yang diambil adalah individu yang bersifat dinamis. Angka ini menunjukkan bahwa respoden dengan tingkat relasi gender yang setara (88,6 persen) lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman dibanding dengan responden yang memiliki relasi gender yang tidak setara (53,8 persen). Hal tersebut dikarenakan responden yang tidak terlalu membeda-bedakan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan mampu mengembalikan pinjaman tanpa membutuhkan ijin dari suami terlebih dahulu. Berbeda dengan yang memiliki relasi gender tidak setara, laki-laki masih mendominasi setiap keputusan dalam berbagai hal termasuk pada pengembalian pinjaman. Besar pinjaman yang diterima oleh anggota KSM dengan jumlah yang kecil bukanlah menjadi masalah besar bagi mayoritas responden untuk melunasinya sehingga tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol tergolong lancar. Jumlah pinjaman yang diberikan kepada masing-masing anggota KSM telah ditentukan oleh PNPM-P2KP Pusat sesuai dengan anggaran yang berlaku dalam setiap periode. Pada periode kedua terdapat beberapa KSM yang sudah mendapatkan pinjaman Rp ,- dan anggota KSM tersebut tetap dapat melunasinya dengan lancar. Dari pemaparan di atas terlihat bahwa besar pinjaman tidak berhubungan dengan relasi gender masyarakat, karena besar pinjaman ditentukan oleh PNPM-P2KP Pusat. Tabel 29. menggambarkan tidak ada

106 86 hubungan antara besar pinjaman dengan ideologi gender masyarakat dapat dilihat pada Tabel 29. berikut. Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Tingkat Besar Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Tingkat Besar Tingkat Relasi Gender (%) Jumlah (%) Pinjaman Tidak Setara Setara Rendah 13 (100) 32 (91,4) 45 (93,7) Tinggi 0 (0) 3 (8,6) 3 (6,3) Total 13 (100) 35 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 29. memperlihatkan tidak terdapat hubungan antara tingkat relasi gender dengan tingkat besarnya pinjaman. Artinya baik responden dengan tingkat relasi gender yang tidak setara (100 persen) maupun responden yang telah setara (91,4 persen) masih mendapatkan pinjaman dengan jumlah yang kecil, yakni 500 ribu rupiah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat relasi gender tidak memiliki hubungan dengan akses perempuan terhadap program dan pengembalian pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa baik responden yang memiliki relasi gender yang tidak setara maupun yang telah setara, ternyata memiliki akses terhadap program yang tinggi. Relasi gender memiliki hubungan dengan pengembalian pinjaman yang berarti responden yang relasi gendernya telah setara lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman (88,6 persen), dikarenakan responden yang tidak membeda-bedakan peran dan tanggung jawab antara lakilaki dan perempuan, dapat melunasi pinjaman tanpa membutuhkan keputusan dari lak-laki. Ideologi gender tidak berhubungan dengan besar pinjaman, artinya baik responden yang memiliki ideologi gender tinggi maupun rendah, sama-sama mendapatkan pinjaman dengan jumlah yang kecil.

107 Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP Pemenuhan Kebutuhan Praktis Gender dan Kebutuhan Strategis Gender Pada bab sebelumnya telah dibahas bahwa salah satu tujuan Program PNPM-P2KP adalah untuk memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan dilihat tidak hanya pada sejauhmana program dapat memenuhi kebutuhan perempuan sehari-hari, tetapi juga pada sejauhmana program dapat memberdayakan perempuan agar setara dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangganya. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang menjadi tujuan utama program disebut sebagai kebutuhan praktis gender, sedangkan penyetaraan kedudukan perempuan dengan laki-laki disebut dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Pemenuhan kebutuhan praktis gender responden setelah mengikuti Program PNPM-P2KP berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan dan perkembangan usaha yang dimilikinya. Pemenuhan kebutuhan praktis setelah mengikuti program dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 30. Persentase Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Pernyataan Tidak Terpenuhi (%) Terpenuhi (%) 1. Makan lebih dari dua kali dalam sehari 14,6 85,4 2. Mengkonsumsi makanan bergizi 12,5 87,5 3. Berobat ke dokter atau rumah sakit 37,5 62,5 4. Memperbaiki kerusakan dalam rumah 72,9 27,1 5. Memiliki MCK sendiri 14,6 85,4 6. Memiliki modal usaha 27,1 72,9 7. Melunasi iuran sekolah anak 22,9 77,1 8. Melunasi hutang/tagihan 27,1 72,9 9. Berkembangnya usaha 43,8 56,2 10. Meningkatnya keeratan organisasi/ksm 91,7 8,3 Sumber: Data Primer, 2010 Merujuk pada Tabel 30. di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan dalam rumah tangga responden yaitu pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, minum, dan kesehatan. Sebanyak 85,4 persen respoden menyatakan bahwa frekuensi makan keluarga lebih dari dua kali sehari dengan makanan yang cukup bergizi (87,5 persen). Makanan yang cukup bergizi tersebut bukanlah makan makanan yang mengandung gizi seimbang, mayoritas

108 88 responden menyatakan cukup puas dan cukup bergizi dengan makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, sebagai berikut: Alhamdulillah makan lebih dari dua kali setiap hari. Ibu rasa cukup bergizi lah walau kadang cuma nasi, tahu, tempe, lalap. Kan bergizi itu ngga harus daging neng, pakai ikan asin saja cukup. Jarang juga yang jual daging di sini mah, harus ke pasar Cigombong dulu. Dengan mengikuti Program PNPM-P2KP, diharapkan responden bisa memiliki modal untuk usaha yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Walaupun pinjaman yang diberikan terlampau kecil jumlahnya, ternyata 72,9 persen responden menyatakan pinjaman tersebut cukup untuk menambah modal usaha mereka, dan 56,2 persen responden menyatakan bahwa usaha mereka telah berkembang. Persentase keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan praktis tersaji pada tabel berikut. Tabel 31. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Kebutuhan Praktis Jumlah Persen (%) 1. Tidak Terpenuhi 11 22,9 2. Terpenuhi 37 77,1 Total Sumber: Data Primer, 2010 Data di dalam Tabel 31. di atas menunjukkan bahwa kebutuhan praktis responden telah terpenuhi setelah mengikuti program (77,1 persen). Pemenuhan kebutuhan praktis responden berkaitan dengan perubahan atau perbaikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, kesehatan, dan pendidikan. Merujuk pada tujuan PNPM-P2KP yang dirumuskan oleh BKM dan UPK Desa adalah masyarakat memiliki modal usaha untuk mengembangkan usahanya. Terbukti dengan pinjaman yang kecil, ternyata banyak responden yang mengaku puas dengan adanya program pinjaman karena dapat menambah modal usahanya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Tt, pemilik katering, sebagai berikut: Alhamdulillah neng, walaupun sedikit tapi cukup untuk simpanan modal usaha kalau nanti lagi ramai pesanan. Kan kalau ibu suka pakai uang ibu dulu buat beli bahan kue, baru nanti diganti sama yang pesan. Penuturan Ibu Tt diperkuat oleh Ibu Rm, seorang penjahit, yang mengatakan:

109 89 Jahit itu kan usaha ibu sama bapak, tapi yang ikut program cuma ibu. Uang pinjaman ibu pakai untuk menambah modal usaha neng, buat beli kain, jarum, benang. Tapi kadang terpakai juga buat keperluan lain, seperti sekolah anak, jajan anak. Pokoknya mah uang itu buat simpanan saja lah neng. Pada umumnya kebutuhan praktis responden telah terpenuhi, namun hal tersebut belum menggambarkan peningkatan kesejahteraan responden. sebagai program yang mengaku program pemberdayaan kelompok perempuan, maka perlu dilihat sejauhmana program mampu memenuhi kebutuhan strategis gender, yakni mampu mengubah status kedudukan perempuan dalam rumah tangganya setelah mengikuti program. Pemenuhan kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 32. Persentase Responden Berdasarkan Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Strategis Gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Pernyataan Perubahan (%) Tidak Ya 1. Menentukan frekuensi makan sehari-hari 45 (93,8) 3 (6,2) 2. Menentukan menu makan sehari-hari 48 (100) 0 (0) 3. Menentukan besarnya biaya untuk makan 45 (93,8) 3 (6,2) 4. Menentukan besarnya biaya untuk belanja bulanan 39 (81,2) 9 (18,8) 5. Menentukan berobat dimana ketika ada keluarga yang sakit 44 (91,7) 4 (8,3) 6. Mengurus anak 48 (100) 0 (0) 7. Menentukan pendidikan/sekolah anak 41 (85,4) 7 (14,6) 8. Menentukan uang saku/jajan anak 48 (100) 0 (0) 9. Menentukan komoditi/jenis usaha 40 (83,3) 8 (16,7) 10. Menentukan besarnya uang yang digunakan untuk melunasi hutang/tagihan 48 (100) 0 (0) 11. Menentukan ikut KSM 39 (81,2) 9 (18,8) 12. Menentukan pengelolaan dana pinjaman 43 (89,6) 5 (10,4) 13. Menentukan siapa yang menjalankan usaha 42 (87,5) 6 (12,5)

110 Menentukan usaha akan lanjut atau berhenti 41 (85,4) 15. Menentukan dana investasi/tabungan 36 (75) Sumber: Data Primer, (14,6) 12 (25) Berdasarkan Tabel 32. dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan dalam pemenuhan kebutuhan strategis perempuan setelah mengikuti program pinjaman dari PNPM-P2KP. Artinya, setelah mengikuti program dan mendapatkan pinjaman, perempuan belum mampu menjadi pengambil keputusan di dalam keluarga, kecuali pada hal-hal yang berhubungan dengan urusan rumah tangga seperti menentukan frekuensi makan, menu makan, dan merawat anak. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih mendominasi pekerjaan domestik yang telah disinggung pada subbab sebelumnya, pekerjaan rumah tangga merupakan kodrat dan tanggung jawab perempuan. Setelah mengikuti program, diharapkan terjadi perubahan keputusan dalam mengurus pekerjaan rumah tangga, setidaknya terdapat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, seperti sama-sama memutuskan dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, bukan hanya dibebankan kepada perempuan. Selain dalam urusan rumah tangga, perempuan belum memiliki kontrol dalam hal pengaturan uang. Hal ini tercermin dari tidak terjadinya perubahan pada kontrol perempuan dalam mengelola keuangan keluarga. Perempuan hanya sekadar menerima uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh laki-laki, kemudian merekalah yang mengatur uang untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa laki-laki yang menentukan sedangkan perempuan hanya menjalankan. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Rd, pedagang, sebagai berikut: Semuanya sajalah neng, kalau urusan rumah tangga mah ibu yang ngatur. Tapi kalau uang, bapak yang kasih, nah terus ibu atur itu, mau belanja apa. Kadang kalau anak minta jajan, ibu juga kasih, tapi pan uangnya tetap dari bapak. Tidak berbeda dengan pengelolaan keuangan dalam rumah tangga yang masih didominasi oleh laki-laki, ternyata masih sulit bagi perempuan untuk mengambil keputusan dalam hal kegiatan publik. Walaupun kegiatan publik yang diikuti oleh perempuan biasanya tidak jauh berbeda dengan urusan domestik, seperti pengajian, PKK, atau penyuluhan KB dan Posyandu. Begitpula dalam hal

111 91 memutuskan untuk menjadi anggota KSM, sebagian besar responden menyatakan masih membutuhkan ijin dari suami. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Ag, ibu rumah tangga, berikut: Saya ikut, karena disuruh ibu, kebetulan ibu kan BKM. Saya sih mau saja, kan dapat pinjaman, lumayan buat tambah-tambah. Saya ijin dulu sama suami, boleh atau ngga ikut itu. Alhamdulillah suami mengijinkan. Kalau waktu itu suami ngga mengijinkan, ya saya ngga ikut. Ngga berani dek. Dengan mengikuti program pinjaman dari PNPM-P2KP diharapkan perempuan menjadi berdaya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangganya dan perkembangan usahanya. Pada kenyataannya, program tersebut belum mampu sepenuhnya memberdayakan perempuan. Persentase mengenai sejauhmana program berhasil memenuhi kebutuhan strategis gender responden dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No. Kebutuhan Strategis Jumlah Persen (%) 1. Tetap 17 35,4 2. Kurang Berubah 31 64,6 3. Sangat Berubah 0 0 Total Sumber: Data Primer, 2010 Tabel 33. memperlihatkan sebanyak 64,6 persen responden menyatakan setelah mengikuti program, pemenuhan kebutuhan strategis mereka kurang berubah. Artinya hampir tidak terjadi perubahan yang berarti dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga, mengikuti program, serta perkembangan usaha. Selain dalam hal urusan rumah tangga seperti makan, kesehatan dan mengurus anak, perempuan tidak memiliki kontrol dalam menentukan keuangan keluarga, mengikuti kegiatan publik, serta menentukan perkembangan usaha. Bahkan dalam mengelola uang pinjaman masih didominasi oleh laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP belum mampu untuk merubah kedudukan perempuan dalam rumah tangganya.

112 Hubungan Keberhasilan Program dengan Pemberdayaan Perempuan BKM dan UPK menyatakan bahwa keberhasilan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol dilihat dari lancarnya pengembalian pinjaman. Hal ini terbukti dari data pengembalian pinjaman selama dua periode berturut-turut tidak mengalami kemacetan. Jika dilihat dari sudut pandang analisis gender, lancarnya pengembalian pinjaman belum cukup untuk menggambarkan sepenuhnya tentang keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan anggotanya. Dengan kata lain, terpenuhinya kebutuhan praktis saja belum dianggap mampu memberdayakan perempuan karena kebutuhan strategisnya belum terpenuhi. Sehingga lancarnya pengembalian pinjaman sama sekali belum menggambarkan keberhasilan program. Merujuk pada Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) yang mendefinisikan pemberdayaan sebagai tindakan kolektif yang berfokus pada upaya menolong anggota masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminasi kelas sosial, gender) dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan, maka pemberdayaan merupakan indikator utama keberhasilan program. Seperti yang tercantum dalam Pedoman Umum Program, bahwa PNPM-P2KP merupakan program yang berbeda dengan program-program pengentasan kemiskinan lain, karena program tersebut adalah program yang memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk memenuhi kebutuhan, sehingga dampak yang diharapkan dari Program PNPM-P2KP ini adalah mampu memenuhi kebutuhan warga miskin, dan kelompok perempuan (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Berdasarkan Kerangka Analisis Moser, terdapat dua kebutuhan yang harus terpenuhi seteleh mengikuti program pembangunan yaitu kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Jika kedua kebutuhan tersebut telah terpenuhi, maka program pembangunan dinilai berhasil. Begitupula yang menjadi harapan setiap program pembangunan salah satunya adalah Program PNMP- P2KP. Terlebih lagi program tersebut merupakan program yang mengaku sebagai program yang telah memberdayakan kelompok perempuan, sehingga seharusnya program mampu memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender perempuan.

113 93 Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam melihat sejauhmana program berhasil dalam memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender, perlu melihat hubungan antara faktor-faktor yang berkaitan dengan program pinjaman, seperti besar pinjaman, akses terjadap pinjaman, dan tingkat pengembalian pinjaman. Hubungan antara besar pinjaman dengan kebutuhan praktis gender tersaji dalam tabel berikut. Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Praktis Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Kecil Besar Tidak Terpenuhi 10 (22,2) 1 (33,3) 11 (22,9) Terpenuhi 35 (77,8) 2 (66,7) 37 (77,1) Total (%) 45 (100) 3 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer 2010 Tabel 34. memperlihatkan tidak terdapat hubungan antara tingkat besar pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan praktis. Hal ini berarti bahwa dengan pinjaman yang nominalnya besar (66,7 persen) ataupun kecil (77,8 persen), responden merasa bahwa kebutuhan praktis mereka telah terpenuhi. Tak berbeda jauh dengan besar pinjaman, hubungan antara akses terhadap program dengan kebutuhan praktis tidak memiliki hubungan. Tabel hubungan antara akses responden terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan praktis dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 35. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Praktis Tingkat Akses Terhadap Program (%) Jumlah (%) Rendah Tinggi Tidak Terpenuhi 2 (28,6) 9 (22) 11 (22,9) Terpenuhi 5 (71,4) 32 (78) 37 (77,1) Total (%) 7 (100) 41 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer 2010 Berdasarkan Tabel 35. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat

114 94 akses terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan praktis gender. Hal ini berarti bahwa baik akses yang tinggi (78 persen) maupun rendah (71,4) terhadap program, kebutuhan praktis responden telah terpenuhi, terutama dalam hal pemilikan modal untuk perkembangan usaha. Sedangkan tabel yang menggambarkan hubungan pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan praktis tersaji dalam Tabel 36. Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Praktis Tingkat Pengembalian Pinjaman (%) Jumlah (%) Macet Lancar Tidak Terpenuhi 1 (10) 10 (26,3) 11 (22,9) Terpenuhi 9 (90) 28 (73,7) 37 (77,1) Total (%) 10 (100) 38 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer 2010 Dengan menggunakan Tabel 36 dan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kontrol responden dengan pengembalian pinjaman. Hal ini berarti bahwa baik responden yang lancar (73,7 persen) maupun macet (90 persen) dalam mengembalikan pinjaman, pemenuhan kebutuhan praktisnya telah terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan praktis responden yang macet berkaitan dengan selang waktu menunggak cicilan yang tidak terlalu lama, yakni berkisar antara satu sampai tiga bulan, sehingga respnden yang pernah macet tetap dapat terpenuhi kebutuhan praktisnya. Dari beberapa tabel hubungan yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemenuhan kebutuhan praktis tidak memiliki hubungan dengan faktor-faktor yang terkait dengan program seperti besar pinjaman, akses terhadap program, serta pengembalian pinjaman. Terpenuhinya kebutuhan praktis gender berkaitan dengan terjadi perubahan atau perbaikan kualitas hidup responden seperti makan, kesehatan, dan pendidikan. Baik responden yang memiliki akses tinggi maupun rendah, kebutuhan praktisnya telah terpenuhi. Sama halnya dengan pengembalian pinjaman, baik responden yang macet maupun yang lancar, kebutuhan praktisnya telah terpenuhi.

115 95 Kebutuhan strategis gender merujuk pada kontrol perempuan dalam rumah tangga dan berkaitan dengan perkembangan usaha, sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak berbeda dengan melihat hubungan kebutuhan praktis dengan faktor-faktor yang terkait dengan program, keberhasilan program dilihat melalui hubungan besar pinjaman, akses dan kontrol terhadap program, serta pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender responden. Berikut ini adalah tabel besar pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender responden. Tabel 37. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Tingkat Besar Pinjaman (%) Jumlah (%) Strategis Kecil Besar Tetap 15 (33,3) 2 (66,7) 17 (35,4) Kurang Berubah 30 (66,7) 1 (33,3) 31 (64,6) Sangat Berubah 0 (0) 0 (0) 0 (0) Total (%) 45 (100) 3 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer 2010 Merujuk pada angka-angka dalam Tabel 37. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat besar pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Hal ini berarti bahwa walaupun pinjaman besar sebagian responden (66,7 persen) merasa tidak terjadi perubahan status dalam rumah tangga mereka. Berbeda dengan respnden yang mendapatkan pinjaman kecil (66,7 persen), telah terpenuhi kebutuhan strategis mereka walaupun sangat sedikit perubahan tersebut terjadi.begitupula dengan responden yang telah mendapatkan pinjaman lebih besar. Demikian juga dengan hubungan akses terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender yang tersaji dalam Tabel 38. berikut.

116 96 Tabel 38. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Tingkat Akses Terhadap Program (%) Jumlah (%) Strategis Rendah Tinggi Tetap 3 (42,9) 14 (34,2) 17 (35,4) Kurang Berubah 4 (57,1) 27 (65,9) 31 (64,6) Sangat Berubah (0) Total (%) 7 (100) Sumber: Data Primer 2010 (0) 41 (100) (0) 48 (100) Berdasarkan Tabel 38 dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat akses responden terhadap program dengan pemenuhan kebutuhan strategis responden. Hal ini berarti bahwa akses responden terhadap program yang tinggi (65,9 persen) tidak menjamin terjadi perubahan status perempuan dalam rumah tangganya. Akses perempuan terhadap program dapat dikatakan cukup tinggi di dalam program, namun kontrol perempuan dalam rumah tangga, perkembangan usaha dan pengelolaan pinjaman tetap tidak ada, karena laki-laki masih tetap menjadi pengambil keputusan yang utama dalam keluarga. Selain faktor akses perempuan, dilihat pula pada pengembalian pinjaman dalam memenuhi kebutuhan strategis gender. Hubungan pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 Kebutuhan Tingkat Pengembalian Pinjaman (%) Jumlah (%) Strategis Macet Lancar Tetap 5 (50) 12 (31,6) 17 (35,4) Kurang Berubah 5 (50) 26 (68,4) 31 (64,6) Sangat Berubah 0 (0) 0 (0) 0 (0) Total (%) 10 (100) 38 (100) 48 (100) Sumber: Data Primer 2010

117 97 Merujuk pada Tabel 39. dan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengembalian pinjaman dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Artinya, pengembalian pinjaman yang lancar belum menjamin terjadinya perubahan kedudukan perempuan dalam rumah tangganya. Perempuan mampu untuk mengembalikan pinjaman dengan lancar, namun yang menentukan besarnya dana dan waktu mengembalikan pinjaman, masih didominasi oleh laki-laki. Dari data di atas terlihat bahwa program belum berhasil memberdayakan perempuan, terbukti dari pemenuhan kebutuhan strategis yang tidak berubah setelah mengikuti program. Lancarnya pengembalian pinjaman yang selalu disebut-sebut oleh UPK dan BKM sebagai indikator keberhasilan program, ternyata tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan anggota. Kesejahteraan dilihat berdasarkan analisis gender yakni terpenuhinya kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Setelah mengikuti program, mayoritas responden merasa bahwa kebutuhan praktis mereka telah terpenuhi, terutama yang berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup dan perkembangan usaha yang dimiliki. Sedangkan pemenuhan kebutuhan strategis yang menjadi tujuan program yakni memberdayakan perempuan, jelas sama sekali tidak tercapai. Hal ini ditunjukkan dari tidak terjadi perubahan status perempuan baik sebelum mengikuti program maupun setelah mengikuti program. Sejatinya, memberdayakan perempuan tidak dilihat hanya dari memberikan bantuan dana, tetapi lebih pada bantuan dana tersebut menjadikan perempuan mampu mengambil keputusannya sendiri dalam rumah tangga dan perkembangan usahanya. Walaupun perempuan mampu mengembalikan dana pinjaman dengan lancar, belum menunjukkan perempuan berdaya terhadap pengambilan keputusan terhadap keuangan keluarga. Terbukti pada subbab sebelumnya bahwa laki-laki masih mendominasi pengaturan keuangan keluarga. Berbeda halnya dengan pengembalian pinjaman dengan nominal yang kecil, mungkin perempuan tidak terlalu membutuhkan persetujuan dari laki-laki. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP belum berhasil dalam memberdayakan perempuan.

118 98 BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan Kemiskinan merupakan masalah yang harus segera diselesaikan. Salah satu program pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak tahun 1997 adalah Proyek Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Program tersebut dinilai berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia sehingga pada tahun 2008 P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) dan berubah nama menjadi PNPM-P2KP. Desa Srogol menjadi salah satu desa yang dikenai Program PNPM- P2KP sejak tahun 2007 dan dinilai paling berhasil di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Keberhasilan program di Desa Srogol dilihat dari lancarnya tingkat pengembalian pinjaman oleh KSM Ekonomi. Berdasarkan penelitian, didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol memang tergolong tinggi, ditunjukkan dari mayoritas responden tidak macet/menunggak dalam melunasi pinjaman. Pengembalian pinjaman berhubungan dengan tingkat pendidikan responden, artinya responden yang berpendidikan lebih tinggi maka pengembalian pinjamannya juga lebih lancar. Selain pengembalian pinjaman, terdapat akses perempuan terhadap program yang menjadi indikator keberhasilan program. Akses perempuan dalam Program PNPM- P2KP tergolong tinggi. Besar pinjaman memiliki hubungan yang negatif dengan akses, artinya besar pinjaman yang hanya dimiliki oleh hampir semua responden yang memiliki akses tinggi. Seharusnya, pinjaman yang tinggi menimbulkan akses terhadap program lebih tinggi. 2. Ideologi gender yang dianut oleh responden cenderung sedang dan rendah. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Desa Srogol sudah tidak terlalu membeda-bedakan peran perempuan dan laki-laki. Ada beberapa hal yang dapat diputuskan sendiri oleh perempuan seperti urusan rumah tangga dan anak, namun ada juga hal-hal yang membutuhkan keputusan dari suami. ideologi gender memiliki hubungan positif dengan akses perempuan terhadap program yaitu responden dengan ideologi gender tinggi justru memiliki akses

119 99 terhadap program yang lebih tinggi pula dibanding dengan responden yang memiliki ideologi gender rendah. Kemudian, ideologi gender juga memiliki hubungan pengembalian pinjaman, namun hubungan tersebut bernilai negatif. Artinya, responden dengan ideologi gender yang rendah lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman. 3. Pemberdayaan perempuan dilihat tidak hanya pada sejauhmana program dapat memenuhi kebutuhan perempuan sehari-hari, tetapi juga pada sejauhmana program dapat memberdayakan perempuan agar setara dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangganya. Berdasarkan Kerangka Analisis Moser, keberhasilan program dilihat dari terpenuhinya kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Fokus utama dalam pemenuhan kebutuhan praktis responden adalah responden memiliki modal usaha untuk meningkatkan kesejahteraannya. Terbukti dengan pinjaman yang kecil, banyak responden yang mengaku puas dengan adanya program pinjaman karena dapat menambah modal usahanya. Sedangkan kebutuhan strategis gender perempuan belum terpenuhi, artinya tidak terjadi perubahan status perempuan dalam rumah tangga mereka setelah mengikuti program. Perempuan tetap menjadi penentu utama dalam pekerjaan rumah tangga seperti makan, kesehatan, dan mengurus anak, sedangkan laki-laki masih menjadi pemegang kendali dalam hal keuangan. Dalam hal pinjaman dan perkembangan usaha, laki-laki memang terlihat tidak terlalu mendominasi, hal ini dikarenakan nominal pinjaman yang terlampau kecil. Merujuk pada rumusan tujuan program yang ingin memberdayakan perempuan, dari penelitian terlihat bahwa program belum berhasil memberdayakan perempuan, terbukti dari pemenuhan kebutuhan strategis yakni tidak terjadi perubahan status perempuan dalam rumah tangganya setelah mengikuti program. Jadi dapat disimpulkan bahwa Program PNPM-P2KP belum mampu memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan dilihat dari belum terpenuhinya kebutuhan strategis gender.

120 Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, dirumuskan saran sebagai berikut: 1. Indikator keberhasilan program yang tercantum dalam Pedoman Umum PNPM-P2KP yaitu meningkatnya kesejahteraan warga miskin perlu diperjelas kembali. Misalnya penentuan indikator kesejahteraan dapat menggunakan definisi dari BPS, agar terlihat dengan jelas apakah program tersebut benar-benar berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan warga miskin. 2. Sasaran program yakni warga miskin juga perlu diperjelas dan dipertegas. Warga miskin adalah orang yang benar-benar miskin sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, atau orang yang miskin tetapi masih mampu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memiliki usaha. Penentuan warga miskin penerima bantuan harus jelas dan tegas, agar tidak terjadi salah sasaran program. 3. Bagi BKM dan UPK Desa Srogol, perlu diketahui bahwa pengembalian pinjaman bukan merupakan indikator keberhasilan program, karena pengembalian pinjaman belum menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlu ditinjau ulang keberhasilan program berdasarkan pemenuhan kebutuhan. 4. Tujuan program yang ingin memberdayakan kelompok perempuan juga perlu diperjelas dan dipertegas, karena pemberdayaan perempuan yang dimaksud adalah bukan hanya pada pemberian pinjaman, tetapi pada perubahan pengambilan keputusan dalam rumah tangga perempuan.

121 101 DAFTAR PUSTAKA Arivia, Gadis Mengapa Perempuan Dipentingkan Dalam Pembangunan?, Dalam Jurnal Perempuan,Yayasan Jurnal Perempuan(Jakarta). Badan Pusat Statistik, 2009, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret &notab=3 diunduh pada tangga 18 Mei 2010 pukul WIB Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. Hadiprakoso, Adji Penguatan Peran Gender Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin: Studi Kasus Kelompok Dasa Wisma Desa Sudagaran. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Handayani, Trisakti. dan Sugiarti Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. Handayani, Ninik Menyimak Kehidupan Keluarga Miskin, Jurnal Analisis Sosial, vol.14, Jakarta. Hardianti, Dini Analisis Gender Dalam Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Heru, Nugroho Kemiskinan, Ktimpangan dan Pemberdayaan. Dalam Kumpulan Makalah: Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Indraswari Perempuan dan Kemiskinan, Jurnal Analisis Sosial, vol.14, Jakarta Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2010, Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender., go.id/pemberdayaanperempuan.html diunduh pada tanggal 18 Mei 2010 pukul WIB. Koentajaraningrat Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Lu Lu Analisis Gender Terhadap Tingkat Keberhasilan Proyek. Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mosse, Julia Cleves Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Mubyarto Strategi Pembangunan Ekonomi Yang Berkeadilan. Dalam Kumpulan Makalah: Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Mugniesyah, Siti Sugiah M, 2002, Jender dan Perilaku Masyarakat Petani Lahan Kering Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Nainggolan, Atirista Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Kasus di Kelurahan Ciseureuh Kecamatan Regol Kota Bandung). Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor

122 102 Pedoman Umum PNPM Mandiri Perkotaan, 2008, Konsep dan Pelaksanaan PNPM-P2KP., kp.html diunduh pada tanggal 18 Mei 2010 pukul WIB Puspitasari, Anandita Analisis Program Pengembangan Masyarakat Berdasar Perspektif Gender (Studi Kasus Mengenai PT Astra Internasional TBK di Kawasan Industri Sunter Dua Jakarta Utara). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Qoriah, Siti Nurul Analisis Gender Dalam Program Mandiri Pangan (Studi Kasus: Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Riana, Jasmah Pengembangan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) Untuk Pemberdayaan Perempuan Di Desa Wonosari Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Safitri, Kania Gender dalam Pengembangan Karier Wanita (Kasus: PT Repex Perdana Internasional, Jl Ciputat Raya No. 99, Pondok Pinang, Jakarta). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sajogyo, Pudjiwati Sosiologi Pembangunan. Jakarta: PT Etasa Dinamika , 1992, Perkembangan Usaha Bersama PPFM dan Peranannya Meningkatkan Kesejahteraan Fakir Miskin, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor , 1992, Studi Evaluasi Program Peranan Wanita Miskin Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Keluarga, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Saptari, Ratna dan Holzner, Brigette Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Sarwono, Jonathan Metode Penelitian Kuauntitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Singarimbun dan Sofian Effendi Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suharma Pemberdayaan Rumah Tangga Miskin Di Pedesaan Dalam Meningkatkan Kesejahteraannya (Studi Kasus di Desa Majasuka Kecamatan Palasak Kabupaten Majalengka). Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Suharto, Edi Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama. Sumarti, Titik dkk Model Pemberdayaan Petani Dalam Mewujudkan Desa Mandiri dan Sejahtera (Kajian Kebijakan Sosial dan Ekonomi tentang Ketahanan Pangan pada Komunitas Desa Rawan Pangan). Laporan akhir. Institut Pertanian Bogor. Tim Peneliti PSP LP IPB, 1991, Masalah Kemiskinan dan Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pelajaran dari Empat Kabupaten Kasus, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor.

123 LAMPIRAN 103

124 Lampiran 1. Gambar Denah Desa Srogol Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor 104

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 8 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Gender dan Jenis Kelamin Pada umumnya, masyarakat menganggap bahwa gender merupakan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai refleksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB VI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP

BAB VI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP 64 BAB VI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PNPM-P2KP 6.1. Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman Tujuan Program PNPM-P2KP adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN

ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN (Studi Kasus: Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah) Oleh: SITI NURUL QORIAH A14204066 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PERAN PEREMPUAN DALAM SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN PENAWANGAN KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh: TITIES KARTIKASARI HANDAYANI L2D

PERAN PEREMPUAN DALAM SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN PENAWANGAN KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh: TITIES KARTIKASARI HANDAYANI L2D PERAN PEREMPUAN DALAM SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN PENAWANGAN KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR Oleh: TITIES KARTIKASARI HANDAYANI L2D 305 141 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 banyak menyebabkan munculnya masalah baru, seperti terjadinya PHK secara besar-besaran, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat) Oleh: ERNA SAFITRI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sistem nilai, norma, stereotipe, dan ideologi gender telah lama dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan antara perempuan dengan laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR Oleh EVITA DWI PRANOVITANTY A 14203053 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA

PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA 5 PENDEKATAN TEORETIS Bab ini menjelaskan tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Subbab tinjauan pustaka berisi bahan pustaka yang dirujuk berasal dari beberapa

Lebih terperinci

KERANGKA TEORI Kemiskinan

KERANGKA TEORI Kemiskinan 7 KERANGKA TEORI Kemiskinan Masalah kemiskinan merupakan isu sentral dalam pembangunan terutama setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997. Peningkatan jumlah penduduk miskin dengan tajam

Lebih terperinci

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN KONSEP DIRI TENTANG PERANAN GENDER (Kasus Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2007/2008) Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A 14204030 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT SOLUSI MODAL (SM) DI BANK DANAMON SIMPAN PINJAM UNIT CIBINONG KABUPATEN BOGOR

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT SOLUSI MODAL (SM) DI BANK DANAMON SIMPAN PINJAM UNIT CIBINONG KABUPATEN BOGOR ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT SOLUSI MODAL (SM) DI BANK DANAMON SIMPAN PINJAM UNIT CIBINONG KABUPATEN BOGOR SKRIPSI ROBBI FEBRIO H34076133 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA

ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA (Kasus Komunitas Petani Kampung Pasirlangu, Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat) Oleh : YANITA DWI CHAIRNANI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Konsep Dasar Gender PERTEMUAN 4 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Konsep Dasar Gender PERTEMUAN 4 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Konsep Dasar Gender PERTEMUAN 4 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan mengenai Konsep Dasar Gender dalam kespro Konsep dasar gender Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Timbulnya anggapan bahwa perempuan merupakan kaum lemah masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan perempuan yang telah di konstruksikan

Lebih terperinci

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan) Oleh DYAH ISTYAWATI A 14202002 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Industri Kecil dan Putting Out System Industrialisasi dalam suatu tahap pembangunan dianggap sebagai suatu simbol kemajuan dan kesuksesan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan harus memperhatikan segala sumber-sumber daya ekonomi sebagai potensi yang dimiliki daerahnya, seperti

Lebih terperinci

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor)

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) Oleh: Rianti TM Marbun A14204006 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

Tim Penyusun. Pengarah. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan

Tim Penyusun. Pengarah. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan Tim Penyusun Pengarah Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan Penanggungjawab Kepala Bidang Keluarga Sejahtera Ketua Panitia Kepala Sub Bidang Penguatan Advokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam good governance menjamin berlangsungnya proses pembangunan yang partisipatoris dan berkesetaraan gender. Menurut

Lebih terperinci

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR FEMY AMALIA ARIZI PUTRI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

LEONARD DHARMAWAN A

LEONARD DHARMAWAN A ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMERINTAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN MELALUI PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) DAN RAKSA DESA (Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pengakuan dan penghormatan untuk memosisikan dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam pandangan politik

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KOTA SURABAYA SKRIPSI

EFEKTIFITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KOTA SURABAYA SKRIPSI EFEKTIFITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN MASYARAKAT DI KOTA SURABAYA SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan seperti masalah yang tanpa ujung pangkal. Barangkali, peribahasa yang tepat untuk menggambarkan masalah kemiskinan adalah mati satu tumbuh seribu. Kemiskinan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH 1 PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH (Studi Di Kampung Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 116 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang kompleks dibutuhkan intervensi dari semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Selain peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan memiliki ciri yang berbeda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA (Kasus Pedagang Sayur di Kampung Bojong Rawa Lele, Kelurahan Jatimakmur, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat baik dari segi sosial maupun dalam hal ekonomi. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

Oleh : Ajeng Nia Indriyani A

Oleh : Ajeng Nia Indriyani A PENGARUH PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN (P2KP) TERHADAP PENDAPATAN USAHA DAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Kelurahan Pasir Mulya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mahasiswa identik dengan kaum terdidik yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Peran ganda yang dijalani oleh mahasiswa mendorong mereka untuk

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SERTA PROFIL KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT RUBAH

BAB IV KONDISI KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SERTA PROFIL KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT RUBAH 31 BAB IV KONDISI KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SERTA PROFIL KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT RUBAH 4.1 Kondisi Kemiskinan Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Kemiskinan tidak sematamata didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya.

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya. BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Teori 1. Gagasan Emansipasi Kartini Tiga gagasan yang diperjuangkan Kartini yaitu emansipasi dalam bidang pendidikan, gagasan kesamaan hak atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Pada setiap belahan dunia dapat

Lebih terperinci

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender By : Fanny Jesica, S.ST DEFINISI KESEHATAN REPRODUKSI K E S P R Suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, bebas dari penyakit dan kecacatan

Lebih terperinci

ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU PERKAWINAN TIDAK TERCATAT. M. Ridwan Nasution

ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU PERKAWINAN TIDAK TERCATAT. M. Ridwan Nasution UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU PERKAWINAN TIDAK TERCATAT (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari) SKRIPSI Diajukan Oleh : M. Ridwan

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA (Kasus: Program Urban Masyarakat Mandiri, Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur) Oleh: DEVIALINA

Lebih terperinci

Oleh: Elfrida Situmorang

Oleh: Elfrida Situmorang 23 Oleh: Elfrida Situmorang ELSPPAT memulai pendampingan kelompok perempuan pedesaan dengan pendekatan mikro kredit untuk pengembangan usaha keluarga. Upaya ini dimulai sejak tahun 1999 dari dua kelompok

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KREDIT PT. BPR X OLEH UJANG JAYA SUKENDAR H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KREDIT PT. BPR X OLEH UJANG JAYA SUKENDAR H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KREDIT PT. BPR X OLEH UJANG JAYA SUKENDAR H14102015 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

PELUANG WANITA BERPERAN GANDA DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG KEMITRASEJAJARAN PRIA DAN WANITA DI KABUPATEN BANDUNG

PELUANG WANITA BERPERAN GANDA DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG KEMITRASEJAJARAN PRIA DAN WANITA DI KABUPATEN BANDUNG RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN PELUANG WANITA BERPERAN GANDA DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG KEMITRASEJAJARAN PRIA DAN WANITA DI KABUPATEN BANDUNG Oleh : Dra. Sofi Sufiarti. A ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah adalah merupakan suatu manifestasi yang diraih oleh masyarakat tersebut yang diperoleh dari berbagai upaya, termasuk

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT (Studi Kasus: RW 04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan) Oleh : YOHANA DESI FEBRIANA A14204047

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembanguan ini ditujukan

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER DAN KESETERAAN GENDER PADA USAHATANI PADI SAWAH DAN PADI LADANG DI KABUPATEN KARAWANG NURJAMAN

ANALISIS GENDER DAN KESETERAAN GENDER PADA USAHATANI PADI SAWAH DAN PADI LADANG DI KABUPATEN KARAWANG NURJAMAN ANALISIS GENDER DAN KESETERAAN GENDER PADA USAHATANI PADI SAWAH DAN PADI LADANG DI KABUPATEN KARAWANG NURJAMAN DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 lalu, membawa dampak yang sangat besar terhadap hampir semua lapisan masyarakat. Angka kemiskinan dan pengangguran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) GARDA EMAS (Studi Kasus UMKM Penghasil Sandal Di Kecamatan Bogor Selatan)

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) GARDA EMAS (Studi Kasus UMKM Penghasil Sandal Di Kecamatan Bogor Selatan) EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) GARDA EMAS (Studi Kasus UMKM Penghasil Sandal Di Kecamatan Bogor Selatan) Oleh BUDI LENORA A14304055 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Lebih terperinci

Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum obyek penelitian

Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum obyek penelitian LAMPIRAN 121 122 Lampiran 1. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum obyek penelitian Sumber Informasi Lurah Kenanga Staf kelurahan Masyarakat Penggalian dokumen monogram Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan dapat dipandang sebagai sarana menuju pada perubahan dan merupakan siklus alamiah sebagai jawaban atas perkembangan peradaban manusia. Hal ini mengindikasikan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I34060667 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN

V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN 44 V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN 5.1 Profil Perempuan Peserta Program PNPM Mandiri Perkotaan Program PNPM Mandiri Perkotaan memiliki syarat keikutsertaan yang harus

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI (Studi Pada Desa Kuala Lama Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai)

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI (Studi Pada Desa Kuala Lama Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai) PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI (Studi Pada Desa Kuala Lama Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai) Oleh: ARBAIYAH 060903036 DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

Lebih terperinci

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA (Kasus Dua SMA Negeri di Kawasan Jakarta Selatan) ANGGA TAMIMI OESMAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

ANALISIS PORTOFOLIO KREDIT (KONSUMTIF DAN PRODUKTIF) DAN PENGARUHNYA TERHADAP LABA (STUDI KASUS PT BANK X Tbk) Oleh DIAH RISMAYANTI H

ANALISIS PORTOFOLIO KREDIT (KONSUMTIF DAN PRODUKTIF) DAN PENGARUHNYA TERHADAP LABA (STUDI KASUS PT BANK X Tbk) Oleh DIAH RISMAYANTI H 1 ANALISIS PORTOFOLIO KREDIT (KONSUMTIF DAN PRODUKTIF) DAN PENGARUHNYA TERHADAP LABA (STUDI KASUS PT BANK X Tbk) Oleh DIAH RISMAYANTI H24051975 DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang

BAB I PENDAHULUAN. pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjuangan kesetaraan gender adalah terkait dengan kesetaraan sosial antara pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA DAN KREDIT BERMASALAH TERHADAP LABA (STUDI KASUS PT BANK X Tbk) Oleh HENI ROHAENI H

ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA DAN KREDIT BERMASALAH TERHADAP LABA (STUDI KASUS PT BANK X Tbk) Oleh HENI ROHAENI H ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA DAN KREDIT BERMASALAH TERHADAP LABA (STUDI KASUS PT BANK X Tbk) Oleh HENI ROHAENI H24053163 DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci